Anda di halaman 1dari 16

2.

Candi Mendut

Candi Mendut merupakan salah satu candi dari tiga serangkai candi di Magelang yaitu
Candi Borobudur, Pawon dan Mendut. Candi ini bercorak Buddha yang terlihat dari
adanya stupa - stupa di atap Candi Mendut yang berjumlah 48. Candi mendut didirikan
oleh dinasti Syailendra. Mendut sendiri didirikan pada 824M sesuai prasasti - prasasti
yang ada di sekitar Desa Karangtengah. Dari prasasti tersebut disebutkan bahwa
seorang raja yang bernama Raja Indra membangun bangunan suci yang
bernama Venu Vana Mandira yang berarti candi ditengah rumpun bambu.

Candi Mendut dibangun menggunakan batu bata dengan campuran batu andesit
sehingga sangat kokoh dengan ketinggian sekitar 26,4 meter serta berdiri diatas
sebuah batur setinggi 2 meter yang permukaannya di dilengkapi dengan langkan. Candi
Mendut hanya ada satu candi, candi ini menghadap ke barat. Di dalam Candi Mendut
terdapat tiga buah arca Buddha serta sebuah patung Buddha Sakyamuni berposisi
duduk.

Belum bisa dipastikan kapan candi Mendut dibangun karena memang sumbernya
belum akurat. Namun ada rujukan dari beberapa peneliti mengenai pembangunan candi
mendut yaitu pada 824 M. Angka 824 M ini didapat oleh J.G. De Casparis atas dasar
penemuan prasasti yang ditemukan di Karang Tengah yang menyebutkan bahwa raja
Indra telah membangun bangunan suci bernama Venuwana.

Casparis menyebutkan bahwa Venuwana berarti hutan bambu sedangkan daerah


Candi Mendut sendiri dahulu adalah hutan bambu maka dapat disimpulkan bangunan
suci tersebut adalah Candi Mendut. Diperkirakan candi mendut berusia lebih tua dari
pada Candi Borobudur.
3.Prasasti Mulawarman

Salah satu peninggalan Kerajaan Kutai adalah Prasasti Mulawarman. Prasasti ini
berupa Yupa atau tiang batu yang memiliki ukiran tulisan yang menceritakan suatu hal.
Yupa berfungsi sebagai tiang penambat hewan kurban untuk upacara adat. Terdapat
tujuh buah prasasti yang ditemukan di Kerajaan Kutai, namun hanya empat prasasti
saja yang bisa diterjemahkan. Menurut Kern, huruf yang digunakan di yupa adalah
huruf pallawa dari abad ke 5, dan berbahasa sansekerta.

Nama yupa pada prasasti Mulawarman berasal dari prasasti itu sendiri. Pembuatan
yupa merupakan titah dari Raja Mulawarman sendiri. Berikut ini adalah isi dari prasasti
Mulawarman yang berhasil di terjemahkan ke bahasa Indonesia :

“Sang Maharaja Kudungga, yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur, Sang
Aswawarmman namanya, yang seperti Angsuman (dewi Matahari) menumbuhkan
keluarga yang sangat Mulia. Sang Aswawarmman mempunyai putra tiga, seperti api
(yang suci) tiga. Yang terkemuka dari ketiga putra itu adalah Sang Mulawarmman, raja
yang berperadaban baik, kuat dan kuasa. Sang Mulawarmman telah mengadakan
Kenduri (selamatan yang dinamakan) emas - emas banyak, untuk peringatan Kenduri
(selamatan) itulah tugu ini didirikan oleh para brahmana.

Pada terjemahan prasasti tersebut dapat diketahui bahwa sejak yupa dibuat sudah ada
tiga generasi yang memimpin di Kutai yaitu, Kudungga, Aswawarman dan Mulawarman.
Yang menarik bahwa di prasasti tersebut menyebutkan bahwa Aswawarmman adalah
orang yang membangun kerajaan bukan Kudungga. Hal ini dapat dimaklumi karena
Kudungga adalah pemimpin suku yang merupakan cikal bakal dari Kutai dan belum
tersentuh pengaruh India. Hal ini bisa dilihat dari nama "Kudungga" yang merupakan
nama asli dari Nusantara sedangkan nama - nama keturunannya seperti Aswawarman
dan Mulawarman sudah terpengaruh oleh India. Kudungga lah yang memperkenalkan
nama India terhadap para keturunannya sedang ia sendiri tetap menggunakan nama
yang tidak berbau India.
3.Candi Ngawen

