Anda di halaman 1dari 46

Daftar Pustaka

 http://www.google.co.id

 http://m.id.yahoo.com

 http://id.wikipedia.org/wiki/Candi

 http://candi.pnri.go.id/

 http://www.wahana-budaya-indonesia.com/

 http://www.indonesiamedia.com

 http://www.kaskus.us

 http://syadiashare.com/daftar-candi-di-indonesia

 http://melayuonline.com

 http://www.travelpod.com/photos/Indonesia/Candi
Kata Pengantar
Kata "candi" mengacu pada berbagai macam bentuk dan fungsi bangunan, antara lain
empat beribadah, pusat pengajaran agama, tempat menyimpan abu jenazah para raja, tempat
pemujaan atau tempat bersemayam dewa, petirtaan (pemandian) dan gapura. Walaupun
fungsinya bermacam-macam, secara umum fungsi candi tidak dapat dilepaskan dari kegiatan
keagamaan, khususnya agama Hindu dan Buddha. Oleh karena itu, sejarah pembangunan
candi sangat erat kaitannya dengan sejarah kerajaan-kerajaan dan perkembangan agama
Hindu dan Buddha di Indonesia, terutama di Jawa, selama abad ke-7 sampai dengan abad ke-
14.
Ajaran Hindu dan Buddha berasal dari negara India, sehingga bangunan candi banyak
mendapat pengaruh India dalam berbagai aspeknya, seperti: teknik bangunan, gaya arsitektur,
hiasan, dan sebagainya. Walaupun demikian, pengaruh kebudayaan dan kondisi alam
setempat sangat kuat, sehingga arsitektur candi Indonesia mempunyai karakter tersendiri, baik
dalam penggunaan bahan, teknik kontruksi maupun corak dekorasinya. Dinding candi
biasanya diberi hiasan berupa relief yang mengandung ajaran atau cerita tertentu.
Sampai saat ini candi masih banyak didapati di berbagai wilayah Indonesia, terutama
di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali. Walaupun sebagian besar di antaranya
tinggal reruntuhan, namun tidak sedikit yang masih utuh dan bahkan masih digunakan untuk
melaksanakan upacara keagamaan. Sebagai hasil budaya manusia, keindahan dan keanggunan
bangunan candi memberikan gambaran mengenai kebesaran kerajaan-kerajaan pada masa
lampau.
Candi-candi Hindu di Indonesia umumnya dibangun oleh para raja pada masa
hidupnya. Arca dewa, seperti Dewa Wishnu, Dewa Brahma, Dewi Tara, Dewi Durga, yang
ditempatkan dalam candi merupakan perwujudan leluhurnya. Bahkan kadang-kadang sejarah
raja yang bersangkutan dicantumkan dalam prasasti persembahan candi tersebut. Berbeda
dengan candi-candi Hindu, candi-candi Buddha umumnya dibangun sebagai bentuk
pengabdian kepada agama dan untuk mendapatkan ganjaran. Ajaran Buddha yang tercermin
pada candi-candi di Jawa Tengah adalah Buddha Mahayana, yang masih dianut oleh umat
Buddha di Indonesia sampai saat ini.
Akhirnya kliping candi di indonesia yang kami susun untuk memenuhi tugas Mapel
Seni Budaya Kelas X SMA Negeri 1 Subah ini, semoga dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan pembaca pada umumnya.

Subah, Februari 2010

Penyusun
Candi Badhut
Candi Badhut ditemukan oleh pakar arkeologi di tahun 1923.
Candi yang juga disebut Candi Liswa ini berlokasi kurang
lebih 5 km dari kota Malang, tepatnya di Desa Karangbesuki,
Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Candi
Badhut diduga diperkirakan dibangun jauh sebelum masa
pemerintahan Airlangga, yaitu masa dimulainya
pembangunan candi-candi lain di Jawa Timur, dan diduga
merupakan candi tertua di Jawa Timur.

Sebagian ahli purbakala berpendapat bahwa Candi Badhut


dibangun atas perintah Raja Gajayana dari Kerajaan Kanjuruhan. Dalam Prasasti Dinoyo
(tahun 682 Caka atau 760 M), yang ditemukan di Desa Merjosari, Malang, dijelaskan bahwa
pusat Kerajaan Kanjuruhan adalah di daerah Dinoyo. Prasasti Dinoyo sendiri saat ini
tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Tulisan dalam prasasti tersebut juga menceritakan
tentang masa pemerintahan Raja Dewasimba dan putranya, Sang Liswa, yang merupakan
masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan. Kedua raja tersebut sangat adil dan bijaksana serta
dicintai rakyatnya. Konon Sang Liswa yang bergelar Raja Gajayana yang sangat senang
melucu (bahasa Jawa: mbadhut) sehingga candi yang dibangun atas perintahnya dinamakan
Candi Badhut. Walaupun terdapat dugaan semacam itu, sampai saat ini belum ditemukan
bukti kuat keterkaitan Candi Badhut dengan Raja Gajayana.

Selain usianya yang diduga jauh lebih tua, didasarkan pada keterkaitannya dengan Kerajaan
Kanjuruhan, terdapat ciri khas lain yang membedakan Candi Badhut dari candi lain di Jawa
Timur, yaitu pahatan kalamakara yang menghiasi ambang pintunya. Pada umumnya relief
kepala raksasa yang terdapat di candi-candi Jawa Timur dibuat lengkap dengan rahang bawah,
namun kalamakara yang terdapat di Candi Badhut dibuat tanpa rahang bawah, mirip dengan
yang didapati pada candi-candi di Jawa tengah. Tubuh candi Badhut yang tambun juga lebih
mirip dengan candi di Jawa Tengah. Candi ini juga memiliki kemiripan dengan Candi Dieng
(di Jawa Tengah) dalam hal bentuk serta reliefnya yang simetris. Candi Badhut diyakini
sebagai candi Syiwa, walaupun sampai saat ini belum ditemukan arca Agastya di dalamnya.

Bangunan yang terbuat dari batu andesit ini berdiri di atas batur setinggi sekitar 2 m. Batur ini
sangat sederhana, tanpa hiasan relief, membentuk selasar selebar sekitar 1 m di sekeliling
tubuh candi. Di sisi kanan bagian depan batur terdapat pahatan tulisan Jawa (hanacaraka)
yang tidak jelas waktu pembuatannya.

Tangga menuju selasar di kaki candi terletak di sisi barat, tepat di hadapan pintu masuk ke
ruang utama di tubuh candi. Pada bagian luar dinding pengapit tangga terdapat ukiran yang
sudah tidak utuh lagi, namun masih terlihat adanya pola sulur-sulur yang mengelilingi sosok
orang yang sedang meniup seruling. Jalan masuk ke garba grha (ruang dalam tubuh candi)
dilengkapi dengan bilik penampil sepanjang sekitar 1,5 m. Pintu masuk cukup lebar dengan
hiasan kalamakara di atas ambang pintu.

Dalam tubuh candi terdapat ruangan seluas sekitar 5,53 x 3,67 meter2. Di tengah ruangan
tersebut terdapat lingga dan yoni, yang merupakan lambang kesuburan bagi. Pada dinding di
sekeliling ruangan terdapat relung-relung kecil yang tampaknya semula berisi arca.

Dinding candi dihiasi dengan relief burung berkepala manusia dan


peniup seruling. Di keempat sisi tubuh candi juga terdapat relung-relung
berhiaskan bunga dan burung berkepala manusia.Di dinding luar sisi
utara tubuh candi terdapat arca Durga Mahisasuramardini yang tampak
sudah rusak.

Di sisi selatan seharusnya terdapat arca


Syiwa Guru dan di sisi timur seharusnya
terdapat arca Ganesya. Keduanya sudah
tidak ada lagi di tempatnya.

Candi ini pernah dipugar di tahun 1925 –


1926, akan tetapi banyak bagian yang
sudah hilang atau belum dapat
dikembalikan ke bentuk asalnya. Atap bangunan utama, misalnya, saat ini sudah tidak ada di
tempatnya. Hanya pelipit di sepanjang tepi atas dinding yang masih tersisa.

Di bagian barat pelataran, yaitu di sisi kiri dan kanan halaman depan bangunan candi yang
yang sudah dipugar, terdapat fondasi bangunan lain yang masih belum dipugar. Masih banyak
onggokan batu di sekeliling pelataran candi yang belum dapat di kembalikan ke tempatnya
semula.
Candi Bajangratu
Candi Bajangratu terletah di Dukuh Kraton, Desa Temon,
Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, sekitar 3,5 km dari
Candi Wringinlawang dan sekitar 600 m dari Candi Tikus. Candi ini
masih menyimpan banyak hal yang belum diketahui secara pasti,
baik mengenai tahun pembuatannya, raja yang memerintahkan
pembangunannya, fungsinya, maupun segi-segi lainnya.

Nama Bajangratu pertama kali disebut dalam Oudheidkunding


Verslag (OV) tahun 1915. Arkeolog Sri Soeyatmi Satari menduga
nama Bajangratu ada hubungannya dengan Raja Jayanegara dari
Majapahit, karena kata 'bajang' berarti kerdil. Menurut Kitab
Pararaton dan cerita rakyat, Jayanegara dinobatkan tatkala masih
berusia bajang atau masih kecil, sehingga gelar Ratu Bajang atau
Bajangratu melekat padanya.

Mengenai fungsi candi, diperkirakan bahwa Candi Bajangratu didirikan untuk menghormati
Jayanegara. Dasar perkiraan ini adalah adanya relief Sri Tanjung di bagian kaki gapura yang
menggambarkan cerita peruwatan. Relief yang memuat cerita peruwatan ditemukan juga,
antara lain, di Candi Surawana. Candi Surawana diduga dibangun sehubungan dengan
wafatnya Bhre Wengker (akhir abad ke-7).

Dalam Kitab Pararaton dijelaskan bahwa Jayanegara wafat tahun 1328 ('sira ta dhinar meng
Kapopongan, bhiseka ring csrenggapura pratista ring Antarawulan'). Disebutkan juga bahwa
Raja Jayanegara, yang kembali ke alam Wisnu (wafat) pada tahun 1328, dibuatkan tempat
sucinya di dalam kedaton, dibuatkan arcanya dalam bentuk Wisnu di Shila Petak dan Bubat,
serta dibuatkan arcanya dalam bentuk Amoghasidhi di Sukalila. Menurut Krom,
Csrenggapura dalam Pararaton sama dengan Antarasasi (Antarawulan) dalam
Negarakertagama, sehingga dapat disimpulkan bahwa 'dharma' (tempat suci) Raja Jayanegara
berada di Kapopongan alias Csrenggapura alias Crirangga Pura alias Antarawulan, yang kini
disebut Trowulan. Arca perwujudan sang raja dalam bentuk Wisnu juga terdapat di Bubat
(Trowulan). Hanya lokasi Shila Petak (Selapethak) yang belum diketahui.

Di samping pendapat di atas, ada pendapat lain mengenai fungsi Candi Bajangratu. Mengingat
bentuknya yang merupakan gapura paduraksa atau gapura beratap dengan tangga naik dan
turun, Bajangratu diduga merupakan salah satu pintu gerbang Keraton Majapahit. Perkiraan
ini didukung oleh letaknya yang tidak jauh dari lokasi bekas istana Majapahit.

Bajangratu diperkirakan didirikan antara abad ke-13 dan ke-14, mengingat: 1) Prakiraan
fungsinya sebagai candi peruwatan Prabu Jayanegara yang wafat tahun 1328 M ; 2) Bentuk
gapura yang mirip dengan candi berangka tahun di Panataran Blitar; 3) Relief penghias
bingkai pintu yang mirip dengan relief Ramayana di Candi Panataran; 4) Bentuk relief naga
yang menunjukkan pengaruh Dinasti Yuan. J.L.A. Brandes memperkirakan bahwa Bajangratu
dibangun pada masa yang sama dengan pembangunan Candi Jago di Tumpang, Malang,
ditilik dari adanya relief singa yang mengapit sisi kiri dan kanan kepala Kala, yang juga
terdapat di Candi Jago. Candi Jago sendiri diperkirakan dibangun pada abad ke-13.

Candi Bajangratu menempati area yang cukup luas. Seluruh bangunan candi dibuat dari batu
bata merah, kecuali anak tangga dan bagian dalam atapnya. Sehubungan dengan bentuknya
yang merupakan gapura beratap, Candi Bajangratu menghadap ke dua arah, yaitu timur-barat.
Ketinggian candi sampai pada puncak atap adalah 16,1 m dan panjangnya 6,74 m. Gapura
Bajangratu mempunyai sayap di sisi kanan dan kiri. Pada masing-masing sisi yang
 
mengapit anak tangga terdapat hiasan singa dan binatang bertelinga panjang. Pada dinding
kaki candi, mengapit tangga, terdapat relief Sri Tanjung, sedangkan di kiri dan kanan
dinding bagian depan, mengapit pintu, terdapat relief Ramayana. Pintu candi dihiasi dengan
relief kepala kala yang terletak tepat di atas ambangnya. Di kaki ambang pintu masih terlihat
lubang bekas tempat menancapkan kusen. Mungkin dahulu pintu tersebut dilengkapi dengan
daun pintu.

Bagian dalam candi membentuk lorong yang membujur dari barat ke timur. Anak tangga dan
lantai lorong terbuat dari batu. Bagian dalam atap candi juga terbuat dari balok batu yang
disusun membujur utara-selatan, membentuk ruang yang menyempit di bagian atas.

Atap candi berbentuk meru (gunung), mirip limas


bersusun, dengan puncak persegi. Setiap lapisan
dihiasi dengan ukiran dengan pola limas terbalik dan
pola tanaman. Pada bagian tengah lapis ke-3 terdapat
relief matahari, yang konon merupakan simbol
kerajaan Majapahit. Walaupun candi ini menghadap
timur-barat, namun bentuk dan hiasan di sisi utara
dan selatan dibuat mirip dengan kedua sisi lainnya.
Di sisi utara dan selatan dibuat relung yang
menyerupai bentuk pintu. Di bagian atas tubuh candi
terdapat ukiran kepala garuda dan matahari diapit
naga.

Candi Bajangratu telah mengalami pemugaran pada zaman Belanda, namun tidak didapatkan
data mengenai kapan tepatnya pemugaran tersebut dilaksanakan. Perbaikan yang telah
dilakukan mencakup penguatan pada bagian sudut dengan cara mengisikan adonan pengeras
ke dalam nat-nat yang renggang dan mengganti balok-balok kayu dengan semen cor.
Beberapa batu yang hilang dari susunan anak tangga anak tangga juga sudah diganti.
Candi Brahu
Candi Brahu terletak di Dukuh Jambu Mente, Desa
Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.
Tepat di depan kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan
Purbakala Jawa Timur yang terletak di jalan raya
Mojokerto-Jombang terdapat jalan masuk ke arah utara
yang agak sempit namun telah diaspal. Candi Brahu
terletak di sisi kanan jalan kecil tersebut, sekitar 1,8 km
dari jalan raya.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa Candi Brahu lebih


tua dibandingkan candi lain yang ada di sekitar Trowulan.
Nama Brahu dihubungkan diperkirakan berasal dari kata 'Wanaru' atau 'Warahu', yaitu nama
sebuah bangunan suci yang disebutkan di dalam prasasti tembaga 'Alasantan' yang ditemukan
kira-kira 45 meter disebelah barat Candi Brahu. Prasasti ini dibuat pada tahun 861 Saka atau,
tepatnya, 9 September 939 M atas perintah Raja Mpu Sindok dari Kahuripan. Menurut
masyarakat di sekitarnya, candi ini dahulu berfungsi sebagai tempat pembakaran jenasah raja-
raja Brawijaya. Akan tetapi, hasil penelitian yang dilakukan terhadap candi tersebut tidak
menunjukkan adanya bekas-bekas abu atau mayat, karena bilik candi sekarang sudah kosong.

