Anda di halaman 1dari 13

“DESKRIPSI TENTANG CANDI TIKUS, TROWULAN,MOJOKERTO”

SMK NEGERI 1 GEMPOL

X Multimedia 1

Nama anggota :
1. Daniola Ayu Rahmawati (21)
2. Eky Royani Bilqis (29)
3. Evillia Prawira Adityas (35)
4. Fadhilah N. Sa’adah (36)

SMK NEGERI 1 GEMPOL


TAHUN AJARAN 2016/2017
Sejarah Candi Tikus Trowulan Mojokerto

Terletak di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan. Dari Candi


Bajangratu ke arah tenggara sekitar 500 m. Candi Tikus adalah sebuah candi
peninggalan Kerajaan Majapahit yang terletak di kompleks Trowulan,
Kabupaten Mojokerto, di Trowulan. Bangunan Candi Tikus berupa tempat
ritual mandi (petirtaan) di kompleks pusat pemerintahan Majapahit. Bangunan
utamanya terdiri dari dua tingkat.

Candi Tikus diperkirakan dibangun pada abad ke-13 atau abad ke-14. Candi ini
dihubungkan dengan keterangan Mpu Prapanca dalam kitab
Nagarakretagama, bahwa ada tempat untuk mandi raja dan upacara-upacara
tertentu yang dilaksanakan di kolam-kolamnya. Arsitektur bangunan
melambangkan kesucian Gunung Mahameru sebagai tempat bersemayamnya
para dewa. Menurut kepercayaan Hindu, Gunung Mahameru merupakan
tempat sumber air Tirta Amerta atau air kehidupan, yang dipercaya
mempunyai kekuatan magis dan dapat memberikan kesejahteraan, dari mitos
air yang mengalir di Candi Tikus dianggap bersumber dari Gunung Mahameru.
Candi ini disebut Candi Tikus karena sewaktu ditemukan merupakan tempat
bersarangnya tikus yang memangsa padi petani. Di tengah Candi Tikus
terdapat miniatur empat buah candi kecil yang dianggap melambangkan
Gunung Mahameru tempat para dewa bersemayam dan sumber segala
kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuran-
pancuran/jaladwara yang terdapat di sepanjang kaki candi.

Air ini dianggap sebagai air suci amrta, yaitu sumber segala kehidupan. Situs
candi ini digali pada tahun 1914 atas perintah Bupati MojokertoKromodjojo
Adinegoro. Karena banyak dijumpai tikus pada sekitar reruntuhannya, situs ini
kemudian dinamai Candi Tikus. Candi Tikus baru dipugar pada tahun 1985-
1989.

Dulu, ada petani dari Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto gelisah
karena serbuan tikus sawah. Hasil tani yang biasanya cukup untuk menghidupi
seluruh anggota keluarga, kini nyaris tak tersisa. Tak tahan menghadapi
serbuan tikus, ia memohon pada Sang Pencipta. Suatu malam, Si Petani
mendapat wisik (wangsit,) agar mengambil air di kawasan Candi Tikus lalu
menyiramkan air itu ke empat sudut sawah.

Sebuah keajaiban terjadi. Tikus-tikus yang biasanya kerap beraksi di malam


hari hilang begitu saja. Tanah sawah juga mendadak jadi subur. Si Petani tak
kuasa menahan kegembiraannya dan bercerita pada warga desa.

Beberapa saat kemudian, ada saudagar kaya mendengar kabar tentang khasiat
air Candi Tikus. Dengan rakus, ia mencari jalan pintas untuk menambah
kekayaannya. Suatu malam, ia mencuri batu candi dan meletakkannya di
sudut-sudut sawah. Lagi-lagi sebuah kejaiban terjadi.

Tapi kali ini, tikus-tikus malah datang dan menghabisi padi di sawah. Fenomena
ini membuat warga desa sadar, bahwa mereka tak bisa berharap lebih. "Kami
hanya bisa memanfaatkan air di Candi Tikus, tapi bukan batu-batu candi," kata
mereka. Dan mitos ini, ternyata masih dipercaya hingga kini.