Sejarah Candi Ngawen-“Bagi umat Budha dan Hindu, candi merupakan bangunan suci. Candi dipelihara
dengan baik karena umat Budha dan Hindu percaya bahwa para dewa bersemayam pada bayangan itu.
Namun kini bangunan candi banyak yang tak utuh lagi. Ada candi yang memang tak selesai dibangun,
adapula candi yang rusak akibat bencana alam ataupun ulah manusia.” Itulah pendapat seorang
arkeolog Milliard, yang menjelaskan tentang candi.
Salah satunya adalah Candi Ngawen, Candi yang terletak di desa Ngawen, kecamatan Muntilan,
kabupaten Magelang, provinsi Jawa Tengah ini berbentuk seperti candi pada umumnya, akan tetapi kini
candi ini tidak lengkap bangunannya. tidak ada yang mengetahui sebab ketidak lengkapannya Candi
Ngawen ini.
Menurut perkiraan, Candi Ngawen merupakan candi Buddha yang dibangun oleh wangsa sailendra pada
abad ke-8 sekitar zaman kerajaan Mataram kuno. Kemudian Candi ini ditemukan oleh Belanda sekitar
tahun 1900-an yang lalu oleh pemerintahan Hindia Belanda diperbaharui pada tahun 1911.
Candi yang berjarak sekitar 5km sebelum Candi Mendut dari arah Yogyakarta ini, Menurut Soekmono
salah satu kuncen Candi Ngawen mengatakan, kalau Candi Ngawen merupakan salah satu bangunan
suci yang disebutkan dalam prasasti Karang Tengah pada tahun 824M, yang berbahasa sansekerta yang
bertuliskan Venuvana (Hutan Bambu). Soekmono juga menyebutkan, kalah arca buddha yang berada di
Candi Ngawen adalah arca Dyani Buddha Amithaba, Arca Buddha Vairocana, Ara Dyani Buddha
Sambawa.
Soekmono juga bercerita, pada awal penemuannya Candi Ngawen ditemukan berada dibawah
permukaan tanah. Sehingga dasar Candi Ngawen terdapat mata air yang konon katanya dipergunakan
sebagai alat bersuci sebelum memasuki kawasan candi. Namun kini, sumber mata air tersebut telah
diperbaiki dan di tata sehingga candi yang sebelumnya becek karena tergenang air kini sudah tertata
dengan rapih dan tidak becek lagi.
Didalam kawasan Candi Ngawen terdapat 4 bangunan Candi. 4 bangunan tersebut terdiri dari satu
bangunan candi induk yang sudah direnovasi. Meski paling lengkap, sayangnya, stupa pada candi ini
sudah pecah menjadi beberapa bagian sejak awal ditemukannya. Ini membuat stupa candi tidak
dipasang dan diamankan dengan kata lain disimpan.
Berbeda dengan Candi Induk pertama, kondisi Candi Induk kedua lebih parah. Sebab pada Candi Induk
kedua tersebut begitu banyak batu penyusun yang pecah-pecah dan hilang. Stupanya bahkan juga
hilang. Bila diprosentasekan hanya 50% saja batu yang masih layak pada bangunan keempat ini. Hal ini
membuat bangunan keempat pada Candi Ngawen berdiri, tetapi tidak sempurna. Hanya berlantai namun
tak beratap dan tak berdinding.
Di samping itu, batu-batu di pelataran Candi tidak sebatas batu penyusun Candi Induk dan Candi Apit.
Masih banyak lagi batu-batu lain yang ditemukan, namun tidak termasuk dalam batu penyusun Candi
Induk dan Apit. Batu-batu itu adalah batu lain yang hingga sekarang belum jelas arti dan fungsinya. Batu
tadi ditata rapi di taman candi. Untuk memperindah pelataran candi, pihak pengelola menanami bunga-
bunga indah, beserta kolam lengkap dengan bunga teratai di tengahnya.
Keunikan seni arsitektur candi ini, salah satunya ditemukan pada arca singa yang menopang empat sisi
bangunan candi yang berhasil direkonstruksi dari lima bangunan yang diperkirakan seharusnya ada.
Gaya ukiran arca singa ini menyerupai lambang singa pada negara Singapura, dan berfungsi mengaliri
air yang keluar lewat mulut arca.candi ngawen berfungsi sebagai tempat ibadah bagi orang orang hindu
dan budha, sama seperti candi candi yang lain.

4.candi bajang ratu

Candi Bajangratu terletak di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto. Penamaan Bajangratu pertamakali disebutkan oleh Oudheidkunding Verslag (OV) pada
tahun 1915. Menurut arkeolog Sri Soeyatmi Satari nama Bajangratu memiliki hubungan dengan
Raja Jayanegara, sebeb nama Bajangratu pada kata "bajang" memiliki arti kerdil. Pada kitab
Pararaton menyebutkan bahwa Jayanegara dinobatkan menjadi raja Kerajaan Majapahit ketika
masih kecil (bajang), dan dari sinilah gelar Ratu Bajang atau Bajangratu melekat pada nama
Jayanegara.

