Anda di halaman 1dari 48

candi budha di indonesia

1.candi borobudur


Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang,
86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi
berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-
an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil
Buddha terbesar di dunia,
[1][2]
sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.
[3]

Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga
pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat
504 arca Buddha.
[4]
Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di
dunia.
[3]
Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini,
dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca
buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap
tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk
memuliakan Buddhasekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia
beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran
Buddha.
[5]
Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan
berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan
berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu
adalah Kmadhtu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah
tak berwujud).Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan
tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada
dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya
pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam.
[6]
Dunia
mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford
Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu
Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek
pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik
Indonesia danUNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan
Dunia.
[3]

Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat
Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk
memperingati Trisuci Waisak.Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata
tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.
[7][8][9]

Nama Borobudur

Stupa Borobudur dengan jajaran perbukitan Menoreh.Selama berabad-abad bangunan suci ini
sempat terlupakan.
Dalam Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah candi juga
digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang berasal
dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang,gapura, dan petirtaan (kolam dan
pancuran pemandian). Asal mula nama Borobudur tidak jelas,
[10]
meskipun memang nama
asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui.
[10]
Nama Borobudur pertama kali
ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles.
[11]
Raffles menulis
mengenai monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang
menyebutkan nama yang sama persis.
[10]
Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi
petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur
adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.
[12]

Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam
tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro);
kebanyakan candi memang seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri.
Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam
bahasa Jawa yang berarti "purba" maka bermakna, "Boro purba".
[10]
Akan tetapi arkeolog
lain beranggapan bahwa nama Budurberasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.
[13]

Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa
nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung"
(bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat
beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para
Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa
nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari
kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa
Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau
mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah
sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor
pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkanprasasti
Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah
raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan
sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya,
Ratu Pramudawardhani.Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah
abad.Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan
tanah sima (tanah bebas pajak) oleh r Kahulunan (Pramudawardhani) untuk
memelihara Kamln yang disebut Bhmisambhra.
[14]
Istilah Kamln sendiri berasal dari
kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur,
kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhmi
Sambhra Bhudhra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan
sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.
[15]

Lingkungan sekitar

Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan kesatuan
perlambang
Terletak sekitar 40 kilometer (25 mil) barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur terletak di
atas bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar; Gunung Sundoro-
Sumbing di sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di sebelah timur laut, di sebelah utaranya
terdapat bukitTidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta
candi ini terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah
timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai dataran Kedu adalah tempat yang
dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa' karena
keindahan alam dan kesuburan tanahnya.
[16]

Tiga candi serangkai
Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini. Pada masa
penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha lainnya yaitu Candi
Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu garis lurus.
[17]
Awalnya
diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu
terdapat jalan berlapis batu yang dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang
menghubungkan ketiga candi ini. Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu
dan berpagar dan mungkin ini hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga
memang ada kesatuan perlambang dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-
Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berasal dari
periode yang sama yang memperkuat dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini.
Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah
dilakukan, belum diketahui secara pasti.
[12]

Selain candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa peninggalan
purbakala lainnya, diantaranya berbagai temuan tembikar seperti periuk dan kendi yang
menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian.Temuan-
temuan purbakala di sekitar Borobudur kini disimpan di Museum
Karmawibhangga Borobudur, yang terletak di sebelah utara candi bersebelahan
dengan Museum Samudra Raksa.Tidak seberapa jauh di sebelah utara Candi Pawon
ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang disebut Candi Banon.Pada candi ini
ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam keadaan cukup baik
yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha.Akan tetapi batu asli Candi Banon amat sedikit
ditemukan sehingga tidak mungkin dilakukan rekonstruksi.Pada saat penemuannya arca-arca
Banon diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum Nasional Indonesia.
Sejarah
Pembangunan
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan
apa kegunaannya.
[21]
Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara
jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim
digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun
sekitar tahun 800 masehi.
[21]
Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M,
masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah,
[22]
yang kala itu dipengaruhi
Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 -
100 tahun lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan
raja Samaratungga pada tahun 825.
[23][24]

Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu
beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha
aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan
bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.
[23]
Pada kurun waktu itulah
dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal,
pada tahun 732 M, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan
suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km
(6.2 mil) sebelah timur dari Borobudur.
[25]
Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun
waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun
demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih
awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha termasuk Borobudur saat itu dimungkinkan karena
pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk
membangun candi.
[26]
Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran
menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan
pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara,
sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.
[26]
Petunjuk ini
dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah
menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu
bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula
sebaliknya.
[27]
Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa
itu wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa
yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu
Boko.
[28]
Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi
megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa
Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa Syailendra,
[28]
akan tetapi
banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh
kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan
Candi Siwa di Prambanan.
[29]

Tahapan pembangunan Borobudur
Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang
sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang luar biasa besar dan
berat ini membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek perancang Borobudur
memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa
kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan tahapan pembangunan
Borobudur:
1. Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan
kurun 750 dan 850 M). Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit
diratakan dan pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya
terbuat dari batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu
sehingga menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit
ditutup struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat.
Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai
bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup
struktur asli piramida berundak.
2. Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak
melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.
3. Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa
tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang
lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu
stupa induk yang besar di tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi diperlebar,
dibangun kaki tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief
Karmawibhangga. Para arkeolog menduga bahwa Borobudur semula dirancang
berupa stupa tunggal yang sangat besar memahkotai batur-batur teras bujur sangkar.
Akan tetapi stupa besar ini terlalu berat sehingga mendorong struktur bangunan
condong bergeser keluar. Patut diingat bahwa inti Borobudur hanyalah bukit tanah
sehingga tekanan pada bagian atas akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya
sehingga Borobudur terancam longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk
membongkar stupa induk tunggal yang besar dan menggantikannya dengan teras-
teras melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya satu stupa
induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak longsor maka ditambahkan struktur
kaki tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur ini adalah penguat dan berfungsi
bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh
keluar, sekaligus menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
4. Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan
pagar langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta
pelebaran ujung kaki.
Borobudur diterlantarkan

Meletusnya Gunung Merapi diduga sebagai penyebab utama diterlantarkannya Borobudur
Borobudur tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah
dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur
kala itu benar-benar menyerupai bukit.Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur
ditinggalkan hingga kini masih belum diketahui.Tidak diketahui secara pasti sejak kapan
bangunan suci ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006,
Raja Mpu Sindokmemindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur setelah
serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang
menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber menduga bahwa sangat
mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini.
[6][18]
Bangunan suci ini disebutkan
secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam
naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Ia menyebutkan
adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat populer
bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan
kepada Islam pada abad ke-15.
[6]

Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari
sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan
dengan kesialan, kemalangan dan penderitaan.Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18
menyebutkan nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini.Menurut Babad Tanah
Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang
yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada
1709.
[6]
Disebutkan bahwa bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak
dikalahkan dan dihukum mati oleh raja. Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram),
monumen ini dikaitkan dengan kesialan Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan
Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada 1757.
[30]
Meskipun terdapat tabu yang
melarang orang untuk mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran datang dan
mengunjungi satria yang terpenjara di dalam kurungan (arca buddha yang terdapat di dalam
stupa berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan meninggal
dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan
bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan
dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan atau kemalangan yang mungkin
menimpa siapa saja yang mengunjungi dan mengganggu situs ini.Meskipun secara ilmiah
diduga, mungkin setelah situs ini tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah
menjadi sarang wabah penyakit seperti demam berdarah atau malaria.
Penemuan kembali

Foto pertama Borobudur olehIsidore van Kinsbergen (1873) setelah monumen ini dibersihkan
dari tanaman yang tumbuh pada tubuh candi.Bendera Belanda tampak pada stupa utama
candi.
Teras tertinggi setelah restorasi Van Erp.Stupa utama memiliki menara
dengan chattra (payung) susun tiga.
Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa dibawah
pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford
Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah
Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan
mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan
rakyat setempat dalam perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya
di Semarang tahun 1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam
hutan dekat desa Bumisegoro.
[30]
Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur
Jenderal, ia tidak dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C.
Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar ini.
Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak
belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur
candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan semua lorong.
Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa
candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan beberapa kalimat, Raffles
dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen ini, serta menarik perhatian dunia atas
keberadaan monumen yang pernah hilang ini.
[11]

Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu meneruskan
kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan telah tergali dan
terlihat.Minatnya terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi daripada tugas kerjanya.
Hartmann tidak menulis laporan atas kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia
telah menemukan arca buddha besar di stupa utama.
[31]
Pada 1842, Hartmann menyelidiki
stupa utama meskipun apa yang ia temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa
kosong.
Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda
bidang teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G.
Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang
dirampungkannya pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan
penelitian Brumund yang dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak
untuk bekerja sama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C.
Leemans, yang mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen.
Pada 1873, monograf pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan,
dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Perancis setahun kemudian.
[31]
Foto pertama
monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.
[32]

Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan.Untuk waktu yang cukup lama Borobudur telah
menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri, penjarah candi, dan kolektor
"pemburu artefak".Kepala arca Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena
mencuri seluruh arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan
dijatuhkan oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak
ditemukan arca Buddha tanpa kepala.Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran
kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia.Pada 1882, kepala inspektur
artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya
dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang
marak di monumen.
[32]
Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog,
untuk menggelar penyelidikan menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual
kompleks ini; laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan
agar bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.
Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata, arca dan ukirannya diburu
kolektor benda antik.Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan salah satunya direstui
Pemerintah Kolonial.Pada tahun 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi
Jawa di Hindia Belanda (kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa
bagian dari Borobudur.Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan
gerobak penuh arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand
antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa,
beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang pernah
berdiri di Bukit Dagi beberapa ratus meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini,
yaitu arca singa dan dwarapala, kini dipamerkan di Museum Nasional Bangkok.
[33]

Pemugaran[sunting | sunting sumber]
Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat
Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi.
[34]
Foto-foto yang menampilkan
relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 18901891.
[35]
Penemuan ini mendorong
pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini.
Pada 1900, pemerintah membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti
monumen ini: Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang
juga anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari
Departemen Pekerjaan Umum.

