Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah,
Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah
barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh
para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan
wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia, sekaligus salah satu
monumen Buddha terbesar di dunia.

Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran
melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha.
Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia. Stupa utama terbesar
teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa
berlubang yang di dalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai
sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).

Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan
Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam
nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha. Para peziarah masuk
melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah
jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi
Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud),
dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian
lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada
dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh
Kerajaan Hindu-Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari
keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu
menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami
serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun
1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah
ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.

Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang
datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci
Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah objek wisata tunggal di Indonesia yang paling
banyak dikunjungi wisatawan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah candi Borobudur?


2. Bagaimana bentuk arsitektur candi Borobudur?
3. Bagaimana bentuk relief candi Borobudur?
4. Bagaimana bentuk arca Buda di Candi Borobudur?

C. Tujuan Pembuatan Makalah

1. Untuk mengetahui sejarah awal mula terbentuknya candi Borobudur


2. Bisa mengambil pemahaman yang belum diketahui di candi Borobudur
3. Mengetahui isi keindahan yang ada di candi Borobudur

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Candi Borobudur

Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa
kegunaannya. Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis aksara
yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada
prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi.
Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa
Syailendra di Jawa Tengah, yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan
Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 – 100 tahun lebih dan benar-benar dirampungkan
pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.

Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu beragama
Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana
yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin
awalnya beragama Hindu Siwa. Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan
Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama Siwa
Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan
Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mi) sebelah timur dari Borobudur. Candi Buddha
Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di dataran
Prambanan, meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh
lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850
M.

Pembangunan candi-candi Buddha termasuk Borobudur saat itu dimungkinkan karena pewaris
Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi.
Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan
kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang
dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti
Kalasan berangka tahun 778 Masehi. Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada
masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan
dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi
Buddha, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa
kerajaan pada masa itu wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang
memuja Siwa yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di
perbukitan Ratu Boko.

Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi megah yang
dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk
menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa Syailendra, akan tetapi banyak pihak percaya
bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa
ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.

B. Arsitektur Candi Borobudur

Borobudur merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, sebagai contoh puncak pencapaian
keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa. Bangunan ini diilhami gagasan
dharma dari India, antara lain stupa, dan mandala, tetapi dipercaya juga merupakan kelanjutan
unsur lokal; struktur megalitik punden berundak atau piramida bertingkat yang ditemukan dari
periode prasejarah Indonesia. Sebagai perpaduan antara pemujaan leluhur asli Indonesia dan
perjuangan mencapai Nirwana dalam ajaran Buddha.

1. Konsep rancang bangun

Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk pola
Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran
konsentris yang melambangkan kosmos atau alam semesta yang lazim ditemukan dalam Buddha
aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur menggambarkan secara
jelas filsafat mazhab Mahayana yang secara bersamaan menggambarkan kosmologi yaitu konsep
alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran dalam ajaran Buddha. Bagaikan sebuah kitab,
Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai
kesempurnaan menjadi Buddha. Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 meter (404 ft) pada
tiap sisinya. Bangunan ini memiliki sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur sangkar
dan tiga teras teratas berbentuk lingkaran.

Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur. Kaki
tersembunyi ini terdapat relief yang 160 di antaranya adalah berkisah tentang Karmawibhangga.
Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan petunjuk bagi pengukir untuk
membuat adegan dalam gambar relief. Kaki asli ini tertutup oleh penambahan struktur batu yang
membentuk pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya
diduga bahwa penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran monumen. Teori lain
mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak
sesuai dengan Wastu Sastra, kitab India mengenai arsitektur dan tata kota. Apapun alasan
penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti
dengan mempertimbangkan alasan keagamaan, estetik, dan teknis.
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:

a. Kamadhatu

Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh
kama atau “nafsu rendah”. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang
diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup
struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga yang kini tersembunyi.
Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat
melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan yang
menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.

b. Rupadhatu

Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri
relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri
dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan
1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri
dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam
antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung
Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar.

Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di
pagar langkan. Pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang
melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan
paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya
dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan
ukiran relief.

c. Arupadhatu

Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai kelima hingga
ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak
berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini
melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan
bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72
dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa
besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran
yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya
lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit
lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar.
Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti
dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun
ini dengan cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca
Buddha itu ada tetapi tak terlihat.

Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan


berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di
dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau
disebut juga Buddha yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung
‘Adibuddha’, padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa
utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu.
Menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh
dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak
patung seperti ini. Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan
tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna di mana jiwa manusia sudah
tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas dari lingkaran samsara.