Di sisi lain, ada mitos lain yang berkembang kebalikannya. Pada tahun 1914,
candi ini ditemukan oleh Bupati Mojokerto, RAA Kromojoyo Adinegoro.
Sebelumnya, ia mendengar keluh kesah warga Desa Temon yang kalang kabut
karena serbuan hama tikus di sawah mereka. Tanpa pikir panjang, Kromojoyo
memerintah aparat desa agar memobilisasi massa dan menyatakan perang
pada tikus. Anehnya, saat terjadi pengejaran, tikus-tikus itu selalu lari dan
masuk dalam lobang dalam sebuah gundukan besar.

Karena ingin membersihkan tikus sampai habis, Kromojoyo memilnta agar


gundukan itu dibongkar. Ternyata, di dalam gundukan terdapat sebuah candi.
Melihat sejarah penemuannya, Kromojoyo memberi nama Candi Tikus.

Memasuki masa kemerdekaan, Candi Tikus yang mulai rusak dipugar setahap
demi setahap. Puncaknya, Candi Tikus dipugar pada tahun 1984 hingga 1989.
Tentu, pemugaran ini dilakukan dengan ekstra hati-hati agar tak
berseberangan dengan tampilan asli. Kini, masyarakat bisa melihat Candi Tikus
sebagai aset wisata sejarah yang kaya sentuhan estetika.

Secara keseluruhan, candi ini lebih mirip dengan petirtaan. Bangunannya


dibangun di atas tanah yang lebih rendah 3,5 meter dari tanah di sekitarnya.
Untuk mendekati candi, kita harus melewati tangga masuk di sisi utara. Dari
situ, kita bisa melihat candi berukuran 29,5X28,25 meter dan tinggi
keseluruhan 5,2 meter ini dari dekat.

Sampai sekarang, Candi Tikus masih sering dijadikan ajang penelitian ahli
purbakala dari dalam dan luar negeri. Kebanyakan, mereka ingin merangkai
fakta sekaligus antitesis sebuah teori yang menyebut, semua bangunan yang
berasal dari masa pengaruh agama Hindu - Budha abad 5-15 M adalah candi.
Padahal, bangunan-bangunan itu tak selalu berfungsi sebagai sarana
pemujaan.

Sebagai bangunan berkarakter khas, Candi Tikus adalah icon yang


berseberangan dengan teori itu. Karena Candi Tikus memiliki pancuran dan
saluran air yang konon berperan besar sebagai pengatur debit air di Majapahit.
Di luar itu, Candi Tikus juga memiliki daya tarik yang tak bisa lepas
darirangkaian situs Majapahit yang tersebar di Trowulan.

Candi Tikus merupakan salah satu bangunan yang mempunyai nilai eksotisme
tersendiri. Selain memiliki arsitektur yang cukup unik dengan ornamen pada
bangunan induk yang dihiasi pancuran air berbentuk makara dan padma, candi
tersebut juga memiliki dua kolam dan saluran-saluran air yang mengandung
struktur petirtaan. Adanya pancuran air di Candi Tikus (jaladwara) yang
berbentuk makara dan padma, makara merupakan perubahan bentuk tunas-
tunas yang keluar dari bonggol teratai, sedangkan padma merupakan teratai
itu sendiri.

Secara keseluruhan candi itu dapat dikategorikan sebagai bangunan petirtaan.


Mengenai keterangan akar kronologis tentang Candi Tikus dapat dikaitkan
dengan uraian dalam kitab Nagarakartagama yang ditulis oleh Prapanca (1385
M). Dalam kitab tersebut pada pupuh 27 dan 29 menyebutkan adanya tempat
pemandian (petirtaan) raja yang dikunjungi Hayam Wuruk dan keterangan
yang menyebutkan adanya upacara-upacara tertentu yang dirayakan di kolam-
kolam.

