Anda di halaman 1dari 34

Candi ini terletak di pertengahan 

jalan raya antara Kecamatan


Pandaan - Kecamatan Prigen dan Pringebukan. Candi Jawi banyak
dikira sebagai tempat pemujaan atau tempat peribadatan Buddha,
tetapi sebenarnya merupakan tempat pendharmaan atau
penyimpanan abu dari raja terakhir Singhasari, Kertanegara. Sebagian
dari abu tersebut juga disimpan pada Candi Singhasari. Kedua candi
ini ada hubungannya dengan Candi Jago yang merupakan tempat
peribadatan Raja Kertanegara.
Latar belakang
Dalam Negarakertagama pupuh 56 disebutkan bahwa Candi Jawi
didirikan atas perintah raja terakhir Kerajaan Singasari, Kertanegara,
untuk tempat beribadah bagi umat beragama Siwa-Buddha. Raja
Kartanegara adalah seorang penganut ajaran sinkretisme Siwa-
Buddha.[1] Alasan Kertanegara membangun candi Jawi jauh dari
pusat kerajaan diduga karena di kawasan ini pengikut ajaran Siwa-
Buddha sangat kuat. Rakyat di daerah itu sangat setia. Sekalipun
Kertanegara dikenal sebagai raja yang masyhur, ia juga memiliki
banyak musuh di dalam negeri. Kidung Panji Wijayakrama, misalnya,
menyebutkan terjadinya pemberontakan Kelana
Bayangkara. Negarakertagama mencatat adanya pemberontakan
Cayaraja.
Ada dugaan bahwa kawasan Candi Jawi dijadikan basis oleh
pendukung Kertanegara. Dugaan ini timbul dari kisah sejarah bahwa
saat Dyah Wijaya, menantu Kertanegara, melarikan diri setelah
Kertanegera dikudeta raja bawahannya, Jayakatwang dari Gelang-
gelang (daerah Kediri), dia sempat bersembunyi di daerah ini,
sebelum akhirnya mengungsi ke Madura

Struktur dan kegunaan bangunan


Candi Jawi menempati lahan yang cukup luas, sekitar 40 x 60 meter
persegi, dan terbuat dari batu andesit yang dikelilingi oleh pagar bata
setinggi 2 meter. Bangunan candi dikelilingi oleh parit yang saat ini
dihiasi oleh bunga teratai. Bentuk candi berkaki Siwa,
berpundak Buddha. Ketinggian candi ini sekitar 24,5 meter dengan
panjang 14,2 m dan lebar 9,5 m.[1]Bentuknya tinggi ramping
seperti Candi Prambanandi Jawa Tengah dengan atap yang bentuknya
merupakan paduan antara stupa dan kubus bersusun yang meruncing
pada puncaknya. Pintunya menghadap ke timur. Posisi pintu ini oleh
sebagian ahli dipakai alasan untuk mempertegas bahwa candi ini
bukan tempat pemujaan atau pradaksina (upacara penghormatan
terhadap dewa, disebut Dewayadnyaatau dewayajña), karena biasanya
candi untuk peribadatan menghadap ke arah gunung, tempat yang
dipercaya sebagai tempat persemayaman kepada Dewa. Candi Jawi
justru membelakangi Gunung Penanggungan. Sementara ahli lain ada
pula yang beranggapan bahwa candi ini tetaplah candi pemujaan, dan
posisi pintu yang tidak menghadap ke gunung karena pengaruh dari
ajaran Buddha.

