Anda di halaman 1dari 194

VIHARA

A. Pengertian Vihara
Menurut Kepmenkes RI (2013), Vihara merupakan bagian dari sarana
pelayanan umum sebagai tempat ibadah. Sarana ibadah adalah jenis fasilitas
sosial yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan yang khusus
disediakan untuk melaksanakan ibadah bagi umat beragama. Sarana pelayanan
umum dinyatakan memenuh syarat kesehatan lingkungan apabila memnuhi
kebutuhan fisiologis, psikologis dan dapat mencegah penularan penyakit antar
pengguna, penghuni dan masyarakat sekitarnya, selain itu harus memenuhi
persyaratan dalam pencegahan terjadinya kecelakaan.
Vihara adalah rumah ibadah agama Buddha, bisa juga dinamakan kuil.
Kelenteng adalah rumah ibadah penganut taoisme, maupun konfuciusisme.
Tetapi di Indonesia, karena orang yg ke vihara/kuil/kelenteng umumnya adalah
etnis tionghoa, maka menjadi agak sulit untuk di bedakan karena umumnya
sudah terjadi sinkritisme antara Buddhisme, Taoisme, dan Konfuciusisme.

(http://pas-ananda-sti.blogspot.com/2012/10/arti-vihara.html)

Vihara dalam bahasa mandarin disebut si (dibaca se), atau si dalam


dialek Hokkian. Si ini sebenarnya baru berarti vihara sejak Dinasti Han.
Sebelumnya, si berarti rumah tempat tinggal pejabat adalah Kaisar Han Ming-di
memerintahkan untuk mengambil kitab suci Buddhis dari Tianzhu (skrg India)
dan menyimpannya di sebuah rumah pejabat di Luoyang. Kemudian rumah
tersebut dipugar dan diganti namanya menjadi "Baima Si" atau "Vihara Kuda
Putih". Ini vihara pertama di Tiongkok pada tahun 75 M. Vihara tersebut
menjadi pusat perkembangan agama Buddhis di zaman Han dan mulailah
penggunaan kata si sebagai vihara.
Namun si ini juga digunakan sebagai kata umum untuk tempat
peribadatan dan tidak terbatas pada vihara saja. Misalnya mesjid juga disebut

1
sebagai Qingzhen Si. Qingzhen adalah sebutan kuno bahasa mandarin untuk
agama Islam.
Munculnya Taoisme dan Buddhisme di Tiongkok pada zaman Han
menyebabkan mulai munculnya konsep manusia dapat menjadi dewa-dewi di
dalam kepercayaan tradisional masyarakat Tionghoa. Leluhur yang mempunyai
jasa dan kontribusi yang sangat besar dapat naik statusnya menjadi dewa-dewi
dan bukan hanya leluhur semata. Dewa-dewi ini dapat dihormati secara terbuka
dan luas oleh semua orang tanpa terkecuali dan tidak hanya terbatas kepada
keturunan sang dewa-dewi. Ini menyebabkan pergeseran peranan dan fungsi bio
menjadi satu tempat peribadatan.
Karena ini, muncul istilah ci (dialek Hokkian : su) yang lebih spesifik
hanya untuk bio yang menghormati leluhur yang lebih bersifat pribadi. Zhonglie
Ci misalnya, adalah tempat untuk menghormati para pahlawan nasional yang
berjasa pada negara lepas dari warna religius. Atau Jiangxing Citang yang
adalah tempat untuk menghormati leluhur marga Jiang.
(https://groups.yahoo.com/neo/groups/budaya_tionghua/conversations/topics/58
910)\

B. Sejarah Vihara
Pada saat Raja Bimbisara berniat untuk memberikan tempat penginapan
bagi Buddha Gotama dan para siswa-Nya, Buddha Gotama menyarankan agar
tempat tersebut tidak terlalu jauh dari rumah/perkampungan penduduk mudah
dikunjungi oleh umat, pada siang hari tidak terlalu berisik dan pada malam hari
agak sepi tanpa keributan yang ditimbulkan oleh orang yang lalu-lalang sesuai
untuk mereka yang menjalankan kehidupan sebagai petapa (sāmaṇa) serta sesuai
untuk dijadikan tempat tinggal seorang Arahat Sammāsambuddha.
Vihara Buddhagaya di Watugong, Semarang, Jawa Tengah, adalah
vihara pertama yang berdiri di Indonesia sejak tenggelamnya Kerajaan
Majapahit. Vihara ini berdiri tahun 1957, Pada tahun 2001 vihara ini mengalami
perenovasian dan peresmian awal dilakukan pada 3 November 2002. Dan pada

2
tahun 2006, dalam kompleks vihara ini juga telah dibangun sebuah pagoda
bernama Pagoda Avalokitesvara. Pagoda ini memiliki tinggi 46 meter dan
merupakan pagoda tertinggi di Indonesia. Museum Rekor-Dunia Indonesia
(MURI) memberikan penghargaan atas semua keistimewaan yang ada di Vihara
Buddhagaya.
(http://sanghatheravadaindonesia.or.id/?channel=aboutus&mode=detail&cat=2
&id=13)
Agama Buddha tidak pernah bisa dilepaskan dari perkembangan sejarah
bangsa Indonesia. Agama ini pernah berkembang pesat dan menjadi bagian
kehidupan masyarakat Indonesia terutama pada masa kejayaan Sriwijaya.
Pemikiran-pemikiran dalam agama Buddha banyak berpengaruh pada banyak
hal dalam kehidupan masyarakat Indonesia seperti seni patung, sastra, filsafat,
dan kerohanian. Termasuk peninggalan-peninggalan arsitektural yang masih
dapat dilihat sebagai bukti masa keemasan agama Buddha yaitu candi, seperti
candi Borobudur, candi Mendut, candi Pawon dan lain-lain. Perkembangan
agama Buddha di Indonesia secara umum dipengaruhi oleh dua “kiblat” agama
Buddha yaitu agama Buddha “awal” yang masuk pada masa kerajaan dan
“chinese buddhisme” sebagai gelombang akhir yang dibawa oleh imigran dari
Cina masuk ke Indonesia.

Vihara yang lengkap terdiri dari :

1. Uposathagara, yaitu gedung uposatha (pesamuan para bhikkhu),


uposathagara merupakan suatu tempat di vihara yang digunakan untuk
melakukan kegiatan yang berhubungan dengan penerangan vinaya,
penabisan bhikkhu, untuk upacara pembacaan patimokha yaitu 227
peraturan kebhikkhuan pada bulan gelap dan bulan terang, upacara untuk
mengakui kesalahan-kesalahan para bhikkhu pada saat melaksanakan
vassa, tempat untuk melakukan upacara persembahan jubah khatina.
2. Dhammasala atau dharmasala, yaitu tempat puja bakti dan pembabaran
dhamma. Ditempat inilah umat Buddha melakukan puja bakti dan

3
mendengarkan uraian dhamma dari para bhikkhu, pandita atau
dharmaduta.
3. Kuti, yaitu tempat tinggal untuk para bhikkhu, bhikkhuni, samanera dan
samaneri. Didalam kuti para bhikkhu, bhikkhuni, samanera dan samaneri
tinggal, melatih diri, seperti bermeditasi.
4. Perpustakaan, sama seperi fungsi perpustakaan lainya yaitu sebagai
tempat untuk buku-buku agama atau yang isinya berhubungan dengan
keagamaan dan berbagai pengetahuan lainya. Juga merupakan tempat
menyimpan kitap suci. Perpustakaan bisa digunakan untuk para bhikkhu
maupun umat awam yang ingin belajar dhamma.
5. Pohon Bodhi, pohon kebijaksanaan yang mengingatkan pada pencerahan
dari pertapa gotama.

Di vihara umat Buddha melakukan penghormatan kepada buddharupang


(patung Buddha) sebagai simbolis dari perwujudan tubuh Buddha. Umat bisa
melakukan bakti sosial, sharing dhamma, dan berbagai kegiatan lainya yang
berhubungan dengan keagamaan di vihara.
(http://www.tenagasosial.com/2013/08/vihara-buddha.html)

C. Sejarah Perkembangan Agama Buddha Di Dunia


Beberapa prasasti Piagam Asoka menulis tentang usaha-usaha yang
telah dilaksanakan oleh Asoka untuk mempromosikan agama Buddha di dunia
Helenistik (Yunani), yang kala itu berkesinambungan tanpa putus dari India
sampai Yunani. Piagam-piagam Asoka menunjukkan pengertian yang
mendalam mengenai sistem politik di wilayah-wilayah Helenistik: tempat dan
lokasi raja-raja Yunani penting disebutkan, dan mereka disebut sebagai
penerima dakwah agama Buddha: Antiokhus II Theos dari Kerajaan Seleukus
(261–246 SM), Ptolemeus II Filadelfos dari Mesir (285– 247 SM), Antigonus
Gonatas dari Makedonia (276–239 SM), Magas dari Kirene (288– 258 SM), dan
Alexander dari Epirus (272–255 SM).

4
Kemudian menurut beberapa sumber dalam bahasa Pali, beberapa
utusan Asoka adalah bhiksu-bhiksu Yunani, yang menunjukkan eratnya
pertukaran agama antara kedua budaya ini. Mulai dari tahun 100 SM, simbol
"bintang di tengah mahkota", juga secara alternatif disebut "cakra beruji
delapan" dan kemungkinan dipengaruhi desain Dharmacakra Buddha, mulai
muncul di koin-koin raja Yahudi Raja Alexander Yaneus (103-76 SM).
(httprepository.usu.ac.idbitstream123456789244084Chapter%20II.pdf

D. Sejarah Agama Buddha Di Indonesia


Para ahli sejarah masih meneliti kapan sebenarnya agama Buddha
masuk ke Indonesia. Namun banyak orang sependapat bahwa kedatangan Aji
Saka merupakan tanggal kedatangan agama Buddha di Indonesia. Apabila kita
meneliti arti kata "Aji Saka" ini, kita akan menemukan: "Aji" dalam bahasa
Kawi berarti "ilmu kitab suci" sedang "Saka" berasal dari kata "Sakya".
Sehingga "Aji Saka" dapat diartikan sebagai "Pakar dalam Kitab Suci Sakya"
atau Pakar Buddha Dharma. Dari sini dapat diketahui bahwa Aji Saka
sebenarnya bukanlah sebuah nama, tetapi sebuah gelar. Gelar ini diberikan
rakyat kepada rajanya yang sebenarnya bernama Tritustha.
Kata "Dewata" artinya dewa dan "Cengkar" artinya jahat, jadi "Dewata
Cengkar" tidak lain berarti dewa jahat (awidya). Dengan demikian legenda
yang telah merakyat di Jawa Tengah tentang perang dahsyat antara Aji Saka
melawan Raja Dewata Cengkar, kiranya dapat diartikan sebagai perang antara
Buddha Dharma melawan Kejahatan/Kebodohan (Awidya).
Aji Saka bukan hanya pakar dalam Buddha Dharma, tetapi juga seorang
pakar astronomi dan sastra. Dalam legenda Jawa dikatakan bahwa untuk
menandai kekhilafan beliau dalam memberi perintah kepada dua orang
panglimanya yang setia yang menyebabkan mereka berperang tanding sendiri
dan keduanya gugur karena sama "jayanya", beliau membuat Aksara Jawa.
Kalau Ha Na Ca Ra Ka dipakai untuk mengenang kedua panglimanya yang

