Anda di halaman 1dari 8

Candi Borobudur

Candi borobudur dibangun sekitar abad ke 8-9 masehi, yakni pada masa kerajaan Syailendra. Salah satu
peninggalan budaya terbesar di dunia ini terletak di Kota Magelang, Jawa Tengah. Keberadaan candi
Borobudur secara geografis terletak di antara beberapa pegunungan dan terdapat di sekitar aliran sungai
Progo dan Elo. Diperkirakan secara bertahap dan gotong royong sebagai wujud kebaktian ajaran agama
Buddha Proses pembangunan Candi Borobudur berlangsung hingga ratusan tahun dan benar-benar
rampung pada masa kekuasaan Raja Samaratungga pada tahun 825. Candi Borobudur dihiasi 2.672 panel
relief berupa naratif dan dekoratif serta 504 arca Buddha, sehingga diklaim sebagai pemilik relief Buddha
terlengkap serta terbanyak di dunia. Relief di bagian dasar dinding candi menceritakan kisah
Karmawibhangga yang menggambarkan kehidupan, perilaku, dan lingkungan manusia. Sedangkan relief
Jataka di tingkat bagian atas candi mengisahkan tentang kehidupan Buddha sebelumnya menjadi dewa,
lalu ada manusia dalam berbagai profesi dan hewan. Kemudian untuk satu set 120 relief pada platform
dinding pertama candi yaitu Lalitavistara, menggambarkan seputar kehidupan Pangeran Siddharta sejak
lahir hingga pencerahan. Panel relief naratifnya terdiri atas sejumlah huruf-huruf Jawa kuno yang
mendeskripsikan maksud dari kisah Buddha tersebut. Untuk relief dekoratif Candi Borobudur merupakan
pahatan jenis seni rupa murni yang memang khusus dinikmati keindahannya. Relief naratif Candi
Borobudur terdiri atas Karmawibhangga, Jatakamala, Lalitavistara, Awadana, Gandawyuha dan
Bhadracari. Sisa relief lainnya termasuk panel dekorasi.

Candi Prambanan.

Candi Prambanan atau Candi Roro Jonggrang. (Candi Prambanan) adalah kompleks candi Hindu (Syiwa)
terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 Masehi. Candi ini didedikasikan untuk Trimurti, tiga
dewa utama agama Hindu, yaitu  Brahma  dewa pencipta,  Wisnu pelindung dan Siwa dewa perusak.
Berdasarkan prasasti Siwagrha, nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (Bahasa Sansekerta untuk
“Rumah Siwa”), dan memang di garbagriha (aula utama) candi ini terdapat arca Siwa yang tingginya
mencapai 3 meter, karena prioritas sekte Siwa untuk menyembah Dewa Siwa di candi ini. Nama
Prambanan, berasal dari nama desa tempat candi ini berdiri, diyakini merupakan variasi dari nama dialek  
Jawa dari istilah teologi Hindu Para Brahman yang berarti “Brahman agung”, yaitu Brahman atau
Brahman. . realitas abadi  yang tidak dapat digambarkan, yang sering disamakan dengan konsep Tuhan
dalam agama Hindu. Pendapat lain adalah bahwa para Brahmana dapat merujuk pada zaman keemasan
kuil ini adalah para Brahmana.

Candi Dieng.

Candi Dieng merupakan kumpulan candi yang terletak di kaki pegunungan Dieng, Wonosobo, Jawa
tengah. Kawasan Candi Dieng menempati dataran pada ketinggian 2000 m di atas permukaan laut,
memanjang arah utara-selatan sekitar 1900 m dengan lebar sepanjang 800 m. Kumpulan candi Hindu
beraliran Syiwa yang diperkirakan dibangun antara akhir abad ke-8 sampai awal abad ke-9 ini diduga
merupakan candi tertua di Jawa. Sampai saat ini belum ditemukan informasi tertulis tentang sejarah Candi
Dieng, namun para ahli memperkirakan bahwa kumpulan candi ini dibangun atas perintah raja-raja dari
Wangsa Sanjaya. Di kawasan Dieng ini ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 808 M, yang
merupakan prasasti tertua bertuliskan huruf Jawa kuno, yang masih masih ada hingga saat ini. Sebuah
Arca Syiwa yang ditemukan di kawasan ini sekarang tersimpan di Museum Nasional di Jakarta.
Pembangunan Candi Dieng diperkirakan berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama yang berlangsung
antara akhir abad ke-7 sampai dengan perempat pertama abad ke-8, meliputi pembangunan Candi Arjuna,
Candi Semar, Candi Srikandi dan Candi Gatutkaca. Tahap kedua merupakan kelanjutan dari tahap
pertama, yang berlangsung samapi sekitar tahun 780 M.