Arkeologi
Keunikan Candi Jawi adalah adanya relief di dindingnya. Sayangnya,
relief ini belum bisa dibaca. Bisa jadi karena pahatannya yang terlalu
tipis, atau karena kurangnya informasi pendukung, seperti
dari prasasti atau naskah. Negarakertagama yang secara jelas
menceritakan candi ini tidak menyinggung sama sekali soal relief
tersebut. Berbeda dengan relief di Candi Jago dan Candi
Penataran yang masih jelas. Salah satu fragmen yang ada pada
dinding candi, menggambarkan sendiri keberadaan candi Jawi
tersebut beserta beberapa bangunan lain disekitar candi. Tampak Jelas
pada fragmen tersebut pada sisi timur dari candi terdapat candi
perwarasebanyak tiga buah, tetapi sayang sekali kondisi ketiga
perwara tersebut saat ini bisa dibilang rata dengan tanah. demikan
juga di fragmen tersebut terlihat jelas bahwa terdapat candi
bentar yang merupakan pintu gerbang candi, terletak sebelah barat.
Sisa-sisa bangunan tersebut memang masih ada, tetapi bentuknya
lebih mirip onggokan batu bata, karena memang gerbang candi
tersebut dibangun dari batu bata merah.
Di samping relief yang terletak dibagian dinding candi, terdapat pula
relief lain yang terletak di bagian dalam candi. Terletak tepat dibagian
tengah candi yang merupakan bagian tertinggi dari bagian dalam
candi, terdapat sebuah relief Dewa Surya yang terpahat jelas.
Keunikan lain dari Candi Jawi adalah batu yang dipakai sebagai
bahan bangunannya terdiri dari dua jenis. Bagian bawah terdiri dari
batu hitam, sedangkan bagian atas batu putih. Sehingga timbul dugaan
bahwa bisa jadi candi ini dibangun dalam dua periode yang berbeda
teknik bangunan
Sejarah menurut nagarakertagama
Nagarakertagama menyebut candi ini dengan nama Jajawa yang
dikunjungi Raja Majapahit Prabu HayamWuruk sekitar tahun 1359
Masehi. Sang Raja singgah di candi ini untuk memberikan
penghormatan dan persembahan untuk memuliakan kakek buyutnya
Prabu Kertanegara.[2] Negarakertagama menyebutkan, di dalam bilik
candi terdapat arca Siwa. Di atasnya arca Siwa terdapat arca Maha
Aksobhya yang kini telah hilang. Ada sejumlah arca bersifat Siwa,
seperti Nandiswara, Durga, Ganesa, Nandi, dan Brahma.
Kakawin Negarakertagama menyebutkan bahwa pada
saat candrasengkala atau pada tahun Api Memanah Hari (1253 Saka)
candi itu disambar petir. Saat itulah arca Maha Aksobaya raib.
Dikisahkan Raja Majapahit Prabu HayamWuruk yang mengunjungi
candi itu kemudian bersedih atas hilangnya arca tersebut. Walaupun
telah ditemukan arca Maha Aksobaya yang kini disimpan di Taman
Apsari, depan Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa
Timur, yang kemudian dikenal dengan Patung Joko Dolog, arca ini
bukan berasal dari Candi Jawi.
Ditulis bahwa setahun setelah Candi Jawi disambar petir, telah
dilakukan pembangunan kembali. Pada masa inilah diperkirakan
penggunaan batu putih. Namun, asal batu putih tersebut masih
dipertanyakan, karena kawasan yang termasuk kaki Gunung
Welirang kebanyakan berbatu hitam, dan batu putih hanya sering
dijumpai di daerah pesisir utara Jawa atau Madura.

Candi Jawi dipugar untuk kedua kalinya tahun 1938-1941 dalam masa


pemerintahan Hindia Belandakarena kondisinya sudah runtuh. Akan
tetapi, renovasinya tidak sampai tuntas karena sebagian batunya
hilang. Kemudian diperbaiki kembali tahun 1975-1980, dan
diresmikan tahun 1982. Kini biaya pemeliharaan didapatkan dari
sumbangan sukarela dari pengunjung maupun LSM lainnya.
Bentuk bangunan Candi Jawi memang utuh, tetapi isinya berkurang.
Arca Durga kini disimpan di Museum Empu Tantular, Surabaya.
Lainnya disimpan di Museum Trowulan untuk pengamanan.
Sedangkan yang lainnya lagi, seperti arca Brahmana, tidak ditemukan.
Mungkin saja sudah berkeping-keping.
Di gudang belakang candi memang terdapat potongan-potongan
patung. Selain itu, terdapat pagar bata merah seperti yang banyak
dijumpai di bangunan pada masa Kerajaan Majapahit, seperti Candi
Tikus di Trowulan dan Candi Bajangratu di Mojokerto

