Anda di halaman 1dari 11

TUGAS AGAMA BUDDHA

CANDI CANDI AGAMA BUDDHA YANG


ADA DI INDONESIA

DISUSUN OLEH :
VINCENT COLIN YANG
X TKJ
2022
1. CANDI MUARA TAKUS

Candi Muara Takus adalah sebuah situs candi Buddha yang terletak di desa Muara Takus,
Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Situs ini berjarak kurang lebih 135
kilometer dari Kota Pekanbaru.
Situs Candi Muara Takus dikelilingi oleh tembok berukuran 74 x 74 meter, yang terbuat dari
batu putih dengan tinggi tembok ± 80 cm, di luar arealnya terdapat pula tembok tanah
berukuran 1,5 x 1,5 kilometer, mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir Sungai Kampar
Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat beberapa bangunan candi yang disebut dengan Candi
sulung /tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka.
Para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan situs candi ini didirikan. Ada
yang mengatakan abad ke-4, ada yang mengatakan abad ke-7, abad ke-9 bahkan pada abad
ke-11. Namun candi ini dianggap telah ada pada zaman keemasan Sriwijaya, sehingga
beberapa sejarahwan menganggap kawasan ini merupakan salah satu pusat pemerintahan dari
kerajaan Sriwijaya.[1][2]
Pada tahun 2009 Candi Muara Takus dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia
UNESCO
Candi Muara Takus adalah situs candi tertua di Sumatra, merupakan satu-satunya situs
peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhis ini merupakan
bukti bahwa agama Buddha pernah berkembang di kawasan ini.

Candi ini dibuat dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Berbeda dengan candi yang ada di
Jawa, yang dibuat dari batu andesit yang diambil dari pegunungan. Bahan pembuat Candi
Muara Takus, khususnya tanah liat, diambil dari sebuah desa yang bernama Pongkai, terletak
kurang lebih 6 km di sebelah hilir situs Candi Muara Takus. Nama Pongkai kemungkinan
berasal dari Bahasa Tionghoa, Pong berati lubang dan Kai berarti tanah, sehingga dapat
bermaksud lubang tanah, yang diakibatkan oleh penggalian dalam pembuatan Candi Muara
Takus tersebut.
2. CANDI BOROBUDUR

Candi Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah, Indonesia. Candi ini terletak kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86
km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi dengan
banyak stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an
Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha
terbesar di dunia, sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.

Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang di atasnya terdapat tiga
pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat
504 arca Buddha.

Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas
Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak
saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran
(perbaikan kembali). Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun waktu 1975 hingga 1982
atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk
dalam daftar Situs Warisan Dunia.

Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata
bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro);
kebanyakan candi memang sering kali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri.
Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam
bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba". Akan tetapi arkeolog lain
beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.
3. CANDI PAWON

Candi Pawon adalah nama sebuah candi, peninggalan Masa Klasik, yang terletak di Dusun
Brojonalan, Desa Wanurejo, Kec. Borobudur, Kabupaten Magelang. Letak Candi Pawon ini berada
di antara Candi Mendut dan Candi Borobudur, tepat berjarak 1750 meter dari Candi Borobudur ke
arah timur dan 1150 m dari Candi Mendut ke arah barat.

Nama Candi Pawon tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya. Ahli epigrafi J.G. de
Casparis menafsirkan bahwa Pawon berasal dari bahasa Jawa awu yang berarti 'abu', mendapat
awalan pa- dan akhiran -an yang menunjukkan suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari
kata pawon berarti 'dapur', akan tetapi de Casparis mengartikannya sebagai 'perabuan' atau tempat
abu. Penduduk setempat juga menyebutkan Candi Pawon dengan nama Bajranalan. Kata ini
mungkin berasal dari kata bahasa Sanskerta vajra =yang berarti 'halilintar' dan anala yang berarti
'api'. Candi Pawon dipugar tahun 1903.

Di dalam bilik candi ini sudah tidak ditemukan lagi arca sehingga sulit untuk mengidentifikasikannya
lebih jauh. Suatu hal yang menarik dari Candi Pawon ini adalah ragam hiasnya. Dinding-dinding luar
candi dihias dengan relief pohon hayati (kalpataru) yang diapit pundi-pundi dan kinara-kinari (mahluk
setengah manusia setengah burung/berkepala manusia berbadan burung).