Candi Gedong Songo.

Candi Gedong Songo merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang dibangun sekitar abad ke-8.
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya raja adalah yang membangun Candi Gedong Songo pada awal
pemerintahannya. Namun, candi peninggalan budaya Hindu ini baru ditemukan oleh Sir Thomas
Stamford Raffles pada 1804. Mulanya, hanya ditemukan tujuh buah bangunan candi, sehingga dinamakan
Candi Gedong Pitu. Kemudian pada sekitar tahun 1908 hingga 1911, arkeolog asal Belanda bernama Van
Stein Callenfels menemukan dua bangunan candi tambahan. Sejak saat itu, namanya berubah menjadi
Candi Gedong Songo dan pernah dilakukan pemugaran sebanyak dua kali. Pemugaran pertama
dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1928 hingga 1929. Sedangkan pemugaran kedua
pada 1972 hingga 1982 oleh Pemerintah Indonesia.

Candi Penataran.

Para ahli arkeologi meyakini bahwa Candi Penataran dulunya dinamakan sebagai Candi Palah. Hal  ini
didukung dengan narasi pada Prasasti Palah yang berangka 1194. Tujuan dibangunnya Candi Penataran
adalah sebagai candi gunung untuk upacara pemujaan guna menangkal bahaya Gunung Kelud. Fungsi
Candi Penataran sebagai tempat ibadah juga masih digunakan pada masa Raja Hayam Wuruk dari
Majapahit. Hal ini seperti diceritakan dalam Kitab Negarakretagama, bahwa Raja Hayam Wuruk pernah
mengunjungi Candi Penataran untuk melakukan pemujaan terhadap Hyang Acalapat (perwujudan Siwa
sebagai Girindra atau Dewa Penguasa Gunung). Nama Girindra yang disebut dalam Negarakretagama
mirip dengan gelar Ken Arok saat menjadi Raja Singasari. Hal itu menimbulkan perdebatan di kalangan
ahli bahwa Candi Penataran adalah tempat pendharmaan atau perabuan Ken Arok. Pasalnya, Girindra
merupakan nama salah satu wangsa yang diturunkan oleh Ken Arok selain Rajasa dan Wardhana.
Sedangkan Hyang Acalapati adalah salah satu perwujudan dari Dewa Siwa, serupa dengan peneladanan
sifat-sifat Bathara Siwa yang konon dijalankan Ken Arok. Pada 1286, dibangun Candi Naga di kompleks
Candi Penataran oleh penguasa terakhir Singasari, yaitu Raja Kertanegara. Setelah runtuhnya
Singasari, Candi Penataran tidak terawat. Baru pada masa pemerintahan Jayanegara, raja kedua
Majapahit, candi ini kembali mendapatkan perhatian. Pada periode Kerajaan Majapahit, Candi Penataran
bahkan diresmikan sebagai candi negara yang diketahui kerap dikunjungi Raja Hayam Wuruk. Sedangkan
dalam catatan Sunda abad ke-15 yang merekam perjalanan bangsawan Kerajaan Sunda bernama
Bujangga Manik, Candi Palah disebut sebagai tempat belajar agama dan ziarah. Dalam catatannya,
Bujangga Manik sempat tinggal sekitar setahun, kemudian pergi karena candi bercorak Hindu ini
dimanfaatkan para peziarah untuk kebutuhan duniawi. Setelah sekian lama tidak terawat, pertama kali
Candi Penataran ditemukan oleh Thomas Stamford Raffles pada 1815.

Candi Plaosan.