Provinsi Jawa Timur memang terkenal mempunyai berbagai destinasi


wisata, mulai dari gunung, pantai, air terjun, danau, dan beberapa
destinasi wisata lainnya. Tidak hanya itu, Jawa Timur juga memiliki
destinasi wisata purbakala. Banyak sekali peninggalan-peninggalan
purbakala yang tersebar di provinsi Jawa Timur ini. Hal ini
dibuktikkan dengan adanya petirtaan atau pemandian dan juga candi-
candi yang menjadikan bukti bahwa wilayah Jawa Timur pada dahulu
kala merupakan pusat penyebaran agama Hindu dan Budha. Salah
satu peninggalan candi di Jawa Timur adalah Sejarah Candi Jawi.
Candi Jawi adalah salah satu candi peninggalan
Budha dan peninggalan Kerajaan Singasari. Candi Jawi terletak di
kaki Gunung Welirang, tepatnya di Desa Candi Wates, Kecamatan
Prigen, Kabupaten Pasuruan, sekitar 31 km dari kota Pasuruan. Candi
Jawi terletak di pertengahan jalan raya antara Kecamatan Pandaan-
Kecamatan Prigen dan Pringebukan. Candi Jawi berada di dataran
dengan ketinggian sekitar 290 meter di atas permukaan laut yang
menjadikan lokasi ini memiliki iklim sejuk.
Gunung Pawitra atau yang lebih dikenal dengan Gunung
Penanggungan menjadi latar belakang di bagian sebelah barat laut
candi, sedangkan di sebelah selatan candi dapat disaksikan keindahan
kota wisata Tretes.
Sejarah Candi Jawi
Dalam kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca, candi ini
disebut Jawajawa atau Jajawi. Dari Jajawi, nama tersebut kemudian
berubah menjadi Jawi. Dalam kitab Negarakertagama pupuh 56
disebutkan bahwa Candi Jawi didirikan atas perintah raja terakhir
Kerajaan Singasari, yaitu Kertanegara. Candi Jawi dibangun pada
abad ke-13 dan merupakan peninggalan sejarah Kerajaan Singasari.
Didirikannya Candi Jawi bertujuan untuk dijadikan tempat beribadah
bagi umat beragama Syiwa-Budha.  Raja Kertanegara adalah seorang
penganut ajaran Syiwa-Budha.
Selain sebagai tempat ibadah, Candi Jawi juga merupakan tempat
penyimpanan abu jenazah Kertanegara dan sebagian dari abu tersebut
juga disimpan pada Candi Singasari. Hal ini cukup mengherankan,
karena letak Candi Jawi cukup jauh dari pusat Kerajaan Singasari.
Diduga hal itu disebabkan karena rakyat di daerah ini sangat setia
kepada raja dan banyak yang menganut ajaran Syiwa-Budha.
Sekalipun Kertanegara dikenal sebagai raja yang masyur, ia juga
memiliki banyak musuh di dalam negeri. Kidung Panji Wijayakrama,
misalnya, menyebutkan terjadinya pemberontakan Kelana
Bayangkara. Selain itu, Negarakertagama mencatat adanya
pemberontakan Cayaraja.

Ada dugaan bahwa kawasan Candi Jawi dijadikan basis oleh


pendukung Kertanegara. Dugaan tersebut didasarkan pada kenyataan
bahwa saat Raden Wijaya yang merupakan menantu Raja
Kertanegara, melarikan diri setelah Kertanegara dijatuhkan oleh Raja
Jayakatwang dari Gelang-Gelang (salah satu daerah di Kediri), ia
sempat bersembunyi di daerah ini, sebelum akhirnya mengungsi ke
Madura.

Kitab Negarakertagama menyebutkan bahwa pada tahun 1253 Saka


(candrasengkala: Api Memanah Hari) Candi Jawi disampar petir.
Dalam kejadian itu arca Maha Aksobaya menghilang. Hilangnya arca
tersebut sempat membuat sedih Raja HayamWuruk ketika baginda
mengunjungi Candi Jawi.

Bangunan dan Arsitektur Candi Jawi


Arsitektur Candi Jawi dapat digambarkan sebagai berikut:

 Berkaki Siwa, berpundak Budha.


 Bentuknya tinggi ramping seperti Candi Prambanan di Jawa
Tengah, dengan ukuran luas 14,24 x 9,55 meter dan tinggi 24,5 meter.
 Bentuk atap yang merupakan perpaduan antara stupa dan kubus
bersusun yang meruncing pada puncaknya.
 Pintu candi menghadap ke timur.Posisi pintu ini oleh sebagian
ahli dipakai alasan untuk mempertegas bahwa candi ini bukan tempat
pemujaan atau pradaksina (upacara penghormatan terhadap dewa), hal
ini dikarenakan biasanya candi untuk peribadatan menghadap ke arah
gunung, tempat yang dipercaya sebagai tempat persemayaman kepada
dewa. Sementara ahli lain ada pula yang beranggapan bahwa candi ini
tetaplah candi pemujaan, dan posisi pintu yang tidak menghadap ke
gunung karena pengaruh dari ajaran Budha.
 Terdapat relief pada dinding sekitar Candi Jawi, namun sampai
dengan saat ini masih belum ada yang berhasil membaca relief
tersebut. Menurut juru kunci candi, relief itu harus dibaca
menggunakan teknik prasawiya (berlawanan dengan arah jarum jam),
seperti yang digunakan dalam membaca relief di Candi Kidal.
 Terdapat relief yang terletak pada bagian dalam candi, yaitu di
bagian tengah candi yang merupakan bagian tertinggi dari bagian
dalam candi. Relief tersebut adalah relief Dewa Surya.
 Fragmen yang ada pada dinding candi menggambarkan
keberadaan Candi Jawi sendiri beserta beberapa bangunan lain di
sekitar candi, seperti pada sisi timur dari candi terdapat Candi
Perwara sebanyak tiga buah, Candi Bentar yang merupakan pintu
gerbang candi terletak di sebelah barat.
 Batu yang dipakai sebagai bahan bangunannya terdiri dari dua
jenis. Dari kaki sampai selasar candi dibangun menggunakan batu
berwarna gelap, tubuh candi menggunakan batu putih, sedangkan atap
candi menggunakan campuran batu berwarna gelap dan putih. Hal ini
mengindikasikan adanya dua periode pembuatan.
 Kaki candi berdiri di atas batur (kaki candi) setinggi sekitar 2
meter dengan pahatan relief yang memuat kisah tentang seorang
pertapa wanita.
 Pipi tanggal dari selasar menuju ke lantai candi dihiasi sepasang
arca binatang bertelinga panjang.
 Bingkai pintu polos tanpa pahatan, namun di atas ambang pintu
terdapat pahatan kalamakara, lengkap dengan sepasang taring, rahang
bawah, serta hiasan di rambutnya.
 Di kiri dan kanan pintu terdapat relung kecil tempat meletakkan
arca.
 Di atas ambang masing-masing relung terdapat pahatan kepala
makhluk bertaring dan bertanduk.

