Anda di halaman 1dari 15

Epistemologi Tafsir M.

Abied Al-Jabiri

Achmad Bujairomi Ahda_(3118088)

Abstrak
Gagasan Muhammad Abid al-Jabiri tentang tradisi (turats) tidak lepas dari
proyek pemikirannya yang ia sebut dengan Kritik Nalar Arab. Kritik ini
dilatarbelakangi oleh semangat revivalisme (Kebangkitan Islam) dalam dua
gagasan yaitu sebagai refleksi atas kegagalan kebangkitan Islam sekaligus upaya
untuk merealisasikan transformasi sosial yang tak kunjung datang. Kebangkitan
Islam di era modern dipandang oleh al-Jabiri belum berhasil atau bahkan gagal.
Salah satu penyebab mendasar gagalnya kebangkitan Islam adalah ketidaktepatan
dalam mensikapi tradisi (turats). tradisi (turats) sendiri menurut Beliau, adalah
sesuatu yang hadir dan menyertai manusia pada saat ini, yang berasal dari masa
lalu, hal ini ditegaskan oleh Beliau bahwa tradisi yang hidup itu sebenarnya
berakar kuat pada pemikiran- pemikiran Islam.
Kata kunci: Tafsir, Epistimologi, M. Abied al-Jabiri

Pendahuluan
Sebagai pegangan hidup al-Qur’an telah menancap pada sanubari kaum
Muslimin. Inilah yang menjadi pengaruh terbesar didalam perkembangan
keilmuan di bidang kajian al Quran. Berbagai metode ditawarkan guna dapat
menggali makna besar yang dikandungnya. Mulai bersumber dari Islam sampai
bersumber dari agama lain. Oleh sebab itu, dalam setiap periode seakan tidak
pernah lengang oleh para pengkaji al Quran. Terutama pada abad 21, dunia Islam
diramaikan dengan munculnya cendekiawan-cendikiawan muslim yang membawa
pembaharuan. Salah satu diantaranya cenedekiawan tersebut adalah Muhammad
Abid al Jabiri.
Dalam menulis tema-tema seputar al-Qur’an, ia menghimpunya dalam
buku yang berjudul “Madkhal ila al Quran fi al Ta’rif bi al Quran”, dan sebagai
bentuk aplikatif dari gagasan-gagasannya, ia pun menuangkannya dalam “fahm al
Quran al Hakim; al Tafsir al Wadih hasb tartib al Nuzul”. Sehingga pandangan-
pandangannya mempunyai corak berbeda dari para pemikir kontemporer lainya.
Perbedaan ini pun berdampak pada kritik terhadapnya. Dalam penelitian kajian
turats, hampir semua orang mengakui bahwa diantara pengkaji yang lain, al Jabiri
menempati posisi teratas. Namun tidak dengan kajian-kajiannya terhadap Quranic
studies. Oleh karena itu, Tulisan ini akan mengkaji bagaimana epistemologi tafsir
al-jabiri?.

Biografi M. Abied Al-Jabiri


M. Abied Al-Jabiri, atau yang sering dikenal dengan al-Jabiri adalah
seorang intelektual muslim kontemporer yang sangat disegani oleh banyak
kalangan dan mempengaruhi banyak pemikiran generasinya, khususnya peminat
studi-studi keislaman (Islamic studies). Beliau dilahirkan di kota Feji (Fekik)
Maroko pada tahun 19363 . Beliau tumbuh dalam sebuah keluarga yang
terpandang, ayahnya sebagai pendukung perjuangan Partai Istiqlal. Al-Jabiri
adalah seorang pemikir Arab yang berwawasan luas dan populer, namanya banyak
disebut di tengah kancah pemikiran dan diskusi-diskusi tentang filsafat Arab. Al-
Jabiri adalah seorang kritikus dalam berbagai disiplin pengetahuan Arab di Barat
dan di Timur. Al-Jabiri menghembuskan nafas terakhir pada Senin, 3 Mei 2010,
di Casablanca.1

Sejak masa kecilnya al-Jabiri sudah menempuh pendidikan yang


bernuansa agama. Pertama-tama ia dikirim ke sekolah agama, dan kemudian ia
disekolahkan di sekolah swasta nasionalis (Madrasah Hurrah Wathaniyyah), yang
didirikan oleh gerakan kemerdekaan. Pada tahun 1951-1963 dia menghabiskan
waktunya dua tahun di sekolah lanjutan negeri yakni setingkat SMA di
Casablanca. Setelah Maroko merdeka, barulah al- Jabiri mendapatkan gelar
Diploma dari Sekolah Tinggi Arab dalam bidang ilmu pengetahuan (science).
Kemudian al-Jabiri muda dibimbing oleh Mehdi Ben Barka yaitu seorang
pemimpin sayap kiri Partai Istiqlal yang kemudian memisahkan diri dan

