Dosen Pengampu :
Drs. Edi Mulyadi, M.pd
Disusun oleh :
Kelompok 1
Administrasi Bisnis 3B
ADMINISTRASI BISNIS
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI
Tahun Ajaran 2020/2021
A. Kemajuan Peradaban Islam Di Berbagai Bidang
2. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten Al-
Buhairah, Mesir. Pada tahun1850 M/1266 H, berasal dari keluarga yang tidak tergolong
kaya dan bukan pula keturunan bangsawan. Nama lengkap beliau adalah Muhammad
bin abduh bin hasan khairullah. Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan keluarga
dari petani di pedesaan. Namun, ayahnaya dikenal sebagai orang yang terhormat dan
suka memberi pertolongan di desanya. Semua saudaranya Muhammad Abduh
membantu ayahnya untuk mengelola usaha pertanian. Tapi Muhammad Abduh di
tugaskan oleh ayahnya untuk menuntut ilmu pengetahuan. Mungkin karena Muhammad
Abduh sangat dicintai oleh kedua orang tuanya, sehingga dia disuruh menuntut ilmu.
Pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh
a) Ijtihad
Menurut Muhammad Abduh ijtihad adalah hakikat hidup dan keharusan
pergaulan manusia. Karena kehidupan terus berproses dan berkembang maka
ijtihad merupakan alat ilmiah. Serta pandangan yang diperlukan untuk
menghampiri berbagai segi kehidupan yang baru dari segi ajaran Islam. Agar kelak
kita tidak terisolasi oleh pemikiran ulama tempo dulu. Ijtihad menurut Muhammad
Abduh, tidak hanya boleh bahkan perlu dilakukan. Tapi, menurut dia bukan berati
setiap orang boleh berijtihad. Hanya orang-orang tertentu dan memenuhi syarat
untuk melakukan ijtihad lah yang boleh melakukan ijtihad tersebut. Ijtihad
dilakukan langsung terhadap Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber dari ajaran
Islam.
b) Modernisasi Pendidikan
Dalam melakukan modernisasi pendidikan Muhammad Abduh berusaha
menggabungkan antara ilmu umum dan ilmu agama. Dia tidak menuntut adanya
pemisah antara dua ilmu tersebut. Hal ini didasarkan atas kesadarannya akan
pentingnya ilmu pengetahuan sebagai sumber kekuatan dalam menghadapi
tantangan di era modern. Modernisme dalam bidang pendidikan merupakan bagian
terpenting dari modernisme sosial, ekonomi, dan politik. Maksudnya untuk
membangun suatu tatanan masyarakat yang modern, maka pendidikan merupakan
saranan yang amat penting. Untuk sebagai media transformasi nilai budaya
maupun pengetahuan.
3. Jamaluddin Al-Afghani
Jamaluddin Al-Afghani dilahirkan As’adabad dekat Kanar di Distrik Kabul,
Afghanista, pada tahun 1838 M (1254 H). Masa kecilnya dia habiskan untuk belajar Al-
Qur’an. Hingga Pada usia 8 tahun Jamaluddin Al-Afghani telah memperlihatkan
kecerdasannya yang sangat luar biasa. Dia sangat tekun mempelajari bahasa Arab,
sejarah, matematika, filsafat, dan ilmu-ilmu keislaman. Hingga akhirnya Jamaluddin
Al-Afghani dikenal karena kejeniusannya dalam ensiklopedia.
Sejak tahun 1897, Jamaluddin Al-Afghani merupakan salah satu tokoh yang
pertama kali menyatakan kembali tradisi Islam. Dengan cara yang sesuai beserta
berbagai masalah penting yang muncul akibat westernisasi. Yang semakin mengusik
dunia Timur Tengah di abad-19. Dengan menolak tradisionalis murni yang
mempertahankan warisan Islam secara tidak kritis disatu pihak. Dan peniruan membabi
buta terhadap budaya barat dilain pihak.
Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani
Konsep pemikiran Jamaluddin Al-Afghani bermula dari perjalanan panjang
dalam melaungkan perubahan diberbagai negeri Islam. Yang umumnya mempunyai
permasalahan umum, yaitu mengalami penjajahan, keterbelakangan pendidikan serta
dekadensi akidah. Awalnya Jamaluddin Al-Afghani memperjuangkan Nasionlisme
tanah air (bersifat kedaerahan). Kemudian berubah menjadi Pan Islamisme (Jamia
Islamiyah) yang berasaskan pada kesatuan politik dan kekuasaan. Namun akhirnya Pan
Islamiyah ditujukan pada nasionalisme agama dan nasionlisme tanah air.
4. Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot pada 22 februari 1873. Dia lahir dari
keluarga yang nenek moyangnya berasal dari lembah Kashmir. Beliau memulai
pendidikannya kepada ayahnya sendiri yang bernama Nur muhammad, Ayahnya ini
dikenal sebagai seorang ulama’. Setelah menamatkan sekolah dasar di Kampungnya,
Muhammad Iqbal ini melanjutkan perjalananya ke Lahore. Di kota ini dia mendapatkan
binaan dengan jiwa muda yang berhati baja oleh maulana mir hasan. Seorang ulama’ di
Lahore yang merupakan teman ayahnya.
