X Multimedia 1
Nama anggota :
1. Daniola Ayu Rahmawati (21)
2. Eky Royani Bilqis (29)
3. Evillia Prawira Adityas (35)
4. Fadhilah N. Sa’adah (36)
Candi Tikus diperkirakan dibangun pada abad ke-13 atau abad ke-14. Candi ini
dihubungkan dengan keterangan Mpu Prapanca dalam kitab
Nagarakretagama, bahwa ada tempat untuk mandi raja dan upacara-upacara
tertentu yang dilaksanakan di kolam-kolamnya. Arsitektur bangunan
melambangkan kesucian Gunung Mahameru sebagai tempat bersemayamnya
para dewa. Menurut kepercayaan Hindu, Gunung Mahameru merupakan
tempat sumber air Tirta Amerta atau air kehidupan, yang dipercaya
mempunyai kekuatan magis dan dapat memberikan kesejahteraan, dari mitos
air yang mengalir di Candi Tikus dianggap bersumber dari Gunung Mahameru.
Candi ini disebut Candi Tikus karena sewaktu ditemukan merupakan tempat
bersarangnya tikus yang memangsa padi petani. Di tengah Candi Tikus
terdapat miniatur empat buah candi kecil yang dianggap melambangkan
Gunung Mahameru tempat para dewa bersemayam dan sumber segala
kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuran-
pancuran/jaladwara yang terdapat di sepanjang kaki candi.
Air ini dianggap sebagai air suci amrta, yaitu sumber segala kehidupan. Situs
candi ini digali pada tahun 1914 atas perintah Bupati MojokertoKromodjojo
Adinegoro. Karena banyak dijumpai tikus pada sekitar reruntuhannya, situs ini
kemudian dinamai Candi Tikus. Candi Tikus baru dipugar pada tahun 1985-
1989.
Dulu, ada petani dari Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto gelisah
karena serbuan tikus sawah. Hasil tani yang biasanya cukup untuk menghidupi
seluruh anggota keluarga, kini nyaris tak tersisa. Tak tahan menghadapi
serbuan tikus, ia memohon pada Sang Pencipta. Suatu malam, Si Petani
mendapat wisik (wangsit,) agar mengambil air di kawasan Candi Tikus lalu
menyiramkan air itu ke empat sudut sawah.
Beberapa saat kemudian, ada saudagar kaya mendengar kabar tentang khasiat
air Candi Tikus. Dengan rakus, ia mencari jalan pintas untuk menambah
kekayaannya. Suatu malam, ia mencuri batu candi dan meletakkannya di
sudut-sudut sawah. Lagi-lagi sebuah kejaiban terjadi.
Tapi kali ini, tikus-tikus malah datang dan menghabisi padi di sawah. Fenomena
ini membuat warga desa sadar, bahwa mereka tak bisa berharap lebih. "Kami
hanya bisa memanfaatkan air di Candi Tikus, tapi bukan batu-batu candi," kata
mereka. Dan mitos ini, ternyata masih dipercaya hingga kini.
Di sisi lain, ada mitos lain yang berkembang kebalikannya. Pada tahun 1914,
candi ini ditemukan oleh Bupati Mojokerto, RAA Kromojoyo Adinegoro.
Sebelumnya, ia mendengar keluh kesah warga Desa Temon yang kalang kabut
karena serbuan hama tikus di sawah mereka. Tanpa pikir panjang, Kromojoyo
memerintah aparat desa agar memobilisasi massa dan menyatakan perang
pada tikus. Anehnya, saat terjadi pengejaran, tikus-tikus itu selalu lari dan
masuk dalam lobang dalam sebuah gundukan besar.
Memasuki masa kemerdekaan, Candi Tikus yang mulai rusak dipugar setahap
demi setahap. Puncaknya, Candi Tikus dipugar pada tahun 1984 hingga 1989.
Tentu, pemugaran ini dilakukan dengan ekstra hati-hati agar tak
berseberangan dengan tampilan asli. Kini, masyarakat bisa melihat Candi Tikus
sebagai aset wisata sejarah yang kaya sentuhan estetika.
Sampai sekarang, Candi Tikus masih sering dijadikan ajang penelitian ahli
purbakala dari dalam dan luar negeri. Kebanyakan, mereka ingin merangkai
fakta sekaligus antitesis sebuah teori yang menyebut, semua bangunan yang
berasal dari masa pengaruh agama Hindu - Budha abad 5-15 M adalah candi.
Padahal, bangunan-bangunan itu tak selalu berfungsi sebagai sarana
pemujaan.