Candi Pawon terbuat dari batu andesit dengan denah berbentuk bujur sangkar. Panjang sisi-sisi
candi berukuran 10 meter dan tinggi 13,3 meter. Bangunan candi menghadap ke barat dengan bilik
berukuran 2,65 meter x 2,64 meter, dan tinggi 5,20 meter. Candi Pawon memiliki bentuk ramping
tidak seperti Candi Borobudur yang tambun. Secara arsitektur, bangunan Candi Pawon terbagi
dalam tiga bagian, yaitu kaki, atap candi, dan tubuh. Bagian kaki candi berupa batur dengan tinggi
1,5 meter. Pada bagian kaki candi banyak dihiasi ornamen, seperti bunga, dan sulur-suluran.
Bagian tubuh candi dihiasi dengan arca-arca Bodhisattva, sedangkan bagian atap dihiasi dengan
stupa.
4. CANDI MENDUT

Candi Mendut adalah sebuah candi bercorak Buddha. Candi yang terletak di Desa Mendut, Jalan
Mayor Kusen Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini, letaknya berada sekitar 3
kilometer dari Candi Borobudur.

Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti
Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan
suci bernama wenuwana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda
bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.

Bahan bangunan candi sebenarnya adalah batu bata yang ditutupi dengan batu alam. Bangunan ini
terletak pada sebuah basement yang tinggi, sehingga tampak lebih anggun dan kokoh. Tangga naik
dan pintu masuk menghadap ke barat-daya. Di atas basement terdapat lorong yang mengelilingi
tubuh candi. Atapnya bertingkat tiga dan dihiasi dengan stupa-stupa kecil. Jumlah stupa-stupa kecil
yang terpasang sekarang adalah 48 buah.Tinggi bangunan adalah 26,4 meter.

Hiasan yang terdapat pada Candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan
ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa dewata gandarwa dan apsara atau bidadari, dua ekor
kera dan seekor garuda. Pada kedua tepi tangga terdapat relief-relief cerita Pancatantra dan jataka.
Dinding candi dihiasi relief Boddhisatwa di antaranya Awalokiteśwara, Maitreya, Wajrapāṇi dan
Manjuśri. Pada dinding tubuh candi terdapat relief kalpataru, dua bidadari, Harītī (seorang yaksi
yang bertobat dan lalu mengikuti Buddha) dan Āţawaka. Di dalam induk candi terdapat arca Buddha
besar berjumlah tiga: yaitu Dhyani Buddha Wairocana dengan sikap tangan (mudra)
dharmacakramudra. Di depan arca Buddha terdapat relief berbentuk roda dan diapit sepasang rusa,
lambang Buddha. Di sebelah kiri terdapat arca Awalokiteśwara (Padmapāņi) dan sebelah kanan
arca Wajrapāņi.
5. CANDI BANYUNIBO

Candi Banyunibo adalah candi Buddha yang berada tidak jauh dari Candi Ratu Boko, yaitu di
bagian sebelah timur dari Kota Yogyakarta ke arah Kota Wonosari. Sekitar 5,6 km ke arah
selatan dari candi Prambanan, dan secara administratif terletak di Dusun Cepit, Desa
Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Sleman, Yogyakarta. Candi ini dibangun pada sekitar abad
ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Pada bagian atas candi ini terdapat sebuah stupa
yang merupakan ciri khas agama Buddha.

Bangunan candi ini bernama Candi Banyunibo yang berada tidak jauh dari kompleks Ratu
Boko, Candi Barong, dan Candi Ijo. Bahkan di sekitar candi ini pun banyak dijumpai situs candi
di beberapa dusun sekitarnya. Candi ini diketemukan dalam keadaan runtuh dan kemudian
mulai digali dan diteliti pada tahun 1940-an. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9 pada
zaman Kerajaan Mataram Kuno. Kompleks Candi Banyunibo sering dikunjungi wisatawan
karena memiliki taman, ramah bagi pesepeda, dan dipenuhi UMKM.