5
setia. Dora dan Sembada, maka untuk mengingat kedatangannya, sebuah
candrasangkala telah dibuat oleh Aji Saka. Peninggalan tahun Saka (tahun
Jawa) ini dimulai pada tanggal beliau mendarat di pulau Jawa. "Nir Wuk Tanpa
Jalu" adalah tanggal 0001, karena: Nir = kosong = 0; Wuk = tidak jadi = 0;
Tanpa = 0; dan Jalu = 1. Permulaan waktu peninggalan tahun Saka ini sama
dengan tanggal 14 Maret tahun 78 Masehi. Kalau legenda Aji Saka ini kelak
ternyata benar, maka dapatlah dikatakan agama Buddha telah masuk ke
Indonesia (Jawadwipa) pada abad I Masehi, jadi jauh sebelum Candi Borobudur
didirikan oleh raja-raja Wangsa Sailendra pada abad VII. Secara singkat dapat
disusun kurang lebih perkembangan agama Buddha di Indonesia sebagai
berikut: Abad I (14 Maret 78), kedatangan Aji Saka Tritustha menandai
masuknya agama Buddha di Indonesia (Jawadwipa). Abad II, III, dan IV di
Indonesia (Jawa) agama Buddha sudah berkembang. Ini terbukti dari catatan-
catatan Bhiksu Fa-hien yang datang ke Jawa pada abad V. Beliau menyatakan
bahwa sewaktu beliau datang di Jawa agama Buddha sudah ada bersama-sama
agama Hindu. Abad IV dan V, bukti perkembangan agama Buddha dapat
dilihat dari prasasti-prasasti kerajaan Purnawarman di Jawa Barat dan
Mulawarman di Kalimantan.
Abad VII dan VIII adalah jaman keemasan perkembangan agama
Buddha di Jawa, di bawah raja-raja Kerajaan Mataram Purba dan Sailendra.
Pada abad VII ini Candi Borobudur dibangun, pembangunannya dikatakan
memakan waktu kira-kira delapan puluh tahun. Abad VIII dan IX, berdiri
Kerajaan Sriwijaya di Sumatera, di mana Bhiksu I-tsing pernah datang belajar
agama Buddha dan bahasa Sanskerta. Abad XI, Atisa Dipankara seorang bhiksu
yang mengajarkan Vajrayana di Tibet sewaktu mudanya juga belajar pada
Bhiksu Dharmakirti di Swarnadwipa (Sumatera).
(http://green-sarijo.blogspot.com/2010/12/sejarah-perkembangan-agama-
buddha-di.html)

6
E. Fungsi dan Tujuan Vihara

Adapun fungsi dari Vihara adalah :

1. Tempat untuk melakukan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui
Sang Tri Ratna (Buddha, Dhamma, dan Sangha).
2. Tempat pembabaran, pendidikan, penghayatan dan pengamalan Dhamma.
3. Tempat latihan meditasi dalam usaha untuk melenyapkan kekotoran batin
dan merealisasikan cita-cita kehidupan suci.
4. Tempat tinggal Bhikkhu/ni dan Samanera/i.
5. Tempat tinggal Pabbajja/Upasaka/Pandita yang ingin melaksanakan sila
agama Buddha.
6. Tempat yang menunjukkan jalan kebebasan.
7. Tempat untuk memasyarakatkan dan menyebarkan agama Buddha.

Tujuan vihara antara lain :


1. Melengkapi sarana/fasilitas pendidikan dan pelayanan umat Buddha di
Vihara Buddha Warman-Padang, yang selama ini dirasakan masih kurang
dan belum memadai.
2. Meningkatkan mutu/kualitas, pendidikan/pembinaan agama Buddha bagi
seluruh umat Buddha, terutama generasi muda.
3. Meningkatkan mutu/kualitas pelayanan keagamaan yang dapat diberikan
pada seluruh umat Buddha.
4. Meningkatkan kualitas kehidupan beragama Buddha di kalangan umat
Buddha.
5. Meningkatkan kualitas kegiatan Bhakti Sosial yang dapat diberikan kepada
umat Buddha dan masyarakat umum.
6. Secara bertahap berusaha menjadikan Vihara Buddha Warman-Padang
sebagai pusat informasi tentang agama Buddha (Buddhist Center) bagi umat
Buddha sendiri, dan bagi para peneliti dan para mahasiswa yang akan
melakukan studi perbandingan agama.

7
7. Menjadikan Vihara Buddha Warman sebagai pusat pembinaan bagi umat
Buddha di kota Padang
8. Bekerjasama dan membantu usaha-usaha pemerintah dalam pembinaan umat
beragama, khususnya umat beragama Buddha dan memelihara serta
meningkatkan Tri Kerukunan Beragama.
http://www.oocities.org/athens/olympus/2532/propo1.htm

F. Peranan Vihara

Vihara mempunyai peranan sebagai pusat kegiatan keagamaan yang


diharapkan dapat meningkatkan moral dan budi pekerti luhur dalam kehidupan
beragama bagi umat Buddha serta mendidik dan menimbulkan kesadaran dalam
mendalami dhamma pada umat Buddha dan masyarakat umum agar menjadi
lebih baik dalam bermasyarakat.

(http://www.yai.ac.id)

G. Hari-Hari Suci Agama Buddha


Agama Buddha memiliki hari-hari suci tertentu, antara lain :
1. Hari Uposatha, hari puasa dan kebaktian umum yang jatuh pada tanggal 1,
8, 15, dan 23 menurut penanggalan bulan lunar.
2. Hari Waisak, hari raya umat Buddhis yang utama. Ditetapkan sebagai Hari
Libur Nasional sesuai Surat Keppres RI No. 3 Tahun 1983. Hari suci Waisak
memperingati tiga peristiwa penting dalam kehidupan Buddha Gautama
yang jatuh di saat. bersamaan yaitu bulan purnama di bulan Waisak sehingga
dikenal hari Sang Buddha yang jatuh pada bulan Mei.
3. Hari Asadha, memperingati khotbah pertama Sang Buddha di Isipatana
(Taman Rusa) sehingga dikenal dari Dhamma yang jatuh pada bulan Juli.
4. Hari Kathina, memperingati selesainya musim hujan di India. Bhikkhu-
Bhikkhuni tidak boleh mengembara di musim hujan karena banyak binatang-
binatang kecil yang berkembang biak bisa terinjak maupun tergiring roda-

8
roda kendaraan selama perjalanan. Maka Bhikkhu-Bhikkhuni menetap untuk
bermeditasi (Vassa) sehingga dikenal hari Sangha yang biasanya dirayakan
tiga empat bulan setelah Hari Asadha.
5. Hari Magha Puja, memperingati hari pertemuan para Arahat di bulan Magha
yaitu bulan Februari atau Maret, di mana pertemuan ini adalah tanpa
diundang ataupun direncanakan lebih dulu dan semua Bhikkhu yang
memiliki enam kemampuan gaib ini adalah Ehi Bhikkhu yaitu bhikkhu yang
ditabiskan langsung oleh Sang Buddha.
6. Hari Ulambana, hari berdana kepada Sangha berupa jubah, obat-obatan, dan
makanan di saat selesainya Vassa Bhikkhu-Bhikkhuni di bulan 7 tanggal 15.
Kemudian berkembang menjadi berdana kepada fakir miskin. Bakti ini
dulunya diajarkan Sang Buddha kepada Bhikkhu Mogallana yang ingin
menolong ibunya yang terlahir di alam Setan Kelaparan namun gagal karena
karma buruk tidak dapat diubah kecuali melakukan kebajikan dan berdana
kepada Sangha.
7. Hari Metta, ditandai dengan melakukan kegiatan yang bersifat cintakasih
seperti tidak melakukan kejahatan, memberikan dana, dan membebaskan
binatang ke alam bebas. Dicetuskan saat berdirinya rumah sakit Buddhis di
Hongkong yang dihadiri umat Buddhis dari berbagai negara.
(httprepository.usu.ac.idbitstream123456789244084Chapter%20II.pdf)

H. Tempat Ibadah Agama Budhha


Tempat ibadah Agama Buddha disebut Rupa Vihara dapat dibagi dalam
statusnya ialah sebagai berikut :
1. Arama Vihara yaitu tempat ibadah yang besar yang terdiri dari banyak
Dharma Prasadha, Dharma Sala, Dharma Loka, Samadhi Lka, Sasana Loka,
Kuti, atau yang mudah disebut Vihara besar yang ada tempat pendidikan
para Bhiksu/ni, dan Samanera/i.

9
2. Vihara yaitu tempat ibadah Agama Buddha yang terdiri dari sekurang-
kurangnya ada Dharma Sala, Kuti (tempat tinggal para Bhiksu), Sasana
Loka.
3. Caitya/Cetiya yaitu tempat ibadah Agama Buddha yang kecil yang dapat
dimiliki oleh pribadi umat maupun tempat ibadah kecil yang tidak ada kuti.
4. Dharma Prasadha yaitu tempat sembahyang Agama Buddha yang
dipergunakan juga untuk khotbah.
5. Kuti yaitu tempat tinggal para Bhiksu.
6. Sasana yaitu tempat belajar Agama Buddha atau perpustakaan
7. Dharma Sala yaitu ruangan sembahyang, upacara dan khotbah ajaran
Buddha.
8. Dharma Loka yaitu tempat khotbah Agama Buddha.
9. Samadhi Loka yaitu Ruangan Samadi.

I. Tempat Suci Agama Buddha


4 Tempat suci menurut agama Buddha, tempat yang layak diziarahi oleh
umat yang penuh keyakinan dan yang akan menginspirasikan kebangkitan
spiritual dalam diri mereka. Tempat-tempat ini meliputi :

1. Lumbini (Nepal)
Taman Lumbini adalah situs dimana Buddha lahir, sehingga tentu
saja sangat populer bagi mereka yang berpergian ke Nepal, untuk semua
umat Buddha di dunia.Taman Lumbini adalah tempat dimana kisah Buddha
dimulai. Lumbini mungkin adalah kota bersejarah yang paling penting di
Nepal. Lumbini terletak di wilayah Tarai barat Nepal, dan selama hidup
Buddha, itu pada dasarnya Hijauyang indah. Tarai berada di bawah
pemerintahan klan Shakya dan kolias, dan ayah Buddha adalah seorang raja.

10
Legenda mengatakan bahwa Buddha lahir pada hari ketika Maya
Devi, ibunya, sedang melakukan perjalanan ke rumah orang tuanya. Ketika
ia mencapai Lumbini, ia memutuskan untuk mengambil istirahat di bawah
pohon Sal, dan begitu terpesona dengan tempat itu, ia melahirkan bayi laki-
laki sambil memegang pohon Sal.

2. Buddha Gaya (Bodhgaya, India)


Buddha Gaya adalah tempat petapa Gotama mencapai pencerahan
atau Bodhi. Buddha Gaya berada di pinggir sungai Neranjara yang sekarang
telah kering. Dulu tempat ini adalah sebuah hutan yang dikenal oleh
masyarakat setempat dengan sebutan Hutan Gaya. Namun, sejak petapa
Gotamamencapai pencerahan di tempat tersebut, maka hutan Gaya akhirnya
popular dengan nama Bothgaya atau Buddha Gaya.

