Anda di halaman 1dari 11

1.

CANDI MENDUT
Bangunan Candi Mendut memang tak sebesar Candi Borobudur. Tapi di balik kesederhanaannya, candi
ini ternyata memiliki peranan penting di kalangan umat Buddha. Popularitas Candi Mendut pun tak
begitu menjulang seperti candi Buddha lainnya, Borobudur, meski lokasi keduanya cukup berdekatan.
Walau begitu, candi yang diprediksi dibangun pada tahun 824 masehi ini tetap mampu menyihir
wisatawan untuk mengagumi keindahan arsitekturnya.

Candi yang terbentuk dari batu andesit dengan luas keseluruhan 13,7 x 13,7 meter ini berbentuk
segiempat dan atap bertingkatnya dihiasi stupa kecil. Tingginya mencapai 26,4 meter dan berdiri di atas
kaki setinggi 3,7 meter membuat Candi Mendut tampak anggun dan megah dari kejauhan.

LOKASI CANDI MENDUT


Bagi pelancong yang berminat mengagumi keanggunan Candi Mendut, tidak sulit menemukan
bangunan yang menghadap ke arah barat ini. Lokasinya sangat strategis, karena terletak di tengah kota.
Jika kamu dari Yogyakarta menuju ke Candi Borobudur, hampir dipastikan akan melewati Candi
Mendut di tengah perjalanan. Soalnya, candi ini terletak cukup dekat dari Candi Borobudur, hanya
berjarak 3 km, persisnya di Desa Mendut, Kecamatan Mungkit, Kabupaten Magelang.
Karena posisinya yang mudah dijangkau, candi Buddha yang dibangun lebih dulu dari Candi Pawon
dan Candi Borobudur ini kerap didatangi pengunjung, baik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Bahkan tak jarang, anak-anak sekolah berkunjung ke candi ini sebagai bagian dari study tour.

SEJARAH PENEMUAN CANDI MENDUT


Belum ada informasi akurat terkait pembangunan Candi Mendut ini. Namun berdasarkan penemuan
Prasasti Kayumwungan di Karang Tengah oleh arkeolog asal Belanda JG de Casparis, candi ini
dibangun pada tahun 824 Masehi oleh Raja Indra dari Dinasti Syailendra.
Proses pembenahan Candi Mendut sejak ditemukan hingga dapat dinikmati para pelancong seperti
sekarang membutuhkan waktu yang panjang. Saat ditemukan pada pada 1836, candi dalam kondisi
terkubur dalam tanah. Sayang, ketika itu tidak ada bagian atap candi sementara bagian lainnya
ditemukan secara utuh.
Lalu dilakukan pemugaran pertama oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1897 hingga 1904. Pada
proses pemugaran ini dilakukan rekonstruksi bangunan candi, termasuk bagian atap yang hilang.
Namun saat itu pemerintah merasa hasil pemugaran masih belum sempurna.
Selang empat tahun kemudian, dengan dipimpin Theodoor van Erp dimulailah pemugaran untuk kali
kedua, yang fokus pada penyempurnaan atap candi dan memasang kembali stupa-stupa kecil. Tapi
karena dana yang dimiliki terbatas ketika itu, proses pembenahan sempat mandek meski akhirnya
dilanjutkan kembali pada 1925 hingga rampung.

Kini traveler sudah bisa menikmati kemegahan Candi Mendut. Di bagian kaki candi, kamu bisa
menemukan sejumlah panel relief yang berisi cerita berbagai kisah. Seperti burung dan kura-kura,
Brahmana dan kepiting atau fabel lainnya. Relief yang menggambarkan kisah jataka bukanlah cerita
untuk anak-anak seperti kelihatannya, melainkan berisi pesan moral kepada para pengunjung.
Selesai memandangi relief, traveler kembali disuguhkan delapan relief Bodhisattva dengan berbagai
sikap dan ukuran. Uniknya lagi, ukuran panel relief ini masih lebih besar dibandingkan yang dimiliki
Candi Borobudur.

Lalu masuklah ke bagian bilik candi, di mana bermukim tiga arca Budha berukuran besar dengan sikap
tangan berbeda dan masih terawat dengan baik hingga sekarang. Arca pertama adalah Bodhisattva
Vajravani, lalu ada Budha Sakyamuni dengan posisi duduk sila dan tangan memutar roda dharma, lalu
terakhir Bodhisattva Avalokitesvara yang memegang bunga teratai dan diletakkan di atas tangan.
Ketiga arca Budha tersebut tampak gagah dan dipercantik dengan rangkaian bunga segar yang
diletakkan di bagian depannya.

Keunikan Candi Mendut tidak hanya terletak dari bangunan candi itu sendiri. Terdapat sebuah pohon
Bodhi besar dan rindang yang tumbuh kokoh di halaman candi. Umat Budha meyakini pohon ini
menjadi tempat saat Siddharta Gautama mencapai penerangan sempurna.