1
Happy Saputra, Reaktualisasi Tradisi Menuju Transformasi Sosial: STUDI PEMIKIRAN
MUHAMMAD ABID AL-JABIRI, ( Jurnal: Substantia, Vol. 18, No. 1, 2016 ) hal: 19.
mendirikan the Union Nationale de Forces Populaires (UNFP), dan kemudian
berubah menjadi Union Socilieste dae Forces Populaires (USFP) untuk bekerja
bagi jurnal al- Alam, yang menjadi penerbitan resmi bagi Partai Istiqlal.

Sejak al-Jabiri masih kuliah di Universitas Muhammad al-Khamis, Rabat,


Maroko, ia mulai akrab dengan tradisi Prancis. Hal ini bisa dimaklumi mengingat
latar belakang pendudukan Prancis di Maroko selama beberapa dasawarsa tentu
saja menjadi alasan utama bagi wilayah Maghrib untuk akrab dengan tradisi
Prancis. Selain itu, secara geografis, wilayah Maghrib cukup dekat dengan Prancis
dibandingkan dengan negeri-negeri Barat lainnya. Di negara Maroko sendiri,
selain bahasa Arab dan Berber yang menjadi bahasa utama, kebanyakan rakyatnya
juga menggunakan bahasa Prancis (dan Spanyol). Saking begitu dekatnya, banyak
tokoh-tokoh pemikir Islam kontemporer sekarang ini yang merupakan lulusan
universitas di Prancis.2

Bisa dikatakan, Al-Jabiri adalah seorang pengagum Marxisme, Ketika al-


Jabiri masih menuntut ilmu di Universitas Muhammad al-Khamis itulah,
persisnya di tahun-tahun terakhir dekade 1950-an, pemikiran-pemikiran Marxisme
sangat berkembang dengan suburnya di wilayah Arab, dan sejak itu pula, seperti
diakuinya, ia tumbuh sebagai pengagum Marxisme. sebagai seorang yang lahir
dan tumbuh di negara bekas protektoriat Prancis, al-Jabiri tidak kesulitan untuk
mengakses buku atau pemikiran berbahasa Prancis, Sejumlah literatur Marxisme
yang berbahasa Prancis ia kuasai, termasuk karya-karya Karl Max sendiri dalam
edisi Prancis. pos-struktruralis maupun pos-modernis yang rata-rata memang
lahir dari Prancis. Akan tetapi, ia kemudian meragukan efektivitas pendekatan
Marxian dalam konteks sejarah pemikiran Islam, setelah membaca karya Ves
Lacoste yang membandingkan Karl Marx dengan Ibn Khaldun, antara Barat dan
Islam. Lacoste berusaha membandingkan Karl Max dengan Ibn Khaldun, sebelum

2
Happy Saputra, Reaktualisasi Tradisi Menuju Transformasi Sosial: STUDI
PEMIKIRAN MUHAMMAD ABID AL-JABIRI, ( Jurnal: Substantia, Vol. 18, No. 1, 2016 ) hal:
20.
akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa Ibn Khaldun telah mendahului
Marx menyangkut doktrin “determinasi sosial” dan “materialisme historis”.
Teknik perbandingan semacam ini, yakni perbandingan antara tradisi Islam dan
Barat, tak pelak lagi mendorong al-Jabiri mempertanyakan asumsi-asumsi kaum
orientalis yang terkesan memaksakan kepentingan mereka dalam mengkaji studi-
studi Islam.Kekaguman kian terkikis saat ia membaca karya tersebut.

