Anda di halaman 1dari 8

MALIOBORO

MALIOBORO merupakan salah satu jalan paling populer di Yogya. Selain berada di jantung kota,
Malioboro menjadi cukup dikenal karena cerita sejarah yang menyertainya. Keberadaan Malioboro
sering pula dikaitkan dengan tiga tempat sakral di Yogya yakni Gunung Merapi, Kraton dan Pantai
Selatan.

Dalam Bahasa Sansekerta, kata Malioboro bermakna karangan bunga. Kata Malioboro juga
berasal dari nama seorang kolonial Inggris yang bernama Marlborough yang pernah tinggal disana
pada tahun 1811 - 1816 M. Pendirian jalan malioboro bertepatan dengan pendirian Kraton
Yogyakarta.

Awalnya Jalan Malioboro ditata sebagai sumbu imaginer antara Pantai Selatan (Pantai
Parangkusumo) - Kraton Yogya - Gunung Merapi. Malioboro mulai ramai pada era kolonial 1790
saat pemerintah Belanda membangun benteng Vredeburg pada tahun 1790 di ujung selatan jalan ini.

Selain membangun benteng, Belanda juga membangun Dutch Club tahun 1822, The Dutch
Governor’s Residence tahun 1830, Java Bank dan Kantor Pos tak lama setelahnya. Setelah itu
Malioboro berkembang kian pesat karena perdaganagan antara orang belanda dengan pedagang
Tiong Hoa. Tahun 1887 Jalan Malioboro dibagi menjadi dua dengan didirikannya tempat
pemberhentian kereta api yang kini bernama Stasiun Tugu Yogya.

Jalan Malioboro juga memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di sisi
selatan Jalan Malioboro pernah terjadi pertempuran sengit antara pejuang tanah air melawan
pasukan kolonial Belanda yang ingin menduduki Yogya. Pertempuran itu kemudian dikenal dengan
peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yakni keberhasilan pasukan merah putih menduduki
Yogya selama enam jam dan membuktikan kepada dunia bahwa angkatan perang Indonesia tetap
ada.

Malioboro terus berkembang hingga saat ini. Dengan tetap mempertahankan konsep aslinya dahulu,
Malioboro jadi pusat kehidupan masyarakat Yogya. Tempat-tempat strategis seperti Kantor
Gubernur DIY, Gedung DPRD DIY, Pasar Induk Beringharjo hingga Istana Presiden Gedung
Agung juga berada di kawasan ini.

Pemerintah setempat kini terus melakukan perbaikan untuk menata Malioboro menjadi kawasan
yang nyaman untuk disinggahi. Awal tahun 2016 ini pemerintah telah berhasil mensterilkan parkir
kendaraan dari Malioboro dan tengah menata kawasan ini di sisi timur untuk pedestrian. Warung-
warung lesehan hingga saat ini masih dipertahankan untuk mempertahankan ciri khas Malioboro.
BOROBUDUR

Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur,


Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di
sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah
barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama
Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa
Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia, [1][2] sekaligus
salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.

Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya
terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief
dan aslinya terdapat 504 arca Buddha.[4] Borobudur memiliki koleksi relief Buddha
terlengkap dan terbanyak di dunia.[3] Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus
memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang
yang di dalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai
sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda
dharma)

Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat
suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk
menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan
kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.[5] Para peziarah masuk melalui sisi timur
memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah
jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah
dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa
nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam
perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan
menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan
pagar langkan

Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring


melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya
pengaruh Islam.[6] Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan
1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur
Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian
upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun
1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO,
kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.[3]

Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun
umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di
Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur
adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.

Tiga candi serangkai

Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini.
Pada masa penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha
lainnya yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu
garis lurus.[17] Awalnya diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan
dongeng penduduk setempat, dulu terdapat jalan berlapis batu yang dipagari pagar
langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi ini. Tidak ditemukan
bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan mungkin ini hanya
dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada kesatuan perlambang
dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki
kemiripan langgam arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berasal dari periode
yang sama yang memperkuat dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini.
Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah
dilakukan, belum diketahui secara pasti.