Penanaman beton dan pipaPVC untuk memperbaiki sistem drainase Borobudur pada
pemugaran tahun 1973
Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur
kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak harus segera diatasi dengan mengatur
kembali sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu lain di
sebelahnya, memperkuat pagar langkan pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang,
stupa dan stupa utama. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki
sistem drainase dengan memperbaiki lantai dan pancuran.Ketiga, semua batuan lepas dan
longgar harus dipindahkan, monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu
yang rusak dipindahkan dan stupa utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu
ditaksir sekitar 48.800 Gulden.
Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip anastilosis dan
dipimpin Theodor van Erp.
[36]
Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di
sekitar monumen untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp
membongkar dan membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak.
Dalam prosesnya Van Erp menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan
proposal lain yang disetujui dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp
melakukan rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra (payung
batu susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur
telah pulih seperti pada masa kejayaannya.Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya
menggunakan sedikit batu asli dan hanya rekaan kira-kira.Karena dianggap tidak dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian chattra.Kini
mastaka atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga tersimpan di Museum
Karmawibhangga Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada
membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan tata
air.Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan dan
kerusakan.
[36]
Van Erp menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam
alkali dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan dan merusak batu
candi. Hal ini menyebabkan masalah sehingga renovasi lebih lanjut diperlukan.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak cukup untuk memberikan
perlindungan yang utuh.Pada akhir 1960-an, Pemerintah Indonesia telah mengajukan
permintaan kepada masyarakat internasional untuk pemugaran besar-besaran demi
melindungi monumen ini.Pada 1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur
dibuat.
[37]
Pemerintah Indonesia dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan
menyeluruh monumen ini dalam suatu proyek besar antara tahun 1975 dan 1982.
[36]
Pondasi
diperkokoh dan segenap 1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan
membongkar seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan
menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air ditambahkan.
Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen dan menghabiskan
biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS.
[38]
Setelah renovasi, UNESCO memasukkan
Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 1991.
[3]
Borobudur masuk dalam
kriteria Budaya (i) "mewakili mahakarya kretivitas manusia yang jenius", (ii) "menampilkan
pertukaran penting dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu
wilayah budaya di dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang
monumental, perencanaan tata kota dan rancangan lansekap", dan (vi) "secara langsung dan
jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan atau
dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik dan karya sastra yang memiliki makna
universal yang luar biasa".
[3]

Konsep rancang bangun
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk
polaMandala besar.Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran
konsentris yang melambangkan kosmos atau alam semesta yang lazim ditemukan dalam
Buddha aliran Wajrayana-Mahayana.Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur
menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana yang secara bersamaan
menggambarkan kosmologi yaitu konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran
dalam ajaran Buddha.
[51]
Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh
tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapaikesempurnaan menjadi Buddha.
Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 m (400 kaki) pada tiap sisinya. Bangunan ini
memiliki sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga teras teratas
berbentuk lingkaran.
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki
Borobudur.
[34]
Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 diantaranya adalah berkisah
tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan
petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief.
[52]
Kaki asli ini tertutup
oleh penambahan struktur batu yang membentuk pelataran yang cukup luas, fungsi
sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa penambahan kaki ini untuk
mencegah kelongsoran monumen.
[52]
Teori lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini
disebabkan kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab
India mengenai arsitektur dan tata kota.
[34]
Apapun alasan penambahan kaki ini, penambahan
dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan
keagamaan, estetik, dan teknis.
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
Kamadhatu Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih
dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan
batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi.Pada bagian kaki asli yang
tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga yang kini
tersembunyi.Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga orang
masih dapat melihat beberapa relief pada bagian ini.Struktur batu andesit kaki tambahan yang
menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.
[5]

Rupadhatu Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya
dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu.Lantainya berbentuk
persegi.Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief
seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah
dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk.Tingkatan ini
melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas.Pada bagian Rupadhatu
ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan atau
selasar.Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang sisi
luar di pagar langkan.
[5]
Pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang
melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan
paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya
dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan
ukiran relief.
Arupadhatu Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai
kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang
berarti tidak berupa atau tidak berwujud).Denah lantai berbentuk lingkaran.Tingkatan ini
melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan
bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana.Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua
stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar
sebagai stupa induk.Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang
masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa).Dua teras terbawah stupanya lebih
besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil
dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar.Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam
stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan.Dari luar patung-patung itu
masih tampak samar-samar.Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep peralihan
menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan
berupa stupa yang terbesar dan tertinggi.Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang.Di
dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut
juga Buddha yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha',
padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung
yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut
kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak.
Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti
ini.Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu
kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna dimana jiwa manusia sudah tidak terikat
hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas dari lingkaran samsara.
Struktur bangunan[sunting | sunting sumber]

Arca singa penjaga gerbang

Ukiran raksasa sebagai kepala pancuran drainase

Penampang candi Borobudur terdapat rasio perbandingan 4:6:9 antara bagian kaki, tubuh,
dan kepala

Tangga Borobudur mendaki melalui serangkaian gapura berukir Kala-Makara
Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat penatahan
untuk membangun monumen ini.
[53]
Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut
menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai
semen sama sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-
balok lego yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan
lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua
blok batu. Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah dengan
curah hujan yang tinggi.Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang
disetiap sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala
raksasa kala atau makara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak dibangun di atas
permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik pembangunannya serupa
dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti
candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan
sempit.Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat.Secara umum
rancang bangun Borobudur mirip dengan piramida berundak.Di lorong-lorong inilah umat
Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah
kanan.Borobudur mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada kuil
atau candi.
[53]
Stupa memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan
Buddha. Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan kepada
Buddha.Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah.Rancangannya yang
rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini memang sebuah bangunan tempat
peribadatan.Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga
merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur
asli dari masa prasejarah Indonesia.
Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama Gunadharma, sedikit yang
diketahui tentang arsitek misterius ini.
[54]
Namanya lebih berdasarkan dongeng dan legenda
Jawa dan bukan berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda Gunadharma terkait dengan cerita
rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai tubuh orang
berbaring.Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh Gunadharma yang berbaring berubah
menjadi jajaran perbukitan Menoreh, tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.
Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang wajah manusia antara
ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau jarak jengkal antara ujung ibu jari dengan
ujung jari kelingking ketika telapak tangan dikembangkan sepenuhnya.
[55]
Tentu saja satuan
ini bersifat relatif dan sedikit berbeda antar individu, akan tetapi satuan ini tetap pada
monumen ini. Penelitian pada 1977 mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang
ditemukan di monumen ini. Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi
yang tepat dari suatu fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan
Borobudur.
[55][56]
Rasio matematis ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut
dan Pawon di dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan tala memiliki fungsi
dan makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama juga berlaku di
candi Angkor Wat di Kamboja.
[54]

Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan puncak.
[54]
Dasar
berukuran 123123 m (403.5 403.5 ft) dengan tinggi 4 m (13 kaki).
[53]
Tubuh candi terdiri
atas lima batur teras bujur sangkar yang makin mengecil di atasnya. Teras pertama mundur
7 m (23 kaki) dari ujung dasar teras. Tiap teras berikutnya mundur 2 m (6.6 kaki),
menyisakan lorong sempit pada tiap tingkatan. Bagian atas terdiri atas tiga teras melingkar,
tiap tingkatan menopang barisan stupa berterawang yang disusun secara konsentris.Terdapat
stupa utama yang terbesar di tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian 35 m (110 kaki) dari
permukaan tanah. Tinggi asli Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga) yang kini
dilepas adalah 42 m (140 kaki) .Tangga terletak pada bagian tengah keempat sisi mata angin
yang membawa pengunjung menuju bagian puncak monumen melalui serangkaian gerbang
pelengkung yang dijaga 32 arca singa.Gawang pintu gerbang dihiasi ukiran Kala pada puncak
tengah lowong pintu dan ukiran makara yang menonjol di kedua sisinya.Motif Kala-Makara
lazim ditemui dalam arsitektur pintu candi di Jawa.Pintu utama terletak di sisi timur,
sekaligus titik awal untuk membaca kisah relief.Tangga ini lurus terus tersambung dengan
tangga pada lereng bukit yang menghubungkan candi dengan dataran di sekitarnya.
Relief[sunting | sunting sumber]

Seni pahat Borobudur memiliki kehalusan gaya dan citarasa estetik yang anggun

Letak relief kisah-kisah naskah suci Buddha di dinding Borobudur

Borobudur
Pada dinding candi di setiap tingkatan kecuali pada teras-teras Arupadhatu dipahatkan
panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus.
[57]
Relief dan pola hias
Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus. Relief-
relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam
kesenian dunia Buddha.
[58]
Relief Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti
berbagai sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-relief berwujud
manusia mulia seperti pertapa, raja dan wanita bangsawan,bidadari atapun makhluk yang
mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa, seringkali
digambarkan dengan posisi tubuh tribhanga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk tiga" yaitu
melekuk atau sedikit condong pada bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan
beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya dilekuk
beristirahat.Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan keanggunan, misalnya figur bidadari
Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh tribhanga sambil menggenggam teratai
bertangkai panjang.
[59]

Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia baik bangsawan,
rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta menampilkan bentuk
bangunan vernakular tradisional Nusantara.Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang
merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa kuno.Banyak arkeolog meneliti
kehidupan masa lampau di Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati
dan merujuk ukiran relief Borobudur.Bentuk rumah panggung, lumbung, istana dan candi,
bentuk perhiasan, busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa, serta alat
transportasi, dicermati oleh para peneliti.Salah satunya adalah relief terkenal yang
menggambarkanKapal Borobudur.
[60]
Kapal kayu bercadik khas Nusantara ini menunjukkan
kebudayaan bahari purbakala. Replika bahtera yang dibuat berdasarkan relief Borobudur
tersimpan di Museum Samudra Raksa yang terletak di sebelah utara Borobudur.
[61]

Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa
Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini
bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief ceritajtaka.Pembacaan cerita-cerita
relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya,
mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu.Maka secara nyata
bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak
candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah
sebagai berikut.
Bagan Relief
Tingkat Posisi/letak Cerita Relief Jumlah Pigura
Kaki candi asli ----- Karmawibhangga 160
Tingkat I
Dinding
a. Lalitawistara 120
b. jataka/awadana 120
Langkan
a. jataka/awadana 372
b. jataka/awadana 128
Tingkat II
Dinding Gandawyuha 128
Langkan jataka/awadana 100
Tingkat III
Dinding Gandawyuha 88
Langkan Gandawyuha 88
Bagan Relief
Tingkat Posisi/letak Cerita Relief Jumlah Pigura
Tingkat IV
Dinding Gandawyuha 84
Langkan Gandawyuha 72
Jumlah 1460
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga

Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang
terselubung tersebut menggambarkan hukum karma.Karmawibhangga adalah naskah yang
menggambarkan ajaran mengenai karma, yakni sebab-akibat perbuatan baik dan
jahat.Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura
menggambarkan suatu cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat. Relief tersebut tidak
saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang
akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan
merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara)
yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri
untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara yang terbuka dan dapat dilihat oleh
pengujung.Foto lengkap relief Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum
Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.
Lalitawistara

Pangeran Siddhartha Gautamamencukur rambutnya dan menjadi pertapa
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan
merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari surga
Tushita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief
ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27
pigura yang dimulai dari tangga sisi timur.Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan,
baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan
terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya
Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan
Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang
berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran
Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan
dharma dilambangkan sebagai roda.
Jataka dan Awadana
Jataka adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran
Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela
berkorban dan suka menolong yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain
manapun juga. Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah yang melibatkan
tokoh satwa yang bersikap dan berpikir seperti manusia.Sesungguhnya, pengumpulan jasa
atau perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-
an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan
Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam
kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau
seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan
sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang
paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita
Jataka, karya penyair Aryasura yang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang
berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang
Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab
suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya
berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.
Arca Buddha

Sebuah arca Buddha di dalam stupa berterawang
Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di Borobudur
terdapat banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi teratai serta
menampilkan mudra atau sikap tangan simbolis tertentu. Patung buddha dengan tinggi 1,5
meter ini dipahat dari bahan batu andesit.
[5]

Patung buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur berdasarkan barisan di sisi
luar pagar langkan. Jumlahnya semakin berkurang pada sisi atasnya. Barisan pagar langkan
pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 relung, baris ketiga 88 relung, baris keempat
72 relung, dan baris kelima 64 relung. Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di
tingkat Rupadhatu.
[4]
Pada bagianArupadhatu (tiga pelataran melingkar), arca Buddha
diletakkan di dalam stupa-stupa berterawang (berlubang). Pada pelataran melingkar pertama
terdapat 32 stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16 stupa, semuanya
total 72 stupa.
[4]
Dari jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah rusak
(kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan monumen ini, kepala buddha
sering dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh museum luar negeri).
[62]

Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan halus
diantaranya, yaitu pada mudra atau posisi sikap tangan. Terdapat lima golongan mudra:
Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas
menurut ajaran Mahayana. Keempat pagar langkan memiliki empat mudra: Utara, Timur,
Selatan, dan Barat, dimana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut
menampilkan mudra yang khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan arca buddha di
dalam 72 stupa berterawang di pelataran atas menampilkan mudra: Tengah atau Pusat.
Masing-masing mudra melambangkan lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan makna
simbolisnya tersendiri.
[63]