Kendati menyatakan sikapnya tidak akan membela maupun membantah


pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh kaum orientalis tentang tradisi
Islam, al- Jabiri tetap menulis sanggahan terhadap mereka, dan sebagaimana
halnya Mohammad Arkoun, al-Jabiri lebih banyak menitikberatkan kritiknya pada
aspek metodologi dan kerangka berfikir kaum orientalis, dan bukan pada detail-
detail pembahasan dan konklusi mereka. Beliau menyebut sejumlah tokoh
orientalis, sepertihalnya S. Munk, de Bor, S. Pines, L. Massignon, dan H. Corbin,
yang mana lebih terpengaruh oleh semangat egosentrisme Barat- nya. Di sini, al-
Jabiri bukan hanya mengkritik kaum orientalis yang dikenal mewarisi “mental
kolonialisme”, tapi juga mereka yang banyak menyanjung-nyanjung al-Hallaj
atau Corbin yang mendewakan Suhrawardi. Karena, menurutnya, semuanya
dinilai menjadikan Islam sebagai objek yang kemudian ditundukkan demi
kepuasan intelektual dan akademik Barat. Dengan kata lain, mereka (kaum
orientalis) dengan berbagai disiplin dan preferensi keilmuannya masing- masing,
mengkaji Islam hanya untuk kepentingan mengatasi problem-problem yang ada
dalam negerinya. Bila problem tersebut selesai, maka mereka pun mulai
membelakangi hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Maka, dalam konteks seperti
ini, mereka tidak akan berbicara lagi mengenai Islam yang historis, apalagi studi-
studi kritis tentang ajaran Islam. Karena kepentingan mereka adalah bagaimana
menemukan sisi-sisi dalam Islam yang menguntungkan mereka, dan itulah model
egosentrisme Barat.

Oleh sebab itu, dapat dipahami mengapa al-Jabiri di hampir semua karya-
karyanya, jarang atau malah tidak pernah mengikuti konklusi-konklusi yang
dibuat kalangan sarjana Barat. Meski ada satu atau beberapa nama sarjana Barat
tentang Islam yang dikutip, maka hal itu kalau bukan dalam rangka untuk
mengkritiknya, juga dengan maksud memperkukuh kesimpulan yang telah ditarik
al-Jabiri sendiri. Seperti nama Corbin yang pernah dikutip dalam rangka
mengukuhkan kesimpulan yang diperoleh al- Jabiri tentang aliran Syi’ah yang
disebut sebagai yang pertama mengadopsi tradisi Hermetisisme pra-Islam dalam
pemikiran Islam.

Satu hal yang membuat al-Jabiri kemudian menjadi sangat terkenal adalah
tawaran metodologisnya dalam melakukan pembacaan terhadap tradisi (turats)
Islam. Hal ini, untuk pertama kalinya, dapat dilihat dalam Disertasi doktoralnya
perihal Ibn Khaldun. Meski elaborasi metodologisnya tidak begitu kuat dan tajam,
namun al-Jabiri mampu menampilkan sisi-sisi pemikiran Ibn Khaldun yang betul-
betul lain dari yang dipahami selama ini. Yang ditampilkan bukan cuma sosok Ibn
Khaldun yang historis, yakni yang bergulat dengan persoalan-persoalan
kemasyarakatan, kultur, dan politik di masanya, melainkan juga seorang figur
yang unsur-unsurnya saling terkait satu sama lain secara sistemik.

Pemikiran strukturalis sangat berguna bagi al-Jabiri dalam memahami


pemikiran Ibn Khaldun sebagai sebuah sistem, dan sekaligus untuk
menghindarkan terjebak pada pembacaan-pembacaan ahistoris tentang tokoh yang
selama ini laris digelar oleh sarjana- sarjana muslim maupun Barat. Umpamanya
dengan menyebut Ibn Khaldun sebagai “perintis sosiologi modern”, sebagai
“perintis metode empirisme modern”, atau sebagai “tokoh peletak dasar filsafat
sejarah”3

Corak Pemikiran M. Abied Al-Jabiri


Turats adalah sebuah objek yang menjadi kajian dalam kritik al-
Jabiri, hal ini tidak lain adalah sebuah warisan pemikiran terhadap suatu
wacana. Kebesaran peradaban masa lalu menjadi satu hal yang diagung-
agungkan, sehingga memunculkan idealisme romantik dari generasi
setelahnya tanpa berupaya untuk bersikap objektif. Oleh karena itu, Sikap
yang muncul dari orang-orang Arab-Islam inilah, adalah tidak lain karena
3
Ibid, hal: 21.
dorongan untuk bangkit dari keterbelakangan dunia Arab dan Islam saat ini,
terlebih lagi ketika dihadapkan dengan Barat modern dengan segala
kemajuan yang dimiliki dan menjadi penguasa dunia di masa ini.

