Anda di halaman 1dari 13

Mata Pelajaran: Guru Pembimbing:

Sejarah Kebudayaan Islam Manahan Nasution, M.A

MAKALAH
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN
DI DUNIA ISLAM

DI SUSUN OLEH :
.
.

KEMENAG KAMPAR
MAN 1 KAMPAR
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Pembaharuan dalam bahasa Indonesia seringkali disebut dengan
"Modernisasi atau modernism". Pembaharuan sendiri bermakna menyesuaikan
dan mengubah aliran, pikiran, gerakan paham, adat istiadat, institusi lama dan lain
sebagainya dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern.

Pembaharuan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham


keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Dalam bahasa Arab, gerakan pembaharuan
Islam disebut "Tajdid", secara harfiah tajdid berarti pembaharuan dan pelakunya
disebut Mujaddid.1

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia islam,


terutama sesudah pembukaan abad kesembilan belas, yang dalam sejarah islam di
pandang sebagai permulaan periode modern.

Kontak dengan dunia barat selanjutnya membawa ide ide baru kedunia
islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya.
Semua ini menimbulkan persoalan persoalan baru, dan pemimpin pemimpin
islam mulai memikirkan cara mengatasi persolan persoalan baru tersebut.

Sebagai hal di barat, di dunia islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk
menyesuaikan faham faham keagamaan islam dengan perkembangan baru yang
ditimbulkan kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi modern. Dengan jalan
demikian pemimpin-pemimpin islam modern mengharap akan dapat melepaskan
umat islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.

1
Nasution, H. 1991. Pembaharuan dalam islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : Bulan
Bintang.
Secara garis besarnya sejarah Islam dapat di bagi kedalam tiga periode besar
yaitu periode klasik, periode pertengahan dan modern. Pemikiran dan usaha
pembaharuan Islam sebelum periode modern terjadi pada periode pertengahan.

B. Pembahasan Masalah.
1. Muhammad bin Abdul Wahab.
2. Jamaluddin Al Afghani.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Muhammad bin Abdul Wahab.


1. Biografi Muhammad bin Abdul Wahab.
Al-Imam asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali
bin Muhammad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad bin Musrif bin Ummar bin
Mu‟dhad bin Rais bin Zakhir bin Muhammad bin Alwi bin Wuhaib bin Qosim
bin Musa bin Mas‟ud bin Uqbah bin Sani‟ bin Nahsyal bin Syaddad bin Zuhair
bin Syihab bin Rabi‟ah bin Abu Suud bin Malik bin Hanzhalah bin Malik bin
Zaid bin Manah Ibni Tamim bin Mur bin Ad bin Thabikhah bin Ilyas bin Mudhar
bin Nizar bin Ma‟ad bin Ad‟nan1 atau yang biasa kita kenal dengan sebutan
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah salah seorang dari keterunan Bani Tamim.
Beliau juga memiliki nama lain yaitu Syaikh Muhammad at-Tamimi. Beliau
merupakan pembaharu di Arabia, pengikut paham Taimiyah dan bermazhab
Hambali.2

Muhammad bin Abdul Wahhab lahir di negeri Al Uyainah, Nejed, pada


tahun 1115 H/1703 M. Ayah beliau adalah seorang ulama besar dan kakeknya,
Sulaiman adalah alim negeri Nejed pada zamannya. Adapun ibu beliau adalah
Bintu Muhammad bin Azaz al-Musyarrofi al-Wuhaibi at Tamimi. Nasab
Muhammad bin Abdul Wahhab bertemu dengan nasab Rasulullah pada Ilyas bin
Mudhar, terus sampai kepada Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim.3

Saat menginjak usia 10 tahun, Muhammad bin Abdul Wahhab telah mampu
menghafal Alquran, selain itu beliau juga mempelajari ilmu fiqih sampai
mendalam kepada ayah dan paman beliau sampai beliau menjadi sangat matang
dan menguasainya. Kedua orang tua beliau sangat mengagumi kekuatan
hafalannya. Beliau adalah salah seorang yang gemar menuntut ilmu.