Ulama’ ini memeberikan dorongan dan semangat yang mewarnai jiwa
muhammad iqbal dengan ruh agama. Yang senantiasa bersemayam dalam jiwa,
menggelora dalam hati dan menentukan gerak, langkah dan tujuan arah. Selain itu
dikota ini Muhammad Abduh juga bergabung dengan perhimpunan satrawan yang
sering diundang musya’arah. Dalam perhimpunan ini, dimana sastra Urdu berkembang
pesat dan bahasa Persia semakin terdesak. Pada usia mudanya Muhammad Iqbal
membacakan sajak-sajaknya. Selanjutnya Muhammad Iqbal juga memberanikan
dirinya. Untuk membacakan sajaknya tentang Himalaya dihadapan para anggota
terkemuka organisasi sastra di Lahore. Setelah membacakan sajak-sajaknya, namanya
semakin terkenal dan menjadi sangat populer di seluruh tanah air. Sajak-sajaknya juga
dimuat dalam majalah Maehan, suatu majalah bahasa Urdu.
Pemikiran Muhammad Iqbal
Sebagai seorang yang berjiwa idealis serta berhati patriot. Muhammad Iqbal
senantiasa menyalakan semangat idelisme kedalam hati pemuda muslim. Diantara
pemikiran-pemikiran Muhammad Iqbal yang menarik adalah tentang pentingnya arti
dinamika dalam hidup. Tujuan akhir setiap manusia adalah hidup, keagungan,
kekuatan, dan kegairahan. Sehingga semua kemampuan manusia harus berada dibawah
tujuan ini. Dan nilai segala sesuatu harus ditentukan sesuai dengan keahlian yang
dihasilkan.
Menurut beliau, mutu seni yang tinggi ialah kualitas yang dapat menggunakan
kemajuan. Yang sedang tidur mendorong manusia untuk menghadapi segala macam
cobaan. Selain itu, suatu kemerosotan yang membuat seseorang menutup mata terhadap
kenyataan disekeliling. Maka itu merupakan sesuatu yang akan menjerumuskan
seseorang kedalam kehancuran dan maut
5. Rasyid Ridha
Rasyid Ridha dilahirkan pada tahun 1865 di Qalamun, suatu desa di Lebanon
yang letaknya tidak jauh dengan kota Tripoli (Suria). Rasyid Ridha adalah murid
Muhammad Abduh yang terdekat. Menurut keterangan dia berasal dari keturunan Al-
Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, dia memakai gelar Al-Sayyid di
depan namanya. Semasa kecil, ia dimasukkan ke Madrasah tradisional di Al-Qalamun
untuk belajar menulis, berhitung dan membaca Al- Qur’an. Pada tahun 1882, dia
meneruskan belajarnya di Madrasah Al-Wataniah Al- Islamiah (Sekolah Nasional
Islam) di Tripoli. Di Madrasah ini, selain dari bahasa Arab diajarkan pula bahasa Turki
dan Perancis,. Dan di samping pengetahuan-pengetahuan agama juga pengetahuan-
pengetahuan modern
Pemikiran Rasyid ridha
Beberapa pemikiran Rasyid Rida tentang pembaruan Islam adalah sebagai berikut :
a) Sikap aktif dan dinamis di kalangan umat Islam harus ditumbuhkan.
b) Umat Islam harus meninggalkan sikap dan pemikiran kaum Jabariyah.
c) Akal dapat dipergunakan untuk menafsirkan ayat dan hadis tanpa meninggalkan
prinsip umum.
d) Umat Islam menguasai sains dan teknologi jika ingin maju.
e) Kemunduran umat Islam disebabkan banyaknya unsur bid’ah dan khurafat yang
masuk ke dalam ajaran Islam.
f) Kebahagiaan dunia dan akhirat diperoleh melalui hukum yang diciptakan Allah Swt.
g) Perlu menghidupkan kembali sistem pemerintahan khalifah.
h) Khalifah adalah penguasa di seluruh dunia Islam yang mengurusi bidang agama dan
politik
i) Khalifah haruslah seorang mujtahid besar dengan bantuan para ulama dalam
menerapkan prinsip hukum Islam sesuai dengan tuntutan zaman.
RESUME
SEJARAH MUHAMMADIYAH
Dosen Pengampu :
Drs. Edi Mulyadi, M.pd
Disusun oleh :
Kelompok 1
Administrasi Bisnis 3B
ADMINISTRASI BISNIS
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI
Tahun Ajaran 2020/2021
A. Faktor Obyektif (kondisi sosial dan keagamaan bangsa Indonesia pada zaman
kolonial)
a. Kristenisasi
Faktor objektif yang bersifat eksternal yang paling banyak mempengaruhi
kelahiran Muhammadiyah adalah kristenisasi, yakni kegiatan-kegiatan yang terprogram
dan sistematis untuk mengubah agama penduduk asli, baik yang muslim maupun
bukan, menjadi kristen. Kristenisasi ini mendapatkan peluang bahkan didukung
sepenuhnya oleh pemerintah Kolonialisme Belanda. Missi Kristen, baik Katolik
maupun Protestan di Indonesia, memiliki dasar hukum yang kuat dalam Konstitusi
Belanda. Bahkan kegiatan-kegiatan kristenisasi ini didukung dan dibantu oleh dana-
dana negara Belanda. Efektifitas penyebaran agama Kristen inilah yang terutama
mengguggah KH. Ahmad Dahlan untuk membentengi ummat Islam dari pemurtadan.
b. Kolonialisme Belanda
Penjajahan Belanda telah membawa pengaruh yang sangat buruk bagi
perkembangan Islam di wilayah nusantara ini, baik secara sosial, politik, ekonomi
maupun kebudayaan. Ditambah dengan praktek politik Islam Pemerintah Hindia
Belanda yang secara sadar dan terencana ingin menjinakkan kekuatan Islam, semakin
menyadarkan umat Islam untuk melakukan perlawanan. Menyikapi hal ini, KH. Ahmad
Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah berupaya melakukan perlawanan terhadap
kekuatan penjajahan melalui pendekatan kultural, terutama upaya meningkatkan
kualitas sumber daya manusia melalui jalur pendidikan.
