MALIOBORO merupakan salah satu jalan paling populer di Yogya. Selain berada di jantung kota,
Malioboro menjadi cukup dikenal karena cerita sejarah yang menyertainya. Keberadaan Malioboro
sering pula dikaitkan dengan tiga tempat sakral di Yogya yakni Gunung Merapi, Kraton dan Pantai
Selatan.
Dalam Bahasa Sansekerta, kata Malioboro bermakna karangan bunga. Kata Malioboro juga
berasal dari nama seorang kolonial Inggris yang bernama Marlborough yang pernah tinggal disana
pada tahun 1811 - 1816 M. Pendirian jalan malioboro bertepatan dengan pendirian Kraton
Yogyakarta.
Awalnya Jalan Malioboro ditata sebagai sumbu imaginer antara Pantai Selatan (Pantai
Parangkusumo) - Kraton Yogya - Gunung Merapi. Malioboro mulai ramai pada era kolonial 1790
saat pemerintah Belanda membangun benteng Vredeburg pada tahun 1790 di ujung selatan jalan ini.
Selain membangun benteng, Belanda juga membangun Dutch Club tahun 1822, The Dutch
Governor’s Residence tahun 1830, Java Bank dan Kantor Pos tak lama setelahnya. Setelah itu
Malioboro berkembang kian pesat karena perdaganagan antara orang belanda dengan pedagang
Tiong Hoa. Tahun 1887 Jalan Malioboro dibagi menjadi dua dengan didirikannya tempat
pemberhentian kereta api yang kini bernama Stasiun Tugu Yogya.
Jalan Malioboro juga memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di sisi
selatan Jalan Malioboro pernah terjadi pertempuran sengit antara pejuang tanah air melawan
pasukan kolonial Belanda yang ingin menduduki Yogya. Pertempuran itu kemudian dikenal dengan
peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yakni keberhasilan pasukan merah putih menduduki
Yogya selama enam jam dan membuktikan kepada dunia bahwa angkatan perang Indonesia tetap
ada.
Malioboro terus berkembang hingga saat ini. Dengan tetap mempertahankan konsep aslinya dahulu,
Malioboro jadi pusat kehidupan masyarakat Yogya. Tempat-tempat strategis seperti Kantor
Gubernur DIY, Gedung DPRD DIY, Pasar Induk Beringharjo hingga Istana Presiden Gedung
Agung juga berada di kawasan ini.
Pemerintah setempat kini terus melakukan perbaikan untuk menata Malioboro menjadi kawasan
yang nyaman untuk disinggahi. Awal tahun 2016 ini pemerintah telah berhasil mensterilkan parkir
kendaraan dari Malioboro dan tengah menata kawasan ini di sisi timur untuk pedestrian. Warung-
warung lesehan hingga saat ini masih dipertahankan untuk mempertahankan ciri khas Malioboro.
BOROBUDUR
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya
terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief
dan aslinya terdapat 504 arca Buddha.[4] Borobudur memiliki koleksi relief Buddha
terlengkap dan terbanyak di dunia.[3] Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus
memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang
yang di dalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai
sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda
dharma)
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat
suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk
menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan
kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.[5] Para peziarah masuk melalui sisi timur
memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah
jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah
dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa
nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam
perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan
menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan
pagar langkan
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun
umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di
Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur
adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.
Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini.
Pada masa penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha
lainnya yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu
garis lurus.[17] Awalnya diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan
dongeng penduduk setempat, dulu terdapat jalan berlapis batu yang dipagari pagar
langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi ini. Tidak ditemukan
bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan mungkin ini hanya
dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada kesatuan perlambang
dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki
kemiripan langgam arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berasal dari periode
yang sama yang memperkuat dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini.
Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah
dilakukan, belum diketahui secara pasti.
Danau purba
Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur
dibangun di atas bukit dengan ketinggian 265 m (869 ft) dari permukaan laut dan
15 m (49 ft) di atas dasar danau purba yang telah mengering.[18] Keberadaan danau
purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-
20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur dibangun di tepi atau bahkan di
tengah danau. Pada 1931, seorang seniman dan pakar arsitektur Hindu Buddha,
W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya adalah sebuah
danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung di
atas permukaan danau.[13] Bunga teratai baik dalam bentuk padma (teratai merah),
utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam semua
ikonografi seni keagamaan Buddha. seringkali digenggam oleh Boddhisatwa sebagai
laksana (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha atau sebagai lapik
stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan postur
Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam
naskah keagamaan Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian
menyebar ke Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga
diduga melambangkan kelopak bunga teratai.[18] Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang
terdengar luar biasa dan fantastis ini banyak menuai bantahan dari para arkeolog.
