Anda di halaman 1dari 8

CANDI MUARA TAKUS

SEJARAH CANDI MUARA TAKUS

Di daerah riau banyak terdapat Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Salah satunya
terdapat di Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar.

Candi Muara Takus ditemukan pada tahun 1860 Masehi oleh Cornet De Groot dan telah
banyak melakukan penelitian, baik oleh bangsa kita maupun oleh bangsa asing, namun hasilnya
belum banyak dapat mengungkapkan tentang rahasia dibalik kemegahan candi tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka pemugarannya dilaksanakan sejak tahun 1977
hingga sekarang dengan nama proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah Purbakala
Riau. Pemugaran tersebut dimaksudkan untuk melindungi, menyelamatkan dan memeliharanya,
dalam rangka melestarikan khasanah budaya nenek moyang kita yang pada gilirannya perlu
diketahui oleh generasi yang akan datang. Desa Muara Takus, Terletak di dalam Wilayah
Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.

Stupa merupakan ciri utama bangunan suci umat Budha. Arsitektur stupa di Candi Muata
Takus ini sangat unik dengan ornamen sebuah roda dan kepala singa. Bentuk stupa memiliki
kesamaan dengan stupa Budha di Myanmar, Vietnam, Sri lanka atau stupa kuno di India pada
periode Asoka. Kompleks candi ini dikelilingi tembok seluas 74 x 74 meter. Sementara di
kawasan luar arealnya terdapat pula tembok tanah dengan ukuran 1,5 x 1,5 kilometer. Tembok
tanah tersebut mengelilingi kompleks sampai ke arah pinggir sungai Kampar kanan.

Di dalam kompleks Candi Muara takus terdapat beberapa bangunan candi lainnya yang
disebut dengan candi sulung atau Candi Tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa serta Palangka.
Disamping bangunan-bangunan tersebut, di dalam kompleks candi ini juga ditemukan gundukan
yang di prediksi sebagai tempat pembakaran tulang-tulang manusia. Di luar kompleks candi
terdapat pula bangunan-bangunan bekas yang terbuat dari batu bara. Hingga saat ini belum dapat
dipastikan jenis dari bangunan tersebut.

Candi Muara takus adalah salah satu dari beberapa candi Budha, dan candi ini
membuktikan bahwa pernah terjadi eksistensi agama Budha di kawasan ini beberapa abad silam.
Walaupun para arkeolog belum dapat menentukan secara pasti kapan candi ini didirikan, namun
mereka sepakat bahwa Candi ini berdiri pada masa keyajayaan kerajaan Sriwijaya abad VII-XII
Masehi.

Secara arsitektur bangunan, bahan pembuatan Candi yang sudah tua ini berbeda dengan
candi pada umumnya yang terdapat di Pulau Jawa. Bila candi-candi di Pulau Jawa umumnya
terbuat dari batu andesit yang diambil dari penggunungan, maka Candi yang ada di Riau terbuat
dari tanah liat yang diambil dari sebuah desa bernama Pongkai. Desa tersebut terletak di daerah
hilir dari candi Muara Takus. Pongkai sendiri berasaal dari bahasa cina yang artinya lubang
tanah akibat dari penggalian pembuatan Candi.
Ciri yang menunjukkan bahwa bangunan candi tersebut merupakan bangunan dari agama
tersebut merupakan bangunan dari agama Budha adalah stupa. Bentuk stupa berasal dari seni
india awal. Bentuknya menyerupai anak bukit buatan yang berbentuk setengah lingkaran tertutup
dilengkapi dengan batu bata atau timbunan yang diberi puncak meru. Di dalam sejarahnya di
india dan di dunia Budhisme lainnya. Pada bangunan di kompleks Candi dari tanah liat ini, stupa
berdiri sendiri atau berkelompok tapi masing-masing tetap sebagai bangunan lengkap.