Meskipun dalam kitab tersebut Prapanca tidak menyebutkan secara eksplisit


mengenai nama Candi Tikus, namun diyakini oleh sebagian besar pengamat
situs kebudayaan purbakala, salah satu tempat pemandian yang dimaksudkan
dalam kitab Nagarakartagama adalah Candi Tikus, terkait dengan letak
bangunan yang masih berada di kawasan Kerajaan Majapahit.
Di sisi lain, menara-menara (bangunan miniatur yang mengelilingi bangunan
induk) merupakan bagian terpenting dari gubahan arsitektur abad ke XIII-XIV.
Secara tidak langsung bangunan candi itu dapat diyakini didirikan pada abad ke
XIII-XIV, premis ini semakin memperuncing kebenaran bahwa yang dimaksud
dalam kitab Nagarakartagama mengenai petirtaan yang dikunjungi oleh Hayam
Wuruk dan kolam-kolam yang dijadikan sebagai tempat untuk mengadakan
prosesi upacara-upacara tertentu, salah satunya adalah Candi Tikus.

Meskipun Candi Tikus sempat tenggelam dari panggung sejarah dan kembali
tampil sekitar 1914, setelah diadakan penggalian terhadap tanah yang
menutupinya dan adanya beberapa kerusakan fisik yang hampir menyusutkan
eksotisme bangunan tersebut.

Namun autentisitas nilai dan kandungan filosofis yang terdapat dalam


keutuhan candi itu hingga dewasa ini masih mampu terlestarikan dengan baik.

Bentuk Candi Tikus yang mirip sebuah petirtaan mengundang perdebatan di


kalangan pakar sejarah dan arkeologi mengenai fungsinya. Sebagian pakar
berpendapat bahwa candi ini merupakan petirtaan, tempat mandi keluarga
raja, namun sebagian pakar ada yang berpendapat bahwa bangunan tersebut
merupakan tempat penampungan dan penyaluran air untuk keperluan
pendudukTrowulan. Namun, menaranya yang berbentuk meru menimbulkan
dugaan bahwa bangunan candi ini juga berfungsi sebagai tempat pemujaan.
Bangunan Candi Tikus menyerupai sebuah petirtaan atau pemandian, yaitu
sebuah kolam dengan beberapa bangunan di dalamnya. Hampir seluruh
bangunan berbentuk persegi empat dengan ukuran 29,5 m x 28,25 m ini
terbuat dari batu bata merah. Yang menarik, adalah letaknya yang lebih
rendah sekitar 3,5 m dari permukaan tanah sekitarnya. Di permukaan paling
atas terdapat selasar selebar sekitar 75 cm yang mengelilingi bangunan. Di sisi
dalam, turun sekitar 1 m, terdapat selasar yang lebih lebar mengelilingi tepi
kolam. Pintu masuk ke candi terdapat di sisi utara, berupa tangga selebar 3,5 m
menuju ke dasar kolam.
Di kiri dan kanan kaki tangga terdapat kolam berbentuk persegi empat yang
berukuran 3,5 m x 2 m dengan kedalaman 1,5 m. Pada dinding luar masing-
masing kolam berjajar tiga buah pancuran berbentuk padma (teratai) yang
terbuat dari batu andesit.
Tepat menghadap ke anak tangga, agak masuk ke sisi selatan, terdapat sebuah
bangunan persegi empat dengan ukuran 7,65 m x 7,65 m. Di atas bangunan ini
terdapat sebuah ‘menara’ setinggi sekitar 2 m dengan atap berbentuk meru
dengan puncak datar. Menara yang terletak di tengah bangunan ini dikelilingi
oleh 8 menara sejenis yang berukuran lebih kecil. Di sekeliling dinding kaki
bangunan berjajar 17 pancuran (jaladwara) berbentuk bunga teratai
dan makara.
Hal lain yang menarik ialah adanya dua jenis batu bata dengan ukuran yang
berbeda yang digunakan dalam pembangunan candi ini. Kaki candi terdiri atas
susunan bata merah berukuran besar yang ditutup dengan susunan bata
merah yang berukuran lebih kecil. Selain kaki bangunan, pancuran air yang
terdapat di candi inipun ada dua jenis, yang terbuat dari bata dan yang terbuat
dari batu andesit.
Perbedaan bahan bangunan yang digunakan tersebut menimbulkan dugaan
bahwa Candi Tikus dibangun melalui tahap. Dalam pembangunan kaki candi
tahap pertama digunakan batu bata merah berukuran besar, sedangkan dalam
tahap kedua digunakan bata merah berukuran lebih kecil. Dengan kata lain,
bata merah yang berukuran lebih besar usianya lebih tua dibandingkan dengan
usia yang lebih kecil. Pancuran air yang terbuat dari bata merah diperkirakan
dibuat dalam tahap pertama, karena bentuknya yang masih kaku. Pancuran
dari batu andesit yang lebih halus pahatannya diperkirakan dibuat dalam tahap
kedua. Walaupun demikian, tidak diketahui secara pasti kapan kedua tahap
pembangunan tersebut dilaksanakan.