2. Struktur bangunan

Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat penatahan
untuk membangun monumen ini. Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut
menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai
semen sama sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-balok lego
yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan lubang
yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk “ekor merpati” yang mengunci dua blok
batu. Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan dinding rampung. Monumen ini
dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah dengan curah hujan yang
tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang di setiap sudut,
masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa kala atau makara.

Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak dibangun di atas
permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik pembangunannya serupa
dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti
candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit.
Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara umum
rancang bangun Borobudur mirip dengan piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat
Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan.
Borobudur mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada kuil atau
candi. Stupa memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha.
Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha.
Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah. Rancangannya yang rumit
dari monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini memang sebuah bangunan tempat
peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur teras bertingkat-tingkat ini
diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk
arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.

Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama Gunadharma, sedikit


yang diketahui tentang arsitek misterius ini. Namanya lebih berdasarkan dongeng dan
legenda Jawa dan bukan berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda Gunadharma terkait
dengan cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai tubuh
orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh Gunadharma yang berbaring
berubah menjadi jajaran perbukitan Menoreh, tentu saja legenda ini hanya fiksi dan
dongeng belaka.

Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang wajah manusia
antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau jarak jengkal antara ujung ibu jari
dengan ujung jari kelingking ketika telapak tangan dikembangkan sepenuhnya. Tentu saja
satuan ini bersifat relatif dan sedikit berbeda antar individu, akan tetapi satuan ini tetap
pada monumen ini. Penelitian pada 1977 mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang
ditemukan di monumen ini. Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi
yang tepat dari suatu fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan Borobudur.
Rasio matematis ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut dan Pawon di
dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan tala memiliki fungsi dan makna
penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama juga berlaku di candi Angkor Wat di
Kamboja.

Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan puncak. Dasar
berukuran 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi 4 meter (13 ft). Tubuh candi terdiri
atas lima batur teras bujur sangkar yang makin mengecil di atasnya. Teras pertama mundur
7 meter (23 ft) dari ujung dasar teras. Tiap teras berikutnya mundur 2 meter (6.6 ft),
menyisakan lorong sempit pada tiap tingkatan. Bagian atas terdiri atas tiga teras melingkar,
tiap tingkatan menopang barisan stupa berterawang yang disusun secara konsentris.
Terdapat stupa utama yang terbesar di tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian 35
meter (115 ft) dari permukaan tanah. Tinggi asli Borobudur termasuk chattra (payung susun
tiga) yang kini dilepas adalah 42 meter (138 ft).

Tangga terletak pada bagian tengah keempat sisi mata angin yang membawa pengunjung
menuju bagian puncak monumen melalui serangkaian gerbang pelengkung yang dijaga 32
arca singa. Gawang pintu gerbang dihiasi ukiran Kala pada puncak tengah lowong pintu dan
ukiran makara yang menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui dalam
arsitektur pintu candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur, sekaligus titik awal untuk
membaca kisah relief. Tangga ini lurus terus tersambung dengan tangga pada lereng bukit
yang menghubungkan candi dengan dataran di sekitarnya.

C. Relief Candi Borobudur


Pada dinding candi di setiap tingkatan kecuali pada teras-teras Arupadhatu dipahatkan
panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus. Relief dan pola hias
Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus.
Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam
kesenian dunia Buddha. Relief Borobudur juga menerapkan disiplin seni rupa India, seperti
berbagai sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-relief berwujud
manusia mulia seperti pertapa, raja dan wanita bangsawan, bidadari atapun makhluk yang
mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa, sering kali
digambarkan dengan posisi tubuh tribhanga. Posisi tubuh ini disebut “lekuk tiga” yaitu
melekuk atau sedikit condong pada bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan
beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya dilekuk
beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan keanggunan, misalnya figur bidadari
Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh tribhanga sambil menggenggam teratai
bertangkai panjang.

Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia baik bangsawan,
rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta menampilkan bentuk
bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang
merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti
kehidupan masa lampau di Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan
mencermati dan merujuk ukiran relief Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung, istana
dan candi, bentuk perhiasan, busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa,
serta alat transportasi, dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah relief terkenal
yang menggambarkan Kapal Borobudur. Kapal kayu bercadik khas Nusantara ini
menunjukkan kebudayaan bahari purbakala. Replika bahtera yang dibuat berdasarkan relief
Borobudur tersimpan di Museum Samudra Raksa yang terletak di sebelah utara Borobudur.

Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa
Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini
bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita jātaka. Pembacaan cerita-
cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap
tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka
secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan
menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya
serupa benar.

Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut:

1. Karmawibhangga

Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang
terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Karmawibhangga adalah naskah yang
menggambarkan ajaran mengenai karma, yakni sebab-akibat perbuatan baik dan jahat.
Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura
menggambarkan suatu cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat. Relief tersebut tidak
saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman
yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara
keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir – hidup –
mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang
akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara yang terbuka dan
dapat dilihat oleh pengujung. Foto lengkap relief Karmawibhangga dapat disaksikan di
Museum Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.

2. Lalitawistara

Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan
merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari surga
Tushita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief
ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak
27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan
kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya
penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut
menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra
Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah
120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan
sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti
“hukum”, sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.

3. Jataka dan Awadana

Jataka adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran
Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela
berkorban dan suka menolong yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain
manapun juga. Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah yang melibatkan
tokoh satwa yang bersikap dan berpikir seperti manusia. Sesungguhnya, pengumpulan jasa
atau perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-
Buddha-an.

Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya
bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab
Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau
seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan
sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan
yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian
cerita Jataka, karya penyair Aryasura yang hidup dalam abad ke-4 Masehi.

4. Gandawyuha

Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang
berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang
Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab
suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya
berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.

D. Arca Buda di Candi Borobudur

Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di Borobudur
terdapat banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi teratai serta menampilkan mudra
atau sikap tangan simbolis tertentu. Patung buddha dengan tinggi 1,5 meter ini dipahat dari
bahan batu andesit. Patung buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur
berdasarkan barisan di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya semakin berkurang pada sisi
atasnya. Barisan pagar langkan pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 relung, baris
ketiga 88 relung, baris keempat 72 relung, dan baris kelima 64 relung. Jumlah total terdapat
432 arca Buddha di tingkat Rupadhatu. Pada bagian Arupadhatu (tiga pelataran melingkar),
arca Buddha diletakkan di dalam stupa-stupa berterawang (berlubang). Pada pelataran
melingkar pertama terdapat 32 stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga
terdapat 16 stupa, semuanya total 72 stupa. Dari jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha,
lebih dari 300 telah rusak (kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan
monumen ini, kepala buddha sering dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh
museum luar negeri).

Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan
halus di antaranya, yaitu pada mudra atau posisi sikap tangan. Terdapat lima golongan
mudra: Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah utama
kompas menurut ajaran Mahayana. Keempat pagar langkan memiliki empat mudra: Utara,
Timur, Selatan, dan Barat, di mana masing-masing arca buddha yang menghadap arah
tersebut menampilkan mudra yang khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan arca
Buddha di dalam 72 stupa berterawang di pelataran atas menampilkan mudra: Tengah atau
Pusat. Masing-masing mudra melambangkan lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan
makna simbolisnya tersendiri.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia, sekaligus salah satu monumen
Buddha terbesar di dunia. Pembangunan candi-candi Buddha termasuk Borobudur saat itu
dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat
Buddha untuk membangun candi. Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya,
Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk
pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan
Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778
Masehi.

Borobudur merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, sebagai contoh puncak
pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa. Bangunan
ini diilhami gagasan dharma dari India, antara lain stupa, dan mandala, tetapi dipercaya juga
merupakan kelanjutan unsur lokal; struktur megalitik punden berundak atau piramida
bertingkat yang ditemukan dari periode prasejarah Indonesia.

Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia baik bangsawan,
rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta menampilkan bentuk
bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang
merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa kuno.

B. Saran

Lestarikan dan kembangkan potensi warisan budaya agar Candi Borobudur yang sebagai
peninggalan bersejarah yang tak ternilai harganya ini mampu memaksimalkan potensi.
Sebaiknya upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk menjaga dan melestarikan Candi
Borobudur tersebut tetap menjadi daya tarik terutama dari segi kepariwisataan, arkeologi
dan ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA

Anomi. (1983). Pariwisata Jawa Tengah. Semarang: Dinas Pariwisata Jawa Tengah.

Moertjipto. (1993). Borobudur, Pawon, dan Mendut. Yogyakarta: Kanisus.

Soedirman. (1980). Borobudur Salah Satu Keajaiban Dunia. Yogyakarta: Pustaka Jaya.

Soeharsono. (1969). Petunjuk Singkat untuk Bangunan Suci Borobudur. Yogjakarta: Taman
Siswa Yogyakarta.

Soekmono. (1978). Candi Borobudur – Pusaka Budaya Umat Manusia. Jakarta: Pustaka Jaya.

Soetarno, R. (1994). Borobudur Selayang Padang. Solo: Tiga Serangkai.

Widya, Dharma. (2000). Riwayat Hidup Sang Budha Gautama. Jakarta: Yayasan Dana
Pendidikan Budhis.

Anda mungkin juga menyukai