Keberadaan kompleks vihara yang berada di sebelahnya menambah kekentalan nuansa Budha. Tak
hanya dijadikan tempat ibadah, Vihara Budha Mendut juga dijadikan tempat berkumpul dan belajar
para biksu.

UPACARA WAISAK CANDI MENDUT

Sebagai candi yang memiliki peranan penting, Candi Mendut termasuk salah satu yang wajib
dikunjungi wisatawan, terutama saat perayaan upacara Waisak.
Candi Mendut terletak dalam di posisi paling timur garis lurus utara ke selatan dari tiga rangkaian candi
di kawasan Mungkid, yaitu Borobudur, Pawon dan Mendut. Rangkaian upacara Waisak, yang
dirayakan pada bulan purnama di bulan Mei, pun selalu dimulai dari Candi Mendut sebelum akhirnya
menjalani prosesi akhir di Borobudur.

Ada tiga peristiwa penting dalam kehidupan Buddha Gautama Siddharta yang diperingati dalam hari
raya Waisak, yang kemudian dikenal dengan sebutan Tri Suci Waisak:
Pertama adalah untuk memperingati kelahiran Pangeran Siddharta di Taman Lumbini tahun 623
sebelum masehi. Lalu yang kedua hari di mana Pangeran Siddharta diangkat menjadi Buddha di
Bodhgaya pada usia 35, tahun 588 sebelum masehi. Peristiwa penting terakhir yang diperingati dalam
perayaan Waisak adalah hari meninggalnya Buddha Gautama di Kusinara pada tahun 543 sebelum
masehi di usianya yang ke-80.

Rangkaian upacara Waisak telah dimulai beberapa hari sebelum puncak yang ditandai dengan
pengambilan air dari beberapa sumber mata air murni di Temanggung. Air suci ini kemudian ditaruh
dalam 10.000 botol dan 70 kendi yang disimpan di Candi Mendut. Penggunaan air dalam upacara
Waisak menjadi lambang untuk mengalirkan kebaikan.
Di hari selanjutnya, dilanjutkan dengan menyalakan obor waisak di mana apinya diambil dari api abadi
di Gunung Mrapen. Sama seperti air suci, api ini pun disimpan terlebih dulu di Candi Mendut.
Penggunaan api dalam perayaan Waisak sebagai perlambang cahaya yang dapat membawa terang atau
cahaya pengetahuan dalam kehidupan.

Pada malam hari acara dilanjutkan dengan ritual berdoa para pemuka agama Buddha di Candi Mendut
yang berlangsung sampai keesokan hari. Sebelum puncak perayaan dilakukan ritual pindapatta, yaitu
ritual dimana para biarawan menerima makanan dari jemaat Budha. Pada bagian ini para jemaat
dengan sukarela mengisi mangkuk yang dibawa biarawan Buddha yang berjalan sambil menundukkan
kepala. Makna di balik ritual ini adalah tindakan memberi dan menerima serta melatih hidup sederhana
dan menghargai pemberian orang lain.

Lalu tibalah di acara yang paling ditunggu-tunggu, biksu dan jemaat Budha berkumpul di Candi
Mendut sebelum melakukan arak-arakan dengan berjalan kaki menuju Candi Borobudur. Dalam
perjalanan tersebut mereka akan melewati Candi Pawon, Sungai Elo dan Sungai Progo sebelum tiba di
tempat pelaksanaan upacara puncak, Candi Borobudur. Tak lupa pula air suci serta obor yang disiapkan
sebelumnya turut dibawa. Ribuan lampion dilepaskan ke langit sebagai lambang pencerahan alam
semesta sekaligus menjadi penanda berakhirnya rangkaian upacara Waisak.

2. CANDI MUARA TAKUS

Riau ternyata menyimpan salah satu bukti peninggalan bersejarah agama Buddha di tanah air, yaitu
Candi Muara Takus. Lokasinya terletak kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru. Situs
bersejarah ini merupakan salah satu bukti peninggalan Kerajaan Sriwijaya di masa lampau. Ulasan
mengenai Candi Muara Takus sebagai saksi sejarah Provinsi Riau akan menambah wawasan Anda
sebagai berikut.

 Asal Usul Nama Candi Muara Takus


Ada dua pendapat mengenai asal usul nama Candi Muara Takus. Pendapat pertama menyatakan bahwa
nama Takus berasal dari salah satu anak sungai yang bermuara ke Sungai Kampar Kanan. Sedangkan
pendapat lainnya menyatakan bahwa nama Takus berasal dari bahasa China. Ta yang artinya besar, Ku
artinya tua, dan Se artinya candi atau kuil. Berdasarkan keseluruhan arti tersebut, dalam Bahasa Cina
nama tersebut bisa diterjemahkan sebagai candi tua yang besar dan terletak di sekitar muara sungai.