Candi Bajangratu diperkirakan memiliki fungsi sebagai penghormatan kepada Jayanegara. Hal ini
didasarkan pada relief Sri Tanjung yang berada di bagian kaki gapura yang menceritakan tentang
cerita peruwatan. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa Raja Jayanegara meninggal pada tahun
1328. Di kitab Pararaton juga disebutkan bahwa Jayanegara yang wafat pada tahun 1328 itu,
dibuatkan sebuah tempat suci di dalam kedaton, dibuatkan arca dalam bentuk Wisnu di Shila Petak
dan Bubat, serta dibuatkan arcanya dalam bentuk Amoghasidhi di Sukalila. Krom berpendapat
bahwa Csrenggapura di kitab Pararaton sama dengan Antarasasi (Antarawulan) dalam kitab
Negarakertagama, sehingga dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa 'dharma' (tempat
suci) Jayanegara terdapat di Csrenggapura atau Crirangga Pura atau Antarawulan, dengan nama
sekarang yaitu Trowulan. Arca perwujudan Wisnu juga terdapat di Bubat (Trowulan). Cuma Shila
Petak atau Selapetak yang belum diketahui tempatnya. Apabila melihat dari struktur bangunan,
Candi Bajangratu lebih mirip sebagai pintu gerbang atau gapura paduraksa yang diduga merupakan
pintu gerbang Keraton Majapahit. Hal ini diperkuat dengan lokasi bekas istana Majapahit yang tidak
jauh dari Candi Bajangratu.
5.Prasasti ciaruteun(kerajaan Kediri)

Prasasti Ciaruteun merupakan salah satu prasasti peninggalan kerajaan yang bernama
Tarumanegara, hal ini dibuktikan dari isinya yang menjelaskan tentang telapak kaki
raja Purnawarman mirip dengan Dewa Wisnu. Prasasti Ciaruteun juga dikenal dengan
nama prasasti Ciampea. Penamaan prasasti ini dengan nama "Ciaruteun" karena
prasasti ini ditemukan di anak sungai Ciampea yakni sungai Ciaruteun.

Prasasti Ciaruteun ditemukan pada tahun 1863, kemudian setelah itu dilaporkan
kepada pengurus Museum Nasional zaman penjajahan Belanda. Kemudian pada tahun
1893 terjadi banjir disungai Ciaruteun, banjir tersebut membuat prasasti ini terbalik
dan hanyut beberapa meter dari posisi semula. Dalam keadaan terbalik, masyarakat
mengira batu tersebut hanyalah batu bisa karena tidak terlihat pahatannya.

Oleh karena itu, pada tahun 1903 Prasasti Ciaruteun dikembalikan ketempat semula
dalam keadaan tidak terbalik. Setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tahun
1981 prasasti Ciaruteun dipindahkan ke tempat yang aman, agar terhindar dari banjir
dan para pencuri peninggalan sejarah. Pemindahan dilakukan oleh Dinas Perlindungan
Purbakala dengan mengangkat batu yang berukuran besar tersebut dan kemudian
dibangun sebuah pendopo agar terlindung dari cuaca dan hujan.

Isi Prasasti Ciaruteun dan Bentuknya :

Prasasti Ciaruteun berbentuk batu dengan tulisan dan pahatan di atasnya, gambar yang
terdapat dalam prasasti ini berupa laba-laba, telapak kaki, umbi-umbian dan sulur-
suluran. Batu prasasti ini memiliki ukuran 2 m x 1,5 dengan berat mencapai delapan
ton. Sementara tulisan atau isinya terdiri dari empat baris dengan bahasa sanskerta
dan huruf pallawa. Selain keberadaan prasasti ini di dekat sungai Ciaruteun, terdapat
juga replikanya yang ditaruh
6.Candi Gunung Sari

Bukit Sari yang menjulang tinggi di tengah persawahan memang tidak tampak istimewa, hampir
sama seperti bukit lainnya yang rimbun tertutup pepohonan dan semak, diselimuti oleh suasana
tenang dan sepi apalagi sebagian tempat di kawasan ini telah rusak diterjang lahar dingin yang
dibawa oleh Gunung Merapi, beberapa tahun yang lalu. Dan sayangnya, tidak banyak yang tahu
jika ada Candi Gunungsari disana.

Candi Gunungsari Magelang merupakan candi Hindu Siwa yang ada di Dusun Gunungsari,
Kecamatan Salam, Desa Gulon, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Candi ini terdapat di
puncak Bukit Sari atau Gunung Sari, tidak begitu jauh dari lokasi Candi Gunungwukir
Magelang, lokasi candi tempat ditemukannya Prasasti Canggal. Belum ada informasi actual yang
menjelaskan, namun bila dilihat dari bentuk, ornament, serta arsitektur, kemungkinan besar candi
ini usianya lebih tua dari Candi Gunungwukir.

Pada zaman dahulu kala, Pulau Jawa merupakan pusat kebudayaan serta peradaban paling
berkembang di Indonesia. Terbukti dari banyaknya ditemukan peninggalan bersejarah terutama
candi di sekitaran Pulau Jawa, termasuk di Magelang, Jawa Tengah. Puluhan candi, bisa kita
temukan dengan mudah di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Situs peninggalan bersejarah ini merupakan jejak kemegahan peradaban yang belum
tertata dengan cukup baik, candi ini tidak sepopuler Candi Prambanan maupun Candi
Borobudur, masih jarang sekali wisatawan yang datang, sehingga tidak banyak cerita
yang bisa dibagikan.