11
3. Taman Rusa (Isipatana, india)
Ada dua peristiwa penting di Taman Rusa yang pertama adalah di
babarkannya ajaran Buddha untuk pertama kalinya kepada lima petapa.
Yang kedua adalah terbentuknya Sangha Bhikkhu untuk pertama kalinya.

4. Kusinara (Kushinagar, india)

12
Kusinara sekarang dikenal dengan nama Kushinagar. Kushinagar adalah
tempat ziarah keempat untuk seluruh umat Buddha. Ditempat ini dengan
kasih sayangnya, Buddha mempersilahkan Subhada kemudian menjadi
siswa terakhir yang di tahbiskan Buddha sebelum Buddha merealisasi
Parinibbana.

J. Upacara dalam Agama Buddha


1. Pengertian Upacara
Suatu cetusan hati nurani manusiaterhadap suatu keadaan sebagai salah
satu bentuk kebudayaan dapat diselenggarakan sesuai dengan tradisi dan
perkembangan zaman asalkan selalu didasarkan dengan pandangan yang
benar.

Sejarah terjadinya upacara dalam agama Buddha :

a. Sang Buddha tidak pernah mengajarkan cara-cara upacara, sang Buddha


lainnya mengajarkan agar semua makhluk terbebas dari penderitaan.
b. Upacara yang ada pada saat itu hanyalah upacara penahbisan bhikhu dan
samanera.
c. Upacara yang sekarang ini kita lihat merupakan perkembangan dari
kebiasaan yang ada. Yang terjadi sewaktu sang budha masih hidup yaitu
yang disebut ‘vattha’ yang artinya kewajiban yang harus dipenuhi oleh
para bikhu seperti merawat sang budha, membersihkan ruangan, mengisi
air, dan sebagainya. Kemudian mereka semua bersama dengan umat, lalu
duduk mendengarkan khotbah sang budha.

13
d. Setelah sang buddha parinibbana para bikhu dan umat tetap berkumpul
untuk mengenang sang Buddha dan menghormati sang tiratana yang
sekaligus merupakan kelanjutan kebiasaan vattha.

2. Makna Upacara
Semua bentuk upcara agama Buddha sebenarnya terkandung prinsip-
prinsip sebagai berikut :
a. Menghormati dan merenungi sifat-sifat luhur sang tiratana.
b. Memperkuat keyakinan (saddha) dengan tekad (Adhitthana).
c. Membina tempat kediaman luhur (Brahma vihara).
d. Mengulang dan merenungkan kembali khotbah-khotbah sang buddha.
e. Melakukan Anu Modana, yaitu melimpahkan jasa perbuatan baik kita
kepada makhluk lain.

3. Manfaat Upacara
Secara terperinci manfaat yang langsung didapat dalam upacara yaitu :
a. Saddha : Keyakinan dan bakti akan tumbuh berkembang
b. Brahmavihara : Tempat keadaan batin yang luhur akan berkembang
c. Samvara : Indera akan terkendali
d. Santi : Damai
e. Sukha : Bahagia

Sumber : www.samanggi-phala.or.id

K. Perbedaan Vihara Dan Kelenteng


Banyak umat awam yang tidak mengerti perbedaan dari klenteng dan
vihara. Klenteng dan vihara pada dasarnya berbeda dalam arsitektur, umat dan
fungsi. Klenteng pada dasarnya beraritektur tradisional Tionghoa dan berfungsi
sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat selain dari pada fungsi spiritual.
Vihara berarsitektur lokal dan biasanya mempunyai fungsi spiritual saja.

14
Namun, vihara juga ada yang berarsitektur tradisional Tionghoa seperti pada
vihara Buddhis aliran Mahayana yang memang berasal dari Cina.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Klenteng)
Banyak yang salah kaprah, atau bahkan tidak mengetahui sama sekali bahwa
'vihara' dan 'kelenteng' itu berbeda. Ada yang menganggap 'kelenteng' adalah
panggilan lain dari 'vihara', jelas semua itu adalah salah.
Perbedaan Vihara dan Kelenteng, antara lain :
1. Vihara
a. Vihara Adalah rumah ibadah umat Buddha.
b. Biasanya berarsitektur India/Thailand, ada pula yang berarsitektur
Cina
c. Di dalam Vihara aliran Theravada, hanya ada rupang (patung)
Buddha Gautama beserta 2 muridNya. Di dalam Vihara aliran
Mahayana, terdapat 3 rupang, yaitu : Rupang Buddha Gautama,
Rupang Bodhisattva Avalokiteshvara, Rupang Bodhisattva
Ksitigharba/Bodhisattva lainnya.
d. Tidak terdapat tempat untuk membakar kertas sembahyang.
e. Upacara keagamaan biasanya dilakukan secara jemaat, walaupun
umat juga diberi kesempatan untuk beribadah secara individu.
Setelah beribadah umat biasanya akan diberi khotbah/ceramah.
2. Kelenteng
a. Kelenteng Adalah rumah ibadah umat Konghucu/Tao.
b. Biasanya berarsitektur Cina.
c. Di dalam Kelenteng terdapat rupang para Dewa/Dewi yang dipuja
oleh umat.
d. Terdapat tempat untuk membakar kertas sembayang.
e. Umumnya upacara keagamaan dilakukan secara individu.
f. Biasanya juga sekaligus merupakan tempat perkumpulan/yayasan
13ecula, seperti Kelompok Pemain Barongsai.

15
Tidak heran kekeliruan ini terjadi. Pada masa Orde Baru, pemerintah RI
melarang segala jenis apapun kegiatan atau tempat yang berbau tradisi Cina.
Sehingga Kelenteng yang merupakan salah satu tradisi Cina akhirnya terancam
ditutup. Untuk mengatasi hal itu, sebagian Kelenteng dan umat Konghucu saat
itu berlindung di bawah naungan agama Buddha, sehingga mengubah nama
Kelenteng menjadi nama Vihara. Tidak hanya itu, umat Konghucu pun hanya
menyandang gelar agama Buddha saja, tapi tetap melakukan tata cara ibadah
agama Konghucu. Sebagian umat lain malah pindah ke agama lain seperti
Katolik, Protestan, Islam, ataupun Hindu yang ketika itu merupakan agama
resmi

(http://dukeofmerovingian.wordpress.com/2011/05/14/perbedaan-klenteng-dan-
vihara/)

Sejak Orde Reformasi, atau lebih tepatnya masa pemerintahan Presiden


Abdurahman Wahid, kebijakan yang melarang kegiatan atau tempat yang
berbau tradisi Cina itu kemudian dihapuskan. Sejak saat itulah umat Konghucu
lebih leluasa beribadah dan melakukan aktivitas keagamaan dan kebudayaan
seperti tarian Barongsai, Imlek dan lain-lain. Banyak pula Kelenteng yang
kembali mengganti nama seperti nama semula. Namun, adapula Kelenteng
yang tetap mempertahankan nama Vihara yang sebetulnya hanyalah merupakan
nama naungan.

Dan dulu, sebelum agama Konghucu diresmikan, orang awam juga


keliru membedakan mana Kelenteng dan mana Vihara, karena menurut mereka,
hampir semua orang Tionghoa yang pergi ke Kelenteng atau Vihara, sehingga
umat Buddha dan umat Konghucu pun dicap sebagai agama yang hanya dianut
oleh etnis Tionghoa. Padahal, hal ini salah. Di daerah Jawa Tengah dan Jawa
Timur, banyak pula warga pribumi yang menganut agama Buddha ini.

Dampaknya tidak hanya sampai di situ, karena larangan pada Orde


Baru, terjadilah penggabungan 3 tempat ibadah menjadi satu. Tempat ibadah itu

16
disebut Vihara Tri Dharma (Tiga Ajaran: Buddha, Konghucu, Tao) Dan tempat
ibadah ini hanya terdapat di Indonesia. Walaupun berdampak negatif yaitu
timbulnya kekeliruan, tapi tempat ibadah ini juga berdampak positif yaitu
mencerminkan kerukunan umat beragama di Indonesia.

Perbedaan Agama Buddha dan Konghucu


Agama Buddha :
1. Penyebar Ajaran : Sidharta Gautama Buddha
2. Asal Ajaran : India
3. Kitab Suci : Tripitaka
4. Rumah Ibadah : Vihara

Agama Konghucu
1. Penyebar Ajaran : Nabi Konfusius
2. Asal Ajaran : Cina
3. Kitab Suci : Sishu, Wujing, Xiao Jing
4. Rumah Ibadah : Kelenteng

L. Fasilitas Pendukung Kegiatan Peribadatan

Pelaksanaan kegiatan peribadatan pada sebuah Viharadiantaranya


adalah altar. Altar merupakan suatu tempat atau meja dimana patung Buddha
dan peralatan ibadah ditempatkan. Altar juga dapat merupakan tempat para
pemimpin dalam kegiatan keagamaan.
Berikut ini adalah sarana sembahyang yang juga merupakan fasilitas
pendukung kegiatan peribadatan, yaitu :
1. Patung Buddha, rupang Buddha atau yang lebih dikenal dengan sebutan
patung Buddha, mempunyai 6 bentukan yang masing-masing mempunyai
makna berbeda yaitu :
a. Vitarka Mudra mempunyai arti berkhotbah.
b. Dharmacakra Mudra mempunyai arti memutar roda ajaran Buddha.

17
c. Dhyani Mudra yang mempunyai makna semedi.
d. Abhayana Mudra mempunyai arti tidak takut.
e. Bhumisparsa Mudra mempunyai arti menyatu dengan alam atau bumi.
f. Vara Mudra yang mempunyai arti dermawan.

i.

ii.

2. Kitab Suci Tripitaka, peletakan dari kitab suci tersebut diletakan disamping
patung Buddha.
3. Gongyang (air warna merah).
4. Tambura (alat musik saat ibadah).
5. Homa(untuk bakar gongyang).
6. Meja kursi untuk tempat Bhikkhu.
7. Jok sembahyan.
8. Dalam sebuah artikel yang berjudul Tempat Ibadah, Keyakinan, dan Tata
Cara Sembahyang Mahayana.
(http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic= 2212.0)
disebutkan beberapa persembahan dalam puja bakti, yaitu:
a. Dufa/hiolo/kayu gahru/hongyang

18
Persembahan kepada Hyang Buddha dan Bodhisattva sebagai
pernyataan sikap ketulusan, kebesaran Hyang Buddha dan Bodhisattva
yang dapat membimbing umat ke arah kemajuan, ketentraman,
kebijaksanaan dan sekaligus dapat mengundang datangnya para Dewa,
Naga, Asura, Yaksa, Gandharva dan makhluk-makhluk lainnya, sekaligus
juga dapat menciptakan suasana hikmat, sakral. Dufa juga melambangkan
jasa dan kebajikan perbuatan baik tanpa pamrih/paramita, akan berbuah
pahala yang berlimpah-limpah bagaikan asap Dufa dapat menyebar luas
dimana-mana.
b. Bunga/puspe/puspa
Sebagai tanda kebesaran dari Ajaran Hyang Buddha beserta para
Bodhisattva, indah, agung dan dapat menimbulkan getaran welas asih. Juga
lambang dari ketidak-kekalan kehiDufan di Svahaloka (dunia) ini, tumbuh,
mekar, layu dan lenyap. Oleh karena itu selagi ada kesempatan berbadan
sehat, haruslah melakukan kebajikan untuk memupuk karma yang baik,
bagaikan bunga yang indah dipersembahkan kepada yang layak
dipersembahkan. Bunga yang segar indah dipersembahkan di altar, altar
tersebut ada Dufa yang telah dinyalakan akan lebih banyak mengundang
makhluk-makhluk yang membutuhkan.
c. Aloke/penerangan/lilin/lampu
Lampu penerangan dipersembahkan dihadapan Buddha dan
dibacakan ayat kitab suci/mantra oleh Arya Sangha, akan memperoleh
pahala penerangan dalamkehidupan ini dan dapat mengundang para
makhluk pelindung Dharma lebih banyak lagi, untuk melindungi kita serta
mencegah dari mara bahaya.
Api dalam pengertian Sakral dari getaran Mantra/Dharani yang
Buddha atau Bodhisattva akan dapat mengurangi/membakar kekotoran
bathin dan menerangi perjalanan hidup ini, bagi yang mempersembahkan
dengan penuh sujud dan kehendak memperoleh berkah, ia dapat dijahui