Di sekitar kompleks candi pernah ditemukan benda-benda kuno lain, seperti alat upacara dari
logam, perhiasan dan benda-benda lain dari emas, serta arca-arca logam yang kesemuanya
menunjukkan ciri-ciri ajaran Buddha, sehingga ditarik kesimpulan bahwa Candi Brahu
merupakan candi Buddha. Walaupun tak satupun arca Buddha yang didapati di sana, namun
gaya bangunan serta sisa profil alas stupa yang terdapat di sisi tenggara atap candi
menguatkan dugaan bahwa Candi Brahu memang merupakan candi Buddha. Diperkirakan
candi ini didirikan pada abad 15 M.

Candi ini menghadap ke arah Barat, berdenah dasar persegi panjang seluas 18 x 22,5 m dan
dengan tinggi yang tersisa sampai sekarang mencapai sekitar 20 m. Sebagaimana umumnya
bangunan purbakala lain yang diketemukan di Trowulan, Candi Brahu juga terbuat dari bata
merah. Akan tetapi, berbeda dengan candi yang lain, bentuk tubuh Candi Brahu tidak tegas
persegi melainkan bersudut banyak, tumpul dan berlekuk. Bagian tengah tubuhnya melekuk
ke dalam seperti pinggang. Lekukan tersebut dipertegas dengan pola susunan batu bata pada
dinding barat atau dinding depan candi. Atap candi juga tidak berbentuk berbentuk prisma
bersusun atau segi empat, melainkan bersudut banyak dengan puncak datar.

Kaki candi dibangun bersusun dua. Kaki bagian


bawah setinggi sekitar 2 m, mempunyai tangga
di sisi barat, menuju ke selasar selebar sekitar 1
m yang mengelilingi tubuh candi. Dari selasar
pertama terdapat tangga setinggi sekitar 2 m
menuju selasar kedua. Di atas selasar kedua
inilah berdiri tubuh candi. Di sisi barat, terdapat
lubang semacam pintu pada ketinggian sekitar 2
m dari selasar kedua. Mungkin dahulu terdapat
tangga naik dari selasar kedua menuju pintu di
tubuh candi, namun saat ini tangga tersebut
sudah tidak ada lagi, sehingga sulit bagi
pengunjung untuk masuk ke dalam ruangan di tubuh candi. Konon ruangan di dalam cukup
luas sehingga mampu menampung sekitar 30 orang. Di kaki, tubuh maupun atap candi tidak
didapati hiasan berupa relief atau ukiran. Hanya saja susunan bata pada kaki, dinding tubuh
dan atap candi diatur sedemikian rupa sehingga membentuk gambar berpola geometris
maupun lekukan-lekukan yang indah.
Candi Brahu mulai dipugar tahun 1990 dan selesai tahun 1995. Menurut masyarakat di
sekitarnya, tidak jauh dari Candi Brahu dahulu terdapat beberapa candi lain, seperti Candi
Muteran, Candi Gedong, Candi Tengah dan Candi Gentong, yang sekarang sudah tidak
terlihat.
Candi Cetha
Sesungguhnya Candi Cetha tidak dapat dikelompokkan ke
dalam candi-candi di Jawa Timur karena letaknya di Dukuh
Cetha, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten
Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Namun karena secara
historis Candi Cetha lebih erat kaitannya dengan Kerajaan
Majapahit, maka dalam situs web ini Candi Cetha dimasukkan
ke kelompok Candi di Jawa Timur.

Candi Cetha merupakan salah satu candi yang dibangun pada


zaman Kerajaan Majapahit, yaitu pada masa pemerintahan
Raja Brawijaya V. Konon nama Cetha, yang dalam bahasa Jawa berarti jelas, digunakan
sebagai nama dusun tempat candi ini berada karena dari Dusun Cetha orang dapat dengan
jelas ke berbagai arah. Ke arah utara terlihat pemandangan Karanganyar dan Kota Solo
dengan latar belakang Gunung Merbabu dan Merapi serta, lebih jauh lagi, puncak Gunung
Sumbing. Ke arah barat dan timur terlihat bukit-bukit hijau membentang, sedangkan ke arah
selatan terlihat punggung dan anak-anak Gunung Lawu.

Kompleks Candi Cetha pertama kali ditemukan oleh Van der Vlis pada tahun 1842.
Selanjutnya bangunan bersejarah itu banyak mendapat perhatian para ahli purbakala seperti
W.F. Sutterheim, K.C. Crucq, N.j. Krom, A.J. Bernet Kempers, dan Riboet Darmosoetopo.
Pada tahun 1928 Dinas Purbakala mengadakan penelitian melalui penggalian untuk mencari
bahan-bahan rekonstruksi yang lebih lengkap. Bangunan yang ada saat ini, termasuk
bangunan-bangunan pendapa dari kayu, merupakan hasil pemugaran yang dilakukan pada
akhir tahun 1970-an. Sangat disayangkan bahwa pemugaran atau lebih tepatnya disebut
pembangunan kembali tersebut dilakukan tanpa memperhatikan aspek arkeologis, sehingga
keaslian bentuknya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Dari tulisan yang ditemukan di lokasi candi, diketahui bahwa candi ini dibangun sekitar tahun
1451-1470, yaitu pada masa akhir pemerintahan Kerajaan Majapahit. Candi Cetha merupakan
candi Hindu yang dibangun untuk tujuan 'ruwatan', yaitu ruwatan atau upaya penyelamatan
dari malapetaka dan berbagai bentuk tekanan akibat kekacauan yang sedang berlangsung kala
itu. Kenyataan bahwa candi ini merupakan candi Hindu sangatlah menarik, karena raja-raja
Majapahit menganut ajaran Buddha. 'Penyimpangan' tersebut diduga mempunyai kaitan erat
dengan tujuan pembangunannya. Pada masa itu Kerajaan Majapahit sedang mengalami proses
keruntuhan dengan memuncaknya kekacauan sosial, politik, budaya dan bahkan tata
keagamaan sebelum akhirnya mengalami keruntuhan total pada tahun
1478 M.

Candi Cetha merupakan kelompok bangunan yang terdiri atas 11 teras


berundak yang membentang arah timur-barat. Teras pertama terletak di
sisi timur, makin ke barat makin tinggi. Masing-masing teras
dihubungkan oleh sebuah pintu dan jalan setapak yang seolah-olah
membelah halaman teras menjadi dua sisi. Di sisi timur teras paling
bawah terdapat sebuah gapura yang merupakan pintu gerbang kompleks
Candi Cetha. Di depan gapura terdapat sebuah arca batu yang disebut arca
Nyai Gemang Arum.
Di sisi selatan teras pertama terdapat bangunan tanpa dinding yang berdiri di atas fondasi
setinggi kurang lebih 2 m. Di dalam bangunan terdapat susunan batu yang tampaknya sering
digunakan untuk meletakkan sesajian. Di ujung barat jalan setapak yang melintasi halaman
teras pertama terdapat gapura batu dengan tangga batu. Tangga menuju teras berikutnya ini
diapit oleh sepasang arca Nyai Agni. Hanya satu dari kedua arca ini yang masih agak utuh,
yaitu masih mempunyai kepala.

Di halaman teras kedua terdapat susunan


batu yang terhampar di halaman,
membentuk gambar seekor garuda
terbang dengan sayap membentang. Di
punggung garuda terdapat susunan batu
yang menggambarkan seekor kura-kura.
Tepat di atas kepala garuda terdapat
susunan batu berbentuk matahari
bersinar, segitiga sama kaki dan Kalacakra (kelamin laki-laki). Di ujung masing-masing sayap
garuda terdapat dua bentuk matahari lain. 

Garuda adalah burung kendaraan Wisnu yang yang melambangkan dunia atas, sedangkan
kura-kura yang merupakan titisan Wisnu merupakan simbol dunia bawah. Kura-kura
dianggap binatang sakti yang mampu menyelami samudera untuk mendapatkan air kehidupan
(tirta amerta). Adanya kalacakra di halaman ini yang menyebabkan Candi Cetha disebut
sebagai candi 'lanang' (lelaki).

Matahari bersinar 7 (tujuh) melambangkan Sang Surya yang


diyakini sebagai sumber kekuatan kehidupan. Segitiga sama
kaki melambangkan pedoman bagi dunia yang sedang
tenggelam kedalam lautan kegelapan. Di tengah segi tiga sama
kaki terdapat lingkaran yang memuat tiga ekor katak, masing-
masing menghadap ke sudut yang berbeda.

Dalam setiap segitiga terdapat lukisan seekor kadal. Pada garis berat yang membagi sisi timur
terdapat bentuk belut bermahkota dengan gambar ketam di sisi selatan dan mimi (sejenis
binatang laut) di sisi utara. Keseluruhan bentuk tersebut merupakan gambaran harapan akan
kesuburan, baik kesuburan tanah maupun manusia. Segitiga dengan bentuk kelamin laki-laki
di puncaknya melambangkan kesatuan wanita dan pria, dua makhluk yang berlawanan
sifatnya namun tidak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai perlambang jagad kecil
(mikrokosmos) dalam diri manusia. Di sisi barat teras kedua, masing-masing di kiri dan kanan
tangga menuju teras berikutnya, terlihat dua buah ruangan yang hanya tinggal fondasinya saja.
Tangga menuju teras berikutnya merupakan susunan batu andesit yang susunannya tidak rapi.
Di kiri dan kanan tangga terdapat reruntuhan batu yang tidak jelas bentuk aslinya.
Teras ketiga merupakan halaman yang tidak terlalu luas. Seperti yang terdapat di teras
sebelumnya, di sisi barat teras ini juga terdapat sepasang ruangan yang mengapit jalan menuju
tangga ke teras yang lebih atas. Di dalam ruangan terdapat susunan batu membentuk segi
empat membujur dari utara ke selatan. Pada dinding susunan batu tampak relief bergambar
orang dan binatang. Konon relief tersebut merupakan cuplikan dari Kidung Sudamala. Relief
yang dengan tema Kidung Sudamala juga terdapat di Candi Sukuh. Relief ini yang
menguatkan dugaan bahwa Candi Cetha dibangun untuk tujuan 'ruwatan'. Tangga menuju
teras berikutnya terbuat dari batu andesit yang sangat rapi susunannya, dibuat bertingkat
dengan jeda (landing) yang cukup lebar di setiap tingkat. Tebing di kira dan kanan tangga
disangga oleh turap batu bersusun. Tidak didapat informasi apakah tangga ini merupakan
hasil pemugaran yang pernah dilakukan sebelumnya atau merupakan tangga yang asli.

Di sisi dalam (barat) teras keempat terdapat sepasang arca Bima yang menjaga sebuah tangga
batu menuju teras kelima. Teras kelima merupakan halaman dengan sepasang bangunan
beratap, yang disebut pendapa luar. Bangunan tanpa dinding tersebut mengapit jalan menuju
tangga ke teras ke enam. Menurut keterangan yang didapat dari juru kunci, pendapa luar
merupakan ruang tunggu bagi tamu yang akan menghadap Sang Prabu Brawijaya.

Di sisi barat teras ke enam, di depan kaki tangga, terdapat sebuah arca Kalacakra dan
sepasang arca Ganesha. Tangga menuju teras ketujuh ini juga sangat rapi susunannya dan
dibuat bertingkat 3. Tebing di kiri kanan tangga diperkuat dengan turap batu. Di puncak
tangga terdapat gapura yang merupakan pintu masuk ke teras ketujuh, yang merupakan
halaman yang dikelilingi oleh dinding batu. Mirip dengan pendapa luar, di teras ini juga
terdapat sepasang pendapa beratap tanpa dinding. Teras ini disebut pendapa dalam. Di sisi
barat pendapa dalam terdapat tangga menuju di teras berikutnya.

Teras kedelapan merupakan sebuah ruangan yang digunakan untuk bersembahyang. Di depan
pintu ruangan terdapat dua buah arca batu dengan tulisan Jawa yang menunjukkan tahun
dibangunnya Candi Cetha. Di sisi barat, di belakang ruangan, terdapat tangga menuju teras
kesembilan.

Di kiri dan kanan sisi barat teras kesembilan terdapat ruangan


yang menghadap ke timur. Kedua ruangan tersebut berfungsi
sebagai tempat penyimpanan benda kuno. Di sisi timur,
berseberangan dengan masing-masing ruang penyimpanan
tersebut terdapat dua bangunan. Bangunan di sisi utara berisi arca
Sabdapalon dan yang di sisi selatan berisi arca Nayagenggong.
Keduanya merupakan tokoh punakawan (pengasuh sekaligus
penasehat kerajaan) pada masa itu.

Sisi barat teras kesembilan dibatasi oleh dinding batu yang berfungsi sebagai gapura masuk ke
sebuah lorong tangga batu menuju ke sebuah ruangan di teras
kesepuluh.

Di masing-masing sisi ruang ini terdapat tiga buah bangunan kayu


yang saling berhadapan. Dalam masing-masing bangunan terdapat
sebuah arca. Salah satu di antara deretan arca yang terletak di deretan
utara adalah arca Prabu Brawijaya. Di deretan selatan, lagi-lagi,
terdapat arca Kalacakra. Ujung barat deretan selatan merupakan tempat penyimpanan pusaka
Empu Supa. Empu Supa adalah seorang empu (pembuat senjata pusaka) yang terkenal dan
dihormati pada masa hidupnya. Sisi barat teras kesepuluh dibatasi oleh dinding batu yang
berfungsi sebagai gapura masuk ke sebuah lorong tangga batu menuju ke teras kesebelas.

Di puncak lorong terdapat sebuah dinding batu setinggi sekitar 1,60 meter yang menyekat
tangga dengan ruang utama, berupa bangunan tanpa atap, dikelilingi dinding batu setinggi
hampir 2 m, dengan luas sekitar 5 m2. Ruang utama yang merupakan pesanggrahan Prabu
Brawijaya ini letaknya lebih tinggi dari semua ruang lain, sehingga dari tempat ini dapat
dilihat dengan jelas ruang-ruang di bawahnya.

Bangunan utama Candi Cetha terletak di halaman paling belakang dan di teras yang paling
tinggi serta menghadap ke puncak gunung. Hal ini mencerminkan keyakinan bahwa
kekeramatan candi merupakan bagian dari alam di sekitarnya. Arsitektur Candi Cetha
didasarkan pada konsep bahwa dewa-dewa bukan bersemayam di langit, melainkan di puncak
gunung. Gunung adalah sumber enerji yang nampak maupun tidak nampak. Bahwa bangunan
utama candi ini justru terletak di halaman paling atas dan paling bagian belakang, berbeda
dengan konsep candi pada umumnya yang menempatkan ruang bagian depan sebagi pusat
dari seluruh kegiatan, mirip dengan yang didapati di Candi Panataran, Blitar. Jauh di barat
kompleks candi ini, di sebuah dataran yang agak tinggi, terdapat 'sendang' atau kolam tempat
mandi para selir raja beserta dayang-dayangnya. Sayang sekali bahwa sendang ini tak terawat,
berbeda dengan candi yang selalu dibersihkan setidaknya setahun sekali.