Apa yang ditawarkan al-Jabiri berkaitan dengan berbagai persoalan


keagamaan umat Islam kontemporer ini, kurang lebih adalah suatu ajakan
untuk memikirkan secara kritis apa yang kita anggap sebagai “rujukan” dan
“cara merujuk”-nya. Dengan menggunakan perangkat analisis-kritik
wacana, al-Jabiri menawarkan perlunya suatu pembaruan pada dataran berbagai
teori-teori, seperti politik Islam dan lain sebagainya. Dan yang dibutuhkan
di sini adalah suatu kombinasi antara “kritik atas masa lalu” agar tidak
terjadi manipulasi sejarah untuk kepentingan sekarang, dan juga “kritik atas
masa kini” agar tidak muncul upaya penegasan identitas dan apologi dalam
berhadapan (dengan konsep-konsep) Barat yang dianggap asing.4

Al-Jabiri menjelaskan dalam bukunya “Kritik Pemikiran Islam”,


bahwa rujukan utama pemikiran Arab klasik bukanlah merujuk pada
masa pra Islam ataupun masa Muhammad saw. dan Khulafa al-Rasidin,
melainkan pada masa “kodifikasi‟ (asr al-tadwin) yang dimulai pada awal
abad kedua Hijriah. Ia juga menyimpulkan bahwa terdapat tiga sistem
epistemologi yang muncul, al-Jabiri menyebut istilah tersebut dengan
sistem indikasi atau eksplikasi (Bayani), kemudian sistem iluminasi
atau gnostik (Irfani), dan sistem demonstratif atau keterangan inferensi
(Burhani). Sisitem epistemologi yang diusung al-jabiri tersebut adalah dengan
meniru konsep Episteme-nya Foucalt, yang bukan hanya sekedar aturan
prosedural atau protokoler penelitian.5

Kemudian, untuk menjawab tantangan modernitas itu sendiri, al-Jabiri


menyerukan untuk membangun epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem
yang menurut al-Jabiri dapat bersifat relevan adalah dengan menggunakan

4
Ahmad Baso “Pengantar”, dalam Muhammad „Abed al-Jabiri “Post-tradisionalisme
Islam, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm 8
5
Ibid., hlm 17
tipologi yang ditawarkannya,yaitu tentang tradisi burhani, bayani, dan irfani. Ia
juga mengkombinasikan pemikirannya tersebut dengan mengaplikasikan
metodologi post-strukturalis dan post-modernis.

Metode Tafsir M. Abied Al-Jabiri


Al-Jabiri tidak sepenuhnya melepaskan pemikiran struktural
dalam metodenya, karena metode strukturalisme dijadikan sebagai langkah awal
untuk dapat bersikap kritisdan logis. Al-Jabiri juga tidak membatasi tawaran
metodologisnya pada metode strukturalisme Perancis semata, yang melihat
pemikiran sebagai sebuah sistem yang unsur-unsurnya saling terkait satu
sama lain. Namun beliau menawarkan tiga pendekatan yang diantara
lainadalah: pendekatan“historisitas” (tarikhiyyah), “objektivitas” (madlu’iyyah),
dan “kontinuitas” (istimrariyah). 6

Langkah awal yang dilakukan al-Jabiri tersebut dikombinasikan


dengan tipologi yang ditawarkannya yaitu nizham ma’rifi bayani atau aql
bayani yang mencakup disiplin-disiplin ilmu yang menjadikan ilmu bahasa
Arab sebagai tema sentralnya, seperti -balaghah, nahwu, fiqih dan ushul fiqih,
dan kalam. Pertemuan beberapa disiplin ilmu ini pada akhirnya melahirkan
satu bentuk nalar yang secara khusus terkait dengan hukum-hukum bahasa,
yang berarti merujuk kepada teks (nash). 7

langkah kedua yang dilakukan dalam mengkritisi sebuah tradisi adalah


melalui pendekatan “kontinuitas” yang menghubungkan sang pembaca dengan
objek bacaannya (washl al-qari’an al-maqru). Pendekatan ini menggunakan
metode “rasionalitas” yang mana menjadikan tradisi tersebut lebih kontekstual
dengan kondisi kekinian kita. Metode ini bertujuan untuk memperlakukan
tradisi sebagai sesuatu yang relevan dan kontekstual dengan keberadaannya

6
Nurfitriyani Hayati, EPISTIMOLOGI PEMIKIRAN ISLAM “ABED AL-JABIRI DAN IMPLIKASI
BAGI PEMIKIRAN KEISLAMAN, (Yogyakarta : Journal of Islamic & Social Studies, Vol. 3 No. 1
Januari-Juni 2017), hlm 5
7
Khudri Soleh, Filsafat Islam;dari Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2013), hlm 237-239
sendiri, terutama pada tataran problematika teoritisnya, kandungan kognitifnya
dan juga substansi ideologisnya.8

Hal ini didasari dengan pandangan beliau terhadap Al-Qur’an, yang mana
beliau menyebutkan dalam pembacan al-Qur’an sendiri harus terdapat objektifitas
dan Rasionalitas,

a. Objektifitas dan Rasionalitas dalam Pembacaan dan Penafsiran Al-Qur’an.