19
oleh makhluk-makhluk jahat. Oleh karena itu api/geni disebut juga api
pensucian. Api juga lambang dari semangat.
d. Argha/air
Air atau sesuatu hasil bumi seperti biji-bijian yang mana merupakan
lambang kehidupan, sekaligus juga lambang kekuatan berkah dari
pensucian dari kebodhian.
e. Undukan buah
Buah segar dipersembahkan di altar Hyang Buddha, Bodhisattva
atau dewata merupakan sikap pengorbanan tulus terhadap yang dipuja.
Buah segar dipersembahkan merupakan tekad mengabdikan diri kepada
semua makhluk dan membagi hasil pahala kita kepada orang lain.
f. Teh/air teh
Teh yang dipersembahkan dengan sujud di altar dengan membaca
Mantra/Sutra akan dapat memperkuat bathin dari gangguan Dewa
Mara/anasir jahat, serta menambah kekuatan pribadi menghadapi
gangguan-gangguan luar yang jahat/jelek dan menimbulkan getaran suci
atau menambah getaran yang baik di altar.
g. Bhojana/navidya/makanan bergizi
Bhojana/navidya, makanan yang bergizi atau obat-obatan
dipersembahkan di altar Hyang Buddha, Bodhisattva atau Dewa (ada
sejenis dewata perlu sekali dengan obat-obatan ini/makanan bergizi), yang
mana merupakan wujud tekad yang kuat dari umat untuk
mempersembahkan miliknya yang paling berharga untuk menolong dan
mengobati makhluk-makhluk lainnya.
h. Ratna/mustika
Ratna merupakan pernyataan kebenaran sunyata tiada duanya
(Buddha Dharma) dan untuk Tantra mistik perlu sekali, pada umumnya
dipilih tujuh warna mustika: merah delima, biru, putih, kuning, ungu,
hitam, hijau, yang mana merupakan unsur api, air, kesucian, logam mas,

20
daya serap kesempurnaan/tanah, kehidupan/kayu, sekaligus lambang
kebesaran ajaran Hyang Buddha.
i. Mutiara
Mutiara dari dalam air/lautan merupakan lambang penerangan yang
abadi yang juga berarti ajaran Hyang Buddha tiada duanya, hanya 1 jalan
menuju pembebasan.
j. Pakaian
Pakaian yang diberikan dihadapan Hyang Buddha Bodhisattva
mempunyai arti simbolik perlindungan dari ajaran Hyang Buddha. Dapat
diartikan juga, yang dipuja akan memberikan perlindungan kepadanya.

M. Tata Cara Sembayang


Sembahyang atau puja bhakti adalah ungkapan rasa
Sradha/keyakinan kepada Agama budha, oleh karena itu sikap dan tata cara
sembahyang harus dilakukan dengan sempurna sebagai berikut:
1. Anjali
Berarti sebagai lambang dari bunga teratai yang masih kuncup
(setiap manusia mempunyai benih keBuddhaan). Sikap memberi hormat dan
sujud dengan cara merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada.
2. Vairocana Mudra/Wensin
Ibu jari kanan dan kiri dirapatkan, begitu juga dengan jari telunjuk
kanan dan kiri dirapatkan, sisa dari ketiga jari kanan yang telah ditekuk ke
dalam dan sisa dari ketiga jari kaki membungkus ketiga jari kanan yang telah
ditekuk lalu diangkat hingga kedua ibu jari menyentuh di tengah-tengah
antara kedua alis mata yang mengandung arti : pencerapan kekuatan sutra
dan Mantra yang kita baca.

21
N. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Sanitasi Peribadatan

Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan


melindungi kebersihan lingkungan dari subjeknya (Depkes RI, 2004). Menurut
Ardhi (2012), gangguan kesehatan dan penularan penyakit yang terdapat pada
sarana ibadah yang dapat muncul beberapa diantaranya adalah penyakit kulit,
malaria, DBD, infeksi saluran pernafasan dan gangguan kebisingan.Maka, hal-
hal yang perlu diperhatikan pada tempat peribadatan adalah sebagai berikut :

1. Letak/lokasi.
a. Sesuai dengan rencana tata kota (bukan daerah rawan banjir, longsor,
gempa bumi).
b. Tidak berada pada arah angin dari sumber pencemaran (debu,asap,bau dan
cemaran lainnya).
c. Tidak berada pada jarak < 100 meter dari sumber pencemaran debu, asap,
bau dan cemaran lainnya.

2. Bangunan
a. Kuat, kokoh dan permanen.
b. Rapat serangga dan tikus.
3. Lantai
Kuat, tidak terbuat dari tanah, bersih, kedap air, tidak licin dan mudah
dibersihkan.
4. Dinding
Dinding bersih, berwarna terang, kedap air dan mudah dibersihkan.
5. Atap
Menutup bangunan,kuat, bersih, cukup landai dan tidak bocor.
6. Penerangan/pencahayaan
Pencahayaan terang, tersebar merata dan tidak menyilaukan (min 10 fc).

22
7. Ventilasi
Minimal 10% dari luas bangunan, sejuk dan nyaman (tidak pengap dan
tidak panas).
8. Pintu
Rapat serangga dan tikus, menutup dengan baik dan membuka ke arah
luar. Terbuat dari bahan yang kuat dan mudah dibersihkan.
9. Langit-langit
a. Tinggi minimal 2,4 meter dari lantai
b. Kuat, tidak berlubang
c. Berwarna terang dan mudah dibersihkan
10. Pagar
Kuat, aman dan dapat mencegah binatang pengganggu masuk.
11. Halaman
Bersih, tidak berdebu dan becek, tidak terdapat genangan air, terdapat
tempat sampah yang cukup dan tempat parkir yang cukup.
12. Jaringan instalasi
a. Aman (bebas cross conection)
b. Terlindung
13. Saluran pembuangan air limbah
a. Tertutup
b. Mengalir dengan lancer

Selain itu tempat ibadah juga harus memiliki fasilitas sanitasi dasar
dengan ketentuan dan syarat sebagai berikut:
1. Air Bersih
a. Jumlah mencukupi/selalu tersedia setiap saat
b. Tidak berbau, tidak berasa dan tidak berwarna
c. Angka kuman tidak melebihi NAB
d. Kadar bahan kimia tidak melebihi NAB

23
2. Pembuangan Air Kotor
a. Terdapat penampungan air limbah yang rapat serangga
b. Air limbah mengalir dengan lancar
c. Saluran kedap air
d. Saluran tertutup
3. Toilet/WC
a. Bersih
b. Letaknya tidak berhubungan langsung dengan bangunan utama
c. Tersedia air yang cukup
d. Tersedia sabun dan alat pengering
e. Toilet pria dan wanita terpisah
f. Jumlahnya mencukupi untuk pengunjung terbanyak
g. Saluran pembuangan air limbah dilengkapi dengan penahan bau (water
seal)
h. Lubang penghawaan harus berhubungan langsung dengan udara luar
4. Peturasan
a. Bersih
b. Dilengkapi dengan kran pembersih
c. Jumlahnya mencukupi
5. Tempat Sampah
a. Tempat sampah kuat, kedap air, tahankarat, dan dilengkapi dengan
penutup
b. Jumlah tempat sampah mencukupi
c. Sampah diangkut setiap 24 jam ke TPA
d. Kapasitas tempat sampah terangkat oleh 1 orang
6. Tempat Sembahyang
a. Bersih, tidak berbau yang tidak enak
b. Bebas kutu busuk dan serangga lainnya
7. Tempat sandal dan sepatu
a. Tersedia tempat sandal dan sepatu yang khusus

24
b. Bersih dan kuat
(http://environmentalsanitation.wordpress.com/category/inspeksi-sanitasi-
tempat-ibadah/)

O. Peraturan Perundang-Undangan
1. Undang-undang Nomor 28 tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung
2. PP RI No.36 Th 2005 tentang peraturan pelaksanaan UU No. 28 Tahun
2002 tentang banganan gedung
3. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 288 Tahun 2003 tentang Pedoman
Penyehatan Sarana dan Bangunan Umum.

P. Vihara Tertua Di Palembang


1. Vihara Maitreya Khirti

Vihara Maitreya Khirti yang terletak di Jalan Tembesu merupakan


suatu kebanggaan bagi umat Palembang. Vihara yang megah dan anggun
ini telah menjadi bahtera suci penyelamat bagi umat manusia yang bukan
hanya membawa rezeki dunia dan ilahi bagi keluarga yang mengimaninya,
tetapi juga memberikan kebahagiaan, dan ketentraman bagi seluruh umat.
Kalau melihat kondisinya pada saat sekarang, mungkit sulit orang
mempercayai bahwa vihara maitreya Khirti memiliki sejarah panjang yang
penuh dengan rintangan dan cobaan yang sangat berat.

Pendirian Vihara Maitreya Khirti dirintis oleh Sesepuh Cahaya


Maitreya (Ming I Cen Cin). Pada tahun 1964 beliau menerima amanat suci
dari Maha Sesepu Maitreyawira (Hung Chang TI Cin) untuk menyebarkan
ajaran budha maitreya (Ketuhanan) di Palembang. Sejak saat itulah di
mulailah perjalanan panjang yang penuh dengan halangan dan rintangan,
serta pengorbanan keringat, air mata, dan darah dari Sesepu Maitreyawira.
Pada saat keberangkatan perdana ke Palembang, beliau telah dituntun

25
untuk memiliki kebesaran jiwa dan tekad yang luar biasa. Pesawat yang
akan membawa beliau ke Palembang sempat dibatalkan sebanyak 7 kali
berturut-turut. Namun hal tersebut tidak menggoyahkan semangatnya. Lalu
dengan tekad baja sesepuh berikrar di hadapan Tuhan Yang Maha Esa,
bahwa beliau tidak akan pulang jika keberangkatan pesawat tesebut masih
dibatalkan. Peristiwa ini telah menggugah hati Tuhan, sehinggga pada saat
itu juga tanpa ada halangan apa pun beliau dapat diberangkatkan ke
Palembang dengan lancar.
Sesampai beliau di Palembang tak ada seorang pun yang di kenal.
Akhirnya dengan susah payah, barulah didapatkan sebuah rumah tua di Jl.
Mayor Ruslan. Sesepuh Cahaya Maitreya yang dibantu oleh kakak iparnya
Pandita Ang Bun Eng mengawasi langsung perombakan rumah tua tersebut
menjadi vihara.
Pada tanggal 6 April (chandrasangkala) tahun 1964, Vihara
Maitreya Khirti ini pun diresmikan langsung oleh Maha Sesepu
Maitreyawira (Hung Chang TI Cin). Peresmian tersebut dihadiri pula oleh
Maha Sesepuh Yang Chai Khui, Sesepuh Gautama Harjono, Sesepuh
cahaya Maitreya, dan Pandita Yang siaw Chin. Pada hari tersebut, Pandita
Wang Chun Sing dan Pandita Huang He Chong bersama – sama memohon
Jalan Ketuhanan.
Setelah berdirinya Vihara, Maha Sesepuh Maitreyawira dan para
pandita sering datang ke Palembang untuk mengadakan kelas penataran
bagi pertobatan. Sejak diresmikan, Vihara Maitreya Khirti mulai
mengemban tugas suci menyebarluaskan Ketuhanan untuk Menyelamatkan
umat manusia. Di bawah pimpinan Pandita Oei Cin Yong (Soedarto) dan
Pandiat Lim So Ju (Kumudametta) Vihara maitreya Khirti semakin maju
dan berkembang. (www.viharamaitreyakhirti.org/2011/06/09/background-
mvmd/).

