Anda di halaman 1dari 5

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK

Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Kebudayaan


Dosen Pengampu:
Dr. Hj. Ufi Saraswati M.Hum. & Saiful Amin S.Pd M.Pd

Disusun oleh:
Zufar Arsyad Zaman (3101418053)
Ilmi Afifah Zain (3101418060)
Ega Triana (3101418068)
Nur Aini Khasanah (3101418075)
Yustika Anggun Savita (3101418076)
Artha Prima Pradhana (3101418082)

JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2020
1. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Mana Candi maupun Stupa didirikan

Candi-candi klasik tua (bangunan Candi yang dibangun sebelum tahun 1000
Masehi) dan sumberdaya arkeologi lainnya di Kawasan Candi maupun Stupa memiliki
latar belakang agama Hindu dan Budha. Di bidang sosial, tradisi Hindu-Buddha
berpengaruh terhadap sistem kemasyarakatan dan pemerintahan. Dalam sistem
pemerintahan asli Indonesia, masyarakat Indonesia tersusun dalam kelompok-kelompok
desa yang dipimpin oleh kepala suku. Sistem itu kemudian terpengaruh oleh ajaran
Hindu-Buddha. Timbul kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Struktur sosial masyarakat
Kerajaan Kuno tidak begitu ketat, sebab seorang Brahmana dapat menjadi seorang
pejabat seperti seorang ksatria, ataupun sebaliknya seorang Ksatria bisa saja menjadi
seorang pertapa. Dalam masyarakat Jawa, terkenal dengan kepercayaan bahwa dunia
manusia sangat dipengaruhi oleh alam semesta (sistem kosmologi). Dengan demikian,
segala yang terjadi di alam semesta ini akan berpengaruh pada kehidupan manusia, begitu
pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk keserasian alam semesta dan kehidupan manusia
maka harus dijalin hubungan yang harmonis antara alam semesta dan manusia, begitu
pula antara sesama manusia. Sistem kosmologi juga menjadikan raja sebagai penguasa
tertinggi dan penjelmaan kekuatan dewa di dunia.

Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat dimana Candi maupun


Stupa didirikan bisa juga melalui prasasti-prasasti yang ditemukan disekitar desa-desa
dekat Candi, berdasarkan toponim (nama awal) desa, dan berdasarkan letak kerajaan atau
desa-desa pada periode pembangunan Candi. Misalnya letak kerajaan Mataram yang
terisolasi menyebabkan perekonomian kerajaan itu sulit untuk berkembang dengan baik.
Selain itu transportasi dari pesisir ke pedalaman sulit untuk dilakukan karena keadaan
sungainya. Perekonomian rakyat dengan demikian, banyak yang mengandalkan sektor
agraris daripada perdagangan, apalagi perdagangan internasional. Lalu berdasarkan
prasasti Purworejo (900 M) disebutkan bahwa Raja Belitung memerintahkan pendirian
pusat-pusat perdagangan, pendirian pusat-pusat perdagangan tersebut dimaksudkan untuk
mengembangkan perekonomian masyarakat, baik di sektor pertanian dan perdagangan.
Selain itu, dimaksudkan agar menarik para pedagang dari daerah lain untuk mau
berdagang di Mataram.

Sedangkan Toponim desa juga dapat memberi perkiraan arti kondisi kawasan pada
waktu itu atau waktu sebelum desa-desa terbentuk. Jejak sejarah kawasan Borobudur

1
yang ditunjukkan dari toponim desa-desanya mengindikasikan adanya empat kondisi
kawasan yang saling berdekatan desa-desa dengan nama “segoro” (laut), “rowo” (rawa),
“tanjung” (semenanjung), mengindikasikan adanya bentangan air di sekitarnya. Toponim
desa atau dusun yang terletak di lereng Pegunungan Menoreh dengan nama “giri” atau
“karang” memberikan petunjuk bahwa desa atau dusun yang berada di lereng pegunungan
tersebut memiliki lahan yang tidak rata dengan tanah berbatu-batu. Sedangkan dari
toponim desa atau dusun yang terletak di tepi sungai dengan nama “kali”, “praga”, atau
“brangkal” menunjukkan bahwa desa atau dusun tersebut berada di tepi sungai dan ada
bagian kawasan desa yang banyak terdapat batu-batu besar (brangkal) berasal dari sungai,
nama- nama tersebut menunjukan letak desa-desa dan dapat diketahui pula kehidupan
sosial dari letak-letak desa tersebut.

Sedangkan untuk masa kini keberadaan Candi maupun Stupa dijadikan wisata
sebagai sumber ekonomi masyarakat sekitar. Dampak pada arah perubahan sosial
keserasiaan antara masyarakat dengan wisata Candi maupun Stupa sudah terjalin dengan
baik. Dalam kondisi ekonomi para pedagang memanfaatkan wisata Candi untuk
perekonomian merekan selain itu pula didirikan penginapan atau hotel-hotel untuk para
wisatawan sekaligus untuk memaksimalkan pemanfaatan Candi sebagai tempat wisata.