Pendapat para ahli mojokerto


Menurut Mpu Prapanca dalam kitab Nagarakertagama, candi yang
diperkirakan dibangun pada abad ke XIII atau abad ke-XIV ini merupakan
tempat untuk mandi raja dan upacara-upacara tertentu yang dilaksanakan di
kolam-kolamnya.

Dalam kitab tersebut pada pupuh 27 dan 29 menyebutkan adanya tempat


pemandian (petirtaan) raja yang dikunjungi Hayam Wuruk dan keterangan
yang menyebutkan adanya upacara-upacara tertentu yang dirayakan di kolam-
kolam.

Di sisi lain, menara-menara (bangunan miniatur yang mengelilingi bangunan


induk) merupakan bagian terpenting dari gubahan arsitektur abad ke XIII-XIV.
Secara tidak langsung bangunan candi itu dapat diyakini didirikan pada abad ke
XIII-XIV. Premis ini semakin memperuncing kebenaran bahwa yang dimaksud
dalam kitab Nagarakartagama mengenai petirtaan yang dikunjungi oleh Hayam
Wuruk dan kolam-kolam yang dijadikan sebagai tempat untuk mengadakan
prosesi upacara-upacara tertentu, salah satunya adalah Candi Tikus.

Sedangkan menurut AJ Bernert Kempers dalam bukunya Ancient Indonesia Art


susunan miniatur menara Candi Tikus, memiliki hubungan dengan konsep
religi. Menurutnya bentuk dari situs Candi merupakan replika Gunung
Mahameru/Semeru . 

Di mana gunung tertinggi ini dianggap sebagai tempat yang sakral


bersemayamnya para dewa. Sehingga kemungkinan besar candi ini merupakan
situs pentirtaan yang sangat disucikan bagi umat Hindu dan Buddha kala itu.

Di samping itu model bangunan Candi Tikus yang makin ke atas makin
mengecil dan pada bangunan induk seakan-akan terdapat puncak utama yang
dikelilingi oleh delapan puncak yang lebih kecil, menurut Bernert, model
tersebut ada kemiripan tersendiri dengan bentuk utuh Gunung Mahameru.

Secara mitologi, Gunung Meru selalu dihubungkan dengan air kehidupan yang
dipercaya mempunyai kekuatan magis dalam memberi kekuatan pada semua
makhluk hidup. Kepercayaan ini lahir dari konsep Hindu-Buddha yang meyakini
gunung tersebut sebagai pusat kehidupan, yang kemudian termanefestasikan
dalam bentuk bangunan candi, pemahaman itu hingga dewasa ini masih
dikultuskan oleh sebagian masyarakat.