26
2. Maha Vihara Maitreya Duta
Palembang merupakan kota tertua di indonesia, yang usianya
mencapai 14 abad, palembang berjaya ketika pada zaman kerajaan
sriwijaya. dimana pada zaman tersebut begitu banyak saudagar dari cina
yang datang melalui perairan melancong untuk mencari mata pencaharian,
mengalami kejayaan diabad-abad ke-7 dan 9 pada zaman kerajaan
sriwijaya, dikurun abad ke-12 Sriwijaya mengalami keruntuhan secara
perlahan-lahan.

Hingga sekarang masih banyak masyarakat tionghoa yang menetap


dan turun temurun hingga sekarang. Masyarakat tionghoa di palembang
memiliki kebiasaan yang sangat suka bersembahyang dan percaya akan
buddha dan para dewa, pada saat itu vihara dan cetya maitreya yang
tersebar di palembang sekitar 10 buah, namun banyaknya umat dan
kebutuhan tempat yang tak memadai dan juga dikarenakan begitu
banyaknya masyarakat tionghoa yang beribadat maka diperlukanya maha
vihara untuk menampung dan mengayomi para umat maitreya, dibawah
Pimpinan Maha Tao Maitreya Sedunia, M.S Yuan & M.S Wang Maha
Vihara Maitreya Duta diresmikan pada tahun 2005 tepat pada tanggal 26
November.

(www.maitreyaduta.org/2011/06/09/background-mvmd/).

3. Vihara Dharmakirti
Vihara ini beralamat di jalan Kapt. Marzuki No. 1579A Palembang,
Sumatera Selatan dan dibangun sejak tahun 1962. Luas Vihara ini yaitu
2500 m2. Yang mana dapat menampung para jama’ah pada saat kegiatan
pembaktian yaitu pada hari senin, rabu, jumat, dan minggu sebanyak 500
orang. Kegiatan pembaktian ini dipimpin oleh biksu. Pada vihara ini
terdapat 5 orang biksu dan 2 orang samanera. Dalam vihara ini terdapat

27
organisasi kepengurusan yang jumlah pengurus tetap sebanyak 10 orang.
Dalam mengikuti kegiatan peribadatan, para jama’ah tidak diwajibkan
mensucikan diri terlebih dahulu tidak seperti umat islam yang mengambil
wudhu sebelum melakukan solat. Mereka hanya diharuskan berpakaian
yang sopan saat mengikuti peribadahan.
Vihara Dharmakirti itu dibangun pada Juli 1962 telah mengalami
empat kali perbaikan dan pemugaran yang terakhir selesai pada 15 Februari
2006, Marzuki Peresmian pagoda Avalokitesvara (Kwan Im) dan purna
pugar vihara Dharmakirti tersebut dilakukan Gubernur Sumsel, Syahrial
Oesman yang didampingi Ketua DPRD setempat, H.Zamzami Achmad.
Menurut Darwis, untuk pembangunan pagoda Kwan Im dan pemugaran
Vihara Dharmakirti serta patung yang ada di dalam vihara, menghabiskan
dana sekitar Rp 1,5 miliar berasal dari umat budha dan non budha.
Pembangunan pagoda Kwan Im itu dilakukan sekitar Januari 2004 dan
memang agak lama, karena aksesorisnya di datangkan dari Tibet dan
Tiongkok. Vihara Dharmakirti tersebut mampu menampung sekitar 600
jamaah pada hari minggu, tetapi kalau hari raya waisak jumlah jemaahnya
mencapai 2.000 orang. Perkembangan umat Budha di Sumsel mengalami
perubahan dengan jumlah penganut tercatat sebanyak 37.026 orang, serta
jumlah vihara mencapai 35 unit.
Hal ini berarti bahwa pembinaan dilakukan para tokoh umat budha
secara umum cukup berhasil, apalagi bila dikaitkan dengan masalah
kerukunan antara umat beragama hampir tidak mengalami benturan yang
berarti, bahkan belum pernah terjadi, adanya kerjasama yang erat dan
hubungan harmonis diantara sesama umat budha, akan mempunyai arti
penting dalam meningkatkan pengabdian kepada bangsa dan negara.
"Bangsa dan negara kita dewasa ini tengah menghadapi tantangan-
tantangan berat dibidang sosial, ekonomi dan politik, sehingga melalui
pengabdian yang tulus adalah sejalan dengan ajaran - ajaran agama budha".

28
(http://kalsel.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=13327)

Gambar 1 : gedung vihara Dharmakirti di palembang

4. Vihara Dewadhana

Vihara ini merupakan vihara yang beralamat di jalan Puncak


Sekuning, Lorok Pakjo, Palembang, Sumatera Selatan. Bangunan
Dewadhana ini bertekstur Naga dengan dinding ruangan yang kebanyakan
bergambar Naga dengan warna merah menyala. Trakhir di renovasi pada
tahun 1970, sampai saat ini tidak ada perubahan dan tidak di lakukan
renovasi lagi.

Keunikan dari vihara Dewadhana ini yaitu pada bagian dalam ruang
sembahyang, di buat terbuka tanpa atap bertutup hanya di pasangkan besi
sebagai penyangga yang bertujuan untuk keamanan vihara itu sendiri. Atap
yang terbuka ini, menurut petugas penjaga merupakan warisan dari leluhur.
Sehingga pada saat hujan air hujan dapat masuk ke dalam vihara, tapi
bagian lantai di buat agak lebih dalam dari bagian lain agar air hujan yang

29
masuk dapat langsung mengalir ke saluran pembuangan. Pada lantai yang
agak dalam tersebut di lengkapi hewan labi-labi sebagai salah satu
kepercayaan umat. Dalam ruangan sembahyang hanya terdapat satu buah
patung yang tidak terlalu besar. Peletakan buah-buahan sebagai
persembahan hanya dilakukan saat ada acara khusus saja. Ruangan ini
memiliki 2 buah pintu, 1 buah pintu masuk dan 1 buah pintu samping
sebagai pintu lain yang dibuka saat pengunjung sedang ramai. Juga
terdapat 2 buah ventilasi alami yang dilengkapi dengan kipas baling yang
terhubung dengan aliran listrik sebagai media pertukaran udara dalam
vihara. Pencahayaan vihara ini hanya dilakukan pada malam hari. juga
disediakan air untuk mencuci tangan bagi pengunjung.

Pengunjung yang datang harus memberikan sumbangan sukarela


kepada vihara. Petugas penjaga vihara ini hanya 1 orang, dengan jam kerja
dari pukul 08.00 sampai pukul 16.00 WIB karena rumah penjaga yang
berada tidak terlalu jauh dari vihara. Vihara ini dilengkapi dengan 2 buah
dapur yang berada terpisah dengan tempat sembahyang, 3 buah WC Laki-
laki, dan 6 buah WC perempuan. Vihara Dewadhana ini memiliki halaman
depan yang cukup luas, biasa digunakan sebagai tempat pernikahan warga
sekitar dengan membayar biaya sukarela.

Q. Kosakata

Abhayana Mudra : Tidak Takut

Amarawati : Arca yang terbuat dari tanah

Anjali : Lambang bunga teratai yang masih kuncup

Arama Vihara : Tempat ibadah yang besar

Argha : Air untuk sesuatu hasil bumi seperti biji-bijian


sebagai lambing kehidupan

30
Bernamaskara : Penghormatan

Bhikkhu/ni : Umat Buddha yang melatih diri menjalankan


kehidupan suci

Bhojana/Navidya : Makanan yang bergizi atau obat-obatan yang


dipersembahkan di altat Hyang Buddha,
Bodhisattva atau dewa

Buddha : yang sadar, yang cemerlang, dan yang beroleh


terang

Buddha Gautama : Nabi yang bijaksana dan dia yang mendapat


petunjuk

Bodhi : Hikmat

Dharmasalah : Tempat puja bakti

Dharma Loka : Tempat Khotbah Agama Buddha

Drarma Prasadha : Tempat sembahyang agama Buddha

Dharma Sala : Ruangan sembahyang, upacara dan khotbah


ajaran Buddha

Kuti : Tempat tinggal para Bhiksu

Rupang : Patung

Saddha : Memperkuat keyakinan

Tambura : Alat music saat ibadah

Tripitaka : Tiga

31
Vihara-Vihara Dipalembang
Beberapa Vihara yang ada di kota Palembang, yaitu:
1. Vihara Adirya Maitreya
Jl. Maluku, RT 8, No. 5 Palembang, Sumatera Selatan
2. Maha ViharaMaitreya Duta
Jl. Semeru 17 Ilir Palembang Sumatera Selatan
3. Vihara Arya Prajna
Jl. Ilir RT 44, Kec. Talang Kerikil, Desa Sukarejo Palembang, Sumatera
Selatan
4. Vihara Bhakti Vihara
Jl. Talang Buruk, Ds. Sukarami Palembang, Sumatera Selatan
5. Vihara Chi Ben Loa
Jl. Dwikora III, 20 Ilir, Kp. III Palembang, Sumatera Selatan
6. Vihara Chiu Bun Cao
Jl. Dwikora II, 20 Ilir, Kp. III Pakjo Palembang, Sumatera Selatan
7. Vihara Cit Veh Lau
Jl. Suak, Km. 7 Palembang, Sumatera Selatan
8. Vihara Cu Hung Teng
Jl. Bukti Besar Palembang, Sumatara Selatan
9. Vihara Dharmakirti
Jl. Kapten Marzuki 1579 A,Telp. (0711) 356333, 355706 Palembang
30129, Sumatera Selatan
10. Vihara Gie Hap Bio
Jl. Wahidin No. 67/42 Palembang, Sumatera Selatan
11. Vihara Giok Poh Tian
Ilir,Palembang, Sumatera Selatan
12. Vihara Hok Leng Tong Keng
Jl. Sungai Hitam, RT 16 Palembang, Sumatera Selatan
13. Vihara Hok Liong Tong