Faktor Subyektif yang sangat kuat, bahkan dikatakan sbagai faktor utama dan faktor
penentu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman KHA.
Dahlan terhadap Al Qur'an dalam menelaah, membahas dan meneliti dan mengkaji
kandungan isinya. Sikap KHA. Dahlan seperti ini sesungguhnya dalam rangka
melaksanakan firman Allah sebagaimana yang tersimpul dalam dalam surat An-Nisa ayat
82 dan surat MUhammad ayat 24 yaitu melakukan taddabur atau memperhatikan dan
mencermati dengan penuh ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam ayat. Sikap seperti
ini pulalah yang dilakukan KHA. Dahlan ketika menatap surat Ali Imran ayat 104 "Dan
hendaklah ada diantara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang munkar, merekalah orang-orang yang
beruntung".
Memahami seruan diatas, KHA. Dahlan tergerak hatinya untuk membangan sebuah
perkumpulan, organisasi atau persyarikatan yang teratur dan rapi yang tugasnya
berkhidmad pada melaksanakan misi dakwah Islam amar Makruf Nahi Munkar di tengah
masyarakat kita.
C. Biografi dan Profil KH. Ahmad Dahlan
Biografi :
K.H. Ahmad Dahlan merupakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang lahir di
suatu daerah bernama Kauman yang tepatnya berada di Yogyakarta pada tanggal 1
Agustus 1868. Beliau merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara dengan ayah
bernama K.H. Abu Bakar. Ibu beliau bernama Siti Aminah yang merupakan putri dari H.
Ibrahim yang pada masa itu menjabat sebagai penghulu Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat. K.H. Ahmad Dahlan lahir dengan nama kecil Muhammad Darwis. Beliau
adalah generasi ke-12 dari salah seorang walisongo yang terkemuka dalam
mendakwahkan Islam di daerah Gresik yang bernama Maulana Malik Ibrahim.
K.H. Ahmad Dahlan telah menunaikan haji ketika beliau masih berusia 15 tahun dan
menetap di kota Mekah selama 5 tahun. Selama di Mekah, beliau memperdalam ilmu
agama dan juga berinteraksi dengan Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan
Ibnu Taimiyah yang memiliki pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam. Pada tahun
1888 beliau kembali ke kampung halaman dan mengubah nama beliau dari Muhammad
Darwis menjadi Ahmad Dahlan. Beliau kembali ke Mekkah dan menetap selama dua
tahun di sana pada tahun 1903. Selama dua tahun di Mekkah, beliau sempat berguru
kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga merupakan guru dari K.H. Hasyim Asyari, pendiri
NU.
Sekembalinya beliau dari Mekkah pada tahun 1912, beliau mendirikan
Muhammadiyah di kampung halamannya, Kauman, Yogyakarta. Baru pada tahun 1921
Muhammadiyah diberi izin oleh pemerintah untuk mendirikan cabangnya di daerah lain.
Kemudian beliau melakukan banyak usaha besar yang terarah, seperti mendirikan rumah
pengobatan, rumah sakit, panti asuhan, pemeliharaan kaum miskin, sekolah, serta
madrasah setelah Muhammadiyah kukuh berdiri. Sebelum beliau mendirikan
Muhammadiyah, beliau pernah tercatat dalam anggota Boedi Utomo dan Sarekat Islam.
Pada tahun 1896, nama K.H. Ahmad Dahlan menjadi pembicaraan khususnya di
Yogyakarta, karena beliau melakukan pembetulan terhadap arah kiblat pada langgar-
langgar dan masjid-masjid di Yogyakarta. Pada masa itu kebanyakan tempat ibadah
menghadap ke arah Timur dan banyak orang yang melakukan sholat menghadap lurus ke
Barat. Beliau melakukan pembetulan tersebut dengan Ilmu Falak yang beliau kuasai.
Berdasarkan Ilmu Falak tersebut, arah kiblat Pulau Jawa seharusnya condong ke Utara
kira-kira 24,5 derajat.
Dalam perjalanan hidup K.H. Ahmad Dahlan, beliau sempat menikah sebanyak lima
kali. Dari istri pertama beliau yang bernama Siti Walidah yang juga sepupu beliau sendiri,
beliau mendapatkan enam keturunan. Anak-anak beliau dari Siti Walidah adalah
Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah. Istri
pertama beliau, Siti Walidah,juga merupakan seorang Pahlawan Nasional yang juga
pendiri Aisyiyah dan lebih dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan. Dalam pernikahan yang
kedua, beliau menikahi Nyai Abdullah janda dari H. Abdullah. Pernikahan ketiga beliau
dengan adik dari Kyai Munawwir Krapyak yang bernama Nyai Rum. Dari pernikahan
beliau yang keempat dengan Nyai Aisyah Cianjur adik Adjengan Penghulu, beliau
dianugerahi seorang putra yang diberi nama Dandanah. Pernikahan beliau yang terakhir
adalah dengan Nyai Yasin Pakualam Yogyakarta.
K.H. Ahmad Dahlan mengalami gangguan kesehatan sejak tahun 1922 karena
mobilitas beliau yang begitu tinggi. Dengan saran dokter, pada tahun 1923, beliau
menyempatkan diri untuk beristirahat di Gunung Tretes, Malang, Jawa Timur, sebelum
akhirnya beliau kembali ke Yogyakarta untuk menghadiri rapat tahunan Muhammadiyah.
