Anda di halaman 1dari 14

Candi Borobudur

Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang terletak


di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Candi ini berlokasi di
kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah
barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi
berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha
Mahayana sekitar abad ke-8 masehi pada masa pemerintahan Dynasti
Syailendra. Candi Borobudur merupakan salah satu candi Buddha terbesar
di dunia. Candi Borobudur termasuk dalam tujuh keajaiban dunia.

Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang
diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi
dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha.
Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di
dunia. Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai
bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang
yang di dalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi
teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra
mudra (memutar roda dharma).

Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai


tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai
tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu
duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran
Buddha. Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar
candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam,
sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam
kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa
nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak
berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian
lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief
indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.

Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14


seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta
mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan
bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles,
yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa.
Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya
penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada
kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik
Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam
daftar Situs Warisan Dunia.

Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap


tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara
berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia
pariwisata, Borobudur adalah objek wisata tunggal di Indonesia yang paling
banyak dikunjungi wisatawan.

SEJARAH
Pembangunan Candi Borobudur

Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang


membangun Borobudur dan apa kegunaannya.Waktu pembangunannya
diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di
kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan
pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur
dibangun sekitar tahun 800 masehi. Kurun waktu ini sesuai dengan kurun
antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan Dynasti syailendra di Jawa
Tengah, yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan
Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan
benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan
raja Samaratungga pada tahun 825.

Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di


Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui
sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi
melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin
awalnya beragama Hindu Siwa. Pada kurun waktu itulah dibangun
berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti
Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan
pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan
Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6,2 mi) sebelah timur dari
Borobudur. Candi Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir
bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun
demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh
lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi
Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.

Pembangunan candi-candi Buddha (termasuk Borobudur) saat itu


dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan
izin kepada umat Buddha untuk membangun candi. Bahkan untuk
menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan
desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan
dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk
memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan
dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.[26] Petunjuk ini
dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama
tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan
dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan
mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya. Akan
tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa
itu — wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya
yang memuja Siwa — yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi
pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.[28] Ketidakjelasan
juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi megah
yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai
jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik
wangsa Syailendra,[28] akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat
suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua
wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi
Siwa di Prambanan.
Tahapan pembangunan Borobudur

Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah


stupa tunggal yang sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa
stupa raksasa yang luar biasa besar dan berat ini membahayakan tubuh
dan kaki candi sehingga arsitek perancang Borobudur memutuskan untuk
membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil
dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan tahapan
pembangunan Borobudur:

Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti


(diperkirakan kurun 750 dan 850 M). Borobudur dibangun di atas bukit
alami, bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar diperluas.
Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari batu andesit,
bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga
menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit
ditutup struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun
bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak, tetapi
kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun
tiga undakan pertama yang menutup struktur asli piramida berundak.

Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu
undak melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang
sangat besar.

Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran


dengan stupa tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak
lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada
pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang besar di
tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi diperlebar, dibangun kaki
tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief
Karmawibhangga. Para arkeolog menduga bahwa Borobudur semula
dirancang berupa stupa tunggal yang sangat besar memahkotai batur-
batur teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini terlalu berat sehingga
mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut diingat
bahwa inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada bagian
atas akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga Borobudur
terancam longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk membongkar
stupa induk tunggal yang besar dan menggantikannya dengan teras-teras
melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya satu
stupa induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak longsor maka
ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur
ini adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang yang mengikat
agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus
menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu

Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief,


penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung
atas gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki.

Borobudur diterlantarkan

Meletusnya Gunung Merapi diduga sebagai penyebab utama


diterlantarkannya Borobudur

Borobudur tersembunyi dan telantar selama berabad-abad terkubur di


bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon
dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai
bukit. Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga kini
masih belum diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan
suci ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan
1006, Raja Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke
kawasan Jawa Timur setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak
dapat dipastikan apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur
ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber menduga bahwa sangat
mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini.[6][18] Bangunan suci
ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu
Prapanca dalam naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa
kerajaan Majapahit. Ia menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu
Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini
mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan
kepada Islam pada abad ke-15.[6]
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat
Borobudur beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah
yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan kesialan, kemalangan
dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan
nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah
Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana,
pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan
Mataram pada 1709.[6] Disebutkan bahwa bukit "Redi Borobudur" dikepung
dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja.
Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini
dikaitkan dengan kesialan Pangeran Monconagoro, putra
mahkota Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada
1757.[30] Meskipun terdapat tabu yang melarang orang untuk mengunjungi
monumen ini, "Sang Pangeran datang dan mengunjungi satria yang
terpenjara di dalam kurungan (arca buddha yang terdapat di dalam stupa
berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan
meninggal dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada masa
Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai
tempat bersemayamnya roh halus dan dianggap wingit (angker) sehingga
dikaitkan dengan kesialan atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa
saja yang mengunjungi dan mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah
diduga, mungkin setelah situs ini tidak terurus dan ditutupi semak belukar,
tempat ini pernah menjadi sarang wabah penyakit seperti demam
berdarah atau malaria.

