Anda di halaman 1dari 7

1.

CANDI BOROBUDUR
Candi borobudur diyakini merupakan peninggalan kerajaan Dinasti Sailendra masa pemerintahan
raja Samaratungga dari Kerajaan Mataram Kuno dan selesai dibangun pada abad ke-8.banyak sekali
misteri candi borobudur yang belum terkuak ,apa sebenarnya nama asli candi borobudur tidak ada
prasasti atau buku yang menjelaskan dengan pasti tentang pembanguan borobudur,ada yang
mengatakan nama tersebut berasal dari nama samara budhara memiliki arti gunung yang lerengnya
terletak teras teras ada juga yang mengatakan borobudur berasal dari ucapan para budha yang
mengalami pergeseran satu satu nya tulisan yang menyebutkan borobudur pertama kali adalah thomas
Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya yang berjudul sejarah pulau jawa .para ahli sejarah
memperkirakan Sir Thomas Stamford Raffles menyebut borobudur dari kata bore dan budur ,bore
artinya ialah desa sebuah desa yang terletak di dekat lokasi letak candi borobudur ditemukan sedangkan
budur artinya purba
sejarah berdirinya candi borobudur diperkirakan dibangun pada tahun 750 masehi oleh kerajaan
syailendra yang pada waktu itu menganut agama budha,pembangunan itu sangat misterius karena
manusia pada abad ke 7 belum mengenal perhitungan arsitektur yang tinggi tetapi borobudur dibangun
perhitungan arsitektur yang canggih ,hingga kini tidak satu pun yang dapat menjelaskan bagaimana
cara pembangunan dan sejarah candi borobudur ini
Candi borobudur memiliki 72 stupa yang berbentuk lonceng ajaib, Stupa terbesar terletak di
puncak candi sementara yang lain mengelilingi stufa hingga kebawah. Ketika ilmuan menggambar
denah candi borobudur, mereka menemukan pola-pola aneh yang mengarah pada fungsi borobudur
sebagai jam matahari, jarum jamnya berupa bayangan stupa yang besar dan jatuh tepat di stupa lantai
bawah namun belum di ketahui secara pasti bagaimana pembagian waktu yang di lakukan dengan
menggunakan candi borobudur ada yang mengatakan jam pada candi borobudur menunjukan tanda
kapan masa bercocok tanam atau masa panen.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena
pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi.
Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada
sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk
memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun
778 Masehi.[26] Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama
tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama
Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.[27]
Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu — wangsa
Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa — yang kemudian wangsa
Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko. Ketidakjelasan juga timbul
mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang
pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur
milik wangsa Syailendra, akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan
kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam
pembangunan Candi Siwa di Prambanan
2. CANDI KALASAN
Sejarah Candi Kalasan berawal dari sebuah prasasti bernama Prasasti Kalasan, berbahasa
Sanskerta ditemukan tidak jauh di lokasi candi. Prasasti itu ditulis dengan menggunakan huruf
Pranagari, dan berangka tahun 778 Masehi. Pada prasasti itu disebutkan mengenai pembangunan
sebuah tempat suci untuk menghormati Dewi Tara, dan sebuah Vihara bagi para pendeta Budha.
Pembangunan ini disebutkan berlangsung pada masa pemerintahan Maharaja Tejapurnapana
Panangkaran atau yang disebut juga sebagai Rakai Panangkaran yang berasal dari dinasti Syailendra.
Pada masa sekitar tahun 750 – 850 Masehi ada 2 dinasti besar yang menguasai Jawa Tengah. Di
bagian utara dikuasai oleh Dinasti atau Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu. Sedangkan di wilayah
selatan dikuasai oleh Dinasti Syailendra yang beragama Buddha. Dua kekuatan dinasti besar tersebut
telah membuat candi-candi yang ada di kedua wilayah mempunyai 2 corak yang sangat berbeda.
Akhirnya kedua dinasti besar itu dipersatukan dengan sebuah pernikahan antara Rakai Pikatan
dari Wangsa Sanjaya dan Pramodawardhani, anak dari Maharaja Samarattungga dari Wangsa
Syailendra. Pernikahan tersebut terjadi pada sekitar tahun 838 – 851 Masehi.
Berdasarkan Prasasti Kalasan, para pemuka agama telah menganjurkan Rakai Panangkaran
untuk membangun sebuah Vihara bagi para pendeta Buddha, dan juga sebuah tempat pemujaan untuk
dewi Tara. Maka kemudian Rakai Panangkaran memberikan Desa Kalasan sebagai tempat untuk
didirikannya sebuah Vihara dan juga sebuah tempat pemujaan Dewi Tara tersebut.
Seorang sejarawan dari negeri Balanda bernama Van Rumond mengadakan sebuah penelitian
pada tahun 1928, dan dia mengungkapkan fakta mengenai Sejarah Candi Kalasan, yaitu bahwa
sebenarnya jauh sebelum candi ini dibangun telah dibangun juga bangunan lain di sekitar situs candi
ini. Bangunan itu diperkirakan adalah sebuah bangunan suci berupa vihara.
Bangunan berupa vihara tersebut diyakini dibangun di tempat yang sama dengan candi. Dan
berdasarkan penelitian dari bentuk candi juga disimpulkan bahwa vihara ini berukurang sekitar 45 x 45
meter, dan disimpulkan juga bahwa candi ini setidaknya telah mengalami 3 kali pembangunan atau
perbaikan.
Berdasarkan dari beberapa bukti sejarah, kemudian juga disimpulkan bahwa keberadaan Candi
Kalasan ini juga merupakan tanda bahwa Kerajaan Sriwijaya yang menguasai bumi Sumatera ternyata
juga telah memperluas kekuasaannya di tanah Jawa. Rakai Panangkaran kemudian diketahui menjadi
raja Kerajaan Mataram Hindu yang kedua.
Berdasarkan prasasti Kalasan tersebut, seorang peneliti bernama Prof.DR.Casparis meyakini
bahwa pada saat itu candi ini dibangun secara bersama antara Hindu dan Buddha. Candi Kalasan ini
telah dipugar sebanyak 2 kali yaitu pada tahun 1927 dan 1929.