Dalam pembukaan rapat tahunan tersebut, beliau masih sempat untuk memberikan
sambutan. Kesehatan beliau terus menurun hingga akhirnya beliau meninggal pada tanggal
23 Februari 1923 dan dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta, serta diberi gelar
Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Pendidikan : Pendidikan Pesantren
Karir : Pendiri Muhammadiyah
Penghargaan : Pahlawan Nasional
Dosen Pengampu :
Drs. Edi Mulyadi, M.pd
Disusun oleh :
Kelompok 1
Administrasi Bisnis 3B
ADMINISTRASI BISNIS
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI
TAHUN AJARAN 2020/2021
A. Teori Masuknya Islam Di Nusantara
1. Teori Gujarat
Teori ini dikemukaka oleh sejumlah sarjana Belanda, antara lain Pijnappel,
Snouck Hurgronje dan Moquette. Teori ini mengatakan bahwa Islam yang berkembang
di Nusantara buka berasal dari Persia atau Arabia, melainkan dari orang-orang Arab
yang bermigrasi dan menetap di wilayah India dan kemudian membawanya ke
Nusantara. Teori Gujarat ini mendasarkan pendapatnya melalui teori mazhab dan
teori nisan. Menurut teori ini, ditemukan adanya persamaan Mazhab yang dianut oleh
umat Islam Nusantara dengan umat Islam di Gujarat. Mazhab yang dianut oleh kedua
komunitas Muslim ini adalah mazhab Syafi’i. Pada saat yang bersamaan teori mazhab
ini dikuatkan oleh teori nisan, yakni ditemukannya model dan bentuk nisan pada
makam-makam baik di Pasai, Semenanjung Malaya dan di Gresik, yang bentuk dan
modelnya sama dengan yang ada di Gujarat. Karena bukti-bukti itu, mereka
memastikan Islam yang berkembang di Nusantara pastilah berasal dari sana.
2. Teori Bengal
Teori ini mengatakan bahwa Islam Nusantara berasal dari daerah Bengal. Teori
ini dikemukakan oleh S.Q.Fatimi. Teori Bengalnya Fatimi ini juga didasarkan pada
teori nisan. Menurut Fatimi model dan bentuk nisan Malik Al-Shalih, raja Pasai,
berbeda sepenuhnya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat. Bentuk dan model
dari nisan itu justru mirip dengan batu nisan yang ada di Bengal. Oleh karena itu,
menurutnya pastilah Islam juga berasal dari sana. Namun demikian teori nisan Fatimi
ini kemudian menjadi lemah dengan diajukannya teori mazhab. Mengikuti teori
Mazhab, ternyata terdapat perbedaan mazhab yang dianut oleh umat Islam Bengal yang
bermazhab Hanafi, sementara Islam Nusantara menganut Mazhab Syafi’i. Dengan
demikian teori Bengal ini menjadi tidak kuat.
5. Teori Persia
Teori ini mendasarkan pada teori mazhab. Ditemukan adanya peninggalan
mazhab keagamaan di Sumatra dan Jawa yang bercoral Syi’ah. Juga disebutkan adanya
ulama fiqih yang dekat dengan Sultan yang memiliki keturunan Persia.Seorang berasal
dari Shiraz dan seorang lagi berasal dari Lifaham.
6. Teori Mesir
Teori yang dikemukakan oleh Kajizer ini uga mendasarkan pada teori mazhab,
dengan mengatakan bahwa ada persamaan mazhab yang dianut oleh penduduk Mesir
Nusantara, yaitu mazhab Syafi’i. Teori Arab-Mesir ini juga dikuatkan oleh Niemann
dan de Hollander. Tetapi keduanya memberikan revisi, bahwa bukan Mesir sebagai
sumber Islam Nusantara, melainkan Hadramaut. Sementara itu dalam seminar yang
diselenggarakan tahun 1969 dan 1978 tentang kedatangan Islam ke Nusantara
menyimpulkan bahwa Islam langsung datang dari Arabia, tidak melalui dari India.
7. Teori Da’i
Penyebar Islam adalah para guru dan penyebar profesional (para da’i). Mereka
secara khusus memiliki misi untuk menyebarkan agama Islam. Kemungkinan ini
didasarkan pada riwayat-riwayat yang dikemukakan historiografi Islam klasik, seperti
misalnya hikayat raja-raja Pasai (ditulis setelah 1350), sejarah Melayu (ditulis setelah
1500) dan Hikayat Merong Mahawangsa (ditulis setelah 1630).
8. Teori Pedagang
Islam disebarkan oleh para pedagang. Mengenai peran pedagang dalam
penyebaran Islam kebanyakan dikemukakan oleh sarjana Barat. Menurut mereka para
pedagang Muslim menyebarkan Islam sambil melakukan usaha perdagangan.Elaborasi
lebih lanjut dari teori pedagang adalah bahwa para pedagang Muslim tersebut
melakukan perkawinan dengan wanita setempat dimana mereka bermukim dan
menetap.Dengan pembentukan keluarga Muslim, maka nukleus komunitas-komunitas
Muslim pun terbentuk.
Proses perkembangan wilayah Islam Nusantara dapat dilakukan antara lain melalui
beberapa jalur, sebagai berikut :
1) Jalur perdagangan
Para pedagang Muslim dari Arab, Gujarat, Persia yang berdatangan di wilayah
Nusantara umumnya tinggal selama berbulan-bulan di pusat-pusat perdagangan. Sambil
menunggu angina musim yang baik untuk berlayar kembali ke Negara asal,kesempatan
itu dimanfaatkan untuk mengadakan transaksi dengan para pedagang setempat.