32
Jl. Bukit Besar Palembang, Sumatera Selatan
14. Vihara Hok Sin Tong
Jl. Puncak Sekuning, Lorok Pakjo No. 282 Palembang, Sumatera Selatan
15. Vihara Hok Tek Tong
Lorok Hasan, 20 Ilir I Palembang, Sumatera Selatan
16. Vihara Hong Sam Giam
Jl. Mayor Santoso, 20 Ilir/III/No. 2323 Palembang, Sumatera Selatan
17. Vihara Hong San Bio
Jl. Kenten, 8 Ilir RT 33 Palembang, Sumatera Selatan
18. Vihara Hong San Sie
Jl. Tembok Baru, 10 Ulu Palembang, Sumatera Selatan
19. Vihara Hong Tiong Bio
Km. 6, Suka Bangun I, Suak Palembang, Sumatera Selatan
20. Vihara Hui Hun Tong
13 Ulu, Temenggungan Palembang, Sumatera Selatan
21. Vihara Hui Hun Tong
Jl. 13 Ulu, Kec. Temenggung Palembang, Sumatera Selatan
22. Vihara Hun Tau Keng
Jl. Dwikora III, 20 Ilir Palembang, Sumatera Selatan
23. Vihara Hun Tau Keng
Jl. Dwikora II, Ilir Palembang, Sumatera Selatan
24. Vihara Hwa Liong Kiong
Ilir, Palembang, Sumatera Selatan
25. Vihara Jan Hong Sie
Jl. Puncak Sekuning, Lorok Pakjo No. 701 Palembang, Sumatera Selatan
26. Vihara Kiu Hong Giam
Talang Buruk Warga, Talang Kelapa Kec. Banyuasin Palembang,
Sumatera Selatan
27. Vihara Kong Siu Tong
Jl. Kenten, 8 Ilir Palembang, Sumatera Selatan

33
28. Vihara Kon Hong Tian
Desa Sukaramai, Kec. Talang Buruk Palembang, Sumatera Selatan
29. Vihara Kua Jeng Bio
Jl. Veteran Palembang, Sumatera Selatan
30. Vihara Kwa Na Kiong
Jl. Puncak Sekuning, Lorok Pakjo Palembang, Sumatera Selatan
31. Vihara Lam San Jie
Jl. Puncak Sekuning, Lorok Pakjo No. 307 Palembang, Sumatera Selatan
32. Vihara Leng Sang King
Jl. Bukit Besar Palembang, Sumatera Selatan
33. Vihara Leng Sang King
Jl. Dwikora II, Ilir Palembang, Sumatera Selatan
34. Vihara Ling Hua Kiong
Jl. Bukit Lama Palembang, Sumatera Selatan
35. Vihara Ling Hua Ling
Kiam 130 (Sungai Hitam) Palembang, Sumatera Selatan
36. Vihara Ling Hui Bio
Jl. Bukit Besar, No. 11, 29, 26 Palembang, Sumatera Selatan
37. Vihara Ling Hui Bio
Jl. Bukit Besar II/88/26 Palembang, Sumatera Selatan
38. Vihara Ling Sing King
8Ilir RT 44, Kec. Talang Kerikil, Ds. Lorok Sukarejo Palembang,
Sumatera Selatan
39. Vihara Liong Hian King
Jl. Talang Buruk, Talang Kelapa Kec. Banyuasin Palembang, Sumatera
Selatan
40. Vihara Liong Puan Kiong
Lorok Pakjo, RT 15 Palembang, Sumatera Selatan
41. Vihara Liong Sian Kiong

34
Ulu, Sungai Buaya Palembang, Sumatera Selatan
42. Vihara Liong To Kiong
Jl. Kenten, 8 Ilir Palembang, Sumatera Selatan
43. Vihara Maitribhumi
Jl. Kemang Manis No. 56 Bukit Besar, Palembang (Sumatera Selatan)
44. Vihara Mudita Maitreya
Jl. Kelenteng No. 65 Palembang, Sumatera Selatan
45. Vihara Padmajaya
Jl. Tembok Baru No.10 9/10 Ulu Palembang (Sumatera Selatan)
46. Vihara Pat Kwa Bio
15 Ilir, No. 270/ III, RT 13/D, Kec. Lorong Dempo Dalam Palembang,
Sumatera Selatan.
47. Vihara Pek How Teng
Jl. Dukuh, 8 Ilir Palembang, Sumatera Selatan
48. Vihara Samantabhadra
Jl. Letda A. Rozak No. 198 RT 16 RW 04 Kel. Duku, Kec. Ilir Timur II
Palembang 30114 (Sumatera Selatan)
49. Vihara Sam Goat King
13 Ulu Darat Palembang, Sumatera Selatan
50. Vihara Sam Guat Sing Kun
Jl. Batu Tembok Baru, 10 Ulu Palembang, Sumatera Selatan
51. Vihara Sari Putra
Jl. Mayor Ruslan No. 359, 20 Ilir Palembang, Sumatera Selatan
52. Vihara Sin An Leh
Desa Sumaramai, Kec. Talang Buruk Palembang, Sumatara Selatan
53. Vihara Suan Hong Tong
Jl. Kenten, 8 Ilir Palembang, Sumatera Selatan
54. Vihara Sui Tjing Ton
Jl. Kenten, 8 Ilir Palembang, Sumatera Selatan
55. Vihara Tay Liong Oh

35
Jl. Sosial, Km. 6 Palembang, Sumatera Selatan
56. Vihara Tek King Tong
Jl. Tembok Baru, 10 Ulu Palembang, Sumatera Selatan
57. Vihara Tian Hong King
Jl. Puncak Sekuning, Lorok Pakjo Palembang, Sumatera Selatan
58. Vihara Tjeng Hong She
Jl. Puncak Sekuning Palembang, Sumatera Selatan
59. Vihara Tjen Hong She
Jl. Puncak Sekuning Palembang, Sumatera Selatan
60. Vihara Tjing Hong
Lorok Rais 326/215 Palembang, Sumatera Selatan
61. Vihara Wie Hian Kong
18 lir No. 44 Palembang, Sumatera Selatan
62. Vihara Wie Leng Keng
Jl. Dukuh, 8 Ilir Palembang, Sumatera Selatan
63. Vihara Wie Tin Riau
13 ulu, Sungai Buaya Palembang, Sumatera Selatan
64. Vihara Wie Tjing King
Jl. Dukuh, 8 Ilir Palembang, Sumatera Selatan
65. Vihara Yayasan Toa Pek Kong
Keramat Kemarau, Jl. Kemarau Palembang, Sumatera Selatan
(http://Viharacetiyakelentengdiindonesia.blogspot.com/2004_05_01_archiv.html)

36
LAMPIRAN

Gambar 1. Vihara Dharmakirti Gambar 2. Dinding Vihara

37
Gambar 3. Pintu Ruang Sembahyang Vihara

Gambar 4. Ruang Sembahyang

38
Gambar 5. Lantai Vihara Gambar 6. Wc Vihara

39
Gambar 7. Langit-langit Vihara Gambar 8. Jendela Vihara

Gambar 9. Tempat Sampah Gambar 10. Dapur Vihara

40
CANDI

A. Pengertian Candi
Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada
sebuah bangunan keagamaan tempat ibadah peninggalan purbakala yang
berasal dari peradaban Hindu-Buddha. Bangunan ini digunakan sebagai tempat
pemujaan dewa-dewi ataupun memuliakan Buddha. Akan tetapi, istilah 'candi'
tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja,
banyak situs-situs purbakala non-religius dari masa Hindu-Buddha Indonesia
klasik, baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan
sebagainya, juga disebut dengan istilah candi.
Candi sebagai bangunan tempat ibadah dari peninggalan masa lampau
yang berasal dari agama Hindu-Buddha. Prof. HJ Krom dan Dr. WF
Stutterheim mengartikan candi dari asal katanya CANDIKA. Candika = Dewi
maut (di Indonesia dikenal Bethari Durga = Durga Sura Mahesa Mardhani) dan
GRHA = GRAHA = GRIYA/GRIYO yang artinya rumah. Jadi Candi menurut
mereka adalah rumah untuk bethari Durga = rumah dewi maut. Wujud Ciwa
Durga Sura Mahesa Mardhani dapat kita jumpai di candi Prambanan pada
Candi Ciwa, pada wujud patung yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai
Roro Jonggrang.
Ada pengertian yang kedua yaitu dikemukakan oleh Prof Soekmono.
Beliau menyebutkan bahwa candi memang masih terkait dengan kematian,
namun fungsinya sebagai tempat pemuliaan atau pemujaan raja yang telah
wafat dan dibangun setelah 13-14 tahun raja wafat melalui upacara Crada.
Peristiwa seperti itu masih berlanjut di Pulau Bali hingga sekarang. Menurut
Soekmono dalam penelitiannya disebut bahwa abu yang berada dalam peripih
merupakan abu lawe (=benang yang dibuat dari kapuk randu) dan biasanya
dipergunakan untuk gelang, kalung atau kendit (ikat pinggang) (ditambahkan
oleh Djoko Adi dengan mengutip pendapat Soekmono).

41
Penafsiran yang berkembang di luar negeri — terutama di antara
penutur bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya — adalah; istilah candi hanya
merujuk kepada bangunan peninggalan era Hindu-Buddha di Nusantara, yaitu
di Indonesia dan Malaysia saja (contoh: Candi Lembah Bujangdi Kedah). Sama
halnya dengan istilah wat yang dikaitkan dengan candi di Kamboja dan
Thailand. Akan tetapi dari sudut pandang Bahasa Indonesia, istilah 'candi' juga
merujuk kepada semua bangunan bersejarah Hindu-Buddha di seluruh
dunia tidak hanya di Nusantara, tetapi juga Kamboja, Myanmar,Thailand, Laos
Vietnam, Sri Lanka, India, dan Nepal; seperti candi Angkor Wat di Kamboja
dan candi Khajuraho di India. Istilah candi juga terdengar mirip dengan
istilah chedi dalam bahasa Thailand yang berarti 'stupa'.
Candi merupakan bangunan replika tempat tinggal para dewa yang
sebenarnya, yaitu Gunung Mahameru. Karena itu, seni arsitekturnya dihias
dengan berbagai macam ukiran dan pahatan berupa pola hias yang disesuaikan
dengan alam Gunung Mahameru. Candi-candi dan pesan yang disampaikan
lewat arsitektur, relief, serta arca-arcanya tak pernah lepas dari unsur
spiritualitas, daya cipta, dan keterampilan para pembuatnya.
Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada
sebuah bangunan keagamaan tempat ibadah peninggalan purbakala yang
berasal dari peradaban Hindu-Buddha. Bangunan ini digunakan sebagai tempat
pemujaan dewa-dewi ataupun memuliakan Buddha. Akan tetapi, istilah 'candi'
tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja,
banyak situs-situs purbakala non-religius dari masa Hindu-Buddha Indonesia
klasik, baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan
sebagainya, juga disebut dengan istilah candi.