Beliau dikarenakan al-Qur’an menyeru kepada manusia di setiap
zaman dan tempat maka perlu adanya pembaharuan dalam memahami
al-Qur’an setiap masa, hal inilah yang beliau usung dengan menawarkan
metode pembacaan kotemporer terhadap turats, Dalam semangat tersebut
terdapat dua poin utama, yakni obyektifisme dan rasionalisme.

Seprti yang telah disebutkan, terdapat dua prinsip yang harus


ditempuh dalam memahami (baca: manafsirkan) al-Qur’an.
Langkah pertama adalah menjadikan al-Qur’an kontemporer untuk
dirinya sendiri, artinya seorang pembaca harus mampu menemukan
otentisitas teks (al-aṣalah), yaitu kemandirian teks dari segala
bentuk pemahaman terhadapnya, yang terkodifikasi dalam beragam
kitab tafsir dengan jenis dan metode yang beragam pula. Langkah kedua
adalah Pembaca harus menjaga jarak (distanciation) antara dirinya
(selaku subjek) dan materi yang menjadi objek kajian. Tahap ini adalah
dekonstruksi, yaitu membebaskan diri dari asumsi-asumsi apriori
terhadap tradisi dan keinginan-keinginan masa kini.

b. Pendekatan Struktural.

Pendekatan ini dilakukan untuk mendudukkan teks sebagai sebuah


keseluruhan yang diatur oleh kesatuan-kesatuan konstan. Kajian ini
dimaksudkan untuk mengkaji sistem pemikiran yang diproduksi penulis teks
sebagai sebuah totalitas. Dengan kata lain, analisis strukturalis

8
Nurfitriyani Hayati, EPISTIMOLOGI PEMIKIRAN ISLAM “ABED AL-JABIRI DAN IMPLIKASI
BAGI PEMIKIRAN KEISLAMAN,.......hlm 6-7
dilakukan untuk mendapatkan esensi dari maksud pengungkapan teks.
Dalam pendekatan ini, al-Jabiri menggunakan komponen-komponen alat
seperti balaghah, mantik, naḥwu dan lainnya

c. Analisis Historis.
Analisis historis adalah analiasa untuk menemukan
keterkaitan antara realitas dengan teks dengan maksud menemukan unsur
pembentuk teks. Pendekatan ini bertujuan untuk menghubungkan
pemikiran teks dengan konteks historis, budaya, idiologi politik, dan
dimensi sosial yang menaungi teks.
d. Kritik Kronologis

Pendekatan tersebut merupakan pembaharuan fungsi ideologis


(sosio-politis) yang berisi suatu pemikiran tertentu, dengan jalan
mengisi atau diisi, dalam bidang kognitif yang menjadi salah satu
bagiannya9

Kekhasan Tawaran Pemikiran M. Abied al Jabiri


Ketokohan al Jabiri dalam bidang turats tidak perlu diragukan lagi. Ia hadir
sebagai orang yang banyak memberikan pengaruh terhadap revolusi di dunia
Arab. Al-Jabiri menganggap penting kajian historis, dan lebih jauh lagi
menekankan keharusan menghadirkan tradisi atau turats dalam kemasan yang
lebih cocok dengan modernitas. Menanggapi persoalan ”kembali ke tradisi” . Al-
Jabiri berusaha menawarkan suatu pembacaan baru yang berbeda dari yang
lainnya. Dalam pemikirannya itu beliau menuangkannya dalam salah satu
karyanya ”Nahnu wa al-Turats”, yang merupakan kumpulan tulisan yang berasal
dari tahun 1970-an. Di sinilah al-Jabiri menawarkan sebuah metode yang
disebutnya sebagai ”telaah kontemporer” (qira’ah mu’ashirah) terhadap kaitannya
tradisi, yang kemudian diformulasikan dalam sebuah”kritik nalar Arab”.