Mengikuti urutan Pradakshina yaitu gerakan mengelilingi searah jarum jam dimulai dari sisi
Timur, maka mudra arca-arca buddha di Borobudur adalah:
Arca Mudra
Melambangka
n
Dhyani
Buddha
Arah
Mata
Angi
n
Lokasi Arca

Bhumisparsa
mudra
Memanggil bumi
sebagai saksi
Aksobhya Timur
Relung di pagar
langkan 4 baris
pertama Rupadhatusisi
timur

Wara mudra Kedermawanan
Ratnasambhaw
a
Selatan
Relung di pagar
langkan 4 baris
pertama Rupadhatusisi
selatan

Dhyana
mudra
Semadi atau
meditasi
Amitabha Barat
Relung di pagar
langkan 4 baris
pertama Rupadhatusisi
barat

Abhaya
mudra
Ketidakgentaran Amoghasiddhi Utara
Relung di pagar
langkan 4 baris
pertama Rupadhatusisi
utara

Witarka
mudra
Akal budi Wairocana Tengah
Relung di pagar
langkan baris kelima
(teratas) Rupadhatusem
ua sisi

Dharmachakr
a mudra
Pemutaran roda
dharma
Wairocana Tengah
Di dalam 72 stupa di 3
teras
melingkarArupadhatu




2.Candi Mendut

Candi Mendut
Candi Mendut adalah sebuah candi bercorak Buddha. Candi yang terletak di Jalan Mayor
Kusen Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini, letaknya berada sekitar 3
kilometer dari candi Borobudur. 73617,17LU 1101348,01BT
Masa pembuatan


Reruntuhan candi Mendut sebelum dipugar, tahun 1880.
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di
dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah
membangun bangunan suci bernama wenuwana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh
seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi
Mendut.
Arsitektur candi
Bahan bangunan candi sebenarnya adalah batu bata yang ditutupi dengan batu alam.
Bangunan ini terletak pada sebuahbasement yang tinggi, sehingga tampak lebih anggun dan
kokoh. Tangga naik dan pintu masuk menghadap ke barat-daya. Di atas basement terdapat
lorong yang mengelilingi tubuh candi. Atapnya bertingkat tiga dan dihiasi dengan stupa-stupa
kecil. Jumlah stupa-stupa kecil yang terpasang sekarang adalah 48 buah.
Tinggi bangunan adalah 26,4 meter.
Hiasan pada candi Mendut

Tiga arca di dalam candi Mendut, arca Dhyani Buddha Wairocana diapit Boddhisatwa
Awalokiteswara dan Wajrapani.
Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi
dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan
berupa dewata gandarwa dan apsara atau bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda.
Pada kedua tepi tangga terdapat relief-relief cerita Pancatantra dan jataka.

Hariti.
Dinding candi dihiasi relief Boddhisatwa di antaranya Awalokitewara, Maitreya, Wajrapi
dan Manjuri. Pada dinding tubuh candi terdapat relief kalpataru, dua bidadari, Hart
(seorang yaksi yang bertobat dan lalu mengikuti Buddha) dan awaka.

Buddha dalam posisidharmacakramudra.
Di dalam induk candi terdapat arca Buddha besar berjumlah tiga: yaitu Dhyani
Buddha Wairocana dengan sikap tangan (mudra) dharmacakramudra. Di depan arca Buddha
terdapat relief berbentuk roda dan diapit sepasang rusa, lambang Buddha. Di sebelah kiri
terdapat arca Awalokitewara (Padmapi) dan sebelah kanan arca Wajrapi.
Relief-relief
Di bawah ini pembicaran mendetail beberapa relief akan disajikan.

Relief 1 (Brahmana dan seekor kepiting)

Brahmana dan seekor kepiting.
Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari Pancatantra atau
jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini:
Maka adalah seorang brahmana yang datang dari dunia bawah dan bernama
Dwijeswara. Ia sangat sayang terhadap segala macam hewan.
Maka berjalanlah beliau untuk bersembahyang di gunung dan berjumpa dengan
seekor kepiting di puncak gunung yang bernama Astapada, dibawa di pakaiannya.
Maka kata sang brahmana: Kubawanya ke sungai, sebab aku merasa kasihan.
Maka iapun berjalan dan berjumpa dengan sebuah balai peristirahatan di tepi
sungai. Lalu dilepaslah si kepiting oleh sang brahmana. Si Astapada merasa lega
hatinya. Sedangkan sang brahmana beristirahat di balai-balai ini. Ia tidur dengan
nikmat, hatinya nyaman.
Adalah seekor ular yang berteman dengan seekor gagak dan merupakan ancaman
bagi sang brahmana. Maka kata si ular kepada kawannya si gagak: Jika ada orang
datang ke mari untuk tidur, ceritakan padaku, aku mangsanya.
Si gagak melihat sang brahmana tidur di balai-balai. Segeralah keluar si ular
katanya: Aku ingin memangsa matanya kawan. Begitulah perjanjian mereka.
Si kepiting yang dibawa oleh sang brahmana mendengar. Lalu kata si kepiting di
dalam hati: Aduh, sungguh buruk kejahatan si gagak dan ular. Sama-sama buruk
kelakuannya. Terpikir olehnya bahwa si kepiting berhutang budi kepada sang
brahmana. Ia ingin melunasi hutangnya, maka pikirnya. Ada siasatku, aku akan
berkawan dengan keduanya. Maka ujar si kepiting, Wahai kedua kawanku, akan
kupanjangkan leher kalian, supaya lebih nikmat kalau kalian ingin memangsa sang
brahmana. Aku setuju dengan usulmu, <laksanakanlah> dengan segera.
Begitulah kata si gagak dan si ular keduanya. Kedua-keduanya ikut menyerahkan
leher mereka dan disupit di sisi sana dan sini oleh si kepiting dan keduanya langsung
putus seketika. Matilah si gagak dan si ular.
Relief 2 (Angsa dan kura-kura)

Angsa dan kura-kura
Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari
Pancatantra atau jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini. Namun
cerita yang disajikan di bawah ini agak berbeda versinya dengan lukisan
di relief ini:
Ada kura-kura bertempat tinggal di danau Kumudawati. Danau itu sangat permai,
banyak tunjungnya beranekawarna, ada putih, merah dan (tunjung) biru.
Ada angsa jantan betina, berkeliaran mencari makan di danau Kumudawati yang
asal airnya dari telaga Manasasara.Adapun nama angsa itu, si Cakrangga (nama)
angsa jantan, si Cakranggi (nama) angsa betina. Mereka itu bersama-sama tinggal di
telaga Kumudawati.
Maka sudah lamalah bersahabat dengan kura-kura. Si Durbudi (nama) si jantan,
sedangkan si Kacapa (nama) si betina.
Maka sudah hampir tibalah musim kemarau. Air di danau Kumudawati semakin
mengeringlah. [Kedua] angsa, si Cakrangga dan si Cakranggi lalu berpamitan
kepada kawan mereka si kura-kura; si Durbudi dan si Kacapa. Katanya:
Wahai kawan kami meminta diri pergi dari sini. Kami ingin pergi dari sini, sebab
semakin mengeringlah air di danau. Apalagi menjelang musim kemarau.Tidak
kuasalah kami jauh dari air. Itulah alasannya kami ingin terbang dari sini,
mengungsi ke sebuah danau di pegunungan Himawan yang bernama Manasasana.
Amat murni airnya bening dan dalam. Tidak mengering walau musim kemarau
sekalipun. Di sanalah tujuan kami kawan. Begitulah kata si angsa.Maka si kura-
kurapun menjawab, katanya:
Aduhai sahabat, sangat besar cinta kami kepada anda, sekarang anda akan
meninggalkan kami, berusaha untuk hidupmu sendiri.
Bukankah (keadaannya) sama kami dengan anda, tidak bisa jauh dari air? Ke mana
pun anda pergi kami akan ikut, dalam suka dan duka anda. Inilah hasil persahabatan
kami dengan kalian.
Angsa menjawab: Baiklah kura-kura. Kami ada akal. Ini ada kayu, pagutlah olehmu
tengah-tengahnya, kami akan memagut ujungnya sana dan sini dengan isteriku.
Kuatlah kami nanti membawa terbang kamu, [hanya] janganlah kendor anda
memagut, dan lagi jangan berbicara. Segala yang kita atasi selama kami
menerbangkan anda nanti, janganlah hendaknya anda tegur juga. Jika ada yang
bertanya jangan pula dijawab. Itulah yang harus anda lakukan, jangan tidak
mentaati kata-kata kami. Apabila anda tidak mematuhi petunjuk kami tak akan
berhasil anda sampai ke tempat tujuan, akan berakhir mati.Maka demikianlah kata
angsa.
Lalu dipagutlah tengah-tengah kayu itu oleh si kura-kura, ujung dan pangkalnya
dipatuk oleh angsa, di sana dan di sini, laki bini, kanan kiri.Segera terbang dibawa
oleh angsa, akan mengembara ke telaga Manasasara, tempat tujuan yang
diharapkannya. Telah jauh terbang mereka, sampailah di atas ladang
Wilanggala.Maka adalah anjing jantan dan betina yang bernaung di bawah pohon
mangga. Si Nohan nama si anjing jantan, si Babyan nama si betina. Maka
mendongaklah si anjing betina, melihat si angsa terbang, keduanya sama
menerbangkan kura-kura. Lalu katanya.Wahai bapak anakku, lihatlah itu ada hal
yang amat mustahil. Kura-kura yang diterbangkan oleh angsa sepasang!Lalu si
anjing jantan menjawab: Sungguh mustahil kata-katamu. Sejak kapan ada kura-
kura yang dibawa terbang oleh angsa? Bukan kura-kura itu tetapi tahi kerbau kering,
sarang karu-karu! Oleh-oleh untuk anak angsa, begitulah adanya! Begitulah kata si
anjing jantan.
Terdengarlah kata-kata anjing itu oleh kura-kura, marahlah batinnya. Bergetarlah
mulutnya karena dianggap tahi kerbau kering, sarang karu-karu.
Maka mengangalah mulut si kura-kura, lepas kayu yang dipagutnyam jatuhlah ke
tanah dan lalu dimakan oleh serigala jantan dan betina.Si angsa malu tidak dipatuhi
nasehatnya. Lalu mereka melanjutkan perjalanan melayang ke danau Manasasara.
Relief 3 (Dharmabuddhi dan Dustabuddhi)

Dharmabuddhi dan Dustabuddhi
Cerita ini mengenai dua orang sahabat anak para saudagar.
Suatu hari Dharmabuddhi menemukan uang dan bercerita
kepada kawannya Dustabuddhi. Lalu mereka berdua
menyembunyikan uang ini di bawah sebuah pohon. Setiap
kali mereka membutuhkan uang, Dharmabuddhi
mengambil sebagian dan membagi secara adil. Tapi
Dustabuddhi tidak puas dan suatu hari mengambil semua
uang yang tersisa. Ia lalu menuduh Dharmabuddhi dan menyeretnya ke pengadilan. Tetapi
akhirnya Dustabuddhi ketahuan dan dihukum.
Relief 4 (Dua burung betet yang berbeda)
Dua burung betet yang berbeda.
0
Relief ini melukiskan cerita dua burung betet bersaudara
namun berbeda kelakuannya karena yang satu dididik oleh
seorang penyamun. Sedangkan yang satu oleh seorang
pendeta.
Vihara Buddha Mendut

Arca Buddha sumbangan Jepang.
Persis di sebelah candi Mendut terdapat vihara Buddha
Mendut. Vihara ini dahulunya adalah sebuah biara Katholik
yang kemudian tanahnya dibagi-bagi kepada rakyat pada
tahun 1950-an. Lalu tanah-tanah rakyat ini dibeli oleh sebuah
yayasan Buddha dan di atasnya dibangun vihara. Dalam
vihara ini terdapat asrama, tempat ibadah, taman, dan
beberapa patung Buddha. Beberapa di antaranya adalah sumbangan dari Jepang.