Adanya arca dewa-dewi Syiwa, seperti arca Durga, Nandi, Ganesha,


dan Brahma, ini menunjukkan bahwa Candi Jawi bersifat Syiwaistis
atau berdasarkan kepercayaan Syiwa.

Namun, pada bagian atas candi yang berbentuk stupa menunjukkan


candi ini juga berlatar Buddha. Seni arsitektur Candi Jawi
menunjukkan persatuan yang harmonis kepercayaan Syiwa-Buddha.
Hal ini sekaligus menjadi contoh nyata falsafah Bhinneka Tunggal
Ika. Apa yang membuat persatuan itu terjadi? 

Sampai saat ini, para ahli belum bisa membaca relief yang menghiasi
dinding luar tubuh Candi Jawi. Selain reliefnya sudah pudar karena
terlalu tipis, para ahli masih kesulitan menghubungkan gambar relief
yang ada dengan kitab atau prasasti yang ditemukan.

Namun, sebuah tulisan berjudul Tafsir Cerita Pada Relief Candi Jawi,


setidaknya telah sedikit  memberi gambaran tentang relief tersebut.

Konon, alur cerita yang terdapat pada relief Candi Jawi, hampir


seluruhnya sesuai dengan alur cerita pada salah satu episode kitab
Sutasoma karangan Empu Tantular yang menceritakan kisah Dewi
Candrawati dari Kerajaan Kasi, hingga pertemuannya dengan
Pangeran Sutasoma di Taman Ratnalaya.

Sumber foto: pasuruan-travel.co,  hurahura.wordpress.com


 1
 2

 Showall

Penulis : Sigit Wahyu


Editor : Iveta Rahmalia

Sigit wahyu


Jawa timur


Jalan-jalan


Relief candi jawi


Pasuruan


Sejarah candi


Misteri candi

 
 
 
ARTIKEL TERKAIT

Masjid Indrapuri, Sekilas Mirip Candi


AngkorWat, Candi Terbesar di Dunia


Siapa yang Membuat Candi Borobudur?


Bagaimana Cara Membangun Candi Borobudur?

Find Us On Social Media :



GridNetwork

AdjarBoboBolanasBolasportBolaStyloCerdasBelanjaCewekBangetFo
tokitaGridFameGridGamesGridHealthGridHotGridMotorGridPopGri
dStarGrid.IDGridotoHaiHItsHypeiDEAInfo
KomputerIntisariJip.co.idJuaraKidsKitchenesiaMakeMacMotorplusN
akitaNational
GeographicNextrenNovaOtofemaleOtomania.comOtomotifnet.comOt
oraceOtosekenParapuanSajian
SedapSosokSportfeatStyloSuarSuperBallVideoWikenGridvoiceGRID
StoryFactoryKG Media
AboutUsEditorialManagementPrivacyPedoman Media SiberContact
Us

Hak Cipta © Bobo 2021

Candi Gunung Gangsir bisa Teman Traveler temukan di wilayah


Dukuh Kebon Candi, Desa Gunung Gangsir, Kecamatan Beji,
Kabupaten Pasuruan. Jaraknya kurang lebih 18 km dari pusat kota.
Menurut penelitian, bangunan kuno ini didirikan pada masa
pemerintahan Raja Airlangga, yakni sekitar Abad ke-10 atau 11
Masehi.

Asal Mula Nama Gunung Gangsir


Papan nama candi (c) Fitri Nur Aviva/Travelingyuk
Uniknya, candi ini dulunya dikenal dengan nama Keboncandi. Namun
lantaran lokasinya masuk wilayah Desa Gunung Gangsir, para
penduduk sekitar lebih suka menyebutnya dengan nama tersebut.

Kata ‘Gunung’ disematkan karena area sekitar candi dulunya


dilingkupi gunung. Sementara kata ‘Gangsir’ dalam Bahasa Jawa bisa
diartikan sebagai aktivitas menggali lubang di bawah permukaan
tanah. Hal ini terinspirasi cerita yang mengatakan bahwa dulu pernah
ada seseorang yang coba menggali lubang guna mengambil barang-
barang berharga di dalam candi.

