Anda di halaman 1dari 5

Relief candi boro budhur

Candi Borobudur adalah sebuah mahakarya agung! Inilah monumen Buddha terbesar di
dunia yang telah diakui UNESCO. Ia merupakan puzzle atau lego dari sekira 2 juta balok
batu vulkanik raksasa yang dipahat sedemikian rupa sehingga dapat saling mengunci
(interlock) meski tanpa menggunakan semen atau perekat apa pun.

Akan tetapi sebagaimana kita ketahui, Borobudur yang dibangun memakan waktu sekira 75
tahun ini bukanlah hanya sekedar tumpukan puzzle batu raksasa, meski teknik menyusun
batu-batu ini pun adalah sebuah hal yang luar biasa. Borobudur juga menyimpan pesona
keindahan karya seni bernilai tinggi bermuatan sejarah, budaya, dan agama. Kesepuluh
pelataran Borobudur diyakini sebagai representasi filsafat mazhab Mahayana, yaitu
menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai
kesempurnaan menjadi Buddha.

Borobudur sudah serupa kitab Buddha yang dipahat di batuan dengan kualitas dan kuantitas
pahatan relief dan jenis cerita yang mumpuni serta dilengkapi dengan arca dan stupa yang tak
kalah mengagumkan. Candi Borobudur memiliki sekira 2672 panel relief yang konon apabila
dibentangkan akan mencapai panjang 6 kilometer. UNESCO bahkan mengakuinya sebagai
ansambel relief Buddha terbesar dan terlengkap di dunia. Setiap adegan dan kisah yang
terpahat adalah sebuah mahakarya seni yang utuh dan luar biasa tinggi nilainya.

Ada teknik tersendiri untuk membaca relief pada dinding-dinding candi, yaitu dibaca ke arah
sesuai arah jarum jam. Hal ini dikenal dengan istilah mapradaksina (bahasa Jawa Kuna)
yang berasal dari bahasa Sansekerta Daksina yang berarti timur. Awal cerita akan dimulai dan
berkahir di pintu gerbang sisi Timur di setiap tingkatnya. Borobudur memiliki tangga naik di
empat penjuru mata angin tapi diperkirakan tangga naik utama adalah di sebelah Timur.

Relief pada Borobudur terpahat di beberapa tingkatan Borobudur. Relief-relief tersebut


menggambarkan adegan yang diambil dari beberapa sutra, yaitu cerita Karmawibhanga,
Jatakamala, Awadana, Gandawyuha dan Bhadracari.

Karmawibhangga adalah relief yang menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi
sebab akibat (hukum karma). Di zona Kamadhatu, beberapa relief-relief Karmawibhangga
menggambarkan hawa nafsu manusia, seperti perampokan, pembunuhan, penyiksaan, dan
penistaan. Tidak hanya menggambarkan perbuatan jahat, Relief Karmawibhanga yang
dipahat di atas 160 panil juga menggambarkan ajaran sebab akibat perbuatan baik.

Setiap panil bukanlah cerita naratif (berseri) dan berisi kisah-kisah tertentu yang di antaranya
menggambarkan perilaku masyarakat Jawa Kuna masa itu, antara lain perilaku keagamaan,
mata pencaharian, struktur sosial, tata busana, peralatan hidup, jenis-jenis flora dan fauna,
dan sebagainya. Secara keseluruhan itu menggambarkan siklus hidup manusia, yaitu: lahir -
hidup - mati (samsara).

Kamadhatu adalah gambaran dunia yang dihuni oleh kebanyakan orang, atau dunia yang
masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Karenanya zona ini berada di tingkat paling
bawah Borobudur dan kini tertutup oleh pondasi penyokong bangunan sehingga tidak terlihat
(kecuali pada sisi Selatan terbuka sedikit). Ada dugaan bahwa tertutupnya zona ini
dikarenakan untuk memperkuat struktur atau pondasi bangunan. Akan tetapi, dugaan lain
menyebutkan bahwa hal tersebut adalah untuk menutupi konten-konten cabul dari relief
tersebut. Untuk melihat relief pada zona ini, Anda dapat mengunjungi Museum
Karmawibhangga yang memajang foto-foto di Kamadhatu yang sengaja diambil agar tetap
dapat dinikmati pengunjung.

