Anda di halaman 1dari 14

Candi Borobudur (Jawa: ꦕꦟ꧀ꦝꦶꦧꦫꦧꦸꦝꦸꦂ, translit.

Candhi Båråbudhur) adalah


sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Candi
ini terletak kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah
barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi dengan banyak stupa ini
didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada
masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar
di dunia,[1][2] sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.[3]
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang di atasnya terdapat tiga
pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat
504 arca Buddha.[4] Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di
dunia.[3] Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini,
dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca
Buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap
tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk
memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat
manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai
ajaran Buddha.[5] Para peziarah masuk melalui sisi timur dan memulai ritual di dasar candi
dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan
berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu
adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud),
dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya para peziarah berjalan melalui
serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah
yang terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-10 seiring dipindahnya
pusat Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur oleh Pu Sindok. [6] Dunia mulai menyadari
keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat
itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah
mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran (perbaikan kembali). Proyek
pemugaran terbesar digelar pada kurun waktu 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah
Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs
Warisan Dunia.[3]
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat
Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk
memperingati Trisuci Waisak. Terkait kepariwisataan, Borobudur adalah objek wisata tunggal
di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.[7][8][9]
Pada 11 Februari 2022, pemerintah meresmikan status Candi Borobudur kembali sebagai
tempat peribadatan umat Buddhis di Indonesia dan dunia.[10]

Nama Borobudur[sunting | sunting sumber]

Stupa Borobudur dengan jajaran perbukitan Menoreh.


Selama berabad-abad bangunan suci ini sempat terlupakan.
Dalam bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah candi juga
digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang berasal
dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan (kolam dan
pancuran pemandian). Asal mula nama Borobudur tidak jelas,[11] meskipun memang nama
asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui.[11] Nama Borobudur pertama kali
ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Stamford Raffles.[12] Raffles
menulis mengenai monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih
tua yang menyebutkan nama yang sama persis.[11] Satu-satunya naskah Jawa kuno yang
memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada
Borobudur adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.[13]
Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata
bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro);
kebanyakan candi memang sering kali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri.
Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam
bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba".[11] Akan tetapi arkeolog
lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.[14]
Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa
nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung"
(bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat
beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para
Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa
nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara,
sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya
kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan
dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah
sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Poerbatjaraka berpendapat bahwa arti kata boro adalah "biara", tetapi dibantah
oleh Krom yang menyebutkan bahwa Borobudur bukanlah biara, melainkan stupa. Menurut
Krom, berdasarkan perbandingan dengan stupa yang ada di India, biasanya stupa tidak
berdiri sendiri tetapi ada biara di dekatnya. Biara itu berfungsi sebagai tempat tinggal para
biksu yang bertanggung jawab atas pemeliharaan tempat suci tersebut dan juga untuk
menampung peziarah dari tempat lain. Jika dilihat dari besarnya Candi Borobudur, biara
tersebut berukuran cukup besar tetapi sudah tidak ada lagi jejaknya karena dibangun dari
kayu, lokasinya pun juga masih belum diketahui.[15]
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor
pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti
Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah
raja Mataram ke 2 Rakai Panangkaran 770 M dan di lanjutkan
wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar
tahun 824 M. Bangunan dapat diselesaikan pada masa Rakai
Pikatan Dan Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu
setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan
tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk
memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra.[16] Istilah Kamūlān sendiri berasal dari
kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur,
kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi
Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan
sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.[17]

Lingkungan sekitar[sunting | sunting sumber]