3.Candi Muara Takus

Candi Muara Takus
Batu tulis dari Candi Bungsu di Muara Takus

Situs Candi Muara Takus adalah sebuah situs candi Buddha yang terletak di di desa Muara
Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Situs ini berjarak kurang
lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru.
Situs Candi Muara Takus dikelilingi oleh tembok berukuran 74 x 74 meter, yang terbuat dari
batu putih dengan tinggi tembok 80 cm, di luar arealnya terdapat pula tembok tanah
berukuran 1,5 x 1,5 kilometer, mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir Sungai Kampar
Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat beberapa bangunan candi yang disebut dengan Candi
sulung /tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka.
Para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan situs candi ini didirikan.
Ada yang mengatakan abad keempat, ada yang mengatakan abad ketujuh, abad kesembilan
bahkan pada abad kesebelas. Namun candi ini dianggap telah ada pada zaman
keemasan Sriwijaya, sehingga beberapa sejarahwan menganggap kawasan ini merupakan
salah satu pusat pemerintahan dari kerajaan Sriwijaya.
[1][2]

Pada tahun 2009 Candi Muara Takus dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan
Dunia UNESCO.
Deskripsi situs
Candi Muara Takus adalah situs candi tertua di Sumatera, merupakan satu-satunya situs
peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhis ini
merupakan bukti bahwa agama Buddha pernah berkembang di kawasan ini.
Candi ini dibuat dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Berbeda dengan candi yang ada
di Jawa, yang dibuat dari batu andesit yang diambil dari pegunungan. Bahan pembuat Candi
Muara Takus, khususnya tanah liat, diambil dari sebuah desa yang bernama Pongkai, terletak
kurang lebih 6 km di sebelah hilir situs Candi Muara Takus. Nama Pongkai kemungkinan
berasal dari Bahasa Tionghoa, Pong berati lubang dan Kai berarti tanah, sehingga dapat
bermaksud lubang tanah, yang diakibatkan oleh penggalian dalam pembuatan Candi Muara
Takus tersebut. Bekas lubang galian itu sekarang sudah tenggelam oleh genangan
waduk PLTA Koto Panjang. Namun dalam Bahasa Siam, kata Pongkai ini mirip
dengan Pangkali yang dapat berarti sungai, dan situs candi ini memang terletak pada tepian
sungai.
Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang besar, berbentuk menara yang
sebagian besar terbuat dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning. Di dalam situs
Candi Muara Takus ini terdapat bangunan candi yang disebut dengan Candi Tua, Candi
Bungsu, Stupa Mahligai serta Palangka. Selain bangunan tersebut di dalam komplek candi ini
ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia.
Sementara di luar situs ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu
bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.
Candi Mahligai
Candi Mahligai atau Stupa Mahligai, merupakan bangunan candi yang dianggap paling utuh.
Bangunan ini terbagi atas tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Stupa ini memiliki pondasi
berdenah persegi panjang dan berukuran 9,44 m x 10,6 m, serta memiliki 28 sisi yang
mengelilingi alas candi dengan pintu masuk berada di sebelah Selatan. Pada bagian alas
tersebut terdapat ornamen lotus ganda, dan di bagian tengahnya berdiri bangunan menara
silindrik dengan 36 sisi berbentuk kelopak bunga pada bagian dasarnya. Bagian atas dari
bangunan ini berbentuk lingkaran. Menurut Snitger, dahulu pada ke-empat sudut pondasi
terdapat 4 arca singa dalam posisi duduk yang terbuat dari batu andesit. Selain itu,
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, dahulu bagian puncak menara terdapat
batu dengan lukisan daun oval dan relief-relief sekelilingnya. Bangunan ini diduga
mengalami dua tahap pembangunan. Dugaan in didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam
kaki bangunan yang sekarang terdapat profil kaki bangunan lama sebelum bangunan
diperbesar.
Candi Tua
Candi Tua atau Candi Sulung merupakan bangunan terbesar di antara bangunan lainnya di
dalam situs Candi Muara Takus. Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan,
dan atap. Bagian kaki terbagi dua. Ukuran kaki pertama tingginya 2,37 m sedangkan yang
kedua mempunyai ketinggian 1,98 m. Tangga masuk terdapat di sisi Barat dan sisi Timur
yang didekorasi dengan arca singa. Lebar masing-masing tangga 3,08 m dan 4 m. Dilihat dari
sisa bangunan bagian dasar mempunyai bentuk lingkaran dengan garis tengah 7 m dan
tinggi 2,50 m. Ukuran pondasi bangunan candi ini adalah 31,65 m x 20,20 m. Pondasi candi
ini memiliki 36 sisi yang mengelilingi bagian dasar. Bagian atas dari bangunan ini adalah
bundaran. Tidak ada ruang kosong sama sekali di bagian dalam Candi Sulung. Bangunan
terbuat dari susunan bata dengan tambahan batu pasir yang hanya digunakan untuk membuat
sudut-sudut bangunan, pilaster-pilaster, dan pelipit-pelipit pembatas perbingkaian bawah kaki
candi dengan tubuh kaki serta pembatas tubuh kaki dengan perbingkaian atas kaki.
Berdasarkan penelitian tahun 1983 diketahui bahwa candi ini paling tidak telah mengalami
dua tahap pembangunan. Indikasi mengenai hal ini dapat dilihat dari adanya profil bangunan
yang tertutup oleh dinding lain yang bentuk profilnya berbeda.
Candi Bungsu
Candi Bungsu bentuknya tidak jauh beda dengan Candi Sulung. Hanya saja pada bagian atas
berbentuk segi empat. Ia berdiri di sebelah barat Candi Mahligai dengan ukuran 13,20 x
16,20 meter. Di sebelah timur terdapat stupa-stupa kecil serta terdapat sebuah tangga yang
terbuat dari batu putih. Bagian pondasi bangunan memiliki 20 sisi, dengan sebuah bidang di
atasnya. Pada bidang tersebut terdapat teratai. Penelitian yang dilakukan oleh Yzerman,
berhasil menemukan sebuah lubang di pinggiran padmasana stupa yang di dalamnya terdapat
tanah dan abu. Dalam tanah tersebut didapatkan tiga keping potongan emas dan satu keping
lagi terdapat di dasar lubang, yang digores dengan gambar-gambar tricula dan tiga huruf
Nagari. Di bawah lubang, ditemukan sepotong batu persegi yang pada sisi bawahnya ternyata
digores dengan gambar tricula dan sembilan buah huruf. Bangunan ini dibagi menjadi dua
bagian menurut jenis bahan yang digunakan. Kurang lebih separuh bangunan bagian Utara
terbuat dari batu pasir, sedangkan separuh bangunan bagian selatan terbuat dari bata. Batas
antara kedua bagian tersebut mengikuti bentuk profil bangunan yang terbuat dari batu pasir.
Hal ini menunjukkan bahwa bagian bangunan yang terbuat dari batu pasir telah selesai
dibangun kemudian ditambahkan bagian bangunan yang terbuat dari bata.
Candi Palangka
Bangunan candi ini terletak di sisi timur Stupa Mahligai dengan ukuran tubuh candi 5,10 m x
5,7 m dengan tinggi sekitar dua meter. Candi ini terbuat dari batu bata, dan memiliki pintu
masuk yang menghadap ke arah utara. Candi Palangka pada masa lampau diduga digunakan
sebagai altar.
Arsitektur
Candi Muara Takus merupakan salah satu bangunan suci agama Budha yang ada di Riau. Ciri
yang menunjukkan bangunan suci tersebut merupakan bangunan agama Budha adalah stupa.
Bentuk stupa sendiri berasal dari seni India awal, hampir merupakan anak bukit buatan yang
berbentuk setengah lingkaran tertutup dengan bata atau timbunan dan diberi puncak meru.
Stupa adalah ciri khas bangunan suci agama Budha dan berubah-ubah bentuk dan fungsinya
dalam sejarahnya di India dan di dunia Budhisme lainnya. Berdasarkan fungsinya stupa dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1. Stupa yang merupakan bagian dari sesuatu bangunan.
2. Stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tapi masing-masing sebagai bangunan
lengkap.
3. Stupa yang menjadi pelengkap kelompok selaku candi perwara.
Berdasarkan fungsi di atas dapat disimpulkan bahwa bangunan di kompleks Candi Muara
Takus menduduki fungsi yang kedua, yaitu stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tapi
masing-masing sebagai bangunan lengkap.
Arsitektur bangunan stupa Candi Muara Takus sendiri sangatlah unik karena tidak ditemukan
di tempat lain di Indonesia. Bentuk candi ini memiliki kesamaan dengan stupa Budha
di Myanmar, stupa di Vietnam, Sri Lanka atau stupa kuno di India pada
periode Ashoka, yaitu stupa yang memiliki ornamen sebuah roda dan kepala singa, hampir
sama dengan arca yang ditemukan di kompleks Candi Muara Takus.
Patung singa sendiri secara filosofis merupakan unsur hiasan candi yang melambangkan
aspek baik yang dapat mengalahkan aspek jahat atau aspek terang yang dapat mengalahkan
aspek jahat. Dalam ajaran agama Budha motif hiasan singa dapat dihubungkan maknanya
dengan sang Budha, hal ini terlihat dari julukan yang diberikan kepada sang Budha sebagai
singa dari keluarga Sakya. Serta ajaran yang disampaikan oleh sang Budha juga diibaratkan
sebagai suara (simhanada) yang terdengar keras di seluruh penjuru mata angin.
Dalam naskah Silpa Prakasa dituliskan bahwa terdapat empat tipe singa yang dianggap baik,
antara lain :
1. Udyat: singa yang digambarkan di atas kedua kaki belakang, badannya dalam posisi
membalik dan melihat ke belakang. Sikap ini disebut simhavalokana.
2. Jgrata: singa yang digambarkan dengan wajah yang sangat buas (mattarpina). Ia
bersikap duduk dengan cakarnya diangkat ke atas. Sering disebutkhummana simha.
3. Udyat: singa yang digambarkan dalam sikap duduk dengan kaki belakang dan
biasanya ditempatkan di atas suatu tempat yang tinggi. Terkenal dengan
sebutan jhmpa-simha.
4. Gajakrnta: singa yang digambarkan duduk dengan ketiga kakinya di atas raja gajah.
Satu kaki depannya diangkat di depan dada seolah-olah siap untuk menerkam. Singa
ini disebut simha kunjara.
Di kompleks Candi Muara Takus sendiri terdapat dua candi yang memiliki patung singa,
yaitu Candi Sulung dan Candi Mahligai. Di Candi Sulung arca singa ditemukan di depan
candi atau di tangga masuk candi tersebut. Di Candi Mahligai arca singa ditemukan di
keempat sudut pondasinya. Penempatan patung singa ini, berdasarkan konsep yang berasal
dari kebudayaan India, dimaksudkan untuk menjaga bangunan suci dari pengaruh jahat
karena singa merupakan simbol dari kekuatan terang atau baik.
Berdasarkan penelitian R.D.M. Verbeck dan E. Th. van Delden diduga bahwa bangunan
Candi Muara Takus dahulunya merupakan bangunan Buddhis yang terdiri dari biara dan
beberapa candi.
Latar belakang pendirian
Candi merupakan bangunan suci yang berkembang pada masa Hindu-Buddha. Bangunan suci
ini dibuat sebagai sarana pemujaan bagi dewa-dewi agama Hindu maupun agama Buddha.
Agama Hindu dan Buddha berasal dari India sehingga konsep yang digunakan dalam
pendirian sebuah bangunan suci sama dengan konsep yang berkembang dan digunakan di
India, yaitu konsep tentang air suci. Bangunan suci harus berada di dekat air yang dianggap
suci. Air itu nantinya digunakan sebagai sarana dalam upacara ritual. Peran air tidak hanya
digunakan untuk upacara ritual saja, namun secara teknis juga diperlukan dalam
pembangunan maupun pemeliharaan dan kelangsungan hidup bangunan itu sendiri.
Didirikannya bangunan suci di suatu tempat memang tempat tersebut potensi untuk dianggap
suci, dan bukan bangunannya yang potensi dianggap suci. Maka dalam usaha pendirian
bangunan suci para seniman bangunan selalu memperhatikan potensi kesucian suatu tempat
dimana akan didirikan bangunan tersebut.
Agar tetap terjaga dan terpeliharanya kesucian suatu tempat, maka harus dipelihara daerah
sekitar titik pusat bangunan atau Brahmasthana serta keempat titik mata angin dimana dewa
Lokapala (penjaga mata angin) berada untuk melindungi dan mengamankan daerah tersebut
sebagai Wastupurusamandala yaitu perpaduan alam gaib dan alam nyata. Kemudian
dilakukan berbagai upacara untuk mensucikan tanah tersebut. Dalam hal ini air sangat
berperan selama upacara berlangsung, karena air selain mensucikan juga untuk menyuburkan
daerah tersebut. Sehingga dalam upaya pendirian suatu bangunan suci, selain potensi
kesucian tanah yang perlu diperhatikan adalah keberadaan atau tersedianya air di daerah
tersebut. Hal ini sama dengan konsep kebudayaan India yang menyatakan bahwa keberadaan
gunung meru sebagai tempat tinggal para dewa dikeilingi oleh tujuh lautan. Maka secara
nalar dan umun dapat diketahui bahwa pendirian sebagian besar bangunan suci tempatnya
selalu berada di dekat air.
Keadaan geografis wilayah Sumatera yang memiliki aliran sungai yang besar sangat
mendukung konsep dari kebudayaan India tersebut. Dengan adanya aliran sungai besar
tersebut air dengan mudah didapat untuk keperluan dari upacara ritual. Selain faktor air,
faktor ekonomi juga dapat melatarbelakangi berdirinya suatu bangunan suci. Aliran sungai di
Sumatera pada masa lampau merupakan jalur transportasi untuk perdagangan. Pada awalnya
jumlah pedagang yang datang sedikit. Namun lama kelamaan karena menunggu waktu yang
tepat untuk berlayar maka mereka bermukim di sekitar daerah tersebut. Maka diperlukanlah
tempat peribadatan untuk umat beragama, dan didirikanlah bangunan suci. Karena tidak
mungkin berdirinya suatu bangunan sakral atau candi tanpa didukung masyarakat pendirinya
demi kelangsungan hidup bangunan suci tersebut. Maka seirama dengan tumbuh dan
pesatnya perdagangan di suatu tempat pada umumnya akan muncul pula bangunan-bangunan
suci atau candi untuk digunakan sebagai tempat menjalankan upacara ritual oleh para pelaku
ekonomi tersebut yang telah mengenal magis terhadap bangunan candi, berperan dalam
fungsi perkembangan sosial/ekonomi dan perdagangan.
Faktor kekuasaan juga berpengaruh dalam pembangunan suatu candi. Suatu kerajaan yang
berhasil menaklukkan suatu wilayah, tentunya terdapat tinggalan yang dapat menggambarkan
ciri khas suatu kerajaan tersebut. Tinggalan tersebut dapat berupa prasasti maupun candi.
Beberapa aspek dalam pendirian candi
Dari suatu bangunan candi kita dapat melihat beberapa aspek kehidupan. Pada candi Muara
Takus ini aspek-aspek yang dapa kita lihat antara lain:
1. Aspek teknologi: Bahan yang digunakan adalah batu bata. Ukuran bata yang dipakai
membangun candi ini bervariasi, panjang antara 23 sampai 26 cm, lebar 14 sampai
dengan 15,5 cm dan tebalnya 3,5 cm sampai 4,5 cm. Bata pada masa lampau
memiliki kualitas yang lebih baik dari bata pada masa sekarang. Ini dikarenakan
tanah liat yang digunakan disaring sampai benar-benar tidak ada komponen lain
selain tanah liat, misalnya pasir. Selain itu, terdapat isian di dalam bata, biasanya
berupa sekam. Maksud dari isian ini, supaya bata kuat. Perekatan antar batu bata
menggunakan sistem kosod. Sistem kosod merupakan sistem perekatan bata dengan
cara menggosokkan bata dengan bata lain dimana pada bidang gosokannya tersebut
diberi air. Sistem ini juga dapat ditemukan pada situs-situs di Jawa Timur dan masih
dapat ditemukan di daerah Bali. Perekatan bata yang menggunakan sistem kosod
menyebabkan perekatan antar bata akan bertambah erat dari tahun ke tahun.
2. Aspek sosial: Pembangunan candi ini dilakukan secara bergotong royong dan
dilakukan oleh orang ramai. Begitu juga pada saat upacara pemujaan terdapat
perbedaan status, yaitu pemimpin upacara dan pengikutnya.
3. Aspek religi: terlihat dari bentuk candi Muara Takus yang berupa stupa, yang
menunjukkan candi ini sebagai tempat pemujaan umat agama Buddha, khususnya
aliran Mahayana.