Candi Muara Takus Sebagai Bangunan Sejarah di Tepi Sungai

Muara Takus berasal dari nama sebuah anak sungai kecil bernama Takus yang bermuara
ke Batang Kampar Kanan. Menurut salah seorang Duta Besar Singapura untuk Indonesia yang
pernah berkunjung ke Muara Takus pada tahun 1977 menyatakan bahwa Muara Takus terdiri
dari dua kata yaitu, “Muara dan Takus”.

Menurut pendapatnya, “Muara” pengertiannya sudah jelas, yaitu suatu tempat dimana
sebuah sungai mengakhiri alirannya ke laut atau ke sungai yang lebih besar, sedangkan “Takus”
berasal dari bahasa Cina, yang artinya: TA = besar, KU = tua, SE = Candi. Jadi, arti
keseluruhannya adalah, Candi Tua yang Besar yang terletak di muara sungai.

Candi ini merupakan bangunan candi tua yang dahulunya terletak di ujung Sungai
Kampar Kanan. Aliran sungai di Pulau Sumatera pada masa lalu merupakan salah satu jalur
transportasi perdagangan yang cukup pesat. Para pedagang yang singgah di daerah tersebut
membutuhkan tempat peribadatan bangunan suci berupa candi tersebut. Candi akhirnya juga di
gunakan sebagai tempat menjalankan upacara ritual keagamaan, baik oleh para pedagang yang
singgah maupun masyarakat setempat.

Keunikan Arsitektur Candi Muara takus

Candi Muara Takus merupakan candi peninggalan agama Budha yang ada di Provinsi
Riau. Hal ini diketahui dengan adanya stupa yang menjadi ciri khas dari candi agama Budha.
Stupa sendiri berebntuk setengah lingkaran tertutup dengan bata atapun timbunan dan diberi
puncak meru. Pada sejarahnya, stupa sendiri terdiri dari berbagai bentuk diantaranya adalah
sebagai berikut:

1. Stupa yang berdiri sendiri ataupun berkelompok namun masing-masing sebagai


bangunan lengkap
2. Stupa yang menjadi bagian dari sesuatu bangunan
3. Stupa yang menjadi pelengkap kelompok sebagai candi perwara.

Di kompleks bangunan Candi Muara Takus terdapat dua candi yang memiliki patung singa,
yakni Candi Sulung dan juga Candi Mahligai. Di Candi Sulung arca singa terdapat dibagian
depan candi atau dibagian tangga masuk tersebut. Sementara pada Candi mahligai arca singa
ditemukan pada keempat sudut bagian pondasinya. Penempatan patung singa tersebut,
berdasarkan atas konsep yang berasal dari kebudayaan india, hal tersebut dimaksudkan untuk
menjaga bangunan suci dari pengaruh kejahatan singa menjadi simbol dari kekuatan terang atau
baik.

Budha yang dibangun dengan konsep air suci seperti yang di yakini di negara India.
Dimana bangunan suci haruslah berada di dekat sumber air yang di anggap suci. Air tersebut
nantinya akan digunakan sebagai sarana dalam berbagai upacara ritual. Peran air tak hanya
digunakan untuk keperluan upacara ritual saja, namun secara teknis juga dibutuhkan dalam
kegiatan pembangunan ataupun pemeliharaan bangunan serta kelangsungan hidup dari bangunan
itu sendiri.

Agar supaya suatu tempat tetap terjaga kesuciannya, maka haruslah dipelihara daerah di
sekitar titik pusat bangunan atau Brahmasthana dan ke empat titik mata angin dimana dewa
Lokapala (penjaga mata angin) ada untuk melindungi serta mengamankan daerah tersebut
sebagai bentuk Wastupursamandala (perpaduan alam gaib dan alam nyata).

Selanjutnya dilakukan berbagai bentuk upacara untuk mensucikan tanah di daerah


tersebut. Dalam hal ini air sangat memiliki peran selama kegiatan upacara berlangsung, karena
air selain mampu mensucikan juga dapat menyuburkan daerah tersebut.

