Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Candi Muara Takus - Candi Muara Takus adalah salah satu peninggalan
bersejarah dari Kerajaan Budha Sriwijaya yang sangat termasyur. Muara Takus
berada di Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar yang kurang lebih
berjarak 135 km dari kota Pekan Baru Riau dan lokasinya yang tidak sulit dijangkau
membuat candi ini dapat dengan mudah dikunjungi dengan perjalanan darat kurang
lebih 3 jam dari Pekan Baru, Riau. Letaknya yang juga di tepi sungai Kampar Kanan
dapat dicapai dengan mudah dari jalan lintas Riau-Sumetera Barat yang hanya
berjarak sekitar 20 km. Muara Takus merupakan sebuah komplek percandian yang
cukup besar dan luas. Candi ini juga diyakini sebagai kompleks peninggalan Kerajaan
Sriwijaya yang tertua di dunia, dan juga merupakan simbol dari puncak kejayaan
kerajaan itu. Sampai dengan saat ini sebenarnya belum ada satupun bukti sejarah
Candi Muara Takus yang bisa menunjukkan kapan tepatnya candi ini dibangun.
Tetapi secara pasti candi ini telah ada pada jaman kejayaan Kerajaan Sriwijaya.

B. Tujuan Observasi
Tujuan dari dilakukan penelitian tentang Wisata Candi Muara Takus yang
bertempat di Muara Takus Kecamatan XIII Koto Kampar:
1. Untuk mengetahui Sejarah Candi Muara Takus
2. Untuk mengetahui bagian-bagian dari candi Muara Takus

C. Manfaat
Bagi penulis adalah mengajarkan tentang cara penyusunan yang baik dan benar,
sekaligus untuk meningkatkan rasa kerjasama dalam berkelompok.
Bagi pembaca adalah menginformasikan kepada pembaca tentang kepastian
sejarah candi Muara Takus.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Asal Muasal Nama Muara Takus


Muara Takus berasal dari nama sebuah anak sungai yang bermuara ke Batang
Kampar Kanan. Menurut Duta Besar Singapura yang pernah berkunjung ke Muara
Takus pada tahun 1977 menyatakan bahwa Muara takus terdiri dari dua kata yaitu
"Muara" dan "Takus", menurut pendapatnya "Muara" berarti tempat dimana sebuah
sungai mengakhiri alirannya ke laut atau sungai yang lebih besar, sedangkan "Takus"
berasal dari Bahasa China yang artinya : TA (besar), KU (Tua), SE (Candi). Jadi arti
keseluruhannya adalah Candi Tua yang besar yang terletak di Muara Sungai.
Candi Muara Takus merupakan candi penganut agama Buddha. Ada yang
berpendapat bahwa candi ini peninggalan agama Buddha yang datang dari India
karena bentuknya mirip dengan Candi Acoka yang ada di India. Namun ada pula
yang berpendapat bahwa ini merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya.
Selama ini, tak banyak yang tahu ada candi di Riau, apalagi Bumi Lancang
Kuning dikenal sebagai pusat kebudayaan Melayu. Biasanya, keberadaan Candi
Muara Takus hanya disinggung sedikit di buku sejarah sekolah dan beberapa artikel
di internet.
Candi ini bisa dibilang sebagai situs kebudayaan terbesar, dibanding beberapa
bangunan bersejarah lainnya di Pulau Sumatra. Keberadaannya diyakini sebagai pusat
kota suci kerajaan terbesar di Sumatra kala itu.
Menurut juru pandu Candi Muara Takus, Suhaimi Zen, bangunan bersejarah itu
merupakan peninggalan kerajaan Hindu/Buddha, Sriwijaya. Hal itu terlihat dari
beberapa tulisan dan simbol di sekeliling candi.
Hindu yang pakai sabda Buddha, sudah ada sejak abad ketujuh. Ongku Imi
menjelaskan, candi ini pernah dijadikan Sriwijaya sebagai pusat peradaban dan kota
suci untuk menjalankan ritual keagamaan. Dia pun berani menyatakan bahwa cikal
bakal atau moyangnya Sriwijaya berasal dari candi ini. Ongku Imi sadar pernyataan

2
ini bisa saja menuai kontroversi. Apalagi, selama ini Kerajaan Sriwijaya diklaim
Palembang, Sumatra Selatan, pernah berdiri kokoh di sana dengan beberapa bukti
autentiknya. "Kalau berbicara Seribu Jaya atau Sriwijaya di Muara Takus pusatnya,
dinasti luar menyebutnya dengan Sriwijaya, tapi Sriwijaya yang mana dulu," sebut
Ongku Imi.