Candi Plaosan dibangun pada masa Raja Rakai Pikatan. Raja dari Mataram Kuno yang berasal dari
Wangsa Sanjaya yang bekuasa dari taun 840 -856. Hal ini merupakan bukti bila penelitian yang dilakukan
oleh De Casparis itu benar adanya. Dengan sebuah bukti yang cukup kuat yaitu prasasti Cri Kaluhuran
yang dibuat pada tahun 842 masehi. Prasasti ini mengatakan bahwa Candi Plaosan dibangun oleh Ratu Sri
Kaluhuran yang didukung penuh oleh sang suami. Sri Kaluhuran sendiri adalah gelar Pramodyawardhani
untuk seorang putri dari Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra yang menganut agama Buddha yang
bersuami dari Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu yaitu Rakai Pikatan. Candi Plaosan ini adalah
sebuah saksi dari ikatan cinta yang suci yang ditunjukan oleh keduanya. Dimana, sejak awal kedua
keluarga ini tidak menyetujui hubungan mereka. Hingga, mereka pun mencoba berbagi macam cara, agar
keluarga kedua belah pihak merestuinya. Kekuatan cinta yang begitu kuat akhirnya meluluhkan hati
kedua keluarga dan merestui hubungan keduanya. Karena, berasal dari peristiwa yang bersejarah inilah.
Masyarakat sekitar pun percaya bila ada kedua pasangan yang datang ke candi Plaosan ini maka,
hubungan keduanya akan langgeng.

Candi Sewu

Menurut Prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 dan Prasasti Manjusrigrha yang berangka tahun 792,
nama asli Candi Sewu adalah Prasada Vajrasana Manjusrigrha. Istilah prasada bermakna candi atau kuil,
vajrajasana bermakna tempat, wajra (intan atau halilintar) bertakhta, dan Manjusri-grha bermakna rumah
Manjusri. Manjusri sendiri adalah salah satu Boddhisatwa (calon biksu) dalam ajaran Buddha. Diduga,
Candi Sewu dibangun oleh Raja Mataram Kuno kedua, Rakai Panangkaran, yang memerintah antara
tahun 746-784. Dalam perkembangannya, kompleks candi bercorak Buddha ini diperkirakan pernah
dipugar dan diperluas oleh Rakai Pikatan, Raja Mataram Kuno yang membangun Candi Prambanan.
Adanya Candi Sewu (bercorak Buddha) berdampingan dengan Candi Prambanan (bercorak Hindu)
menunjukkan bahwa Kerajaan Mataram Kuno menjunjung tinggi toleransi beragama. Setelah terkubur
lama oleh timbunan abu Gunung Merapi, keberadaan Candi Sewu pertama kali ditemukan oleh pedagang
Belanda bernama Cornelius Antonie Lons pada 1733. Setelah itu, pada 1806-1807, arkeolog Belanda,
Hermann Cornelius, menggali Candi Sewu dan menciptakan litograf pertama candi utama dan candi
pendampingnya.