Situs peninggalan bersejarah ini merupakan jejak kemegahan peradaban yang belum
tertata dengan cukup baik, candi ini tidak sepopuler Candi Prambanan maupun Candi
Borobudur, masih jarang sekali wisatawan yang datang, sehingga tidak banyak cerita
yang bisa dibagikan.
Candi Gunungsari merupakan candi peninggalan pada abad ke-6 hingga ke-8,
peninggalan zaman Hindu yang artinya jauh lebih tua usianya daripada Candi
Borobudur maupun Candi Prambanan. Candi ini diduga kuat sebagai situs candi tertua
yang ada di tanah Jawa, jadi sangat sayang rasanya, jika Anda melewatkan datang ke
Candi Gunungsari setelah menghabiskan waktu di Candi Gunungwukir. Kabarnya,
Candi Gunungsari ditemukan tidak sengaja tahun 1996 dan sejak tahun 1980-an telah
menjadi situs bersejarah yang diketahui oleh warga setempat.
7.Candi Prambanan

Menghabiskan waktu liburan untuk berwisata adalah hal yang menyenangkan. Apalagi
jika kita sengaja menjadikan waktu liburan untuk menilik wisata sejarah, seperti Candi
Prambanan yang berada di Yogyakarta.

Candi Prambanan telah kokoh berdiri sejak abad 9 M. Candi ini ini kaya akan arsitektur
yang megah dan berkelas dunia. Inilah salah satu hal yang menjadikan candi
Prambanan sebagai destinasi wisata bagi para turis lokal maupun luar negeri.

Bukan hanya arsitektur kelas dunia saja yang menjadikan candi Prambanan istimewa.
Lebih dari itu terdapat pula cerita rakyat yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Menariknya lagi, asal usul keberadaan candi Prambanan ini dulunya sempat dijadikan
alur film oleh produser ternama, Raam Punjabi.

Candi Prambanan yang notabene merupakan sebuah candi Peninggalan Kerajaan


Hindu ini berada di perbatasan antara Jawa Tengah dan Yogyakarta. Candi yang
megah ini mempunyai ukuran dan ketinggian terbesar se-Asia Tenggara. Menakjubkan
bukan?

Candi Prambanan mempunyai tinggi 47 meter dan menurut informasi, candi ini telah
dibangun sejak abad ke-9. Pada dasarnya candi Prambanan ini adalah bangunan yang
dipersembahkan untuk tiga dewa dalam agama Hindu. Yakni Dewa Brahma, Dewa
Wisnu dan Dewa Pencipta yang mana menjadi Dewa Pemelihara. Sedangkan Dewa
Siwa menjadi Dewa Penghancur.

Saat kita memasuki kawasan candi Prambanan, kita akan menjumpai banyak
bangunan yang ada disana. Tapi hanya ada 3 candi yang diutamakan dan 3 candi inilah
yang menjadi candi utama. 3 candi ini meliputi Candi Brahma, Candi Wisnu dan Candi
Siwa. Menariknya, candi Siwa lah yang menjadi candi tertinggi dengan tinggi sekitar 74
meter yang juga menjadi candi Hindu tertinggi di Indonesia.
7.Candi Banyunibo

Candi Banyunibo terletak di Komplek Ratu Boko yaitu di Dusun Cepit, Bokoharjo, Prambanan.
Candi ini dibangun pada abad ke - 9, Candi Banyunibo terdiri dari satu candi induk dan enam
candi perwara. Ukuran masing - masing stupa hampir memiliki ukuran yang sama yaitu 4,80 x
4,80 m. Pada sisi utara candi induk terdapat tembok yang membujur sepanjang 65 meter dari
barat ke timur yang terbuat dari susunan batu. Dilihat dari bentuk atap candi baik induk maupun
perwara menunjukkan bahwa candi ini adalah candi bercorak Buddha.

Ukuran candi induk yaitu 15,325 x 14,25 m dengan tinggi 14,25 m. Pintu candi berada
di sebelah barat candi beserta tangga yang menghubungkan ke tubuh candi. Terdapat
dinding penampil berupa relief di sebelah kanan dan kiri dinding candi, pada sebelah
kanan candi menggambarkan relief seorang wanita yang dikerumuni anak - anak,
sedangkan sebelah kiri terdapat relief seorang pria dalam posisi duduk. Kedua pahatan
relief dinding tersebut menggambarkan Hariti, dewi kesuburan dan suaminya,
Vaisaravana dalam ajaran agama Buddha. Pada dinding bagian luar candi terdapat
sebuah arca Boddhisatva. Pada dinding bilik candi bagian utara, timur dan selatan
terdapat relung yang menonjol keluar serta berbigkai kalamakara yang digunakan untuk
menaruh arca.