 Mengenal Sejarah Candi Muara Takus


Candi Muara Takus merupakan candi peninggalan agama Buddha. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan
stupa yang merupakan ciri khas candi-candi Buddha. Namun, ada pula yang menyatakan bahwa candi
kebanggaan Riau ini adalah hasil perpaduan budaya Hindu-Buddha. Karena ada bagian candi yang
menyerupai mahligai, berupa kelamin laki-laki (lingga) dan kelamin perempuan (yoni).
Bangunan utama pada Candi Muara Takus dikenal dengan nama Candi Tuo. Candi terbesar ini
memiliki ukuran 32,8 meter kali 21,8 meter. Bangunannya terbuat dari campuran batu, pasir, dan batu
bata yang dicetak. Sedangkan bangunan kedua pada kompleks candi ini disebut Candi Mahligai. Candi
Mahligai berbentuk bujur sangkar berukuran 10,44 meter kali 10,6 meter. Pada bagian tengahnya
terdapat sebuah menara berbentuk mirip yoni dengan tinggi mencapai 14,3 meter. Selain kedua candi
besar tersebut, ada dua candi lainnya yang bernama Candi Palangka dan Candi Bungsu. Anda dapat
mengunjunginya dengan mudah karena keempat candi tersebut berada di kawasan yang sama.

 Peninggalan Besar dari Kerajaan Sriwijaya


Masyarakat Riau meyakini bahwa Candi Muara Takus adalah salah satu bangunan bersejarah
peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang fungsinya sangat penting di masa lampau. Konon, candi tersebut
pernah menjadi pusat peradaban dan tempat untuk ritual keagamaan. Anggapan tersebut masih sering
menimbulkan perdebatan di kalangan para peneliti dan sejarawan. Karena Kerajaan Sriwijaya terletak
di Palembang dan jauh dari kawasan Riau.

 Akses Menuju ke Candi Muara Takus


Candi yang satu ini terletak di Desa Muara Takus, Kabupaten Kampar, Riau. Letak candi yang agak
jauh dari ibu kota Pekanbaru membuat Anda harus menyisihkan banyak waktu bila ingin berkunjung.
Anda butuh waktu kurang lebih tiga hingga empat jam dari Pekanbaru untuk sampai ke Candi Muara
Takus.

Alangkah lebih baik bila Anda memulai perjalanan sejak subuh supaya bisa tiba di Candi Muara Takus
sebelum siang. Pemandangan candi di pagi hari sangat indah. Sedangkan pada siang dan sore hari
cuacanya cukup terik dan sering mengalami hujan. Jika ingin mengabadikan keindahan candi ini,
sebaiknya Anda membawa kamera profesional dengan lensa wide untuk mengambil footage secara
luas.

Jangan sampai Anda lupa mengunjungi Candi Muara Takus saat berada di Riau. Bukan hanya
keindahan Kota Pekanbaru yang patut Anda nikmati selama berlibur. Candi Muara Takus juga menjadi
salah satu destinasi wisata istimewa yang menantikan kedatangan Anda.

3. CANDI BRAHU

LETAK
Candi Brahu terletak di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto., propinsi Jawa Timur. Tepat di depan kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala
Jawa Timur yang terletak di jalan raya Mojokerto-Jombang, terdapat jalan masuk ke arah utara yang
agak sempit .Namun telah diaspal.  Candi Brahu terletak di sisi kanan jalan kecil tersebut, sekitar 1,8
km dari jalan raya.
 STRUKTUR BANGUNAN

Struktur  bangunan candi  Brahu terdiri dari kaki candi, tubuh candi dan atap candi. Kaki candi terdiri
dari bingkai bawah, tubuh candi serta bingkai atas. Bingkai tersebut terdiri dari pelipit rata, sisi genta
dan setengah lingkaran. Dari penelitian yang terdapat pada kaki candi diketahui terdapat susunan bata
yang strukturnya terpisah, diduga sebagai kaki candi yang dibangun pada masa sebelumnya. Ukuran
kaki candi lama ini 17,5 x 17 m. Dengan demikian struktur kaki yang sekarang merupakan tambahan
dari bangunan sebelumnya. Kaki candi Brahu terdiri dari dua tingkat dengan  selasarnya serta tangga di
sisi barat yang belum diketahui bentuknya dengan jelas.

 Bentuk tubuh candi Brahu tidak tegas persegi,  melainkan bersudut banyak,  tumpul dan berlekuk.
Bagian tengah tubuhnya melekuk ke dalam seperti pinggang. Lekukan tersebut dipertegas dengan pola
susunan batu bata pada dinding barat atau dinding depan candi. Atap candi juga tidak  berbentuk
prisma bersusun atau segi empat, melainkan bersudut banyak dengan puncak datar. Candi Brahu
dibangun dari bata yang direkatkan satu sama lain dengan sistem gosok.

Bagian tubuh candi Brahu sebagian besar merupakan susunan  batu bata baru yang dipasang pada masa
pemerintahan Belanda. Sebagian besar candi-candi di Trowulan dibangun menggunakan batu bata
merah, karena mengandung unsur religi atau kepercayaan..