Lain halnya dengan pendapat yang dikemukankan oleh NJ Krom lewat buku
"sakti"-nya yang berjudul Inleiding tot de Hindoe Javaansche Kunst II
(Pengantar Kesenian Hindu Jawa). Dengan memperhatikan bahan dan gaya
seni dari saluran air, pakar sejarah kesenian Jawa kuno berkebangsaan Belanda
itu berasumsi bahwa ada dua tahap pembangunan candi Tikus.

Tahap pertama, saluran airnya terbuat dari bata merah dan memperlihatkan
bentuknya yang kaku. Sedangkan tahap kedua saluran airnya terbuat dari batu
andesit dan memperlihatkan bentuknya yang lebih dinamis serta dibuat pada
masa keemasan Majapahit. 

Ini berarti pula bahwa menurut Krom, Candi Tikus telah berdiri sebelum
kerajaan Majapahit mencapai puncak keemasannya, yaitu pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk (1350 - 1380).

Menurut catatan hasil penelitian yang telah dilakukan H Maclaine Pont pada
1926, setidaknya terdapat 18 buah waduk besar yang diduga kuat dibangun
pada masa Majapahit (letaknya kini tersebar di seluruh Kabupaten Mojokerto,
Jawa Timur). 

Dari 18 buah waduk besar itu 4 buah diantaranya terletak di daerah Trowulan.
Yaitu di Desa Baureno, Kumitir, Domas dan Temon. Waduk-waduk besar ini
berfungsi sebagai tempat penampungan air pertama untuk selanjutnya
dialirkan ke tempat-tempat lain.

Dari ke-empat waduk besar yang terletak di daerah Trowulan, Waduk Baureno
diduga merupakan sumber dari air yang masuk ke Candi Tikus. Untuk
selanjutnya air dari candi Tikus ini didistribusikan ka arah kota. Dari hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh alm Didiek Samsu WT selama tahun
1986/1987, diketahui bahwa debit air rata-rata dari pancuran-pancuran air di
Candi Tikus adalah 17.604.915 cm/detik.

Berdasarkan perhitungan ini, dapat diperkirakan bahwa Candi Tikus pada masa
itu memiliki peranan yang cukup penting dalam sistem jaringan air di daerah
Trowulan," tulis arkeolog ini dalam skripsinya.
Alm Didiek menyatakan bahwa air Candi Tikus juga bisa dijadikan patokan
musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim kemarau, debit air rata-
rata setiap pancuran pancuran lebih kurang 400 cm/detik. Sedangkan jika
lantai dasar Candi Tikus mulai tergenang dan pancuran air memancarkan air
lebih jauh, dapat diartikan bahwa musim hujan telah menjelang. 

Ini berarti pula bahwa pada musim hujan debit air di Candi Tikus akan naik,
sehingga bisa jadi patokan untuk membuka atau menutup pintu air di waduk
atau bendungan.

Sejak zaman prasejarah, air memang memiliki peranan penting dalam


kehidupan spiritual manusia. Air dipercaya memiliki daya magis utnuk
membersihkan, mensucikan dan menyuburkan. 

Tak heran, bila kemudian air yang keluar dari Candi Tikus juga dipercaya
memiliki kekuatan magis untuk memenuhi harapan rakyat agar hasil pertanian
mereka berlipat ganda dan terhindar dari kesulitan-kesulitan yang merugikan.

Candi Tikus, Pengatur Debit Air Majapahit

Sudah bukan rahasia lagi bila mendengar nama candi. Benak kita lantas
tertuju pada suatu bangunan (terbuat dari batu atau bata merah) yang berasal
dari masa silam yang berfungsi sebagai sarana pemujaan. Ini tidak keliru,
karena memang candi berfungsi sebagai sarana untuk melakukan suatu ritual
pemujaan.