Lalitawistara adalah relief yang menggambarkan riwayat sang Buddha dimulai dari turunnya
Sang Buddha dari sorga Tusita hingga kisah ajaran pertama yang beliau lakukan di Taman
Rusa yang berada di dekat Kota Banaras. Relief Lalitawistara berjumlah 120 panil namun
tidak secara lengkap menggambarkan kisah sang Buddha.

Lalitawistara adalah rangkaian relief cerita yang terpahat apik pada dinding candi di lorong 1
tingkat 2. Secara garis besar, Lalitawistara menggambarkan kehidupan Buddha Gautama saat
lahir hingga keluar dari istana dan mendapat pencerahan di bawah pohon bodhi.

Jataka dan Awadana adalah relief tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai
Pangeran Siddharta. Terpahat di tingkat kedua candi (lorong 1), relief ini bercerita tentang
kebaikan sang Buddha dan pengorbanan diri yang ia lakukan dalam berbagai bentuk
reinkarnasinya, baik sebagai manusia atau binatang. Perbuatan baik inilah yang
membedakannya dengan makhluk lain. Apalagi berbuat baik adalah tahapan persiapan dalam
usaha menuju tingkat Buddha yang lebih tinggi.

Awadana adalah juga berisi cerita Jataka namun tokoh ceritanya bukan Buddha melainkan
pangeran Sudhanakumara. Cerita pada relief Awadana dihimpun dalam Kitab Diwyawadana
(perbuatan mulia kedewaan) dan Kitab Awadanasataka (seratus cerita Awadana).

Gandawyuha adalah deretan relief yang terpahat rapi di dinding Borobudur sejumlah 460
panil yang terpahat di dinding serta pagar langkan. Pahatan relief ini tersebar di tingkatan
candi yang berbeda-beda.

Berkisah tentang Sudhana, putera seorang saudagar kaya yang berkelana dalam usahanya
mencari pengetahuan tertinggi atau kebenaran sejati. Penggambarannya pada panil-panil
didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha. Sementara itu,
untuk bagian penutupnya, kisah relief berdasarkan cerita kitab lain, yaitu Bhadracari. Kisah
ini adalah tentang sumpah Sudhana untuk menjadikan Bodhisattwa Samantabhadra sebagai
panutan hidupnya.

Apabila Anda perhatikan mulai dari lantai kelima hingga ketujuh tidak tampak relief pada
dindingnya. Tingkatan yang melambangkan alam atas tersebut dinamakan Arupadhatu (yang
berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Pada tingkatan ini, manusia sudah bebas dari
segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa namun belum mencapai nirwana. Pada
Arupadhatu yang terlihat adalah stupa-stupa terawang yang di dalamnya terdapat patung
Buddha.

Di tingkatan tertinggi dari Candi Borobudur yang memiliki total 10 tingkatan atau pelataran
ini terdapat sebuah stupa yang terbesar dan tertinggi. Di dalam stupa terbesar ini pernah
ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Unfinished Buddha yang
kini di simpan di Museum Karmawibhangga.

Berdenah bujur sangkar dengan keseluruhan ukuran 123 x 123 meter, Borobudur tidak
memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Borobudur memiliki lorong-lorong
panjang berupa jalan sempit, diperkirakan sebagai tempat bagi umat Buddha melakukan
upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur memiliki enam pelataran
berbentuk bujur sangkar, tiga pelataran berbentuk bundar melingkar, dan sebuah pelataran
puncak tempat stupa utama berada. Struktur dasarnya berupa punden berundak, yang
merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia. Karena keunikan,
keindahan, nilai historis, dan kualitas karya seni yang bernilai tinggi yang termanifestasikan
di Borobudur, candi Buddha ini sudah tentu layak menyandang gelar sebagai salah satu
mahakarya seni tingkat tinggi dari peradaban Nusantara.