Candi Brahu berukuran tinggi 27 m, didalamnya terdapat bilik berukuran 4×4 m,.Namun kondisi
lantainya telah rusak.  Di kompleks candi ada semacam altar yang berbentuk Mahameru. Pada waktu
pembongkaran struktur bata pada bilik ini ditemukan sisa-sisa arang yang kemudian dianalisa di Pusat
Penelitian Tenaga Atom Nasional (BATAN) di Yogyakarta. Hasil analisa  tersebut menunjukkan
bahwa pertanggalan radio karbon arang candi Brahu berasal dari masa antara tahun 1410 hingga 1646
M.

Sebagai bahan perbandingan, cirri-ciri candi Jawa Timur adalah bentuk bangunannya ramping, atapnya
merupakan perpaduan tingkatan, puncaknya berbentuk kubus, makara tidak ada, dan pintu serta relung
hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala kala, reliefnya timbul sedikit saja dan lukisanya simbolis
menyerupai wayang kulit, letak candi di belakang halaman, kebanyakan menghadap ke barat, sebagian
besar terbuat dari batu bata merah.

Atap candi Brahu tingginya kurang lebih 6 m. Pada sudut tenggara atap terdapat sisa hiasan berdenah
lingkaran yang diduga sebagai bentuk stupa. Berdasarkan  gaya bangunan serta profil sisa hiasan yang
berdenah lingkaran pada atap candi yang diduga sebagai bentuk stupa, para ahli menduga bahwa candi
Brahu bersifat Budhis. Selain itu diperkirakan candi Brahu umurnya lebih tua dibandingkan dengan
candi-candi yang ada di situs Trowulan bahkan lebih tua dari kerajaan Majapahit itu sendiri. Dasar
dugaan ini adalah prasasti tembaga Alasantan yang ditemukan kira-kira sekitar 45 m di sebelah barat 
candi  Brahu. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh raja Empu Sendok dari Kahuripan pada tahun 861 Saka
atau 9 September 939 M. Diantara isinya menyebutkan nama sebuah bangunan suci yaitu wanaru atau
warahu. Nama istilah inilah yang diduga sebagai asal nama candi Brahu sekarang.

Dari reliefnya, candi ini adalah gambaran sinkretisme keagamaan antara agama Hindu dan agama
Budha, Awalnya candi ini berfungsi sebagai tempat pembakaran raja-raja Majapahit . Namun  asumsi
tersebut tidak terbukti. Dan dengan gambaran sinkretisme tersebut, hingga saat ini pemeliharaan candi
Brahu dilakukan oleh kedua agama tersebut.

 Berbeda dengan ritual pemujaan pada situs pemujaan lainnya, di sini aktifitas tersebut dilakukan hanya
dengan cara meletakkan sesaji pada bagian depan dan pintu candi yang menghadap ke arah barat.
Meskipun tidak terbukti, menurut masyarakat di sekitarnya, candi ini dahulu berfungsi sebagai tempat
pembakaran jenasah dari raja Brawijaya I sampai IV. Akan tetapi, hasil penelitian yang dilakukan
terhadap candi tersebut tidak menunjukkan adanya bekas-bekas abu atau mayat, karena bilik candi
sekarang sudah kosong.

Candi Brahu tidak berdiri sendiri, disekitarnya terdapat bangunan candi-candi lain, yaitu candi Gentong
Gedong dan candi Tengah. Di antara ketiga candi itu, hanya candi Gentong yang masih terlihat sisa-
sisanya, dan terletak di sebelah timur candi Brahu.
Di sekitar candi Brahu pernah ditemukan benda-benda kuno, antara lain :
* benda-benda semisal perhiasan dari emas dan perak.
* 6 buah arca yang bersifat agama Budha.
* piring perak yang bagian bawah bertuliskan tulisan  kuno.
* 4 lempeng prasati tembaga dari jaman sindok

 
SEJARAH CANDI BRAHU

Candi Brahu sudah dibangun sebelum masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan diperkirakan di
bangun pada masa raja Brawijaya I. Dapat dikatakan bahwa Candi Brahu merupakan candi yang paling
tua dibandingkan dengan candi-candi lainnya yang ada di Trowulan.  Candi ini merupakan pandarmaan
dari raja Brawijaya, mulai dari yang pertama sampai keempat. Memang candi ini telah di restorasi,
namun tidak bisa secara utuh karena kesulitan akibat bangunan candi yang terbuat dari batu  bata
merah. Bisa dikatakan bahwa bangunan yang sekarang berdiri itu sudah mengalami pembenahan
namun tetap masih candi yang lama, hanya sedikit tambahan saja.