Namun di Indonesia, tampaknya ada semacam pandangan yang menyatakan


bahwa segala bangunan yang berasal dari masa pengaruh agama Hindu -
Budha (abad V - XV M) sering disebut segabagai candi. Padahal, bangunan-
bangunan itu belum tentu berfungsi sebagai sarana pemujaan. Salah satu
contoh dalam bangunan kuno yang sudah terlanjur disebut candi adalah candi
Tikus di Jawa Timur.

Sejak ditemukan pertama kalinya pada tahun 1914, kemudian sampai


dilakukan pemugaran sekitar tahun 1983 - 1986, candi Tikus yang secara
administratif terletak di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan,
Kbaupaten Mojokerto, Jawa Timur, telah banyak mengundang perhatian para
pakar sejarah kuno dan arkeologi.

Betapa tidak! Letaknya yang berada dibawah permukaan tanah (sekitar 3,5
meter) dengan beberapa pancuran air dan saluran-saluran air serta mengingat
lokasinya yang berada di Trowulan (yang diduga kuat merupakan bekas
ibukota kerajaan Majapahit), telah mengusik perhatian para pakar untuk
menentukan makna dan fungsi dari bangunan itu, baik dari segi arsitektural
naupun ditinjau dari segi religius.

Dua Tahap Pembangunan

Secara pasti, tidak diketahui kapan candi Tikus ini didirikan karena tidak
adanya sumber sejarah yang memberitakan tentang pendirian candi Tikus ini.

Dalam kitab Nagarakertagama yang ditulis oleh Prapanca pada tahun 1365 M
(yang telah diakui oleh para pakar sebagai suatu sumber sejarah yang cukup
lengkap memuat tentang kerajaan Majapahit, khususnya pada masa
pemerintahan raja Hayam Wuruk), tidak disebutkan tentang eksistensi candi
Tikus ini.

Namun demikian, ini tidak berarti bahwa serangkaian penelitian yang


ditujukan guna mencari dan menentukan saat dibangunnya candi Tikus ini
lantas manjadi tidak bisa dilaksanakan. Setidaknya, berdasarkan kajian
arsitektural, diperoleh gambaran perbedaan dalam hal penggunaan bahan
baku candi, yaitu bata merah.

Adanya perbedaan penggunaan bata merah (baik perbedaan kualitas maupun


kuantitasnya), memberikan indikasi tentang tahapan pembangunan candi
Tikus. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para arkeolog, terbukti
bahwa bata merah yang berukuran lebih besar berusia lebih tua dibandingkan
dengan bata merah yang berukuran lebih kecil.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa selama masa berdiri dan


berfungsinya, candi Tikus pernah mengalami dua tahap pembangunan.
Pembangunan tahap pertama dilakukan dengan mempergunakan batu bata
merah yang berukuran lebih besar sebagai bahan bakunya, sedangkan
pembangunan tahap kedua dilakukan dengan mempergunakan bata merah
yang berukuran lebih kecil.

Lain halnya dengan pendapat yang dikemukankan oleh N.J. Krom lewat buku
"sakti"-nya yang berjudul Inleiding tot de Hindoe Javaansche Kunst II
(Pengantar Kesenian Hindu Jawa). Dengan memperhatikan bahan dan gaya
seni dari saluran air, pakar sejarah kesenian Jawa kuno berkebangsaan Belanda
itu berasumsi bahwa ada dua tahap pembangunan candi Tikus.

Tahap pertama, saluran airnya terbuat dari bata merah dan memperlihatkan
bentuknya yang kaku. Sedangkan tahap kedua saluran airnya terbuat dari batu
andesit dan memperlihatkan bentuknya yang lebih dinamis serta dibuat pada
masa keemasan Majapahit. Ini berarti pula bahwa menurut Krom, candi Tikus
telah berdiri sebelum kerajaan Majapahit mencapai puncak keemasannya,
yaitu pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 - 1380).

