Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri dari 10 tingkat, berukuran 123
x 123 meter. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi
karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan. Candi Budha ini memiliki
1460 relief dan 504 stupa Budha di kompleksnya. Enam tingkat paling bawah berbentuk
bujur sangkar dan tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi
yang berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat.
Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha
Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui setiap
tingkatan kehidupan tersebut.
Setiap tingkatan memiliki relief-relief yang akan terbaca secara runtut berjalan searah
jarum jam (arah kiri dari pintu masuk candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita
tentang suatu kisah yang sangat melegenda, bermacam-macam isi ceritanya, antara lain
ada relief-relief tentang wiracarita Ramayana, ada pula relief-relief cerita jātaka. Selain
itu, terdapat pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya,
relief tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian
saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran yang
waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).
Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Budha.
Seorang budhis asal India bernama Atisha, pada abad ke 10, pernah berkunjung ke candi
yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 4 abad sebelum Katedral
Agung di Eropa ini. Berkat mengunjungi Borobudur dan berbekal naskah ajaran Budha
dari Serlingpa (salah satu raja Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan
ajaran Budha. Ia menjadi kepala biara Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang
cara mempraktekkan Dharma. Enam naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi
sebuah inti ajaran disebut “The Lamp for the Path to Enlightenment” atau yang lebih
dikenal dengan nama Bodhipathapradipa.
Salah satu pertanyaan yang kini belum terjawab tentang Borobudur adalah bagaimana
kondisi sekitar candi ketika dibangun dan mengapa candi itu ditemukan dalam keadaan
terkubur. Beberapa mengatakan Borobudur awalnya berdiri dikelilingii rawa kemudian
terpendam karena letusan Merapi. Hal tersebut berdasarkan prasasti Kalkutta
bertuliskan ‘Amawa’ berarti lautan susu. Kata itu yang kemudian diartikan sebagai lahar
Merapi, kemungkinan Borobudur tertimbun lahar dingin Merapi. Desa-desa sekitar
Borobudur, seperti Karanganyar dan Wanurejo terdapat aktivitas warga membuat
kerajinan. Selain itu, puncak watu Kendil merupakan tempat ideal untuk memandang
panorama Borobudur dari atas. Gempa 27 Mei 2006 lalu tidak berdampak sama sekali
pada Borobudur sehingga bangunan candi tersebut masih dapat dikunjungi.
Nama Borobudur
Mengenai nama Borobudur sendiri banyak ahli purbakala yang menafsirkannya, di
antaranya Prof. Dr. Poerbotjoroko menerangkan bahwa kata Borobudur berasal dari dua
kata Bhoro dan Budur. Bhoro berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti bihara atau
asrama, sedangkan kata Budur merujuk pada kata yang berasal dari Bali Beduhur yang
berarti di atas. Pendapat ini dikuatkan oleh Prof. Dr. WF. Stutterheim yang berpendapat
bahwa Borobudur berarti Bihara di atas sebuah bukit.
Prof. JG. De Casparis mendasarkan pada Prasasti Karang Tengah yang menyebutkan
tahun pendirian bangunan ini, yaitu Tahun Sangkala: rasa sagara kstidhara, atau tahun
Caka 746 (824 Masehi), atau pada masa Wangsa Syailendra yang mengagungkan Dewa
Indra. Dalam prasasti didapatlah nama Bhumisambharabhudhara yang berarti tempat
pemujaan para nenek moyang bagi arwah-arwah leluhurnya. Bagaimana pergeseran kata
itu terjadi menjadi Borobudur? Hal ini terjadi karena faktor pengucapan masyarakat
setempat.
Pembangunan Candi Borobudur
Candi Borobudur dibuat pada masa Wangsa Syailendra yang Buddhis di bawah
kepemimpinan Raja Samarotthungga. Arsitektur yang menciptakan candi,
berdasarkan tuturan masyarakat bernama Gunadharma. Pembangunan candi itu
selesai pada tahun 847 M. Menurut prasasti Kulrak (784M) pembuatan candi ini dibantu
oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya yang sangat
dihormati, dan seorang pangeran dari Kashmir bernama Visvawarman sebagai
penasihat yang ahli dalam ajaran Buddis Tantra Vajrayana. Pembangunan candi ini
dimulai pada masa Maha Raja Dananjaya yang bergelar Sri Sanggramadananjaya,
dilanjutkan oleh putranya, Samarotthungga, dan oleh cucu perempuannya, Dyah Ayu
Pramodhawardhani.
Sebelum dipugar, Candi Borobudur hanya berupa reruntuhan seperti halnya artefak-
artefak candi yang baru ditemukan. Pemugaran selanjutnya oleh Cornelius pada masa
Raffles maupun Residen Hatmann, setelah itu periode selanjutnya dilakukan pada 1907-
1911 oleh Theodorus van Erp yang membangun kembali susunan bentuk candi dari
reruntuhan karena dimakan zaman sampai kepada bentuk sekarang. Van Erp sebetulnya
seorang ahli teknik bangunan Genie Militer dengan pangkat letnan satu, tetapi
kemudian tertarik untuk meneliti dan mempelajari seluk-beluk Candi Borobudur, mulai
falsafahnya sampai kepada ajaran-ajaran yang dikandungnya. Untuk itu dia mencoba
melakukan studi banding selama beberapa tahun di India. Ia juga pergi ke Sri Langka
untuk melihat susunan bangunan puncak stupa Sanchi di Kandy, sampai akhirnya van
Erp menemukan bentuk Candi Borobudur. Sedangkan mengenai landasan falsafah dan
agamanya ditemukan oleh Stutterheim dan NJ. Krom, yakni tentang ajaran Buddha
Dharma dengan aliran Mahayana-Yogacara dan ada kecenderungan pula bercampur
dengan aliran Tantrayana-Vajrayana.
Penelitian terhadap susunan bangunan candi dan falsafah yang dibawanya tentunya
membutuhkan waktu yang tidak sedikit, apalagi kalau dihubung-hubungkan dengan
bangunan-bangunan candi lainnya yang masih satu rumpun. Seperti halnya antara
Candi Borobudur dengan Candi Pawon dan Candi Mendut yang secara geografis berada
pada satu jalur.