pada daratan di sekitar monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang
membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi ini
adalah daratan kering, bukan dasar danau purba
Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa
tunggal yang sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang
luar biasa besar dan berat ini membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek
perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti
menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah
perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:
Asal usul malioboro Asal usul malioboro – Malioboro adalah sebuah Jalan
sepanjang tidak lebih dari 2 Kilo Meter yang membentang mulai dari persimpangan Rel
Kereta Api Stasiun Tugu Yogyakarta diujung utara hingga pertigaan pojokan Gedung Agung
diujung Selatan. Malioboro adalah sebuah Jalan legendaris yang menjadi ikon Kota
Yogyakarta dengan kehidupan kontras antara siang dan malamnya. Saat siang hari, ruas Jalan
Malioboro dipadati kendaraan para pelancong maupun warga Yogyakarta yang beraktifitas
disekitar Jalan Malioboro, sementara dikanan-kiri jalan adalah toko-toko berbagai macam
kebutuhan pokok, serta sepanjang trotoar kaki limanya dijejali lapak-lapak penjaja souvenir
khas Yogyakarta, kemudian diujung selatannya ada pasar Beringharjo, tak ketinggalan
sejumlah pusat perbelanjaan dan hotel yang mengguratkan kehidupan perekonomian warga
Yogyakarta.
Sebaliknya pada malam hari, Malioboro dipenuhi aroma berbagai sajian kuliner
yang menggugah selera, yang terhampar di ratusan tikar Warung lesehan dengan menu khas
Gudeg Yogya, Bakmi Jawa, dan berbagai pilihan Ayam/ Burung dara/ Bebek bakar dan
goreng. Keriuhan suasana lesehan akan ditimpali oleh alunan sejumlah seniman yang
melantunkan musik dan lagu secara nomaden….dalam istilah kuno disebut sebagai
“mbarang” atau pengamen. Sejarah Asal usul malioboro Jogja Ditinjau dari segi bahasa, kata
malioboro berasal dari bahasa sansakerta yg berarti karangan bunga. Dahulu kawasan
Malioboro dikembangkan oleh Sri Sultan HB I pada th 1758, kawasan itu sebelumnya
dipakai untuk sarana perdagangan melalui pasar tradisional, dahulu di kawasan itu banyak
terdapat karangan bunga sebagai daya tarik, maka sangat wajar jika kemudian kawasan itu
dinamakan Malioboro.Ditinjau dari segi letaknya, Malioboro berada berada segaris dengan
gunung merapi, kraton dan pantai parang tritis jogja. Asal usul malioboro Malioboro terletak
800 meter dari Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Jalan maliboro yogyakarta dulunya
pernah menjadi basis perjuangan tentara Indonesia saat terjadi agresi militer belanda. Jalan
malioboro diapit oleh bangunan gedung perkantoran dan gedung pertokoan sehingga
malioboro bisa berkembang menjadi pusat bisnis seperti sekarang ini di Yogyakarta.
Malioboro juga menjadi tempat berkumpulnya para seniman dan sastrawan dari berbagai
daerah yang bermukim di Yogyakarta, ujar suwarto 54 warga jogja yang berprofesi sebagai
tukang becak di kawasan malioboro.
Kawasan Malioboro sebagai salah satu kawasan wisata belanja andalan kota Jogja,
ini didukung oleh adanya pertokoan, rumah makan, pusat perbelanjaan, dan tak ketinggalan
para pedagang kaki limanya. Untuk pertokoan, pusat perbelanjaan dan rumah makan yang
ada sebenarnya sama seperti pusat bisnis dan belanja di kota-kota besar lainnya, yang
disemarakan dengan nama-merk besar dan ada juga nama-nama lokal. Barang yang
diperdagangkan dari barang import maupun lokal, dari kebutuhan sehari-hari sampai dengan
barang elektronika, mebel dan lain sebagainya. Juga menyediakan aneka kerajinan, misal
batik, wayang, ayaman, tas dan lain sebagainya. Terdapat pula tempat penukaran mata uang
asing, bank, hotel bintang lima hingga tipe melati.
Keramaian dan semaraknya Malioboro juga tidak terlepas dari banyaknya pedagang
kaki lima yang berjajar sepanjang jalan Malioboro menjajakan dagangannya, hampir
semuanya yang ditawarkan adalah barang/benda khas Jogja sebagai souvenir/oleh-oleh bagi
para wisatawan. Mereka berdagang kerajinan rakyat khas Jogjakarta, antara lain kerajinan
ayaman rotan, kulit, batik, perak, bambu dan lainnya, dalam bentuk pakaian batik, tas kulit,
sepatu kulit, hiasan rotan, wayang kulit, gantungan kunci bambu, sendok/garpu perak,
blangkon batik [semacan topi khas Jogja/Jawa], kaos dengan berbagai model/tulisan dan
masih banyak yang lainnya. Para pedagang kaki lima ini ada yang menggelar dagangannya
diatas meja, gerobak adapula yang hanya menggelar plastik di lantai. Sehingga saat
pengunjung Malioboro cukup ramai saja antar pengunjung akan saling berdesakan karena
sempitnya jalan bagi para pejalan kaki karena cukup padat dan banyaknya pedagang di sisi
kanan dan kiri. Dan ini juga perlu di waspadai atau mendapat perhatian khusus karena
kawasan Malioboro menjadi rawan akan tindak kejahatan, ini terbukti dengan tidak
sedikitnya laporan ke pihak kepolisian terdekat soal pencopetan atau penodongan, dan tidak
jarang pula wisatan asing juga menjadi korban kejahatan dan ini sangat memalukan
sebenarnya.
JOGJAKARTA