Penghormatan pada Janda Murah Hati


Bagian depan candi (c) Fitri Nur Aviva/Travelingyuk
Banyak orang meyakini bahwa candi ini didirikan sebagai bentuk
penghormatan pada Nyi Sri Gati atau biasa dikenal sebagai Mbok
Randa Derma (Janda Murah Hati). Ia merupakan seorang tokoh
legenda yang tidak diketahui secara pasti asal usulnya, namun
dipercaya memainkan peran penting dalam perkembangan desa.

Konon dulunya masyarakat sekitar sini belum mengenal cara


bercocok tanam. Kebanyakan hidup sebagai pengembara dan
makanan pokok mereka adalah sejenis rerumputan.
Suatu hari, persediaan pangan mulai menipis. Pada saat itu datanglah
Nyi Sri Gati. Ia mengajak para pengembara untuk berdoa dan
meminta petunjuk kepada Hyang Widi guna mengatasi masalah yang
tengah mereka alami.

Tak lama kemudian, datanglah segerombolan burung sebangsa gelatik


yang membawa padi-padian dan menjatuhkannya di dekat para
pengembara. Sebagian dari padi-padian tersebut berubah jadi permata
dan membuat Nyi Sri Gati menjadi kaya raya. Sementara padi lainnya
ditanam demi kesejahteraan penduduk.

Berkat padi yang tumbuh subur, masalah pangan penduduk dapat


teratasi. Sejak saat itu, mereka mulai menetap dan hidup dengan
bercocok tanam. Nasi pun perlahan menjadi makanan pokok mereka.

Arsitektur Unik
Dinding candi (c) Fitri Nur Aviva/Travelingyuk
Candi ini mengusung gaya arsitektur cukup menawan. Alih-alih
disusun dari batu bata andesit, strukturnya terdiri dari susunan batu
bata merah. Bangunannya total memiliki empat lantai, dengan bentuk
meruncing namun atap tumpul. Karena ini, bangunan kuno ini tampak
seperti terbelah di bagian atas.

Pintu masuk candi (c) Fitri Nur Aviva/Travelingyuk


Candi ini juga memiliki kaki berbentuk segi empat dengan ukuran
sekitar 15×15m². Di dalamnya konon terdapat ruangan cukup
luas yang konon bisa menampung hingga 50 orang. Pintu masuknya
ada di sisi barat dan berjarak kurang lebih lima meter dari permukaan
tanah.

Untuk mencapai pintu masuk ini, terdapat sebuah tangga yang cukup
lebar dan menjorok ke barat. Sayangnya, fasilitas ini sudah sedikit
hancur sehingga sulit ditapaki.

Relief di dinding candi (c) Fitri Nur Aviva/Travelingyuk


Dinding Candi Gunung Gangsir juga tak kalah menarik, dengan relief
aneka bentuk. Beberapa menggambarkan sosok wanita, maupun
tanaman sulur. Sayangnya, jarang ada relief yang masih utuh.
Beberapa bahkan sudah rusak atau hilang.

Peraturan Berkunjung
Papan peraturan (c) Fitri Nur Aviva/Travelingyuk
Selama berada di candi ini, ada beberapa aturan yang harus Teman
Traveler taati. Beberapa di antaranya seperti menjaga kesopanan dan
ikut memelihara kebersihan serta kondisi lingkungan di sekitar candi.
Jangan sampai melanggar kecuali kalian ingin kena denda atau sanksi.

Itulah sedikit ulasan mengenai Candi Gunung Gangsir. Semoga


bermanfaat, terutama bagi Teman Traveler yang menyukai wisata
bernuansa sejarah dan berencana liburan ke Pasuruan. Selamat jalan-
jalan!

Tags
kontributor Pasuruan Travelingyuk wisata pasuruan
Share
   

Gunung Bismo di Wonosobo, Dengan Bentuk Unik Seperti


Genggaman Tangan

Nuril Azizah
17 Jam Yang Lalu

Bagi Teman Traveler yang baru pertama kali akan melakukan


pendakian bisa mengunjungi Gunung Bismo di Wonosobo. Jalurnya
dan ketinggian gunung sangat cocok bagi pemula. Mempunyai bentuk
unik seperti genggaman tangan dengan panorama menakjubkan. Yuk
simak ulasan di bawah ini.
Pendakian Bagi Pemula

Ilustrasi via instagram fikrilifetrip


Gunung Bismo atau Bisma berada di kawasan pegunungan api Dieng,
gunung ini sendiri merupakan bekas gunung api purba dengan kawah
tua, terpotong membuka ke arah tenggara. Kaldera ini memiliki
bentuk unik seperti genggaman tangan, dengan ketinggian 2.365
Mdpl.