Selain candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan


beberapa peninggalan purbakala lainnya, diantaranya berbagai temuan tembikar
seperti periuk dan kendi yang menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat
beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan purbakala di sekitar Borobudur kini
disimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur, yang terletak di sebelah utara
candi bersebelahan dengan Museum Samudra Raksa. Tidak seberapa jauh di sebelah
utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang disebut Candi
Banon. Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam
keadaan cukup baik yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan tetapi batu
asli Candi Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin dilakukan
rekonstruksi. Pada saat penemuannya arca-arca Banon diangkut ke Batavia (kini
Jakarta) dan kini disimpan di Museum Nasional Indonesia.

Danau purba

Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur
dibangun di atas bukit dengan ketinggian 265 m (869 ft) dari permukaan laut dan
15 m (49 ft) di atas dasar danau purba yang telah mengering.[18] Keberadaan danau
purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-
20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur dibangun di tepi atau bahkan di
tengah danau. Pada 1931, seorang seniman dan pakar arsitektur Hindu Buddha,
W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya adalah sebuah
danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung di
atas permukaan danau.[13] Bunga teratai baik dalam bentuk padma (teratai merah),
utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam semua
ikonografi seni keagamaan Buddha. seringkali digenggam oleh Boddhisatwa sebagai
laksana (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha atau sebagai lapik
stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan postur
Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam
naskah keagamaan Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian
menyebar ke Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga
diduga melambangkan kelopak bunga teratai.[18] Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang
terdengar luar biasa dan fantastis ini banyak menuai bantahan dari para arkeolog.
pada daratan di sekitar monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang
membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi ini
adalah daratan kering, bukan dasar danau purba

Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp


dengan menunjukkan bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini. [19]
Sebuah penelitian stratigrafi, sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan
tahun 2000 mendukung keberadaan danau purba di lingkungan sekitar Borobudur,[18]
yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan danau purba ini
naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti menunjukkan bahwa dasar
bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan menjadi tepian danau sekitar
abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki andil
turut mengubah bentang alam dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk
danau nya. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi
yang terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa Pleistosen.
Tahapan pembangunan Borobudur

Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa
tunggal yang sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang
luar biasa besar dan berat ini membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek
perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti
menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah
perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:

1. Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti


(diperkirakan kurun 750 dan 850 M). Borobudur dibangun di atas bukit alami,
bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar diperluas. Sesungguhnya
Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari batu andesit, bagian bukit tanah
dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga menyerupai cangkang yang
membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit ditutup struktur batu lapis demi lapis.
Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai
piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang
dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur asli piramida
berundak.
2. Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak
melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.
3. Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan
stupa tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-
stupa yang lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak
ini dengan satu stupa induk yang besar di tengahnya. Karena alasan tertentu
pondasi diperlebar, dibangun kaki tambahan yang membungkus kaki asli
sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Para arkeolog menduga bahwa
Borobudur semula dirancang berupa stupa tunggal yang sangat besar memahkotai
batur-batur teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini terlalu berat sehingga
mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut diingat bahwa inti
Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada bagian atas akan
disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga Borobudur terancam longsor
dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk membongkar stupa induk tunggal
yang besar dan menggantikannya dengan teras-teras melingkar yang dihiasi
deretan stupa kecil berterawang dan hanya satu stupa induk. Untuk menopang
agar dinding candi tidak longsor maka ditambahkan struktur kaki tambahan yang
membungkus kaki asli. Struktur ini adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat
pinggang yang mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh keluar,
sekaligus menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
4. Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan
pagar langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta
pelebaran ujung kaki.
MALIOBORO