Arti dari Banyunibo sendiri adalah air yang menetes. Candi ini berada di area
persawahan dan rumpun pisang, serta terletak jauh dari candi - candi Buddha lain.
Pada Candi Banyunibo terdapat unsur Hindu yaitu adanya arca nandi yang terdapat di
sepanjang jalan menuju pos penjagaan. Candi ini merupakan rangkaian dari komplek
Ratu Boko. Atap candi induk memiliki ukuran tinggi 2,75 m dengan stupa dengan tinggi
3,5 m.

Penelitian tentang Candi Banyunibo dilakukan sejak tahun 1940, rekonstruksi candi ini
dilakukan pada tahun 1943. Pemugaran pertama Candi Banyunibo menghasilkan
bagian alas, kaki candi, tubuh candi serta pagar yang terletak di sisi utara Candi
Banyunibo.
8.Candi Lumbung

Candi Lumbung terletak di Dusun Tlatar, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten
Magelang. Candi ini berada tepat di tepi Kali Apu, yang mengalir dari Gunung Merapi di lereng
sisi barat. Tempat ini dapat dicapai dari jalan raya Yogyakarta-Magelang di pertigaan Blabak
(sekitar pabrik kertas) ke arah Ketep. Candi ini terletak berdekatan dengan dua candi lain, yaitu
Candi Pendem dan Candi Asu. Ketiga candi sering disebut dengan Candi-candi Sengi.
Tidak jelas apakah nama Lumbung memang merupakan nama candi ini atau nama itu hanya
merupakan sebutan masyarakat di sekitarnya karena bentuknya yang mirip lumbung (bangunan
tempat penyimpanan padi). Bangunan suci Buddha ini merupakan gugus candi yang terdiri atas
17 bangunan, yaitu satu candi utama yang terletak di pusat, dikelilingi oleh 16 candi perwara.
Halaman komples Candi Lumbung ini ditutup hamparan batu andesit.

Candi utama, yang sendiri saat ini sudah tinggal reruntuhan, berbentuk poligon bersisi 20 dengan
denah dasar seluas 350 m2. Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 2,5 m. Tangga dan
pintu masuk terletak di sisi timur. Pintu masuk dilengkapi bilik penampil dan lorong menuju
ruang dalam tubuh candi. Bagian luar dinding di keempat sisi dihiasi pahatan-pahatan gambar
lelaki dan perempuan dalam ukuran yang hampir sama dengan kenyataan. Gambar pada dinding
yang mengapit pintu masuk adalah Kuwera dan Hariti.

Pada dinding luar di sisi utara, barat dan selatan terdapat relung tempat meletakkan arca Dhyani
Buddha. Jumlah relung pada masing-masing sisi adalah 3 buah, sehingga jumlah keseluruhan
adalah 9 buah, Saat ini tak satupun relung yang berisi arca. Atap candi utama sudah hancur,
namun diperkirakan berbentuk stupa dengan ujung runcing, mirip atap candi perwara. Di
sekeliling halaman candi utama terdapat pagar yang saat ini tinggal reruntuhan.

Candi perwara yang berjumlah 16 buah berbaris mengelilingi candi utama. Seluruh candi
perwara menghadap ke arah candi utama. Masing-masing candi perwara berdiri di atas batur
setinggi sekitar 1 m dengan denah dasar sekitar 3 m2. Dinding tubuh candi polos tanpa hiasan.
Di sisi timur, tepat di depan pintu, terdapat tangga yang dilengkapi dengan pipi tangga. Di atas
ambang pintu terdapat Kalamakara tanpa rahang bawah.

Atap candi perwara berbentuk kubus bersusun dengan puncak stupa. Setiap sudut kubus dihiasi
dengan stupa kecil. Di ruang dalam tubuh candi perwara terdapat batu mirip tatakan arca yang
disusun berjajar.
9.Candi Gunung Wukir

Candi ini terletak di desa Canggal, kecamatan Salam kab. Magelang. Candi Gunung Wukir
merupakan candi Hindu yang ditandai dengan adanya Yoni dan arca Nandi. Yoni bersama
sebuah Lingga adalah sebagai lambang dewa Siwa. Namun Lingga dimaksud sekarang tidak ada
lagi. Sedangkan arca Nandi (lembu) adalah kendaraannya.

Gunung Wukir terdiri dari tiga candi. Candi Utama dengan tiga candi di depannya. Yoni
tersebut terletak di candi Utama, arca Nandi terletak pada candi di depannya atau pada candi
Wahana. Formasi demikian ditemukan juga di kompleks candi Prambanan. Namun demikian
candi- candi ini belum dapat dipugar karena batu-batu aslinya belum dapat di temukan.