9
Nurfitriyani Hayati, EPISTIMOLOGI PEMIKIRAN ISLAM “ABED AL-JABIRI DAN IMPLIKASI
BAGI PEMIKIRAN KEISLAMAN, (Yogyakarta : Journal of Islamic & Social Studies, Vol. 3 No. 1
Januari-Juni 2017), hlm 10.
Menurut Beliau, turats adalah warisan masa lalu dalam sejarah satu bangsa
berupa tingkah laku, etos kerja, pencapaian budaya, dan karya-karya ilmiah. Di
antara peninggalan klasik yang dirangkum dalam turats ini, menurut al-Jabiri,
peninggalan ilmiahlah yang paling penting dan paling berpengaruh dalam
menentukan budaya dan peradaban suatu bangsa. Selama warisan ilmiah menjadi
unsur yang terpenting, dan warisan tersebut tertulis dalam bentuk teks, pertanyaan
yang diajukan oleh al-Jabiri adalah, ”bagaimana membaca teks-teks tersebut?”
Berdasarkan persoalan tersebut di atas, tentang dialektika pembaca dan
bacaan, dan tentang siapa pemegang otoritas, menurut al-Jabiri, ada tiga model
bagaimana turats itu harus disikapi.
Pertama, metode telaah tradisi dalam kerangka tradisi itu sendiri (qira’ah
turatsiyyah li al-turats). Metode ini tidak disetujuinya karena wataknya yang
ahistoris sehingga tidak mampu menjaga jarak bahkan hanyut ditelan oleh tradisi
itu sendiri.
Metode kedua adalah metode kaum orientalis (qira’ah istisyraqiyyah)
yang mencoba melihat tradisi Islam sebagai kelanjutan dari tradisi Kristen dan
tradisi Yunani, atau mencoba melihat tradisi sebagai fakta-fakta sejarah yang tidak
ada kaitannya dengan kekinian kaum Muslim. Metode ini juga ditolak oleh al-
Jabiri karena mengabaikan orisinalitas tradisi Islam dan relevansinya bagi
kehidupan kaum muslim.
Metode yang ketiga, yakni membaca turats dengan kerangka modernitas
yang dianggapnya dapat membebaskan seorang penelaah dari kelemahan-
kelemahan dua metode di atas, yakni kelemahan-kelemahan yang diakibatkan
oleh wataknya yang ahistoris dan kelemahan karena terputus dengan kekinian
kaum muslim.
Pemikiran tokoh teoritis turats ini dianut oleh beberapa tokoh, tak
terlewatkan tokoh asal Indonesia. Ahmad Baso menganggap bahwa, teori-teori al
Jabiri dalam kritik turats banyak mepengaruhi pemikiran ketua PBNU saat ini
yakni Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA., ketika mengkritik konsep aswaja dan
kajian Islam lainnya10. Dimana al-Jabiri menawarkan tiga pendekatan; pendekatan
historisitas (tarikhiyyah), objektifitas (maudluiyyah) dan kontinuitas
(istimrariyyah). Pendekatan pertama dan kedua sama-sama bertujuan untuk
pemisahan antara pembaca dan objek, sementara pendekatan ketiga bertujuan
untuk menghubungkan pembaca dengan objek bacaannya. Bentuk pemisahan
dalam bentuk pertama dan kedua bertujuan menempatkan tradisi sebagai objek
kajian kritis. Hal ini penting dilakukan sebab, menurut al Jabiri, ketika membaca
tradisi seseorang terkadang menyelinapkan subjektifitasnya demi kepentingan
tertentu.

Konteks Dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Menurut M. Abied Al-Jabiri


Dalam konteks kajian al Quran, al-Jabiri terlihat hati-hati dalam
menangkap setiap pesan yang ada dalam teks al Quran dengan melihat asbab al
nuzul sebelum melangkah pada tataran kebahasaan. Konsep penertiban tafsir
sesuai asbab al nuzul adalah sebuah bukti bahwa al Jabiri tidak ingin terjebak pada
hirarki keilmuan produk penguasa. Dengan demikian, al Jabiri menawarkan
pendekatan baru yang telah banyak dikesampingkan oleh para mufassir terdahulu.
Selain itu, dimensi rasionalitas dalam pembacaan teks menurutnya sangat perlu
untuk diperhartikan supaya al Quran mampu berdialektika dengan audiens tanpa
tersekat oleh ruang dan waktu.
Sebagai metode memahami al Quran, al Jabiri menawarkan teorinya yakni
menjadikan al-Qur’an relevan untuk konteksnya pada masa lalu dan juga pada
konteks kontemporer.11 Dengan pendekatan tersebut, diharapkan dapat mengikis
kecenderungan sebagian kalangan yang sering menafsirkan al Quran secara
tekstual dan a historis. Lahirnya pandangan ini karena maraknya fenomena
politisasi al Quran oleh beberapa kalangan demi tujuan ideologis maupun politis
tanpa melihat konteks historis pada saat diturunkan. Politisasi teks-teks al Quran
(tasyis al nushush) merupakan bentuk reduksi terhadap otentisitas kandungan al