1. Candi Borobudur
Ciri-Ciri nya :
Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur
sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya.
Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa.

Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km
di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha
Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.
2. Candi Mendut kota malang
Ciri-Ciri nya :
Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi
dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa bidadara dan bidadari, dua ekor kera dan
seekor garuda.
Candi Mendut adalah sebuah candi berlatar belakang agama Buddha. Candi ini terletak di
desa Mendut, kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa kilometer
dari candi Borobudur.
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam
prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah
membangun bangunan suci bernama veluvana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh
seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi
Mendut.
3. Candi Ngawen kota magelang
Ciri-Ciri nya :
Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda
dengan dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha dengan
posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada pada salah satu
candi lainnya. Beberapa relief pada sisi candi masih nampak cukup jelas, di antaranya adalah
ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara.
Candi Ngawen adalah candi Buddha yang berada kira-kira 5 km sebelum candi Mendut dari
arah Yogyakarta, yaitu di desa Ngawen, kecamatan Muntilan, Magelang. Menurut perkiraan,
candi ini dibangun oleh wangsa Syailendra pada abad ke-8 pada zaman Kerajaan Mataram
Kuno. Keberadaan candi Ngawen ini kemungkinan besar adalah yang tersebut dalam prasasti
Karang Tengah pada tahun 824 M.
4. Candi Lumbung
Candi Lumbung adalah candi Buddha yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi
Prambanan, yaitu di sebelah candi Bubrah. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad
ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Candi ini merupakan kumpulan dari satu candi
utama (bertema bangunan candi Buddha)
Ciri-cirinya :
Dikelilingi oleh 16 buah candi kecil yang keadaannya masih relatif cukup bagus.
5. Candi Banyunibo
Candi Banyunibo yang berarti air jatuh-menetes (dalam bahasa Jawa) adalah candi Buddha
yang berada tidak jauh dari Candi Ratu Boko, yaitu di bagian sebelah timur dari kota
Yogyakarta ke arah kota Wonosari. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9 pada saat
zaman Kerajaan Mataram Kuno. Pada bagian atas candi ini terdapat sebuah stupa yang
merupakan ciri khas agama Buddha.
Ciri-cirinya:
Keadaan dari candi ini terlihat masih cukup kokoh dan utuh dengan ukiran relief kala-makara
dan bentuk relief lainnya yang masih nampak sangat jelas. Candi yang mempunyai bagian
ruangan tengah ini pertama kali ditemukan dan diperbaiki kembali pada tahun 1940-an, dan
sekarang berada di tengah wilayah persawahan.
6. Kompleks Percandian Batujaya
Kompleks Percandian Batujaya adalah sebuah suatu kompleks sisa-sisa percandian Buddha
kuna yang terletak di Kecamatan Batujaya dan Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang,
Provinsi Jawa Barat. Situs ini disebut percandian karena terdiri dari sekumpulan candi yang
tersebar di beberapa titik.
Cirri-cirinya:
Dari segi kualitas, candi di situs Batujaya tidaklah utuh secara umum sebagaimana layaknya
sebagian besar bangunan candi. Bangunan-bangunan candi tersebut ditemukan hanya di
bagian kaki atau dasar bangunan, kecuali sisa bangunan di situs Candi Blandongan.
Candi-candi yang sebagian besar masih berada di dalam tanah berbentuk gundukan bukit
(juga disebut sebagai unur dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa). Ternyata candi-candi ini
tidak memperlihatkan ukuran atau ketinggian bangunan yang sama.