Pada bagian atas candi ini terdapat sebuah stupa yang merupakan ciri khas agama Buddha.
Arti nama candi ini yaitu banyunibo yang berarti air jatuh-menetes (dalam bahasa Jawa)
walaupun di candi ini tidak ada tetesan air ataupun sumber air di sekitar candi. Candi
Banyunibo termasuk bangunan suci Buddha yang cukup kaya akan hiasan (ornamen). Hampir
pada setiap bagian candi diisi oleh bermacam-macam hiasan dan relief, meskipun bagian yang
satu dengan yang lain sering ditemukan motif hiasan yang sama.

Hiasan pada kaki candi. Dinding kaki candi Banyunibo masing-masing sisi dibagi menjadi
beberapa bidang. Bidang tersebut kemudian diisi dengan pahatan berupa hiasan tumbuh-
tumbuhan yang keluar dari pot bunga. Candi utama menghadap ke barat dan terletak di antara
ladang tebu dan persawahan.
6. CANDI KALASAN

Candi Kalasan atau Candi Kalibening merupakan sebuah Bangunan Cagar Budaya yang
dikategorikan sebagai candi umat Buddha. Candi ini terletak di Desa Tirtomartani, Kecamatan
Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.

Candi ini memiliki 52 stupa dan berada di sisi selatan jalan raya antara Surakarta dan Jogja
serta sekitar 2 km dari candi Prambanan.

Berdasarkan prasasti Kalasan bertarikh 778 yang ditemukan tidak jauh dari candi ini
menyebutkan tentang pendirian bangunan suci untuk menghormati Bodhisattva wanita,
Tarabhawana dan sebuah vihara untuk para pendeta. Penguasa yang memerintah
pembangunan candi ini bernama Maharaja Tejapurnapana Panangkaran (Rakai Panangkaran)
dari keluarga Syailendra. Kemudian dengan perbandingan dari manuskrip pada prasasti
Kelurak tokoh ini dapat diidentifikasikan dengan Dharanindra atau dengan prasasti Nalanda
adalah ayah dari Samaragrawira. Sehingga candi ini dapat menjadi bukti kehadiran Wangsa
Syailendra.

rofesor Dr Casparis. menafsir berdasarkan prasasti Kalasan itu, Candi Kalasan dibangun
bersama antara Buddha dan Hindu. Sementara itu Van Rumond, sejarawan dari Belanda
meyakini bahwa di situs yang sama pernah ada bangunan suci lain yang umurnya jauh lebih tua
dibanding Candi Kalasan, sesuai hasil penelitian yang dilakukannya pada tahun 1928.
Bangunan suci itu berbentuk wihara yang luasnya 45 meter x 45 meter. Ini berarti bangunan
candi mengalami tiga kali perbaikan. Sebagai bukti, menurutnya, terdapat empat sudut kaki
candi dengan bagian yang menonjol.
7. CANDI PLAOSAN

Candi Plaosan adalah sebutan untuk kompleks percandian yang terletak di Dukuh Plaosan,
Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.
Candi ini terletak kira-kira satu kilometer ke arah timur-laut dari Candi Sewu atau Candi
Prambanan. Adanya kemuncak stupa, arca Buddha, serta candi-candi perwara
(pendamping/kecil) yang berbentuk stupa menandakan bahwa candi-candi tersebut adalah
candi Buddha. Kompleks ini dibangun pada abad ke-9 oleh Raja Rakai Pikatan[1] dan Sri
Kahulunan pada zaman Kerajaan Medang, atau juga dikenal dengan nama Kerajaan Mataram
Kuno.

Kompleks Candi Plaosan terdiri atas Candi Plaosan Lor dan Candi Plaosan Kidul. Pada masa
lalu, Kompleks percandian ini dikelilingi oleh parit berbentuk persegi panjang. Sisa struktur
tersebut masih bisa dilihat sampai saat ini di bagian timur dan barat candi.

Kompleks Candi Plaosan Lor memiliki dua candi utama. Candi yang terletak di sebelah kiri (di
sebelah utara) dinamakan Candi Induk Utara dengan relief yang menggambarkan tokoh-tokoh
wanita, dan candi yang terletak di sebelah kanan (selatan) dinamakan Candi Induk Selatan
dengan relief menggambarkan tokoh-tokoh laki-laki. Di bagian utara kompleks terdapat
mandapa terbuka dengan beberapa arca buddhis. Kedua candi induk ini dikelilingi oleh 116
stupa perwara serta 50 buah candi perwara, juga parit buatan.