2. Didirikannya Candi dan Stupa serta Tujuan Membangun Candi dan Stupa

Candi dan Stupa didirikan karena sebagai bangunan keagamaan tempat ibadah
agama Hindu dan Budha. Pada umumnya dikatakan, bahwa pembangunan candi
mempunyai maksud untuk memuliakan seorang raja yang telah wafat dan telah bersatu
kembali dengan dewa yang menjadi asal beliau. Maka candi sekaligus merupakan
ungkapan yang nyata dari rasa hormat yang mendalam terhadap keluhuran orang tua dan
kesadaran yang meresap terhadap kebesaran agama.

Tujuan dibuatnya candi yaitu:

1. Sebagai tempat penyimpanan abu jenazah raja yang sudah meninggal


Untuk memuliakan orang yang telah wafat, khusunya para raja dan orang-orang
terkemuka. Mayat ataupun jenazah tidak dikuburkan disitu melainkan bermacam-
macam benda, seperti potongan-potongan berbagai jenis logam dan batu-batu akik,
yang disertai dengan sajian-sajian. Benda-benda tersebut dinamakan “pripih” dan
dianggap sebagai lambing-lambang zat jasmaniah dari sang raja yang telah bersatu

2
Kembali dengan dewa penitisnya. Mayat sang raja yang meninggal dibakar, dan
abunya dibuang atau dilarugkan di laut. Candi sebagai tempat semacam pemakaman
hanya terdapat dalam agama Hindu.
2. Tempat pemujaan dewa
Candi-candi agama Budha hanya dimaksudkan sebagai tempat pemujaan dewa belaka
serta dihuungkan dengan kemuliaan Budha. Dalam candi tidak terdapat peti pripih
dan arcanya tidak mewujudkan seorang raja. Abu jenazah dari para bhiksu yang
terkemuka, ditanam dalam sekitaran candi dalam bangunan stupa. Sebagai tempat
pemujaan juga dimaksukan agar bangunan candi diharapkan bisa membuat manusia
meninggalkan nafsu dunia dan menuju pencerahan Budha

Tujuan dibuatnya Stupa yaitu:

Sebagai tempat untuk menyimpan relik Budha sendiri. Setelah wafat lalu
dikremasi, sisa pembakaran yang berupa kristal disebut relik atau sarira yang disimpan
dalam delapan stupa. Stupa juga merupakan lambing dari agama Budha itu sendiri dan
menjadi petunjuk seberapa luas agama Buddha tersebar di suatu wilayah.

3. Tahapan Pembangunan Candi

Pembuatan candi berdasarkan pada kitab Manasara Silpasasatra, digunakan oleh


sthapati (ahli pembuat candi) dan slipin sebagai pedoman pembuatan candi kitab tersebut
menjelaskan bahwa lokasi yang dijadikan tempat untuk mendirikan sebuah candi haruslah
memiliki ketinggian yang dekat dengan dataran tinggi suci sehingga kebanyakan candi-
candi di Indonesia dibangun di tempat yang memiliki ketinggian hampir mendekati
gunung karena adanya kepercayaan masa lalu dimana semakin dekat sebuah bangunan
suci dibuat maka semakin dekat pula dengan nirwana atau surga yang dipercayai orang-
orang masa lalu, namun beberapa candi juga ada yang dibangun di dataran yang rendah.

Sebelum dibangun sebuah candi perlu uji coba sebelum didirikan seorang pembuat
candi (sthapati) harus melalukan perencanaan bentuk candi, pencarian lokasi, pengujian
tanah, penyiapan tanah, pengujian tanah, pembuatan denah, dan pengerjaan fisik.

Selain tempat, ada beberapa unsur-unsur penting dalam pembuatan bangunan suci
seperti pondasi, disebutkan dalam kitab tersebut ada empat peraturan untuk didirikan
sebuah pondasi yaitu setinggi orang dengan tangan dewasa yang dinaikkan, sama dengan

3
kaki candi, sampai mencapai batu karang atau tanah berpasir yang padat, dan sampai
mencapai permukaan air tanah.

Langkah selanjutnya adalah pembuatan vastupurusamandala, yang diartikan


sebagai tempat tumbuhnya intisari (vastu) alam semesta (purusa), vastupurusa merupakan
sebuah makhluk kosmik yang diceritakan dalam legenda dimana diceritakan ia tumbuh
pesat dan melahap seluruh bumi, kemudian terpaksa dewa membunuhnya, ketika akan
dibunuh vastupurusa meminta keringanan bahwa ia akan disembah oleh setiap makhluk
yang membangun struktur di bumi. Hal tersebut membuat pembangunan sebuah candi
menjadi bertahap seperti pembuatan mandala, membuat denah, pengerjaan fisik seperti
penumpukan batu, membuat hiasan, pagar, dan lain sebagainya.

Sedangkan untuk lahan sendiri seorang siplin harus menentukan tempat yang
sesuai dengan berbagai persyaratan di atas kemudian diperlukan adanya pengujian
kepadatan tanah, menguji uap tanah dari zat-zat berbahaya, mengetes kesuburan tanah,
sehingga nantinya dapat membuat pondasi di atasnya. Jenis pondasi ditentukan oleh
kesesuaian dengan keyakinannya, kemudian pondasinya dibangun dari pondasi bawah
(kaki), bagian tubuh, bagian atap, bagian luar, serta adanya berbagai hiasan di dinding-
dinding bangunan.

Anda mungkin juga menyukai