Membaca kitab-kitab tafsir, hadis dan ushul adalah salah satu kebiasaan
yang beliau lakukan baik disiang maupun malam hari. Tidak berhenti sampai
2
Asmuni, MY. 1996. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. h : 58.
3
Ruray. Salafi Antara Tuduhan dan Kenyataan,. h : 29.
disitu, beliau juga mampu menghafal berbagai macam matan (semacam rumusan)
ilmiah dalam berbagai bidang ilmu. Salah satu matan yang beliau hafal dalam
bahasa Arab adalah Matan Alfiyyah Ibni Malik. Saat belajar dengan ayah dan
pamannya, beliau telah membaca kitab-kitab besar dalam mazhab Hambali seperti
Asy-Syarhul Kabir, Al-Mughni dan Al-Inshof. Pada masa itu pula beliau banyak
membaca kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya al-Allahmah
Ibnu Qoyyim rahimahumallah.4

Sesaat setelah istrinya meninggal, beliau kembali melanjutkan perjalanan


untuk menuntut ilmunya ke wilayah Kurdisan. Beliau hanya menetap selama satu
tahun di wilayah tersebut. Setelah itu beliau kembali melakukan perjalanan di
Hamadan dan menetap disana selama 2 tahun dan pernah pula berkunjung ke
Isfahan, Qum (Iran). Muhammad bin Abdul Wahhab meninggal pada 29 Syawal
1206 H (1793M). Beliau meninggal dalam usia 91 tahun. Makam beliau terdapat
di Dar‟iyah (Najed).

2. Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab.


Awal munculnya pemikiran pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahhab
adalah ketika beliau mulai cemas melihat fenomena keagamaan yang terjadi di
masyarakat yang banyak melenceng dari ajaran Alquran dan Hadis terlebih di
wilayah yang telah disinggahi beliau selama beliau menuntut ilmu di berbagai
negeri. Beberapa fenomena keagamaan yang terjadi adalah kesyirikan, khurafat
dan bid‟ah. Begitu pula tentang sikap mereka dalam mengkultuskan kubur, yang
mana hal ini sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam. Di Madinah, beliau
mendengar permohonan tolong (istighosah) kepada Rasulullah, serta berdoa
(memohon) kepada selain Allah, yang sesungguhnya bertentangan dengan
Alquran dan sabda Rasulullah.5

Pemikiran yang dikemukakan Muhammad bin Abdul Wahhab adalah upaya


memperbaiki kedudukan umat Islam terhadap paham tauhid yang terdapat
dikalangan umat Islam saat itu. Karena pada saat itu paham tauhid masyarakat

4
Ibid., 30.
5
Muhammad bin Jamil Zainu. 2014. Jalan Golongan yang Selamat (terj. Ainul Haris Umar
Arifin). Jakarta : Darul Haq. h : 63.
sudah banyak tercampuri dengan paham ajaran-ajaran tarekat yang mulai tersebar
di dunia Islam sejak abad ke-13.

Mengutip dari buku Bersikap Adil Kepada Wahabi yang menjelaskan


beberapa prinsip dasar yang digunakan Muhammad bin Abdul Wahhab dalam
menjalankan misi dakwahnya. Pertama, al-Ilmu (menghidupkan ilmu-ilmu
keislaman). Seperti telah diketahui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab
menggunakan metode dakwah sesuai yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Sebagaimana Nabi Muhammad dan para ulama selalu meletakkan asas
ilmu sebagai pondasi dakwahnya. Hal ini dapat dibuktikan dalam kitab karangan
beliau yang berjudul Al-uṣūl al-Thalathah. Di halaman 13 beliau menuliskan, ilmu
adalah mengetahui secara pasti terhadap sesuatu sesuai hakikatnya. Aplikasi dari
pemikiran ini adalah dengan menyelenggarakan halaqah ilmu, majelis taklim,
daurah, menyelenggarakan madarah diniyah, mendirikan universitas Islam,
menulis risalah, dan lain sebagainya.6

Kedua, at-Tauhid (memurnikan tauhid dan memberantas kemusyrikan).


Sebagaimana pada awal muncul gagasan untuk berdakwah adalah karena melihat
keprihatinan kondisi masyarakat yang mengalami kerusakan moral dan
kehancuran akhlak, maka Muhammad bin Abdul Wahhab menjadikan sikap
memurnikan tauhid dan memberantas kemusyrikan sebagai prisip dakwah beliau.
Prinsip ini juga beliau tulis dalam buku yang berjudul Kitāb al-Tauḥid aladhī
ḥaqāllah „ala al-„abīd. Kedua buku ini lantas menjadi karangan beliau yang paling
dikenal di masyarakat. Kebiasaan masyarakat yang suka mengibadahi kuburan,
meminta pertolongan para ahli kubur, memakai jimat dan mantra, serta
mendatangi dukun Muhammad bin Abdul Wahhab merasa prihatin. Hingga pada
akhirnya beliau memulai dakwahnya dengan menempuh jihad fi sabillah. Sikap
beliau yang seperti itu lantas mengundang celaan, permusuhan, dan kebencian
dari musuhmusuhnya. Akan tetapi pada akhirnya hasil dari itu semua adalah
pulihnya peradaban tauhid dan bersihnya wilayah Kerajaan Saudi dari praktik
kemusyrikan.

