Anda di halaman 1dari 4

Toggle the table of contents

Candi Jawi
Candi Jawi (nama asli: Jajawa / ꦗꦗꦮ) adalah
candi yang dibangun sekitar abad ke-13 dan Candi Jawi
merupakan peninggalan bersejarah Hindu-Buddha Nama sebagaimana tercantum dalam
Kerajaan Singhasari yang terletak di kaki Gunung Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
Welirang, tepatnya di Desa Candi Wates, Prigen,
Pasuruan, Jawa Timur, sekitar 3 kilometer dari
pusat kota Pandaan.[1]

Candi ini terletak di pertengahan jalan raya antara


Kecamatan Pandaan — Kecamatan Prigen dan
Pringebukan. Candi Jawi banyak dikira sebagai
tempat pemujaan atau tempat peribadatan Buddha,
tetapi sebenarnya merupakan tempat pendharmaan
atau penyimpanan abu dari raja terakhir Singhasari,
Kertanegara. Sebagian dari abu tersebut juga
disimpan pada Candi Singhasari. Kedua candi ini
ada hubungannya dengan Candi Jago yang
merupakan tempat peribadatan Raja Kertanegara.

Latar belakang
Dalam Negarakertagama pupuh 56 disebutkan
bahwa Candi Jawi didirikan atas perintah raja
terakhir Kerajaan Singasari, Kertanegara, untuk
tempat beribadah bagi umat beragama Siwa- Struktur candi yang bagian bawahnya dari
Buddha. Raja Kartanegara adalah seorang penganut batu hitam dan di bagian atasnya dari batu
ajaran sinkretisme Siwa-Buddha.[1] Alasan putih.
Kertanegara membangun candi Jawi jauh dari pusat
kerajaan diduga karena di kawasan ini pengikut Cagar budaya Indonesia
ajaran Siwa-Buddha sangat kuat. Rakyat di daerah Peringkat Nasional
itu sangat setia. Sekalipun Kertanegara dikenal Kategori Situs
sebagai raja yang masyhur, ia juga memiliki banyak
musuh di dalam negeri. Kidung Panji Wijayakrama, No. Regnas CB.427 (http://cagarbudaya.kem
misalnya, menyebutkan terjadinya pemberontakan dikbud.go.id/cagarbudaya/detail/
Kelana Bayangkara. Negarakertagama mencatat PO2015100401007/candi-jawi)
adanya pemberontakan Cayaraja. Lokasi Prigen, Pasuruan, Jawa Timur
Ada dugaan bahwa kawasan Candi Jawi dijadikan keberadaan
basis oleh pendukung Kertanegara. Dugaan ini No. SK SK Menteri No. 177/M/1998
timbul dari kisah sejarah bahwa saat Dyah Wijaya, Tanggal SK 21 Juli 1998
menantu Kertanegara, melarikan diri setelah
Kertanegera dikudeta raja bawahannya, Pemilik Indonesia
Pengelola Balai Pelestarian Cagar Budaya
Jawa Timur
Koordinat 7.6624998°S 112.6677564°E
Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri), dia
sempat bersembunyi di daerah ini, sebelum akhirnya
mengungsi ke Madura.

Struktur dan kegunaan


bangunan
Candi Jawi
Candi Jawi menempati lahan yang cukup luas,
sekitar 40 x 60 meter persegi, dan terbuat dari batu
andesit yang dikelilingi oleh pagar bata setinggi 2
meter. Bangunan candi dikelilingi oleh parit yang
saat ini dihiasi oleh bunga teratai. Bentuk candi
berkaki Siwa, berpundak Buddha. Ketinggian candi
ini sekitar 24,5 meter dengan panjang 14,2 m dan
lebar 9,5 m.[1] Bentuknya tinggi ramping seperti
Candi Prambanan di Jawa Tengah dengan atap yang Lokasi candi Jawi di kabupaten
bentuknya merupakan paduan antara stupa dan Pasuruan
kubus bersusun yang meruncing pada puncaknya.
Tampilkan peta Surabaya dan Malang
Pintunya menghadap ke timur. Posisi pintu ini oleh
Tampilkan peta Kabupaten Pasuruan
sebagian ahli dipakai alasan untuk mempertegas
bahwa candi ini bukan tempat pemujaan atau Tampilkan peta Provinsi Jawa Timur
pradaksina (upacara penghormatan terhadap dewa, Tampilkan peta Jawa
disebut Dewayadnya atau dewayajña), karena Tampilkan peta Indonesia
biasanya candi untuk peribadatan menghadap ke Tampilkan semua
arah gunung, tempat yang dipercaya sebagai tempat
persemayaman kepada Dewa. Candi Jawi justru
membelakangi Gunung Penanggungan. Sementara ahli lain ada pula yang beranggapan bahwa
candi ini tetaplah candi pemujaan, dan posisi pintu yang tidak menghadap ke gunung karena
pengaruh dari ajaran Buddha.

Arkeologi

Keunikan Candi Jawi adalah adanya relief di dindingnya. Sayangnya, relief ini belum bisa dibaca.
Bisa jadi karena pahatannya yang terlalu tipis, atau karena kurangnya informasi pendukung,
seperti dari prasasti atau naskah. Negarakertagama yang secara jelas menceritakan candi ini tidak
menyinggung sama sekali soal relief tersebut. Berbeda dengan relief di Candi Jago dan Candi
Penataran yang masih jelas. Salah satu fragmen yang ada pada dinding candi, menggambarkan
sendiri keberadaan candi Jawi tersebut beserta beberapa bangunan lain disekitar candi. Tampak
Jelas pada fragmen tersebut pada sisi timur dari candi terdapat candi perwara sebanyak tiga buah,
tetapi sayang sekali kondisi ketiga perwara tersebut saat ini bisa dibilang rata dengan tanah.
demikan juga di fragmen tersebut terlihat jelas bahwa terdapat candi bentar yang merupakan
pintu gerbang candi, terletak sebelah barat. Sisa-sisa bangunan tersebut memang masih ada, tetapi
bentuknya lebih mirip onggokan batu bata, karena memang gerbang candi tersebut dibangun dari
batu bata merah.

Di samping relief yang terletak dibagian dinding candi, terdapat pula relief lain yang terletak di
bagian dalam candi. Terletak tepat dibagian tengah candi yang merupakan bagian tertinggi dari
bagian dalam candi, terdapat sebuah relief Dewa Surya yang terpahat jelas.

Keunikan lain dari Candi Jawi adalah batu yang dipakai sebagai bahan bangunannya terdiri dari
dua jenis. Bagian bawah terdiri dari batu hitam, sedangkan bagian atas batu putih. Sehingga
timbul dugaan bahwa bisa jadi candi ini dibangun dalam dua periode yang berbeda teknik
bangunan.

Sejarah candi menurut Negarakertagama

Nagarakertagama menyebut candi ini dengan nama Jajawa yang dikunjungi Raja Majapahit
Prabu Hayam Wuruk sekitar tahun 1359 Masehi. Sang Raja singgah di candi ini untuk
memberikan penghormatan dan persembahan untuk memuliakan kakek buyutnya Prabu
Kertanegara.[2] Negarakertagama menyebutkan, di dalam bilik candi terdapat arca Siwa. Di
atasnya arca Siwa terdapat arca Maha Aksobhya yang kini telah hilang. Ada sejumlah arca bersifat
Siwa, seperti Nandiswara, Durga, Ganesa, Nandi, dan Brahma.

Kakawin Negarakertagama menyebutkan bahwa pada saat candrasengkala atau pada tahun Api
Memanah Hari (1253 Saka) candi itu disambar petir. Saat itulah arca Maha Aksobaya raib.
Dikisahkan Raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk yang mengunjungi candi itu kemudian bersedih
atas hilangnya arca tersebut. Walaupun telah ditemukan arca Maha Aksobaya yang kini disimpan
di Taman Apsari, depan Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur, yang
kemudian dikenal dengan Patung Joko Dolog, arca ini bukan berasal dari Candi Jawi.

Ditulis bahwa setahun setelah Candi Jawi disambar petir, telah dilakukan pembangunan kembali.
Pada masa inilah diperkirakan penggunaan batu putih. Namun, asal batu putih tersebut masih
dipertanyakan, karena kawasan yang termasuk kaki Gunung Welirang kebanyakan berbatu hitam,
dan batu putih hanya sering dijumpai di daerah pesisir utara Jawa atau Madura.

Pemugaran dan usaha konservasi


Candi Jawi dipugar untuk kedua kalinya tahun 1938–1941 dalam masa pemerintahan Hindia
Belanda karena kondisinya sudah runtuh. Akan tetapi, renovasinya tidak sampai tuntas karena
sebagian batunya hilang. Kemudian diperbaiki kembali tahun 1975–1980, dan diresmikan tahun
1982. Kini biaya pemeliharaan didapatkan dari sumbangan sukarela dari pengunjung maupun
LSM lainnya.

Bentuk bangunan Candi Jawi memang utuh, tetapi isinya berkurang. Arca Durga kini disimpan di
Museum Empu Tantular, Surabaya. Lainnya disimpan di Museum Trowulan untuk pengamanan.
Sedangkan yang lainnya lagi, seperti arca Brahmana, tidak ditemukan. Mungkin saja sudah
berkeping-keping.

Di gudang belakang candi memang terdapat potongan-potongan patung. Selain itu, terdapat pagar
bata merah seperti yang banyak dijumpai di bangunan pada masa Kerajaan Majapahit, seperti
Candi Tikus di Trowulan dan Candi Bajangratu di Mojokerto.

Pemindahan peninggalan bersejarah

Arca-arca peninggalan yang ditemukan di Candi Jawi telah dipindahkan, sebagian besar ke
Museum, dan sebagian ke tempat komersial. Pemindahan arca-arca dari Candi Jawi ataupun candi
lainnya ini mendapat banyak kritik dari sejarawan dan masyarakat setempat, karena walaupun
pada satu sisi memang tepat untuk menghindarkan dari pencurian, pemindahan ini dianggap
dapat mengurangi substansi sejarah peninggalan tersebut sehingga menjadi tidak lengkap untuk
diapresiasi. Arca-arca yang dipindah dari lingkungan aslinya menjadi kehilangan nilai historisnya.
Arca candi Jawi yang disimpan di Hotel Tugu Park, Malang, sebagai contoh, memang terawat
baik, tetapi dianggap tercabut dari nilai historis dan ritualitasnya serta menjadi suatu hal yang
cenderung dilematis.

Galeri foto

Referensi
1. "Candi Jawi". Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal
2013-11-03. Diakses tanggal 21 Februari 2013.
2. "Shiwa - Buddha". East Java.com, Memory of Majapahit. Diakses tanggal 21 Februari 2013.

Pranala luar
(Indonesia) Situs web tentang candi dan wisata lain di Malang (http://malangsite.net/wisata-sej
arah-malang-candi-jawi/) Diarsipkan (https://web.archive.org/web/20090430085631/http://mala
ngsite.net/wisata-sejarah-malang-candi-jawi/) 2009-04-30 di Wayback Machine.

Wikimedia Commons memiliki media mengenai Candi Jawi.

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Candi_Jawi&oldid=22692314"

Anda mungkin juga menyukai