Yang menarik adalah bahwa di candi ini dahulu pernah ditemukan sebuah prasasti yang dikenal
dengan prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, bertuliskan Sanskrta serta berbahasa
Pallawa. Pada prasasti itu antara lain disebutkan tentang raja Sanjaya yang gagah berani dan
berhasil menaklukkan musuh-musuhnya. Ia adalah pengganti pamannya yaitu raja Sanna yang
gugur di medan perang. Atas keberhasilannya itu ia kemudian mendirikan sebuah Lingga di atas
sebuah bukit. Kemungkinan lokasi yang dimaksud adalah di candi ini. Raja Sanjaya yang juga
dikenal sebagai Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya adalah anggota dinasti Sailendra yang pernah
menguasai Jawa Tengah dengan kerajaannya bernama Mataram (Hindu). Adapun pendiri
dinasti ini adalah Dapunta Selendra. Raja-raja terkenal dari dinast ini ialah Sri Maharaja Rakai
Panangkaran yang diduga mendirikan candi Borobudur, Mendut, dan Sewu yang semuanya
adalah candi Budha. Selain itu juga Sri Maharaja Rakai Pikatan yang telah mendirikan candi
Prambanan (Hindu) dan beberapa candi di Plaosan (Budha) .Raja-raja dari dinasti ini pada
umumnya memeluk agama yang tidak sama. Satu raja beragama Budha, tetapi penggantinya
beragama Hindu. Sehingga banyak ditemukan candf Budha yang berdekatan dengan candi
Hindu. Rupa-rupanya toleransi agama telah berkembang di Jawa Tengah sejak masa itu.
10.Prasasti Lebak

Pada pembahasan kali ini kita akan membahas mengenai peninggalan kerajaan
Tarumanegara berupa prasasti Lebak atau nama lainnya yaitu prasasti Cidanghiyang.
Selain isi prasasti, penjelasan pada artikel ini meliputi letak, penemu, bentuk dan
gambarnya. Langsung saja simak penjelasan berikut ini ! semoga kalian menemukan
informasi yang sedang kalian gali lebih dalam.

Siapa penemu prasasti Lebak atau Cidanghiyang? penemu prasasti ini bernama
Toebagus Roesjan, dia lah orang yang pertama kali melaporkan keberadaan prasasti
lebak. Ia melaporkan keberadaan prasasti tersebut kepada Dinas Purbakala pada tahun
1947. Namun usaha untuk meneliti prasasti Lebak dapat dilakukan 7 tahun kemudian,
tepatnya tahun 1954.

Isi Prasasti Lebak

Sebelum membahas isi prasasti Lebak, tentu kalian ingin mengetahui dimana
sebenarnya lokasi prasasti ini ditemukan. Lokasi prasasti ini ditemukan di tepi sungai
Cindanghiyang, nah dari lokasi tersebut kemudian prasasti Lebak juga sering dikenal
dengan nama prasasti Cidanghiyang. Lokasi sungai tersebut berada di desa Lebak, kec.
Munjul, kab. Pandeglang.

Bentuk prasasti Lebak yaitu berupa batu alami yang berukuran 3 x 2 x 2 meter, pada
batu tersebut terdapat tulisan yang dipahatkan dan merupakan inti dari isi prasasti.

Isi, bentuk, penemu dan gambarnya"> Gambar Prasasti Lebak Batu prasasti pada
gambar diatas memuat tulisan berjumlah dua baris dengan huruf Pallawa dan bahasa
Sansekerta. Lantas apa isi prasasti Lebak? Isi prasasti lebak menceritakan tentang
keberanian dan kebesaran raja Purnawarman. Berikut ini isi teksnya :

Teks isi prasasti lebak diatas dapat diartikan bahwa "Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan,
dan keberanian yang sesungguhnya dari raja dunia, yang Mulia Purnawarman yang menjadi
panji sekalian raja-raja" .
11.Candi kalasan

Sejarah Candi Kalasan merupakan salah satu peninggalan sejarah kerajaan Budha-Hindu yang ada di
Indonesia. Candi Kalasan merupakan bagian dari Candi Peninggalan Budha. Candi Kalasan, yang juga
memiliki nama lain Candi Kalibening, terletak di Desa Kalasan, Kab. Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Candi Kalasan berada di 16 km ke arah timur dari Kota Yogyakarta. Meskipun memiliki corak
Budha, Candi Kalasan merupakan candi yang dibuat dengan perpaduan corak kerajaan Budha dan
Hindu. Candi Kalasan memiliki ciri yang cukup khas seperti candi budha lainnya di Indonesia, khususnya
yang berada di Jawa Tengah atau pun Yogyakarta. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang
sejarah pembangunan Candi Kalasan beserta keunikan bangunan serta reliefnya.

Pada masa kerajaan saat itu, umumnya seorang raja atau penguasa kerajaan lainnya membangun
sebuah candi untuk beberapa tujuan, antara lain sebagai pusat kerjaan, tempat ibadah, tempat kegiatan
belajar dan penyebaran agama atau pun sebagai tempat tinggal bagi para biarawan.

