Candi Muara Takus adalah situs candi tertua di Sumatra, merupakan satu-satunya situs peninggalan sejarah
yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhis ini merupakan bukti bahwa agama Buddha pernah
berkembang di kawasan ini.
Candi ini dibuat dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Berbeda dengan candi yang ada di Jawa, yang
dibuat dari batu andesit yang diambil dari pegunungan. Bahan pembuat Candi Muara Takus, khususnya tanah
liat, diambil dari sebuah desa yang bernama Pongkai, terletak kurang lebih 6 km di sebelah hilir situs Candi
Muara Takus. Nama Pongkai kemungkinan berasal dari Bahasa Tionghoa, Pong berati lubang dan Kai berarti
tanah, sehingga dapat bermaksud lubang tanah, yang diakibatkan oleh penggalian dalam pembuatan Candi
Muara Takus tersebut. Bekas lubang galian itu sekarang sudah tenggelam oleh genangan waduk PLTA Koto
Panjang. Namun dalam Bahasa Siam, kata Pongkai ini mirip dengan Pangkali yang dapat berarti sungai, dan
situs candi ini memang terletak pada tepian sungai.
Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang besar, berbentuk menara yang sebagian besar
terbuat dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning. Di dalam situs Candi Muara Takus ini terdapat
bangunan candi yang disebut dengan Candi Tua, Candi Bungsu, Stupa Mahligai serta Palangka. Selain
bangunan tersebut di dalam komplek candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat
pembakaran tulang manusia. Sementara di luar situs ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat
dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.
Guru Patimpus
Beliau adalah Guru Patimpus. Beliau lahir di Tanah Karo Simalem, dekat Gunung Sibayak. Beliau menikah
di Batu Karang dengan Beru Bangun, dan memiliki seorang anak laki-laki bernama Bagelit.
Guru dalam bahasa Karo berarti orang yang berilmu. Beliau penuh wibawa, gagah dan patriotis. Sewaktu
beliau masih muda, beliau belajar pada seorang Guru dan Ulama Besar yang terkenal di masa itu.
Beberapa tahun kemudian, beliau menikah dengan salah seorang putri dari anak panglima Deli
bermarga Tarigan. Kemudian beliau mendirikan kampung di hulu dua buah sungai, yaitu Sungai Deli dan
Sungai Bubura, yang dinamakan Medan. Medan dalam bahasa Karo artinya sembuh dan baik. Itulah cikal
bakal kota Medan, dan silsilah dari Kesultanan Deli.
Dulunya di kawasan ini banyak orang sakit, Guru Patimpus banyak mengobati orang sakit di sini. Oleh
masyarakat di sekitar dua hulu sungai ini, beliau sangat dihormati. Terlebih karena beliau memiliki
kesaktian dan dapat menyembuhkan penyakit warga sekitar. Setelah wafat, beliau mendapat
penghargaan dari pemkot Medan, dengan ditetapkannya hari jadi kota Medan pada tanggal 1 Juli 1590.
Karena sangat berjasa, pemerintah kota Medan membuat tugu atau monumen dirinya yang terletak di
Jalan Gatot Subroto, Medan.
Banyaknya jasa beliau dalam kemajuan Kota Medan menjadi contoh bagi masyarakat Medan, untuk
meneladani sikap-sikap beliau. Guru Patimpus adalah bagian dari sejarah yang ada di kota Medan,
semangat perjuangan dan patriotis nya layak kita contoh. Makam beliau terletak di kawasan Hamparan
Perak, Deliserdang, Sumut. Makam beliau ditemukan oleh salah seorang aktivis Pusat Studi Sejarah dan
Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan. Makam beliau terkesan tidak terawat saat ditemukan,
dengan banyaknya rumput di sekitar lokasi, dan kondisi tanah yang kurang baik
Muara Takus (Indonesian: Candi Muara Takus) is a Buddhist temple complex, thought to belong to
the Srivijaya empire.[1] It is situated in Kampar Regency in Riau province, Sumatra, Indonesia.[2] Its
surviving temples and other archaeological remains are thought to date to the eleventh and twelfth
century AD. It is one of the largest and best-preserved ancient temple complexes in Sumatra.[
History[edit]
Candi Muara Takus was constructed by the maritime-based Sriwijaya Empire in the eleventh
century. The architecture and design of the temples clearly indicates that they are of Mahayana
Buddhist origin. It has been suggested by Schnitger that the major temples at Muara Takus may
have undergone major renovations in the twelfth century. It is thought that the area was used as
both a religious and trade centre by Srivijaya.[4]
The site was abandoned for many centuries before it was rediscovered by Cornet De Groot in 1860.
[3]
The site was explored and surveyed by W.P Groenveld in 1880 and excavations have been
conducted periodically since. The research on the Muara Takus archaeological site was carried out
in 1983 and it resulted in mapping of the ancient embankment remnants, the Mahligai Temple
compound, and other ancient structures.[2] The site is now protected as a national monument.