Borobudur, Pawon, dan Mendut
terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan kesatuan perlambang
Terletak sekitar 40 kilometer (25 mi) barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur terletak di
atas bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar; Gunung Sindoro-
Sumbing di sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di sebelah timur laut, di sebelah utaranya
terdapat Bukit Tidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta
candi ini terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah
timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai Dataran Kedu adalah tempat
yang dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa'
karena keindahan alam dan kesuburan tanahnya.[18]
Tiga candi serangkai[sunting | sunting sumber]
Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini. Pada masa
penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha lainnya yaitu Candi
Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu garis lurus. [19] Awalnya
diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu
terdapat jalan berlapis batu yang dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang
menghubungkan ketiga candi ini. Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu
dan berpagar dan mungkin ini hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga
memang ada kesatuan perlambang dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-
Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berasal dari
periode yang sama yang memperkuat dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini.
Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah
dilakukan, belum diketahui secara pasti.[13]
Selain Candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa peninggalan
purbakala lainnya, di antaranya berbagai temuan tembikar seperti periuk dan kendi yang
menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-
temuan purbakala di sekitar Borobudur kini disimpan di Museum
Karmawibhangga Borobudur, yang terletak di sebelah utara candi bersebelahan
dengan Museum Samudra Raksa. Tidak seberapa jauh di sebelah utara Candi Pawon
ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang disebut Candi Banon. Pada candi ini
ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam keadaan cukup baik
yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan tetapi batu asli Candi Banon amat sedikit
ditemukan sehingga tidak mungkin dilakukan rekonstruksi. Pada saat penemuannya arca-
arca Banon diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum Nasional
Indonesia.
Danau purba[sunting | sunting sumber]
Borobudur di tengah kehijauan
alam dataran Kedu. Diduga dulu kawasan di sekeliling Borobudur adalah danau purba.
Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur dibangun di atas
bukit dengan ketinggian 265 m (869 ft) dari permukaan laut dan 15 m (49 ft) di atas dasar
danau purba yang telah mengering.[20] Keberadaan danau purba ini menjadi bahan
perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan
bahwa Borobudur dibangun di tepi atau bahkan di tengah danau. Pada tahun 1931, seorang
seniman dan pakar arsitektur Hindu Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa
Dataran Kedu dulunya adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan
bunga teratai yang mengapung di atas permukaan danau.[14] Bunga teratai baik dalam
bentuk padma (teratai merah), utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai putih) dapat
ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha. sering kali digenggam
oleh Boddhisatwa sebagai laksana (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana
Buddha atau sebagai lapik stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga
teratai, dan postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan
ditemui dalam naskah keagamaan Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian
menyebar ke Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga
melambangkan kelopak bunga teratai.[20] Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar
biasa dan fantastis ini banyak menuai bantahan dari para arkeolog. pada daratan di sekitar
monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar
Borobudur pada masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau
purba.
Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan
menunjukkan bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini. [21] Sebuah
penelitian stratigrafi, sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000
mendukung keberadaan danau purba di lingkungan sekitar Borobudur, [20] yang memperkuat
gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari
waktu ke waktu, dan bukti menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali
terendam air dan menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan
aktivitas vulkanik diduga memiliki andil dalam mengubah bentang alam dan topografi
lingkungan sekitar Borobudur termasuk danau nya. Salah satu gunung berapi paling aktif di
Indonesia adalah Gunung Merapi yang terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif
sejak masa Pleistosen.[22]

Sejarah[sunting | sunting sumber]


Pembangunan[sunting | sunting sumber]
Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 1916—1919) merekonstruksi suasana di Borobudur
pada masa jayanya
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan
apa kegunaannya.[23] Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan
antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang
lazim digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur
dibangun sekitar tahun 800 masehi.[23] Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan
830 M, masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah,[24] yang kala itu
menguasai tahta Kerajaan Medang. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan
waktu 75 - 100 tahun lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan
raja Samaratungga pada tahun 825.[25][26]
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu
beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha
aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan
bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.[25] Pada kurun waktu itulah dibangun
berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada
tahun 732 M, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan
suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6,2 mi)
sebelah timur dari Borobudur.[27] Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang
hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian
Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal
sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena
pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk
membangun candi.[28] Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran
menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan
dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara,
sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.[28] Petunjuk ini
dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah
menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu
bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula
sebaliknya.[29] Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada
masa itu — wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang
memuja Siwa — yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856
di perbukitan Ratu Boko.[30] Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang
di Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan
sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa
Syailendra,[30] akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan
kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga
terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.[31]
Borobudur diterlantarkan[sunting | sunting sumber]