2) Jalur Dakwah
Sesuai dengan ajaran agama Islam, setiap Muslim adalah “dai”. Para muballigh,
guru agama Islam mempunyai tugas khusus menyiarkan agama Islam . Keberadaan
mereka secara khusus telah mempercepat rposes berkembangnya wilayah pengaruh
Islam, antara lain melalui strategi mendirikan pesantren Islam. Di Pulau Jawa,
penyiaran agama Islam dilakukan terutama oleh para wali yang dikenal dengan sebutan
Walisongo. Strategi dakwah yang mereka terapkan telah berhasil meluaskan wilayah
pengaruh Islam ke Banjarmasin, Hitu, Ternate, Tidore, serta Lombok.
3) Jalur Perkawinan
Tokoh yang kemudian dikenal Dato’ ri Bandang ini adalah salah seorang tokoh
Ulama asal Minangkabau bernama Abdul Ma’mur Chotib tunggal (abdurrazak Daeng
patunru, Sedjarah Gowa, (Makassar, Jajasan Kebudajaan Sulawesi Selatan,1969). Dua
temannya Chotib Sulaiman yang kemudian bergelar Dato’ ri Pattimang, mengislamkan
daerah Luwu danseorang temannya lagi,chotib Bungsu mengajarakan Tasauf
danmengislamkan daerah Tiro,sehingga ia lebih dikenal dengan nama Dato’ ri Tiro
(Ibid). Nama Dato’ ri Bandang juga dikenal di uton, Selayar, ima,dan Lombok sebagai
penyebar Islam di daeah tersebut disebut Pekojan. Banyak di antara mereka kemudian
menikah dengan anggota masyarakat setempat. Jika wanita yang dinikahinya itu berasal
dari golongan elite, setidaknya akan berpengaruh dan mendukung bagi proses dakwah
Islamiyah terhadap masyarakat.
Nama orang Islam di Indonesia tidak selalu berbahasa Arab, bisa dari bahasa
Sansekrit sebagai pengaruh era Hindu, dan berpendidikan secara modern, Soekarno
contohnya. Seseorang juga tidak mudah melepaskan diri dari pengaruh dan budaya
etnisnya. Intinya pada diri seseorang, apapun agamanya tidak pernah memiliki identitas
yang tunggal, karena sejak lahir ia dibentuk baik secara kesadaran, karakter dan budaya
dalam lingkungan yang dipengaruhi berbagai warisan dan budaya yang multikultural dan
multihistoris.
Kenyataan ini menunjukkan corak-corak keislaman yang beragama di Indonesia.
Karena beragam, para sejarahwan dan peneliti pun berbeda pendapat terkait teori
masuknya Islam ke Nusantara.
Corak keislaman yang tidak tunggal di Nusantara, telah melahirkan sejumlah teori
masuknya Islam dari asal-asal yang berbeda. Paling tidak ada 4 teori asal-usul masuknya
Islam ke Nusantara seperti yang dirangkum oleh Agus Sunyoto dalam “Atlas Wali Songo”.
1. Teori India (Gujarat, Malabar, Deccan, Coromandel, Bengal) hal ini berdasarkan
asumsi persamaan madzhab Syafii, batu-batu nisan dan kemiripan tradisi dan arsitektur
India dengan Nusantara. (Para peneliti yang mengajukan “teori India” seperti JP
Mosquette, C. Snouck Hurgronje dan S.Q. Fatimy).
2. Teori Arab (Mesir dan Hadramaut Yaman), berdasarkan persamaan dan pengaruh
madzhab Syafii. (Para peneliti: John Crawfurd dan Naguib Al-attas)
3. Teori Persia (Kasan, Abarkukh, Lorestan), berdasarkan kemiripan tradisi dengan
muslim Syiah, seperti Peringatan Asyura (10 Muharram), mengeja aksara Arab jabar
(fathah), jer/zher (kasrah), fyes (dhammah), pemuliaan terhadap keluarga Nabi
Muhammad Saw (Ahlul Bayt) dan keturunannya. Penyebutan kata, rakyat (dari
ra’iyyah), masyarakat (musyawarah), serikat (syarikah). (Para peneliti: Husein
Djajadiningrat, Hasjmi dan Aboe Bakar Atjeh).
4. Teori Tiongkok/Cina yang berdasarkan asumsi pengaruh budaya Cina dalam sejumlah
kebudaaan Islam Nusantara, dan sumber kronik dari Klenteng Sampokong di Semarang
(Para peneliti: De Graaf dan Slamet Muljana).
Keragaman teori masuknya Islam ke Nusantara ini bukan menunjukkan mana yang
paling benar tapi keragaman itu sesuai dengan kenyataan keragamaan corak keislaman
yang ada di Nusatara. Sehingga tidak ada satu teori yang monolitik yang bisa mewakili
semua kenyataan yang ada. Pada kenyataannya, baik teori India, Arab, Persia, hingga
Tiongkok bisa didukung dan dibenarkan adanya pengaruh budaya dalam masyarakat
muslim di Nusantara.
Meskipun dipercaya Islam sudah tiba di Nusantara sejak abad ke-7 M dan ditemukan
makam-makam sultan yang merujuk pada abad ke-12, khususnya di Aceh, namun Islam
belum menjadi agama yang mayoritas dipeluk di Nusantara ini.