Destinasi wisata gunung ini sangat populer banyak dikunjungi para


wisatawan untuk mendaki terutama bagi pemula sebab ketinggiannya
yang tidak begitu tinggi. Selain itu keindahan alam sekitar juga
menakjubkan.
Jalur Pendakian
Ilustrasi via instagram ramdagilang01
Kemudian ada beberapa jalur pendakian yang bisa Teman Traveler
pilih diantaranya paling terkenal jalur silandak, ada 4 pos yang harus
dilewati dengan pemandangan ladang perkebunan warga. Waktu
tempuh hingga puncaknya sekitar 4 jam, jalur tersulit akan ditemui
pada pos ke 3 yaitu tanjakan dengan kemiringan 90 derajat.

Lalu, jalur sikunang memiliki tanjakan cukup terjal namun bisa cepat
sampai dengan waktu tempuh sekitar 1 jam. Selain itu ada jalur
pulosari, jalur deroduwur, dan jalur maron.
Puncak Gunung Bismo
Ilustrasi via instagram gunungbismo
Selanjutnya Teman Traveler setelah sampai di puncak Hastinapura
akan disuguhkan pemandangan Gunung Sumbing, Gunung Sindoro,
Gunung Prau yang gagah serta Telaga Menjer di bawahnya. Suasana
saat sunrise begitu indah apalagi awan-awan berkumpul seakan
berada di atas awan.

Di puncak gunung ini Teman Traveler bisa berkemah menikmati


indahnya panorama. Namun, saat cuaca tidak dalam kondisi baik
seperti berangin para pendaki dilarang ke sini. Sebab, bentuk puncak
gunung yang berupa tanah sempit pada punggung gunung dan di
kanan serta kiri adalah jurang curam membuatnya sangat berbahaya.
Fasilitas, Harga Tiket dan Lokasi
Ilustrasi via instagram wandi_1787
Berikutnya untuk fasilitas wisata ada area parkir, toilet umum, kamar
mandi, musala, warung makan serta minum, area camping dan
lainnya. Harga tiket masuk atau registrasi per orang Rp 10.000-Rp
15.000, biaya penitipan sepeda motor Rp 10.000, dan ojek Rp 10.000
saat siang lalu Rp 15.000 ketika malam.

Gunung Bismo berlokasi di area Gunung Campursari, Kejajar,


Wonosobo, Jawa Tengah. Dari pusat kota menuju jalur silandak
berjarak 12,4 km dengan waktu tempuh sekitar 34 menit perjalanan.
Jam operasional buka selama 24 jam setiap hari.

Demikian ulasan Gunung Bismo di Wonosobo Jawa Tengah, bisa


menjadi destinasi pendakian Teman Traveler yang masih pemula.
Jangan lupa selalu patuhi protokol kesehatan.

Tags
Gunung Bismo Jawa Tengahwisata gunung di jawatengahWisata
Gunung di Wonosobo Wonosobo
Pemandian ini berbentuk kolam empat persegi yang mendapat
pasokan air dari sungai kecil yang berada di sisi selatan Dinding
sebelah barat dan selatan mengepras lereng tebing dan dibentuk
relung-relung yang diberi jaladwara, tempat air memancur. Pada
dinding sisi barat terdapat dua relung besar yang mengapit satu relung
keci. Dua relung besar terdapat dua arca jaladwara, berwujud Dewi
Sri dan Dewi Lakshmi. Dari sepasang payudara arca
Lakshmiterpancur air; inilah yang menyebabkan situs ini disebut
sebagai Candi Sumbertetek[1]. Relung di tengah kosong, namun
diperkirakan pernah dipasang arca Wishnu, sebagai dewa yang
merupakan suami kedua dewi yang sudah disebut dalam mitologi
Hindu.
Pada sisi selatan, di atas petirtaan, berdiri satu kronogram berwujud
arca yang dapat ditafsirkan sebagai tahun 931 Saka, atau 1009 M. Bila
dikaitkan dengan angka tahun yang tertulis di kompleks Petirtaan
Jolotundo (991 M), Petirtaan Belahan diperkirakan dibangun pada
masa pemerintahan raja yang sama; kemungkinan adalah
Raja Dharmawangsa Teguh, atau mungkin lebih awal lagi
(MpuSindok).
Dari sisi geografi, letak Petirtaan Belahan dan Petirtaan Jalatunda
mengapit Gunung Pawitra, yang menurut mitologi Jawa adalah
puncak dari gunung mulia Mahameru. Oleh karena itu, diperkirakan
kedua petirtaan merupakan bagian dari satu rangkaian proses
peribadatan.
Di dekat petirtaan Belahan juga ditemukan dua gapura dan sisa
struktur bata yang diduga merupakan sisa kompleks pertapaan
kuno. Prasasti Cunggrang dari masa MpuSindok, yang ditemukan di
dekat Petirtaan Belahan, telah menyinggung adanya suatu tempat
"pertapaan yang menghadap jurang". Semua ini membentuk suatu
kompleks situs arkeologi.