Candi Kalasan

Pada masa kerajaan saat itu, umumnya seorang raja atau penguasa kerajaan lainnya membangun
sebuah candi untuk beberapa tujuan, antara lain sebagai pusat kerjaan, tempat ibadah, tempat
kegiatan belajar dan penyebaran agama atau pun sebagai tempat tinggal bagi para biarawan.
Sejarah pembangunan Candi Kalasan dapat kita temukan pada Prasasti Kalasan yang ditemukan
tidak jauh dari ditemukannya lokasi candi tersebut. Prasasti tersebut ditulis di tahun Saka 700
atau 778 Masehi. Prasati Kalasan ditulis menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf pranagari.
Dalam prasasti ini kita dapat mengetahui bahwa awal mula pembangunan Candi Kalasan berasal
dari nasehat para pemuka agama di zaman wangsa Syailendra. Pada masa itu, para pemuka
agama menasehati Maharaja Tejapurnama Panangkarana untuk membangun tempat suci sebagai
sarana pemujian Dewi Tara dan biara untuk para pendeta Budha. Maharaja Tejapurnama
Panangkarana yang disebutkan pada prasati ini maksudnya adalah Rakai Panangkaran, yang
tidak lain adalah putra Raja Sanjaya dari Kerajaan Hindu Mataram. Hal ini ketahui dari prasasti
Raja Balitung di tahun 907 Masehi. Dalam sejarah Kerajaan Mataram kuno, diketahui bahwa
Rakai Panangkaran akhirnya menjadi Raja Kerajaan Mataram Hindu yang kedua. Dari prasasti
Kalasan pula kita mengetahui bahwa Candi Kalasan dibangun dari tahun 778 Masehi. Dalam
periode waktu 750-850 M, di wilayah Jawa Tengah bagian utara dikuasai oleh raja raja Wangsa
Sanjaya yang beragama Hindu. Sementara, di waktu bersamaam, kawasan selatan Jawa Tengah
dikuasai oleh raja raja dari wangsa Syailendra yang beragama Budha. Perbedaan kekuasaan ini
dapat terlihat dari corak corak candi yang terletak di Jawa Tengah bagian utara dan selatan.
Meski begitu, wangsa Sanjaya dan wangsa Syailendra akhirnya bergabung melalui tali
perkawinan. Pada saat itu, Rakai Pikatan, dari wangsa sanjaya menikah dengan
Pramodawardhani, yang merupakan putra Maharaja Samarattungga dari wangsa Syailendra.
Rakai Panangkaran memilih Desa Kalasan untuk dijadikan lokasi pembuatan bangunan suci
untuk memuja Dewi Tara. Desa Kalasan juga dijadikan tempat untuk membangun biara yang
saat itu diminta oleh pendeta Buddha. Diketahui bahwa patung Dewa Tara semula berdiri di
Candi Kalasan, sehingga membuat sejarahwan untuk menyimpulkan bahwa Candi Kalasan
adalah candi yang digunakan sebagai tempat suci Dewi Tara. Meski begitu, patung Dewi Tara
sudah tidak berada pada Candi Kalasan. Sementara tempat yang diduga sebagai biara bagi
pendeta Budha adalah Candi Sari. Candi Sari ini terletak tidak jauh dari Candi Buddha.

Prasasti Muarakaman (Kerajaan Kutai)

Isi prasasti Muarakaman V merupakan cerita para Brahmana yang menjadi peringatan atas dua
sedekah yang telah diberikan oleh Raja Mulawarman. Tertulis bahwa Raja Mulawarman
memeberikan segunung minyak kental dan lampu dengan malai (kelopak) bunga.

Prasasti Ciaruteun

Prasasti Ciaruteun merupakan batu peringatan yang berasal dari masa Kerajaan Tarumanegara
sekitar abad V Masehi yang ditandai dengan bentuk tapak kaki Raja Purnawarman. Prasasti
Ciaruteun sekarang ditempatkan pada lahan berpagar seluas sekitar 1.000 m2 dan dilengkapi
cungkup berukuran 8 x 8 m.

Prasasti Kebon Kopi

Prasasti Kebon Kopi I atau Prasasti Tapak Gajah, merupakan salah satu peninggalan kerajaan
Tarumanagara. Prasasti ini menampilkan ukiran tapak kaki gajah, yang mungkin merupakan
tunggangan raja Purnawarman, yang disamakan dengan gajah Airawata, wahana Dewa Indra

Prasasti Jambu

Berdasarkan bentuk huruf Pallawa yang digunakan, diduga prasasti ini dibuat pada abad ke-5.
Selain tulisan, pada Prasasti Jambu terpahat sepasang telapak kaki yang diduga milik Raja
Purnawarman, yakni pembawa kejayaan Kerajaan Tarumanegara yang memerintah antara tahun
395-434.

Pasir Awi

Prasasti Pasir Awi telah diketahui sejak tahun 1867 dan dilaporkan sebagai prasasti Ciampea.
Peninggalan sejarah ini dipahat pada batu alam. Prasasti ini pertama kali ditemukan oleh N.W.
Hoepermans pada tahun 1864

Prasasti Tugu
Prasasti yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara. Prasasti tersebut isinya menerangkan
penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh
Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.

Prasasti Cidinghiang (Kerajaan Tarumanegara)

Prasasti Cidanghiang adalah salah satu prasasti yang berasal dari kerajaan Tarumanagara dan
terletak di wilayah Pandeglang, Banten. Prasasti Cidanghiang terletak di tepi aliran Ci
Danghiang di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang.

Prasasti Tuk Mas (Kerajaan Holing)

Prasasti Tuk Mas, yang juga disebut Prasasti Dakawu, adalah sebuah prasasti yang dipahatkan
pada batu alam besar yang berdiri di dekat suatu mata air, yang ditemukan di lereng barat
Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang

Prasasti Canggal

Prasasti Canggal berangka tahun 654 Saka atau 732 M. Prasasti ini ditemukan di lokasi situs
Candi Gunung Wukir. Prasasti itu menceritakan pertama kali candi itu dibangun. Benih
kebudayaan India itu disemaikan di lahan yang tepat dan subur.