Asal usul malioboro Asal usul malioboro – Malioboro adalah sebuah Jalan
sepanjang tidak lebih dari 2 Kilo Meter yang membentang mulai dari persimpangan Rel
Kereta Api Stasiun Tugu Yogyakarta diujung utara hingga pertigaan pojokan Gedung Agung
diujung Selatan. Malioboro adalah sebuah Jalan legendaris yang menjadi ikon Kota
Yogyakarta dengan kehidupan kontras antara siang dan malamnya. Saat siang hari, ruas Jalan
Malioboro dipadati kendaraan para pelancong maupun warga Yogyakarta yang beraktifitas
disekitar Jalan Malioboro, sementara dikanan-kiri jalan adalah toko-toko berbagai macam
kebutuhan pokok, serta  sepanjang trotoar kaki limanya dijejali  lapak-lapak penjaja souvenir
khas Yogyakarta, kemudian diujung selatannya ada pasar Beringharjo, tak ketinggalan
sejumlah pusat perbelanjaan dan hotel yang mengguratkan kehidupan perekonomian warga
Yogyakarta.
Sebaliknya pada malam hari, Malioboro dipenuhi aroma berbagai sajian kuliner
yang menggugah selera, yang terhampar di ratusan tikar Warung lesehan dengan menu khas
Gudeg Yogya, Bakmi Jawa, dan berbagai pilihan Ayam/ Burung dara/ Bebek bakar dan
goreng. Keriuhan suasana lesehan akan ditimpali oleh alunan sejumlah seniman yang
melantunkan musik dan lagu secara nomaden….dalam istilah kuno disebut sebagai
“mbarang” atau pengamen. Sejarah Asal usul malioboro Jogja Ditinjau dari segi bahasa, kata
malioboro berasal dari bahasa sansakerta yg berarti karangan bunga. Dahulu kawasan
Malioboro dikembangkan oleh Sri Sultan HB I pada th 1758, kawasan itu sebelumnya
dipakai untuk sarana perdagangan melalui pasar tradisional, dahulu di kawasan itu banyak
terdapat karangan bunga sebagai daya tarik, maka sangat wajar jika kemudian kawasan itu
dinamakan Malioboro.Ditinjau dari segi letaknya, Malioboro berada berada segaris dengan
gunung merapi, kraton dan pantai parang tritis jogja. Asal usul malioboro Malioboro terletak
800 meter dari Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Jalan maliboro yogyakarta dulunya
pernah menjadi basis perjuangan tentara Indonesia saat terjadi agresi militer belanda. Jalan
malioboro diapit oleh bangunan gedung perkantoran dan gedung pertokoan sehingga
malioboro bisa berkembang menjadi pusat bisnis seperti sekarang ini di Yogyakarta.
Malioboro juga menjadi tempat berkumpulnya para seniman dan sastrawan dari berbagai
daerah yang bermukim di Yogyakarta, ujar suwarto 54 warga jogja yang berprofesi sebagai
tukang becak di kawasan malioboro.
Kawasan Malioboro sebagai salah satu kawasan wisata belanja andalan kota Jogja,
ini didukung oleh adanya pertokoan, rumah makan, pusat perbelanjaan, dan tak ketinggalan
para pedagang kaki limanya. Untuk pertokoan, pusat perbelanjaan dan rumah makan yang
ada sebenarnya sama seperti pusat bisnis dan belanja di kota-kota besar lainnya, yang
disemarakan dengan nama-merk besar dan ada juga nama-nama lokal. Barang yang
diperdagangkan dari barang import maupun lokal, dari kebutuhan sehari-hari sampai dengan
barang elektronika, mebel dan lain sebagainya. Juga menyediakan aneka kerajinan, misal
batik, wayang, ayaman, tas dan lain sebagainya. Terdapat pula tempat penukaran mata uang
asing, bank, hotel bintang lima hingga tipe melati.
Keramaian dan semaraknya Malioboro juga tidak terlepas dari banyaknya pedagang
kaki lima yang berjajar sepanjang jalan Malioboro menjajakan dagangannya, hampir
semuanya yang ditawarkan adalah barang/benda khas Jogja sebagai souvenir/oleh-oleh bagi
para wisatawan. Mereka berdagang kerajinan rakyat khas Jogjakarta, antara lain kerajinan
ayaman rotan, kulit, batik, perak, bambu dan lainnya, dalam bentuk pakaian batik, tas kulit,
sepatu kulit, hiasan rotan, wayang kulit, gantungan kunci bambu, sendok/garpu perak,
blangkon batik [semacan topi khas Jogja/Jawa], kaos dengan berbagai model/tulisan dan
masih banyak yang lainnya. Para pedagang kaki lima ini ada yang menggelar dagangannya
diatas meja, gerobak adapula yang hanya menggelar plastik di lantai. Sehingga saat
pengunjung Malioboro cukup ramai saja antar pengunjung akan saling berdesakan karena
sempitnya jalan bagi para pejalan kaki karena cukup padat dan banyaknya pedagang di sisi
kanan dan kiri. Dan ini juga perlu di waspadai atau mendapat perhatian khusus karena
kawasan Malioboro menjadi rawan akan tindak kejahatan, ini terbukti dengan tidak
sedikitnya laporan ke pihak kepolisian terdekat soal pencopetan atau penodongan, dan tidak
jarang pula wisatan asing juga menjadi korban kejahatan dan ini sangat memalukan
sebenarnya.
JOGJAKARTA