B. Sejarah Candi Muara Takus


Candi Muara Takus ditemukan pada tahun 1860 oleh Cornet De Groot, hasil
penemuannya dituangkan dalam sebuah tulisan yang berjudul “Koto Candi”, tulisan
tersebut dimuat dalam "Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkenkunde".
Kemudian setelah ditemukannya Candi Muara Takus dan setelah literatur dari
Cornet De Groot dipublikasikan banyak peneliti dari luar negeri yang melakukan
penelitian mengenai Muara Takus diantaranya ada G Du Ruy Van Best Holle, W.P.
Groneveld, R.D.M Verbeek dan E.Th. Van Delden, J.W. Yzerman, Dr. F.M.
Schnitger, Bosch, Benet Kempers dan lain-lain. Sebagian besar dari hasil penelitian
tersebut mengungkapkan bahwa sesunggugnya Sriwijaya berada di Muara Takus dan
bukan berada di Sumatera Selatan.
Gugusan candi Muara Takus selalu dikaitkan dengan kedatuan Sriwijaya.
Karena bentuk bangunan dengan puncak stupanya sebagai lambang Buddhistis.
Menurut sejarah, kedatuan Sriwijaya adalah suatu negara maritim yang ibukotanya
selalu berpindah-pindah.
Gugusan candi Muara Takus merupakan peninggalan kuno yang bersifat
Budha, hal ini erat hubungannya dengan pencarian ibu kota Sriwijaya yang sampai
saat ini belum dapat diketahui secara pasti. Mengenai Muara Takus sebagai pusat
kadatuan Sriwijaya, para ahli purbakala banyak mengemukakan pendapat atau
pendirian mereka diantaranya ada yang mengatakan bahwa Muara Takus itulah pusat
kedatuan Sriwijaya sedangkan lainnya menyatakan bukan. Masing-masing mereka
mengemukakan pendapatnya dengan alasan-alasan yang kuat.
Berikut dikemukakan pendapat para ahli :

3
1. I-Tsing
Pada abad VII ( tahun 671 M ) seorang berkebangsaan China mengadakan
perjalanan ke India untuk belajar agama Budha dan tinggal disini ( Muara
Takus ) selama 6 bulan. Ibukotanya dikelilingi benteng dan di diami oleh lebih
dari 1000 Bhiksu. Menurut I-Tsing pada bulan ke delapan bayangan tongkat di
Wala Cakra tidak menjadi lebih panjang atau pendek, dan pada tengah hari
orang berdiri tanpa bayangan. Pernyataan I-Tsing diatas cocok dengan keadaan
candi Muara Takus yang terletak di garis khatulistiwa.
2. Chia-Tan
Menurut Chia-tan disebelah utara Selat Malaka terletak kerajaan Lo Youeh,
yakni langka suka, disebelah selatan selat malaka terletak kerajaan Shih-Li-Fo-
Sheh, yang diperkirakan itulah kedatuan Sriwijaya. Karena Muara Takus itu
memang terletak di selatan Selat Malaka.

Ongku Imi berpendapat, pada abad ketujuh dan kedelapan di Palembang ada
Sriwijaya Nasa. Kemudian ada pula Sriwijaya Nusantara sebagai induk kerajaan yang
berpusat di Muara Takus, sekaligus kota sucinya. Dengan pengetahuannya yang lebih
terhadap Muara Takus karena sudah sejak kecil di sana, Ongku Imi ternyata masih
enggan merangkum sejarah Candi Muara Takus menjadi buku. Ada banyak alasan
kenapa dia belum berniat melakukannya. Selain menimbulkan pendapat baru tentang
keberadaan Kerajaan Sriwijaya, Ongku Imi takut buku yang nantinya ditulis
ditunggangi banyak kepentingan, baik itu oleh sejarawan maupun pemerintah.
Meski belum mau menulis sendiri, Ongku selalu berkenan menemani atau
menjadi pemandu peneliti dan sejarawan yang ingin mempelajari Candi Muara
Takus. Hanya saja, peneliti yang datang dianggapnya kurang serius mempelajari
Candi Muara Takus. Menurutnya, hal pertama yang harus dilakukan untuk meneliti
Candi Muara Takus adalah mempelajari perairan atau sungai. Daerah ini menjadi
pertemuan antara Sungai Kampar Kiri dan Kanan yang juga terhubung ke Sungai
Rokan.

4
Menurutnya, penelitian kehidupan masyarakat sungai sangat penting dalam
peradaban. Dari situ peneliti bisa menemukan jejak-jejak kehidupan masyarakat
zaman dahulu serta kemajuannya. Penelitian sungai-sungai mengarah ke Candi
Muara Takus ini bisa memakan waktu hingga 10 tahun. Berbekal pengetahuan dari
sungai, barulah kemudian naik ke darat untuk meneliti situs peninggalan peradaban.
Dari sungai ini baru diketahui asal muasal Muara Takus. Dan selama riset dilakukan,
jangan bicarakan riset orang lain, biar murni hasil penelitiannya, sebut Ongku Imi.
Dia menjelaskan, data-data sejarah Candi Muara Takus bisa diperoleh dari berbagai
sumber. Selain dirinya sebagai kuncen candi, ada juga beberapa yayasan yang bisa
dijadikan sumber. Ada Pusat Kajian Andiko 44, itu berisi orang yang tahu sejarah
Kampar, kemudian ada Yayasan Kari yang khusus mengkaji tentang Muara Takus.
Dengan ditunjuknya Candi Muara Takus sebagai puncak perayaan Hari Waisak
Nasional, Ongku Imi berharap perhatian pemerintah, terutama Kampar, kian besar
terhadap masyarakat sekitar.

C. Bagian-Bagian Candi Muara Takus

Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang besar, berbentuk
menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir
kuning. Di dalam situs Candi Muara Takus ini terdapat bangunan candi yang disebut
dengan Candi Tua, Candi Bungsu, Stupa Mahligai serta Palangka. Selain bangunan

5
tersebut di dalam komplek candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan
sebagai tempat pembakaran tulang manusia. Sementara di luar situs ini terdapat pula
bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan
jenis bangunannya.
1. Candi Mahligai

Candi Mahligai atau Stupa Mahligai, merupakan bangunan candi yang


dianggap paling utuh. Bangunan ini terbagi atas tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan
atap. Stupa ini memiliki pondasi berdenah persegi panjang dan berukuran 9,44 m x
10,6 m, serta memiliki 28 sisi yang mengelilingi alas candi dengan pintu masuk
berada di sebelah Selatan. Pada bagian alas tersebut terdapat ornamen lotus ganda,
dan di bagian tengahnya berdiri bangunan menara silindrik dengan 36 sisi berbentuk
kelopak bunga pada bagian dasarnya. Bagian atas dari bangunan ini berbentuk
lingkaran. Menurut Snitger, dahulu pada ke-empat sudut pondasi terdapat 4 arca singa
dalam posisi duduk yang terbuat dari batu andesit. Selain itu, berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Yzerman, dahulu bagian puncak menara terdapat batu dengan
lukisan daun oval dan relief-relief sekelilingnya. Bangunan ini diduga mengalami dua
tahap pembangunan. Dugaan in didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam kaki
bangunan yang sekarang terdapat profil kaki bangunan lama sebelum bangunan
diperbesar.

6
2. Candi Tua

Candi Tua atau Candi Sulung merupakan bangunan terbesar di antara bangunan
lainnya di dalam situs Candi Muara Takus. Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian kaki terbagi dua. Ukuran kaki pertama tingginya
2,37 m sedangkan yang kedua mempunyai ketinggian 1,98 m. Tangga masuk terdapat
di sisi Barat dan sisi Timur yang didekorasi dengan arca singa. Lebar masing-masing
tangga 3,08 m dan 4 m. Dilihat dari sisa bangunan bagian dasar mempunyai bentuk
lingkaran dengan garis tengah ± 7 m dan tinggi 2,50 m. Ukuran pondasi bangunan
candi ini adalah 31,65 m x 20,20 m. Pondasi candi ini memiliki 36 sisi yang
mengelilingi bagian dasar. Bagian atas dari bangunan ini adalah bundaran. Tidak ada
ruang kosong sama sekali di bagian dalam Candi Sulung. Bangunan terbuat dari
susunan bata dengan tambahan batu pasir yang hanya digunakan untuk membuat
sudut-sudut bangunan, pilaster-pilaster, dan pelipit-pelipit pembatas perbingkaian
bawah kaki candi dengan tubuh kaki serta pembatas tubuh kaki dengan perbingkaian
atas kaki. Berdasarkan penelitian tahun 1983 diketahui bahwa candi ini paling tidak
telah mengalami dua tahap pembangunan. Indikasi mengenai hal ini dapat dilihat dari
adanya profil bangunan yang tertutup oleh dinding lain yang bentuk profilnya
berbeda.

7
3. Candi Bungsu

Candi Bungsu bentuknya tidak jauh beda dengan Candi Sulung. Hanya saja
pada bagian atas berbentuk segi empat. Ia berdiri di sebelah barat Candi Mahligai
dengan ukuran 13,20 x 16,20 meter. Di sebelah timur terdapat stupa-stupa kecil serta
terdapat sebuah tangga yang terbuat dari batu putih. Bagian pondasi bangunan
memiliki 20 sisi, dengan sebuah bidang di atasnya. Pada bidang tersebut terdapat
teratai. Penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, berhasil menemukan sebuah lubang
di pinggiran padmasana stupa yang di dalamnya terdapat tanah dan abu. Dalam tanah
tersebut didapatkan tiga keping potongan emas dan satu keping lagi terdapat di dasar
lubang, yang digores dengan gambar-gambar tricula dan tiga huruf Nagari. Di bawah
lubang, ditemukan sepotong batu persegi yang pada sisi bawahnya ternyata digores
dengan gambar tricula dan sembilan buah huruf. Bangunan ini dibagi menjadi dua
bagian menurut jenis bahan yang digunakan. Kurang lebih separuh bangunan bagian
Utara terbuat dari batu pasir, sedangkan separuh bangunan bagian selatan terbuat dari
bata. Batas antara kedua bagian tersebut mengikuti bentuk profil bangunan yang
terbuat dari batu pasir. Hal ini menunjukkan bahwa bagian bangunan yang terbuat
dari batu pasir telah selesai dibangun kemudian ditambahkan bagian bangunan yang
terbuat dari bata.

8
4. Candi Palangka

Bangunan candi ini terletak di sisi timur Stupa Mahligai dengan ukuran tubuh
candi 5,10 m x 5,7 m dengan tinggi sekitar dua meter. Candi ini terbuat dari batu
bata, dan memiliki pintu masuk yang menghadap ke arah utara. Candi Palangka pada
masa lampau diduga digunakan sebagai altar.

D. Arsitektur
Candi Muara Takus merupakan salah satu bangunan suci agama Budha yang
ada di Riau. Ciri yang menunjukkan bangunan suci tersebut merupakan bangunan
agama Budha adalah stupa. Bentuk stupa sendiri berasal dari seni India awal, hampir
merupakan anak bukit buatan yang berbentuk setengah lingkaran tertutup dengan bata
atau timbunan dan diberi puncak meru. Stupa adalah ciri khas bangunan suci agama
Budha dan berubah-ubah bentuk dan fungsinya dalam sejarahnya di India dan di
dunia Budhisme lainnya. Berdasarkan fungsinya stupa dapat dibedakan menjadi tiga,
yaitu :
1. Stupa yang merupakan bagian dari sesuatu bangunan.
2. Stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tapi masing-masing sebagai
bangunan lengkap.
3. Stupa yang menjadi pelengkap kelompok selaku candi perwara.

