Borobudur
Informasi umum
Gaya stupa dan candi
arsitektur
Negara Indonesia
1 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
konstruksi
Klien Sailendra
Detail teknis
Sistem piramida berundak dari susunan blok batu andesit yang saling mengunci
struktur
Ukuran luas dasar 123×123 meter, tinggi kini 35 meter, tinggi asli 42 meter (termasuk
chattra)
Arsitek Gunadharma
Borobudur
Tipe Budaya
Kriteria i, ii, vi
2 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
Tengah, Indonesia. Candi ini terletak kurang lebih 100 km di sebelah barat
daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat
laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para
penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa
pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha
terbesar di dunia[1][2], sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia[3].
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang di atasnya
terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672
panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha[4]. Borobudur memiliki koleksi
relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia[3]. Stupa utama terbesar teletak di
tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72
stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca Buddha tengah duduk bersila
dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra
mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci
untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk
menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan
kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.[5] Para peziarah masuk melalui sisi timur dan
memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah
jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah
dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa
nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam
perjalanannya para peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga
dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada
dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring
melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya
pengaruh Islam.[6] Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan
1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur
Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian
upaya penyelamatan dan pemugaran (perbaikan kembali). Proyek pemugaran
terbesar digelar pada kurun waktu 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah
Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam
daftar Situs Warisan Dunia.[3]
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat
Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di
Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur
adalah objek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.[7]
[8][9]
Nama Borobudur
3 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
Stupa Borobudur dengan jajaran perbukitan Menoreh. Selama berabad-abad
bangunan suci ini sempat terlupakan.
Dalam Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi;
istilah candi juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua
bangunan purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara,
misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal
mula nama Borobudur tidak jelas,[10] meskipun memang nama asli dari kebanyakan
candi di Indonesia tidak diketahui.[10] Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam
buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Stamford Raffles.[11] Raffles menulis
mengenai monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih
tua yang menyebutkan nama yang sama persis.[10] Satu-satunya naskah Jawa kuno
yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin
merujuk kepada Borobudur adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu
Prapanca pada 1365.[12]
Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles
dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu
desa Bore (Boro); kebanyakan candi memang seringkali dinamai berdasarkan desa
tempat candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin
berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka
bermakna, "Boro purba".[10] Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa
nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.[13]
Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya
menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara,
yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras.
Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan
kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi
menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata
"bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula
penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sanskertayang artinya kompleks
candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan
dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah
sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor
pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan.
Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan
pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari
wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar
tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya,
4 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu
setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai
penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan
(Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra.
[14]
Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal,
bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa
Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam
bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan
boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.[15]
Lingkungan sekitar
Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan
kesatuan perlambang
Terletak sekitar 40 kilometer (25 mi) barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur
terletak di atas bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung
kembar; Gunung Sindoro-Sumbing di sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di
sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat bukit Tidar, lebih dekat di sebelah
selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta candi ini terletak dekat
pertemuan dua sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah timur. Menurut
legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai dataran Kedu adalah tempat yang
dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa'
karena keindahan alam dan kesuburan tanahnya.[16]
Tiga candi serangkai
Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini. Pada
masa penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha
lainnya yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam
satu garis lurus.[17] Awalnya diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan
dongeng penduduk setempat, dulu terdapat jalan berlapis batu yang dipagari pagar
langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi ini. Tidak ditemukan
bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan mungkin ini hanya
dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada kesatuan
perlambang dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut)
memiliki kemiripan langgam arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berasal dari
periode yang sama yang memperkuat dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga
candi ini. Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah proses ritual
keagamaan ziarah dilakukan, belum diketahui secara pasti.[12]
Selain Candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa
peninggalan purbakala lainnya, di antaranya berbagai temuan tembikar seperti
5 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
periuk dan kendi yang menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat
beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan purbakala di sekitar Borobudur kini
disimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur, yang terletak di sebelah utara
candi bersebelahan dengan Museum Samudra Raksa. Tidak seberapa jauh di
sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang
disebut Candi Banon. Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama
Hindu dalam keadaan cukup baik yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha.
Akan tetapi batu asli Candi Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin
dilakukan rekonstruksi. Pada saat penemuannya arca-arca Banon diangkut ke
Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum Nasional Indonesia.