Ada beberapa aspek yang bisa kita temukan pada pendirian Candi Muara Takus,
diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Aspek teknologi
Jenis bahan yang dipakai adalah batu bata. Ukuran bata yang dipakai membangun candi
ini bervariasi, panjang antara 23 sampai 26 cm, lebar 14 sampai dengan 15,5 cm dan
tebalnya 3,5 cm sampai 4,5 cm. Bata pada masa lampau memiliki kualitas yang lebih
baik dari bata pada masa sekarang. Ini dikarenakan tanah liat yang digunakan disaring
sampai benar-benar tidak ada komponen lain selain tanah liat, misalnya pasir. Selain itu,
tedapat “isian” didalam bata, biasanya berupa sekam. Maksud dari isian ini, supaya bata
kuat. Perekatan antar batu bata menggunakan sistem kosod. Sistem kosod merupakan
sistem perakatan bata dengan cara menggosokkan bata dengan bata lain dimana pada
bidang gosokannya tersebut diair.
2. Aspek sosial
Pembangunan dari kompleks bangunan candi dilakukan secara gotong royong oleh orang
ramai. Demikian juga pada saat upacara, diikuti oleh para pemimpin dan pengikutnya.
3. Aspek religi
Tampak jelas pada bangunan stupa yang ada di Candi Muara Takus. Stupa menunjukkan
tempat pemujaan agama Budha aliran Mahayana.

Keberadaan dari bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang berada pada
sungai Kampar Kanan sebagai kawasan Candi Muara Takus cukup mengancam kelestarian
kawasan bersejarah tersebut. Keberadaan bendungan PLTA sering kali menyebabkan kondisi air
sungai Sungai Kampar Kanan meluap sehingga sangat berpotensi terjadi banjir khusunya di
musim penghujan. Walaupun belum pernah terjadi banjir di halaman candi ini. Oleh karena itu,
perlu diupayakan sebuah peraturan yang baik agar kawasan situs Candi Muara Takus dapat terus
terjaga kualitas dan kelestariannya. Sebab candi tua ini juga memiliki nilai peritiwa yang cukup
banyak peminatnya, terlebih nilai sejarah yang dimilikinya tak bisa digantikan dengan nilai-nilai
materi.

PENEMUAN

Gugusan Candi Muara Takus pertama kali ditemukan oleh CORNET DE GROOT pada
tahun 1860. Hasil penelitiannya di tuangkannya dalam sebuah tulisan yang berjudul “KOTO
CANDI”. Tulisan tersebut dimuat dalam “Tijdschrift voor Indische Taal, Land en
Volkenkunde”.

Kemudian G DU RUY VAN BEST HOLLE menulis dengan judul “Beschrijving van
de Hindoe, cudheden to Moera Takoes” (Lukisan Bangunan Purbakala dari Zaman Hindu di
Muara Takus) yang juga dimuat dalam Tijdschrift voor Indishe Taal, Land en Volkenkunde,
sehingga Muara Takus banyak menarik perhatian para ahli.