5. “Neo-Sufisme”
Dalam perkembangan selanjutnya, mulai abad ke-17 M muncul fenomena
pembaruan yang bisa dipahami semacam upaya pemurniaan terhadap “Sistesis Mistik”
ini. Gejala ini berupa ortodoksi keislaman dalam bentuk “neo-sufisme” yang
dipengaruhi telaah hadits, pengaruh ilmu syariat (dalam hal ini fiqih) yang merupakan
bentuk lain dari “sintesis baru” antara tasawwuf dan syariat yang telah didamaikan oleh
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin setelah sebelumnya dua aspek ini
(tasawwuf dan syariat) terjadi pertentangan dan pertarungan misalnya dalam kasus Al-
Hallaj dan Suhrawardi al-Maqtul, dua tokoh sufi yang dihukum mati oleh para ulama
fiqih dengan tuduhan melanggar syariat. Dan untuk kasus tanah Jawa, munculnya
Syaikh Siti Jennar yang dikabarkan dihukum mati oleh para Wali Sanga karena
mengajarkan tasawwuf yang bertentangan dengan syariat.
“Sintesis Mistik” sebagai corak pertama Islam Nusantara merupakan ajaran
tasawwuf “falsafi” yang bersambungan dengan kepercayaan-kepercayaan lokal. Namun
munculnya “neo-sufisme” yang bisa disebut tasawwuf “sunni” yang merupakan
perkawinan silang antara tasawwuf dan syariat (fiqih)—bukan lagi kepercayaan lokal—
yang tokoh-tokoh gerakan “Neo-Sufisme-Syariat” ini berasal dari para pelajar
Nusantara yang baru datang dari Haramayn (Makkah dan Madinah).
Meskipun para pelajar itu ke Haramayn membawa “sistesis mistik” alias corak
pertama Islam Nusantara dari daerah masing-masing, akan tetapi di Haramayn telah
menjadi semacam “melting pot” (panci pelebur) dari tradisi-tradisi “sintesis mistik”
lama dan terbentuklah suatu “sistesis baru” yang condong pada “tradisi besar” (neo-
sufisme: sintesis tasawwuf dan syariat).
Salah satu dampak dari gerakan “neo-sufisme” ini, Nuruddin Ar-Raniri di Aceh
mulai melarang ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan Abd Samad al-Sumatrani, demikian
pula di Jawa Tengah pada kasus Kyai Mutamakkin yang diserang oleh Ketib Anom
Kudus. Abd Shamad al-Palimbani “memurnikan” ajaran tasawwuf di Palembang,
Muhammad Arsyad Banjari di Kalimantan Selatan, Yusuf al-Makassari di Sulawesi
Selatan, dan Sayyid Alawi di Buton dan lain-lainnya.
Namun yang perlu dicatat, perubahan dan pembaruan ini lebih banyak dalam
proses damai, gradual, dan terbatas, tidak dalam konteks yang radikal, ekstrim dan
menggunakan kekerasan (kecuali contoh kasus Syaikh Siti Jennar di Jawa dan Haji Abd
Hamid di Kalimantan Selatan yang lebih kental karena alasan politik).
Meskipun perubahan itu dilakukan oleh jaringan ulama dengan cara yang tidak
radikal namun efektif, karena menggunakan pola relasi dan pengaruh kyai terhadap
santri-santrinya (dalam pesantren dan masyarakat), antara syaikh dan para muridnya
(dalam tarekat), dan yang lebih efektif lagi menjadikan dan mengajarkan kitab-kitab
standar yang berhaluan mendamaikan tasawwuf dan syariat (neo-sufisme) yang
dipelajari di pesantren-pesantren dan masyarakat dengan menyingkirkan kitab-kitab
lama (kitab-kitab yang berhaluan tasawwuf wahdatul wujud).
2. Pemerintahan Portugis
Bangsa Portugis yang datang ke Indonesia dipimpin oleh Alfonso d’
Albuquerque. Ia pada tahun 1511 berhasil menguasai Kerajaan Malaka. Kekuasaan
Portugis mengalami perkembangan yang pesat setelah menguasai Malaka. Mereka
selanjutnya memperluas kekuasaan ke daerah-daerah lainnya di Indonesia. Selain itu
orang Portugis biasanya mampu berbaur dengan masyarakat setempat seperti menikahi
perempuan pribumi. Ketika terjadi perselisihan di Maluku antara Hitu dan Seram,
Portugis memihak Hitu sehingga Portugis diterima di sana. Cara yang dilakukan
Portugis di Hitu juga diterapkan ketika datang ke Ternate, mereka diterima baik oleh
kerajaan Ternate untuk menghadapi Tidore. Ketika berhasil mengalahkan Tidore yang
dibantu pihak Spanyol, Portugis meminta imbalan untuk memonopoli perdagangan
cengkeh Keadaan itu menyebabkan rakyat Ternate tidak menyukai orangorang
Portugis. Mereka berusaha untuk membebaskan diri dari kekuasaan Portugis.
Pada tahun 1512, tibalah orang-orang Spanyol di Maluku. Tujuan kedatangan
mereka sama halnya dengan orang-orang Portugis, yaitu memonopoli dan menguasai
daerah sebagai tanah jajahan, serta untuk menyebarkan agama Nasrani (Nasrani
Katolik). Di Maluku, mereka singgah di Tidore, Bacan, dan Jailolo. Di tempat itu
mereka disambut baik oleh penduduk setempat. Kedatangan orang-orang Spanyol di
Maluku ternyata menimbulkan persaingan dengan orang-orang Portugis. Untuk
mengakhiri persaingan, ditandatanganilah Perjanjian Saragosa pada tahun 1535. Dalam
perjanjian itu diputuskan bahwa wilayah kekuasaan Portugis tetap di Maluku, sedang
wilayah kekuasan Spanyol di Filipina, sehingga orang-orang Portugis bebas
mengembangkan kekuasaannya di Maluku.