Danau purba
6 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi ini adalah daratan
kering, bukan dasar danau purba.
Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan
menunjukkan bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini.[19] Sebuah
penelitian stratigrafi, sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun
2000 mendukung keberadaan danau purba di lingkungan sekitar Borobudur,[18] yang
memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan danau purba ini naik-
turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti menunjukkan bahwa dasar bukit
dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan menjadi tepian danau sekitar
abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki andil
dalam mengubah bentang alam dan topografi lingkungan sekitar Borobudur
termasuk danau nya. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah
Gunung Merapi yang terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak
masa Pleistosen.[20]
Sejarah
Pembangunan
Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 1916—1919) merekonstruksi suasana di
Borobudur pada masa jayanya
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun
Borobudur dan apa kegunaannya.[21] Waktu pembangunannya diperkirakan
berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup
Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan
abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi.
[21]
Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak
kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah,[22] yang kala itu dipengaruhi
Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan
waktu 75 - 100 tahun lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa
pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.[23][24]
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala
itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut
agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti
Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.
[23]
Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran
Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama
Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang
dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6,2 mi) sebelah timur
dari Borobudur.[25] Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang
hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian
Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih
awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850
M.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan
karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha
untuk membangun candi.[26] Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya,
Panangkaran menganugerahkan desa Kalasankepada sangha (komunitas Buddha),
untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk
memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti
7 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
Kalasan berangka tahun 778 Masehi.[26] Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog,
bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang
dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja
menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.
[27]
Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa
itu — wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang
memuja Siwa — yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada
tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.[28] Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi
Lara Jonggrang di Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang
pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi
kemegahan Borobudur milik wangsa Syailendra,[28] akan tetapi banyak pihak percaya
bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara
kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi
Siwa di Prambanan.[29]
Tahapan pembangunan Borobudur
Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa
tunggal yang sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa
yang luar biasa besar dan berat ini membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga
arsitek perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan
diganti menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. [butuh
rujukan]
Berikut adalah perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:
8 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
kecil berterawang dan hanya satu stupa induk. Untuk menopang agar dinding
candi tidak longsor maka ditambahkan struktur kaki tambahan yang
membungkus kaki asli. Struktur ini adalah penguat dan berfungsi bagaikan
ikat pinggang yang mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh
keluar, sekaligus menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian
Kamadhatu
4. Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief,
penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas
gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki.
Borobudur diterlantarkan
9 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
di dalam stupa berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh
sakit dan meninggal dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada masa
Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai tempat
bersemayamnya roh halus dan dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan
kesialan atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi
dan mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah situs ini
tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah menjadi sarang wabah
penyakit seperti demam berdarah atau malaria.
Penemuan kembali
Teras tertinggi setelah restorasi Van Erp. Stupa utama memiliki menara
dengan chattra (payung) susun tiga.
Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa di bawah
pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford
Rafflesditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap
sejarah Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan
membuat catatan mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya
dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam perjalanannya keliling Jawa.
Pada kunjungan inspeksinya di Semarang tahun 1814, ia dikabari mengenai adanya
sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa Bumisegoro. [30] Karena
berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak dapat pergi sendiri
untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C. Cornelius, seorang insinyur
Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar ini. Dalam dua bulan,
Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar yang
tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi
ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan semua
lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan
berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya
menyebutkan beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali
monumen ini, serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang
pernah hilang ini.[11]
Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu
meneruskan kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan telah
tergali dan terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi daripada
tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan atas kegiatannya; secara khusus,
beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca buddha besar di stupa utama.
10 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
[31]
Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa yang ia temukan
tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.
Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat
Belanda bidang teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan
sketsa relief. J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih
terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya pada 1859. Pemerintah
berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi
sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang
mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada
1873, monograf pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan,
dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Prancis setahun kemudian.[31] Foto
pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van
Kinsbergen.[32]
Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama
Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri,
penjarah candi, dan kolektor "pemburu artefak". Kepala arca Buddha adalah bagian
yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh arca buddha terlalu berat dan
besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh pencuri agar kepalanya
terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan arca Buddha tanpa
kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran kolektor benda antik
dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak budaya
menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke
museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang marak
di monumen.[32] Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog,
untuk menggelar penyelidikan menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi
aktual kompleks ini; laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan
menyarankan agar bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk
dipindahkan.
Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cenderamata, arca dan ukirannya
diburu kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan salah
satunya direstui Pemerintah Kolonial. Pada tahun 1896, Raja
Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di Hindia Belanda (kini Indonesia)
menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari Borobudur. Pemerintah
Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan
bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain; lima
arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa
batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang pernah
berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus meter di barat laut Borobudur. Beberapa
artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini dipamerkan di Museum Nasional
Bangkok.[33]
Pemugaran
Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua
Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi.[34] Foto-foto
11 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891.
[35]
Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah
menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah membentuk komisi yang
terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang sejarawan
seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara Belanda, dan
Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan
Umum.
untuk menggali tanah di sekitar monumen untuk menemukan kepala buddha yang
hilang dan panel batu. Van Erp membongkar dan membangun kembali tiga teras
melingkar dan stupa di bagian puncak. Dalam prosesnya Van Erp menemukan
banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan proposal lain yang disetujui
dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan
rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra (payung batu
susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan pertama,
Borobudur telah pulih seperti pada masa kejayaannya. Akan tetapi
rekonstruksi chattra hanya menggunakan sedikit batu asli dan hanya rekaan kira-
kira. Karena dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp
membongkar sendiri bagian chattra. Kini mastaka atau kemuncak
Borobudur chattra susun tiga tersimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada
membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan
tata air. Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan dan
kerusakan.[36] Van Erp menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal
garam alkali dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan
12 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan masalah sehingga renovasi lebih
lanjut diperlukan.
13 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
Turis di Borobudur
Setelah pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung oleh UNESCO,
[37]
Borobudur kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali
setahun pada saat bulan purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat Buddha di
Indonesia memperingati hari suci Waisak, hari yang memperingati kelahiran, wafat,
dan terutama peristiwa pencerahan Siddhartha Gautama yang mencapai tingkat
kebijaksanaan tertinggi menjadi Buddha Shakyamuni. Waisak adalah hari libur
nasional di Indonesia[39] dan upacara peringatan dipusatkan di tiga candi Buddha
utama dengan ritual berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Pawon dan prosesi
berakhir di Candi Borobudur.[40]
Pada 21 Januari 1985, sembilan stupa rusak parah akibat sembilan bom.[41] Pada
1991 seorang penceramah muslim beraliran ekstrem yang tunanetra, Husein Ali Al
Habsyie, dihukum penjara seumur hidup karena berperan sebagai otak serangkaian
serangan bom pada pertengahan dekade 1980-an, termasuk serangan atas Candi
Borobudur.[42] Dua anggota kelompok ekstrem sayap kanan dijatuhi hukuman 20
tahun penjara pada tahun 1986 dan seorang lainnya menerima hukuman 13 tahun
penjara.
15 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
batuan bangunan bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5 sampai 9 November 2010
untuk membersihkan luruhan debu.[47][48]
Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan Merapi
2010, UNESCO telah menyumbangkan dana sebesar 3 juta dollar AS untuk
mendanai upaya rehabilitasi. Membersihkan candi dari endapan debu vulkanik akan
menghabiskan waktu sedikitnya 6 bulan, disusul penghijauan kembali dan
penanaman pohon di lingkungan sekitar untuk menstabilkan suhu, dan terakhir
menghidupkan kembali kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.
[49]
Lebih dari 55.000 blok batu candi harus dibongkar untuk memperbaiki sistem tata
air dan drainase yang tersumbat adonan debu vulkanik bercampur air hujan.
Restorasi berakhir November 2011, lebih awal dari perkiraan semula.[50]
Arsitektur
Model Borobudur
16 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
Lorong koridor dengan galeri dinding berukir relief
Borobudur merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, sebagai contoh
puncak pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di
Jawa. Bangunan ini diilhami gagasan dharma dari India, antara lain stupa,
dan mandala, tetapi dipercaya juga merupakan kelanjutan unsur lokal; struktur
megalitik punden berundak atau piramida bertingkat yang ditemukan dari periode
prasejarah Indonesia. Sebagai perpaduan antara pemujaan leluhur asli Indonesia
dan perjuangan mencapai Nirwana dalam ajaran Buddha.[3]
Konsep rancang bangun
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas
membentuk pola Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas
bujursangkar dan lingkaran konsentris yang melambangkan kosmos atau alam
semesta yang lazim ditemukan dalam Buddha aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh
pelataran yang dimiliki Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat
mazhab Mahayana yang secara bersamaan menggambarkan kosmologi yaitu
konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran dalam ajaran Buddha.
