Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

CANDI BOROBUDUR

Disusun Oleh :

Nama : Anika Y. Lolomsait


Kelas : X IIS 2

SMA KRISTEN SILOAM


BA’A
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di
Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih
100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40
km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para
penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa
pemerintahan wangsa Syailendra. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk
bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya
dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha.[1] Stupa
utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi
oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca
buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap
tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).Bilamana candi Borobudur
didirikan tidak ada keterangan yang pasti. Dari penelitian bentuk huruf Jawa
Kuna yang dipakai menulis inskripsi pendek-pendek di atas panil relief
Karmawibhanga, candi didirikan pada abad IX, didirikan oleh seorang raja
Sailendra, yaitu raja Samaratungga beserta puterinya bernama
Pramodhawarddhani. didasarkan pada prasasti Karang Tengah dan prasasti Sri
Kahulunan.
Latar belakang agama candi Borobudur adalah perpaduan ajaran Buddha
Mahayana dengan Tantrayana , dengan meditasi filsafat Yogacara. Bentuk
agama Buddha semacam ini mirip dengan agama Buddha yang berkembang di
Bengal India, pada waktu pemerintahan raja-raja Pala pada sekitar abad VIII.
B. Tujuan
 Untuk mengetahui sejarah candi Borobudur
 Untuk menambah pengetahuan
C. Manfaat
Dengan berkunjung langsung ke candi borodur.kami dapat menambah
pengetahuan secara langsung dan bisa melihat monument bangunan candi
Borobudur tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di
Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih
100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40
km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para
penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa
pemerintahan wangsa Syailendra. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk
bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya
dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha.[1] Stupa
utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi
oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca
buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap
tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai
tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah
untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju
pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.[2] Para peziarah masuk
melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari
bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya
melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah
Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu
(ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui
serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel
relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.Menurut bukti-bukti
sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh
kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. [3]
Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir
Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal
Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya
penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun
1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO,
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap
tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara
berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia
pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling
banyak dikunjungi wisatawan.[5][6][7]

B. Bentuk Bangunan
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang
masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup
oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada
bagian kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita
Karmawibhangga yang kini tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di
sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief
pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki asli ini
memiliki volume 13.000 meter kubik.[2]
Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya
dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk
persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang
relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah
dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh
rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam
bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat
pada ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat
432 arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di pagar
langkan.[2] Pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang
melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar
langkan paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan
diatasnya dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini
kaya akan hiasan dan ukiran relief.

Arupadhatu
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai
lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan
Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai
berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia
sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum
mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil
berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar
sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras
lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua
teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu
teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur
sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup
berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih
tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep
peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak
terlihat. Padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam
stupa utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada
zaman dahulu. Menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses
pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan
di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini. Stupa utama yang
dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan,
kesunyian dan ketiadaan sempurna dimana jiwa manusia sudah tidak terikat
hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas dari lingkaran samsara. Tingkatan
tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan
berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-
lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak
sempurna atau disebut juga Buddha yang tidak rampung, yang disalahsangkakan
sebagai patung 'Adibuddha'
Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan
tempat penatahan untuk membangun monumen ini.[51] Batu ini dipotong dalam
ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan semen.
Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock
(saling kunci) yaitu seperti balok-balok lego yang bisa menempel tanpa perekat.
Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu
sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua blok batu. Relief dibuat
di lokasi setelah struktur bangunan dan dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk
wilayah dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan
kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap sudut, masing-masing dengan
rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa kala atau makara.
Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama
Gunadharma, sedikit yang diketahui tentang arsitek misterius ini. [52] Namanya
lebih berdasarkan dongeng dan legenda Jawa dan bukan berdasarkan prasasti
bersejarah. Legenda Gunadharma terkait dengan cerita rakyat mengenai
perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai tubuh orang berbaring. Dongeng
lokal ini menceritakan bahwa tubuh Gunadharma yang berbaring berubah menjadi
jajaran perbukitan Menoreh, tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng
belaka.Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang
wajah manusia antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau jarak
jengkal antara ujung ibu jari dengan ujung jari kelingking ketika telapak tangan
dikembangkan sepenuhnya.[53] Tentu saja satuan ini bersifat relatif dan sedikit
berbeda antar individu, akan tetapi satuan ini tetap pada monumen ini. Penelitian
pada 1977 mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di
monumen ini. Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang
tepat dari suatu fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan
Borobudur.[53][54] Rasio matematis ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi
Mendut dan Pawon di dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan
tala memiliki fungsi dan makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal
yang sama juga berlaku di candi Angkor Wat di Kamboja.[52]
Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan
puncak.[52] Dasar berukuran 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi 4 m
(13 kaki).[51] Tubuh candi terdiri atas lima batur teras bujur sangkar yang makin
mengecil di atasnya. Teras pertama mundur 7 m (23 kaki) dari ujung dasar teras.
Tiap teras berikutnya mundur 2 m (6.6 kaki), menyisakan lorong sempit pada tiap
tingkatan. Bagian atas terdiri atas tiga teras melingkar, tiap tingkatan menopang
barisan stupa berterawang yang disusun secara konsentris. Terdapat stupa utama
yang terbesar di tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian 35 m (110 kaki) dari
permukaan tanah. Tinggi asli Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga)
yang kini dilepas adalah 42 m (140 kaki) . Tangga terletak pada bagian tengah
keempat sisi mata angin yang membawa pengunjung menuju bagian puncak
monumen melalui serangkaian gerbang pelengkung yang dijaga 32 arca singa.
Gawang pintu gerbang dihiasi ukiran Kala pada puncak tengah lowong pintu dan
ukiran makara yang menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui
dalam arsitektur pintu candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur, sekaligus
titik awal untuk membaca kisah relief. Tangga ini lurus terus tersambung dengan
tangga pada lereng bukit yang menghubungkan candi dengan dataran di
sekitarnya.
Relief