Sampai saat ini Candi Cetha masih digunakan sebagai tempat beribadah dan dikunjungi umat
Hindu, terutama pada hari Selasa dan Jumat seitap tanggal 1 Sura (penanggalan Jawa). Setiap
6 bulan sekali di candi ini diselenggarakan peringatan Wuku Medangsia. Selain umat Hindu,
banyak juga wisatawan yang mengunjungi candi ini, baik pria maupun wanita. Ada satu
pantangan bagi pengunjung wanita, yaitu mengenakan rok. Dianjurkan bagi wanita yang
berkunjung agar memakai celana panjang. Mungkin pantangan tersebut berkaitan dengan
keyakinan bahwa Candi Cetha adalah candi lanang (candi laki-laki), yaitu candi yang banyak
menggambarkan bagian sensitif tubuh pria.

Candi Cetha mempunyai kaitan erat dengan Candi Sukuh yang letaknya relatif berdekatan.
Candi Sukuh yang didirikan pada tahun 1440 M terletak di dataran yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan Candi Cetha.
Candi Gununggangsir
Candi Gunung Gangsir terletak di Desa Gunung Gangsir Kecamatan
Beji, sekitar 18 km dari kota Pasuruan. Candi ini sebenarnya bernama
bernama Candi Keboncandi, namun karena letaknya di Desa Gunung
Gangsir, maka masyarakat setempat menyebutnya Candi Gunung
Gangsir.

Tidak banyak informasi yang bisa didapat mengenai candi yang


konon dibangun pada masa pemerintahan Raja Airlangga, yaitu
sekitar abat ke-11 M. Walaupun diperkirakan berasal dari masa yang
lebih awal sebelum masa pemerintahan Singasari, Candi Gunung
Gangsir dibangun menggunakan bahan batu bata, bukan batu andesit.

Mengenai fungsi Candi Gunung Gangsir tidak didapatkan informasi yang jelas. Masyarakat
setempat mempunyai versi tersendiri mengenai tujuan pembangunan candi ini. Menurut
mereka, Candi Gunung Gangsir dibangun sebagai penghormatan kepada Nyi Sri Gati, yang
dijuluki Mbok Randa Derma (janda murah hati), atas jasanya dalam membangun masyarakat
pertanian di daerah itu.

Nyi Sri Gati merupakan tokoh dalam legenda masyarakat setempat. Pada zaman dahulu
masyarakat di daerah itu belum mengenal kehidupan bercocok tanam. Mereka senang
mengembara dan makanan utamanya adalah sebangsa rerumputan. Suatu saat, rerumputan
yang menjadi makanan pokok mereka mulai menipis persediaannya. Pada saat itu datanglah
seorang wanita, entah dari mana asalnya, bernama Nyi Sri Gati. Wanita itu mengajak para
pengembara untuk berdoa, meminta petunjuk kepada Hyang Widi tentang bagaimana caranya
mengatasi kekurangan pangan yang mereka alami. Tak lama kemudian datang serombongan
burung sebangsa burung gelatik dengan membawa padi-padian, lalu menjatuhkannya di dekat
para pengembara. Padi yang jatuh itu kemudian ditanam oleh Nyi Sri Gati. Beberapa bulan
kemudian, tanaman Nyi Sri Gati sudah dapat dipanen. Nyi Sri Gati kemudian menumbuk
hasil panennya untuk dijadikan beras, yang kemudian diolahnya menjadi nasi. Nyi Sri Gati
kemudian mengajarkan cara bercocok tanam kepada para pengembara. Sejak saat itu,
masyarakat pengembara tersebut menetap dan hidup dari bercocok tanam. Mereka
menjadikan padi sebagai makanan pokoknya. Sebagian dari padi yang dijatuhkan burung tadi
berubah menjadi permata yang membuat Nyi Sri Gati menjadi kaya raya.

Candi Gunung Gangsir belum pernah mengalami pemugaran secara menyeluruh. Walaupun
secara keseluruhan bangunan Candi Gunung Gangsir masih megah berdiri, namun banyak
bagian yang telah hancur. Konon candi ini mengalami kerusakan berat pada zaman penjajahan
Jepang. Banyak hiasan pada dinding candi yang diambil oleh tentara Jepang untuk membiayai
perang. Setelah Jepang berlalu, penduduk melakukan perbaikan sekedarnya tanpa didasari
dengan pengetahuan yang memadai tentang pemugaran candi. Beberapa potongan bata atau
hiasan dinding terlihat sangat berbeda dengan tempatnya menempel. Sepertinya letak yang
sebenarnya bukan di tempat tersebut.
Kaki candi berbentuk segi empat dengan dengan ukuran sekitar 15 x 15 m2. Tinggi bangunan
mencapai sekitar 15 m. Di dalam tubuh candi terdapat ruangan yang konon cukup luas,
sehingga dapat menampung 50 orang. Pintu masuk ke ruangan tersebut terletak di sebelah
barat, berjarak sekitar 5 m dari tanah. Untuk mencapai pintu terdapat tangga yang cukup
lebar, yang menjorok jauh ke barat. Sayang sekali tangga tersebut telah hancur, sehingga sulit
untuk ditapaki.

Pada dinding di sisi kanan dan kiri atas pintu terdapat relung yang terlihat seperti tempat
meletakkan arca. Relung di sisi selatan sudah hancur, sementara yang di sisi utara masih
tampak bekasnya.

Saat ini atap candi berbentuk melengkung dengan ujung tumpul seperti puncak gunung.
Bagian puncak atap sudah hancur, namun masih terlihat lapik penyangga puncak atap. Dari
belakang, bangunan candi tampak seperti bukit kecil yang terbuat dari batu bata. Tidak
terdapat relung-relung tempat meletakkan arca.

Beberapa hiasan masih menempel pada dinding candi. Di kiri dan kanan puncak tangga
terdapat hiasan berupa pahatan gambar wadah berhiaskan sulur-suluran dan gambar seorang
wanita. Hiasan yang terbuat dari batu bata tersebut sangat halus, nyaris terlihat sebagai hasil
cetakan, bukan pahatan.
Candi Jago
Candi Jago terletak di Dusun Jago, Desa Tumpang,
Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, tepatnya 22
km ke arah timur dari Kota Malang. Karena letaknya di
Desa Tumpang, candi ini sering juga disebut Candi
Tumpang. Penduduk setempat menyebutnya Cungkup.

Menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, nama


candi ini yang sebenarnya adalah Jajaghu. Dalam
pupuh 41 gatra ke-4 Negarakertagama dijelaskan
bahwa Raja Wisnuwardhana yang memerintah
Singasari menganut agama Syiwa Buddha, yaitu suatu
aliran keagamaan yang merupakan perpaduan antara
ajaran Hindu dan Buddha. Aliran tersebut berkembang selama masa pemerintahan Kerajaan
Singasari, sebuah kerajaan yang letaknya sekitar 20 km dari Candi Jago. Jajaghu, yang artinya
adalah 'keagungan', merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tempat suci.

Masih menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, pembangunan Candi Jago berlangsung
sejak tahun 1268 M sampai dengan tahun 1280 M, sebagai penghormatan bagi Raja Singasari
ke-4, yaitu Sri Jaya Wisnuwardhana. Walaupun dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan
Singasari, disebut dalam kedua kitab tersebut bahwa Candi Jago selama tahun 1359 M
merupakan salah satu tempat yang sering dikunjungi Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan
Majapahit. Keterkaitan Candi Jago dengan Kerajaan Singasari terlihat juga dari pahatan
padma (teratai), yang menjulur ke atas dari bonggolnya, yang menghiasi tatakan arca-arcanya.
Motif teratai semacam itu sangat populer pada masa Kerajaan Singasari. Yang perlu dicermati
dalam sejarah candi adalah adanya kebiasaan raja-raja zaman dahulu untuk memugar candi-
candi yang didirikan oleh raja-raja sebelumnya. Diduga Candi Jago juga telah mengalami
pemugaran pada tahun 1343 M atas perintah Raja Adityawarman dari Melayu yang masih
memiliki hubungan darah dengan Raja Hayam Wuruk.

Saat ini Candi Jago masih berupa reruntuhan yang belum dipugar. Keseluruhan bangunan
candi berbentuk segi empat dengan luas 23 x 14 m. Atap candi sudah hilang, sehingga tinggi
bangunan aslinya tidak dapat diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa tingginya mencapai
15 m.

Bangunan candi menghadap ke barat, berdiri di atas batur setinggi sekitar 1 m dan kaki candi
yang terdiri atas 3 teras bertingkat. Makin ke atas, teras kaki candi makin mengecil sehingga
pada lantai pertama dan kedua terdapat selasar yang dapat dilewati untuk mengelilingi candi.
Garba ghra (ruang utama) terletak bergeser agak ke belakang.

Bentuk bangunan bersusun, berselasar dan bergeser ke belakang merupakan bentuk yang
umum ditemui pada bangunan pada zaman megalitikum, yaitu yang disebut sebagai bangunan
punden berundak. Bentuk itu umumnya digunakan dalam membangun tempat pemujaan
arwah leluhur. Menilik bentuknya, diperkirakan bahwa tujuan pembangunan Candi Jago
adalah juga untuk tempat pemujaan arwah leluhur. Namun masih diperlukan penelitian dan
pengkajian lebih lanjut untuk membuktikan kebenarannya.
Untuk naik ke lantai yang lebih atas, terdapat
dua tangga sempit di sisi kiri dan kanan bagian
depan (barat). Lantai yang terpenting
peranannya dan tersuci adalah yang paling
atas, dengan bangunan yang letaknya sedikit
bergeser ke belakang.

Candi Jago dipenuhi dengan panel-panel relief yang terpahat rapi mulai dari kaki sampai ke
dinding ruangan teratas. Hampir tidak terdapat bidang yang kosong, karena semua terisi
dengan aneka ragam hiasan dalam jalinan cerita-cerita yang mengandung unsur pelepasan
kepergian. Hal ini menguatkan dugaan bahwa pembangunan Candi Jago berkaitan erat dengan
wafatnya Sri Jaya Wisnuwardhana. Sesuai dengan agama yang dianut oleh Raja
Wisnuwardhana, yaitu Syiwa Buddha, maka relief pada Candi Jago mengandung ajaran
Hindu maupun Buddha.

Ajaran Buddha tercermin dalam relief cerita Tantri


Kamandaka dan cerita Kunjarakarna yang terpahat pada teras
paling bawah. Pada dinding teras kedua terpahat lanjutan
cerita Kunjarakarna dan petikan kisah Mahabarata yang
memuat ajaran agama Hindu, yaitu Parthayajna dan Arjuna
Wiwaha. Teras ketiga dipenuhi dengan relief lanjutan cerita
Arjunawiwaha. Dinding tubuh candi juga dipenuhi dengan
pahatan relief cerita Hindu, yaitu peperangan Krisna dengan
Kalayawana.

Di tengah pelataran depan, sekitar 6 m dari kaki candi, terdapat batu besar yang dipahat
menyerupai bentuk tatakan arca raksasa, dengan diameter batu sekitar 1 m. Di puncaknya
terdapat pahatan bunga padma yang menjulur dari bonggolnya.

Di sisi barat halaman candi terdapat arca Amoghapasa berlengan delapan dilatarbelakangi
singgasana berbentuk kepala raksasa yang saling membelakangi. Kepala arca tersebut telah
hilang dan lengan-lengannya telah patah. Sekitar 3 m di selatan arca ini terdapat arca kepala
rasaksa setinggi sekitar 1 m. Tidak didapat informasi apakah benda-benda yang terdapat di
pelataran candi tersebut memang aslinya berada di tempatnya masing-masing.
Candi Jawi
Candi Jawi terletak di kaki G. Welirang, tepatnya di Desa Candi
Wates, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, sekitar 31 km
dari kota Pasuruan. Bangunan candi dapat dikatakan masih utuh
karena telah berkali-kali mengalami pemugaran. Candi Jawi
dipugar untuk kedua kalinya tahun 1938-1941 dari kondisinya
yang sudah runtuh. Akan tetapi, pemugaran tidak dapat
dituntaskan karena banyak batu yang hilang dan baru
disempurnakan pada tahun 1975-1980.

Dalam Negarakertagama pupuh 56 disebutkan bahwa Candi


Jawi didirikan atas perintah raja terakhir Kerajaan Singasari,
Kertanegara, untuk tempat beribadah bagi umat beragama
Syiwa-Buddha. Raja Kartanegara adalah seorang penganut
ajaran Syiwa Buddha. Selain sebagai tempat ibadah, Candi Jawi
juga merupakan tempat penyimpanan abu jenazah Kertanegara.
Hal ini memang agak mengherankan, karena letak Candi Jawi cukup jauh dari pusat Kerajaan
Singasari. Diduga hal itu disebabkan karena rakyat di daerah ini sangat setia kepada raja dan
banyak yang menganut ajaran Siwa-Buddha. Dugaan tersebut didasarkan pada kenyataan
bahwa saat Raden Wijaya, menantu Raja Kertanegara, melarikan diri setelah Kertanegara
dijatuhkan oleh Raja Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri), ia sempat bersembunyi
di daerah ini, sebelum akhirnya mengungsi ke Madura.

Candi Jawi menempati lahan yang cukup luas, sekitar 40 x 60


m2, yang dikelilingi oleh pagar bata setinggi 2 m. Bangunan
candi dikelilingi oleh parit yang saat ini dihiasi oleh bunga
teratai. Ketinggian candi ini sekitar 24,5 meter dengan
panjang 14,2 m dan lebar 9,5 m. Bentuknya tinggi ramping
seperti Candi Prambanan di Jawa Tengah dengan atap yang
bentuknya merupakan paduan antara stupa dan kubus
bersusun yang meruncing pada puncaknya. Posisi Candi Jawi
yang menghadap ke timur, membelakangi Gunung
Pananggungan, menguatkan dugaan sebagian ahli bahwa
candi ini bukan tempat pemujaan, karena candi untuk
peribadatan umumnya menghadap ke arah gunung, tempat
bersemayam kepada Dewa. Sebagian ahli lain tetap meyakini
bahwa Candi Jawi berfungsi sebagai tempat pemujaan. Posisi
pintu yang tidak menghadap ke gunung dianggap sebagai akibat pengaruh ajaran Buddha.

Salah satu keunikan Candi Jawi adalah batu yang dipakai sebagai bahan bangunannya terdiri
dari dua jenis. Dari Kaki sampai selasar candi dibangun menggunakan batu berwarna gelap,
tubuh candi menggunakan batu putih, sedangkan atap candi menggunakan campuran batu
berwarna gelap dan putih. Diduga candi ini dibangun dalam dua masa pembangunan. Kitab
Negarakertagama menyebutkan bahwa pada tahun 1253 Saka (candrasengkala: Api Memanah
Hari) Candi Jawi disambar petir. Dalam kejadian itu arca Maha Aksobaya menghilang.
Hilangnya arca tersebut sempat membuat sedih Raja Hayam Wuruk ketika baginda
mengunjungi Candi Jawi.  Setahun setelah disambar petir, Candi Jawi dibangun kembali.
Pada masa inilah diperkirakan mulai digunakannya batu putih. Penggunaan batu putih tersebut
juga mengundang pertanyaan, karena yang terdapat di kawasan G. Welirang kebanyakan
adalah batu berwarna gelap. Kemungkinan batu-batu tersebut didatangkan dari pesisir utara
Jawa atau Madura.