[51]
Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh
tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi
Buddha. Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 meter (404 ft) pada tiap sisinya.
Bangunan ini memiliki sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur sangkar
dan tiga teras teratas berbentuk lingkaran.
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki
Borobudur.[34] Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 di antaranya adalah
berkisah tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang
merupakan petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief.
[52]
Kaki asli ini tertutup oleh penambahan struktur batu yang membentuk pelataran
yang cukup luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya diduga
bahwa penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran monumen.[52] Teori lain
mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan perancangan kaki
asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab India mengenai arsitektur dan tata
kota.[34] Apapun alasan penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan kaki
tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan
keagamaan, estetik, dan teknis.
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
Kamadhatu
17 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih
dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup
oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi.
Pada bagian kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel
cerita Karmawibhangga yang kini tersembunyi. Sebagian kecil struktur
tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat melihat
beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan yang
menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.[5]
Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya
dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk
persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief.
Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif.
Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu,
tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam
antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini
patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas pagar
langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-
relung terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan.[5] Pada pagar langkan
terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari
ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah
dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya
dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya
akan hiasan dan ukiran relief.
Arupadhatu
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai
kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini
dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud).
Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di
mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan
rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72
dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang
mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk
lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing berjumlah
32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar
dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit
lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung
Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti
dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar.
Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju
keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.[butuh rujukan]
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang
sempurna dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa
digambarkan polos tanpa lubang-lubang.[butuh rujukan] Di dalam stupa
terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau
disebut juga Buddha yang tidak rampung, yang disalahsangkakan
sebagai patung 'Adibuddha', padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak
pernah ada patung di dalam stupa utama, patung yang tidak selesai itu
18 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut
kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang
tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman
candi ini menemukan banyak patung seperti ini. Stupa utama yang
dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu
kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna di mana jiwa manusia
sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas dari
lingkaran samsara.
Struktur bangunan
19 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
Tangga Borobudur mendaki melalui serangkaian gapura berukir Kala-
Makara
Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan
tempat penatahan untuk membangun monumen ini.[53] Batu ini dipotong
dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan tanpa
menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama
sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-
balok lego yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan
dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta
bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua blok batu. Relief dibuat di
lokasi setelah struktur bangunan dan dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk
wilayah dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan
kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap sudut, masing-masing
dengan rancangan yang unik berbentuk kepala
[butuh rujukan]
raksasa kala atau makara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak
dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi
teknik pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain.
Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit.
Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat.
Secara umum rancang bangun Borobudur mirip
dengan piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha
diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah
kanan. Borobudur mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai
sebuah stupa, daripada kuil atau candi.[53]Stupa memang dimaksudkan
sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha. Terkadang stupa
dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan kepada
Buddha. Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah.
Rancangannya yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa
bangunan ini memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk
bangunan tanpa ruangan dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga
merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang
merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
20 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur
bernama Gunadharma, sedikit yang diketahui tentang arsitek misterius
ini.[54]Namanya lebih berdasarkan dongeng dan legenda Jawa dan bukan
berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda Gunadharma terkait dengan
cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai
tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh
Gunadharma yang berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan
Menoreh, tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.
Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang
wajah manusia antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau
jarak jengkal antara ujung ibu jari dengan ujung jari kelingking ketika
telapak tangan dikembangkan sepenuhnya.[55] Tentu saja satuan ini
bersifat relatif dan sedikit berbeda antar individu, akan tetapi satuan ini
tetap pada monumen ini. Penelitian pada 1977 mengungkapkan rasio
perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di monumen ini. Arsitek
menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang tepat dari
suatu fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan
Borobudur.[55][56] Rasio matematis ini juga ditemukan dalam rancang
bangun Candi Mendut dan Pawon di dekatnya. Arkeolog yakin bahwa
rasio 4:6:9 dan satuan tala memiliki fungsi dan makna penanggalan,
astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama juga berlaku di candi Angkor
Wat di Kamboja.[54]
Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan
puncak.[54] Dasar berukuran 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi 4
meter (13 ft).[53]Tubuh candi terdiri atas lima batur teras bujur sangkar
yang makin mengecil di atasnya. Teras pertama mundur 7 meter (23 ft)
dari ujung dasar teras. Tiap teras berikutnya mundur 2 meter (6,6 ft),
menyisakan lorong sempit pada tiap tingkatan. Bagian atas terdiri atas
tiga teras melingkar, tiap tingkatan menopang barisan stupa berterawang
yang disusun secara konsentris. Terdapat stupa utama yang terbesar di
tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian 35 meter (115 ft) dari
permukaan tanah. Tinggi asli Borobudur termasuk chattra (payung susun
tiga) yang kini dilepas adalah 42 meter (138 ft) . Tangga terletak pada
bagian tengah keempat sisi mata angin yang membawa pengunjung
menuju bagian puncak monumen melalui serangkaian gerbang
pelengkung yang dijaga 32 arca singa. Gawang pintu gerbang dihiasi
ukiran Kala pada puncak tengah lowong pintu dan ukiran makara yang
menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui dalam
arsitektur pintu candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur, sekaligus
titik awal untuk membaca kisah relief. Tangga ini lurus terus tersambung
dengan tangga pada lereng bukit yang menghubungkan candi dengan
dataran di sekitarnya.
Relief
21 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
Seni pahat Borobudur memiliki kehalusan gaya dan citarasa estetik
yang anggun
Borobudur
Pada dinding candi di setiap tingkatan — kecuali pada teras-teras
Arupadhatu — dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan
sangat teliti dan halus.[57] Relief dan pola hias Borobudur bergaya
naturalis dengan proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus. Relief-
relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan
anggun dalam kesenian dunia Buddha.[58] Relief Borobudur juga
menerapkan disiplin senirupa India, seperti berbagai sikap tubuh yang
memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-relief berwujud manusia
mulia seperti pertapa, raja dan wanita bangsawan, bidadari atapun
makhluk yang mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan
boddhisatwa, seringkali digambarkan dengan posisi tubuh tribhanga.
Posisi tubuh ini disebut "lekuk tiga" yaitu melekuk atau sedikit condong
pada bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan beban tubuh
hanya bertumpu pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya dilekuk
beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan keanggunan,
misalnya figur bidadari Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh
tribhanga sambil menggenggam teratai bertangkai panjang.[59]
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia
baik bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan,
22 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
serta menampilkan bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara.
Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek
kehidupan masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan
masa lampau di Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan
mencermati dan merujuk ukiran relief Borobudur. Bentuk rumah
panggung, lumbung, istana dan candi, bentuk perhiasan, busana serta
persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa, serta alat transportasi,
dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah relief terkenal yang
menggambarkan Kapal Borobudur.[60] Kapal kayu bercadik khas
Nusantara ini menunjukkan kebudayaan bahari purbakala. Replika
bahtera yang dibuat berdasarkan relief Borobudur tersimpan di Museum
Samudra Raksa yang terletak di sebelah utara Borobudur.[61]
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau
disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal
[butuh rujukan]
dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-
relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief
cerita jātaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan
berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di
sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara
nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya
(utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke
timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar
langkan candi adalah sebagai berikut.
Bagan Relief
a. Lalitawistara 120
dinding
b. jataka/awadana 120
Tingkat I
a. jataka/awadana 372
langkan
b. jataka/awadana 128
23 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
langkan jataka/awadana 100
dinding Gandawyuha 88
Tingkat III
langkan Gandawyuha 88
dinding Gandawyuha 84
Tingkat IV
langkan Gandawyuha 72
Jumlah 1460
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna
sebagai berikut:
Karmawibhangga
24 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
Pangeran Siddhartha Gautamamencukur rambutnya dan menjadi
pertapa
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief
(tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya
Sang Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan wejangan pertama di
Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi
sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang
dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan
kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk
menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon
Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada
ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri
Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang
berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai
Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga
berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.[butuh rujukan]
Jataka dan Awadana
Jataka adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan
sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-
perbuatan baik, seperti sikap rela berkorban dan suka menolong yang
membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Beberapa
kisah Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah yang melibatkan tokoh
satwa yang bersikap dan berpikir seperti manusia. Sesungguhnya,
pengumpulan jasa atau perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam
usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.[butuh rujukan]
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan
tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan
ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia
kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada
relief candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan sama, artinya
keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan
yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala
atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura yang hidup dalam abad ke-
4 Masehi.[butuh rujukan]
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah
cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya
mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana.
Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha
Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya
berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.[butuh rujukan]
Arca Buddha
25 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
Sebuah arca Buddha di dalam stupa berterawang
Arah
Mat
Melambangk Dhyani
Arca Mudra a Lokasi Arca
an Buddha
Angi
n
Relung di pagar
Memanggil
Bhumisparsa langkan 4 baris
bumi sebagai Aksobhya Timur
mudra pertama Rupadhatu sis
saksi
i timur
Relung di pagar
Ratnasambha langkan 4 baris
Wara mudra Kedermawanan Selatan
wa pertama Rupadhatu sis
i selatan
Relung di pagar
Dhyana Semadi atau langkan 4 baris
Amitabha Barat
mudra meditasi pertama Rupadhatu sis
i barat
Relung di pagar
Abhaya Amoghasiddh langkan 4 baris
Ketidakgentaran Utara
mudra i pertama Rupadhatu sis
i utara
Relung di pagar
Witarka langkan baris kelima
Akal budi Wairocana Tengah
mudra (teratas) Rupadhatu se
mua sisi
26 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
Di dalam 72 stupa di 3
Dharmachak Pemutaran roda
Wairocana Tengah teras
ra mudra dharma
melingkar Arupadhatu
27 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
Warisan
Presiden Sukarno mengajak Nehrumengunjungi
Borobudur pada bulan Juni 1950.
Pencapaian estetika dan keahlian teknik arsitektur yang
ditampilkan Borobudur, serta ukurannya yang luar
biasa, menjadi bukti keagungan masa lalu, dan telah
membangkitkan kebanggaan bagi Bangsa Indonesia.
Sebagaimana peran Angkor Wat bagi Bangsa
Kamboja, Borobudur telah menjadi simbol yang kuat
bagi Indonesia — sebagai saksi kejayaan masa
lalu. Sukarno menegaskannya dengan mengajak tamu-
tamu negara mengunjunginya. Sementara
pemerintahan Suharto — menyadari makna simbolis
dan potensi ekonominya — secara tekun menggelar
proyek pemugaran untuk memulihkan monumen ini
dengan bantuan UNESCO. Banyak museum di
Indonesia memamerkan model skala kecil atau replika
Borobudur. Monumen ini telah menjadi ikon,
dikelompokkan bersama wayang dan gamelan sebagai
wujud budaya klasik Jawa yang menjadi inspirasi
Indonesia.[64]
29 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.
1956 - Pemerintah Indonesia meminta
bantuan UNESCO. Prof. Dr. C. Coremans datang
ke Indonesia dari Belgia untuk meneliti sebab-sebab
kerusakan Borobudur.
1963 - Pemerintah Indonesia mengeluarkan surat
keputusan untuk memugar Borobudur, tetapi
berantakan setelah terjadi peristiwa G-30-S.
1968 - Pada konferensi-15 di Prancis, UNESCO
setuju untuk memberi bantuan untuk
menyelamatkan Borobudur.
1971 - Pemerintah Indonesia membentuk badan
pemugaran Borobudur yang diketuai
Prof.Ir.Roosseno.
1972 - International Consultative
Committee dibentuk dengan melibatkan berbagai
negara dan Roosseno sebagai ketuanya. Komite
yang disponsori UNESCO menyediakan 5 juta dolar
Amerika Serikat dari biaya pemugaran 7.750 juta
dolar Amerika Serikat. Sisanya ditanggung
Indonesia.
10 Agustus 1973 - Presiden Soeharto meresmikan
dimulainya pemugaran Borobudur; pemugaran
selesai pada tahun 1984
21 Januari 1985 - terjadi serangan bom yang
merusakkan beberapa stupa pada Candi Borobudur
yang kemudian segera diperbaiki kembali.
Serangan dilakukan oleh kelompok Islam ekstremis
yang dipimpin oleh Husein Ali Al Habsyi.
1991 - Borobudur ditetapkan sebagai Warisan
Dunia oleh UNESCO.
Daftar Pustaka:
https://id.wikipedia.org/wiki/Borobudur
30 |Antonio Alphino Putra Wagho, Tugas Bahasa Indonesia ; Smpn1 Sangatta Utara.