Berdasarkan  bentuk  stupa   yang  ada pada sekitar candi, candi Brahu bersifat budhis. Kita tinggalkan
dulu mengenai candi Brahu, kita beralih ke Majapahit. Majapahit merupakan sebuah kerajaan yang
besar pada masa Hindu-Budha. Majapahit merupakan kerajaan Hindu. Pusatnya dihutan Tarik, dengan
raja pertama Raden Wijaya. Masa puncak kejayaannya pada masa kepemimpinan Hayam Wuruk yang
berkolaborasi dengan kejeniusan sang Maha Patih Gajah Mada dengan gagasan Nusantaranya. Banyak
peninggalan-peninggalan Majapahit yang terkenal di Trowulan, mulai dari candi Bajang Ratu sampai
candi Brahu. Kami disini sebagai penyusun akan membahas mengenai candi Brahu saja.
Seperti  yang  telah  diterangkan  diatas  bahwa candi Brahu merupakan candi tertua di Trowulan yang
dibangun untuk mengenang atau sebagai pendarmaan dari raja Brawijaya yang pertama sampai
keempat. Dan juga candi ini ada yang mengatakan unsur budha, namun ada pula campuran dari
Sywaisme.

Bisa kita telaah kepada masyarakat  sekitar bahwa mulai dari budaya sampai kesenian berkembang dan
bahkan sekarang menjadi sebuah lapangan pekerjaan bagi masyarakat Trowulan. Ada yang ahli
lukisan, ada yang ahli patung dan sebagainya. Tentunya ini menjadi sebuah aset budaya yang harus
dipertahankan oleh bangsa kita. bahwa kita memiliki sosio-budaya yang menarik dan luar biasa dan
tidak kalah bila dibnadingkan dengan bangsa asing. Bisa dilihat pula dengan adanya hal demikian
membantu perekonomian masyarakat Trowulan yang secara otomatis akan membantu mengurangi
pengangguran di Indonesia. Jikalau Indonesia (dalam hal ini pemerintah) bisa memanfaatkan
peninggalan-peninggalan sejarah dengan baik dan mempergunakanya untuk kesejahteraan bangsa kita.
Candi Brahu sendiri diperkirakan usianya lebih tua dari kerajaan Majapahit. Hal ini didasarkan pada
prasasti  tembaga Alasantan yang ditemukan kira-kira  45 masehi di sebelah barat candi Brahu. Prasasti
ini berangka tahun 861 saka atau 9 September 939 Masehi atas perintah raja Empu Sindok dari
Kahuripan.

Menurut masyarakat sekitar, candi Brahu berfungsi sebagai tempat pembakaran jenazah raja-raja
Brawijaya. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap candi tersebut tidak
menunjukkan adanya “bekas” abu atau mayat, melainkan keadaan bilik candi Brahu yang sekarang
sudah kosong.

Disekitar kompleks candi Brahu pernah ditemukan benda-benda kuno, antara lain alat upacara dari
logam, perhiasan dan benda-benda dari emas, dan arca-arca logam di mana hal tersebut menunjukkan
adanya cirri-ciri agama Budha. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa candi Brahu
merupakan candi Budha.
4. CANDI SEWU
Candi Sewu juga disebut sebagai candi Manjusringhra yaitu candi yang diklaim sebagai candi
peninggalan  Budha yang masih berdiri kokoh hingga sekarang. Kompleks Candi ini juga diklaim
sebagai candi Budha terbesar kedua di Indonesia, tentunya setelah candi Borobudur. Bahkan Candi
Sewu diperkirakan berdiri lebih awal dibandingkan dengan Candi Borobudur.

Sejarah Candi Sewu

Candi Sewu terletak di Kabupaten Klaten Jawa Tengah, tepatnya di Kecamatan Prambanan. Dan hanya
berjarak 800 meter dari Candi Prambanan yang merupakan salah satu candi peninggalan Hindu di
Indonesia. Jika pintu masuk candi prambanan menghadap ke Selatan, candi Sewu justru sebaliknya,
yaitu mengahadap ke Utara. Jadi jika anda mengunjungi situs sejarah di Candi Prambanan, sempatkan
untuk menjelajahi keindahan candi Sewu.

Disebut candi Sewu karena memiliki jumlah candi yang cukup banyak yang seolah-olah berjumlah
seribu. Karena kata ‘sewu’ dalam bahasa Jawa berarti seribu. Namun, jumlah candi yang berada di
kompleks candi sewu tidaklah benar-benar seribu, candi di kompleks candi ini hanya berjumlah 249
candi. Dan juga penamaan ini juga dikaitkan dengan cerita legenda kisah cinta antara Loro Jonggrang
dan Bandung Bondowoso

Terlepas mitos yang beredar di Masyarakat. Candi sewu diperkirakan didirikan pada abad ke-8 pada
masa dinasti Syailendra, dimana pembangunan Candi Sewu hampir bersamaan dengan pembangunan
Candi Borobudur di daerah Magelang. Hal ini, didasarkan dalam penemuan prasasti pada tahun 1960-
an dimana pada Prasasti Kelurak tercantum tahun 782 Masehi dan juga Prasasti Manjusringrha yang
bertuliskan 792 Masehi.