Kaki candi berdiri di atas batur (kaki candi) setinggi sekitar 2 m dengan pahatan relief yang
memuat kisah tentang seorang pertapa wanita. Tangga naik yang tidak terlalu lebar terdapat
tepat di hadapan pintu masuk ke garba grha (ruang dalam tubuh candi). Pahatan yang rumit
memenuhi pipi kiri dan kanan tangga menuju selasar. Sedangkan pipi tangga dari selasar
menuju ke lantai candi dihiasi sepasang arca binatang bertelinga panjang.

Di sekeliling tubuh candi terdapat selasar yang cukup lebar. Bingkai pintunya polos tanpa
pahatan, namun di atas ambang pintu terdapat pahatan kalamakara, lengkap dengan sepasang
taring, rahang bawah, serta hiasan di rambutnya, memenuhi ruang antara puncak pintu dan
dasar atap. Di kiri dan pintu terdapat relung kecil tempat meletakkan arca. Di atas ambang
masing-masing relung terdapat pahatan kepala makhluk bertaring dan bertanduk.

Ruangan dalam tubuh candi saat ini dalam keadaan kosong. Tampaknya semula terdapat arca
di dalamnya. Negarakertagama menyebutkan bahwa di dalam bilik candi terdapat arca Syiwa
dengan Aksobaya di mahkotanya. Selain itu disebutkan juga adanya sejumlah arca dewa-dewa
dalam kepercayaan Syiwa, seperti arca Mahakala dan Nandiswara, Durga, Ganesya, Nandi,
dan Brahma. Tak satupun dari arca-arca tersebut yang masih berada di tempatnya. Konon arca
Durga kini disimpan di Museum Empu Tantular, Surabaya.

Dinding luar tubuh candi dihiasi dengan relief yang sampai saat masih belum ada yang
berhasil membacanya. Mungkin karena pahatannya yang terlalu tipis. Mungkin juga karena
kurangnya informasi pendukung, seperti dari prasasti atau naskah. Kitab Negarakertagama
yang menceritakan candi ini secara cukup rincipun sama sekali tidak menyinggung soal relief
tersebut. Menurut juru kunci candi, relief itu harus dibaca menggunakan teknik prasawiya
(berlawanan dengan arah jarum jam), seperti yang digunakan dalam membaca relief di Candi
Kidal. Masih menurut juru kunci candi, relief yang terpahat di tepi barat dinding utara
menggambarkan peta areal candi dan wilayah di sekitarnya.

Antara pelataran belakang candi yang cukup luas dan tertata rapi
dengan perkampungan penduduk dibatasi oleh sebuah sungai
kecil. Di sudut selatan pelataran terdapat reruntuhan bangunan
yang terbuat dari bata merah. Sepertinya bangunan tersebut
tadinya adalah sebuah gapura, namun tidak ada keterangan yang
bisa didapat mengenai bentuk dan fungsinya semula.
Candi Kidal
Candi Kidal terletak di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang,
Kabupaten Malang, tepatnya sekitar 20 km ke arah timur dari
kota Malang. Candi ini dapat dikatakan merupakan candi
pemujaan yang paling tua di Jawa Timur, karena pemerintahan
Airlangga (11-12 M) dari Kerajaan Kahuripan dan raja-raja
Kerajaan Kediri (12-13 M) hanya meninggalkan Candi Belahan
dan Jalatunda yang merupakan petirtaan atau pemandian.

Candi Kidal dibangun pada 1248 M, setelah upacara pemakaman


'Cradha' untuk Raja Anusapati dari Kerajaan Singasari. Tujuan
pembangunan candi ini adalah untuk mendarmakan Raja
Anusapati, agar sang raja dapat mendapat kemuliaan sebagai
Syiwa Mahadewa. Dibangun pada masa transisi dari zaman
keemasan pemerintahan kerajaan-kerajaan Jawa Tengah ke
kerajaan-kerajaan Jawa Timur, pada Candi Kidal dapat ditemui perpaduan corak candi Jawa
Tengah dan candi Jawa Timur. Sebagian pakar bahkan menyebut Candi Kidal sebagai
prototipe candi Jawa Timuran.

Bangunan candi seluruhnya terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Di
sekeliling halaman candi terdapat susunan batu yang berfungsi sebagai pagar. Tubuh candi
berdiri diatas batur (kaki candi) setinggi sekitar 2 m. Untuk mencapai selasar di lantai kaki
candi dibuat tangga batu tepat di depan pintu. Yang menarik, anak tangga dibuat tipis-tipis,
sehingga dari kejauhan tampak seperti bukan tangga masuk yang sesungguhnya. Tangga batu
ini tidak dilengkapi pipi tangga berbentuk ukel, sebagaimana yang banyak dijumpai di candi
lainnya, namun di kiri-kanan anak tangga pertama terdapat badug (tembok rendah) berbentuk
siku yang menutup sisi samping dan sebagian sisi depan kaki tangga. Badug semacam ini
tidak terdapat di candi lain.

Pintu candi menghadap ke barat, dilengkapi dengan bilik penampil dengan hiasan kalamakara
(kepala Kala) di atas ambangnya. Hiasan kepala kala yang nampak menyeramkan dengan
matanya melotot penuh, mulut terbuka serta 2 taring besar dan bengkok, memberi kesan
dominan. Adanya 2 taring tersebut juga merupakan ciri khas candi Jawa Timur. Disudut kiri
dan kanan terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam, sehingga sempurnalah
kesan seram yang patut dimiliki oleh makhkuk penjaga bangunan suci candi. Di kiri dan
kanan pintu terdapat relung kecil tempat meletakkan arca yang dilengkapi dengan bentuk
'atap' di atasnya. Di atas ambang relung-relung ini juga terdapat hiasan kalamakara.
Atap Candi Kidal berebentuk kotak bersusun tiga, makin ke atas makin mengecil. Puncaknya
tidak runcing, melainkan persegi dengan permukaan yang cukup luas. Puncak atap tidak
dihiasi dengan ratna atau stupa, melainkan hanya datar saja. Sekeliling tepi masing-masing
lapisan dihiasi dengan ukiran bunga dan sulur-suluran. Konon dulu di setiap sudut lapisan
atap candi dipasang sebuah berlian kecil. Sekeliling kaki candi dihiasi dengan pahatan
bermotif medalion yang berjajar diselingi bingkai bermotif bunga dan sulur-suluran. Di kiri
dan kanan pangkal tangga serta di setiap sudut yang menonjol ke luar terdapat patung
binatang yang terlihat mirip singa dalam posisi duduk seperti manusia dengan satu tangan
terangkat ke atas. Patung-patung ini terlihat seperti sedang menyangga pelipit atas kaki candi
yang menonjol keluar dari selasar.

Tubuh candi dapat dikatakan ramping, sehingga selasar di kaki candi cukup lebar. Dalam
tubuh candi terdapat ruangan yang tidak terlalu luas. Saat ini ruangan tersebut dalam keadaan
kosong. Dinding candi juga dihiasi dengan pahatan bermotif medalion. Pada dinding di sisi
samping dan belakang terdapat relung tempat meletakkan arca. Relung-relung tersebut juga
dilengkapi dengan bentuk 'atap' dan hiasan kalamakara di atas ambangnya. Tidak satupun arca
yang masih bisa didapati di Candi Kidal. Konon arca Syiwa yang indah, yang saat ini
tersimpan di museum Leiden, dahulu berasal dari Candi Kidal.

Dalam kesusastraan Jawa kuno, terdapat mitos yang terkenal di kalangan masrakyat, yaitu
mitos Garudheya, seekor garuda yang berhasil membebaskan ibunya dari perbudakan dengan
tebusan air suci amerta (air kehidupan). Konon relief mitos Garudheya dibuat untuk
memenuhi amanat Anusapati yang ingin meruwat Ken Dedes, ibunda yang sangat dicintainya.
Mitos Garudheya tertuang secara lengkap dalam relief di seputar kaki candi. Untuk
membacanya digunakan teknik prasawiya (berlawanan dengan arah jarum jam), dimulai dari
sisi selatan.

Relief pertama menggambarkan seekor garuda menggendong 3 ekor ular besar, relief kedua
melukiskan seekor garuda dengan kendi diatas kepalanya, dan relief ketiga garuda
menggendong seorang wanita. Diantara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling
indah dan utuh.

Mitos Garudheya

Mitos Garudheya hidup di kalangan masyarakat Jawa kuno, khususnya yang mendapat
pengaruh Hinduisme. Mitos ini mengisahkan perjuangan seorang anak untuk membebaskan
ibunya dari penderitaan. Alkisah di sebuah pertapaan, tinggal seorang resi bernama Resi
Kasyapa dengan dua orang istrinya, Dewi Winata dan Dewi Kadru. Walaupun kedua istri
sang resi tersebut bersaudara kandung, namun di antara keduanya terjadi persaingan keras
untuk mendapatkan perhatian yang lebih dari suaminya. Oleh karena itu, keduanya merasa
gelisah ketika mereka tak juga dikaruniai putra.

Pada suatu hari, Dewi Winata kedatangan seorang dewa yang menghadiahkan sebuah telur
kepadanya. Dewa itu berpesan agar Dewi Winata menjaga telur itu baik-baik hingga saatnya
menetas nanti dan merawat makhluk yang keluar dari dalam telur tersebut. Sang Dewi lalu
menyimpan telur di tempat tersembunyi. Pada saat yang bersamaan ternyata Dewi Kadru juga
mengalami hal yang sama. Setelah tiba waktunya, telur yang diberikan kepada Dewi Winata
menetas dan dari dalam telur tersebut keluar seekor anak burung. Sementara itu, telur milik
Dewi Kadru juga menetas dan dari dalamnya keluar beberapa ekor ular. Kedua wanita itu
merawat anak-anak angkat mereka dengan baik. Anak angkat Dewi Winata tumbuh menjadi
seekor garuda yang diberi nama Garudheya, sementara anak-anak Dewi Kadru tumbuh
menjadi naga.

Walaupun masing-masing telah mempunyai anak angkat, persaingan di antara kedua wanita
tersebut tidak mereda. Pada suatu hari, Dewi Kadru menipu kakaknya dalam sebuah taruhan,
sehingga ia memenangkan taruhan tersebut. Dewi Winata yang kalah harus menjadi budak
Dewi Kadru dan anak-anaknya. Garudheya sangat sedih melihat penderitaan ibunya. Setelah
dewasa, Garudheya berusaha mencari cara untuk membebaskan ibunya dari perbudakan.
Akhirnya Garudheya berhasil mendapatkan keterangan bahwa ibunya akan bebas dari ikatan
perjanjian dengan tebusan tirta amerta (air kehidupan) yang tersimpan di kahyangan dan
dijaga oleh Dewa Wisnu. Setelah melalui berbagai perjuangan, Garudheya berhasil
mendapatkan izin dari Dewa Wisnu untuk mengambil tirta amerta yang diperlukan untuk
meruwat (membebaskan dari penderitaan) ibunya dengan syarat ia harus menjadi tunggangan
Dewa Wisnu.
Candi Kolam Segaran
Kolam Segaran terletak di Dukuh Trowulan, Desa
Trowulan, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.
Dari perempatan jalan raya Mojokerto-Jombang terdapat
jalan simpang ke arah selatan. Letak kolam di sisi kiri jalan
simpang tersebut, sekitar 500 meter dari jalan raya.

Kolam Segaran ditemukan pada tahun 1926, dalam keadaan


teruruk tanah. Pada tahun 1966 kolam ini mengalami
pemugaran sekedarnya. Baru pada tahun 1974 dimulai pelaksanaan pemugaran yang lebih
terencana dan menyeluruh, yang memakan waktu sepuluh tahun. Fungsi Kolam Segaran
belum diketahui secara pasti, tetapi menurut masyarakat di sekitarnya, kolam tersebut
digunakan keluarga Kerajaan Majapahit untuk berekreasi dan menjamu tamu dari luar
negeri. Kolam ini merupakan satu-satunya bangunan kolam kuno terbesar yang pernah
ditemukan di Indonesia. Kolam yang luas keseluruhannya kurang lebih 6,5 hektar, membujur
ke arah utara-selatan sepanjang 375 m dengan lebar 175 m. Sekeliling tepi kolam dilapisi
dinding setebal 1,60 m dengan kedalaman 2,88 m.

Di pintu masuk yang terletak di sebelah barat, terdapat


emperan yang menjorok ke tengah kolam. Di sisi dalam
emperan terdapat undakan untuk turun ke kolam. Seluruh
dinding dan emperan terbuat dari susunan batu bata tanpa
bahan perekat. Konon untuk merekatkannya, batu bata yang
berdampingan digosokkan satu sama lain.

Di sisi tenggara terdapat saluran yang merupakan jalan masuk air ke dalam kolam, sedangkan
di sisi barat laut terdapat saluran jalan keluar air. Air yang keluar mengalir ke Balongdawa
(empang panjang) yang letaknya di barat laut dan Balongbunder (empang bundar) di selatan.
Menilik adanya saluran masuk dan keluar air, diduga Kolam Segaran dahulunya juga
berfungsi sebagai waduk dan penampung air. Para ahli memperkirakan bahwa kolam ini
adalah yang disebut sebagai telaga dalam Kitab Negarakertagama.
Candi Panataran
Candi Panataran terletak di lereng barat daya Gunung
Kelud, sekitar 12 km ke arah utara dari Kota Blitar,
tepatnya di Desa Panataran, Kecamatan Ngleggok,
Kotamadya Blitar. Candi ini merupakan sekumpulan
bangunan kuno yang  berjajar dari barat-laut ke timur
kemudian berlanjut ke tenggara, menempati lahan seluas
12.946 m2.

Gugus candi Panataran ditemukan kembali pada tahun


1815 oleh Sir Thomas Stamford Raffles (1781 – 1826),
Letnan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Inggris
yang berkuasa di Nusantara pada waktu itu. Bersama Dr. Horsfield seorang ahli ilmu alam,
Raffles mengadakan kunjungan ke Candi Panataran. Setelah diketemukan kembali oleh
Raffles, para peneliti mulai berdatangan untuk melakukan penyelidikan dan pencatatan benda
purbakala di kawasan Panataran. Pada tahun 1867, Andre de la Porte bersama J. Knebel
juga mengadakan penelitian terhadap kawasan candi Panataran. Hasil penelitiannya
diterbitkan pada tahun 1900 dengan judul “De ruines van Panataran”.

Dalam kitab Negarakertagama, Candi Penataran disebut dengan nama Candi Palah.
Diceritakan bahwa Raja Hayam Wuruk (1350 - 1389 M) dari Majapahit sering mengunjungi
Palah untuk memuja Hyang Acalapati, atau yang dikenal sebagai Girindra (berarti raja
gunung) dalam kepercayaan Syiwa. Oleh karena itu, jelas bahwa Candi Palah sengaja
dibangun di kawasan dengan latar belakang Gunung Kelud, karena memang dimaksudkan
sebagai tempat untuk memuja gunung. Pemujaan terhadap Gunung Kelud bertujuan untuk
menangkal bahaya dan menghindarkan diri dari petaka yang dapat ditimbulkan oleh gunung
tersebut.