Keberadaan kota Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari kerajaan Mataram


Islam yang didirikan oleh Raden Sutawijaya atau yang kemudian lebih terkenal
dengan Panembahan Senopati. Raden Sutawijaya sendiri memperoleh kekuasaan atas
Mataram dari ayahnya Ki Ageng Pemanahan. Sementara Ki Ageng Pemanahan
mendapat tanah perdikan bumi Mataram dari Sultan Hadiwijaya dari Pajang pada
tahun 1556, karena berhasil menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya dari Pajang kemudian Raden Sutawijaya
memerdekakan Mataram, terpisah dari Pajang dan memerintah sebagai raja pertama
Mataram dengan bergelar Senopati Ing Alogo Kalifatulah Tanah Jawa dan berkuasa
pada tahung 1587 hingga tahun 1601.
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari
1755, antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob
Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua menjadi Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Ngayogyakarta. Kemudian Pangeran Mangkubumi berkuasa sebagai
Sultan Kasultanan Ngayogyakarta yang pertama dengan bergelar Sultan
Hamengkubuwana I. Sultan kemudian segera membuat ibukota kerajaan beserta
istananya yang baru dengan membuka daerah baru ( babat alas ) di Umbul
Pacethokan kawasan Hutan Paberingan yang terletak antara aliran Sungai Winongo
dan Sungai Code. Ibukota berikut istananya tersebut dinamakan Ngayogyakarta
Hadiningrat dan landscape utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756.
Pemilihan nama Ngayogyakarta Hadiningrat ini konon juga dimaksudkan untuk
menghormati tempat bersejarah kawasan Hutan Beringan itu, yang pada jaman
almarhum Sri Susuhunan Amangkurat IV (Amangkurat Jawi ) merupakan kota kecil
yang indah. Di dalamnya terdapat sebuah istana pesanggrahan yang terkenal dengan
nama Garjitawati. Kemudian pada jaman Sri Susuhunan Paku Buwono II bertahta di
Kartasura nama pesanggrahan itu diganti dari Garjitawati menjadi Ayodya atau
Ngayogya, yang berarti kota yang damai, aman dan tenteram.
Kraton Kasultanan Yogyakarta mulai dibangun pada tanggal 9 Oktober
1755. Selama pembangunan keraton berlangsung, Sultan dan keluarga tinggal di
Pesanggrahan Ambarketawang di daerah Gamping, kurang lebih selama satu tahun.
Pada hari Kamis Pahing, tanggal 7 Oktober 1756 selama satu tahun. Meski belum
selesai dengan sempurna, Sultan dan keluarga berkenan menempatinya. Peresmian di
saat raja dan keluarganya menempati kraton ditandai dengan candra sangkala Dwi
Naga Rasa Tunggal Dalam tahun Jawa sama dengan 1682, tanggal 13 Jimakir yang
bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1756.
Setelah kraton mulai ditempati kemudian berdiri pula bangunan-bangunan
lain, kraton dikelilingi oleh tembok yang tebal yang disebut Benteng Baluwerti. Di
dalamnya terdapat beberapa bangunan dengan aneka rupa dan fungsi. Bangunan
kediaman sultan dan kerabat dekatnya dinamakan Prabayeksa, selesai dibangun tahun
1546. Bangunan Sitihinggil dan Pagelaran selesai dibangun tahun 1757. Gapura
penghubung Dana Pertapa dan Kemagangan selesai tahun 1751 dan 1763. Masjid
Agung didirikan tahun 1771. Benteng besar yang mengelilingi kraton selesai tahun
1777. Bangsal Kencana selesai tahun 1792. Demikian kraton Yogyakarta berdiri
dengan perkembangan yang senantiasa terjadi dari waktu ke waktu.
Menyusul kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,
kemudian pada tanggal 5 September 1945 Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku
raja Ngayogyakarta Hadiningrat dan Sri Paku Alam VIII sebagai adipati kabupaten
Pakualaman mengeluarkan dekrit yang menyatakan Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman menjadi bagian dari NKRI. Sehari kemudian
pada tanggal 6 September 1945 Presiden Sukarno menjawab dengan piagam
penetapan yang mengakui Yogyakarta sebagai daerah istimewa. Pada tanggal 4 Maret
1950 terbit UU No.3 tahun 1950 yang berisi penetapan Daerah Istimewa Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai