TRADISI NITIK
Tuban sebagai salah satu Kabupaten tertua (714 tahun) di Propinsi Jawa
Timur memiliki berbagai keeksostisan tradisi lokal. Letak geografisnya yang
tepat berada di garis pantai utara Pulau Jawa dan dikelilingi oleh perbukitan
kapur, dan menurut Ernawan (2001), tanah di Tuban didominasi oleh jenis
Mediteran merah sebagai barrier geografis menghasilkan salah satu minuman
yang terkenal dengan nama toak. Minuman tersebut diproduksi dari getah
pohon siwalan yang memang banyak terdapat di Kabupaten Tuban.
Toak telah menjadi bagian dari sistem budaya masyarakat Tuban. Pada
umumnya peminum toak berasal dari kalangan pekerja berat seperti petani,
kuli bangunan, tukang becak, dan nelayan. Toak yang mengandung alkohol
dapat menghangatkan tubuh secara keseluruhan, dan lebih cepat
menghangatkan dibandingkan dengan minuman-minuman penghangat
lainnya, misalnya teh panas dan jahe panas, yang panasnya hanya terasa
sesaat di daerah tenggorokan sampai lambung saja. Sementara itu, panas yang
dihasilkan oleh alkohol akan lebih merata di tubuh. Alkohol bisa masuk ke
pembuluh darah dan mengalir ke seluruh tubuh dan menghasilkan energi
panas.
Gelas yang mereka pakai untuk mewadahi toak bukan dibuat dari kaca
atau plastik, namun gelas tradisional terbuat dari batang pohon bambu yang
dipotong hingga menjadi sebuah wadah dan diberi nama centhak.
Selain sebagai sarana pemuas hasrat untuk minum toak, tradisi nitik juga
menjadi ajang pertemuan yang kontinun bagi sesama beduak di Tuban. Tali
pertemanan antar beduak ini biasa disebut bolo ngombe dalam istilah lokal.
Biasanya bolo ngombe ini terbentuk karena frekuensi bertemu antar beduak
yang cukup tinggi saat nitik di tempat yang sama dan pada penjual toak yang
sama. Bolo ngombe menjadi semacam komunitas non formal yang memiliki
pranata-pranata yang implisit di dalamnya, seperti misal saat salah satu
beduak diganggu oleh orang lain, maka beduak-beduak lain yang ada dalam
satu kelompok bolo ngombe akan membantu tanpa harus diperintah.
Nitik menjadi ikon positif yang sekaligus menjadi ikon negatif bagi
masyarakat Tuban. Toak sebagai ikon positif adalah penilaian dari sebagian
orang bahwa nitik adalah ajang “temu guyub”tanpa mengganggu komunitas
lainnya. Namun, sebagian masyarakat lainnya masih menganggap nitik sebagai
ikon negatif. Khususnya masyarakat dari latar belakang agama yang kuat, nitik
dianggap sebagai kebiasaan yang kurang berguna bahkan cenderung
menyimpan potensi berbahaya karena minuman yang diminum sangat
memabukkan dan menyebabkan berbagai macam hal yang tidak diinginkan
bersama.
Toak sebagai materi utama dalam nitik dapat mencerminkan tujuh unsur
universal budaya seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1986:218).
Toak dapat mewakili beberapa unsur, yaitu kesenian karena toak adalah
bagian dari seni kuliner tradisional. Unsur kedua adalah sistem pengetahuan
karena dalam pembuatan toak diperlukan berbagai macam metode hasil local
genius masyarakat yang diturunkan antar generasi. Unsur ketiga adalah sistem
mata pencaharian karena pembuatan toak dapat dijadikan mata pencaharian
dengan menjualnya ke beberapa tempat nitik. Unsur keempat adalah
kemasyarakatan atau organisasi sosial karena kelompok-kelompok bolo
ngombe juga bisa mewakili organisasi sosial. Unsur terakhir adalah sistem
religi, karena toak jelas dilarang oleh agama Islam yang dianut oleh sebagian
besar penduduk Tuban.
Tradisi nitik yang dianggap turut menjaga hubungan antar individu terus
dikembangkan dan dipertahankan walaupun berada dalam gelombang
modernisasi yang menerpa Indonesia. Merujuk pada Mulder (1984:35),
Modern adalah suatu sikap, cara bepikir menghadapi dinamisasi dunia.
Modern tidak berarti merubah keadaan tradisional, melainkan pembukaan
dimensi-dimensi hidup baru.
LITERATUR KEBUDAYAAN LOKAL TUBAN
“TRADISI NITIK”