PENELITIAN

a. W.P. GROENEVELD
Pada tahun 1880 seorang kebangsaan Belanda yang bernama W.P. GROENEVELD
mengadakan penelitian terhadap gugusan Candi Muara Takus. Hasil penelitian
tersebut merupakan kunci dari tulisan singkat Verbeek dan Van Delden
b. R.D.M. VERBEEK dan E.T.H VAN DELDEN
Kemudian pada tahun 1880 Verbeek dan Van Delden berdasarkan hasil tulisan W.F.
Groeneveld mengatakan bahwa bangunan purbakala tersebut adalah bangunan Budha
yang terdiri dari biara dan beberapa candi. Ekspedisi Verbeek dan Val Delden
membuat jalan dari payakumbuh ke Muara Takus yang Terletak di sebelah Barat
sungai Kampar Kanan.
Pada tahun 1881 Verbeek dan Val Delden menulis pendapatnya tentang keberadaan
Candi Muara Takus dengan judul “DE HINDOE RUINEN BIJ MOEARA
TAKOES AAN DE KAMPAR RIVER” dengan sebuah gambar oleh W.P
Groeneveld yang dimuat dalam Verhandenglingen van hat bat Genootshap, dimana
lukisan/gambar yang dimuat dalam buku tersebut dikerjakan oleh Ir. Pertambangan
TH.A.F Delprat dan Opziter (sinder) HL Leijdie Melulle. Mereka juga
menemukan tembok keliling yang mengililingi komplek percandian Muara Takus.
c. BEN BRONSON DAN LEMBAGA PURBAKALA DAN PENINGGALAN
NASIONAL JAKARTA PADA TAHUN 1973
Mereka melakukan penggalian dan penelitian ini pada Pagar Keliling Gugusan Candi
Muara Takus dan sekitarnya. Dari hasil penggalian ditemukan kemarik yang umurnya
lebih tua dari masa Dynasti Yuan Ming dan Ching yaitu antara abad XIII dan XIX.
Dari hasil penggalian selanjutnya ditemukan pula sisa bangunan dari bata yang
terdapat diluar komplek. Kemudian ditemukannya juga Fragmen yang terbuat dari
perunggu dengan tulisan Nagari yang berasal dari abad VII dan abad XII, yang dapat
dihubungkan dengan masa pemerintahan Raja Karta Negara dengan Ekspedisi
Pamalayunya.

PUSAT KEDUTAAN SRIWIJAYA

Gugusan Candi Muara Takus selalu dikaitkan dengan kedutaan Sriwijaya, karena
bentuk bangunan dengan puncak stupanya sebagai lambang Buddhistis.

Menurut sejarah, Kedutaan Sriwijaya adalah suatu negara maritim yang ibukotanya selalu
berpindah-pindah. Pemilihan suatu Ibukota selalu dikaitkan dengan masalah perdagangan,
keamanan, kenyamanan dan lain-lain sebagainya.

Gugusan Candi Muara Takus merupakan peninggalan kuno yang bersifat Buddha (Claire
Holt 1967-37), hal ini erat hubungannya dengan pencarian Ibu Kota Sriwijaya yang sampai
sekarang belum dapat dapat diketahui secara pasti.

Mengenal Muara Takus seabagi Pusat Kedutaan Sriwijaya, para ahli purbakal banyak
mengemukakan pendapat/pendirian mereka. Diantaranya ada yang mengatakan bahwa Muara
Takus itulah Pusat Kedutaan Sriwijaya, sdangkan yang lain mengatakan bukan.

CERITA-CERITA RAKYAT

a. Kerajaan di Muara Takus


Menurut sahibul rakyat, penduduk hulu sungai Kampar berasal dari keturunan Putri
Sri Dunia yang datang dengan keluarganya dari Pariangan Padang Panjang (Sumatera
Barat). Konon, seorang raja Hindu meminang Putri Sri Dunia dan setelah menikah dia
kemudian mendirikan sebuah kerajaan di Muara Takus.
Pada suatu hari, Raja Hindu tersebut kembali ke negerinya. Saat itu datang
segerombolan orang Batak yang juga menganut agama Hindu, tetapi kota kerajaan ini
telah di tinggalkan.
Putri Sri Dunia rupanya telah kawin dengan seorang Datuk dari Minangkabau yang
kemudian memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Induk Dunia, yang
kemudian hari menjadi Raja di Muara Takus. Keturunannya ialah Raja Pamuncak
Datuk di Balai.
Raja terkahir di Muara takus ialah Raja Bicau. Konon, kota Muara Takus sangat luas
sehingga kalau seekor kucing berjalan menjelajahi kota dari atap ke atap rumah
memerlukan waktu selama 3 bulan baru sampai kembali ketempat semula. Cerita
serupa yang ditulis oleh W.J. Yzerman dalam bukunya “Beschrij ving van de
Bolddhistische Bauwerken te Muara takus”. Istana Datuk Rajo Duo Balai itu
sekarang masih berdiri sekalipub keadaan bangunnya telah lapuk dimakan usia.
Menurut perkiraan usianya telah lebih dari 2 abad. Didepannya terdapat sebuah
rangkiang, yang mirip dengan rangkiang yang ada terdapat di Sumatera Barat.
Perbedaannya terletak pada tonggak, yang lebih rendah dari yang dijumpai di
Sumatera Barat.
b. DESA PONGKAI
Pongkai adalah sebuah desa yang terletak di sebelah hilir Batang Kampar. Menurut
cerita rakyat tempatan, batu bata yang digunakan untuk membangun candi yang ada
di Muara Takus tersebut dibuat di desa Pongkai. Hal ini sesuai dengan nama tersebut
yang konon berasal dari bahasa Cina yang bermakna “Pong” berarti “Lubang” dan
“Kai” berarti “Tanah”. Jadi arti keseluruhannya adalah “lubang tanah”. Tempat
pembuatan batu bata tersebut, dapat disaksikan di daerah pongkai berupa lubang
tanah yang luas tempat pengambilan tanahnya untuk dijadikan batu bata.
Batu bata itu, setelah dibuat di desa Pongkai, pada awalnya dibawa atau diangkut
melalui sungai ke Muara takus. Karena mengangkut melalui sungai tersebut dirasakan
sangat berat, maka cara pengangkutannya dirubah dengan memakai tenaga manusia
yang dibariskan dari desa pongkai ke tempat pembangunan Candi Muara Takus. Jadi
batu bata itu diangkat secara beranting yang memerlukan tenaga manusia yang
banyak mengingatnya jaraknya 8 Km.