Dalam prasasti tersebut juga tertulis nama asli dari Candi sewu yaitu “Prasada Vajrasana Manjusigra”
dimana jika dijabarkan akan bermakna Sebuah Candi tempat Wajra bertahta untuk mencapai
Bodhisitwa (Prasarada berarti kuil atau candi ; Vajrasana berarti tempat wajre bertakhta; Manjusrigra
merupakan tempat untuk memperoleh Bodhisatwa.

Dan juga berdasarkan prasasti Kelurak dan Manjusinggrha yang ditemukan pada tahun 782 Masehi dan
792 Masehi. Candi ini dibangun pada masa kepemimpinan kerajaan mataram kuno di bawah
pemerintahan Rakai Panangkaran yang merupakan Raja terpopuler di dinasti Syailendra, dimana beliau
memerintah pada tahun 746 Masehi hingga 784 Masehi. Hingga pada akhirnya dilakukan perbaikan
dan pembangunan ulang oleh seorang pangeran dari dinasti Sanjaya, yaitu Rakai Pikatan yang menikah
dengan salah satu puteri dari dinasti Syailendra, yaitu, Pramodhwardhani. Dan mulai saat itu
pemerintahan diambil alih oleh Dinasti Sanjaya.

Meskipun Dinasti Sanjaya berbeda agama dengan Dinasti Syailendra yang menganut agama Budha.
Pemerintahan dinasti Sanjaya tetap membiarkan rakyatnya memeluk agama sebelumnya dimana Cani
Sewu dijadikan sebagai tempat peribadatan utama bagi para penganut agama Budha. Hal inilah yang
mendasari kenapa Candi Sewu yang bercorak agama Budha bisa berdampingan dengan Candi
Prambanan yang notabene bercorak agama Hindu. Dan hingga saat ini masih bisa kita nikmati
keindahan keduanya. Hal ini juga membuktikan bahwa pada zaman dahulu sudah terjalin hubungan
yang harmonis antar umat beragama di Indonesia.
Hingga pada tahun 2006, terjadi gempa besar yang mengguncang Yogya dan Sekitarnya dimana gempa
tersebut merusak beberapa bangunan candi Sewu. bagian yang paling parah terkena dampak dari
gempa tersebut adalah bagian utama candi, dimana beberapa batu dari bangunan jatuh ke tanah dan
terlihat beberapa retakan di candi.

Hingga pada akhirnya dipasang kerangka besi untuk membuat candi ini tegak lagi dan menahan agar
Candi utama di candi sewu bisa tetap berdiri kokoh. Setelah Candi sewu diperbaiki, Situs candi ini
dibuka lagi untuk para penikmat sejarah yang ingin melihat keindahan mahakarya tangan manusia pada
zaman dahulu. Meskipun begitu, anda tidak diperkenankan untuk memasuki kawasan Candi utama, Hal
ini dikarenakan untuk menjaga keutuhan candi dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan
pada saat itu. Namun, untuk sekarang anda sudah bisa menjelajahi candi utama setelah pelepasan besi-
besi penyangga yang digunakan.

Legenda Roro Jonggrang Candi Sewu

Sejarah Candi Sewu juga dibumbui dengan mitos mengenai terbentuknya candi ini. Dimana berawal
dari kematian seorang Raja yang bernama Prabu Boko yang gugur karena serangan dari Bandung
Bondowoso. Setelah itu, Bandung Bondowoso bertemu dengan Roro Jonggrang yang tidak lain adalah
anak dari Prabu Boko. Bandung Bondowoso terkesima dengan kecantikan Roro Jonggrang.
Hingga pada akhirnya Bandung Bondowoso memutuskan untuk menyunting Roro jonggrang sebagai
permaisurinya. Namun, Roro Jonggrang tidak langsung menerima lamaran dari Bandung Bondowoso,
tetapi memberikan syarat yang mustahil bagi manusia normal, yaitu dengan membuatkan 1000 buah
candi hanya dengan satu malam.

Karena Bandung Bondowoso orang yang sakti, dia menerima syarat yang diajukan oleh roro Jonggrang
dan meminta bantuan para makhluk halus untuk membangun seribu candi yang dipersyaratkan oleh
Roro Jonggrang. Roro Jonggrang pun tidak menyangka karena candi sudah hampir jadi, dan Roro
Jonggrang pun tidak tinggal diam. Dia menyuruh wanita-wanita desa untuk memukul lesung dan
membangunkan ayam-ayam agar berkokok, sehingga para makhluk halus mengira hari sudah mulai
pagi.

Dan siasat dari roro jonggrang pun terbukti manjur, hingga pada akhirnya para makhluk halus pun
mengira pagi sudah menyingsing dan mereka berhenti membantu Bandung Bondowoso. dan hingga
waktunya habis, ternyata Bandung Bondowoso hanya bisa menyelesaikan 999 candi. Hal tersebut
membuat Bandung Bondowoso murka dan mengutuk Roro Jonggrang menjadi batu dan menjadikan
candi yang keseribu. Melengkapi persyaratan yang diajukan oleh Roro Jonggrang.
Kompleks Candi Sewu

Candi Sewu memiliki luas area sekitar 185 meter x 165 meter. Dimana  candi sewu merupakan
kompleks candi Budha terbesar kedua di Indonesia. Terdapat empat pintu masuk menuju komplek
candi Sewu yang berada di timur, selatan, barat, dan utara. Namun jika anda cermati dari bangunanya,
Pintu masuk utama dari candi ini terletak di sebelah timur.

Di masing-masing pintu candi, dijaga oleh dua patung raksasa yang berukuran cukup besar, tingginya
saja mencapai 2,3 meter. Patung-patung ini juga dinamakan Dwarapala. Patung-patung Dwarapala
yang ada di candi sewu masih berdiri tegak dan utuh hingga sekarang. Selain itu, anda juga bisa
melihat replika dari patung dwarapala ini di keraton Yogyakarata.

Candi-candi ini membentuk sebuah pola; dimana dalam kepercayaan agama Budha Mahayana; pola ini
disebut sebagai Mandala Wadjradhatu, yang melambangkan perwujudan alam semesta dimana terdapat
satu candi pusat di tengahnya dan dikelilingi candi-candi yang lebih kecil yang disebut candi perwara
dan candi penjuru. sedangkan di belakang candi perwara dan penjuru juga terdapat 2 bangunan candi
kembar yang berada di masing-masing arah mata angin. Namun, sekarang hanya tersisa dua candi di
sebelah timur dan satu candi yang berada di sebelah utara. Namun, ada penelitian yang menunjukkan
bahwa candi tersebut memang belum selesai dibangun.

a. Candi Utama

Candi utama ini merupakan candi terbesar yang berada di kompleks candi Sewu, dimana candi ini juga
berada di tengah-tengah candi-candi pendampingnya yang mengelingi candi ini. Dan Candi ini
memiliki tinggi sekitar 30 meter dengan dimater bangunan kurang lebih 29 meter. Selluruh bangunan
candi utama dibangun menggunakan batu andesit.
Bangunan candi utama pada dasarnya berbentuk poligon dengan jumlah sisi sebanyak 20. Sedangkan
pada setiap sudut yang menghadap penjuru mata angin memiliki  bagian yang sedikit menjorok keluar.
dan juga terdapat tangga di masing-masing sudut mata anginya. Diatas bangunan candi utama terdapat
susunan stupa.

Menurut beberapa penelitian, pada awalnya Candi utama Candi Sewu hanya terdapat satu ruang utama,
hingga kemudian seiring berjalanya waktu ditambah dengan beberapa modifikasi, hingga menjadi lima
ruang seperti sekarang ini. Ruang utama di candi ini terdapat landasan yang berbentuk bungai teratai,
dan menurut dugaan, dulunya di atas bunga teratai tersebut terdapat patung Budha setinggi 4 meter
yang terbuat dari perunggu. Namun sepertinya sudah dijarah oleh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab sehingga hanya menyisakan landasan yang berbentuk seperti bunga teratai.
b. Candi Perwara
Candi Perwara merupakan candi yang mengelilingi candi utama. Berjumlah 240 candi yang memiliki
bentuk hampir mirip dengan candi utama, Namun memiliki ukuran yang lebih kecil. Pada dasarnya
candi perwara tersusun atas 4 baris konsentris diantaranya yaitu:
 Pada Baris pertama terdapat 28 buah candi Perwara
 Baris Kedua terdapat 44 buah candi Perwara
 Di Baris Ketiga terdapat 80 buah candi Perwara
 Baris Keempat terdapat 88 buah candi Perwara
Terdapat Archa Dhayani Budha di dalam Candi Perwara. Dimana jika dikelompokkan terdapat empat
jenis Archa yang hampir serupa dengan archa-archa yang terdapat di candi Borobudur.

c. Candi Pengapit
Sedangkan disela-sela barisan terluar candi Perwara terdapat candi Pengapit yang berjumlah 8 buah.
Dimana candi pengapit merupakan gerbang pintu masuk menuju candi utama. Candi pengapit juga
terdapat di 4 sisi mata angin, yaitu di timur, selatan, barat dan utara. Serta memiliki tinggi sekitar 1
meter. Candi ini juga dihiasi beberapa relief pahatan kalamakaraa. Serta juga terdapat sosok pria yang
berdiri dengan memegang setangkai bungai teratai dengan pakaian seperti dewa. Sedangkan diatas
candi pengapit berbentuk stupa besar ditengah dan dikelilingi stupa-stupa kecil disampingnya.