Berdasarkan tulisan pada sebuah batu yang terletak sisi selatan bangunan utamanya, diduga
bahwa Candi Palah dibangun pada awal abad 12 M, atas perintah Raja Srengga dari Kediri.
Walaupun demikian, Candi Panataran terus mengalami pengembangan dan perbaikan sampai
dengan, bahkan sesudah, masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Dugaan ini didasarkan pada
berbagai angka tahun yang tertulis pada berbagai tempat di candi ini yang berkisar antara
tahun 1197 sampai tahun 1454 M. Seluruh areal Panataran, kecuali halaman yang berada di
bagian tenggara, terbagi oleh dua jalur dinding yang melintang dari utara ke selatan menjadi
tiga bagian.

a. Gerbang

Gerbang masuk ke areal candi terletak sisi barat. Dari pintu masuk terdapat tangga turun ke
pelataran seluas sekitar 6 m2. Di pelataran ini terdapat dua buah arca raksasa penjaga pintu
(dwarapala), Pada tatakan arca tertera tulisan tahun 1242 Saka (1320 M.) dalam huruf Jawa
kuno. Berdasarkan tulisan angka tahun tersebut para pakar menduga bahwa Candi Panataran
baru diresmikan sebagai tempat suci milik kerajaan (state temple) pada masa pemerintahan
Raja Jayanegara, yang memerintah Majapahit tahun 1309-1328 M.
Di sisi belakang emperan, di antara kedua arca Dwaraphala tersebut, terdapat tangga naik
menuju ke pelataran depan. Di puncak tangga masih terdapat sisa-sisa pintu gerbang dari
bahan batu bata merah. Pintu gerbang ini masih disebut-sebut oleh Jonathan Rigg dalam
kunjungannya ke Candi Panataran pada tahun 1848.

Susunan Candi Panataran memang menarik karena letak bangunan yang satu dengan yang
lainnya berhadap-hadapan, berjajar dari depan ke belakang, sehingga sepintas kelihatan agak
membingungkan. Susunan bangunan semacam ini mirip dengan susunan pura di Bali. Dalam
susunan seperti ini, bangunan yang paling suci terletak di pelataran paling dalam atau paling
belakang, yaitu yang paling dekat dengan gunung.

b. Pelataran Depan

Bale Agung. Di pelataran depan terdapat sekitar 6 buah bekas bangunan, 2 buah diantaranya
tidak dapat dikenali lagi bentuk aslinya. Salah satu bangunan yang penting adalah Bale
Agung, yang terletak di sisi barat-laut pelataran depan, agak menjorok ke barat (ke
depan).Bale Agung, menurut N.J.Krom, dipergunakan untuk tempat musyawarah para
pendeta atau penanda, seperti pura di Bali. Bale Agung merupakan bangunan yang berbentuk
seperti panggung persegi panjang berukuran 37 X 18,84 m2 dengan lantai setinggi 1,44 meter.
Dinding dan atap bangunan sudah tak bersisa. Hanya lantainya yang masih utuh.

Pada lantai terdapat beberapa umpak batu yang diperkirakan fungsinya dahulu adalah sebagai
penumpu tiang-tiang kayu penyangga atap. Seluruh lantai terbuat dari batu, dihiasi pahatan
naga yang melilit di sekeliling dinding lantai dan kepalanya menyembul di setiap sudut lantai.

Di pertengahan setiap sisi terdapat tangga diapit dua buah arca Mahakala. Semua arca
Mahakala masih berada di tempatnya kecuali yang berada di sisi timur.

Tempat Tinggal Pendeta. Bangunan yang letaknya di sisi


utara, sejajar dengan Bale Agung, ini diperkirakan dahulu
digunakan sebagai tempat tinggal pendeta. Seluruh bangunan
sudah hancur, sehingga hanya tinggal tatanan umpak yang
tersisa.

Batur Pendapa. Bangunan ini disebut


juga Batur Pendapa. Letaknya di sebelah
tenggara Bale Agung, tepat di belakang
tempat tinggal para pendeta.
Sebagaimana halnya dengan Bale Agung, yang masih tersisa saat ini
hanyalah lantai bangunan yang terbuat dari batu, seluas 29,05 X 9,22 m2
dengan tinggi 1,5 m. Sekeliling dinding lantai dihiasi dengan relief
cerita-cerita. Diduga bangunan Batur Pendapa ini dahulu berfungsi
sebagai tempat untuk meletakkan sesajian dalam upacara keagamaan.

Tangga untuk naik ke lantai pendapa hanya terdapat di sisi


barat atau bagian depan. Terdapat dua buah tangga, di kiri
dan di kanan, yang pada masing-masing diapit oleh sepasang
arca raksasa kecil bersayap, bertumpu pada salah satu
lututnya dan salah satu tangannya memegang gada. Pipi atau dinding pembatas tangga
berbentuk gelung dengan hiasan 'tumpal' yang indah pada puncaknya. Pada pelipit atas sisi
timur dinding lantai, tersembunyi di antara pahatan hiasan sulur dan dedaunan, terdapat
pahatan angka tahun yang menunjukkan bahwa bangunan ini dibangun pada tahun 1297 Saka
atau 1375 Masehi.

Batur Pendapa ini juga dihiasi dengan pahatan naga-naga yang saling membelakangi, melilit
di sekililing dinding lantai. Ekor kedua naga yang saling membelakangi tersebut saling
membelit, sedangkan kepalanya yang mendongak keatas, memakai kalung dan berjambul
menyembul ke atas di antara pilar-pilar bangunan.

Bangunan Lain. Kedua bekas bangunan lainnya hanya tinggal fondasinya yang terbuat dari
bata merah. Melihat banyaknya umpak batu yang tersisa di pelataran depan, diduga dahulu
terdapat bangunan-bangunan yang menggunakan tiang kayu seperti yang dijumpai pada pura-
pura di Bali. Banyaknya bangunan yang menggunakan tiang-tiang kayu belum diketahui
secara pasti.

c. Pelataran tengah

Sekitar 8 m di timur atau belakang Batur Pendapa terdapat bekas dinding batu bata yang
melintang dari utara ke selatan, yang membatasi pelataran depan dengan pelataran tengah. Di
ujung selatan perbatasan, segaris dengan gerbang depan, terdapat bekas pintu gerbang yang di
depannya dijaga oleh sepasang Arca Dwarapala dalam ukuran yang lebih kecil daripada yang
terdapat di gerbang depan. Pada tatakan salah satu arca tertera angka tahun 1214 Saka (1319
M). Belum diketahui peristiwa apa yang dikaitkan dengan angka tahun ini. Di pelataran
tengah ini masih dapat disaksikan sekitar 7 bekas bangunan, baik yang terbuat dari bahan batu
bata merah maupun yang dibuat dari bahan batu andesit. Dari ketujuh bekas bangunan
tersebut enam di antaranya sudah tidak dapat dikenali bentuknya.

Pelataran tengah terbagi dua lagi oleh dinding yang membujur


arah timur-barat. Belum dapat diketahui apakah pelataran
tengah ini dahulu dikelilingi oleh tembok, karena yang
tertinggal hanya fondasi saja. Begitu juga tembok yang
mengelilingi seluruh areal Panataran sudah runtuh. Tembok
keliling dan dinding penyekat terbuat dari bahan batu bata
merah yang tak mampu bertahan dalam perjalanan waktu
yang panjang.

Candi Angka Tahun. Bangunan ini berada sekitar 20 m. di sebelah timur Batur Pendapa,
seluruhnya terbuat dari batu andesit. Disebut Candi Angka Tahun karena bangunan di atas
ambang pintu masuknya jelas terpahat angka tahun 1291 Saka (1369 M). Masyarakat
setempat lebih mengenalnya dengan sebutan Candi Brawijaya, karena bangunan ini
dipergunakan sebagai lambang Kodam Brawijaya. Sebagian orang menyebutnya Candi
Ganesha, karena di dalam bilik candi terdapat sebuah arca Ganesha (dewa berkepala gajah).
Bentuk Candi Angka Tahun ini sangat dikenal masyarakat, sehingga seakan-akan mewakili
seluruh candi Panataran.
Candi Angka tahun menghadap ke barat, karena pintu candi terletak di sisi barat. Di halaman
depan, di kiri dan kanan bangunan candi, terdapat sepasang arca. Kaki candi cukup tinggi,
sehingga untuk mencapai pintu dibuat tangga batu dengan pipi tangga berbentuk 'ukel'
(gelung) besar dengan hiasan ' tumpal' berupa bunga-bungaan dalam susunan segitiga sama
kaki. Dalam tubuh candi terdapat bilik (garba grha), yang di dalamnya terdapat arca Ganesha.

Sebagaimana candi lainnya, di atas ambang pintu terdapat


hiasan kalamakara. Tepat di bawahnya, tertera angka tahun
yang telah dijelaskan di atas. Pada dinding di ketiga sisi
lainnya terdapat relung yang menyerupai pintu semu, yang
juga dihiasi dengan kalamakara di atasnya. Di Jawa Timur,
Kalamakara sering disebut Banaspati yang berarti raja hutan.
Kala di atas ambang pintu dan relung candi dimaksudkan
untuk menakut-nakuti roh jahat agar tidak berani masuk ke
lingkungan candi.

Atap candi dipenuhi dengan hiasan yang meriah, dengan puncak berbentuk persegi. Di bagian
atas bilik candi pada batu penutup sungkup terdapat relief 'Surya', yakni lingkaran yang
dikelilingi oleh pancaran sinar berupa garis-garis bersusun vertikal membentuk beberapa buah
segitiga sama kaki. Relief 'Surya' yang merupakan lambang Kerajaan Majapahit ini juga
ditemukan di beberapa candi lain di Jawa Timur dalam bentuk yang sedikit bervariasi.

Candi Naga. Bangunan ini di sebut Candi Naga karena sekeliling tubuhnya dililit oleh
pahatan berwujud naga. Bangunan candi seluas 4.83 X 6,57 m. dengan tinggi 4,70 m. ini juga
terletak di pelataran tengah. Seluruh bangunan terbuat dari batu andesit. Seperti Candi Angka
Tahun, pintu masuk ke bilik candi terletak di sisi barat. Kaki candi cukup tinggi, sehingga
untuk mencapai pintu dibuatkan tangga. Pipi tangga berbentuk 'ukel' berhiaskan 'tumpal'. Di
kanan kiri kaki tangga terdapat arca raksasa membawa gada yang saat ini hanya tinggal satu.
Bangunan yang ada saat ini merupakan hasil pemugaran tahun 1917-1918. Yang berhasil
dikembalikan ke bentuk aslinya hanya bagian kaki dan tubuh candi. Bagian atap yang
kemungkinan dibuat dari bahan yang tidak tahan lama telah runtuh.

Pada dinding tubuh candi terdapat pahatan sembilan tokoh yang berdiri di kiri dan kanan pintu
masuk, di setiap sudut, dan di tengah ketiga dinding lainnya. Kesembilan tokoh ini
digambarkan dalam busana kerajaan yang mewah dan dilatarbelakangi oleh 'prabha' (tempat
bersandar yang dihisasi dengan sinar kedewaan).
Salah satu tangannya memegang genta, sedang tangan yang lain menyangga tubuh naga yang
melingkari bagian atas bangunan. Di antara pahatan tokoh-tokoh tersebut terdapat pahatan
bermotif bulatan yang disebut 'motif medalion'. Dalam bulatan terdapat kombinasi relief
daun-daunan atau bunga-bungaan dan berbagai jenis binatang. Di antara bulatan-bulatan
tersebut terdapat relief cerita binatang dalam ukuran yang lebih kecil. Sayang cerita yang
digambarkan dalam relief ini belum dapat diungkapkan.

Menurut orang Bali yang pernah mengunjungi Panataran, fungsi Candi Naga sama dengan
fungsi Pura Kehen di Bali, yaitu sebagai tempat
penyimpanan benda-benda milik para dewa. Barangkali
lebih tepat bila Candi Naga dibandingkan dengan Pura
Taman Sari yang terletak di Kabupaten Klungkung. Pura
yang ditemukan tahun 1975 ini menunjukkan pertalian yang
dekat dengan kerajaan Majapahit. Selain berfungsi sebagai
tempat pemujaan Kerajaan Klungkung, Pura Taman Sari
juga dipergunakan sebagai tempat 'pemasupatian'
(pemberian kesaktian) terhadap senjata-senjata pusaka yang
dibawa dari kerajaan Majapahit. Apabila perbandingan ini
dapat dibenarkan, maka fungsi Candi Naga bukan hanya untuk menyimpan benda-benda
upacara milik para dewa, tetapi lebih juga sebagai tempat 'pemasupatian' pusaka milik
kerajaan Majapahit. Dengan demikian, untuk keperluan 'pemasupatian', pusaka-pusaka
Majapahit tidak perlu dibawa ke Bali.

d. Pelataran Dalam

Halaman terakhir adalah pelataran dalam yang semula juga dibatasi dengan dinding yang
melintang arah utara-selatan. Di selatan juga terdapat bekas pintu gerbang yang dijaga oleh
sepasang arca dwarapala. Di pelataran ini terdapat sekurangnya 9 bangunan, 2 buah yang
sudah dapat dikenali adalah candi induk dan susunan percobaan bangunan tubuhnya. Ketujuh
bangunan lainnya tinggal reruntuhan yang masih belum terungkapkan bentuk dan fungsinya.

Candi Utama (Induk). Candi Induk merupakan bangunan yang terbesar di antara seluruh
bangunan Panataran. Lokasi bangunan terletak di pelataran paling belakang (timur), yang
dianggap sebagai bagian yang suci. Bangunan candi terdiri atas tiga teras bersusun dengan
tinggi seluruhnya 7,19 m.
Teras pertama berbentuk empat persegi dengan diameter 30,06 meter untuk arah timur barat.
Di pertengahan keempat sisinya terdapat bagian yang menjorok keluar sekitar 3 m. Untuk
naik ke teras pertama, terdapat dua buah tangga di kiri dan kanan sisi barat. Pada masing-
masing sisi kedua tangga terdapat arca dwarapala yang pada tatakannya terpahat angka tahun
1269 Saka (1347 M). Sepanjang dinding teras pertama dipenuhi pahatan relief cerita.

Teras kedua berukuran lebih kecil dibandingkan dengan teras pertama, karena pada bagian
yang menjorok keluar di teras pertama justru sedikit menjorok ke dalam di teras kedua.
Perbedaan ukuran antara teras pertama dan teras kedua membentuk selasar di lantai teras
pertama, yang memungkinkan orang berjalan mengelilingi bangunan sambil menyaksikan
adegan-adegan yang digambarkan dalam relief cerita yang terpahat di sepanjang dinding.
Pada dinding di teras pertama dan kedua berjajar panil pahatan cerita Ramayana dan dan
Krisnayana diselingi dengan hiasan motif medalion.

Pada teras kedua terdapat sebuah tangga naik yang letaknya hampir di pertengahan dinding.
Tangga naik ini bersambung dengan tangga yang berada di teras ketiga.

Teras ketiga berbentuk hampir bujur sangkar. Dindingnya berpahatkan naga bersayap dengan
kepala yang sedikit mendongak ke depan dan singa bersayap dengan kaki belakang dalam
posisi berjongkok sedangkan kaki depannya terangkat ke atas. Pahatan-pahatan pada dinding
teras ketiga ini selain untuk mengisi bidang yang kosong juga berfungsi sebagai pilar
bangunan.