LEGENDA CANDI MUARA TAKUS

Legenda Putri Reno Bulan merupakan salah satu legenda yang dikaitkan dengan sejarah
Candi Muara Takus. Dikisahkan bahwa awalnya Candi Muara Takus bisa terbangun disebabkan
oleh tiga orang datuk yang terdiri dari Datuk Tukang tembak, Datuk Tukang Solam, dan Datuk
Tukang Ubek. Diawal cerita termenunglah Datuk Tukang Ubek, ia teringat di dalam hatinya
tentang soko-nya yang hilag. Akhirnya Datuk tersebut pun memanggil dua orang temanya yakni
Datuk Tukang Tembak dan Datuk tukang solam.

Lalu berangkat lah mereka bertiga bertapa ke tempat Koto Pondam, dan sekembalinya
dari bertapa mereka berlayar menuju ke dondang. Dondang ba namo kulik kombuong. Dan
sampailah mereka ke laut merah dan terdengarlah seseorang minta tolong. Rupanya seekor elang
bangke yang sedang membawa seorang putri, maka berdialoglah(berseteru) datuk yang bertiga.
Tersurat di gelang tangan putri tersebut ternyata namanya adalah Reno Bulan.

Kembali ke negeri India. Putri Andam Dewi (orang tua Reno Bulan) sudah dua hari mencari
anaknya dan maghatok atau meratapi anaknya. Dan mereka pergi ke tukang nujum untuk
menanyakan keadaan anaknya. Dan tukang nujum tersebut menceritakan dimana keberadaan
anaknya.
Lalu berangkatlah Raja India untuk mencari putrinya. Raja mempersiapkan serdadu-
serdadu, cerdik, pandai serta tokoh-tokoh para petinggi kerajaan bsesrta keluarga besar kerajaan
India dengan membawa sebuah kapal yang besar.

Dan ketika sampai di pelabuhan di Koto Pulau Sijangkang di sambutlah oleh anaknya
yakni Putri Reno Bulan. Mereka pun bertemu dengan tiga orang Datuk yang telah
menyelamtakna putrinya. Sebagai ungkapan rasa terima kasih, Putri Reno Bulan memohon
kepada raja untuk membuatkan sebuah istana seperti yang ada di kerajaan India. Istana itulah
yang akhirya kini dikenal sebagai bangunan Candi Muara Takus.