candi hindu di indonesia

1.Candi Prambanan

Candi Prambanan atau Candi Loro
Jonggrang adalah kompleks candi Hindu terbesar
di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi.
Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa
utama Hindu yaitu Brahmasebagai dewa
pencipta, Wishnu sebagai dewa pemelihara,
dan Siwa sebagai dewa pemusnah.
Berdasarkanprasasti Siwagrha nama asli kompleks
candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang
bermakna 'Rumah Siwa'), dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam
arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa
lebih diutamakan.
Kompleks candi ini terletak di kecamatan Prambanan, Sleman dan kecamatan Prambanan,
Klaten,
[1]
kurang lebih 17 kilometer timur laut Yogyakarta, 50 kilometer barat
daya Surakarta dan 120 kilometer selatan Semarang, persis di perbatasan
antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
[2]
Letaknya sangat unik,
Candi Prambanan terletak di wilayah administrasi desa Bokoharjo, Prambanan, Sleman,
sedangkan pintu masuk kompleks Candi Prambanan terletak di wilayah adminstrasi
desa Tlogo, Prambanan, Klaten.
Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu terbesar di Indonesia,
sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur bangunan ini berbentuk
tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan candi Siwa
sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter menjulang di tengah kompleks
gugusan candi-candi yang lebih kecil.
[3]
Sebagai salah satu candi termegah di Asia Tenggara,
candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh dunia.
[4]

Menurut prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun 850 masehi
oleh Rakai Pikatan, dan terus dikembangkan dan diperluas oleh Balitung Maha Sambu, di
masa kerajaan Medang Mataram.
Etimologi
Nama Prambanan, berasal dari nama desa tempat candi ini berdiri, diduga merupakan
perubahan nama dialekbahasa Jawa dari istilah teologi Hindu Para Brahman yang bermakna
"Brahman Agung" yaitu Brahman atau realitas abadi tertinggi dan teragung yang tak dapat
digambarkan, yang kerap disamakan dengan konsep Tuhandalam agama Hindu. Pendapat
lain menganggap Para Brahman mungkin merujuk kepada masa jaya candi ini yang dahulu
dipenuhi oleh para brahmana. Pendapat lain mengajukan anggapan bahwa nama "Prambanan"
berasal dari akar kata mban dalam Bahasa Jawa yang bermakna menanggung atau memikul
tugas, merujuk kepada para dewa Hindu yang mengemban tugas menata dan menjalankan
keselarasan jagat.
Nama asli kompleks candi Hindu ini adalah nama dari Bahasa
Sansekerta; Siwagrha (Rumah Siwa) atau Siwalaya(Alam Siwa), berdasarkan Prasasti
Siwagrha yang bertarikh 778 Saka (856 Masehi). Trimurti dimuliakan dalam kompleks candi
ini dengan tiga candi utamanya memuliakan Brahma, Siwa, dan Wisnu. Akan tetapi Siwa
Mahadewa yang menempati ruang utama di candi Siwa adalah dewa yang paling dimuliakan
dalam kompleks candi ini.
Sejarah
Pembangunan

Candi Prambanan di antara kabut pagi.
Prambanan adalah candi Hindu terbesar dan termegah yang pernah dibangun di Jawa kuno,
pembangunan candi Hindu kerajaan ini dimulai oleh Rakai Pikatansebagai tandingan candi
Buddha Borobudur dan juga candi Sewu yang terletak tak jauh dari Prambanan. Beberapa
sejarawan lama menduga bahwa pembangunan candi agung Hindu ini untuk menandai
kembali berkuasanyakeluarga Sanjaya atas Jawa, hal ini terkait teori wangsa kembar berbeda
keyakinan yang saling bersaing; yaitu wangsa Sanjaya penganut Hindu dan
wangsa Sailendra penganut Buddha. Pastinya, dengan dibangunnya candi ini menandai
bahwa Hinduisme aliran Saiwa kembali mendapat dukungan keluarga kerajaan, setelah
sebelumnya wangsa Sailendra cenderung lebih mendukung Buddha aliranMahayana. Hal ini
menandai bahwa kerajaan Medang beralih fokus dukungan keagamaanya, dari Buddha
Mahayana ke pemujaan terhadap Siwa.
Bangunan ini pertama kali dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh Rakai Pikatan dan secara
berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja Lokapala dan raja Balitung Maha
Sambu. Berdasarkan prasasti Siwagrha berangka tahun 856 M, bangunan suci ini dibangun
untuk memuliakan dewa Siwa, dan nama asli bangunan ini dalam bahasa Sanskerta
adalah Siwagrha (Sanskerta:Shiva-grha yang berarti: 'Rumah Siwa')
atau Siwalaya (Sanskerta:Shiva-laya yang berarti: 'Ranah Siwa' atau 'Alam Siwa').
[5]
Dalam
prasasti ini disebutkan bahwa saat pembangunan candi Siwagrha tengah berlangsung,
dilakukan juga pekerjaan umum perubahan tata air untuk memindahkan aliran sungai di dekat
candi ini. Sungai yang dimaksud adalah sungai Opak yang mengalir dari utara ke selatan
sepanjang sisi barat kompleks candi Prambanan. Sejarawan menduga bahwa aslinya aliran
sungai ini berbelok melengkung ke arah timur, dan dianggap terlalu dekat dengan candi
sehingga erosi sungai dapat membahayakan konstruksi candi. Proyek tata air ini dilakukan
dengan membuat sodetan sungai baru yang memotong lengkung sungai dengan poros utara-
selatan sepanjang dinding barat di luar kompleks candi. Bekas aliran sungai asli kemudian
ditimbun untuk memberikan lahan yang lebih luas bagi pembangunan deretan candi perwara
(candi pengawal atau candi pendamping).
Beberapa arkeolog berpendapat bahwa arca Siwa di garbhagriha (ruang utama) dalam candi
Siwa sebagai candi utama merupakan arca perwujudan raja Balitung, sebagai arca
pedharmaan anumerta beliau.
[6]