Pada waktu dilakukan pembongkaran lantai teras ketiga, dalam rangka


pemugaran, didapati bahwa bagian tengah lantai terbuat dari bata
merah. Nampak jelas denah bangunan yang berbentuk persegi empat
dengan bagian-bagian yang menjorok kedepan. Berdasarkan temuan
tersebut, timbul dugaan bahwa bangunan asli Candi Panataran dibuat
dari bata merah. Dalam kurun waktu berikutnya Panataran mengalami
perluasan dengan cara menutupi bangunan aslinya menggunakan batu andesit. Perluasan itu
diperkirakan terjadi pada zaman Majapahit.

Teras ketiga merupakan emperan kosong. Di tempat itu seharusnya berdiri tubuh candi yang
sampai saat ini belum berhasil dikembalikan ke wujud aslinya karena belum semua bagian
bangunan berhasil ditemukan. Sebagian dari tubuh candi induk ini telah disusun dalam
susunan percobaan di halaman candi.

Prasasti Palah. Di selatan candi utama masih berdiri tegak sebuah batu prasasti. Menilik
besarnya ukuran batu prasasti, para ahli menduga sejak semula batu tersebut memang terletak
di tempat itu.

Prasasti yang ditulis menggunakan huruf Jawa Kuno tersebut berangka


tahun 1119 Saka (1197 M.), dibuat atas perintah Raja Srengga dari
Kerajaan Kediri. Isi prasasti yang, antara lain, menyebutkan tentang
peresmian sebuah tanah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka
Batara Palah, mendasari dugaan bahwa yang dimaksud dengan Palah
tidak lain adalah Candi Panataran. Andaikata benar bahwa Palah adalah
Candi Panataran, maka usia Candi Panataran sekurangnya telah
mencapai 250 tahun dan pembangunan candi ini mengalami perjalanan
panjang, yaitu dari tahun 1197, zaman kerajaan Kediri, sampai pada
tahun 1454, zaman kerajaan Majapahit. Hampir semua bangunan yang
dapat masih dapat disaksikan sekarang berasal dari masa pemerintahan
raja-raja Majapahit. Barangkali bangunan-bangunan yang lebih tua
(dari zaman Kediri) telah lama runtuh.

e. Bangunan lain.

Masih ada dua buah bangunan lain yang letaknya di luar areal Panataran yang masih ada
hubungannya dengan candi Panataran, yaitu sebuah kolam berangka tahun 1337 Saka (1415
M.) yang terletak di sebelah tenggara dan sebuah kolam 'petirtaan' (tempat mandi) dalam
ukuran yang agak besar, yang terletak kira-kira 200 meter di timur-laut areal candi.

Candi Plumbangan
Candi Plumbangan terletak di Desa Plumbangan, Kecamatan Doko, Kesamben, Blitar.
Letaknya agak jauh dari jalan raya Malang-Blitar, di tengah perumahan. Tidak banyak
informasi yang didapat mengenai bangunan kuno ini, kecuali bahwa pembangunannya
dilakukan pada masa pemerintahan Kerajaan Majapahit.

Bangunan yang seluruhnya terbuat dari batu andesit ini berbentuk gapura paduraksa (gapura
beratap), mirip dengan bentuk Candi Bajang Ratu di Trowulan. Menilik bentuknya, ada
dugaan bahwa Gapura Plumbangan merupakan candi ruwatan sebagaimana halnya Candi
Bajang Ratu. Bentuk gapura melambangkan suatu 'pelepasan' atau sebagai gunung yang,
menurut kepercayaan Syiwais, merupakan tempat tinggal dewa. Namun fungsi bangunan
berbentuk gapura paduraksa itu sendiri masih menjadi bahan perdebatan, karena ada sebagian
ahli yang berpendapat bahwa gapura merupakan tanda batas suatu wilayah atau kompleks
bangunan tertentu.

Gapura Plumbangan menghadap timur-barat, dengan 'sayap' selebar sekitar 2 m menonjol ke


utara dan selatan. Berbeda dengan kaki pada Gapura Wringin Lawang dan Gapura Bajang
Ratu yang cukup tinggi, kaki Gapura Plumbangan hanya setinggi sekitar 0,5 m, dengan 2 anak
tangga di kedua sisi. Ketebalan gapura pun hanya sekitar 0,5 m. Tidak terdapat pahatan hiasan
apapun pada gapura ini, baik pada dinding dalam maupun dinding luarnya. Atapnya berbentuk
meru bersusun dengan puncak persegi empat.

Sekitar 6 m dari gapura ke arah tenggara, terdapat sebuah prasasti yang disebut Prasasti
Plumbangan. Prarasti ini telah dibuatkan tatakan dari semen dan diberi atap seng. Tidak
diketahui apakah letaknya semula memang di tempat tersebut. Tulisan yang terpahat pada
prasasti sangat tipis, nyaris tak terbaca. Tidak didapat informasi mengenai isi prasasti tersebut.
Candi Rimbi

Candi Rimbi terletak di kaki Gunung Anjasamoro, tepatnya di tepi jalan raya di sebelah
tenggara Kecamatan Mojowarno, Jombang, Jawa Timur. Areal yang ditempati Candi Rimbi
relatif sempit, dikelilingi oleh lahan pertanian penduduk. Reruntuhan bangunan candi
ditemukan kembali pada akhir abad 19 oleh Alfred Wallace, dalam perjalanannya ke
Wonosalam untuk mengumpulkan contoh-contoh tumbuhan.

Candi Rimbi merupakan candi Syiwa, terlihat dari relief yang berisi ajaran Tantri yang
terpahat di kaki candi. Diduga candi ini dibangun pada pertengahan abad ke-14, sebagai
penghormatan kepada Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani yang memerintah
Majapahit pada tahun 1329-1350. Dugaan ini didasarkan pada ditemukannya dua buah arca
Dewi Parwati, yang diperkirakan merupakan pencerminan Dewi Tribhuwana. Kedua arca
tersebut saat ini tersimpan di Museum Trowulan dan Museum Nasional.

Candi yang dibangun menghadap ke timur ini tampaknya belum pernah mengalami
pemugaran. Seluruh bangunan terbuat dari batu andesit. Separuh lebih dari tubuh dan atap
candi telah hancur, seolah teriris secara vertikal, namun bagian kaki masih dapat dikatakan
utuh. Kaki candi tampak seperti bersusun dua, terbagi oleh pelipit yang menonjol keluar.
Bagian kaki yang terletak di atas pelipit agak menjorok ke dalam sehingga ukurannya menjadi
kebih kecil dibandingkan dengan kaki bagian bawah. Antara kaki bagian atas dengan tubuh
candi juga dibatasi oleh pelipit dengan hiasan yang menonjol keluar di setiap sudutnya.

Tubuh candi juga lebih kecil dibandingkan dengan bagian kakinya, sehingga terlihat seperti
terdapat selasar yang mengelilinginya. Akan tetapi saat ini, sebagaimana halnya sebagian atap
dan tubuh candi, tangga naik ke selasar juga sudah runtuh, sehingga hanya selasar di sisi
selatan yang dapat terlihat dari bawah.

Pada kaki bagian atas maupun dinding luar tubuh candi yang masih tersisa tidak tampak
adanya pahatan. Akan tetapi, di seputar kaki candi bagian bawah dipenuhi oleh jajaran panel-
panel relief cerita-cerita binatang. Relief yang dipahat dengan teknik datar (wayang style)
yang sangat indah dan halus tersebut dapat dikatakan masih utuh. Untuk membacanya
digunakan teknik prasawiya (berlawanan dengan arah jarum jam), dimulai dari sisi utara.

Di tepi halaman terdapat batu-batu reruntuhan candi yang disusun rapi memagari candi. Di
sisi timur, tepat di depan candi berjajar 3 potongan arca yang menarik perhatian karena
ukurannya yang sangat besar. Tinggi masing-masing potongan sekitar 125 cm. Yang terletak
di tengah jajaran adalah potongan kepala arca raksasa, sedangkan di kiri dan kanannya
terdapat potongan arca yang tampak seperti bagian dada sebatas leher.
Candi Sadon

Candi Sadon terletak di Dusun Sadon, Desa Cepoko, Kecamatan Panekan, Kabupaten
Magetan, Provinsi Jawa Timur, tepatnya di sebelah jalan raya Magetan – Panekan. Walaupun
nama candi tersebut adalah Candi Sadon, sesuai dengan nama dusun tempatnya berada,
namun masyarakat setempat lebih mengenalnya dengan nama Candi Reog, karena di
reruntuhan Candi Sadon terdapat Kalamakara, arca raksasa Kala yang wajahnya mirip dengan
kepala harimau pada 'dhadhakmerak'. Dhadhakmerak adalah topeng kepala harimau dengan
hiasan susunan bulumerak disekelilingnya. Topeng ini merupakan atribut tokoh Singabarong
dalam kesenian reog. Topeng dhadak merak yang berat keseluruhannya antara 30-40 kg
tersebut biasanya dikenakan oleh penari Singabarong.

Tidak banyak informasi yang didapat mengenai Candi Reog, walaupun bangunan kuno ini
telah ditetapkan sebagai situs suaka purbakala. Konon candi ini merupakan peninggalan Raja
Airlangga, namun tidak diketahu kapan tepatnya dan untuk apa candi tersebut dibangun.
Upaya pemugaran terhadap candi ini tampaknya belum pernah dilakukan, melihat kondisinya
yang tinggal berupa kumpulan batu reruntuhan.

Pada tahun 1966, batu-batu reruntuhan candi tersebut diobrak-abrik dan dirusak oleh
sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab. Pada tahun 1969, dengan dipelopori oleh
Sutaryono, yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Pembinaan kebudayaan Kabupaten
Magetan, diadakan penataan kembali batu-batu reruntuhan Candi Sadon. Di antara reruntuhan
peninggalan bersejarah tersebut terdapat arca Kalamakara, arca naga, batu bergambar
binatang, bekas umpak, yoni, dan batu yang merupakan bagian sudut candi.

Di samping itu, di areal tersebut juga didapati tiga batu bertulis. Menurut penuturan Sarnu dari
Dinas Sejarah dan Purbakala Kabupaten Magetan, tulisan di ketiga batu tersebut berbunyi A-
PA PA-KA-LA, SA DA PA KRA-MA dan BA DA SRI-PA SA-BA DA-HA-LA. Dari
tulisannya yang berbentuk balok atau kwadrat, diperkirakan bahwa batu bertulis tersebut
berasal dari masa yang sama dengan prasasti yang diketemukan di Dusun Pledokan, Kediri,
Jawa Timur.

Di sebelah timur kompleks candi Sadon, tepatnya di depan pemakaman desa, terdapat candi
kecil bernama Candi Reca Sapi (arca sapi). Ukuran candi ini sangat kecil, jauh lebih kecil
dibandingkan dengan kebanyakan candi yang terdapat di Jawa Timur. Candi yang
diperkirakan merupakan candi Hindu tersebut ditemukan pertama kali pada tahun 1971 oleh
Sudiro, penduduk setempat. Ketika diketemukan, candi tersebut tertutup rumpun bambu.

Candi Reca Sapi terdiri atas lima arca, yaitu Reca Kandang, Reca Pakan ( tempat makanan
sapi), Reca Omben (tempat minum sapi), Reca Capil (arca topi gembala sapi) dan Reca Cagak
(tonggak tempat menambatkan tali pengikat sapi). Kelima arca tersebut diyakini sebagai
perwujudan sapi dan perlengkapan menggembala milik Dadhung Awuk atau Maesadanu,
tokoh penggembala dalam legenda setempat.
Candi Sawentar

Candi Sawentar terletak di Dukuh Kanigoro, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar,


tepatnya di sebelah timur Kota Blitar. Letak candi lebih rendah dari permukaan tanah di
sekelilingnya. Untuk waktu yang cukup lama candi ini tertimbun dalam tanah dan baru digali
kembali pada tahun 1915 sampai 1920.  Candi yang berdenah dasar persegi dengan luas 9,53
X 6,86 m, ini sangat mirip dengan Candi Kidal. Tubuh candi berdiri di atas batur seluas 7 X 7
m2, dengan tinggi sekitar 1,5 m. Tinggi candi sampai ke puncaknya mencapai 10,65 m.
Tubuh candi lebih kecil ukurannya dibandingkan dengan kakinya, sehingga terbentuk selasar
sempit di sekelilingnya. Pintu candi terletak di sisi barat, diapit oleh relung kecil di kiri dan
kanannya.

Dia atas ambang pintu maupun relung tidak terdapat hiasan kepala Kala. Kedua relung
dalam keadaan kosong tanpa arca.Pada dinding luar tubuh candi, di sisi utara dan selatan juga
terdapat relung tempat meletakkan arca yang saat ini dalam keadaan kosong. Berbeda dengan
pintunya, justru di atas ambang masing-masing relung ini terdapat pahatan kepala Kala
lengkap dengan rahang bawah.

Untuk naik ke atas batur, di depan pintu candi terdapat tangga selebar sekitar 0,5 m.
Tangga yang menjorok keluar batur ini dilengkapi dengan pipi tangga yang agak tebal, polos
tanpa pahatan, kecuali sepasang kepala naga di kakinya. Dinding luar pipi tangga dihiasi
pahatan sayap burung dalam bentuk pola geometris yang khas. Lantai ruang dalam dan relung
di ketiga sisi tubuh candi letaknya sedikit lebih tinggi dari lantai selasar, oleh karenanya di
depan pintu dan masing-masing relung terdapat tangga kecil yang juga dilengkapi dengan pipi
tangga.

Dalam garba grha, ruangan dalam tubuh candi, terdapat sebuah yoni dengan pahatan
garuda pada alasnya. Diduga candi ini digunakan untuk memuja Wishnu, karena garuda
merupakan kendaraan Dewa Wisnu. Pada dinding terdapat pahatan bermotif salib Portugis.

Atap candi berbentuk susunan tiga buah kotak persegi empat yang makin ke atas
makin mengecil. Pada tepian kotak terdapat pahatan yang tampak seperti tulisan. Di tengah
dan sudut masing-masing kotak terdapat hiasan dengan pahatan yang halus. Puncak atap
dalam keadaan rusak. Mungkin kerusakan tersebut disebabkan oleh posisinya yang paling
dekat dengan permukaan pada saat candi ini tertimbun tanah. Perbedaan tingkat kerumitan
pahatan di bagian atap dan tubuh bagian atas dibandingkan dengan pahatan di kaki dan tubuh
bagian bawah menimbulkan bahwa pembuatan Candi Sawentar belum sepenuhnya selesai.

Belum diketahui kapan tepatnya candi yang dianggap sebagai wujud peralihan tipe
candi Jawa Timur lama ke tipe yang lebih akhir. Menurut perkiraaan, pembangunannya
dilakukan pada awal sampai pertengahan abad 13 M.
Candi Singasari
Candi Singasari terletak di Desa Candi
Renggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten
Malang, kurang lebih 9 Km dari kota
Malang ke arah Surabaya. Candi ini juga
dikenal dengan nama Candi Cungkup atau
Candi Menara, nama yang menunjukkan
bahwa Candi Singasari adalah candi yang
tertinggi pada masanya, setidaknya
dibandingkan dengan candi lain di
sekelilingnya. Akan tetapi, saat ini di
kawasan Singasari hanya candi Singasari
yang masih tersisa, sedangkan candi lainnya
telah lenyap tak berbekas.