Sementara itu, ketika dilakukan pemugaran pada tahun 1984/1985, berhasil


disingkap sisi tenggara bangunan candi Tikus. Kaki bangunan yang terdapat di
sisi tersebut, menunjukan perbedaan ukuran bata merah yang dipergunakan
sebagai bahan bakunya. Hal ini semakin memperkuat dugaan mengenai dua
tahap pembangunan candi tersebut. Kaki bangunan tahap pertama yang
tersusun dari bata merah yang berukuran besar, tampak ditutup oleh kaki
bangunan tahap kedua yang tersusun dari bata merah yang berukuran lebih
kecil. Kapan secara pasti pembangunan tahap pertama dan kedua ini
dilakukan, belum jelas benar.

Menurut catatan hasil penelitian yang telah dilakukan H. Maclaine Pont pada
tahun 1926, setidaknya terdapat 18 buah waduk besar yang diduga kuat
dibangun pada masa Majapahit (letaknya kini tersebar diseluruh kabupaten
Mojokerto, Jawa Timur). Dari 18 buah waduk besar itu 4 buah diantaranya
terletak di daerah Trowulan. Yaitu di Desa Baureno, Kumitir, Domas dan
Temon. Waduk-waduk besar ini berfungsi sebagai tempat penampungan air
pertama untuk selanjutnya dialirkan ke tempat-tempat lain.

Dari ke-empat waduk besar yang terletak di daerah Trowulan, waduk Baureno
diduga merupakan sumber dari air yang masuk ke candi Tikus. Untuk
selanjutnya air dari candi Tikus ini didistribusikan ka arah kota. Dari hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh alm. Didiek Samsu W.T. selama tahun
1986/1987, diketahui bahwa debit air rata-rata dari pancuran-pancuran air di
candi Tikus adalah 17.604.915 cm/detik. "Berdasarkan perhitungan ini, dapat
diperkirakan bahwa candi Tikus pada masa itu memiliki peranan yang cukup
penting dalam sistem jaringan air di daerah Trowulan," tulis arkeolog ini dalam
skripsinya.

Lebih lanjut, alm. Didiek menyatakan bahwa air candi Tikus juga bisa dijadikan
patokan musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim kemarau, debit
air rata-rata setiap pancuran pancuran lebih kurang 400 cm/detik. Sedangkan
jika lantai dasar candi Tikus mulai tergenang dan pancuran air memancarkan
air lebih jauh, dapat diartikan bahwa musim hujan telah menjelang. Ini berarti
pula bahwa pada musim hujan debit air di candi Tikus akan naik, sehingga bisa
jadi patokan untuk membuka atau menutup pintu air di waduk atau
bendungan.

Memiliki Kekuatan Magis

Tanpa usaha yang telah dilakukan oleh H. Maclaine Pont, barangkali nama
Trowulan tidak akan mencuat ke permukaan dalam panggung sejarah
Indonesia. Dialah yang pertama kali menyatakan bahwa Trowulan merupakan
bekas Ibukota kerajaan Majapahit. Dengan bersumber pada kitap
Nagarakertagama, Maclaine Pont berhasil merekonstruksi (bina ulang) ibukota
kerajaan Majapahit. Dari peta kota hasil rekonstruksi Maclaine Pont pada
tahun 1926 tersebut, tampak bahwa candi Tikus terletak di luar kota
Majapahit.

Sejak zaman Prasejarah, air memang memiliki peranan penting dalam


kehidupan spiritual manusia. Air dipercaya memiliki daya magis utnuk
membersihkan, mensucikan dan menyuburkan. Tak heran, bila kemudian air
yang keluar dari candi Tikus juga dipercaya memiliki kekuatan magis untuk
memenuhi harapan rakyat agar hasil pertanian mereka berlipat ganda dan
terhindar dari kesulitan-kesulitan yang merugikan.

Anda mungkin juga menyukai