Sejarah pembangunan Candi Kalasan dapat kita temukan pada Prasasti Kalasan yang ditemukan tidak
jauh dari ditemukannya lokasi candi tersebut. Prasasti tersebut ditulis di tahun Saka 700 atau 778
Masehi. Prasati Kalasan ditulis menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf pranagari. Dalam prasasti ini
kita dapat mengetahui bahwa awal mula pembangunan Candi Kalasan berasal dari nasehat para pemuka
agama di zaman wangsa Syailendra.

Pada masa itu, para pemuka agama menasehati Maharaja Tejapurnama Panangkarana untuk
membangun tempat suci sebagai sarana pemujian Dewi Tara dan biara untuk para pendeta Budha.
Maharaja Tejapurnama Panangkarana yang disebutkan pada prasati ini maksudnya adalah Rakai
Panangkaran, yang tidak lain adalah putra Raja Sanjaya dari Kerajaan Hindu Mataram. Hal ini ketahui
dari prasasti Raja Balitung di tahun 907 Masehi. Dalam sejarah Kerajaan Mataram kuno, diketahui bahwa
Rakai Panangkaran akhirnya menjadi Raja Kerajaan Mataram Hindu yang kedua. Dari prasasti Kalasan
pula kita mengetahui bahwa Candi Kalasan dibangun dari tahun 778 Masehi.

Dalam periode waktu 750-850 M, di wilayah Jawa Tengah bagian utara dikuasai oleh raja raja Wangsa
Sanjaya yang beragama Hindu. Sementara, di waktu bersamaam, kawasan selatan Jawa Tengah
dikuasai oleh raja raja dari wangsa Syailendra yang beragama Budha. Perbedaan kekuasaan ini dapat
terlihat dari corak corak candi yang terletak di Jawa Tengah bagian utara dan selatan. Meski begitu,
wangsa Sanjaya dan wangsa Syailendra akhirnya bergabung melalui tali perkawinan. Pada saat itu,
Rakai Pikatan, dari wangsa sanjaya menikah dengan Pramodawardhani, yang merupakan putra
Maharaja Samarattungga dari wangsa Syailendra.

Rakai Panangkaran memilih Desa Kalasan untuk dijadikan lokasi pembuatan bangunan suci untuk
memuja Dewi Tara. Desa Kalasan juga dijadikan tempat untuk membangun biara yang saat itu diminta
oleh pendeta Buddha. Diketahui bahwa patung Dewa Tara semula berdiri di Candi Kalasan, sehingga
membuat sejarahwan untuk menyimpulkan bahwa Candi Kalasan adalah candi yang digunakan sebagai
tempat suci Dewi Tara. Meski begitu, patung Dewi Tara sudah tidak berada pada Candi Kalasan.
Sementara tempat yang diduga sebagai biara bagi pendeta Budha adalah Candi Sari. Candi Sari ini
terletak tidak jauh dari Candi Buddha.
12. Candi Sewu

Candi Sewu atau Manjusrighra adalah candi Buddha yang dibangun pada abad ke-8 yang berjarak
hanya delapan ratus meter di sebelah utara Candi Prambanan. Candi Sewu merupakan kompleks
candi Buddha terbesar kedua setelah Candi Borobudur diJawa Tengah. Candi Sewu berusia lebih
tua daripada Candi Borobudur dan Prambanan. Meskipun aslinya memiliki 249 candi, oleh
masyarakat setempat candi ini dinamakan "Sewu" yang berarti seribu dalam bahasa Jawa.
Penamaan ini berdasarkan kisah legenda Loro Jonggrang.
Secara administratif, kompleks Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan,
Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan Prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 dan Prasasti Manjusrigrha yang berangka
tahun 792 dan ditemukan pada tahun 1960, nama asli candi ini adalah ”Prasada Vajrasana
Manjusrigrha”. Istilah Prasada bermakna candi atau kuil, sementaraVajrajasana bermakna
tempat Wajra (intan atau halilintar) bertakhta, sedangkan Manjusri-grha bermakna Rumah
Manjusri.Manjusri adalah salah satu Boddhisatwa dalam ajaran buddha. Candi Sewu diperkirakan
dibangun pada abad ke-8 masehi pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Rakai
Panangkaran (746–784) adalah raja yang termahsyur dari kerajaan Mataram Kuno.
Kompleks candi ini mungkin dipugar, dan diperluas pada masa pemerintahan Rakai Pikatan,
seorang pangeran dari dinasti Sanjayayang menikahi Pramodhawardhani dari dinasti Sailendra.
Setelah dinasti Sanjaya berkuasa rakyatnya tetap menganut agama sebelumnya. Adanya candi
Sewu yang bercorak buddha berdampingan dengan candi Prambanan yang bercorak hindu
menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu di Jawa umat Hindu dan Buddha hidup secara harmonis
dan adanya toleransi beragama. Karena keagungan dan luasnya kompleks candi ini, candi Sewu
diduga merupakan Candi Buddha Kerajaan, sekaligus pusat kegiatan agama buddha yang penting
pada masa lalu. Candi ini terletak di lembah Prambanan yang membentang dari lereng
selatan gunung Merapi di utara hingga pegunungan Sewu di selatan, di sekitar
perbatasan Yogyakarta dengan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Di lembah ini tersebar candi-candi
dan situs purbakala yang berjarak hanya beberapa ratus meter satu sama lain. Hal ini menunjukkan
bahwa kawasan ini merupakan kawasan penting artinya dalam sektor keagamaan, politik, dan
kehidupan urban masyarakat Jawa kuno.
Candi ini rusak parah akibat gempa pada bulan Mei 2006 di Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian
selatan. Kerusakan struktur bangunan sangat nyata dan candi utama menderita kerusakan paling
parah. Pecahan bebatuan berserakan di atas tanah, retakan dan rekahan antar sambungan batu
terlihat. Untuk mencegah keruntuhan bangunan, kerangka besi dipasang di keempat sudut
bangunan untuk menunjang dan menahan tubuh candi utama. Meskipun situs dibuka kembali untuk
pengunjung beberapa pekan kemudian setelah gempa pada tahun 2006, seluruh bagian candi
utama tetap ditutup dan tidak boleh dimasuki demi alasan keamanan.
Kini setelah dipugar, kerangka logam penopang candi utama telah dilepas dan pengunjung dapat
memasuki ruangan dalam candi utama.
13.Candi Muara takus