Penemuan Kembali

Foto pertama Borobudur oleh Isidore van Kinsbergen (1873) setelah


monumen ini dibersihkan dari tanaman yang tumbuh pada tubuh candi.
Bendera Belanda tampak pada stupa utama candi.

Teras tertinggi setelah restorasi Van Erp. Stupa utama memiliki menara
dengan chattra (payung) susun tiga.

Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa


di bawah pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga
1816. Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, dan
ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Ia
mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan membuat
catatan mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya
dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam perjalanannya keliling
Jawa. Pada kunjungan inspeksinya di Semarangtahun 1814, ia dikabari
mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa
Bumisegoro.[30] Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur
Jenderal, ia tidak dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan
mengutus H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki
keberadaan bangunan besar ini. Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200
bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di
bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi
ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan
semua lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk
menyerahkan berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun
penemuan ini hanya menyebutkan beberapa kalimat, Raffles dianggap
berjasa atas penemuan kembali monumen ini, serta menarik perhatian
dunia atas keberadaan monumen yang pernah hilang ini.[11]

Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan


Kedu meneruskan kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian
bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih
bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan
atas kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah
menemukan arca buddha besar di stupa utama.[31] Pada 1842, Hartmann
menyelidiki stupa utama meskipun apa yang ia temukan tetap menjadi
misteri karena bagian dalam stupa kosong.

Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur


pejabat Belanda bidang teknik, ia mempelajari monumen ini dan
menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk
melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang
dirampungkannya pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel
berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi sketsa-sketsa karya
Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama. Pemerintah Hindia
Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang
mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen.
Pada 1873, monograf pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur
diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Perancis
setahun kemudian.[31] Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh
ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.[32]

Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup
lama Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi
pencuri, penjarah candi, dan kolektor "pemburu artefak". Kepala arca
Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh
arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan
dijatuhkan oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di
Borobudur banyak ditemukan arca Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha
Borobudur telah lama menjadi incaran kolektor benda antik dan museum-
museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak budaya
menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya
dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian
dan pencurian yang marak di monumen.[32] Akibatnya, pemerintah
menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan
menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini;
laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan
menyarankan agar bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk
dipindahkan.

Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cenderamata, arca dan


ukirannya diburu kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs
bersejarah ini bahkan salah satunya direstui Pemerintah Kolonial. Pada
tahun 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa
di Hindia Belanda (kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki
beberapa bagian dari Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan
dan menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan bagian bangunan
Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain; lima arca
Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa,
beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca
penjaga dwarapalayang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus
meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan
dwarapala, kini dipamerkan di Museum Nasional Bangkok.[33]

Pemugaran

Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua


Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi.
[34]
Foto-foto yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat pada
kurun 1890–1891.[35] Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda
untuk mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900,
pemerintah membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti
monumen ini: Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp,
seorang insinyur yang juga anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer,
insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum

Penanaman beton dan pipa PVC untuk memperbaiki sistem drainase


Borobudur pada pemugaran tahun 1973

Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana


pelestarian Borobudur kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang
mendesak harus segera diatasi dengan mengatur kembali sudut-sudut
bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu lain di
sebelahnya, memperkuat pagar langkan pertama, dan memugar beberapa
relung, gerbang, stupa dan stupa utama. Kedua, memagari halaman candi,
memelihara dan memperbaiki sistem drainase dengan memperbaiki lantai
dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan longgar harus dipindahkan,
monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu yang rusak
dipindahkan dan stupa utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada
saat itu ditaksir sekitar 48.800 Gulden.

Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan


prinsip anastilosis dan dipimpin Theodor van Erp.[36] Tujuh bulan pertama
dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen untuk menemukan
kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp membongkar dan
membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak.
Dalam prosesnya Van Erp menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki;
ia mengajukan proposal lain yang disetujui dengan anggaran tambahan
sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan rekonstruksi lebih lanjut, ia
bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra (payung batu susun tiga) yang
memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur
telah pulih seperti pada masa kejayaannya. Akan tetapi
rekonstruksi chattra hanya menggunakan sedikit batu asli dan hanya
rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan
keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian chattra. Kini mastaka
atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga tersimpan di Museum
Karmawibhangga Borobudur.

Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan


perhatian pada membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak
memecahkan masalah drainase dan tata air. Dalam 15 tahun, dinding
galeri miring dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan.[36] Van Erp
menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali
dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan dan
merusak batu candi. Hal ini menyebabkan masalah sehingga renovasi
lebih lanjut diperlukan.

Patung Buddha yang tidak sempurna di Museum Karmawibhangga. Di


belakangnya diletakkan chhatra atau parasol tiga lapis yang seharusnya
menghiasi puncak stupa utama borobudur tetapi diturunkan karena sering
terkena sambaran petir.

Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak cukup untuk


memberikan perlindungan yang utuh. Pada akhir 1960-an, Pemerintah
Indonesia telah mengajukan permintaan kepada masyarakat internasional
untuk pemugaran besar-besaran demi melindungi monumen ini. Pada
1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur dibuat.[37] Pemerintah
Indonesia dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh
monumen ini dalam suatu proyek besar antara tahun 1975 dan 1982.
[36]
Pondasi diperkukuh dan segenap 1.460 panel relief dibersihkan.
Pemugaran ini dilakukan dengan membongkar seluruh lima teras bujur
sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan menanamkan saluran
air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air ditambahkan.
Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen dan
menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS.[38] Setelah
renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan
Dunia pada tahun 1991.[3] Borobudur masuk dalam kriteria Budaya (i)
"mewakili mahakarya kretivitas manusia yang jenius", (ii) "menampilkan
pertukaran penting dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu
tertentu di dalam suatu wilayah budaya di dunia, dalam pembangunan
arsitektur dan teknologi, seni yang monumental, perencanaan tata kota dan
rancangan lansekap", dan (vi) "secara langsung dan jelas dihubungkan
dengan suatu peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan atau
dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik dan karya sastra yang
memiliki makna universal yang luar biasa".[3]

Peristiwa kontemporer

Turis di Borobudur

Setelah pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung


oleh UNESCO, Borobudur kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah
agama Buddha. Sekali setahun pada saat bulan purnama sekitar bulan Mei
atau Juni, umat Buddha di Indonesia memperingati hari suci Waisak, hari
yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama peristiwa
pencerahan Siddhartha Gautama yang mencapai tingkat kebijaksanaan
tertinggi menjadi Buddha Shakyamuni. Waisak adalah hari libur nasional di
Indonesia[39] dan upacara peringatan dipusatkan di tiga candi Buddha
utama dengan ritual berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Pawon dan
prosesi berakhir di Candi Borobudur.[40]

Pada 21 Januari 1985, sembilan stupa rusak parah akibat sembilan bom.
[41]
Pada 1991 seorang penceramah muslim beraliran ekstrem yang
tunanetra, Husein Ali Al Habsyie, dihukum penjara seumur hidup karena
berperan sebagai otak serangkaian serangan bom pada pertengahan
dekade 1980-an, termasuk serangan atas Candi Borobudur.[42] Dua
anggota kelompok ekstrem sayap kanan djatuhi hukuman 20 tahun penjara
pada tahun 1986 dan seorang lainnya menerima hukuman 13 tahun
penjara.

Sendratari "Mahakarya Borobudur" digelar di Borobudur

Monumen ini adalah objek wisata tunggal yang paling banyak dikunjungi di
Indonesia. Pada 1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang 36.000 di
antaranya adalah wisatawan mancanegara telah mengunjungi monumen
ini.[8] Angka ini meningkat hingga mencapai 2,5 juta pengunjung setiap
tahunnya (80% adalah wisatawan domestik) pada pertengahan 1990-an,
sebelum Krisis finansial Asia 1997.[9] Akan tetapi pembangunan pariwisata
dikritik tidak melibatkan masyarakat setempat sehingga beberapa konflik
lokal kerap terjadi.[8] Pada 2003, penduduk dan wirausaha skala kecil di
sekitar Borobudur menggelar pertemuan dan protes dengan pembacaan
puisi, menolak rencana pemerintah provinsi yang berencana membangun
kompleks mal berlantai tiga yang disebut 'Java World'.[43] Upaya
masyarakat setempat untuk mendapatkan penghidupan dari sektor
pariwisata Borobudur telah meningkatkan jumlah usaha kecil di sekitar
Borobudur. Akan tetapi usaha mereka untuk mencari nafkah seringkali
malah mengganggu kenyamanan pengunjung. Misalnya pedagang
cenderamata asongan yang mengganggu dengan bersikeras menjual
dagangannya; meluasnya lapak-lapak pasar cenderamata sehingga saat
hendak keluar kompleks candi, pengunjung malah digiring berjalan jauh
memutar memasuki labirin pasar cenderamata. Jika tidak tertata maka
semua ini membuat kompleks candi Borobudur semakin semrawut.

Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala mengguncang pesisir


selatan Jawa Tengah. Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan
korban terbanyak di Yogyakarta, akan tetapi Borobudur tetap utuh.[44]

Pada 28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail of Civilizations (jejak


peradaban) digelar di Borobudur atas prakarsa Gubernur Jawa Tengah
dan Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan, juga hadir perwakilan
UNESCO dan negara-negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara, seperti
Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja. Puncak acara ini adalah
pagelaran sendratari kolosal "Mahakarya Borobudur" di depan Candi
Borobudur. Tarian ini diciptakan dengan berdasarkan gaya tari tradisional
Jawa, musik gamelan, dan busananya, menceritakan tentang sejarah
pembangunan Borobudur. Setelah simposium ini, sendratari Mahakarya
Borobudur kembali dipergelarkan beberapa kali, khususnya menjelang
peringatan Waisak yang biasanya turut dihadiri Presiden Republik
Indonesia.

Batu peringatan pemugaran candi Borobudur dengan bantuan UNESCO

UNESCO mengidentifikasi tiga permasalahan penting dalam upaya


pelestarian Borobudur: (i) vandalisme atau pengrusakan oleh pengunjung;
(ii) erosi tanah di bagian tenggara situs; (iii) analisis dan pengembalian
bagian-bagian yang hilang.[45] Tanah yang gembur, beberapa kali gempa
bumi, dan hujan lebat dapat menggoyahkan struktur bangunan ini. Gempa
bumi adalah faktor yang paling parah, karena tidak saja batuan dapat jatuh
dan pelengkung ambruk, tanah sendiri bergerak bergelombang yang dapat
merusak struktur bangunan.[45] Meningkatnya popularitas stupa menarik
banyak pengunjung yang kebanyakan adalah warga Indonesia. Meskipun
terdapat banyak papan peringatan untuk tidak menyentuh apapun,
pengumandangan peringatan melalui pengeras suara dan adanya penjaga,
vandalisme berupa pengrusakan dan pencorat-coretan relief dan arca
sering terjadi, hal ini jelas merusak situs ini. Pada 2009, tidak ada sistem
untuk membatasi jumlah wisatawan yang boleh berkunjung per hari, atau
menerapkan tiap kunjungan harus didampingi pemandu agar pengunjung
selalu dalam pengawasan.[45]

Rehabilitasi

Borobudur sangat terdampak letusan Gunung Merapi pada Oktober dan


November 2010. Debu vulkanik dari Merapi menutupi kompleks candi yang
berjarak 28 kilometer (17 mi) arah barat-barat daya dari kawah Merapi.
Lapisan debu vulkanik mencapai ketebalan 2,5 sentimeter (1 in)
[46]
menutupi bangunan candi kala letusan 3–5 November 2010, debu juga
mematikan tanaman di sekitar, dan para ahli mengkhawatirkan debu
vulkanik yang secara kimia bersifat asam dapat merusak batuan bangunan
bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5 sampai 9 November 2010 untuk
membersihkan luruhan debu.[47][48]
Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan Merapi
2010, UNESCO telah menyumbangkan dana sebesar 3 juta dollar AS
untuk mendanai upaya rehabilitasi. Membersihkan candi dari endapan
debu vulkanik akan menghabiskan waktu sedikitnya 6 bulan, disusul
penghijauan kembali dan penanaman pohon di lingkungan sekitar untuk
menstabilkan suhu, dan terakhir menghidupkan kembali kehidupan sosial
dan ekonomi masyarakat setempat.[49] Lebih dari 55.000 blok batu candi
harus dibongkar untuk memperbaiki sistem tata air dan drainase yang
tersumbat adonan debu vulkanik bercampur air hujan. Restorasi berakhir
November 2011, lebih awal dari perkiraan semula

Anda mungkin juga menyukai