Meletusnya Gunung Merapi diduga sebagai penyebab


utama diterlantarkannya Borobudur
Borobudur tersembunyi dan telantar selama berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah
dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur
kala itu benar-benar menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur
ditinggalkan hingga kini masih belum diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan
bangunan suci ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006,
Raja Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur setelah
serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang
menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber menduga bahwa sangat
mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini. [6][20] Bangunan suci ini disebutkan
secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam
naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Ia menyebutkan
adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat populer
bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan
kepada Islam pada abad ke-15.[6]
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari
sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan
dengan kesialan, kemalangan dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18
menyebutkan nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah
Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang
yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada
1709.[6] Disebutkan bahwa bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak
dikalahkan dan dihukum mati oleh raja. Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram),
monumen ini dikaitkan dengan kesialan putra mahkota Kesultanan Yogyakarta yang
mengunjungi monumen ini pada 1757.[32] Meskipun terdapat tabu yang melarang orang untuk
mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran datang mengunjungi satria yang terpenjara di
dalam kurungan (arca buddha yang terdapat di dalam stupa berterawang)". Setelah kembali
ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari kemudian. Dalam
kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap
sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan
dengan kesialan atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan
mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah situs ini tidak terurus
dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah menjadi sarang wabah penyakit seperti demam
berdarah atau malaria.
Penemuan kembali[sunting | sunting sumber]

Foto Borobudur oleh Isidore van Kinsbergen (1873) setelah


monumen ini dibersihkan dari tanaman yang tumbuh pada tubuh candi. Bendera Belanda
tampak pada stupa utama candi.Teras tertinggi setelah restorasi Van Erp. Stupa utama
memiliki menara dengan chattra (payung) susun tiga.
Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa di bawah
pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford
Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah
Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan
mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan
rakyat setempat dalam perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya
di Semarang tahun 1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam
hutan dekat desa Bumisegoro.[32] Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur
Jenderal, ia tidak dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C.
Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar ini.
Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak
belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur
candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan semua lorong.
Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa
candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan beberapa kalimat, Raffles
dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen ini, serta menarik perhatian dunia atas
keberadaan monumen yang pernah hilang ini.[12]
Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu meneruskan
kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan telah tergali dan terlihat.
Minatnya terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak
menulis laporan atas kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan
arca buddha besar di stupa utama.[33] Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama
meskipun apa yang ia temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.
Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda
bidang teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G.
Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang
dirampungkannya pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan
penelitian Brumund yang dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak
untuk bekerja sama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C.
Leemans, yang mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen.
Pada 1873, monograf pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan,
dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Prancis setahun kemudian. [33] Foto pertama
monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.[34]
Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama Borobudur telah
menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri, penjarah candi, dan kolektor
"pemburu artefak". Kepala arca Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena
mencuri seluruh arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan
dijatuhkan oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak
ditemukan arca Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran
kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur
artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya
dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang
marak di monumen.[34] Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk
menggelar penyelidikan menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks
ini; laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar
bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.
Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cenderamata, arca dan ukirannya diburu
kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan salah satunya direstui
Pemerintah Kolonial. Pada tahun 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi
Jawa di Hindia Belanda (kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa
bagian dari Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan
delapan gerobak penuh arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke
Thailand antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung
singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang
pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak
ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini dipamerkan di Museum Nasional Bangkok.[35]
Pemugaran[sunting | sunting sumber]
Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat
Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi.[36] Foto-foto yang menampilkan relief
pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891.[37] Penemuan ini mendorong
pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini.
Pada 1900, pemerintah membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti
monumen ini: Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang
juga anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari
Departemen Pekerjaan Umum.
Penanaman beton dan pipa PVC untuk memperbaiki sistem
drainase Borobudur pada pemugaran tahun 1973
Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur
kepada pemerintah.[butuh rujukan] Pertama, bahaya yang mendesak harus segera diatasi dengan
mengatur kembali sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu lain
di sebelahnya, memperkuat pagar langkan pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang,
stupa dan stupa utama. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki
sistem drainase dengan memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan
longgar harus dipindahkan, monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu
yang rusak dipindahkan dan stupa utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu
ditaksir sekitar 48.800 Gulden.
Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip anastilosis dan
dipimpin Theodor van Erp.[38] Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar
monumen untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp
membongkar dan membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak.
Dalam prosesnya Van Erp menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan
proposal lain yang disetujui dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp
melakukan rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra (payung
batu susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur
telah pulih seperti pada masa kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya
menggunakan sedikit batu asli dan hanya rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian chattra. Kini
mastaka atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga tersimpan di Museum
Karmawibhangga Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada
membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan tata air.
Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan. [38] Van
Erp menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan kalsium
hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan dan merusak batu candi. Hal ini
menyebabkan masalah sehingga renovasi lebih lanjut diperlukan.