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Candi

42
B. Sejarah Candi
1. Sejarah Candi Secara Umum
Dalam kitab Manasara (Hindu-Budha) yang berasal dari Negara
India disebutkan bahwa candi merupakan pengetahuan dasar seni bangunan
gapura, yaitu bangunan yang berada pada jalan masuk atau keluar dari suatu
tempat, lahan, atau wilayah. Gapura sendiri bias berfungsi sebagai petunjuk
batas wilayah atau sebagai pintu keluar masuk yang terletak pada dinding
pembatas sebuah komplek bangunan tertentu. Gapura mempunyai fungsi
penting dalam sebuah kompleks bangunan, sehingga gapura juga
mencerminkan keagungan dari banguan yang dibatasinya. Perbedaan kedua
bangunan tersebutterletak pada ruangannya. Candi mempunyai ruangan
yang tertutup, sedangkan ruangan dalam gapura merupakan lorong yang
berfungsi seagai jalan keluar-masuk.
Beberapa kitab keagamaan di India, misalnya Manasara dan Sipa
Prakasa, memuat aturan pembuatan gapurayang di pegang teguh oleh para
seniman bangunan di India. Para seniman pada masa itu percaya bahwa
ketentuan yang tercantum dalam kitab-kitab keagamaan bersifat suci dan
magis. Mereka yakin bahwa pembuata bangunan yang benar dan indah
mempunyai arti tersendiri bagi pembuatannya dan penguasa yang
memerintahkan membangun. Bangunan yang dibuat secara benar dan indah
akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat. Keyakinan tersebut
membuat para seniman akan membuat gapura melakukan persiapan dan
perencanaan yang matang, baik yang bersifat keagamaan maupun teknis.
Salah satu bagian terpenting dalam perencanaan teknis adalah
pembuatan sketsa yang benar, karena dengan sketsa yang benar akan
dihasilkan bangunan seperti yang di harapkan sang seniman. Pembuatan
sketsa bangunan harus didasarkan pada aturan persyaratan tertentu, berkaitan
dngan bentuk, ukuran, maupun tata letaknya. Apabila dalam pembuatan
bangunan terjadi penyimpangan dari ketentuan-ketentuan dalam kitab
kegamaan akan berakibat kesengsaraan besar bagi pembuatannya dan

43
masyarakat di sekitarnya. Hal ini berarti bahwa ketentuan-ketentuan dalam
kitab keagamaan tidak dapat diubah dengan semuanya. Namun, suatu
kebudayaan, termasuk seni bangunan, tidak dapat lepas dari pengaruh
keadaan alam dan budaya setempat, serta pengaruh waktu. Disamping itu,
setiap seniman mempunyai imajenasi dan kreatif yang berbeda.

2. Sejarah Candi di Indonesia


Di Indonesia, candi dapat ditemukan di pulau Jawa, Bali, Sumatera,
dan Kalimantan, akan tetapi candi paling banyak ditemukan di kawasan
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebanyakan orang Indonesia mengetahui
adanya candi-candi di Indonesia yang termasuk seperti Borobudur,
Prambanan, dan Mendut.
Pada suatu era dalam sejarah Indonesia, yaitu dalam kurun abad ke-
8 hingga ke-10 tercatat sebagai masa paling produktif dalam pembangunan
candi. Pada kurun kerajaan Medang Mataram ini candi-candi besar dan kecil
memenuhi dataran Kedu dan dataran Kewu di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Hanya peradaban yang cukup makmur dan terpenuhi kebutuhan sandang dan
pangannya saja yang mampu menciptakan karya cipta arsitektur bernilai seni
tinggi seperti ini. Beberapa candi yang bercorak Hindu di Indonesia adalah
Candi Prambanan, Candi Jajaghu (Candi Jago), Candi Gedongsongo, Candi
Dieng, Candi Panataran, Candi Angin, Candi Selogrio, Candi Pringapus,
Candi Singhasari, dan Candi Kidal. Candi yang bercorak Buddha antara lain
Candi Borobudur dan Candi Sewu. Candi Prambanan di Jawa Tengah adalah
salah satu candi Hindu-Siwa yang paling indah. Candi itu didirikan pada
abad ke-9 Masehi pada masa Kerajaan Mataram Kuno.
Kata "candi" mengacu pada berbagai macam bentuk dan fungsi
bangunan, antara lain tempat beribadah, pusat pengajaran agama, tempat
menyimpan abu jenazah para raja, tempat pemujaan atau tempat
bersemayam dewa, petirtaan (pemandian) dan gapura. Walaupun fungsinya
bermacam-macam, secara umum fungsi candi tidak dapat dilepaskan dari

44
kegiatan keagamaan, khususnya agama Hindu dan Buddha, pada masa yang
lalu. Oleh karena itu, sejarah pembangunan candi sangat erat kaitannya
dengan sejarah kerajaan-kerajaan dan perkembangan agama Hindu dan
Buddha di Indonesia, sejak abad ke-5 sampai dengan abad ke-14.
Karena ajaran Hindu dan Buddha berasal dari negara India, maka
bangunan candi banyak mendapat pengaruh India dalam berbagai aspeknya,
seperti: teknik bangunan, gaya arsitektur, hiasan, dan sebagainya. Walaupun
demikian, pengaruh kebudayaan dan kondisi alam setempat sangat kuat,
sehingga arsitektur candi Indonesia mempunyai karakter tersendiri, baik
dalam penggunaan bahan, teknik kontruksi maupun corak dekorasinya.
Dinding candi biasanya diberi hiasan berupa relief yang mengandung ajaran
atau cerita tertentu.
Dalam kitab Manasara disebutkan bahwa bentuk candi merupakan
pengetahuan dasar seni bangunan gapura, yaitu bangunan yang berada pada
jalan masuk ke atau keluar dari suatu tempat, lahan, atau wilayah. Gapura
sendiri bisa berfungsi sebagai petunjuk batas wilayah atau sebagai pintu
keluar masuk yang terletak pada dinding pembatas sebuah komplek
bangunan tertentu. Gapura mempunyai fungsi penting dalam sebuah
kompleks bangunan, sehingga gapura juga nencerminkan keagungan dari
bangunan yang dibatasinya. Perbedaan kedua bangunan tersebut terletak
pada ruangannya. Candi mempunyai ruangan yang tertutup, sedangkan
ruangan dalam gapura merupakan lorong yang berfungsi sebagai jalan
keluar-masuk.
Beberapa kitab keagamaan di India, misalnya Manasara dan Sipa
Prakasa, memuat aturan pembuatan gapura yang dipegang teguh oleh para
seniman bangunan di India. Para seniman pada masa itu percaya bahwa
ketentuan yang tercantum dalam kitab-kitab keagamaan bersifat suci dan
magis. Mereka yakin bahwa pembuatan bangunan yang benar dan indah
mempunyai arti tersendiri bagi pembuatnya dan penguasa yang
memerintahkan membangun. Bangunan yang dibuat secara benar dan indah

45
akan mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat.
Keyakinan tersebut membuat para seniman yang akan membuat gapura
melakukan persiapan dan perencanaan yang matang, baik yang bersifat
keagamaan maupun teknis.
Salah satu bagian terpenting dalam perencanaan teknis adalah
pembuatan sketsa yang benar, karena dengan sketsa yang benar akan
dihasilkan bangunan seperti yang diharapkan sang seniman. Pembuatan
sketsa bangunan harus didasarkan pada aturan dan persyaratan tertentu,
berkaitan dengan bentuk, ukuran, maupun tata letaknya. Apabila dalam
pembuatan bangunan terjadi penyimpangan dari ketentuan-ketentuan dalam
kitab keagamaan akan berakibat kesengsaraan besar bagi pembuatnya dan
masyarakat di sekitarnya. Hal itu berarti bahwa ketentuan-ketentuan dalam
kitab keagamaan tidak dapat diubah dengan semaunya. Namun, suatu
kebudayaan, termasuk seni bangunan, tidak dapat lepas dari pengaruh
keadaan alam dan budaya setempat, serta pengaruh waktu. Di samping itu,
setiap seniman mempunyai imajinasi dan kreatifitas yang berbeda.
Sampai saat ini candi masih banyak didapati di berbagai wilayah
Indonesia, terutama di Sumatra, Jawa, dan Bali. Walaupun sebagian besar di
antaranya tinggal reruntuhan, namun tidak sedikit yang masih utuh dan
bahkan masih digunakan untuk melaksanakan upacara keagamaan. Sebagai
hasil budaya manusia, keindahan dan keanggunan bangunan candi
memberikan gambaran mengenai kebesaran kerajaan-kerajaan pada masa
lampau.
Candi-candi Hindu di Indonesia umumnya dibangun oleh para raja
pada masa hidupnya. Arca dewa, seperti Dewa Wishnu, Dewa Brahma,
Dewi Tara, Dewi Durga, yang ditempatkan dalam candi banyak yang dibuat
sebagai perwujudan leluhurnya. Bahkan kadang-kadang sejarah raja yang
bersangkutan dicantumkan dalam prasasti persembahan candi tersebut.
Berbeda dengan candi-candi Hindu, candi-candi Buddha umumnya dibangun
sebagai bentuk pengabdian kepada agama dan untuk mendapatkan ganjaran.

46
Ajaran Buddha yang tercermin pada candi-candi di Jawa Tengah adalah
Buddha Mahayana, yang masih dianut oleh umat Buddha di Indonesia
sampai saat ini. Berbeda dengan aliran Buddha Hinayana yang dianut di
Myanmar dan Thailand.
Candi di Indonesia dikelompokkan ke dalam: candi di Jawa Tengah
dan Yogyakarta, candi di Jawa Timur candi di Bali dan candi di Sumatra.
Walaupun pada masa sekarang Jawa Tengah dan Yogyakarta merupakan dua
provinsi yang berbeda, namun dalam sejarahnya kedua wilayah tersebut
dapat dikatakan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Hindu, yang
sangat besar peranannya dalam pembangunan candi di kedua provinsi
tersebut. Pengelompokan candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta berdasarkan
wilayah administratifnya saat ini sulit dilakukan, namun, berdasarkan ciri-
cirinya, candi-candi tersebut dapat dikelompokkan dalam candi-candi di
wilayah utara dan candi-candi di wilayah selatan.
Candi-candi yang terletak di wilayah utara, yang umumnya
dibangun oleh Wangsa Sanjaya, merupakan candi Hindu dengan bentuk
bangunan yang sederhana, batur tanpa hiasan, dan dibangun dalam
kelompok namun masing-masing berdiri sendiri serta tidak beraturan
beraturan letaknya. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya: Candi
Dieng dan Candi Gedongsanga. Candi di wilayah selatan, yang umumnya
dibangun oleh Wangsa Syailendra, merupakan candi Buddha dengan bentuk
bangunan yang indah dan sarat dengan hiasan. Candi di wilayah utara ini
umumnya dibangun dalam kelompok dengan pola yang sama, yaitu candi
induk yang terletak di tengah dikelilingi oleh barisan candi perwara. Yang
termasuk dalam kelompok ini, di antaranya: Candi Prambanan, Candi
Mendut, Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Candi Borobudur.
Candi-candi di Jawa Timur umumnya usianya lebih muda
dibandingkan yang terdapat di Jawa Tengah dan Yogyakarta, karena
pembangunannya dilakukan di bawah pemerintahan kerajaan-kerajaan
penerus kerajaan Mataram Hindu, seperti Kerajaan Kahuripan, Singasari,

47
Kediri dan Majapahit. Bahan dasar, gaya bangunan, corak dan isi cerita
relief candi-candi di Jawa Timur sangat beragam, tergantung pada masa
pembangunannya. Misalnya, candi-candi yang dibangun pada masa Kerajaan
Singasari umumnya dibuat dari batu andesit dan diwarnai oleh ajaran
Tantrayana (Hindu-Buddha), sedangkan yang dibangun pada masa Kerajaan
Majapahit umumnya dibuat dari bata merah dan lebih diwarnai oleh ajaran
Buddha.
Candi-candi di Bali umumnya merupakan candi Hindu dan
sebagian besar masih digunakan untuk pelaksanaan upacara keagamaan
hingga saat ini. Di Pulau Sumatra terdapat 2 candi Buddha yang masih dapat
ditemui, yaitu Candi Portibi di Provinsi Sumatra Utara dan Candi Muara
Takus di Provinsi Riau.
Sebagian candi di Indonesia ditemukan dan dipugar pada awal abad
ke-20. Pada tanggal 14 Juni 1913, pemerintah kolonial Belanda membentuk
badan kepurbakalaan yang dinamakan Oudheidkundige Dienst (biasa
disingkat OD), sehingga penanganan atas candi-candi di Indonesia menjadi
lebih intensif. Situs web ini direncanakan akan memuat deskripsi seluruh
candi yang ada di Indonesia, namun saat ini belum semua candi dapat
terliput.
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Candi
http://candi.perpusnas.go.id/temples/

C. Fungsi Candi
Candi dapat berfungsi sebagai:
1. Candi Pemujaan: candi Hindu yang paling umum, dibangun untuk memuja
dewa, dewi, atau bodhisatwa tertentu, contoh: candi Prambanan, candi
Canggal, candi Sambisari, dan candi Ijo yang menyimpan lingga dan
dipersembahkan utamanya untuk Siwa, candi Kalasan dibangun untuk
memuliakan Dewi Tara, sedangkan candi Sewu untuk memuja Manjusri.