6
Al-Utsaimin, Ulasan Tuntas tentang 3 Prinsip Pokok, 13.
Ketiga, as-Sunnah (menghidupkan sunnah dan memberantas bid‟ah). Selain
gencar dalam memerangi kemusyrikan, Muhammad bin Abdul Wahhab juga giat
dalam memberantas amalan-amalan bid‟ah. Karena menurut pandangan beliau,
bid‟ah dapat mengantarkan pelakunya pada kekufuran, misalnya seperti
mengibadahi kuburan, meminta pertolongan (istighatsah) kepada arwah orang
soleh, jin, malaikat, percaya kepada ramalan-ramalan, dukun dan tukang sihir.
Sedangkan dalam amalan sunnah terlihat dari sikap Muhammad bin Abdul
Wahhab seperti memakai gamis putih, memakai penutup kepala, memakai celana
yang panjangnya di atas mata kaki, memanjangkan jenggot, dan lain sebagainya.

B. Jamaluddin Al Afghani.
1. Biografi Jamaluddin Al Afghani.

Jamaluddin Al-Afghani lahir di Asadabad tahun 1254H/1838M dan wafat di


Istambul 1897M. Nama lengkapnya adalah Sayyid Jamaluddin Al-Afghani. Gelar
Sayyid yang disandangnya menunjukkan bahwa beliau berasal dari keturunan
Husein bin Ali bin Abi Thalib, sedangkan Afghani adalah karena dia berasal dari
Afghanistan. Jamaluddin Al-Afghani adalah anak dari Sayyid Safdar al-
Husainiyyah yang memiliki hubungan darah dengan seorang perawi hadist
terkenal yang telah bermigrasi ke Kabul Afganistan. Sayyid Ali At-Turmudzi
yang selanjutnya terhubung dengan Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.7

Ia dididik sejak kecil sampat remaja dilingkungan keluarga yang


bermazhhab Hanafi. Kemudian ia sekolah di Kabul dengan sistem pengajaran
yang konservatif. Selain itu, ia juga mengambil program ekstra kurikuler dalam
bidang filsafat dan ilmu pasti.8 Selanjutnya ia belajar ke India, guna mengikuti
program pendidikan dengan system kontemporer selama lebih dari satu tahun. Di
sinilah untuk pertamakalinya Jamaluddin Al Afghani mengenal sains dan
teknologi modern.9

7
Lewis, Bernard. 1965. The Encyclopaedie of Islam, Vol. III, Nev Edition. E.J Brill London.
8
Ibid.
Masa kecil Jamaluddin Al-Afghani tinggal di Kabul. Dia mempelajari ilmu
aqli dan naqli, juga mahir dalam bidang matematika. Al-Afghani sudah diajarkan
mengkaji Al-Quran oleh ayahnya sendiri, kemudian beranjak dewasa diajarkan
Bahasa Arab dan Sejarah. Kemudian ayahnya mendatangkan seorang guru Tafsir,
Ilmu Hadist dan Ilmu Fiqih yang dilengkapi pula dengan Ilmu Tasawuf dan Ilmu
Ketuhanan. Kemudian, pada usia 18 tahun, Al-Afghani tidak hanya menguasai
cabang Ilmu Keagamaan saja, akan tetapi dia juga mendalami Ilmu Falsafah,
Hukum, Sejarah, Fisika, Kedokteran, Sains, Astronomi, dan Astrologi. Beberapa
orang guru Al-Afghan adalah Aqashid Sadiq dan Murtadha Al Anshori.10

Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, Jamaluddin Al-Afghani mulai


melakukan aktivitas pertualangan politiknya dengan mengunjungi Hijaz dan
menunaikan ibadah haji ke Mekah. Setelah kembali dari menunaikan ibadah haji,
ia segera melakukan aktivitas politiknya di Afganistan. Namun perjuangan
politiknya di negeri ini kurang menguntungkan lalu ia terpaksa meninggalkan
negeri kelahirannya, berkelana menuju berbagai negara Islam dan Eropa, guna
mewujudkan ide-ide pembaharuannya. Untuk itu ia mengunjungi India, Mesir,
Inggris, Perancis, Rusia, dan Turki Usmani. Akhirnya di Istambul Turki pada usia
59 tahun, tanggal 9 Maret 1897 Masehi ia menghembuskan nafasnya yang
terakhir, dengan meninggalkan nama besar dan sejumlah pemikiran
pembaharuannya bagi dunia Islam.