Lokasi Candi Sewu


Candi Sewu Terletak di perbatasan antara Provinsi Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah, tepatnya di
Desa Bugisan, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Candi ini terletak tidak jauh dari Candi Prambanan
yang merupakan tempat ibadah agama Hindu dan sekarang Candi Sewu masuk ke dalam kompleks
wisata candi Prambanan. Hal ini juga tidak terlepas dari sejarah candi Sewu, bahwa masyarakat
Indonesia saling menghormati antar umat beragama. Selain itu, disekitar kompleks wisata candi
prambanan  dan candi Sewu juga terdapat beberapa candi-candi yang bisa anda jelajahi diantaranya
yaitu:
 Candi Bubrah candi agama Budha, masih merupakan candi satu kompleks dengan wisata candi
prambanan
 Candi Lumbung, candi ini terletak di sebelah selatan candi Sewu dan candi Bubrah serta berada
di  sebealah utara candi Prambanan
 Candi Gana, yang berada di sebelah Timur kompleks candi Sewu dan hanya berjarak 300 meter
 Candi Kulon, sama seperti namany, Candi ini terletak di sebelah barat kompleks candi Sewu
dan berjarak kira-kira 300 meter
 Candi Lor, Terletak di sebelah utara kompleks candi sewi dan hanya berjarak 200 meter dari
candi sewu
5. CANDI SURAWANA

Salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit Candi Surawana masih ada sampai saat ini dan bisa
dijadikan sebagai sumber berita sejarah kerajaan Majapahit. Cagar budaya ini letaknya sedikit
terpencar dari pusat kota Majapahit yang ada di Trowulan Mojokerto.

Candi Surawana atau dalam bahasa Jawa sering disebut dengarn Surowono, terletak di Desa Canggu,
Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Tepatnya sekitar 25 km dari pusat Kota Kediri. Meski
sering disebut dengan Candi Surawana, namun nama asli dari Candi ini adalah Candi
Wishnubhawanapura. Candi Surawana ini diperkirakan dibangun pada abad ke 14 sekitar tahun 1390
dan selesai pada tahun 1400.

Candi Surawana dibangun bertujuan untuk memuliakan Bhre Wengker. Bhre Wengker adalah seorang
raja di Kerajaan Wengker yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Dikisahkan Bhre Wngker mangkat pada tahun 1388 M, di dalam Negarakertagama diceritakan bahwa
Raja Hayam Wuruk pernah berkunjung ke Wengker. Kunjungan Raja Hayam Wuruk (baca : Silsilah
dan Biografi Hayam Wuruk) ini dicatatkan pada tahun 1361 dan bukan saja berkunjung, bahkan juga
menginap di Candi Surawana. Upacara Sraddha dilakukan bagi Bhre Wngker, upacara ini merupakan
sebuah ritual yang dilakukan 12 tahun setelah kematiannya yang diselenggarakan pada tahun 1400.
Tidak seperti candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang lainnya, Candi Surawana ini tidak begitu
besar. Candi Surawana hanya memiliki ukuran 8 x 8 m2. Bangunan Candi Surawana ini keseluruhan
bangunannya tersusun atas batuan andesit. Candi Surawana merupakan Candi Siwa.

Kondisi bangunan Candi Surawana saat ini hampir hancur semua. Seluruh tubuh dan atap candi
Surawana telah hancur tak bersisia. Yang masih ada hanyalah kaki candi yang kira-kira memiliki tinggi
sekitar 3 meter.

Di sekitar Candi Surawana juga terdapat beberapa patung atau arca. Salah satunya adalah arca Resi
Agastya tanpa ada bagian bawah dan bagian atasnya karena sudah rusak. Arca ini nampak seperti
seorang pendeta yang berjenggot dan memiliki tubuh yang bungkuk dengan berhias sesuatu ornamen di
bagian telinga dan lehernya. Tangan dari arca ini seperti menyangga ke atas. Arca Resi Agastya ini
juga ditemukan di tempat lain dengan bentuk sedikit lebih tegak dengan hiasan telinga yeng sedikit
lebh pendek.

Pada Candi Surawana terdapat beberapa relief yang dikerjakan sudah tergolong halus. Beberapa relif
pada Candi Surawana terdiri dari fabel dan juga tantri yang berada pada kaki candi. Sedangkan pada
badan Candi Surowono terdapat Relief Arjuna WIwaha yang merupakan karya dari Mpu Kanwa yang
digubahnya pada 1035. Selain itu juga ada relief Bubuksah dan juga relief Sri Tanjung.

Mengenai relief Sri Tanjung, Sri Tanjung adalah kekasih Sidopekso. Sidapakso suatu ketika Sidapaksa
meninggalkan Sri Tanjung karena mendapatkan tugas ke luar daerah. Ketika pulang, Sidapaksa
menuduh Sri Tanjung tidak setia kepadanya dan kemudian membunuhnya. Namun kemudian
Sidapaksa menyadari kesalahan yang ia perbuat kepada Sri Tanjung dan ia pun merasa sangat putus
asa. Dan kegelisahan Sidapaksa ini digambarkan pada relief sebelah paling kiri.

Anda mungkin juga menyukai