Kompleks bangunan ini secara berkala terus disempurnakan oleh raja-raja Medang Mataram
berikutnya, seperti raja Daksa dan Tulodong, dan diperluas dengan membangun ratusan
candi-candi tambahan di sekitar candi utama. Karena kemegahan candi ini, candi Prambanan
berfungsi sebagai candi agung Kerajaan Mataram, tempat digelarnya berbagai upacara
penting kerajaan. Pada masa puncak kejayaannya, sejarawan menduga bahwa ratusan
pendeta brahmana dan murid-muridnya berkumpul dan menghuni pelataran luar candi ini
untuk mempelajari kitab Weda dan melaksanakan berbagai ritual dan upacara Hindu.
Sementara pusat kerajaan atau keraton kerajaan Mataram diduga terletak di suatu tempat di
dekat Prambanan di Dataran Kewu.
Diterlantarkan
Sekitar tahun 930-an, ibu kota kerajaan berpindah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok, yang
mendirikan Wangsa Isyana. Penyebab kepindahan pusat kekuasaan ini tidak diketahui secara
pasti. Akan tetapi sangat mungkin disebabkan oleh letusan hebat Gunung Merapi yang
menjulang sekitar 20 kilometer di utara candi Prambanan. Kemungkinan penyebab lainnya
adalah peperangan dan perebutan kekuasaan. Setelah perpindahan ibu kota, candi Prambanan
mulai terlantar dan tidak terawat, sehingga pelan-pelan candi ini mulai rusak dan runtuh.
Bangunan candi ini diduga benar-benar runtuh akibat gempa bumi hebat pada abad ke-16.
Meskipun tidak lagi menjadi pusat keagamaan dan ibadah umat Hindu, candi ini masih
dikenali dan diketahui keberadaannya oleh warga Jawa yang menghuni desa sekitar. Candi-
candi serta arca Durga dalam bangunan utama candi ini mengilhami dongeng rakyat Jawa
yaitu legenda Rara Jonggrang. Setelah perpecahan Kesultanan Mataram pada tahun 1755,
reruntuhan candi dan sungai Opak di dekatnya menjadi tanda pembatas antara
wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta (Solo).
Penemuan kembali[sunting | sunting sumber]

Reruntuhan candi Prambanan segera setelah ditemukan.
Penduduk lokal warga Jawa di sekitar candi sudah mengetahui keberadaan candi ini. Akan
tetapi mereka tidak tahu latar belakang sejarah sesungguhnya, siapakah raja dan kerajaan apa
yang telah membangun monumen ini. Sebagai hasil imajinasi, rakyat setempat menciptakan
dongeng lokal untuk menjelaskan asal-mula keberadaan candi-candi ini; diwarnai dengan
kisah fantastis mengenai raja raksasa, ribuan candi yang dibangun oleh makhluk halus jin dan
dedemit hanya dalam tempo satu malam, serta putri cantik yang dikutuk menjadi arca.
Legenda mengenai candi Prambanan dikenal sebagai kisahRara Jonggrang.
Pada tahun 1733, candi ini ditemukan oleh CA. Lons seorang berkebangsaan Belanda. Candi
ini menarik perhatian dunia ketika pada masa pendudukan Britania atas Jawa. Ketika
itu Colin Mackenzie, seorang surveyor bawahan Sir Thomas Stamford Raffles, menemukan
candi ini. Meskipun Sir Thomas kemudian memerintahkan penyelidikan lebih lanjut,
reruntuhan candi ini tetap terlantar hingga berpuluh-puluh tahun. Penggalian tak serius
dilakukan sepanjang 1880-an yang sayangnya malah menyuburkan praktek penjarahan ukiran
dan batu candi. Kemudian pada tahun 1855 Jan Willem IJzermanmulai membersihkan dan
memindahkan beberapa batu dan tanah dari bilik candi. Beberapa saat kemudian Isac
Groneman melakukan pembongkaran besar-besaran dan batu-batu candi tersebut ditumpuk
secara sembarangan di sepanjang Sungai Opak. Arca-arca dan relief candi diambil oleh
warga Belanda dan dijadikan hiasan taman, sementara warga pribumi menggunakan batu
candi untuk bahan bangunan dan pondasi rumah.
Pemugaran
Pemugaran dimulai pada tahun 1918, akan tetapi upaya serius yang sesungguhnya dimulai
pada tahun 1930-an. Pada tahun 1902-1903, Theodoor van Erpmemelihara bagian yang
rawan runtuh. Pada tahun 1918-1926, dilanjutkan oleh Jawatan Purbakala (Oudheidkundige
Dienst) di bawah P.J. Perquin dengan cara yang lebih sistematis sesuai kaidah arkeologi.
Sebagaimana diketahui para pendahulunya melakukan pemindahan dan pembongkaran
beribu-ribu batu secara sembarangan tanpa memikirkan adanya usaha pemugaran kembali.
Pada tahun 1926 dilanjutkan De Haan hingga akhir hayatnya pada tahun 1930. Pada tahun
1931 digantikan oleh Ir. V.R. van Romondt hingga pada tahun 1942 dan kemudian
diserahkan kepemimpinan renovasi itu kepada putra Indonesia dan itu berlanjut hingga tahun
1993
[7]
.
Upaya renovasi terus menerus dilakukan bahkan hingga kini. Pemugaran candi Siwa yaitu
candi utama kompleks ini dirampungkan pada tahun 1953 dan diresmikan oleh Presiden
pertama Republik Indonesia Sukarno. Banyak bagian candi yang direnovasi, menggunakan
batu baru, karena batu-batu asli banyak yang dicuri atau dipakai ulang di tempat lain. Sebuah
candi hanya akan direnovasi apabila minimal 75% batu asli masih ada. Oleh karena itu,
banyak candi-candi kecil yang tak dibangun ulang dan hanya tampak fondasinya saja.
Kini, candi ini termasuk dalam Situs Warisan Dunia yang dilindungi oleh UNESCO, status
ini diberikan UNESCO pada tahun 1991. Kini, beberapa bagian candi Prambanan tengah
direnovasi untuk memperbaiki kerusakan akibat gempa Yogyakarta 2006. Gempa ini telah
merusak sejumlah bangunan dan patung.
Kompleks candi

Model arsitektur rekonstruksi kompleks candi Prambanan, aslinya terdapat 240 candi berdiri
di kompleks ini.
Pintu masuk ke kompleks bangunan ini terdapat di keempat arah penjuru mata angin, akan
tetapi arah hadap bangunan ini adalah ke arah timur, maka pintu masuk utama candi ini
adalah gerbang timur. Kompleks candi Prambanan terdiri dari:
1. 3 Candi Trimurti: candi Siwa, Wisnu, dan Brahma
2. 3 Candi Wahana: candi Nandi, Garuda, dan Angsa
3. 2 Candi Apit: terletak antara barisan candi-candi Trimurti dan candi-candi Wahana di
sisi utara dan selatan
4. 4 Candi Kelir: terletak di 4 penjuru mata angin tepat di balik pintu masuk halaman
dalam atau zona inti
5. 4 Candi Patok: terletak di 4 sudut halaman dalam atau zona inti
6. 224 Candi Perwara: tersusun dalam 4 barisan konsentris dengan jumlah candi dari
barisan terdalam hingga terluar: 44, 52, 60, dan 68
Maka terdapat total 240 candi di kompleks Prambanan.
Aslinya terdapat 240 candi besar dan kecil di kompleks Candi Prambanan.
[13]
Tetapi kini
hanya tersisa 18 candi; yaitu 8 candi utama dan 8 candi kecil di zona inti serta 2 candi
perwara. Banyak candi perwara yang belum dipugar, dari 224 candi perwara hanya 2 yang
sudah dipugar, yang tersisa hanya tumpukan batu yang berserakan. Kompleks candi
Prambanan terdiri atas tiga zona; pertama adalah zona luar, kedua adalah zona tengah yang
terdiri atas ratusan candi, ketiga adalah zona dalam yang merupakan zona tersuci tempat
delapan candi utama dan delapan kuil kecil.
Penampang denah kompleks candi Prambanan adalah berdasarkan lahan bujur sangkar yan
terdiri atas tiga bagian atau zona, masing-masing halaman zona ini dibatasi tembok batu
andesit. Zona terluar ditandai dengan pagar bujur sangkar yang masing-masing sisinya
sepanjang 390 meter, dengan orientasi Timur Laut - Barat Daya. Kecuali gerbang selatan
yang masih tersisa, bagian gerbang lain dan dinding candi ini sudah banyak yang hilang.
Fungsi dari halaman luar ini secara pasti belum diketahui; kemungkinan adalah lahan taman
suci, atau kompleks asrama Brahmana dan murid-muridnya. Mungkin dulu bangunan yang
berdiri di halaman terluar ini terbuat dari bahan kayu, sehingga sudah lapuk dan musnah tak
tersisa.
Candi Prambanan adalah salah satu candi Hindu terbesar di Asia Tenggara selain Angkor
Wat. Tiga candi utama disebut Trimurti dan dipersembahkan kepadantiga dewa
utama Trimurti: Siwa sang Penghancur, Wisnu sang Pemelihara dan Brahma sang Pencipta.
Di kompleks candi ini Siwa lebih diutamakan dan lebih dimuliakan dari dua dewa Trimurti
lainnya. Candi Siwa sebagai bangunan utama sekaligus yang terbesar dan tertinggi,
menjulang setinggi 47 meter.
Candi Siwa

Candi Siwa, candi utama di kompleks candi Prambanan yang dipersembahkan untuk dewa
Siwa.

Arca Durga Mahisasuramardini di ruang utara candi Siwa.
Halaman dalam adalah zona paling suci dari ketiga zona kompleks candi. Pelataran ini
ditinggikan permukaannya dan berdenah bujur sangkar dikurung pagar batu dengan empat
gerbang di empat penjuru mata angin. Dalam halaman berpermukaan pasir ini terdapat
delapan candi utama; yaitu tiga candi utama yang disebut candi Trimurti ("tiga wujud"),
dipersembahkan untuk tiga dewa Hindu tertinggi: Dewa Brahma Sang
Pencipta, Wishnu Sang Pemelihara, dan Siwa Sang Pemusnah.
Candi Siwa sebagai candi utama adalah bangunan terbesar sekaligus tetinggi di kompleks
candi Rara Jonggrang, berukuran tinggi 47 meter dan lebar 34 meter. Puncak mastaka atau
kemuncak candi ini dimahkotai modifikasi bentuk wajra yang melambangkan intan atau
halilintar. Bentuk wajra ini merupakan versi Hindu sandingan dari stupa yang ditemukan
pada kemuncak candi Buddha. Candi Siwa dikelilingi lorong galeri yang dihiasi relief yang
menceritakan kisah Ramayana; terukir di dinding dalam pada pagar langkan. Di atas pagar
langkan ini dipagari jajaran kemuncak yang juga berbentuk wajra. Untuk mengikuti kisah
sesuai urutannya, pengunjung harus masuk dari sisi timur, lalu melakukan pradakshina yakni
berputar mengelilingi candi sesuai arah jarum jam. Kisah Ramayana ini dilanjutkan ke Candi
Brahma.
Candi Siwa di tengah-tengah, memuat lima ruangan, satu ruangan di setiap arah mata
angin dan satu garbagriha, yaitu ruangan utama dan terbesar yang terletak di tengah candi.
Ruangan timur terhubung dengan ruangan utama tempat bersemayam sebuaharca Siwa
Mahadewa (Perwujudan Siwa sebagai Dewa Tertinggi) setinggi tiga meter. Arca ini
memiliki Lakana (atribut atau simbol) Siwa, yaitu chandrakapala (tengkorak di atas bulan
sabit), jatamakuta (mahkota keagungan), dan trinetra (mata ketiga) di dahinya. Arca ini
memiliki empat lengan yang memegang atribut Siwa,
seperti aksamala (tasbih), camara (rambut ekor kuda pengusir lalat), dan trisula. Arca ini
mengenakan upawita (tali kasta) berbentuk ular naga (kobra). Siwa digambarkan
mengenakan cawat dari kulit harimau, digambarkan dengan ukiran kepala, cakar, dan ekor
harimau di pahanya. Sebagian sejarawan beranggapa bahwa arca Siwa ini merupakan
perwujudan raja Balitung sebagai dewa Siwa, sebagai arca pedharmaan anumerta beliau.
Sehingga ketika raja ini wafat, arwahnya dianggap bersatu kembali dengan dewa penitisnya
yaitu Siwa.
[14]
Arca Siwa Mahadewa ini berdiri di atas lapik bunga padma di atas landasan
persegi berbentuk yoni yang pada sisi utaranya terukir ular Nga (kobra).
Tiga ruang yang lebih kecil lainnya menyimpan arca-arca yang ukuran lebih kecil yang
berkaitan dengan Siwa. Di dalam ruang selatan terdapat Resi Agastya, Ganesha putra Siwa di
ruang barat, dan di ruang utara terdapat arca sakti atau istri Siwa, Durga Mahisasuramardini,
menggambarkan Durga sebagai pembasmi Mahisasura, raksasa Lembu yang
menyerang swargaloka. Arca Durga ini juga disebut sebagai Rara Jonggrang (dara langsing)
oleh penduduk setempat. Arca ini dikaitkan dengan tokoh putri legendaris Rara Jonggrang.
Candi Brahma dan Candi Wishnu[sunting | sunting sumber]
Dua candi lainnya dipersembahkan kepada Dewa Wisnu, yang terletak di sisi utara dan
satunya dipersembahkan kepada Brahma, yang terletak di sisi selatan. Kedua candi ini
menghadap ke timur dan hanya terdapat satu ruang, yang dipersembahkan untuk dewa-dewa
ini. Candi Brahma menyimpan arca Brahma dan Candi Wishnu menyimpan arca Wishnu
yang berukuran tinggi hampir 3 meter. Ukuran candi Brahma dan Wishnu adalah sama, yakni
lebar 20 meter dan tinggi 33 meter.
Candi Wahana