Candi Induk Selatan Plaosan Lor dipugar pada tahun 1962 oleh Dinas Purbakala. Sementara
itu, Candi Induk Selatan dipugar pada tahun 1990-an oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan
Purbakala Jawa Tengah. Berbeda dari Candi Plaosan Lor, Candi Plaosan Kidul belum diketahui
memiliki candi induk. Pada kompleks ini terdapat beberapa perwara berbentuk candi dan stupa.
Sebagian di antara candi perwara telah dipugar.
8. CANDI RATU BOKO

Candi Ratu Boko atau Istana Raja Baka adalah situs purbakala yang merupakan kompleks
sejumlah sisa bangunan yang berada kira-kira 3 km di sebelah selatan dari kompleks Candi
Prambanan, 18 km sebelah timur Kota Yogyakarta atau 50 km barat daya Kota Surakarta, Jawa
Tengah, lebih tepatnya di kalurahan Bokoharjo, kapanéwon Prambanan, kabupaten Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Situs Ratu Boko terletak di sebuah bukit pada ketinggian 196 meter dari
permukaan laut. Luas keseluruhan kompleks adalah sekitar 25 ha.

Situs Ratu Boko pertama kali dilaporkan oleh Van Boeckholzt pada tahun 1790, yang menyatakan
terdapat reruntuhan kepurbakalaan di atas bukit Ratu Boko. Bukit ini sendiri merupakan cabang dari
sistem Pegunungan Sewu, yang membentang dari selatan Yogyakarta hingga daerah Tulungagung.
Seratus tahun kemudian baru dilakukan penelitian yang dipimpin oleh FDK Bosch, yang dilaporkan
dalam Keraton van Ratoe Boko. Dari sinilah disimpulkan bahwa reruntuhan itu merupakan sisa-sisa
keratin.
Berbeda dengan peninggalan purbakala lain dari zaman Jawa Kuno yang umumnya berbentuk
bangunan keagamaan, situs Ratu Boko merupakan kompleks profan, lengkap dengan gerbang
masuk, pendopo, tempat tinggal, kolam pemandian, hingga pagar pelindung.
Berbeda pula dengan keraton lain di Jawa yang umumnya didirikan di daerah yang relatif landai,
situs Ratu Boko terletak di atas bukit yang lumayan tinggi. Ini membuat kompleks bangunan ini
relatif lebih sulit dibangun dari sudut pengadaan tenaga kerja dan bahan bangunan. Terkecuali tentu
apabila bahan bangunan utamanya, yaitu batu, diambil dari wilayah bukit ini sendiri. Ini tentunya
mensyaratkan terlatihnya para pekerja di dalam mengolah bukit batu menjadi bongkahan yang bisa
digunakan sebagai bahan bangunan.
Pemerintah pusat sekarang memasukkan kompleks Situs Ratu Boko ke dalam otorita khusus,
bersama-sama dengan pengelolaan Candi Borobudur dan Candi Prambanan ke dalam satu BUMN
yang bernama PT Taman Wisata Candi, setelah kedua candi terakhir ini dimasukkan dalam Daftar
Warisan Dunia UNESCO. Sebagai konsekuensinya, Situs Ratu Boko ditata ulang pada beberapa
tempat untuk dapat dijadikan tempat pendidikan dan kegiatan budaya.
9. CANDI JAGO

Menurut kitab Negarakertagama pupuh 41:4 dan Pararaton, nama Candi Jago sebenarnya berasal
dari kata "Jajaghu", yang didirikan pada masa Kerajaan Singhasari pada abad ke-13 sebagai
penghormatan bagi Raja ketiga Singhasari, Wisnuwardhana. Jajaghu, yang artinya adalah
'keagungan', merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tempat suci. Candi ini berlokasi di
Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur atau sekitar 22
km dari Kota Malang,

Candi Jago berlatar agama Buddha Tatrayana. Salah satu ciri dari agaama Buddha Tatrayana
adalah arcanya yang berbentuk amoghapasa, bentuk Tatris dari awaloketeswara disertai pengiring-
pengiring nya. Arca tersebut merupakan arca dari perwujudan dari raja keempat singasari yang
bernama Raja Wisnuwarddhana, yang meninggal tahun 1190 Saka (1280 Masehi)

Candi ini cukup unik, karena bagian atasnya hanya tersisa sebagian dan menurut cerita setempat
karena tersambar petir. Relief-relief Kunjarakarna dan Pancatantra dapat ditemui di candi ini. Secara
keseluruhan bangunan candi ini tersusun atas bahan batu andesit.