Setelah menguasai Maluku, Portugis selanjutnya ingin menguasai daerah-daerah
lain di kepulauan Indonesia, seperti:
b. Sumatra, Di Sumatra orang-orang Portugis tidak memperoleh hak monopoli
perdagangan lada, karena ditentang oleh Kerajaan Aceh. Bahkan mereka tidak diberi
kesempatan berdagang.
c. Jawa, Di Jawa orang-orang Portugis hanya bisa berdagang di Pasuruan dan
Blambangan karena sebagian daerah lain di Jawa telah dikuasai oleh kerajaan
Demak yang menjadi saingan berat Portugis. Bagi Demak dan kerajaan Islam
lainnya di Indonesia, jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511
merupakan ancaman langsung bagi perkembangan perdagangan Islam serta
penyebaran agama itu sendiri karena Portugis membawa misi gospel (penyebaran
Katolik).
d. Daerah lain di Indonesia Di daerah lainnya di Indonesia, kedudukan Portugis di
tempat-tempat yang telah dikuasainya mulai melemah. Hal ini disebabkan oleh
adanya perlawanan rakyat setempat, antara lain perlawanan rakyat Ternate pada
tahun 1533, perlawanan rakyat Hitu di Ambon, dan perlawanan rakyat Tidore.
Dengan demikian, usaha Portugis untuk menguasai kerajaan-kerajaan di perairan
Indonesia mengalami kegagalan. Portugis hanya dapat menetap di Timor Timur
sampai tahun 1976. Tahun 1976 Timor-Timur masuk wilayah Indonesia.
4. Pemerintahan Perancis
Louis Napoleon, adik Kaisar Napoleon dari Perancis yang telah diangkat sebagai
Raja Belanda, pada tahun 1808 mengangkat Herman Willem Daendels sebagai
Gubernur Jenderal di Indonesia. Tugas utama Daendels adalah mempertahankan
Indonesia, khususnya pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris. Untuk keperluan
tersebut, Daendels membangun jalan raya dari Anyer sampai Panarukan yang
panjangnya kurang lebih 1.100 km, dan membangun pangkalan armada di Ujungkulon.
Agar pembangunan berjalan cepat dan murah, Daendels menerapkan rodi atau sistem
kerja paksa. Rakyat dipaksa bekerja keras tanpa istirahat dan makanan yang cukup,
serta tanpa upah. Daendels juga tidak memperhatikan kesehatan pekerja sehingga
banyak pekerja yang meninggal dunia, akibat kelaparan dan kesehatan yang buruk.
Untuk membiayai pertahanan menghadapi Inggris, Daendels kembali memaksa
rakyat Priangan menanam kopi yang hasilnya diserahkan kepada pemerintah kolonial
Belanda. Selain itu, Belanda menjual tanah rakyat yang oleh mereka dianggap milik
negara kepada perusahaan swasta asing.
Dalam menjalankan pemerintahannya Daendels berlaku keras dan disiplin, serta
cenderung bertangan besi. Sikapnya ini menimbulkan rasa tidak senang di kalangan
pejabat Belanda lainnya. Akibatnya para pejabat melaporkan kekurangan-kekurangan
Daendels kepada Raja Louis, terutama mengenai kebijaksanaannya menjual tanah
negara kepada pihak swasta asing.
Pada tahun 1811, Daendels dipanggil pulang dan kedudukannya digantikan oleh
Gubernur Jenderal Janssens. Ia kurang cakap dan lemah, sehingga langsung menyerah
ketika Hindia Belanda diserang Inggris. Janssens menandatangani perjanjian yang
menyatakan penyerahan kekuasaan Belanda atas Indonesia kepada Inggris. Perjanjian
itu dilakukan di Tuntang dekat Salatiga sehingga dikenal dengan nama “Perjanjian
Tuntang”.
5. Pemerintahan Inggris
Perhatian Inggris atas Indonesia sebenarnya sudah dimulai ketika pada tahun
1579 penjelajah Francis Drake singgah di Ternate, Maluku. Untuk mengadakan
hubungan dagang dengan kepulauan rempah-rempah di Asia, Inggris membentuk EIC
(East Indies Company). Pada tahun 1602 armadanya sampai di Banten dan mendirikan
loji di sana. Pada tahun 1604, dibuka perdagangan dengan Ambon dan Banda. Pada
1609, Inggria mendirikan pos di Sukadana (Kalimantan). Pada 1613, Inggris berdagang
dengan Makasar, dan pada tahun 1614, Inggris mendirikan loji di Batavia.
Dalam usaha perdagangan itu Inggris mendapat perlawanan kuat dari Belanda.
Belanda tidak segansegan menggunakan kekerasan untuk mengusir Inggris dari
Indonesia. Setelah terjadi peristiwa Ambon Massacre, EIC mengundurkan diri dari
Indonesia. Tetapi di daerah Asia Tenggara lainnya seperti Singapura, Malaysia, dan
Burunei, Inggris memperoleh kesuksesan. Namun setelah diadakan Persetujuan
Tuntang pada tahun 1811, Indonesia berada di bawah kekuasaan Inggris. Ia memegang
pemerintahan selama lima tahun (1811-1816).