7. Candi Muara Takus
Candi Muara Takus adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Riau, Indonesia. Kompleks
candi ini tepatnya terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar
atau jaraknya kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru, Riau. Jarak antara kompleks
candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 kilometer dan tak jauh dari pinggir
Sungai Kampar Kanan.
Ciri-cirinya:
Kompleks candi ini dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter diluar arealnya terdapat pula
tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampal ke
pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat pula bangunan Candi Tua,
Candi Bungsu dan Mahligai Stupa serta Palangka. Bahan bangunan candi terdiri dari batu
pasir, batu sungai dan batu bata. Menurut sumber tempatan, batu bata untuk bangunan ini
dibuat di desa Pongkai, sebuah desa yang terletak di sebelah hilir kompleks candi. Bekas
galian tanah untuk batu bata itu sampai saat ini dianggap sebagai tempat yang sangat
dihormati penduduk. Untuk membawa batu bata ke tempat candi, dilakukan secara beranting
dari tangan ke tangan. Cerita ini walaupun belum pasti kebenarannya memberikan gambaran
bahwa pembangunan candi itu secara bergotong royong dan dilakukan oleh orang ramai.
8. Candi Sumberawan
Candi Sumberawan hanya berupa sebuah stupa, berlokasi di Kecamatan Singosari, Malang.
Dengan jarak sekitar 6 km dari Candi Singosari. Candi ini Merupakan peninggalan Kerajaan
Singhasari dan digunakan oleh umat Buddha pada masa itu.
Candi Sumberawan terletak di desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang,
+/- 6 Km, di sebelah Barat Laut Candi Singosari, candi ini dibuat dari batu andesit dengan
ukuran P. 6,25m L. 6,25m T. 5,23m dibangun pada ketinggian 650 mDPL, di kaki bukit
Gunung Arjuna. Pemandangan di sekitar candi ini sangat indah karena terletak di dekat
sebuah telaga yang sangat bening airnya. Keadaan inilah yang memberi nama Candi Rawan.
Cirri-cirinya:
Candi ini terdiri dari kaki dan badan yang berbentuk stupa. Pada batur candi yang tinggi
terdapat selasar, kaki candi memiliki penampil pada keempat sisinya. Di atas kaki candi
berdiri stupa yang terdiri atas lapik bujur sangkar, dan lapik berbentuk segi delapan dengan
bantalan Padma, sedang bagian atas berbentuk genta (stupa) yang puncaknya telah hilang.
9. Candi Brahu
Candi Brahu dibangun dengan gaya dan kultur Buddha, didirikan abad 15 Masehi. Pendapat
lain, candi ini berusia jauh lebih tua ketimbang candi lain di sekitar Trowulan. Menurut buku
Bagus Arwana, kata Brahu berasal dari kata Wanaru atau Warahu. Nama ini didapat dari
sebutan sebuah bangunan suci seperti disebutkan dalam prasasti Alasantan, yang ditemukan
tak jauh dari candi brahu. Dalam prasasti yang ditulis Mpu Sendok pada tahun 861 Saka atau
9 September 939,
Cirri-cirinya:
Candi Brahu merupakan tempat pembakaran (krematorium) jenazah raja-raja Brawijaya.
Anehnya dalam penelitian, tak ada satu pakarpun yang berhasil menemukan bekas abu mayat
dalam bilik candi. Lebih lebih setelah ada pemugaran candi yang dilakukan pada tahun 1990
hingga 1995.
10. Candi Sewu
Candi Sewu adalah candi Buddha yang berada di dalam kompleks candi Prambanan (hanya
beberapa ratus meter dari candi utama Roro Jonggrang). Candi Sewu (seribu) ini diperkirakan
dibangun pada saat kerajaan Mataram Kuno oleh raja Rakai Panangkaran (746 – 784). Candi
Sewu merupakan komplek candi Buddha terbesar setelah candi Borobudur, sementara candi
Roro Jonggrang merupakan candi bercorak Hindu.
Menurut legenda rakyat setempat, seluruh candi ini berjumlah 999 dan dibuat oleh seorang
tokoh sakti bernama, Bandung Bondowoso hanya dalam waktu satu malam saja, sebagai
prasyarat untuk bisa memperistri dewi Roro Jonggrang. Namun keinginannya itu gagal
karena pada saat fajar menyingsing, jumlahnya masih kurang satu.

Anda mungkin juga menyukai