Candi Garuda, salah satu candi wahana
Tepat di depan candi Trimurti terdapat tiga candi yang lebih kecil daripada candi Brahma dan
Wishnu yang dipersembahkan kepada kendaraan atau wahana dewa-dewa ini; sang
lembu Nandi wahana Siwa, sang Angsa wahana Brahma, dan sang Garuda wahana Wisnu.
Candi-candi wahana ini terletak tepat di depan dewa penunggangnya. Di depan candi Siwa
terdapat candi Nandi, di dalamnya terdapat arca lembu Nandi. Pada dinding di belakang arca
Nandi ini di kiri dan kanannya mengapit arca Chandra dewa bulan dan Surya dewa matahari.
Chandra digambarkan berdiri di atas kereta yang ditarik 10 kuda, sedangkan Surya berdiri di
atas kereta yang ditarik 7 kuda.
[15]
Tepat di depan candi Brahma terdapat candi Angsa. Candi
ini kosong dan tidak ada arca Angsa di dalamnya. Mungkin dulu pernah bersemayam arca
Angsa sebagai kendaraan Brahma di dalamnya. Di depan candi Wishnu terdapat candi yang
dipersembahkan untuk Garuda, akan tetapi sama seperti candi Angsa, di dalam candi ini tidak
ditemukan arca Garuda. Mungkin dulu arca Garuda pernah ada di dalam candi ini. Hingga
kini Garuda menjadi lambang penting di Indonesia, yaitu sebagai lambang negara Garuda
Pancasila.
Candi Apit, Candi Kelir, dan Candi Patok
Di antara baris keenam candi-candi utama ini terdapat Candi Apit. Ukuran Candi Apit hampir
sama dengan ukuran candi perwara, yaitu tinggi 14 meter dengan tapak denah 6 x 6 meter.
Disamping 8 candi utama ini terdapat candi kecil berupa kuil kecil yang mungkin fungsinya
menyerupai pelinggihan dalam Pura Hindu Bali tempat meletakan canang atau sesaji,
sekaligus sebagai aling-aling di depan pintu masuk. Candi-candi kecil ini yaitu; 4 Candi
Kelir pada empat penjuru mata angin di muka pintu masuk, dan 4 Candi Patok di setiap
sudutnya. Candi Kelir dan Candi Patok berbentuk miniatur candi tanpa tangga dengan tinggi
sekitar 2 meter.
Candi Perwara
Dua dinding berdenah bujur sangkar yang mengurung dua halaman dalam, tersusun dengan
orientasi sesuai empat penjuru mata angin. Dinding kedua berukuran panjang 225 meter di
tiap sisinya. Di antara dua dinding ini adalah halaman kedua atau zona kedua. Zona kedua
terdiri atas 224 candi perwara yang disusun dalam empat baris konsentris. Candi-candi ini
dibangun di atas empat undakan teras-teras yang makin ke tengah sedikit makin tinggi.
Empat baris candi-candi ini berukuran lebih kecil daripada candi utama. Candi-candi ini
disebut "Candi Perwara" yaitu candi pengawal atau candi pelengkap. Candi-candi perwara
disusun dalam empat baris konsentris baris terdalam terdiri atas 44 candi, baris kedua 52
candi, baris ketiga 60 candi, dan baris keempat sekaligus baris terluar terdiri atas 68 candi.
Masing-masing candi perwara ini berukuran tinggi 14 meter dengan tapak denah 6 x 6 meter,
dan jumlah keseluruhan candi perwara di halaman ini adalah 224 candi. Kesemua candi
perwara ini memiliki satu tangga dan pintu masuk sesuai arah hadap utamanya, kecuali 16
candi di sudut yang memiliki dua tangga dan pintu masuk menghadap ke dua arah
luar.
[16]
Jika kebanyakan atap candi di halaman dalam zona inti berbentuk wajra, maka atap
candi perwara berbentuk ratna yang melambangkan permata.
Aslinya ada banyak candi yang ada di halaman ini, akan tetapi hanya sedikit yang telah
dipugar. Bentuk candi perwara ini dirancang seragam. Sejarawan menduga bahwa candi-
candi ini dibiayai dan dibangun oleh penguasa daerah sebagai tanda bakti dan persembahan
bagi raja. Sementara ada pendapat yang mengaitkan empat baris candi perwara
melambangkan empat kasta, dan hanya orang-orang anggota kasta itu yang boleh memasuki
dan beribadah di dalamnya; baris paling dalam hanya oleh dimasuki kasta Brahmana,
berikutnya hingga baris terluar adalah barisan candi untuk Ksatriya, Waisya, dan Sudra.
Sementara pihak lain menganggap tidak ada kaitannya antara candi perwara dan empat kasta.
Barisan candi perwara kemungkinan dipakai untuk beribadah, atau tempat bertapa (meditasi)
bagi pendeta dan umatnya.
Arsitektur

Penampang candi Siwa
Arsitektur candi Prambanan berpedoman kepada tradisi arsitektur Hindu yang berdasarkan
kitab Wastu Sastra. Denah candi megikuti pola mandala, sementara bentuk candi yang tinggi
menjulang merupakan ciri khas candi Hindu. Prambanan memiliki nama asli Siwagrha dan
dirancang menyerupai rumah Siwa, yaitu mengikuti bentuk gunung suci Mahameru, tempat
para dewa bersemayam. Seluruh bagian kompleks candi mengikuti model alam semesta
menurut konsep kosmologi Hindu, yakni terbagi atas beberapa lapisan ranah, alam atau Loka.
Seperti Borobudur, Prambanan juga memiliki tingkatan zona candi, mulai dari yang kurang
suci hingga ke zona yang paling suci. Meskipun berbeda nama, tiap konsep Hindu ini
memiliki sandingannya dalam konsep Buddha yang pada hakikatnya hampir sama. Baik
lahan denah secara horisontal maupun vertikal terbagi atas tiga zona:
[17]

Bhurloka (dalam Buddhisme: Kamadhatu), adalah ranah terendah makhluk yang fana;
manusia, hewan, juga makhluk halus dan iblis. Di ranah ini manusia masih terikat dengn
hawa nafsu, hasrat, dan cara hidup yang tidak suci. Halaman terlar dan kaki candi
melambangkan ranah bhurloka.
Bhuwarloka (dalam Buddhisme: Rupadhatu), adalah alam tegah, tempat orang suci, resi,
pertapa, dan dewatarendahan. Di alam ini manusia mulai melihat cahaya kebenaran.
Halaman tengah dan tubuh candi melambangkan ranahbhuwarloka.
Swarloka (dalam Buddhisme: Arupadhatu), adalah ranah trtinggi sekaligus tersuci
tempat para dewa bersemayam, juga disebut swargaloka. Halaman dalam dan atap candi
melambangkan ranah swarloka. Atap candi-candi di kompleks Prambanan dihiasi dengan
kemuncak mastaka berupa ratna (Sanskerta: permata), bentuk ratna Prambanan
merupakan modifikasi bentuk wajra yang melambangkan intan atau halilintar. Dalam
arsitektur Hindu Jawa kuno, ratna adalah sandingan Hindu untuk stupa Buddha, yang
berfungsi sebagai kemuncak atau mastaka candi.
Pada saat pemugaran, tepat di bawah arca Siwa di bawah ruang utama candi Siwa terdapat
sumur yang didasarnya terdapat pripih (kotak batu). Sumur ini sedalam 5,75 meter dan peti
batu pripih ini ditemukan diatas timbunan arang kayu, tanah, dan tulang belulang hewan
korban. Di dalam pripih ini terdapat benda-benda suci seperti lembaran emas dengan aksara
bertuliskan Waruna (dewa laut) dan Parwata (dewa gunung). Dalam peti batu ini terdapat
lembaran tembaga bercampur arang, abu, dan tanah, 20 keping uang kuno, beberapa butir
permata, kaca, potongan emas, dan lembaran perak, cangkang kerang, dan 12 lembaran emas
(5 diantaranya berbentuk kura-kura, ular naga (kobra), padma, altar, dan telur).
[18]

Relief
Relief di Prambanan menampilkanShinta tengah diculik Rahwana yang menunggangi raksasa
bersayap, sementara burung Jatayu di sebelah kiri atas mencoba menolong Shinta.