perjalanan tim Indonesia Kaya saat mencari situs terpenting


peninggalan Kerajaan Airlangga

Pariwisata
Tagar:
Jawa Timur, Pariwisata



Jawa Timur berada di penghujung musim kemarau ketika memasuki


akhir Oktober 2014. Daun-daun meranggas, pepohonan kering
meninggalkan ranting, sementara tanah retak lantaran lama tak
tersentuh air. Sedikit gambaran tersebut menemani perjalanan tim
Indonesia Kaya saat mencari situs terpenting peninggalan Kerajaan
Airlangga yang bernama Candi Belahan atau masyarakat sekitar
mengenalnya dengan nama Sumber Tetek.
Candi Belahan terletak di suatu desa terpencil di Pasuruan. Secara
administrasi, candi bersejarah ini masuk dalam kawasan Desa
Wonosuryo, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Mengingat lokasinya yang berada di lereng Gunung Pananggungan,
perjalanan menuju Candi Belahan tidaklah mudah, karena harus
melewati jalan desa yang rusak, berliku, dan terjal.

Candi Belahan merupakan salah satu peninggalan masa kedinastian di


Indonesia yang merepresentasikan tingginya nilai budaya yang dianut
masyarakat nusantara
Secara administrasi, candi bersejarah ini masuk dalam kawasan Desa
Wonosuryo, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur
Tepat di bawah arca Prabu Airlangga terdapat dua arca unik yang
menggambarkan dua permaisuri, Dewi Laksmi dan Dewi Sri
Candi Belahan merupakan bangunan cagar budaya peninggalan
Kerajaan Airlangga yang termasyur di Jawa Timur
Keunikan kedua arca tersebut terletak pada sumber mata air yang
keluar dari payudara merupakan simbol amarta, air yang dipercaya
mampu memberikan kekuatan

Candi ini dibangun sebagai petirtaan, tempat pertapaan Prabu


Airlangga beserta kedua permaisurinya Dewi Laksmi dan Dewi Sri

Candi Belahan merupakan salah satu peninggalan masa kedinastian di


Indonesia yang merepresentasikan tingginya nilai budaya yang dianut
masyarakat nusantara
Secara administrasi, candi bersejarah ini masuk dalam kawasan Desa
Wonosuryo, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur

Tepat di bawah arca Prabu Airlangga terdapat dua arca unik yang
menggambarkan dua permaisuri, Dewi Laksmi dan Dewi Sri

Candi Belahan merupakan bangunan cagar budaya peninggalan


Kerajaan Airlangga yang termasyur di Jawa Timur

Keunikan kedua arca tersebut terletak pada sumber mata air yang
keluar dari payudara merupakan simbol amarta, air yang dipercaya
mampu memberikan kekuatan

Candi ini dibangun sebagai petirtaan, tempat pertapaan Prabu


Airlangga beserta kedua permaisurinya Dewi Laksmi dan Dewi Sri

Candi Belahan merupakan salah satu peninggalan masa kedinastian di


Indonesia yang merepresentasikan tingginya nilai budaya yang dianut
masyarakat nusantara
Menurut catatan sejarah masa kedinastian di Indonesia, Candi
Belahan merupakan bangunan cagar budaya peninggalan Kerajaan
Airlangga yang termasyur di Jawa Timur. Candi ini dibangun sebagai
petirtaan, tempat pertapaan Prabu Airlangga beserta kedua
permaisurinya, yaitu Dewi Laksmi dan Dewi Sri.
Awalnya pada Candi Belahan terdapat arca yang diyakini sebagai arca
Prabu Airlangga yang berwujud Dewa Wisnu dengan empat tangan,
yaitu tangan kiri bagian belakang memegang sangka, sedangkan
tangan kanan belakang menggenggam cakra, semacam senjata berupa
roda bergerigi yang dapat mengakhiri segala kehidupan. Sementara
kedua tangan yang lain membentuk sifat mudra, tulus bersemedi.
Namun arca tersebut telah lama runtuh, dan hanya meninggalkan
relungnya saja.

Tepat di bawah arca Prabu Airlangga terdapat dua arca unik yang
menggambarkan dua permaisuri, Dewi Laksmi dan Dewi Sri.
Keunikan kedua arca tersebut terletak pada sumber mata air yang
keluar dari payudara. Mata air dari payudara ini merupakan
simbol amarta, air yang dipercaya mampu memberikan kekuatan,
penyembuhan, dan bagi yang meminum airnya, dapat memberikan
khasiat awet muda. Meski Jawa Timur dilanda musim kemarau
berkepanjangan, air dari petirtaan Candi Belahan tetap mengalir dan
jatuh ke kolam berukuran 4×10 meter yang berada tepat di bawahnya.