10
M. Abied Al-Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam. Terjemah. Ahmad Baso, (Yogyakarta:
LkiS, 2005), hlm. 13.
11
M. Abied Al-Jabiri, al-Turats wa al Hadatsah, Dirasat wa al-Munaqasat, (Beirut:
Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyyah, 1993), hlm. 12.
Quran. Dari tawaran pendekatan pembacaan tersebut, al Jabiri berharap agar
sebuah penafsiran konsen terhadap konteks sosio-historis al Quran. Pendekatan ini
dengan sendirinya akan meminimalisir reduksi makna. Kemudian setelah
melakukan pembacaan historis, penafsir hendaknya mengaktualisasikan makna
teks sesuai dengan kebutuhan kontemporer.
Al Jabiri dalam berbagai bukunya tentang al Quran maupun Tafsirnya
memang tidak pernah mengutip tokoh-tokoh hermeneutika Barat, seperti
Gadamer, Hebermes, Schleiermacher atau yang lainya, namun dengan
mengangkat teori yang diusungnya tadi nampaknya hermeneutika al Jabiri
tergolong pada kedua corak hermeneutika yakni hermenutika theory dan
hermeneutika philosophy , dalam ranah hermeneutika teoritis al Jabiri tampak
dengan konsep titik tekan historisitas al Quran dengan konsep asbab al nuzulnya
dalam membedah kandungan al Quran, sedangkan dalam sisi yang lain al Jabiri
masih mengakui keazalian al Quran yang notabene menjadi wilayah hermeneutika
filosofis.12 Dalam buku tafsirnya “Fahm al Quran al Hakim” al Jabiri memulai
tafsirnya dengan surat al Alaq. Langkah ini sesuai konsep yang diusungnya dalam
memahami teks al Quran, sesuai asbab al nuzul.
‫ا‬rr‫انَ َم‬r ‫ َعلَّ َم ااْل ِ ْن َس‬٤ ‫ الَّ ِذيْ َعلَّ َم بِ ْالقَلَ ۙ ِم‬٣ ‫ اِ ْق َرْأ َو َربُّكَ ااْل َ ْك َر ۙ ُم‬٢ ‫ق‬
ٍ ۚ َ‫ق ااْل ِ ْن َسانَ ِم ْن َعل‬ َ ِّ‫اِ ْق َرْأ بِاس ِْم َرب‬
َ ۚ َ‫ك الَّ ِذيْ َخل‬
َ َ‫ َخل‬١ ‫ق‬
٥ ‫لَ ْم يَ ْعلَ ۗ ْم‬
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan!. Dia
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmulah Yang
Mahamulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan
manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Sebelum melangkah pada tataran pentafsiran, al Jabiri terlebih dahulu
memberikan penjelasan kenapa surat yang pertama ini diawali dengan perintah
menyebut nama Tuhan. Al Jabiri berusaha menampilkan sisi historisitas untuk
menjawab teka-teki ini dengan pendekatan konteks budaya dan tradisi masyarakat
Arab kala itu yang membiasakan menyebut salah satu nama Tuhan mereka ketika
hendak beraktifitas, semisal demi nama Lata, demi nama Uzza, dan lain

12
Kurdi dkk, Hermeneutika al-Quran dan al Hadits, (Yogyakarta: eLSAQ, 2010), hlm.
107.
sebagainya. pada tataran ini al Jabiri berhasil mengaplikasikan teorinya ja’lu al
Quran mu’assiran lahu, dengan membedah teka-teki dengan analisa konteks saat
turun. al Jabiri pun menyitir sebuah hadits peristiwa perjanjian Hudaibiyah kala
Nabi memerintahkan Ali bin Abi Talib untuk menuliskan isi perjanjian (al Jabiri,
2008: 21).13
Kemudian melangkah pada kandungan arti al Jabiri menguraikan bahwa
kandungan lima ayat ini menetapkan aqidah Islam dengan bertumpu pada
perenungan dua dasar: yaitu menciptakan dan mengajar), kemudian
mengaitkannya pada satu obyek yaitu manusia, yang dikehendaki disini adalah
Nabi Muhammad SAW. Setelah itu mengaitkanya lagi dengan aktifitas sehari-hari
yang difahami dari:
٥ ‫ َعلَّ َم ااْل ِ ْن َسانَ َما لَ ْم يَ ْعلَ ۗ ْم‬٤ ‫الَّ ِذيْ َعلَّ َم بِ ْالقَلَ ۙ ِم‬
Yang berarti: “bertabarruklah wahai Muhammad, dengan nama Tuhanmu,
dan ketahuilah bahwa Tuhanmu yang menurunkan wahyu kepadamu adalah
Tuhan yang menciptaakan dari darah yang ada dalam rahim ibumu yang dicampur
oleh air sperma ayahmu. Ketahuilah juga bahwa Dia sendirilah yang mengajarkan
dengan perantara kalam dan mengajarkan kepadamu halhal yang belum kamu
ketahui” (al Jabiri, 2008: 22)
Kemudian al Jabiri lebih dalam mengurai hubungan antara penciptaan dari
segumpal darah dengan men-jar-kan dengan Qalam, menurutnya hubungan ini
akan dapat ditilik jika kita merujuk kembali pada tradisi pada masa ayat ini
diturunkan. Ia pun mengajak pembaca untuk menilik hadits Nabi SAW tentang
mimpi didatangi Jibril sambil membawa bejana dari dibaj. Dalam mimpi itu Nabi
SAW disuruh untuk membaca, dan Nabi pun berkata tidak dapat membaca.
Peristiwa itu sebagai simbol bahwa Nabi SAW kelak akan mengemban wahyu,
dan inilah yang dimaksud dengan “yang mengajar manusia” dalam ayat al Alaq
tersebut. Jadi, menurut hemat al Jabiri ayat ini berbicara khusus kepada Nabi
Muhammad SAW semata.14