Prasasti Mantyasih

Prasasti Mantyasih, juga disebut Prasasti Balitung atau Prasasti Tembaga Kedu, adalah prasasti
berangka tahun 907 M yang berasal dari Wangsa Sanjaya, kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini
ditemukan di kampung Mateseh, Magelang Utara, Jawa Tengah dan memuat daftar silsilah raja-
raja Mataram sebelum Raja Balitung.

Prasasti Wanua Tengah III

Prasasti Wanua Tengah I dan II, merupakan prasasti kembar yang isi nya sama (Prasasti Wanua
Tengah I), ditemukan di Candi Argapura, Temanggung. Aksara dan bahasa yang digunakan Jawa
Kuna. Pada tahun 785 Saka/ 10 Juni 863 Masehi, tulisan sudah aus dan sulit dibaca. Rakai
Pikatan Pu Manuku meresmikan Desa Wanua Tengah II menjadi Sima. Saat itu raja yang
berkuasa Rakai Kayuwangi Pu Lokapala, anak Rakai Pikatan.

Prasasti Sojomerto

Prasasti Sojomerto merupakan batu bertulis peninggalan Wangsa Sailendra yang ditemukan di
Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara
Kawi dan berbahasa Melayu Kuno

Prasasti Sangkhara

Prasasti Raja Sankhara adalah prasasti yang berasal dari abad ke-8 masehi yang ditemukan di
Sragen, Jawa Tengah. Prasasti ini kini hilang tidak diketahui di mana keberadaannya.[1] Prasasti
ini pernah disimpan oleh museum pribadi, Museum Adam Malik, tetapi diduga ketika museum
ini ditutup dan bangkrut pada tahun 2005 atau 2006, koleksi-koleksi museum ini dijual begitu
saja tanpa sepengetahuan pemerintah dan Direktorat Permuseuman, termasuk prasasti ini. Foto
prasasti ini ditampilkan di buku Sejarah Nasional jilid 2.

Prasasti Kalasan

Prasasti Kalasan adalah prasasti peninggalan Wangsa Sanjaya dari Kerajaan Medang (Mataram
Kuno) yang berangka tahun 700 Saka atau 778 M.[1]:88–89 Prasasti yang ditemukan di
kecamatan Kalasan, Sleman, Yogyakarta, ini ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan
bahasa Sanskerta. Prasasti ini menyebutkan bahwa para guru raja Sailendra berhasil memperoleh
persetujuan Maharaja Dyah Pancapana Panamkarana (Kariyana Panamkarana) atas permintaan
keluarga Sailendra, untuk membangun bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara bagi para
pendeta, serta penghadiahan desa Kalasan untuk para sangha (komunitas kebiarawan dalam
Agama Buddha).[2][3] Bangunan suci yang dimaksud adalah Candi Kalasan. Prasasti ini
menyebutkan pula gelar Sailendrawamsatilaka (Permata Keluarga Sailendra); yang mana
sebagian ahli menganggapnya sebagai gelar Maharaja Panamkarana sendiri, sedangkan lainnya
menganggapnya sebagai raja yang berbeda dari Wangsa Sailendra.

Prasasti Klurak

Secara garis besar, isinya adalah tentang didirikannya sebuah bangunan suci untuk arca Manjusri
atas perintah Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadhananjaya. Menurut para ahli, yang
dimaksud dengan bangunan tersebut adalah Candi Sewu, yang terletak di Kompleks Percandian
Prambanan. Nama raja Indra tersebut juga ditemukan pada Prasasti Ligor dan Prasasti Nalanda
peninggalan kerajaan Sriwijaya. Prasasti Kelurak ditulis dalam aksara Pranagari, dengan
menggunakan bahasa Sanskerta.

Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti Kedukan Bukit merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang menggambarkan


kemajuan pelayaran di Indonesia pada masa Hindu-Buddha. Prasasti ini mengisahkan tentang
keberhasilan perjalanan para penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang.