Sebagai kepala pemerintahan di Indonesia, Inggris mengangkat Thomas Stamford
Raffles dengan pangkat Letnan Gubernur Jenderal. Pemerintahan Raffles ini sekaligus
untuk mewakili Lord Minto, Gubernur EIC di India. Pada masa pemerintahannya,
Raffles menjalankan kebijakan-kebijakan sebagai berikut.
o Jenis penyerahan wajib pajak dan rodi harus dihapuskan kecuali di Priangan
(Prianger Stelsel) dan Jawa Tengah
o Rakyat diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman tanpa unsur paksaan.
o Bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan, dan penggantinya diangkat menjadi
pegawai pemerintah.
o Pemerintah kolonial adalah pemilik tanah dan petani sebagai penggarap (penyewa)
milik pemerintah.
Pemerintahan Raffles beranggapan bahwa semua tanah adalah milik negara
sehingga petani dianggap sebagai penyewa tanah negara. Mereka harus membayar
pajak kepada Pemerintah Inggris sebagai ganti uang sewa. Sistem yang diterapkan
Raffles ini dikenal dengan sistem Landrente atau pajak bumi.
Pada tahun 1813 terjadi perang Leipzig. Inggris dan sekutunya melawan Perancis,
dan dimenangkan oleh Inggris. Kekuasaasn Kaisar Napoleon di Perancis jatuh pada
tahun 1814. Dengan demikian, berakhir pemerintahan Louis Napoleon di Negeri
Belanda. Karena Belanda telah bebas dari kekuasaan Perancis, Inggris mengadakan
perdamaian dengan Belanda di Kota London. Perundingan damai itu menghasilkan
persetujuan yang disebut Konvensi London atau perjanjian London (1814). Isi
perjanjian itu antara lain menyebutkan bahwa semua daerah di Indonesia yang pernah
dikuasai oleh Belanda harus dikembalikan lagi oleh Inggris kepada Belanda, kecuali
daerah Bangka, Belitung, dan Bengkulu. Penyerahan daerah kekuasaan di antara kedua
negeri itu dilaksanakan pada tahun 1816. Akhirnya mulai tahun 1816, Pemerintah
Hindia Belanda kembali berkuasa di Indonesia.
6. Pemerintahan Kolonial Belanda Awal Abad ke-19 sampai Pertengahan Abad ke-20
Pada abad ke-19 ini, tepatnya setelah Belanda kembali menduduki Indonesia
sesuai dengan Perjanjian London (1814), Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan
dua kebijakan yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat Indonesia. Kedua
kebijakan itu adalah Sistem Tanam Paksa dan UU Agraria 1870.
a. Sistem Tanam Paksa
Selama periode antara tahun 1816-1830, Pemerintah Hindia Belanda
mengalami kesulitan keuangan. Di bawah Gubernur Jenderal Van de Bosch,
Pemerintah Hindia Belanda berusaha menutupi kesulitan keuangan itu dengan
memberlakukan Cultuur Stelsel (Tanam Paksa). Adapun peraturan Tanam Paksa
tersebut adalah sebagai berikut:
o Setiap desa diharuskan menanam 1/5 dari tanahnya dengan tanaman seperti kopi,
gula, tembakau, dan nila.
o Hasil tanaman itu harus dijual pada pemerintah kolonial dengan harga yang telah
ditentukan.
o Tanah garapan untuk tanaman ekspor dibebaskan dari pajak bumi. d. kegagalan
panen akan menjadi tanggung jawab pemerintah.
o Mereka yang tidak memiliki tanah, wajib bekerja selama 66 hari/tahun di
perkebunan milik pemerintah.
Dengan ketentuan tersebut, sistem tanam paksa banyak mendatangkan
keuntungan bagi Belanda. Hal itu terlihat dari saldo keuntungan antara tahun 1832–
1867 diperkirakan mencapai angka 967 juta Gulden. Sehingga kas negara segera
terisi kembali, bahkan utang luar negeri Belanda dapat dilunasi dan sisanya dapat
digunakan untuk modal usaha-usaha industri di Belanda.
Akibat tanam paksa, timbullah reaksi rakyat Indonesia menentang pelaksanaan
Sistem Tanam Paksa. Pada tahun 1833, terjadilah huru-hara di perkebunan tebu di
daerah pasuruan. Pada tahun 1848 terjadi pembakaran kebun tembakau seluas tujuh
hektar di Jawa Tengah. Reaksi lain terhadap pelaksanaan Sistem Tanam Paksa juga
muncul di negeri Belanda.
Reaksi itu datang dari golongan humanis, yaitu orangorang yang menjunjung
tinggi asas-asas etika dan perikemanusiaan, seperti Douwes Dekker (Multatuli)
dalam bukunya Max Havelaar, secara terangterangan mengecam penyimpangan
tanam paksa dan penindasan terhadap rakyat yang dilakukan oleh pegawai Belanda
dan penguasa setempat.
Baron van Houvel sebagai pendeta melaporkan penderitaan rakyat Indonesia
dalam sidang perkebunan di Negeri Belanda. Sejak saat itu banyak orang Belanda
yang menentang tanam paksa, terutama anggota parlemen dari golongan liberal.
Atas desakan parlemen, pemerintah Belanda menghapuskan sistem tanam paksa, dan
sebagai gantinya dikeluarkanlah Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula
pada tahun 1870.
Rozi. Islam Nusantara Merupakan Corak Keislaman yang ada di Nusantara. Sumber dari
https://www.laduni.id/post/read/43501/islam-nusantara-merupakan-corak-keislaman-yang-
ada-di-nusantara. Diakses pada 24 September 2020.
Penulis : Nibras Nada Nailufar, Editor : Nibras Nada Nailufar. Kedatangan Bangsa Spanyol
di Indonesia. Sumber dari
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/05/153000269/kedatangan-bangsa-spanyol-di-
indonesia?page=all. Diakses pada 24 September 2020.