Candi Belahan merupakan salah satu peninggalan masa kedinastian di


Indonesia yang merepresentasikan tingginya nilai-nilai budaya yang
dianut masyarakat nusantara. Kekayaan ini sudah sepatutnya dijaga
dan dilestarikan, sebagai aset yang tak ternilai harganya. Dibuka
setiap hari, situs bersejarah Candi Belahan kerap dikunjungi oleh
mahasiswa dan peneliti asing yang ingin mengetahui lebih dalam
mengenai Kerajaan Airlangga, salah satu kerajaan besar Jawa Timur
yang harus terpecah menjadi dua bagian karena perebutan kekuasaan. 
Tempat wisata ini berlokasi di lereng timur Gunung Penanggungan.
Tepatnya di Dusun Belahan Jowo, Desa Wonosunyo, Kecamatan
Gempol, Kabupaten Pasuruan. Candi ini bisa diakses langsung
melalui jalur utama Surabaya – Malang.
2. Dua Arca Utama di Kolam Petirtaan
Arca di kolam (c) Welly Handoko/Travelingyuk
Di dalam area petirtaan ini terdapat sebuah kolam pemandian persegi
panjang yang tidak begitu dalam dan luas. Di sisi dinding barat
petirtaan kolam ini terdapat 2 buah arca yang mengapit sebuah relung
di tengahnya.

Sebenarnya ada 3 buah arca di dinding kolam ini, relung kosong yang
ada di tengah dulunya adalah letak dari Arca Dewa Wisnu yang
menunggang Garuda. Arca itu adalah salah satu jelmaan Raja
Airlangga, sedangkan 2 arca wanita di sampingnya adalah
penggambaran 2 permaisurinya.

Arca Dewi Laksmi (c) Welly Handoko/Travelingyuk


Salah satu arca itu adalah Dewi Sri, pada arca ini ada dua buah aliran
air yang meluncur dari 2 buah dadanya. Pancuran air ini sempat
direnovasi oleh pengelola dengan memasang dua buah pipa, karena
ditakutkan kalau air mengalir menetes langsung mengenai kaki arca
akan merusak keutuhannya.

Sementara itu di sisi kiri terdapat lagi sebuah arca wanita yang
merupakan perwujudan salah satu permaisuri Raja Airlangga yang
lainnya, yaitu Dewi Laksmi. Sayangnya pada arca ini sudah tidak
mengeluarkan pancuran air lagi. Walaupun begitu keadaan arca masih
terawat dengan baik.

3. Pancuran Air di Sisi Lain Kolam


Pancuran air (c) Welly Handoko/Travelingyuk
Di sisi lain ada sebuah pancuran air. Menurut warga sekitar,
sebelumnya pancuran air ini hanya keluar dari celah-celah bangunan
candi, tapi setelah itu dibuat saluran pipa panjang yang langsung
memancurkan air ke arah kolam. Dengan demikian diharapkan
pancuran air tidak merusak keutuhan dinding candi.
4. Ada Dua Buah Arca di Depan Kolam Petirtaan
Arca Lingga (c) Welly Handoko/Travelingyuk
Selain dua buah arca permaisuri Raja Airlangga, di depan area
petirtaan ada 2 buah arca lainnya. Satu diantaranya berbentuk Lingga,
yang melambangkan kesuburan pria. Arca ini masih berdiri utuh
dengan diberikan payung di atasnya. Beberapa sesajen juga tergeletak
di kaki arca ini.

Arca di samping Lingga (c) Welly Handoko/Travelingyuk


Kemudian tepat di samping Lingga, ada juga sebuah artefak batu
berbentuk dinding yang mempunyai relief. Sayangnya sampai
sekarang belum ada yang tahu tentang makna yang terdapat di dalam
relief artefak ini karena bentuknya sudah tidak sempurna lagi.

5. Menjadi Tempat Mandi Umum Warga Sekitar


Menjadi tempat mandi umum (c) Welly Handoko/Travelingyuk
Diluar dari sejarahnya sebagai situs petirtaan peninggalan Raja
Airlangga tempat ini selalu dikunjungi warga sekitar dan wisatawan
setiap harinya. Hal ini karena air dipercaya bermanfaat untuk
kesuburan dan juga memberikan kemuliaan lainnya, seperti kesehatan
dan juga awet muda.

Percaya atau tidak, yang jelas mengunjungi situs petirtaan Candi


Belahan atau Sumber Tetek di Kecamatan Gempol, Kabupaten
Pasuruan ini bisa menjadi salah satu alternatif kalian untuk liburan
akhir pekan. Khususnya untuk penggemar wisata budaya atau
purbakala. Jadi, jangan lupa mampir ke sini kalau sedang berlibur
kePasuruan

Anda mungkin juga menyukai