3. CANDI MENDUT
Candi Mendut merupakan candi Budha yang dididrikan oleh Raja Indra seorang raja pertama dari
trah Dinasti Syailendra pda 824 M, ini artinya Candi Mendut dibangun lebih awal dari Candi
Borobudur yang didirikan oleh Raja Samaratungga, Wangsa Syailendra pada 850 M.
Candi mendut terletak di desa Mendut Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, sekitar 8 km
sebelum Candi Borobudur. Tinggi Candi Mendut 26,4 meter, menghadap barat daya, memilki 48 stupa
kecil-kecil dan terdapat hiasan relief pada tubuh candi berupa pohon kalpataru.
Reflief-relief yang terdapat pad dinding candi ini masih jelas terlihat. Relief ini mengandung
cerita berupa ajaran moral dngan menggunakan tokoh-tokoh binatang sebagai pemerannya. ntara lain
terdapat cerita Brahmana dan Kepiting, Angsa dan kura-kura, Dua Burung Betet
dan Dharmabuddhi dan Dustabuddhi.
Candi Mendut merupakan lokasi awal proses ritual Waisak, dengan diikuti pengambilan air suci
dari Umbul Jumprit, Parakan, Temanggung, serta api suci dari merapen, Grobogan. Puncak upacara
Waisak adalah upacara Pradaksina yakni upacara mengelilingi Candi Borobudur tingkat demi tingkat
yang dilaksakan di Candi Borobudur tepat pada Purnama Sidhi atau bulan purnama pertama di bulan
Mei. Perayaan atau ritual Waisak dapat disaksikan oleh masyarakat luas.
Pada tahun 1834 Candi Mendut mulai mendapat perhatian meskipun mengalami nasib yang sama
dengan candi-candi lainnya, yaitu dalam kondisi runtuh dan hancur. Hartman, seorang presiden Kedu
saat itu mulai memperhatikan Candi Mendut. Dalam tahun 1897 dilakukan persiapan-persiapan untuk
pemugaran. Dari tahun 1901-1907 J.L.A. Brandes melangkah lebih maju dan berusaha merestorasi
Candi Mendut dan kemudian tahun 1908 dilanjutkan oleh Van Erp meskipun tidak berhasil
merekonstruksi secara lengkap.
J.G. de Casparis berpendapat bahwa Candi Mendutdibangun untuk memuliakan leluhur-leluhur
Sailendra. Di bilik utama candi ini terdapat 3 buah arca yang menurut para ahli arca-arca tersebut
diidentifikasi sebagai Cakyamuni yang diapit oleh Bodhisatwa, Lokeswara dan Bajrapani. Dalam kitab
Sang Hyang Kamahayanikan disebutkan bahwa realitas yang tertinggi (advaya) memanifestasikan
dirinya dalam 3 dewa (Jina) yaitu : Cakyamuni, Lokesvara, dan Bajrapani.
Sebagai candi yang bersifat Budhistist, relief-relief di Candi mendut juga berisi cerita-cerita
ajaran moral yang biasanya berupa cerita-cerita binatang yang bersumber dari Pancatantra dari India.
Cerita tersebut antara lain adalah seekor kura-kura yang diterbangkan oleh dua ekor angsa dan di
bawahnya dilukiskan beberpa anal gembala yang seolah-olah mengejek kura-kura tersebut. Oleh karena
kura-kura tersebut emosional dalam menanggapi ejekan, maka terlepaslah gigitannya dari tangkai kayu
yang dipegang sehingga terjatuh dan mati. Inti ceritanya adalah ajaran tentang sifat kesombongan yang
akan mencelakakan diri sendiri.

4. CANDI PRAMBANAN
Candi Prambanan yang biasa disebut dengan Candi Loro Jonggrang merupakan salah satu dari
candi Hindu di Indonesia yang terbesar dan dibangun sekitar abad ke-9 masehi. Asal usul candi
Prambanan ni dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa
pencipta, Wishnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti
Siwagrha nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna Rumah
Siwa), dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi
tiga meter yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan.
Lokasi asal usul candi Prambanan terletak di kecamatan Prambanan, Sleman dan kecamatan
Prambanan, Klaten, kurang lebih 17 kilometer timur laut Yogyakarta, 50 kilometer barat daya
Surakarta dan 120 kilometer selatan Semarang, persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Letaknya sangat unik, Candi Prambanan terletak di wilayah administrasi
desa Bokoharjo, Prambanan, Sleman, sedangkan pintu masuk kompleks Candi Prambanan terletak di
wilayah adminstrasi desa Tlogo, Prambanan, Klaten.
Asal usul bangunan candi Prambanan ini pertama kali dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh
Rakai Pikatan dan secara berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja Lokapala dan raja
Balitung Maha Sambu. Berdasarkan prasasti Siwagrha berangka tahun 856 M, bangunan suci ini
dibangun untuk memuliakan dewa Siwa, dan nama asli bangunan ini dalam bahasa Sanskerta adalah
Siwagrha (Sanskerta:Shiva-grha yang berarti: Rumah Siwa) atau Siwalaya (Sanskerta:Shiva-laya yang
berarti: Ranah Siwa atau Alam Siwa).
Prambanan adalah candi Hindu terbesar dan termegah yang pernah dibangun di Jawa kuno,
pembangunan candi Hindu kerajaan ini dimulai oleh Rakai Pikatan sebagai tandingan candi Buddha
Borobudur dan juga candi Sewu yang terletak tak jauh dari Prambanan. Beberapa sejarawan lama
menduga bahwa pembangunan candi agung Hindu ini untuk menandai kembali berkuasanya keluarga
Sanjaya atas Jawa, hal ini terkait teori wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling bersaing, yaitu
wangsa Sanjaya penganut Hindu dan wangsa Sailendra penganut Buddha. Pastinya, dengan
dibangunnya candi ini menandai bahwa Hinduisme aliran Saiwa kembali mendapat dukungan keluarga
kerajaan, setelah sebelumnya wangsa Sailendra cenderung lebih mendukung Buddha aliran Mahayana.
Hal ini menandai bahwa kerajaan Medang beralih fokus dukungan keagamaanya, dari Buddha
Mahayana ke pemujaan terhadap Siwa.

5. CANDI SEWU
Candi Sewu atau Manjusrighra adalah candi Buddha yang dibangun pada abad ke-8 yang
berjarak hanya delapan ratus meter di sebelah utara Candi Prambanan. Candi Sewu merupakan
kompleks candi Buddha terbesar kedua setelah Candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi Sewu berusia
lebih tua daripada Candi Borobudur dan Prambanan. Meskipun aslinya memiliki 249 candi, oleh
masyarakat setempat candi ini dinamakan "Sewu" yang berarti seribu dalam bahasa Jawa. Penamaan
ini berdasarkan kisah legenda Loro Jonggrang.
Secara administratif, kompleks Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan
Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan Prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 dan Prasasti Manjusrigrha yang berangka
tahun 792 dan ditemukan pada tahun 1960, nama asli candi ini adalah ”Prasada Vajrasana
Manjusrigrha”. Istilah Prasada bermakna candi atau kuil, sementara Vajrajasana bermakna tempat
Wajra (intan atau halilintar) bertakhta, sedangkan Manjusri-grha bermakna Rumah Manjusri. Manjusri
adalah salah satu Boddhisatwa dalam ajaran buddha. Candi Sewu diperkirakan dibangun pada abad ke-
8 masehi pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran (746–784) adalah raja
yang termahsyur dari kerajaan Mataram Kuno.
Kompleks candi ini mungkin dipugar, dan diperluas pada masa pemerintahan Rakai Pikatan,
seorang pangeran dari dinasti Sanjaya yang menikahi Pramodhawardhani dari dinasti Sailendra. Setelah
dinasti Sanjaya berkuasa rakyatnya tetap menganut agama sebelumnya. Adanya candi Sewu yang
bercorak buddha berdampingan dengan candi Prambanan yang bercorak hindu menunjukkan bahwa
sejak zaman dahulu di Jawa umat Hindu dan Buddha hidup secara harmonis dan adanya toleransi
beragama. Karena keagungan dan luasnya kompleks candi ini, candi Sewu diduga merupakan Candi
Buddha Kerajaan, sekaligus pusat kegiatan agama buddha yang penting pada masa lalu. Candi ini
terletak di lembah Prambanan yang membentang dari lereng selatan gunung Merapi di utara hingga
pegunungan Sewu di selatan, di sekitar perbatasan Yogyakarta dengan Kabupaten Klaten, Jawa
Tengah. Di lembah ini tersebar candi-candi dan situs purbakala yang berjarak hanya beberapa ratus
meter satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan kawasan penting artinya
dalam sektor keagamaan, politik, dan kehidupan urban masyarakat Jawa kuna.

6. CANDI SUKUH
Candi Sukuh bisa dibilang merupakan candi termuda. Dibangun masyarakat Hindu Tantrayana
tahun 1437. Candi yang penuh dengan cerita sexualitas ini memang berbeda dengan candi candi yang
terdapat di Jawa Tengah dan Jogja. Kebanyakan Candi di Jawa Tengah dan Jogja selalu menghasap ke
Timur. Mengingat pada saat itu Matahari sangat di puja. Candi Sukuh menghadap berlawanan yaitu
menghadap ke Barat.
Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang secara administrasi terletak di
wilayah Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta,
Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan lingga
dan yoni. Candi ini dianggap kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena
penggambaran alat-alat kelamin manusia secara eksplisit pada beberapa figurnya.
Situs candi Sukuh dilaporkan pertama kali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa
pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford
Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Setelah masa
pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan
penelitian. Pemugaran pertama dimulai pada tahun 1928.

7. CANDI PLAOSAN
Candi Plaosan yang merupakan candi Buddha ini oleh para ahli diperkirakan dibangun pada masa
pemerintahan Rakai Pikatan dari Kerajaan Mataram Hindu, yaitu pada awal abad ke-9 M. Salah satu
pakar yang mendukung pendapat itu adalah De Casparis yang berpegang pada isi Prasasti Cri
Kahulunan (842 M). Dalam prasasti tersebut dinyatakan bahwa Candi Plaosan Lor dibangun oleh Ratu
Sri Kahulunan, dengan dukungan suaminya. Menurut De Casparis, Sri Kahulunan adalah gelar
Pramodhawardani, putri Raja Samarattungga dari Wangsa Syailendra. Sang Putri, yang memeluk
agama Buddha, menikah dengan Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya, yang memeluk agama Hindu.
Pendapat lain mengenai pembangunan Candi Plaosan ialah bahwa candi tersebut dibangun
sebelum masa pemerintahan Rakai Pikatan. Menurut Anggraeni, yang dimaksud dengan Sri Kahulunan
adalah ibu Rakai Garung yang memerintah Mataram sebelum Rakai Pikatan. Masa pemerintahan Rakai
Pikatan terlalu singkat untuk dapat membangun candi sebesar Candi Plaosan. Rakai Pikatan
membangun candi perwara setelah masa pembangunan candi utamanya.
Pada bulan Oktober 2003, di kompleks dekat Candi Perwara di kompleks Candi Plaosan Kidul
ditemukan sebuah prasasti yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 M. Prasasti yang terbuat dari
lempengan emas berukuran 18,5 X 2,2 cm. tersebut berisi tulisan dalam bahasa Sansekerta yang ditulis
menggunakan huruf Jawa Kuno. Isi prasasti masih belum diketahui, namun menurut Tjahjono
Prasodjo, epigraf yang ditugasi membacanya, prasasti tersebut menguatkan dugaan bahwa Candi
Plaosan dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan.

8. CANDI DIENG
Candi Dieng merupakan kumpulan candi yang terletak di kaki pegunungan Dieng, Wonosobo,
Jawa tengah. Kawasan Candi Dieng menempati dataran pada ketinggian 2000 m di atas permukaan
laut, memanjang arah utara-selatan sekitar 1900 m dengan lebar sepanjang 800 m.
Kumpulan candi Hindu beraliran Syiwa yang diperkirakan dibangun antara akhir abad ke-8
sampai awal abad ke-9 ini diduga merupakan candi tertua di Jawa. Sampai saat ini belum ditemukan
informasi tertulis tentang sejarah Candi Dieng, namun para ahli memperkirakan bahwa kumpulan candi
ini dibangun atas perintah raja-raja dari Wangsa Sanjaya. Di kawasan Dieng ini ditemukan sebuah
prasasti berangka tahun 808 M, yang merupakan prasasti tertua bertuliskan huruf Jawa kuno, yang
masih masih ada hingga saat ini. Sebuah Arca Syiwa yang ditemukan di kawasan ini sekarang
tersimpan di Museum Nasional di Jakarta. Pembangunan Candi Dieng diperkirakan berlangsung dalam
dua tahap. Tahap pertama yang berlangsung antara akhir abad ke-7 sampai dengan perempat pertama
abad ke-8, meliputi pembangunan Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi dan Candi Gatutkaca.
Tahap kedua merupakan kelanjutan dari tahap pertama, yang berlangsung samapi sekitar tahun 780 M.
Candi Dieng pertama kali diketemukan kembali pada tahun 1814. Ketika itu seorang tentara
Inggris yang sedang berwisata ke daerah Dieng melihat sekumpulan candi yang terendam dalam
genangan air telaga. Pada tahun 1956, Van Kinsbergen memimpin upaya pengeringan telaga tempat
kumpulan candi tersebut berada. Upaya pembersihan dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1864, dilanjutkan dengan pencatatan dan pengambilan gambar oleh Van Kinsbergen.
Luas keseluruhan kompleks Candi Dieng mencapai sekitar 1.8 x 0.8 km2. Candi-candi di
kawasan Candi Dieng terbagi dalam 3 kelompok dan 1 candi yang berdiri sendiri yang dinamakan
berdasarkan nama tokoh dalam cerita wayang yang diadopsi dari Kitab Mahabarata. Ketiga kelompok
candi tersebut adalah Kelompok Arjuna, Kelompok Gatutkaca, Kelompok Dwarawati dan satu candi
yang berdiri sendiri adalah Candi Bima.