Jamaluddin Al-Afghani telah tiada, ia meninggalkan karya besar yang


digemari dan dikagumi baik Timur maupun Barat. Dia menulis buku “Al-Raddu
‘ala al-Dahriyin”, menerbitkan majalah “Al-Urwat al-Wusqa” dan mendirikan
partai Hizbul Wathan di Mesir tahun 1879 M.

2. Pemikiran Jamaluddin Al Afghani.

Abad ke 19 hingga abad ke 20 merupakan suatu momentum dimana umat


Islam memasuki suatu gerbang baru, gerbang pembaharuan. Fase ini kerap disebut

10
Nasution, H. 1975. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan
Bintang.
sebagai abad modernisme, suatu abad dimana umat diperhadapkan dengan
kenyataan bahwa Barat jauh mengungguli mereka. Keadaan ini membuat berbagai
respon bermunculan, berbagai kalangan Islam merespon dengan cara yang
berbeda berdasarkan pada corak keislaman mereka. Kalangan ini menyakini
Islamlah yang terbaik dan umat harus kembali pada dasar-dasar wahyu, kalangan
ini kerap disebut dengan kaum revivalis.

Sejumlah pemikir keagamaan muncul diantaranya Jamaluddin Al-Afghani


dan Muhammad Abduh yang berusaha menghidupkan kembali kalam dan
menambahkan ketertinggalan dengan menampikan tesis baru, serta berusaha
menyelesaikan beberapa masalah yang muncul di kalangan umat Islam yang
diakibatkan oleh peradaban modern.11

Abad modernisme Islam yang ditandai dengan dominasi Eropa, dimana


dominasi Eropa atas dunia Islam, khususnya di bidang politik dan pemikiran ini
ditanggapi dengan beragam cara sehingga melahirkan kalangan modernis dan
fundamentalis.

Berbicara abad pembaharuan dalam Islam, maka tak lepas dari seorang
tokoh yang merupakan sosok penting dalam pembaharuan Islam, Jamaluddin Al-
Afghani, seorang pembaharu yang memiliki keunikan, kekhasan, dan misterinya
sendiri. Berangkat dari pembagian corak keIslaman di atas, Afghani menempati
posisi yang unik dalam menanggapi dominasi Barat terhadap Islam. Di satu sisi,
Afghani sangat moderat dengan mengakomodasi ide-ide yang datang dari Barat,
ini dilakukannya demi memperbaiki kemerosotan umat. Namun di lain sisi,
Afghani tampil begitu keras ketika itu berkenaan dengan masalah kebangsaan atau
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keIslaman. Alhasil, Afghani memijakkan
kedua kakinya di dua sisi berbeda, ia seorang modernis tapi juga fundamentalis.
Afghani adalah puncak dari kalangan modernis dan fondasi bagi kalangan
fundamentalis.12

Dengan segenap kesadaran dan semangat intelektual serta tanggung jawab


sebagai seorang muslim, ia hadir demi menegakkan nasionalisme, patriotisme
11
Amin, H A. 2000. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya.
12
Black, Antony. 2006. Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Serambi.
serta yang paling utama adalah izzul (kemuliaan) Islam. Ia berusaha menyadarkan
masyarakat muslim yang masih sakau dalam mengenang kejayaan Islam di masa
lalu, padahal dihadapan mereka berdiri kekuatan besar imperialisme Barat yang
telah menghadang. Menurutnya, sudah selayaknya Islam bangkit dan melakukan
gerakan intelektual ke depan mengikuti gerak pengetahuan modern.

Diperlukan perubahan radikal dalam pandangan umat, kecenderungan


kepada keyakinan tradisional yang kaku harus ditransformasi pada keterbukaan
pikiran dan rasionalisme yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut
Al-Afghani menekankan akan semangat pengetahuan yang kala itu sedang redup
di dunia Islam dan malah bersemi di dunia Barat. Semangat yang ada di dunia
Barat ini selaras dengan nilai-nilai Islam sejati yang seharusnya juga bersemi di
kalangan masyarakat muslim. Dengan demikian demi terealisasinya keinginannya
dalam memajukan Islam, setidaknya terdapat dua keadaan yang mesti dilakukan
oleh umat Muslim:13

a. Perubahan radikal signifikan dalam pola pikir mengenai ilmu


pengetahuan dari yang sebelumnya bercirikan kekakuan kepada
keterbukaan dan rasionalisme.
b. Perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan yang dilakukan oleh
imperialisme Barat.

Berkenaan dengan keadaan yang kedua, hal ini dapat kita lihat dari berbagai
aktivitas yang ia lakukan, baik melalui tulisan-tulisannya atau pun melalui
dakwah-dakwah yang ia sampaikan di berbagai belahan negara. Pada setiap
negara yang ia pernah tinggal di sana, ia selalu menyerukan nasionalisme (terlepas
dari agama yang dianut oleh suatu Negara). Di India misalnya yang kala itu
sedang mengalami kondisi kritis (yakni berada di bawah kolonialisme Inggris), ia
lebih mendukung nasionalisme urdu ketimbang Islam, karena tidak ada
kebahagiaan selain dalam kebangsaan, dan tidak ada kebangsaan selain dalam
bahasa. Dengan demikian yang menjadi inti dari seruannya adalah perlawanan
terhadap imperialism barat.

13
Ibid.
Walaupun demikian di Afghanistan dan Mesir yang juga berada di bawah
Imperialisme Barat, yakni Inggris. Usahanya dalam menghapus intervensi asing
akhirnya harus kandas, karena kedua penguasa di dua negara Islam tersebut
berada di bawah bayang-bayang mereka yang akhirnya membuatnya tersingkir
serta terusir. Kendati demikian, ia tidak patah semangat, melalui gerakan
intelektual yang ia adakan di rumahnya sewaktu ia berada di Mesir, ia berdakwah
serta berdiskusi dengan para cendekiawan, mahasiswa, serta tokoh-tokoh gerakan.
Begitu juga dengan yang ia lakukan di Paris (Prancis) dengan mendirikan suatu
organisasi, al-Urwatul Wutsqa. Organisasi ini menerbitkan jurnal yang berisi
seruan kepada umat muslim agar bersatu serta meninggalkan jubah fanatisme
kelompok dan menolak penjajahan, menepis berbagai propaganda Barat terhadap
dunia Islam yang menghasut kaum muslim agar meninggalkan Islam karena
selama seseorang masih berpegang teguh pada suatu agama niscaya ia tidak akan
bangkit dari keterpurukan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan.
Berdasarkan penjelasan yang telah dibahas diatas maka dapat disimpulkan
bahwa Pemikiran yang dikemukakan Muhammad bin Abdul Wahhab adalah
upaya memperbaiki kedudukan umat Islam terhadap paham tauhid yang terdapat
dikalangan umat Islam saat itu. Karena pada saat itu paham tauhid masyarakat
sudah banyak tercampuri dengan paham ajaran-ajaran tarekat yang mulai tersebar
di dunia Islam sejak abad ke-13.

Sedangkan pemikiran yang dikemukakan oleh Jamaluddin Al Afghani


adalah merealisasikan keinginannya dalam memajukan Islam, yaitu dua hal yang
mesti dilakukan oleh umat Muslim:
1. Perubahan radikal signifikan dalam pola pikir mengenai ilmu pengetahuan
dari yang sebelumnya bercirikan kekakuan kepada keterbukaan dan
rasionalisme.
2. Perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan yang dilakukan oleh
imperialisme Barat.

B. Saran.
Berdasarkan pembahasan di atas penulis menyarankan agar masyarakat
muslim pada masa sekarang tidak meninggalkan ajaran yang telah diajarkan oleh
Islam selama ini, dan sebaiknya kita melndaskan diri kepada ayat-ayat Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Utsaimin, Ulasan Tuntas tentang 3 Prinsip Pokok, 13.

Amin, H A. 2000. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung : Remaja


Rosdakarya.

Asmuni, MY. 1996. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam
Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. h : 58.

Black, Antony. 2006. Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Serambi.

Lewis, Bernard. 1965. The Encyclopaedie of Islam, Vol. III, Nev Edition. E.J
Brill London.

Muhammad bin Jamil Zainu. 2014. Jalan Golongan yang Selamat (terj. Ainul
Haris Umar Arifin). Jakarta : Darul Haq. h : 63.

Nasution, H. 1991. Pembaharuan dalam islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan.


Jakarta : Bulan Bintang.

1975. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan.


Jakarta: Bulan Bintang.

Ruray. Salafi Antara Tuduhan dan Kenyataan,. h : 29-30.

Anda mungkin juga menyukai