Patung Buddha yang tidak sempurna di Museum


Karmawibhangga. Di belakangnya diletakkan chhatra atau parasol tiga lapis yang seharusnya
menghiasi puncak stupa utama borobudur tetapi diturunkan karena sering terkena sambaran
petir.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak cukup untuk memberikan
perlindungan yang utuh. Pada akhir 1960-an, Pemerintah Indonesia telah mengajukan
permintaan kepada masyarakat internasional untuk pemugaran besar-besaran demi
melindungi monumen ini. Pada 1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur
dibuat.[39] Pemerintah Indonesia dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan
menyeluruh monumen ini dalam suatu proyek besar antara tahun 1975 dan 1982. [38] Pondasi
diperkukuh dan segenap 1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan
membongkar seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan
menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air ditambahkan.
Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen dan menghabiskan
biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS.[40] Setelah renovasi, UNESCO memasukkan
Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 1991.[3] Borobudur masuk dalam
kriteria Budaya (i) "mewakili mahakarya kretivitas manusia yang jenius", (ii) "menampilkan
pertukaran penting dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu
wilayah budaya di dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang
monumental, perencanaan tata kota dan rancangan lansekap", dan (vi) "secara langsung dan
jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan atau
dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik dan karya sastra yang memiliki makna
universal yang luar biasa".[3]
Peristiwa kontemporer[sunting | sunting sumber]

Biksu peziarah tengah bermeditasi di pelataran puncak

Turis di Borobudur
Setelah pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung oleh UNESCO,[39] Borobudur
kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali setahun pada saat
bulan purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat Buddha di Indonesia memperingati hari
suci Waisak, hari yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama peristiwa
pencerahan Siddhartha Gautama yang mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi menjadi
Buddha Shakyamuni. Waisak adalah hari libur nasional di Indonesia [41] dan upacara
peringatan dipusatkan di tiga candi Buddha utama dengan ritual berjalan dari Candi Mendut
menuju Candi Pawon dan prosesi berakhir di Candi Borobudur. [42]
Pada 21 Januari 1985, sembilan stupa rusak parah akibat sembilan bom.[43] Pada 1991
seorang penceramah muslim beraliran ekstrem yang tunanetra, Husein Ali Al Habsyie,
dihukum penjara seumur hidup karena berperan sebagai otak serangkaian serangan bom
pada pertengahan dekade 1980-an, termasuk serangan atas Candi Borobudur.[44] Dua
anggota kelompok ekstrem sayap kanan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara pada tahun 1986
dan seorang lainnya menerima hukuman 13 tahun penjara.