9. CANDI SUMBERAWAN
Candi Sumberawan terletak di Desa Toyomarto, kecamatan Singosari. Candi ini mungkin tidak
berbentuk selayaknya candi pada umumnya, candi Sumberawan hanya berbentuk seperti stupa dan
merupakan candi Budha dan peninggalan dari kerajaan Singhasari.
Candi Sumberawan merupakan peninggalan sejarah yang berasal dari sekitar abad 14 atau awal
abad 15. Dalam prasasti Negarakertagama disebutkan bahwa, Candi Sumberawan diidentifikasikan
sebagai Kasurangganan atau Taman Surga Nimfa dan telah dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk dari
Majapahit di 1359. Candi Sumberawan pertama kali ditemukan pada tahun 1904 dan pada 1937
diadakan pemugaran oleh pemerintahan Hindia Belanda pada bagian kaki candi. Candi sumberawan
merupakan satu-satunya candi yang berbentuk stupa di Jawa Timur.
Candi Sumberawan tidak memiliki tangga naik ruangan di dalamnya yang biasanya digunakan
untuk menyimpan benda suci. Jadi, hanya bentuk luarnya saja yang berupa stupa, tetapi fungsinya tidak
seperti lazimnya stupa yang sesungguhnya. Diperkirakan candi ini dahulu memang didirikannya untuk
pemujaan. Suasana yang teduh dan tenang di sekitar candi menjadikan tempat ini cocok untuk
melakukan meditasi.

10. CANDI MUARA TAKUS


Candi Muara Takus terletak di desa Muara Takus, Kecamatan Tigabelas Koto Kampar,
Kabupaten Kampar, Propinsi Riau. Jaraknya dari Pekanbaru, Ibukota Propinsi Riau, sekitar 128 Km.
Perjalanan menuju Desa Muara Takus hanya dapat dilakukan melalui jalan darat yaitu dari Pekanbaru
ke arah Bukittinggi sampai di Muara Mahat. Dari Muara Mahat melalui jalan kecil menuju ke Desa
Muara Takus. Kompleks Candi Muara Takus, satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi
di Riau. Candi bernuansa Buddhistis ini merupakan bukti bahwa agama Budha pernah berkembang di
kawasan ini. Kendatipun demikian, para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan
candi ini didirikan.
Ada dua pendapat mengenai nama Muara Takus. Yang pertama mengatakan bahwa nam tersebut
diambil dari nama sebuah anak sungai kecil bernama Takus yang bermuara ke Sungai Kampar Kanan.
Pendapat lain mengatakan bahwa Muara Takus terdiri dari dua kata, yaitu “Muara” dan “Takus”. Kata
“Muara” mempunyai pengertian yang sudah jelas, yaitu suatu tempat sebuah sungai mengakhiri
alirannya ke laut atau ke sungai yang lebih besar, sedangkan kata “Takus” berasal dari bahasa Cina, Ta
berarti besarr, Ku berarti tua, dan Se berarti candi atau kuil. Jadi arti keseluruhan kata Muara Takus
adalah candi tua yang besar, yang terletak di muara sungai.
Candi Muara Takus merupakan candi Buddha, terlihat dari adanya stupa, yang merupakan
lambang Buddha Gautama. Ada pendapat yang mengatakan bahwa candi ini merupakan campuran dari
bentuk candi Buddha dan Syiwa. Pendapat tersebut didasarkan pada bentuk bentuk Candi Mahligai,
salah satu bangunan di kompleks Candi Muara takus, yang menyerupai bentuk lingga (kelamin laki-
laki) dan yoni (kelamin perempuan). Arsitektur candi ini juga mempunyai kemiripan dengan arsitektur
candi-candi di Myanmar. Candi Muara Takus merupakan sebuah kompleks yang terdiri atas beberapa
bangunan.

Anda mungkin juga menyukai