Panil khas Prambanan, singa di dalam relung diapit dua pohonkalpataru yang masing-masing
diapit oleh sapasang kinnara-kinnari atau sepasang margasatwa.
Ramayana dan Krishnayana
Candi ini dihiasi relief naratif yang menceritakan epos Hindu; Ramayana dan Krishnayana.
Relif berkisah ini diukirkan pada dinding sebelah dalam pagar langkan sepanjang lorong
galeri yang mengelilingi tiga candi utama. Relief ini dibaca dari kanan ke kiri dengan gerakan
searah jarum jam mengitari candi. Hal ini sesuai dengan ritual pradaksina, yaitu ritual
mengelilingi bangunan suci searah jarum jam oleh peziarah. Kisah Ramayana bermula di sisi
timur candi Siwa dan dilanjutkan ke candi Brahma temple. Pada pagar langkan candi Wisnu
terdapat relief naratif Krishnayana yang menceritakan kehidupanKrishna sebagai salah
satu awatara Wishnu.
Relief Ramayana menggambarkan bagaimana Shinta, istri Rama, diculik oleh Rahwana.
Panglima bangsa wanara (kera),Hanuman, datang ke Alengka untuk membantu Rama
mencari Shinta. Kisah ini juga ditampilkan dalam Sendratari Ramayana, yaitu
pagelaran wayang orang Jawa yang dipentaskan secara rutin di panggung terbuka Trimurti
setiap malam bulan purnama. Latar belakang panggung Trimurti adalah pemandangan megah
tiga candi utama yang disinari cahaya lampu.
Lokapala, Brahmana, dan Dewata
Di seberang panel naratif relief, di atas tembok tubuh candi di sepanjang galeri dihiasi arca-
arca dan relief yang menggambarkan para dewata dan resi brahmana. Arca dewa-
dewa lokapala, dewa surgawi penjaga penjuru mata angin dapat ditemukan di candi Siwa.
Sementara arca para brahmana penyusun kitab Weda terdapat di candi Brahma. Di candi
Wishnu terdapat arca dewata yang diapit oleh dua apsara atau bidadari kahyangan.
Panil Prambanan: Singa dan Kalpataru
Di dinding luar sebelah bawah candi dihiasi oleh barisan relung (ceruk) yang menyimpan
arca singa diapit oleh dua panil yang menggambarkan pohon hayat kalpataru. Pohon suci ini
dalam mitologi Hindu-Buddha dianggap pohon yang dapat memenuhi harapan dan kebutuhan
manusia. Di kaki pohon Kalpataru ini diapit oleh pasangan kinnara-kinnari (hewan ajaib
bertubuh burung berkepala manusia), atau pasangan hewan lainnya, seperti burung, kijang,
domba, monyet, kuda, gajah, dan lain-lain. Pola singa diapit kalpataru adalah pola khas yang
hanya ditemukan di Prambanan, karena itulah disebut "Panil Prambanan".
Museum Prambanan
Di dalam kompleks taman purbakala candi Prambanan terdapat sebuah museum yang
menyimpan berbagai temuan benda bersejarah purbakala. Museum ini terletak di sisi utara
Candi Prambanan, antara candi Prambanan dan candi Lumbung. Museum ini dibangun dalam
arsitektur tradisional Jawa, berupa rumah joglo. Koleksi yang tersimpan di museum ini
adalah berbagai batu-batu candi dan berbagai arca yang ditemukan di sekitar lokasi candi
Prambanan; misalnya arca lembu Nandi, resi Agastya, Siwa, Wishnu, Garuda, dan arca
Durga Mahisasuramardini, termasuk pula batu Lingga Siwa, sebagai lambang kesuburan.
Replika harta karun emas temuan Wonoboyo yang terkenal itu, berupa mangkuk berukir
Ramayana, gayung, tas, uang, dan perhiasan emas, juga dipamekan di museum ini. Temuan
Wonoboyo yang asli kini disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta. Replika model
arsitektur beberapa candi seperti Prambanan, Borobudur, dan Plaosan juga dipamerkan di
museum ini. Museum ini dapat dimasuki secara gratis oleh pengunjung taman purbakala
Prambanan karena tiket masuk taman wisata sudah termasuk museum ini. Pertunjukan audio
visual mengenai candi Prambanan juga ditampilkan disini.
Candi lain di sekitar Prambanan

Candi dan situs purbakala di sekitarDataran Kewu

Candi Sewu, candi Buddha yang masuk dalam lingkungan Taman Purbalaka Prambanan,
dikaitkan dengan legenda Rara Jonggrang
Dataran Kewu atau dataran Prambanan adalah dataran subur yang membentang antara lereng
selatan kaki gunung Merapidi utara dan jajaran pegunungan kapur Sewu di selatan, dekat
perbatasan Yogyakarta dan Klaten, Jawa Tengah. Selain candi Prambanan, lembah dan
dataran di sekitar Prambanan kaya akan peninggalan arkeologi candi-candi Buddha paling
awal dalam sejarah Indonesia, serta candi-candi Hindu. Candi Prambanan dikelilingi candi-
candi Buddha. Masih di dalam kompleks taman wisata purbakala, tak jauh di sebelah utara
candi Prambanan terdapat reruntuhan candi Lumbung dancandi Bubrah. Lebih ke utara lagi
terdapat candi Sewu, candi Buddha terbesar kedua setelah Borobudur. Lebih jauh ke timur
terdapat candi Plaosan. Di arah barat Prambanan terdapat candi Kalasan dan candi Sari.
Sementara di arah selatan terdapat candi Sojiwan, Situs Ratu Baka yang terletak di atas
perbukitan, serta candi Banyunibo, candi Barong, dan candi Ijo.
Dengan ditemukannya begitu banyak peninggalan bersejarah berupa candi-candi yang hanya
berjarak beberapa ratus meter satu sama lain, menunjukkan bahwa kawasan di sekitar
Prambanan pada zaman dahulu kala adalah kawasan penting. Kawasan yang memiliki nilai
penting baik dalam hal keagamaan, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Diduga pusat kerajaan
Medang Mataram terletak disuatu tempat di dataran ini. Kekayaan situs arkeologi, serta
kecanggihan dan keindahan candi-candinya menjadikan Dataran Prambanan tak kalah dengan
kawasan bersejarah terkenal lainnya di Asia Tenggara, seperti situs arkeologi kota
purbakala Angkor, Bagan, dan Ayutthaya.


2.Candi Ceto

Tampak depan Candi Ceto
Candi Ceto (hanacaraka: ejaan bahasa Jawa latin: ceth) merupakan candi bercorak agama
Hindu yang diduga kuat dibangun pada masa-masa akhir era Majapahit (abad ke-15 Masehi).
Lokasi candi berada di lereng Gunung Lawu pada ketinggian 1496 m di atas permukaan
laut
[1]
, dan secara administratif berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan
Jenawi,Kabupaten Karanganyar.
Kompleks candi digunakan oleh penduduk setempat dan juga peziarah yang beragama Hindu
sebagai tempat pemujaan. Candi ini juga merupakan tempat pertapaan bagi kalangan
penganut kepercayaan asli Jawa/Kejawen.
Penemuan
Laporan ilmiah pertama mengenai Candi Ceto dibuat oleh van de Vlies pada tahun 1842
[1]
.
A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk
kepentingan rekonstruksi dan penemuan objek terpendam dilakukan pertama kali pada tahun
1928 oleh Dinas Purbakala (Commissie vor Oudheiddienst) Hindia Belanda. Berdasarkan
keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini diperkirakan berusia tidak jauh
berbeda dari Candi Sukuh, yang cukup berdekatan lokasinya.
Riwayat kompleks percandian

Gapura Candi Ceto
Ketika ditemukan keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu pada 14 teras/punden
bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur, meskipun pada saat ini tinggal 13
teras, dan pemugaran dilakukan pada sembilan teras saja. Strukturnya yang berteras-teras
("punden berundak") memunculkan dugaan akan sinkretisme kultur asli Nusantara dengan
Hinduisme. Dugaan ini diperkuat oleh aspek ikonografi. Bentuk tubuh manusia pada relief-
relief menyerupai wayang kulit, dengan wajah tampak samping tetapi tubuh cenderung
tampak depan. Penggambaran serupa, yang menunjukkan ciri periode sejarah Hindu-Buddha
akhir, ditemukan di Candi Sukuh.
Pemugaran pada akhir 1970-an yang dilakukan sepihak oleh Sudjono Humardani, asisten
pribadi Suharto (presiden kedua Indonesia) mengubah banyak struktur asli candi, meskipun
konsep punden berundak tetap dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik oleh para
pakar arkeologi, mengingat bahwa pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa
studi yang mendalam. Beberapa objek baru hasil pemugaran yang dianggap tidak original
adalah gapura megah di bagian depan kompleks, bangunan-bangunan dari kayu tempat
pertapaan, patung-patung yang dinisbatkan sebagai Sabdapalon,Nayagenggong, Brawijaya V,
serta phallus, dan bangunan kubus pada bagian puncak punden.
Selanjutnya, Bupati Karanganyar periode 2003-2008, Rina Iriani, dengan alasan untuk
menyemarakkan gairah keberagamaan di sekitar candi, menempatkan arca Dewi Saraswati,
sumbangan dari Kabupaten Gianyar, pada bagian timur kompleks candi, pada punden lebih
tinggi daripada bangunan kubus.
Susunan bangunan

Inskripsi pada gapura teras ke-7
Pada keadaannya yang sekarang, kompleks Candi Ceto terdiri dari sembilan tingkatan
berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang
arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk (yaitu teras ketiga) merupakan halaman
candi. Aras kedua masih berupa halaman. Pada aras ketiga terdapat petilasan Ki Ageng
Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Ceto.
Sebelum memasuki aras kelima (teras ketujuh), pada dinding kanan gapura terdapat inskripsi
(tulisan pada batu) dengan aksara Jawa Kuna berbahasa Jawa Kuna berbunyi pelling padamel
irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397
[1]
. Tulisan
ini ditafsirkan sebagai fungsi candi untuk menyucikan diri (ruwat) dan penyebutan tahun
pembuatan gapura, yaitu 1397 Saka atau 1475 Masehi. Di teras ketujuh terdapat sebuah
tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya
Majapahit (diduga sebagai lambang Majapahit), dan simbol phallus (penis, alat kelamin laki-
laki) sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang. Kura-
kura adalah lambang penciptaan alam semesta sedangkan penis merupakan simbol penciptaan
manusia. Terdapat penggambaran hewan-hewan lain, seperti mimi, katak, dan ketam.
Simbol-simbol hewan yang ada, dapat dibaca sebagai suryasengkala berangka tahun 1373
Saka, atau 1451 era modern. Dapat ditafsirkan bahwa kompleks candi ini dibangun bertahap
atau melalui beberapa kali renovasi.
Pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang memuat
relief cuplikan kisah Sudamala, seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh. Kisah ini masih
populer di kalangan masyarakat Jawa sebagai dasar upacara ruwatan. Dua aras berikutnya
memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini
pendapa-pendapa tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara
keagamaan. Pada aras ketujuh dapat ditemui dua arca di sisi utara dan selatan. Di sisi utara
merupakan arca Sabdapalon dan di selatan Nayagenggong, dua tokoh setengah mitos (banyak
yang menganggap sebetulnya keduanya adalah tokoh yang sama) yang diyakini sebagai abdi
dan penasehat spiritual Sang Prabu Brawijaya V.
Pada aras kedelapan terdapat arca phallus (disebut "kuntobimo") di sisi utara dan arca Sang
Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Pemujaan terhadap arcaphallus melambangkan
ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi setempat. Aras
terakhir (kesembilan) adalah aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat
bangunan batu berbentuk kubus.
Di bagian teratas kompleks Candi Ceto terdapat sebuah bangunan yang pada masa lalu
digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual
peribadahan (patirtan). Di timur laut bangunan candi, dengan menuruni lereng, ditemukan
sebuah kompleks bangunan candi yang kini disebut sebagai Candi Kethek ("Candi Kera").


3.Candi Gunung Wukir
Candi Gunung Wukir


Lokasi dalam Topografi Jawa
Informasi bangunan
Lokasi Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Negara Indonesia
Koordinat
73803LS 1101748BTKoordinat:
73803LS 1101748BT
Jenis Candi Jawa Tengahan
Candi Gunung Wukir, Candi Canggal, atau Shiwalingga adalah candi Hindu yang berada
di Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Lokasi
Candi ini berada di atas Bukit Wukir, yang oleh masyarakat sekitar disebut Gunung Wukir, di
lereng barat Gunung Merapi. Lokasi ini berada di sebelah timur laut kota Muntilan. Candi
Gunung Wukir dapat dicapai dengan angkutan umum ke arah Kecamatan Ngluwar hingga
desa Kadiluwih, yang disambung dengan berjalan kaki ke atas bukit.
Sejarah
Candi ini merupakan candi tertua yang dapat dihubungkan dengan angka tahun.
Berdasarkan prasasti Canggalyang ditemukan pada tahun 1879 di reruntuhan, candi ini
didirikan pada saat pemerintahan raja Sanjaya dari zaman Kerajaan Mataram Kuno, yaitu
pada tahun 732 M (654 tahun Saka). Prasasti ini memiliki banyak informasi berkait
dengan Kerajaan Medang atau Mataram Hindu. Berdasarkan prasasti ini, Candi Gunung
Wukir mungkin memiliki nama asli Shiwalingga atau Kunjarakunja.
Arsitektur
Kompleks tempat reruntuhan candi ini berada mempunyai ukuran 50 m 50 m. Bangunan
candi sendiri terbuat dari jenis batu andesit setidaknya terdiri atas satu candi induk dan
tiga candi perwara. Selain prasasti, di kompleks candi ini juga
ditemukan yoni, lingga (lambang dewa Siwa), dan arca lembu betina atau Nandi.

Anda mungkin juga menyukai