Candi Muara Takus adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Riau, Indonesia.
Kompleks candi ini tepatnya terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto,
Kabupaten Kampar atau jaraknya kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru,
Riau. Jarak antara kompleks candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5
kilometer dan tak jauh dari pinggir Sungai Kampar Kanan.

Ciri-cirinya:

Kompleks candi ini dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter diluar arealnya terdapat
pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampal
ke pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat pula bangunan Candi
Tua, Candi Bungsu dan Mahligai Stupa serta Palangka. Bahan bangunan candi terdiri
dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Menurut sumber tempatan, batu bata untuk
bangunan ini dibuat di desa Pongkai, sebuah desa yang terletak di sebelah hilir
kompleks candi. Bekas galian tanah untuk batu bata itu sampai saat ini dianggap
sebagai tempat yang sangat dihormati penduduk. Untuk membawa batu bata ke tempat
candi, dilakukan secara beranting dari tangan ke tangan. Cerita ini walaupun belum
pasti kebenarannya memberikan gambaran bahwa pembangunan candi itu secara
bergotong royong dan dilakukan oleh orang ramai.
14.Kompleks percandian batujaya

Ada dua tempat yang menjadi wilayah sebaran candi di Karawang, yaitu di
wilayah Cibuaya (pedes, Karawang) dan di Batujaya (Batujaya dan Pakisjaya,
Karawang). Kompleks percandian Cibuaya merupakan kompleks percandian
Hindu yang terbuat dari bata, dan hingga kini telah ditemukan tujuh buah
reruntuhannya. Diantara ketujuh reruntuhhan candi tersebut hanya ada dua
yang tampak di permukaan berupa gundukan tanah yang meninggi (lěmah
duwur).

Sementara di daerah Batujaya, candi-candi itu tertimbun oleh unur (gundukan


tanah di area pesawahan) yang di dalamnya terdapat struktur bata. Seluruh
reruntuhan bangunan tersebut sudah tertimbun tanah dan sebagian masih
tampak berbentuk gundukan seperti bukit bukit kecil dengan ketinggian sekitar
5-100 meter.Gundukan tanah berupa bukit-bukit kecil yang mengandung sisa-
sisa atau reruntuhan bangunan candi bata seperti yang terdapat di Batujaya
(unur) dan di Cibuaya (lěmah duwur) terdapat pula di Muarajambi di tepi
Batanghari. Gundukan tanah berupa bukit-bukit kecil seperti itu Muarajambi
dinamakan menapo.

Di daerah Batujaya terdapat lebih dari 20 buah reruntuhan bangunan bata yang
tersebar di kawasan situs seluas 5 km 2 yang merupakan lahan persawahan. Dari
semua itu, baru beberapa saja di antaranya yangberhasil diteliti.

Kemungkinan masih ada bangunan candi lainnya di Batujaya yang belum


terungkap.Di antara banyaknya bangunan yang diduga merupakan konstruksi
candi, hal yang menarik, hampir semua menghadap ke arah yang sama, 50
derajat dari utara.
15. Candi Cetho

Candi Cetho merupakan sebuah candi bercorak agama Hindu peninggalan masa akhir
pemerintahan Majapahit (abad ke-15). Laporan ilmiah pertama mengenainya dibuat
oleh Van de Vlies pada 1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian
mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan
pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. Berdasarkan
keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang tidak jauh
dengan Candi Sukuh. Lokasi candi berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan
Jenawi, Kabupaten Karanganyar, pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut.

Ciri-cirinya:
Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak.
Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca
penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua
masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur
masyarakat Dusun Cetho.

Anda mungkin juga menyukai