Anda di halaman 1dari 2

Nama : Anisa Yayang Melinda

Kelas : VII-2
Candi Muara Takus

Situs Candi Muara Takus adalah sebuah situs candi Buddha yang terletak di desa Muara


Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Situs ini berjarak kurang
lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru.
Situs Candi Muara Takus dikelilingi oleh tembok berukuran 74 x 74 meter, yang terbuat dari
batu putih dengan tinggi tembok ± 80 cm, di luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran
1,5 x 1,5 kilometer, mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir Sungai Kampar Kanan. Di
dalam kompleks ini terdapat beberapa bangunan candi yang disebut dengan Candi sulung
/tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka.
Para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan situs candi ini didirikan. Ada
yang mengatakan abad ke-4, ada yang mengatakan abad ke-7, abad ke-9 bahkan pada abad ke-
11. Namun candi ini dianggap telah ada pada zaman keemasan Sriwijaya, sehingga beberapa
sejarahwan menganggap kawasan ini merupakan salah satu pusat pemerintahan dari
kerajaan Sriwijaya.[1][2]
Pada tahun 2009 Candi Muara Takus dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia
UNESCO.
Candi merupakan bangunan suci yang berkembang pada masa Hindu-Buddha. Bangunan suci ini
dibuat sebagai sarana pemujaan bagi dewa-dewi agama Hindu maupun agama Buddha. Agama
Hindu dan Buddha berasal dari India sehingga konsep yang digunakan dalam pendirian sebuah
bangunan suci sama dengan konsep yang berkembang dan digunakan di India, yaitu konsep
tentang air suci. Bangunan suci harus berada di dekat air yang dianggap suci. Air itu nantinya
digunakan sebagai sarana dalam upacara ritual. Peran air tidak hanya digunakan untuk upacara
ritual saja, namun secara teknis juga diperlukan dalam pembangunan maupun pemeliharaan dan
kelangsungan hidup bangunan itu sendiri. Didirikannya bangunan suci di suatu tempat memang
tempat tersebut potensi untuk dianggap suci, dan bukan bangunannya yang potensi dianggap
suci. Maka dalam usaha pendirian bangunan suci para seniman bangunan selalu memperhatikan
potensi kesucian suatu tempat dimana akan didirikan bangunan tersebut.
Agar tetap terjaga dan terpeliharanya kesucian suatu tempat, maka harus dipelihara daerah
sekitar titik pusat bangunan atau Brahmasthana serta keempat titik mata angin dimana dewa
Lokapala (penjaga mata angin) berada untuk melindungi dan mengamankan daerah tersebut
sebagai Wastupurusamandala yaitu perpaduan alam gaib dan alam nyata. Kemudian dilakukan
berbagai upacara untuk mensucikan tanah tersebut. Dalam hal ini air sangat berperan selama
upacara berlangsung, karena air selain mensucikan juga untuk menyuburkan daerah tersebut.
Sehingga dalam upaya pendirian suatu bangunan suci, selain potensi kesucian tanah yang perlu
diperhatikan adalah keberadaan atau tersedianya air di daerah tersebut. Hal ini sama dengan
konsep kebudayaan India yang menyatakan bahwa keberadaan gunung meru sebagai tempat
tinggal para dewa dikeilingi oleh tujuh lautan. Maka secara nalar dan umun dapat diketahui
bahwa pendirian sebagian besar bangunan suci tempatnya selalu berada di dekat air.
Keadaan geografis wilayah Sumatera yang memiliki aliran sungai yang besar sangat mendukung
konsep dari kebudayaan India tersebut. Dengan adanya aliran sungai besar tersebut air dengan
mudah didapat untuk keperluan dari upacara ritual. Selain faktor air, faktor ekonomi juga dapat
melatarbelakangi berdirinya suatu bangunan suci. Aliran sungai di Sumatera pada masa lampau
merupakan jalur transportasi untuk perdagangan. Pada awalnya jumlah pedagang yang datang
sedikit. Namun lama kelamaan karena menunggu waktu yang tepat untuk berlayar maka mereka
bermukim di sekitar daerah tersebut. Maka diperlukanlah tempat peribadatan untuk umat
beragama, dan didirikanlah bangunan suci. Karena tidak mungkin berdirinya suatu bangunan
sakral atau candi tanpa didukung masyarakat pendirinya demi kelangsungan hidup bangunan
suci tersebut. Maka seirama dengan tumbuh dan pesatnya perdagangan di suatu tempat pada
umumnya akan muncul pula bangunan-bangunan suci atau candi untuk digunakan sebagai
tempat menjalankan upacara ritual oleh para pelaku ekonomi tersebut yang telah mengenal magis
terhadap bangunan candi, berperan dalam fungsi perkembangan sosial/ekonomi dan
perdagangan.
Faktor kekuasaan juga berpengaruh dalam pembangunan suatu candi. Suatu kerajaan yang
berhasil menaklukkan suatu wilayah, tentunya terdapat tinggalan yang dapat menggambarkan
ciri khas suatu kerajaan tersebut. Tinggalan tersebut dapat berupa prasasti maupun candi.
Dari suatu bangunan candi kita dapat melihat beberapa aspek kehidupan. Pada candi Muara Takus
ini aspek-aspek yang dapa kita lihat antara lain:

1. Aspek teknologi: Bahan yang digunakan adalah batu bata. Ukuran bata yang dipakai
membangun candi ini bervariasi, panjang antara 23 sampai 26 cm, lebar 14 sampai
dengan 15,5 cm dan tebalnya 3,5 cm sampai 4,5 cm. Bata pada masa lampau memiliki
kualitas yang lebih baik dari bata pada masa sekarang. Ini dikarenakan tanah liat yang
digunakan disaring sampai benar-benar tidak ada komponen lain selain tanah liat,
misalnya pasir.
2. Aspek sosial: Pembangunan candi ini dilakukan secara bergotong royong dan dilakukan
oleh orang ramai. Begitu juga pada saat upacara pemujaan terdapat perbedaan status,
yaitu pemimpin upacara dan pengikutnya.
3. Aspek religi: terlihat dari bentuk candi Muara Takus yang berupa stupa, yang
menunjukkan candi ini sebagai tempat pemujaan umat agama Buddha, khususnya
aliran Mahayana.

Anda mungkin juga menyukai