Seni pahat Borobudur memiliki kehalusan gaya dan citarasa estetik yang
anggun

Letak relief kisah-kisah naskah suci Buddha di dinding Borobudur


Borobudur
Pada dinding candi di setiap tingkatan — kecuali pada teras-teras
Arupadhatu — dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat
teliti dan halus.[55] Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan
proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus. Relief-relief ini sangat
indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam
kesenian dunia Buddha.[56] Relief Borobudur juga menerapkan disiplin
senirupa India, seperti berbagai sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai
estetis tertentu. Relief-relief berwujud manusia mulia seperti pertapa, raja dan
wanita bangsawan, bidadari atapun makhluk yang mencapai derajat kesucian
laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa, seringkali digambarkan dengan
posisi tubuh tribhanga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk tiga" yaitu melekuk
atau sedikit condong pada bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan
beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya
dilekuk beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan keanggunan,
misalnya figur bidadari Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh tribhanga
sambil menggenggam teratai bertangkai panjang.[57]
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia
baik bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta
menampilkan bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur
tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan
masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan masa lampau di
Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati dan merujuk
ukiran relief Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung, istana dan candi,
bentuk perhiasan, busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa,
serta alat transportasi, dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah relief
terkenal yang menggambarkan Kapal Borobudur.[58] Kapal kayu bercadik khas
Nusantara ini menunjukkan kebudayaan bahari purbakala. Replika bahtera
yang dibuat berdasarkan relief Borobudur tersimpan di Museum Samudra
Raksa yang terletak di sebelah utara Borobudur.[59]
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut
mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta
daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi
ceritanya, antara lain relief-relief cerita jātaka. Pembacaan cerita-cerita relief
ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap
tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu
gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang
sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi
menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna
sebagai berikut :
Karmawibhangga

Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut


tenggara)
Candi Borobudur. Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi,
relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut
menggambarkan hukum karma. Karmawibhangga adalah naskah yang
menggambarkan ajaran mengenai karma, yakni sebab-akibat perbuatan baik
dan jahat. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi
pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai hubungan
sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan
tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga
perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan
penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati
(samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai
tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya
bagian tenggara yang terbuka dan dapat dilihat oleh pengujung. Foto lengkap
relief Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum Karmawibhangga di sisi
utara

Lalitawistara

Pangeran Siddhartha Gautama mencukur rambutnya dan menjadi


pertapaMerupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-
relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari
turunnya Sang Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan wejangan
pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga
pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura
yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan
kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk
menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon
Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada
ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya
dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir
dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai
Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga
berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita
Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari
Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana.
Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha
Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya
berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.
Arca Buddha

Sebuah arca Buddha di dalam stupa berterawang


Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di
dinding, di Borobudur terdapat banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi
teratai serta menampilkan mudra atau sikap tangan simbolis tertentu. Patung
buddha dengan tinggi 1,5 meter ini dipahat dari bahan batu andesit. [2]Patung
buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur berdasarkan barisan
di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya semakin berkurang pada sisi atasnya.
Barisan pagar langkan pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 relung,
baris ketiga 88 relung, baris keempat 72 relung, dan baris kelima 64 relung.
Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di tingkat Rupadhatu.[1] Pada bagian
Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), arca Buddha diletakkan di dalam
stupa-stupa berterawang (berlubang). Pada pelataran melingkar pertama
terdapat 32 stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16
stupa, semuanya total 72 stupa.[1] Dari jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha,
lebih dari 300 telah rusak (kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak
penemuan monumen ini, kepala buddha sering dicuri sebagai barang koleksi,
kebanyakan oleh museum luar negeri).[60]Secara sepintas semua arca buddha
ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan halus diantaranya, yaitu pada
mudra atau posisi sikap tangan. Terdapat lima golongan mudra: Utara, Timur,
Selatan, Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas
menurut ajaran Mahayana. Keempat pagar langkan memiliki empat mudra:
Utara, Timur, Selatan, dan Barat, dimana masing-masing arca buddha yang
menghadap arah tersebut menampilkan mudra yang khas. Arca Buddha pada
pagar langkan kelima dan arca buddha di dalam 72 stupa berterawang di
pelataran atas menampilkan mudra: Tengah atau Pusat. Masing-masing mudra
melambangkan lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan makna
simbolisnya tersendiri.[61]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Candi Borobudur yang terletak di Yogyakarta jawa tengah memiliki
banyak candi yang berbeda-beda bentuk bangunannya.
Dan sekarang candi tersebut sudah diketahui banyak orang dari mulai
bangsa Indonesia sendiri sampai luar negeri.wisatawan pun sudah banyak yang
berkunjung langsung ke candi Borobudur.

B. Saran
Dengan diajukannya makalah ini,kami menyadari bahwasannya makalah ini
masih banyak kekurangan dari itu semua kami sangat senang apabila ada yang
memberikan saran.
DAFTAR PUSAKA
http://renamelinac25tugas.blogspot.com/2015/06/makalah-candi-borobudur.html
https://id.scribd.com/doc/117314657/Makalah-Candi-Borobudur-Lengkap
https://contohmakalahdocx.blogspot.com/2016/11/contoh-makalah-tentang-candi-
borobudur.html

Anda mungkin juga menyukai