Sendratari "Mahakarya Borobudur" digelar di Borobudur


Monumen ini adalah objek wisata tunggal yang paling banyak dikunjungi di Indonesia. Pada
1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang 36.000 di antaranya adalah wisatawan
mancanegara telah mengunjungi monumen ini.[8] Angka ini meningkat hingga mencapai 2,5
juta pengunjung setiap tahunnya (80% adalah wisatawan domestik) pada pertengahan 1990-
an, sebelum Krisis finansial Asia 1997.[9] Akan tetapi pembangunan pariwisata dikritik tidak
melibatkan masyarakat setempat sehingga beberapa konflik lokal kerap terjadi. [8] Pada 2003,
penduduk dan wirausaha skala kecil di sekitar Borobudur menggelar pertemuan dan protes
dengan pembacaan puisi, menolak rencana pemerintah provinsi yang berencana
membangun kompleks mal berlantai tiga yang disebut 'Java World'. [45] Upaya masyarakat
setempat untuk mendapatkan penghidupan dari sektor pariwisata Borobudur telah
meningkatkan jumlah usaha kecil di sekitar Borobudur. Akan tetapi usaha mereka untuk
mencari nafkah sering kali malah mengganggu kenyamanan pengunjung. Misalnya pedagang
cenderamata asongan yang mengganggu dengan bersikeras menjual dagangannya;
meluasnya lapak-lapak pasar cenderamata sehingga saat hendak keluar kompleks candi,
pengunjung malah digiring berjalan jauh memutar memasuki labirin pasar cenderamata. Jika
tidak tertata maka semua ini membuat kompleks candi Borobudur semakin semrawut.
Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala mengguncang pesisir selatan Jawa Tengah.
Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan korban terbanyak di Yogyakarta, akan
tetapi Borobudur tetap utuh.[46]
Pada 28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail of Civilizations (jejak peradaban) digelar di
Borobudur atas prakarsa Gubernur Jawa Tengah dan Kementerian Pariwisata dan
Kebudayaan, juga hadir perwakilan UNESCO dan negara-negara mayoritas Buddha di Asia
Tenggara, seperti Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja. [butuh rujukan] Puncak acara
ini adalah pagelaran sendratari kolosal "Mahakarya Borobudur" di depan Candi Borobudur.
Tarian ini diciptakan dengan berdasarkan gaya tari tradisional Jawa, musik gamelan, dan
busananya, menceritakan tentang sejarah pembangunan Borobudur. Setelah simposium ini,
sendratari Mahakarya Borobudur kembali dipergelarkan beberapa kali, khususnya menjelang
peringatan Waisak yang biasanya turut dihadiri Presiden Republik Indonesia.

Batu peringatan pemugaran candi Borobudur dengan bantuan


UNESCO
UNESCO mengidentifikasi tiga permasalahan penting dalam upaya pelestarian Borobudur: (i)
vandalisme atau pengrusakan oleh pengunjung; (ii) erosi tanah di bagian tenggara situs; (iii)
analisis dan pengembalian bagian-bagian yang hilang.[47] Tanah yang gembur, beberapa kali
gempa bumi, dan hujan lebat dapat menggoyahkan struktur bangunan ini. Gempa bumi
adalah faktor yang paling parah, karena tidak saja batuan dapat jatuh dan pelengkung
ambruk, tanah sendiri bergerak bergelombang yang dapat merusak struktur
bangunan.[47] Meningkatnya popularitas stupa menarik banyak pengunjung yang kebanyakan
adalah warga Indonesia. Meskipun terdapat banyak papan peringatan untuk tidak menyentuh
apapun, pengumandangan peringatan melalui pengeras suara dan adanya penjaga,
vandalisme berupa pengrusakan dan pencorat-coretan relief dan arca sering terjadi, hal ini
jelas merusak situs ini. Pada 2009, tidak ada sistem untuk membatasi jumlah wisatawan yang
boleh berkunjung per hari, atau menerapkan tiap kunjungan harus didampingi pemandu agar
pengunjung selalu dalam pengawasan.[47]
Pada 11 Februari 2022, pemerintah meresmikan status Candi Borobudur (bersama dengan
Candi Pawon dan Mendut) kembali sebagai tempat peribadatan umat Buddhis di Indonesia
dan dunia. Selain Candi Borobudur, Candi Prambanan juga diresmikan statusnya sebagai
tempat peribadatan umat Hindu. Pengembalian status ini dicanangkan melalui sebuah nota
kesepakatan yang disepakati antara Pemerintah Daerah Yogyakarta, Pemerintah Provinsi
Jateng, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi,
Kementerian BUMN, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Nota kesepakatan ini
bertujuan untuk mengembalikan fungsi keempat candi tersebut sebagai tempat peribadatan,
setelah sebelumnya lebih banyak menjadi objek penelitian, cagar pariwisata, dan cagar
budaya.[10]
Rehabilitasi[sunting | sunting sumber]
Borobudur sangat terdampak letusan Gunung Merapi pada Oktober dan November 2010.
Debu vulkanik dari Merapi menutupi kompleks candi yang berjarak 28 kilometer (17 mi) arah
barat-barat daya dari kawah Merapi. Lapisan debu vulkanik mencapai ketebalan 2,5
sentimeter (1 in)[48] menutupi bangunan candi kala letusan 3–5 November 2010, debu juga
mematikan tanaman di sekitar, dan para ahli mengkhawatirkan debu vulkanik yang secara
kimia bersifat asam dapat merusak batuan bangunan bersejarah ini. Kompleks candi ditutup
5 sampai 9 November 2010 untuk membersihkan luruhan debu.[49][50]
Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan Merapi 2010, UNESCO telah
menyumbangkan dana sebesar 3 juta dollar AS untuk mendanai upaya rehabilitasi.
Membersihkan candi dari endapan debu vulkanik akan menghabiskan waktu sedikitnya 6
bulan, disusul penghijauan kembali dan penanaman pohon di lingkungan sekitar untuk
menstabilkan suhu, dan terakhir menghidupkan kembali kehidupan sosial dan ekonomi
masyarakat setempat.[51] Lebih dari 55.000 blok batu candi harus dibongkar untuk
memperbaiki sistem tata air dan drainase yang tersumbat adonan debu vulkanik bercampur
air hujan. Restorasi berakhir November 2011, lebih awal dari perkiraan semula. [52]