NAMA-NAMA BANGUNAN CANDI

a. CANDI MAHLIGAI
Bangunan ini brbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10,44 M x 10,60 M. tingginya
sampai kepuncak 14,30 M berdiri diatas pondamen segi delapan (astakoma) dan
bersisikan sebanyak 28 buah. Pada alasnya terdapat teratai berganda.
Ditengah menjulang sebuah menara. Diatas puncaknya diperkirakan ada makarel,
namun Comet de Groot tidak menemukan makarel tersebut
Pada tahun 1860 Masehi waktu ia berkunjung kesana, pada setiap sisi dijumpai
patung singa dalam posisi duduk. Di sebelah Timur, terdapat teras bujur sangkar
dengan ukuran 5,10 x 5,10 meter dan di depannya terdapat sebuah tangga. Volume
bangunan Candi Mahligai 423,20 M3 yang terdiri dari volume bagian kaki 275,30
M3, tubuh 66,60 M3, dan puncak 81,30 M3. Candi Mahligai dipugar pada tahun 1987
dan selesai pada tahun 1983
b. CANDI PALANGKA
Bangunan ini terdiri dari batu bata merah yang dicetak. Letaknya 3,85 meter sebelah
Timur Candi Mahligai.
Candi Palangka merupakan candi yang terkecil, relung-relung penyusun batu tidak
sama dengan dinding Candi Mahligai. Dulu sebelum dipugar bagian kakinya
terbenam sakitar 1 m.
Candi Palangka mulai di pugar pada tahun 1987 dan selesai pada tahun 1989.
Pemugaran dilaksanakan hanya pada bagian kaki dan tubuh candi, karena bagian
punaknya waktu ditemukan pada tahun 1860 sudah tidak ada lagi.
Dibagian sebelah utara terdapat tangga yang dalam keadaan rusak, sehingga tidak
dapat diketahui bentuk aslinya. Kaki candi berbentuk segi delapan dengan sudut
banyak, berukuran panjang 6,60m, lebar 5,85m, serta tingginya 1,45m dari
permukaan tanah dengan volume 52,90M3.
c. CANDI BUNGSU
Candi Bungsu terletak disebelah baratCandi Mahligai. Bangunannya terbuat dari dua
jenis batu, yaitu batu pasir (tuff) terdapat pada bagian depan, sedangkan batu bata
terdapat pada bagian belakang.
Pemugaran dimulai pada tahun 1988 dan selesai dikerjakan tahun 1990, dikembalikan
menurut bentuk aslinya, berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 7,50 m x
16,28 m. bagian puncak tidak dapat di pugar, karena tidak diketahui bentuk
sebenarnya. Tinggi setelah dipugar 6,20 m, dari permukaan tanah, dan volume nya
365,80 M3.
Munurut gambar yang dibuat oleh W.J. Yzerman bersama-sama dengan Ir. TH. A.F>
Delprat dan Opziter (Sinder) H.L. Leidjdie Melville, diatas bangunan yang terbuat
dari bata merah terdapat 8 buah stupa kecil yang mengelilingi sebuah stupa besar.
d. CANDI TUA
Candi ini merupakan candi yang terbesar diantara candi-candi yang ada. Terletak
sebelah utara Candi Bungsu, berukuran 32,80 m x 21,80 m.
Pada sisi sebelah Timur dan Barat terdapat tangga, yang menurut perkiraan dihiasi
stupa, sedangkan pada bagian bawah di hiasi patung singa dalam posisi duduk.
Bangunan ini mempunyai 36 buah dan terdiri dari bagian kaki I, kaki II, tubuh, dan
puncak. Bagian puncaknya telah rusak dan batu-batunya telah banyak yang hilang.
Bangunan ini terdiri dari batu bata yang dicetak dan batu pasir (tuff). Mulai dipugar
pada tahun 1990, sehingga di bagian Timur telah diselesai dikerjakan di bagian kaki I,
sedangkan pada tahun Anggaran 1992/1993 pemugaran dilanjutkan dibagian sisi
sebelah Barat (kaki I dan II). Volume bangunan ini 2.235 M3 yang terdiri dari kaki
2.028 M3, tubuh 150 M3, puncak 57 M3, dan tinggi bangunan mencapai 8,50 m.

Anda mungkin juga menyukai