Pada candi inilah Adityawarman kemudian menempatkan Arca Manjusri seperti yang disebut pada
Prasasti Manjusri. Sekarang Arca ini tersimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris D.
214.

Masih menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, pembangunan Candi Jago atas perintah
Raja Kertanagara ini berlangsung sejak tahun 1268 M sampai dengan tahun 1280 M, sebagai
penghormatan bagi ayahandanya Raja Singasari ke-4, Sri Jaya Wisnuwardhana, yang mangkat
pada tahun 1268.

Candi jago pertama kali dipublikasikan oleh Stamford Raffles dalam sebuah buku yang diterbitkan
nya yang berjudul History of Java (1917), namun siapa yang menemukan nya pertama kali masih
belum diketahui. Sebelumnya candi ini juga pernah diteliti oleh R.H.T Friederich (1854), J.F.G
Brumund (1855), Fergusson (1876), dan Veth (1878). J.L.A Brandes kemudian melakukan penelitian
dan menerbitkan buku yang berjudul Jago Monografi (1904).
10. CANDI MUARO JAMBI

Candi Muaro Jambi adalah sebuah kompleks percandian agama Hindu-Buddha terluas di asia tenggara,
dengan luas 3981 hektar. yang kemungkinan besar merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan
Kerajaan Melayu. Kompleks percandian ini terletak di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi,
Jambi, Indonesia, tepatnya di tepi Batang Hari, sekitar 26 kilometer arah timur Kota Jambi. Candi tersebut
diperkirakakn berasal dari abad ke- 7 - 12 M. Candi Muara Jambi merupakan kompleks candi yang
terbesar dan yang paling terawat di pulau Sumatra. Dan sejak tahun 2009 Kompleks Candi Muaro Jambi
telah dicalonkan ke UNESCO untuk menjadi Situs Warisan Dunia.

Kompleks percandian Muaro Jambi pertama kali dilaporkan pada tahun 1824 oleh seorang letnan Inggris
bernama S.C. Crooke yang melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk kepentingan militer. Baru
tahun 1975, pemerintah Indonesia mulai melakukan pemugaran yang serius yang dipimpin R. Soekmono.
Berdasarkan aksara Jawa Kuno[butuh rujukan] pada beberapa lempeng yang ditemukan, pakar epigrafi
Boechari menyimpulkan peninggalan itu berkisar dari abad ke-7-12 Masehi. Di situs ini baru sembilan
bangunan yang telah dipugar,[1] dan kesemuanya adalah bercorak Buddhisme. Kesembilan candi
tersebut adalah Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung, Tinggi, Telago
Rajo, Kembar Batu, dan Candi Astano.

Dari sekian banyaknya penemuan yang ada, Junus Satrio Atmodjo menyimpulkan daerah itu dulu banyak
dihuni dan menjadi tempat bertemu berbagai budaya. Ada manik-manik yang berasal dari Persia, China,
dan India. Agama Buddha Mahayana Tantrayana diduga menjadi agama mayoritas dengan
diketemukannya lempeng-lempeng bertuliskan "wajra" pada beberapa candi yang membentuk mandala.

Meskipun kompleks candi ini sebagai Warisan Budaya Dunia, candi ini mengalami kemunduran dalam
pengelolaan. Ini diperparah oleh adanya industri sawit dan batubara di sekitar kompleks. Bahkan
sejumlah candi dan menapo (tumpukan bata berstruktur candi) berada persis di tengah-tengah lokasi
pabrik dan areal penimbunan batubara. Pariwisata massal juga turut memperparah keadaan, dengan
adanya persewaan sepeda, —yang sering kali melindas menapo, dan adanya kompleks candi yang
digunakan sebagai pasar malam, mulai dari komidi putar dan tong setan yang dipasang di tengah candi.
Selain itu, kawasan konservasi arkeologis itu belum lagi dimasukkan ke rencana tata ruang kabupaten
dan provinsi. Disayangkan, pengalokasian wilayah untuk ini belum ada.

Anda mungkin juga menyukai