9
Berdasarkan fungsi di atas dapat disimpulkan bahwa bangunan di kompleks
Candi Muara Takus menduduki fungsi yang kedua, yaitu stupa yang berdiri sendiri
atau berkelompok tapi masing-masing sebagai bangunan lengkap.
Arsitektur bangunan stupa Candi Muara Takus sendiri sangatlah unik karena
tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia. Bentuk candi ini memiliki kesamaan
dengan stupa Budha di Myanmar, stupa di Vietnam, Sri Lanka atau stupa kuno di
India pada periode Ashoka, yaitu stupa yang memiliki ornamen sebuah roda dan
kepala singa, hampir sama dengan arca yang ditemukan di kompleks Candi Muara
Takus.
Patung singa sendiri secara filosofis merupakan unsur hiasan candi yang
melambangkan aspek baik yang dapat mengalahkan aspek jahat atau aspek ‘terang’
yang dapat mengalahkan aspek ‘jahat’. Dalam ajaran agama Budha motif hiasan
singa dapat dihubungkan maknanya dengan sang Budha, hal ini terlihat dari julukan
yang diberikan kepada sang Budha sebagai ‘singa dari keluarga Sakya’. Serta ajaran
yang disampaikan oleh sang Budha juga diibaratkan sebagai ‘suara’ (simhanada)
yang terdengar keras di seluruh penjuru mata angin.
Dalam naskah Silpa Prakasa dituliskan bahwa terdapat empat tipe singa yang
dianggap baik, antara lain :
1. Udyatā: singa yang digambarkan di atas kedua kaki belakang, badannya dalam
posisi membalik dan melihat ke belakang. Sikap ini disebut simhavalokana.
2. Jāgrata: singa yang digambarkan dengan wajah yang sangat buas (mattarūpina).
Ia bersikap duduk dengan cakarnya diangkat ke atas. Sering disebut khummana
simha.
3. Udyatā: singa yang digambarkan dalam sikap duduk dengan kaki belakang dan
biasanya ditempatkan di atas suatu tempat yang tinggi. Terkenal dengan
sebutan jhmpa-simha.
4. Gajakrānta: singa yang digambarkan duduk dengan ketiga kakinya di atas raja
gajah. Satu kaki depannya diangkat di depan dada seolah-olah siap untuk
menerkam. Singa ini disebut simha kunjara.

10
Di kompleks Candi Muara Takus sendiri terdapat dua candi yang memiliki
patung singa, yaitu Candi Sulung dan Candi Mahligai. Di Candi Sulung arca singa
ditemukan di depan candi atau di tangga masuk candi tersebut. Di Candi Mahligai
arca singa ditemukan di keempat sudut pondasinya. Penempatan patung singa ini,
berdasarkan konsep yang berasal dari kebudayaan India, dimaksudkan untuk menjaga
bangunan suci dari pengaruh jahat karena singa merupakan simbol dari kekuatan
terang atau baik.
Berdasarkan penelitian R.D.M. Verbeck dan E. Th. van Delden diduga bahwa
bangunan Candi Muara Takus dahulunya merupakan bangunan Buddhis yang terdiri
dari biara dan beberapa candi.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Candi Muara Takus merupakan peninggalan sejarah dari kerajaan Sriwijaya
yang berada di provinsi riau, terbentuk karena sering di singgahi banyak pelaut dan
pedagang yang menyusuri sungai Kampar kanan dengan Kampar kiri yang
menyebabkan terjadinya pertukaran budaya oleh para pedagang dan penduduk yang
akhirnya membuat pemerintah pada zaman itu memutuskan untuk membuat candi
sebagai tempat peribadatan dan berbagai acara keagamaan.
Sebagai provinsi yang memiliki peninggalan sejarah berupa candi yang menjadi
pusat pariwisata yang unik bagi orang-orang yang ingin mengenal budaya
peninggalan kerajaan Sriwijaya.

12

Anda mungkin juga menyukai