Candi Tikus merupakan salah satu bangunan yang mempunyai nilai eksotisme
tersendiri. Selain memiliki arsitektur yang cukup unik dengan ornamen pada
bangunan induk yang dihiasi pancuran air berbentuk makara dan padma, candi
tersebut juga memiliki dua kolam dan saluran-saluran air yang mengandung
struktur petirtaan. Adanya pancuran air di Candi Tikus (jaladwara) yang
berbentuk makara dan padma, makara merupakan perubahan bentuk tunas-
tunas yang keluar dari bonggol teratai, sedangkan padma merupakan teratai
itu sendiri.
Meskipun Candi Tikus sempat tenggelam dari panggung sejarah dan kembali
tampil sekitar 1914, setelah diadakan penggalian terhadap tanah yang
menutupinya dan adanya beberapa kerusakan fisik yang hampir menyusutkan
eksotisme bangunan tersebut.
Di samping itu model bangunan Candi Tikus yang makin ke atas makin
mengecil dan pada bangunan induk seakan-akan terdapat puncak utama yang
dikelilingi oleh delapan puncak yang lebih kecil, menurut Bernert, model
tersebut ada kemiripan tersendiri dengan bentuk utuh Gunung Mahameru.
Secara mitologi, Gunung Meru selalu dihubungkan dengan air kehidupan yang
dipercaya mempunyai kekuatan magis dalam memberi kekuatan pada semua
makhluk hidup. Kepercayaan ini lahir dari konsep Hindu-Buddha yang meyakini
gunung tersebut sebagai pusat kehidupan, yang kemudian termanefestasikan
dalam bentuk bangunan candi, pemahaman itu hingga dewasa ini masih
dikultuskan oleh sebagian masyarakat.
Lain halnya dengan pendapat yang dikemukankan oleh NJ Krom lewat buku
"sakti"-nya yang berjudul Inleiding tot de Hindoe Javaansche Kunst II
(Pengantar Kesenian Hindu Jawa). Dengan memperhatikan bahan dan gaya
seni dari saluran air, pakar sejarah kesenian Jawa kuno berkebangsaan Belanda
itu berasumsi bahwa ada dua tahap pembangunan candi Tikus.
Tahap pertama, saluran airnya terbuat dari bata merah dan memperlihatkan
bentuknya yang kaku. Sedangkan tahap kedua saluran airnya terbuat dari batu
andesit dan memperlihatkan bentuknya yang lebih dinamis serta dibuat pada
masa keemasan Majapahit.
Ini berarti pula bahwa menurut Krom, Candi Tikus telah berdiri sebelum
kerajaan Majapahit mencapai puncak keemasannya, yaitu pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk (1350 - 1380).
Menurut catatan hasil penelitian yang telah dilakukan H Maclaine Pont pada
1926, setidaknya terdapat 18 buah waduk besar yang diduga kuat dibangun
pada masa Majapahit (letaknya kini tersebar di seluruh Kabupaten Mojokerto,
Jawa Timur).
Dari 18 buah waduk besar itu 4 buah diantaranya terletak di daerah Trowulan.
Yaitu di Desa Baureno, Kumitir, Domas dan Temon. Waduk-waduk besar ini
berfungsi sebagai tempat penampungan air pertama untuk selanjutnya
dialirkan ke tempat-tempat lain.
Dari ke-empat waduk besar yang terletak di daerah Trowulan, Waduk Baureno
diduga merupakan sumber dari air yang masuk ke Candi Tikus. Untuk
selanjutnya air dari candi Tikus ini didistribusikan ka arah kota. Dari hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh alm Didiek Samsu WT selama tahun
1986/1987, diketahui bahwa debit air rata-rata dari pancuran-pancuran air di
Candi Tikus adalah 17.604.915 cm/detik.
Berdasarkan perhitungan ini, dapat diperkirakan bahwa Candi Tikus pada masa
itu memiliki peranan yang cukup penting dalam sistem jaringan air di daerah
Trowulan," tulis arkeolog ini dalam skripsinya.
Alm Didiek menyatakan bahwa air Candi Tikus juga bisa dijadikan patokan
musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim kemarau, debit air rata-
rata setiap pancuran pancuran lebih kurang 400 cm/detik. Sedangkan jika
lantai dasar Candi Tikus mulai tergenang dan pancuran air memancarkan air
lebih jauh, dapat diartikan bahwa musim hujan telah menjelang.
Ini berarti pula bahwa pada musim hujan debit air di Candi Tikus akan naik,
sehingga bisa jadi patokan untuk membuka atau menutup pintu air di waduk
atau bendungan.
Tak heran, bila kemudian air yang keluar dari Candi Tikus juga dipercaya
memiliki kekuatan magis untuk memenuhi harapan rakyat agar hasil pertanian
mereka berlipat ganda dan terhindar dari kesulitan-kesulitan yang merugikan.