Prasati Talang Tuo

Prasasti Talang Tuo adalah prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya yang menjelaskan tentang


perkembangan agama Budha di Sriwijaya, dijelaskan ketaatan raja Dapunta Hiyang Sri Jayanasa
dalam menjalankan ajaran Budha sekaligus sebagai simbul wakil dewa di dunia.

Prasasti Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur memiliki tinggi sekitar 1,5 meter dan berangka 608 saka atau 686 masehi.
Prasasti itu ditemukan pertama kali oleh JK Meulen pada tahun 1892 di Desa Kota Kapur,
Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Seorang ahli epigrafi bangsa Belanda bernama
H Kerm kemudian membahas temuan itu.
Prasasti Karang Berahi

Prasasti Karang Berahi pertama kali ditemukan oleh L. Berkhout di Bangko, Provinsi Jambi pada
1904. Mantan Residen Jambi, O.L. Helfrich, menyatakan bahwa pada awal penemuannya,
prasasti ini terletak di kaki tangga masjid dan digunakan sebagai ubin pencuci kaki.

Prasasti Telaga Batu (Kerajaan Sriwijaya)

Prasasti Telaga Batu berisi tentang kutukan terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan di
Kadatuan Sriwijaya dan tidak taat kepada perintah raja, termasuk para pejabatnya, pengrajin,
tukang cuci, sampai tukang sapu kerajaan

Prasasti Blanjong (Kerajaan Bali)

Prasasti Blanjong (atau Belanjong) adalah sebuah prasasti yang memuat sejarah tertulis tertua
tentang Pulau Bali. Pada prasasti ini disebutkan kata Walidwipa, yang merupakan sebutan untuk
Pulau Bali. Prasasti ini bertarikh 835 çaka (913 M), dan dikeluarkan oleh seorang raja Bali yang
bernama Sri Kesari Warmadewa.

Arca Airlangga dari kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur.

Airlangga (Bali, 990 - Belahan, 1049) atau sering ditulis dengan Erlangga, adalah


pendiri Kerajaan Panjalu di Jawa Timur, yang memerintah tahun 1019-1042 dengan bergelar
nama abhiseka (wisuda) Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga
Anantawiramottunggadewa. Ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk menggubah Kakawin
Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya dalam medan peperangan, di akhir masa
pemerintahannya, kerajaannya dibagi menjadi dua untuk kedua puteranya yaitu Kerajaan
Kadiri dan Kerajaan Janggala. Nama Airlangga hingga kini masih dikenang dalam berbagai
cerita rakyat, dan sering diabadikan di berbagai tempat di Indonesia.

Arca Kertarajasa Jayawardhana, pendiri kerajaan Majapahit.

Harihara diduga sebagai perwujudan Raja Kertarajasa Jayawardhana, pendiri kerajaan Majapahit


yang memerintah tahun 1293-1309 Masehi. Di kiri dan kanan arca ini terdapat dua dewi, sangat
memungkinkan bahwa dewi-dewi tersebut adalah Laksmi sebagai śakti dewa Wisnu
dan Parwati sebagai śakti dewa Siwa.

Prajna Paramitha perwujudan Ken Dedes dari Kerajaan Singosari.

Arca Prajnaparamita dari Jawa ditemukan pada tahun 1818 atau 1819 oleh D. Monnereau,
seorang pejabat Hindia Belanda. Pada tahun 1820 Monnereau memberikan arca tersebut kepada
C.G.C. Reinwardt, yang kemudian membawanya ke Belanda, di mana ia menjadi koleksi
Museum Nasional Etnologi yang berharga di Leiden.
TRADISI AGAMA BUDHA

 Tri Suci Waisak untuk mengenang kelahiran, kematian dan moksa sang Budha.
 Tradisi Ziarah ke tempat leluhur, misalnya mengunjungi candi.
 Tradisi berdo’a di Wihara.
 Perayaan hari suci Ulambana.
 Perayaan Maha Puja Asadha, yakni har pertama Budha Gautama mengajarkan dharma pada
5 petapa.
 Perayaan hari kathina.

TRADISI AGAMA HINDU

 Malesti (H-3/2)
 Tawur Kesanga (H-1)
 Pengerupukan (H-1)
 Catur Brata Penyepian (Hari H)
 Ngembak Geni dan Omed – Omedan (H+1)

Anda mungkin juga menyukai