Kapan tepatnya Candi Singasari didirikan masih belum diketahui, namun para ahli purbakala
memperkirakan candi ini dibangun sekitar tahun 1300 M, sebagai persembahan untuk
menghormati Raja Kertanegara dari Singasari. Setidaknya ada dua candi di Jawa Timur yang
dibangun untuk menghormati Raja Kertanegara, yaitu Candi Jawi dan Candi Singasari.
Sebagaimana halnya Candi Jawi, Candi Singasari juga merupakan candi Syiwa. Hal ini
terlihat dari adanya beberapa arca Syiwa di halaman candi.

Bangunan Candi Singasari terletak di tengah halaman. Tubuh candi berdiri di atas batur kaki
setinggi sekitar 1,5 m, tanpa hiasan atau relief pada kaki candi. Tangga naik ke selasar di kaki
candi tidak diapit oleh pipi tangga dengan hiasan makara seperti yang terdapat pada candi-
candi lain. Pintu masuk ke ruangan di tengah tubuh candi menghadap ke selatan, terletak pada
sisi depan bilik penampil (bilik kecil yang menjorok ke depan). Pintu masuk ini terlihat
sederhana tanpa bingkai berhiaskan pahatan. Di atas ambang pintu terdapat pahatan kepala
Kala yang juga sangat sederhana pahatannya. Adanya beberapa pahatan dan relief yang sangat
sederhana menimbulkan dugaan bahwa pembangunan Candi Singasari belum sepenuhnya
terselesaikan.

Di kiri dan kanan pintu bilik pintu, agak ke belakang, terdapat relung tempat arca. Ambang
relung juga tanpa bingkai dan hiasan kepala Kala. Relung serupa juga terdapat di ketiga sisi
lain tubuh Candi Singasari. Ukuran relung lebih besar, dilengkapi dengan bilik penampil dan
di atas ambangnya terdapat hiasan kepala Kala yang sederhana. Di tengah ruangan utama
terdapat yoni yang sudah rusak bagian atasnya. Pada kaki yoni juga tidak terdapat pahatan
apapun.

Sepintas bangunan Candi Singasari terlihat seolah bersusun dua, karena bagian bawah atap
candi berbentuk persegi, menyerupai ruangan kecil dengan relung di masing-masing sisi.
Tampaknya relung-relung tersebut semula berisi arca, namun saat ini kempatnya dalam
keadaan kosong. Di atas setiap ambang 'pintu' relung terdapat hiasan kepala Kala dengan
pahatan yang lebih rumit dibandingkan dengan yang ada di atas ambang pintu masuk dan
relung di tubuh candi. Puncak atap sendiri berbentuk meru bersusun, makin ke atas makin
mengecil. Sebagian puncak atap terlihat sudah runtuh.

Candi Singasari pernah dipugar oleh pemerintah Belanda pada tahun 1930-an, terlihatan dari
pahatan catatan di kaki candi. Akan tetapi, tampaknya pemugaran yang dilakukan hasilnya
belum menyeluruh, karena di sekeliling halaman candi masih berjajar tumpukan batu yang
belum berhasil dikembalikan ke tempatnya semula.

Di halaman Candi Singasari juga terdapat beberapa arca yang sebagian besar dalam keadaan
rusak atau belum selesai dibuat, di antaranya arca Syiwa dalam berbagai posisi dan ukuran,
Durga, dan Lembu Nandini.
Sekitar 300 m ke arah barat dari Candi Singasari, setelah melalui permukiman yang cukup
padat, terdapat dua arca Dwarapala, raksasa penjaga gerbang, dalam ukuran yang sangat
besar. Konon berat masing-masing arca mencapai berat 40 ton, tingginya mencapai 3,7 m,
sedangkan lingkar tubuh terbesar mencapai 3,8 m. Letak kedua patung tersebut terpisah
sekitar 20 m (sekarang dipisahkan oleh jalan raya).

Menurut Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang (UM), kedua arca
Dwarapala itu semula menghadap ke arah timur, yaitu ke arah Candi Singasari, namun saat ini
arca di sisi selatan sudah berubah arah menghadap agak ke timur laut. Pergeseran arah
tersebut terjadi saat pengangkatannya dari dalam tanah. Sampai akhir 1980-an patung yang
berada di sisi selatan masih terbenam dalam tanah sampai sebatas dada. Di belakang arca
yang berada di selatan terdapat reruntuhan bangunan batu yang nampak seperti tembok.
Diduga kedua arca ini merupakan penjaga gerbang masuk ke istana Raja Kertanegara (1268-
1292) yang letaknya di sebelah barat (dibelakangi) kedua patung tersebut.

Legenda sekitar Dinasti Singasari

Beberapa candi di Jawa Timur, terutama


yang terletak di sekitar kota Malang,
mempunyai kaitan sejarah yang erat dengan
Kerajaan Singasari. Dinasti Singasari
merupakan keturunan Ken Dedes dengan
kedua suaminya, Tunggul Ametung akuwu
(kepala pemerintahan setingkat kecamatan)
Tumapel dan Ken Arok, rakyat kebanyakan
yang membunuh, mengambil alih kekuasaan,
dan sekaligus merebut istri Tunggul
Ametung.

Sejarah Kerajaan Singasari ini melahirkan legenda tentang keris buatan Mpu Gandring yang
sangat terkenal di kalangan masyarakat Jawa Timur. Menurut legenda, Ken Arok adalah anak
hasil hubungan gelap seorang wanita Desa Panawijen, bernama Ken Endog, dengan Batara
Brahma. Tak lama setelah dilahirkan, bayi Ken Arok dibuang oleh ibunya di sebuah
pekuburan, kemudian ditemukan dan dibawa pulang oleh seorang pencuri ulung. Dari ayah
angkatnya inilah Ken Arok belajar tentang segala siasat dan taktik perjudian, pencurian dan
perampokan. Setelah dewasa ia dikenal sebagai perampok yang sangat ditakuti di wilayah
Tumapel. Suatu saat Ken Arok berkenalan dengan seorang brahmana bernama Lohgawe yang
menasihatinya agar meninggalkan dunianya yang hitam. Atas dorongan Lohgawe, Ken Arok
berhenti menjadi perampok lalu mengabdikan diri sebagai prajurit Tumapel.

Pada masa itu yang menjadi akuwu di Tumapel, wilayah Kerajaan Kediri, adalah Tunggul
Ametung. Sang Akuwu memperistri Ken Dedes, putri Mpu Purwa yang tinggal di Panawijen.
Dari perkawinan tersebut lahir seorang putra bernama Anusapati. Pada suatu hari, Ken Dedes
pulang ke Panawijen untuk menjenguk ayahnya. Ketika Ken Dedes turun dari kereta kerajaan,
bertiuplah angin kencang yang menyingkap bagian bawah kain panjangnya. Pada saat itu, Ken
Arok yang bertugas mengawal kereta Ken Dedes sempat melihat sekilas betis istri Tunggul
Ametung tersebut. Di mata Ken Arok, betis Ken Dedes memancarkan sinar yang
menyilaukan. Pemandangan tersebut tak mau hilang dari benak Ken Arok. Ia lalu
menanyakan hal itu kepada Mpu Purwa. Sang Mpu menjelaskan bahwa sinar yang dilihat Ken
Arok merupakan pertanda bahwa Ken Dedes ditakdirkan sebagai wanita yang akan
menurunkan raja-raja di Pulau Jawa.

Ken Arok kemudian memesan sebuah keris kepada seorang Mpu di Tumapel yang bernama
Mpu Gandring. Untuk membuat sebuah keris yang dapat diandalkan keampuhannya,
diperlukan waktu yang cukup lama untuk menempa, membentuk dan menjalankan ritual yang
diperlukan. Karena keris yang dipesan tak kunjung selesai, Ken Arok menjadi sangat marah.
Ia merebut keris yang belum selesai tersebut lalu menikamkannya ke tubuh pembuatnya.
Menjelang ajalnya, Mpu Gandring mengutuk bahwa Ken Arok pun akan mati di ujung keris
yang sama dan keris itu akan meminta korban tujuh nyawa.

Keris buatan Mpu Gandring tersebut oleh Ken Arok dipinjamkan kepada temannya yang
mempunyai watak suka pamer, yaitu Kebo Ijo. Kebo Ijo memamerkan keris itu kepada teman-
teman prajuritnya dan mengatakan bahwa keris itu adalah miliknya. Setelah banyak orang
yang mengetahui keris itu milik sebagai milik Kebo Ijo, ken Arok lalu mencurinya dan
menggunakannya untuk menikam Tunggul Ametung. Dengan sendirinya tuduhan jatuh
kepada kebo Ijo, sementara Ken Arok berhasil menggantikan kedudukan Tunggul Ametung
sebagai akuwu dan menikahi Ken Dedes.

Setelah berhasil menjadi akuwu, Ken Arok kemudian menaklukkan Kerajaan Kediri, yang
kala itu diperintah oleh Raja yang kala itu diperintah oleh Raja Kertajaya (1191-1222), dan
mendirikan Kerajaan Singasari. Ia menobatkan dirinya menjadi raja Singasari yang pertama
dengan gelar Rajasa Bathara Sang Amurwabhumi. Dari Ken Dedes, Ken Arok berputra
seorang, bernama Mahisa Wongateleng, sedangkan dari Ken Umang ia juga mendapatkan
seorang putra bernama Tohjaya. Kutukan Mpu Gandring mulai berlaku. Ken Arok dibunuh
dan digantikan kedudukannya oleh Anusapati. Anusapati dibunuh dan digantikan
kedudukannya oleh Tohjaya. Tohjaya dibunuh dan digantikan oleh Ranggawuni, anak
Anusapati. Ranggawuni kemudian dinobatkan sebagai raja dengan gelar Jayawisnuwardhana
dan memerintah Singasari mulai pada tahun 1227 hingga 1268. Jayawisnuwardhana
digantikan oleh putranya, Joko Dolog yang bergelar Kertanegara (1268-1292).

Kertanegara adalah Raja Singasari yang terakhir. Pemerintahannya ditumbangkan oleh Raja
Kediri, Jayakatwang. Namun Jayakatwang berhasil dikalahkan oleh menantu Kertanegara
yang bernama Raden Wijaya. Raden Wijaya yang merupakan keturunan Mahisa Wongateleng
dan Raja Udayana di Bali ini kemudian mendirikan kerajaan Majapahit dengan pusat
pemerintahan di Tarik (Trowulan).
Candi Surawana
Candi Surawana terletak di Desa
Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri,
sekitar 25 km arah timur laut dari Kota
Kediri. Candi yang nama sesungguhnya
adalah Wishnubhawanapura ini diperkirakan
dibangun pada abad 14 untuk memuliakan
Bhre Wengker, seorang raja dari Kerajaan
Wengker yang berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Majapahit. Raja Wengker ini
mangkat pada tahun 1388 M. Dalam
Negarakertagama diceritakan bahwa pada
tahun 1361 Raja Hayam Wuruk dari
Majapahit pernah berkunjung bahkan
menginap di Candi Surawana.

Ukuran Candi Surawana tidak terlalu besar, hanya 8 X 8 m2. Candi yang seluruhnya
dibangun menggunakan batu andesit ini merupakan candi Syiwa. Saat ini seluruh tubuh dan
atap candi telah hancur tak bersisa. Hanya kaki candi setinggi sekitar 3 m yang masih tegak di
tempatnya. Untuk naik ke selasar di atas kaki candi terdapat tangga sempit yang terletak di
sisi barat. Menilik letak tangga, dapat disimpulkan bahwa candi ini menghadap ke barat.

Seperti yang terdapat di Candi Rimbi, kaki Candi Surawana tampak seperti bersusun
dua, terbagi oleh pelipit yang menonjol keluar. Bagian kaki yang terletak di atas pelipit agak
menjorok ke dalam sehingga ukurannya menjadi kebih kecil dibandingkan dengan kaki
bagian bawah.

Berbeda dengan yang terdapat di Candi Rimbi, panel-panel relief yang memuat
berbagai cerita tidak hanya terjajar rapi di sekeliling kaki candi bagian bawah. Kaki candi
bagian atas bahkan dipenuhi oleh panel-panel relief dalam ukuran yang lebih besar dan
dengan pahatan yang lebih halus.

Relief di kaki bagian bawah menceritakan


kisah-kisah Tantri, sedangkan yang terdapat pada
bagian atas kaki memuat kisah Sri Tanjung,
Arjunawiwaha, serta kisah Bubuksah dan Gagak
Aking. Kisah-kisah semacam itu terdapat pada
candi-candi yang dibangun untuk tujuan peruwatan,
seperti Candi Bajangratu di Trowulan dan Candi
Tegawangi, yang letaknya juga di Pare.

Melihat lingkungannya yang telah tertata


apik, tampaknya candi Surawana telah pernah
mengalami pemugaran. Akan tetapi, hasilnya masih
jauh dari sempurna, mengingat bahwa saat ini hanya
bagian kaki candi yang tersisa. Di halaman candi
masih banyak bebatuan dan arca yang belum
berhasil dikembalikan ketempatnya semula. Batu-
batu dan arca tersebut ditata rapi di atas lajur-lajur
yang terbuat dari semen untuk menghambat proses
kerusakan oleh resapan air.
Candi Tegawangi

Candi Tegawangi terletak di Desa Tegowangi, Kecamatan Plemahan, Kabupaten


Kediri, sekitar 24 Km dari kota Kediri. Letaknya agak tersembunyi di kawasan perumahan
penduduk, sekitar 1 km dari jalan raya, namun lingkungan di sekitar candi sudah tertata apik. 
Candi Hindu ini diperkirakan dibangun pada akhir abad ke-14 atas perintah Raja Hayam
Wuruk. Tujuan pembangunannya adalah untuk meruwat (menghilangkan keburukan) Bhre
Matahun, sepupu Raja Hayam Wuruk.

Nama Tegawangi tercantum dalam Kitab Pararaton, yang meyebutkan bahwa Bre
Matahun yang meninggal pada tahun 1310 Saka (1388 M) didarmakan di Tigawangi. Candi
Tegawangi menghadap ke barat, berdenah dasar bujur sangkar seluas 11,20 m dengan tinggi
yang diperkirakan mencapai 4,29 m. Dengan demikian, candi yang dibangun dari batu andesit
ini lebih besar ukurannya dibandingkan dengan Candi Surawana yang juga terdapat di Kediri.
Kerusakan yang dialami candi ini lebih parah dibandingkan dengan yang dialami Candi
Surawana, karena saat ini yang masih utuh hanya batur dan sebagian kecil tubuhnya.

Pada pipi tangga terdapat pahatan yang menggambarkan pemain genderang. Bagian
bawah kaki candi dihiasi panil pahatan dengan motif sulur-suluran, bunga dan gana yang
dipasang berselang-seling. Dinding kaki candi dihiasi relief yang sangat halus pahatannya,
yang memuat cerita dari Kidung Sudamala. Relief dengan cerita Sudamala ini menguatkan
dugaan bahwa Candi Tegawangi dibangun untuk tujuan pengruwatan. Relief yang memuat
kisah Sudamala terdapat juga di Candi Sukuh.

Di sudut tenggara halaman candi terdapat jajaran batu reruntuhan candi yang masih
belum berhasil dikembalikan ke tempatnya semual. Di antaranya terdapat juga beberapa arca,
termasuk Arca Parwati.
Candi Tikus
Candi Tikus terletak di di dukuh Dinuk, Desa
Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto, Jawa Timur, sekitar 13 km di
sebelah tenggara kota Mojokerto. Dari jalan
raya Mojokerto-Jombang, di perempatan
Trowulan, membelok ke timur, melewati
Kolam Segaran dan Candi Bajangratu yang
terletak di sebelah kiri jalan. Candi Tikus juga
terletak di sisi kiri jalan, sekitar 600 m dari
Candi Bajangratu.

Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam


tanah ditemukan kembali pada tahun 1914.
Penggalian situs dilakukan berdasarkan
laporan Bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo
Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur
candi di sebuah pekuburan rakyat. Pemugaran
secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1984
sampai dengan 1985. Nama 'Tikus' hanya
merupakan sebutan yang digunakan
masyarakat setempat. Konon, pada saat
ditemukan, tempat candi tersebut berada
merupakan sarang tikus.

Belum didapatkan sumber informasi tertulis


yang menerangkan secara jelas tentang kapan,
untuk apa, dan oleh siapa Candi Tikus
dibangun. Akan tetapi dengan adanya miniatur
menara diperkirakan candi ini dibangun antara
abad 13 sampai 14 M, karena miniatur menara
merupakan ciri arsitektur pada masa itu.

Bentuk Candi Tikus yang mirip sebuah


petirtaan mengundang perdebatan di kalangan
pakar sejarah dan arkeologi mengenai
fungsinya. Sebagian pakar berpendapat bahwa
candi ini merupakan petirtaan, tempat mandi
keluarga raja, namun sebagian pakar ada yang
berpendapat bahwa bangunan tersebut
merupakan tempat penampungan dan
penyaluran air untuk keperluan penduduk
Trowulan. Namun, menaranya yang berbentuk
meru menimbulkan dugaan bahwa bangunan
candi ini juga berfungsi sebagai tempat
pemujaan.

Bangunan Candi Tikus menyerupai sebuah petirtaan atau pemandian, yaitu sebuah kolam
dengan beberapa bangunan di dalamnya. Hampir seluruh bangunan berbentuk persegi empat
dengan ukuran 29,5 m x 28,25 m ini terbuat dari batu bata merah. Yang menarik, adalah
letaknya yang lebih rendah sekitar 3,5 m dari permukaan tanah sekitarnya. Di permukaan
paling atas terdapat selasar selebar sekitar 75 cm yang mengelilingi bangunan. Di sisi dalam,
turun sekitar 1 m, terdapat selasar yang lebih lebar mengelilingi tepi kolam. Pintu masuk ke
candi terdapat di sisi utara, berupa tangga selebar 3,5 m menuju ke dasar kolam.
Di kiri dan kanan kaki tangga terdapat kolam berbentuk persegi empat yang berukuran 3,5 m
x 2 m dengan kedalaman 1,5 m. Pada dinding luar masing-masing kolam berjajar tiga buah
pancuran berbentuk padma (teratai) yang terbuat dari batu andesit.

Tepat menghadap ke anak tangga,


agak masuk ke sisi selatan, terdapat
sebuah bangunan persegi empat
dengan ukuran 7,65 m x 7,65 m. Di
atas bangunan ini terdapat sebuah
'menara' setinggi sekitar 2 m dengan
atap berbentuk meru dengan puncak
datar. Menara yang terletak di tengah
bangunan ini dikelilingi oleh 8
menara sejenis yang berukuran lebih
kecil. Di sekeliling dinding kaki
bangunan berjajar 17 pancuran
berbentuk bunga teratai dan makara.

Hal lain yang menarik ialah adanya dua jenis batu bata dengan ukuran yang berbeda yang
digunakan dalam pembangunan candi ini. Kaki candi terdiri atas susunan bata merah
berukuran besar yang ditutup dengan susunan bata merah yang berukuran lebih kecil. Selain
kaki bangunan, pancuran air yang terdapat di candi inipun ada dua jenis, yang terbuat dari
bata dan yang terbuat dari batu andesit.

Perbedaan bahan bangunan yang digunakan tersebut menimbulkan dugaan bahwa Candi
Tikus dibangun melalui tahap. Dalam pembangunan kaki candi tahap pertama digunakan batu
bata merah berukuran besar, sedangkan dalam tahap kedua digunakan bata merah berukuran
lebih kecil. Dengan kata lain, bata merah yang berukuran lebih besar usianya lebih tua
dibandingkan dengan usia yang lebih kecil. Pancuran air yang terbuat dari bata merah
diperkirakan dibuat dalam tahap pertama, karena bentuknya yang masih kaku. Pancuran dari
batu andesit yang lebih halus pahatannya diperkirakan dibuat dalam tahap kedua. Walaupun
demikian, tidak diketahui secara pasti kapan kedua tahap pembangunan tersebut dilaksanakan.
Candi Wringinlawang
Candi Wringinlawang terletak
di Dukuh Wringinlawang, Desa Jati
Pasar, Kecamatan Trowulan,
Kabupaten Mojokerto, tepatnya 11 km
dari Mojokerto ke arah Jombang.
Konon dahulu di dekat candi terdapat
pohon beringin yang besar sehingga
candi ini dinamakan Candi
Wringinlawang (dalam bahasa Jawa,
wringin berarti beringin, lawang
berarti pintu).

Tidak banyak yang diketahui tentang masa pembangunan maupun fungsi candi ini.
Dalam tulisan Raffles tahun 1815, bangunan kuno ini disebut dengan nama Gapura Jati Paser.
Sebutan itu kemungkinan berkaitan dengan nama desa tempat candi itu berada. Dalam tulisan
Knebel tahun 1907, gapura ini disebut sebagai 'Gapura Wringinlawang.'

Wringinlawang merupakan candi bentar, yaitu gapura tanpa atap. Candi bentar
biasanya berfungsi sebagai gerbang terluar dari suatu kompleks bangunan. Menilik
bentuknya, Gapura Wringinlawang diduga merupakan gapura menuju salah satu kompleks
bangunan yang berada di kota Majapahit.

Gapura Wringinlawang telah mengalami


pemugaran yang dilaksanakan sejak tahun 1991
sampai dengan tahun 1995. Keseluruhan bangunan
yang menghadap timur-barat ini terbuat dari bata
merah. Fondasi gapura berbentuk segi empat dengan
ukuran 13 x 11,50 m. Sebelum dipugar belahan
selatan gapura masih utuh, berdiri tegak dengan
ketinggian 15,50 m., sementara belahan utara hanya
tersisa 9 meter. Di sisi kiri dan kanan tangga naik
menuju celah di antara kedua belahan gapura
terdapat dinding penghalang setinggi sekitar 2 m.
Celah di antara kedua belahan gapura cukup lebar.
Tidak tampak ukiran atau relief di dinding candi.
Atap candi berbentuk piramida bersusun dengan
puncak persegi. Bentuk atap maupun hiasan pola
piramida terbalik pada atap candi mirip dengan yang
terdapat di Candi Bajangratu.
Pura Taman Ayun
Pura Taman Ayun yang terletak di Desa Mengwi,
Kabupaten Badung, sekitar 18 km ke arah barat dari
Denpasar. Pura ini sangat indah, sesuai dengan namanya
yang berarti pura di taman yang indah. Selain indah,
Pura Taman Ayun juga dinilai memiliki nilai sejarah,
sehingga pada tahun 2002 Pemda Bali mengusulkan
kepada UNESCO agar pura ini dimasukkan dalam
World Heritage List.

Pura Taman Ayun merupakan Pura lbu (Paibon) bagi


kerajaan Mengwi. Pura ini dibangun oleh Raja Mengwi,
I Gusti Agung Putu, pada tahun 1556 Saka (1634 M). Pada mulanya, I Gusti Agung Putu
membangun sebuah pura di utara Desa Mengwi untuk tempat pemujaan leluhurnya. Pura
tersebut dinamakan Taman Genter. Ketika Mengwi telah berkembang menjadi sebuah
kerajaan besar, I Gusti Agung Putu memindahkan Taman Genter ke arah timur dan
memperluas bangunan tersebut. Pura yang telah diperluas tersebut diresmikan sebagai Pura
Taman Ayun pada hari Selasa Kliwon-Medangsia bulan keempat tahun 1556 Saka. Sampai
sekarang, setiap hari Selasa Kliwon wuku Medangsia menurut pananggalan Saka, di pura ini
diselenggarakan piodalan (upacara) untuk merayakan ulang tahun berdirinya pura.

Pura Taman Ayun telah mengalami beberapa kali perbaikan. Perbaikan secara besar-besaran
dilaksanakan tahun 1937. Pada tahun 1949 dilaksanakan perbaikan terhadap kori agung,
gapura bentar, dan pembuatan wantilan yang besar. Perbaikan ketiga tahun 1972 dan yang
terakhir tahun 1976.

Kompleks Pura Taman Ayun menempati lahan seluas 100 x 250 m2, tersusun atas pelataran
luar dan tiga pelataran dalam, yang makin ke dalam makin tinggi letaknya. Pelataran luar
yang disebut Jaba, terletak di sisi luar kolam. Dari pelataran luar terdapat sebuah jembatan
melintasi kolam, menuju ke sebuah pintu gerbang berupa gapura bentar. 

Gapura tersebut merupakan jalan masuk ke pelataran dalam yang dikelilingi oleh pagar batu.
Di jalan masuk menuju jembatan dan di depan gapura terdapat sepasang arca raksasa. Di
sebelah kiri jalan masuk, tidak jauh dari gerbang, terdapat bangunan semacam gardu kecil
untuk penjaga. Di halaman pertama ini tersebut terdapat sebuah wantilan (semacam pendapa)
yang digunakan untuk pelaksanaan upacara dan juga sebagai tempat penyabungan ayam yang
dilaksanakan dalam kaitan dengan penyelenggaraan upacara di pura.
Pelataran dalam pertama seolah dibelah oleh jalan menuju gapura yang merupakan pintu
masuk ke pelataran dalam kedua. Di sisi barat daya terdapat bale bundar, yang merupakan
tempat beristrirahat sambil menikmati keindahan pura. Di sebelah bale bundar terdapat sebuah
kolam yang dipenuhi dengan teratai dan di tengahnya berdiri sebuah tugu yang memancarkan
air ke sembilan arah mata angin. Di timur terdapat sekumpulan pura kecil yang disebut Pura
Luhuring Purnama. 

Di ujung jalan yang membelah pelataran pertama terdapat gerbang ke pelataran kedua.
Pelataran ini posisinya lebih tinggi dari pelataran pertama. Tepat berseberangan dengan
gerbang terdapat sebuah bangunan pembatas, yang dihiasi dengan relief menggambarkan 9
dewa penjaga arah mata angin. Di sebelah timur terdapat sebuah pura kecil yang disebut Pura
Dalem Bekak. Di sudut barat terdapat balai Kulkul yang atapnya menjulang tinggi.

Pelataran dalam ketiga atau yang terdalam merupakan pelataran yang paling tinggi letaknya
dan dianggap paling suci. Pintu utama yang disebut pintu gelung terletak di tengah dan hanya
dibuka pada saat diselenggarakannya upacara. i kiri dan kanan pintu utama terdapat gerbang
yang digunakan untuk keluar masuk dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari di pura
tersebut. Di pelataran ini terdapat  sejumlah Meru, Candi, Gedong, Padmasana, Padma Rong
Telu, dan bangunan-bangunan keagamaan lainnya.
Pura Uluwatu
Pura Uluwatu terletak di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta,
Kabupaten Badung, Bali, sekitar 30 km ke arah selatan dari
kota Denpasar. Pura Uluwatu yang juga disebut Pura Luwur
ini merupakan salah satu dari Pura Sad Kahyangan, yaitu
enam Pura Kahyangan yang dianggap sebagai pilar spiritual
P. Bali. 

Ada dua pendapat tentang sejarah berdirinya pendirian Pura


Uluwatu. Ada pendapat yang mengatakan bahwa pura ini
didirikan oleh Empu Kuturan pada abad ke-9, yaitu pada
masa pemerintahan Marakata. Pendapat lain mengaitkan
pembangunan Pura Uluwatu dengan Dang Hyang Nirartha, seorang pedanda (pendeta) yang
berasal dari Kerajaan Daha (Kediri) di Jawa Timur. Dang Hyang Nirartha datang ke Bali pada
tahun 1546 M, yaitu pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong. Sang Pedanda kemudian
mendirikan Pura Uluwatu di Bukit Pecatu. Setelah melakukan perjalanan spiritual berkeliling
P. Bali, Dang Hyang Nirartha kembali ke Pura Uluwatu. Di pura inilah Sang Pedanda 'moksa',
meninggalkan 'marcapada' (dunia) menuju 'swargaloka' (surga). Upacara atau 'piodalan'
peringatan hari jadi pura jatuh pada hari Anggara Kasih, wuku Medangsia dalam penanggalan
Saka. Biasanya upacara tersebut berlangsung selama 3 hari berturut-turut dan diikuti oleh
ribuan umat Hindu.

Pura Uluwatu menempati lahan di sebuah tebing yang tinggi yang menjorok ke Samudera
Indonesia dengan ketinggian sekitar 70 m di atas permukaan laut. Karena letaknya di atas
tebing, untuk sampai ke lokasi pura orang harus berjalan mendaki tangga batu yang cukup
tinggi. Bangunan pura ini menghadap ke arah timur, berbeda dengan pura lain di Bali yang
umumnya menghadap ke arah barat atau ke selatan. Di sepanjang jalan di tepi luar pura
terdapat ratusan kera yang berkeliaran. Walaupun tampak jinak, kera-kera tersebut seringkali
mengganggu pengunjung dengan menyerobot makanan atau barang-barang yang dikenakan.

Di ujung jalan yang mendaki terdapat dua pintu masuk ke komplek pura, satu terletak di
sebelah utara dan satu lagi di sebelah selatan. Pintu masuk tersebut berbentuk gapura bentar
dan terbuat dari batu. 

Di depan gapura terdapat sepasang arca berbentuk manusia berkepala gajah dalam posisi
berdiri. Dinding depan gapura dihiasi pahatan yang sangat halus bermotif daun dan bunga.
Di sebelah dalam, di balik gapura, terdapat sebuah lorong berlantai batu berundak, menuju ke
pelataran dalam. Lorong terbuka ini diteduhi oleh pohon yang ditanam di sepanjang kiri dan
kanan lorong.

Pelataran dalam merupakan pelataran terbuka. Lantai pelataran tertutup oleh lantai batu yang
tertata rapi. Di dekat gapura, di sisi utara, terdapat bangunan kayu.

Di sebelah barat, berseberangan dengan jalan masuk, terdapat sebuah gapura paduraksa yang
merupakan jalan masuk ke pelataran yang lebih dalam lagi. 

Berbeda dengan gapura luar, gapura ini merupakan gapura beratap yang terbuat dari batu.
Ambang pintu berbentuk lengkungan dan dibingkai oleh susunan batu. Di atas ambang
terdapat pahatan kepala raksasa. Puncak gapura di berbentuk seperti mahkota dan dihiasi
dengan berbagai motif pahatan. Celah di antara gapura dengan dinding di kiri dan kanan
pelataran tertutup oleh dinding yang juga dihiasi dengan pahatan.
Di sebelah selatan terdapat pelataran kecil berbentuk memanjang dan menjorok ke arah laut.
Di ujung pelataran terdapat sebuah bangunan kayu yang tampak seperti tempat orang duduk-
duduk sambil memandang lautan. Sejak dibanunannya, Pura Uluwatu telah banyak kali
menjalani pemugaran. Bahkan sekitar tahun 1999, bangunan pura ini sempat terbakar akibat
sambaran petir.

Anda mungkin juga menyukai