Sudah bukan rahasia lagi bila mendengar nama candi. Benak kita lantas
tertuju pada suatu bangunan (terbuat dari batu atau bata merah) yang berasal
dari masa silam yang berfungsi sebagai sarana pemujaan. Ini tidak keliru,
karena memang candi berfungsi sebagai sarana untuk melakukan suatu ritual
pemujaan.
Betapa tidak! Letaknya yang berada dibawah permukaan tanah (sekitar 3,5
meter) dengan beberapa pancuran air dan saluran-saluran air serta mengingat
lokasinya yang berada di Trowulan (yang diduga kuat merupakan bekas
ibukota kerajaan Majapahit), telah mengusik perhatian para pakar untuk
menentukan makna dan fungsi dari bangunan itu, baik dari segi arsitektural
naupun ditinjau dari segi religius.
Secara pasti, tidak diketahui kapan candi Tikus ini didirikan karena tidak
adanya sumber sejarah yang memberitakan tentang pendirian candi Tikus ini.
Dalam kitab Nagarakertagama yang ditulis oleh Prapanca pada tahun 1365 M
(yang telah diakui oleh para pakar sebagai suatu sumber sejarah yang cukup
lengkap memuat tentang kerajaan Majapahit, khususnya pada masa
pemerintahan raja Hayam Wuruk), tidak disebutkan tentang eksistensi candi
Tikus ini.
Lain halnya dengan pendapat yang dikemukankan oleh N.J. Krom lewat buku
"sakti"-nya yang berjudul Inleiding tot de Hindoe Javaansche Kunst II
(Pengantar Kesenian Hindu Jawa). Dengan memperhatikan bahan dan gaya
seni dari saluran air, pakar sejarah kesenian Jawa kuno berkebangsaan Belanda
itu berasumsi bahwa ada dua tahap pembangunan candi Tikus.
Tahap pertama, saluran airnya terbuat dari bata merah dan memperlihatkan
bentuknya yang kaku. Sedangkan tahap kedua saluran airnya terbuat dari batu
andesit dan memperlihatkan bentuknya yang lebih dinamis serta dibuat pada
masa keemasan Majapahit. Ini berarti pula bahwa menurut Krom, candi Tikus
telah berdiri sebelum kerajaan Majapahit mencapai puncak keemasannya,
yaitu pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 - 1380).
Menurut catatan hasil penelitian yang telah dilakukan H. Maclaine Pont pada
tahun 1926, setidaknya terdapat 18 buah waduk besar yang diduga kuat
dibangun pada masa Majapahit (letaknya kini tersebar diseluruh kabupaten
Mojokerto, Jawa Timur). Dari 18 buah waduk besar itu 4 buah diantaranya
terletak di daerah Trowulan. Yaitu di Desa Baureno, Kumitir, Domas dan
Temon. Waduk-waduk besar ini berfungsi sebagai tempat penampungan air
pertama untuk selanjutnya dialirkan ke tempat-tempat lain.
Dari ke-empat waduk besar yang terletak di daerah Trowulan, waduk Baureno
diduga merupakan sumber dari air yang masuk ke candi Tikus. Untuk
selanjutnya air dari candi Tikus ini didistribusikan ka arah kota. Dari hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh alm. Didiek Samsu W.T. selama tahun
1986/1987, diketahui bahwa debit air rata-rata dari pancuran-pancuran air di
candi Tikus adalah 17.604.915 cm/detik. "Berdasarkan perhitungan ini, dapat
diperkirakan bahwa candi Tikus pada masa itu memiliki peranan yang cukup
penting dalam sistem jaringan air di daerah Trowulan," tulis arkeolog ini dalam
skripsinya.
Lebih lanjut, alm. Didiek menyatakan bahwa air candi Tikus juga bisa dijadikan
patokan musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim kemarau, debit
air rata-rata setiap pancuran pancuran lebih kurang 400 cm/detik. Sedangkan
jika lantai dasar candi Tikus mulai tergenang dan pancuran air memancarkan
air lebih jauh, dapat diartikan bahwa musim hujan telah menjelang. Ini berarti
pula bahwa pada musim hujan debit air di candi Tikus akan naik, sehingga bisa
jadi patokan untuk membuka atau menutup pintu air di waduk atau
bendungan.
Tanpa usaha yang telah dilakukan oleh H. Maclaine Pont, barangkali nama
Trowulan tidak akan mencuat ke permukaan dalam panggung sejarah
Indonesia. Dialah yang pertama kali menyatakan bahwa Trowulan merupakan
bekas Ibukota kerajaan Majapahit. Dengan bersumber pada kitap
Nagarakertagama, Maclaine Pont berhasil merekonstruksi (bina ulang) ibukota
kerajaan Majapahit. Dari peta kota hasil rekonstruksi Maclaine Pont pada
tahun 1926 tersebut, tampak bahwa candi Tikus terletak di luar kota
Majapahit.