13
M. Abied Al-Jabiri, Fahm al-Qur’an al-Hakim: at-Tafsir al-Wadhih hasb Tartib an-
Nuzul, (Maroko: Dar al-Baida’, 2008), hlm. 22.
14
Ibid, hlm. 23.
Dari sekilas uraian di atas, al Jabiri tampak dengan lihai mengaitkan ayat
dengan kondisi kala itu, kemudian menganalisa dari tinjauan historis sehingga
pada akhirnya benar-benar dapat ditangkap pesan di dalamnya.
Kesimpulan
Muhammad Abid al-Jabiri, seorang pemikir kontemporer kelahiran
Maroko yang akrab dengan khazanah tradisi Islam klasik dan tradisi pos-
strukturalisme Prancis memberikan alternatif pemikiran atas cara pandang
terhadap tradisi (turats) dengan perangkat paradigmatik yang relatif baru pula,
minimal pada wacana keagamaan dalam pemikiran Arab kontemporer. Menurut
al-Jabiri tradisi (turats) adalah; sesuatu yang hadir dan menyertai kita, yang
berasal dari masa lalu, atau bisa dikatakan segala yang secara asasi berkaitan
dengan aspek pemikiran dalam peradaban Islam, mulai dari ajaran doktrinal,
syari’at, bahasa, sastra, seni, kalam, dan tasawuf.
Dalam mengkaji permasalahan tradisi (turats), menurut al-Jabiri haruslah
menggunakan metode yang tepat, dengan tujuan menumbuhkan pandangan yang
jernih atas materi tersebut sebagaimana adanya tanpa pengaruh apapun juga, pada
intinya harus bersifat obyektif dengan tujuan menjaga jarak antara subyek
pengkaji dengan obyek kajian, sehingga menghasilkan padangan yang rasional,
karena menurut al-Jabiri tanpa adanya pandangan yang rasional, tidak akan
mencapai sesuatu yang obyektif.

DAFTAR PUSTAKA
Abied Al-Jabiri. M., al-Turats wa al Hadatsah, Dirasat wa al-Munaqasat,
(Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyyah, 1993).
Abied Al-Jabiri. M. Post-Tradisionalisme Islam. Terjemah. Ahmad Baso,
(Yogyakarta: LkiS, 2005).
Baso. Ahmad, “Pengantar”, dalam Muhammad Abed al-Jabiri “Post-
tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: LKIS, 2000),
Hayati. Nurfitriyani, EPISTIMOLOGI PEMIKIRAN ISLAM “ABED AL-JABIRI
DAN IMPLIKASI BAGI PEMIKIRAN KEISLAMAN, (Yogyakarta : Journal
of Islamic & Social Studies, Vol. 3 No. 1 Januari-Juni 2017).
Kurdi dkk, Hermeneutika al-Quran dan al Hadits, (Yogyakarta: eLSAQ, 2010).

Saputra. Happy, Reaktualisasi Tradisi Menuju Transformasi Sosial: STUDI


PEMIKIRAN MUHAMMAD ABID AL-JABIRI, ( Jurnal: Substantia, Vol.
18, No. 1, 2016 )
Soleh. Khudri, Filsafat Islam;dari Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2013),

Anda mungkin juga menyukai