Arsitektur[sunting | sunting sumber]


Borobudur dilihat dari pelataran

sudut barat laut Denah Borobudur membentuk Mandala,

lambang alam semesta dalam kosmologi Buddha.

Model Borobudur Lorong koridor dengan galeri dinding berukir relief


Borobudur merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, sebagai contoh puncak
pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa. Bangunan
ini diilhami gagasan dharma dari India, antara lain stupa, dan mandala, tetapi dipercaya juga
merupakan kelanjutan unsur lokal; struktur megalitik punden berundak atau piramida
bertingkat yang ditemukan dari periode prasejarah Indonesia. Sebagai perpaduan antara
pemujaan leluhur asli Indonesia dan perjuangan mencapai Nirwana dalam ajaran Buddha.[3]
Konsep rancang bangun[sunting | sunting sumber]
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk
pola Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan
lingkaran konsentris yang melambangkan kosmos atau alam semesta yang lazim ditemukan
dalam Buddha aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur
menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana yang secara bersamaan
menggambarkan kosmologi yaitu konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran
dalam ajaran Buddha.[53] Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh
tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 meter (404 ft) pada tiap sisinya. Bangunan ini
memiliki sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga teras teratas
berbentuk lingkaran.
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki
Borobudur.[36] Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 di antaranya adalah berkisah
tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan
petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief. [54] Kaki asli ini tertutup
oleh penambahan struktur batu yang membentuk pelataran yang cukup luas, fungsi
sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa penambahan kaki ini untuk
mencegah kelongsoran monumen.[54] Teori lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini
disebabkan kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab
India mengenai arsitektur dan tata kota.[36] Apapun alasan penambahan kaki ini, penambahan
dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan
keagamaan, estetik, dan teknis.
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai
oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan
batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki asli
yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga yang
kini tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan
sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu
andesit kaki tambahan yang menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000 meter
kubik.[5]
Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi
galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi.
Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief
seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia
yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan
bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam
atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau
relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca Buddha
di dalam relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan.[5] Pada pagar
langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari
ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai
ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa
kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.
Arupadhatu
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai kelima
hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang
berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan
ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan
dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran
lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan
yang mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk
lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24,
dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang
berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya
berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa
yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu
masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep
peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak
terlihat.[butuh rujukan]

Anda mungkin juga menyukai