48
2. Candi Stupa: didirikan sebagai lambang Budha atau menyimpan relik
Buddhis, atau sarana ziarah agama Buddha. Secara tradisional stupa
digunakan untuk menyimpan relikui buddhis seperti abu jenazah, kerangka,
potongan kuku, rambut, atau gigi yang dipercaya milik Buddha Gautama,
atau bhiksu Buddha terkemuka, atau keluarga kerajaan penganut Buddha.
Beberapa stupa lainnya dibangun sebagai sarana ziarah dan ritual, contoh:
candi Borobudur, candi Sumberawan, dan candi Muara Takus.
3. Candi Pedharmaan: sama dengan kategori candi pribadi, yakni candi yang
dibangun untuk memuliakan arwah raja atau tokoh penting yang telah
meninggal. Candi ini kadang berfungsi sebagai candi pemujaan juga karena
arwah raja yang telah meninggal seringkali dianggap bersatu dengan dewa
perwujudannya, contoh: candi Belahan tempat Airlangga dicandikan, arca
perwujudannya adalah sebagai Wishnu menunggang Garuda. Candi Simping
di Blitar, tempat Raden Wijaya didharmakan sebagai dewa Harihara.
4. Candi Pertapaan: didirikan di lereng-lereng gunung tempat bertapa, contoh:
candi-candi di lereng Gunung Penanggungan, kelompok candi Dieng dan
candi Gedong Songo, serta Candi Liyangan di lereng timur Gunung
Sundoro, diduga selain berfungsi sebagai pemujaan, juga merupakan tempat
pertapaan sekaligus situs permukiman.
5. Candi Wihara: didirikan untuk tempat para biksu atau pendeta tinggal dan
bersemadi, candi seperti ini memiliki fungsi sebagai permukiman atau
asrama, contoh: candi Sari dan Plaosan.
6. Candi Gerbang: didirikan sebagai gapura atau pintu masuk, contoh: gerbang
di kompleks Ratu Boko, Bajang Ratu, Wringin Lawang, dan candi
Plumbangan.
7. Candi Petirtaan: didirikan didekat sumber air atau di tengah kolam dan
fungsinya sebagai pemandian, contoh: Petirtaan Belahan, Jalatunda, dan
candi Tikus.

49
Beberapa bangunan purbakala, seperti batur-batur landasan pendopo
berumpak, tembok dan gerbang, dan bangunan lain yang sesungguhnya bukan
merupakan candi, seringkali secara keliru disebut pula sebagai candi. Bangunan
seperti ini banyak ditemukan di situs Trowulan, atau pun paseban atau pendopo
di kompleks Ratu Boko yang bukan merupakan bangunan keagamaan.
Candi yang tersebar di beberapa kawasan Indonesia khususnya di pulau
Jawa, Bali, Sumatera dan beberapa daerah lainnya, ternyata sangat erat
kaitannya dengan kehidupan sosial-keagamaan yang berkembang pada
zamannya yaitu agama Hindu dan Buddha. Maka dalam perkembangannya
semua bangunan yang berasal dari zaman Hindu dan Buddha (Zaman Klasik)
disebut dengan istilah candi, baik berupa keraton, permandian, pertapaan,
maupun bangunan suci, bahkan makampun disebut juga candi. Seperti misalnya
Keraton Ratu Boko di Yogyakarta disebut Candi Ratu Boko, permandian
Jolotundo di Jawa Timur disebut Candi Jolotundo, pertapaan Selemangleng
disebut juga Candi Selemangleng dan sebagainya. Rentang waktu pendirian
bangunan-bangunan tersebut diperkirakan mulai abad VII-XV Masehi.
Fungsi Candi Hindu, pada awalnya beberapa ahli menduga, sebagai
tempat abu jenazah seorang raja atau tokoh yang sangat dimuliakan dalam
masyarakat pada masa lampau. Dugaan tersebut berdasarkan atas istilah candi
yang dihubungkan dengan perkataan Candika yang merupakan nama lain dari
Dewi Durga. Seperti kita ketahui bahwa Dewi Durga selalu dihubungkan
dengan Dewi Maut atau kematian. Mereka menganggap bahwa setelah raja atau
tokoh meninggal, lalu dibakar disertai dengan berbagai upacara, setelah upacara
kremasi tersebut lalu abu jenazahnya ditempatkan di dalam pripih kemudian
ditanam dalam prigi candi.
Prigi candi itu berupa lubang kecil yang cukup dalam yang berada di
ruang dalam candi. Anggapan seperti ini rupanya sangat terpaku pada
pengertian candi yang dilontarkan oleh Raffles, bahwa candi disebut juga
cungkup oleh masyarakat Jawa Timur, yang tidak lain berfungsi sebagai
pemakaman. Keragu-raguan timbul kemudian, karena masyarakat Jawa Timur

50
tersebut bukan pemeluk agama Hindu, sehingga timbul pertanyaan dari mana
mereka memperoleh keterangan bahwa cungkup sama dengan candi.
Jawabannya belum ditemukan sampai saat ini. Keragu-raguan tersebut semakin
kuat setelah dilakukan penelitian dengan seksama, yang juga disertai dengan
penelitian laboratoris kimiawi terhadap campuran arang/abu fragmen tulang dan
tanah yang ditemukan pada beberapa pripih candi. Hasil penelitian tersebut
menyatakan bahwa abu tersebut belum tentu merupakan abu jasad manusia
begitu pula sisa fragmen tulang yang ternyata bukan tulang manusia melainkan
tulang binatang yang mungkin merupakan sisa-sisa dari sarana upacara.
Apabila dikaitkan dengan proses pengkremasian mayat seorang raja atau
tokoh yang dimuliakan, maka benda-benda yang ditemukan dalam pripih itu
mendekati persamaan. Dari sejumlah sumber sastra seperti Pararaton dan
Negara Kertagama misalnya, diketahui bahwa upacara kremasi bagi seorang
raja atau tokoh yang dimuliakan diawali dengan pembakaran mayat dengan
segala bentuk upacaranya kemudian abunya dilarung atau dihanyutkan ke laut
atau di sungai yang bermuara ke laut. Upacara tersebut dilakukan beberapa
tahap sampai pada tahap terakhir yang disebut upacara Sradha.
Upacara ini merupakan pelepasan roh dari segala ikatan keduniawian
yang mungkin masih mengikat, sehingga roh tersebut dapat bersatu dengan
dewa penitisnya. Sebagai lambang jasmaniah dibuatkan semacam boneka dari
daun-daun kayu pilihan yang disebut dengan istilah Puspasarira. Sebagai
penutup upacara Puspasarira tersebut dihanyutkan pula ke laut.
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Candi

D. Dasar-Dasar Hukum
Secara hukum telah ada pula upaya pencegahan benda cagar budaya
dan situs serta lingkungannya dari kerusakan oleh tangan manusia.
Hal itu sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia nomor 11
tahun 2010 tentang cagar Budaya bahwa setiap orang yang memiliki atau
menguasai benda cagar budaya wajib melindungi dan memeliharanya.

51
1. Mengambil atau memindahkan benda cagar budaya, baik sebagian maupun
seluruhnya, kecuali dalam keadaan darurat.
2. Mengubah bentuk dan/atau warna serta memugar benda cagar budaya.
3. Memisahkan sebagian benda cagar budaya dari kesatuannya. Termasuk
kegiatan yang dapat merusak benda cagar budaya adalah mengurangi,
menambah, memindahkan, dan mencemari benda cagar budaya.
4. Dasar-dasar hukum demikian seharusnya benar-benar dipatuhi dalam upaya
pemanfaatan dan pengembangannya. Hal itu mengingat bahwa Candi-candi
dan situs serta lingkungannya termasuk sumber daya yang tidak dapat
diperbaharui (non renewable resources). Kecerobohan yang dilakukan tidak
hanya menimpa dunia arkeologi, melainkan juga bangsa Indonesia secara
keseluruhan. Hal itu berarti pula mengingkari maksud dan tujuan dari
pemanfaatan dan pengembangan sumber daya arkeologi itu sendiri.

E. Jenis-Jenis Candi
1. Jenis berdasarkan agama

Candi Jawi yang bersifat paduan Siwa-Buddha tempat pedharmaan


raja Kertanegara. Berdasarkan latar belakang keagamaannya, candi dapat
dibedakan menjadi candi Hindu, candi Buddha, paduan sinkretis Siwa-
Buddha, atau bangunan yang tidak jelas sifat keagamaanya dan mungkin
bukan bangunan keagamaan.
a. Candi Hindu, yaitu candi untuk memuliakan dewa-dewa Hindu seperti
Siwa atau Wisnu, contoh: candi Prambanan, candi Gebang, kelompok
candi Dieng, candi Gedong Songo, candi Panataran, dan candi
Cangkuang.
b. Candi Buddha, candi yang berfungsi untuk pemuliaan Buddha atau
keperluan bhiksu sanggha, contoh candi Borobudur, candi Sewu, candi
Kalasan, candi Sari, candi Plaosan, candi Banyunibo, candi

52
Sumberawan, candi Jabung, kelompok candi Muaro Jambi, candi Muara
Takus, dan candi Biaro Bahal.
c. Candi Siwa-Buddha, candi sinkretis perpaduan Siwa dan Buddha,
contoh: candi Jawi.
d. Candi non-religius, candi sekuler atau tidak jelas sifat atau tujuan
keagamaan-nya, contoh: candi Ratu Boko, Candi Angin, gapura Bajang
Ratu, candi Tikus, candi Wringin Lawang.

2. Jenis berdasarkan hirarki dan ukuran


Dari ukuran, kerumitan, dan kemegahannya candi terbagi atas
beberapa hirarki, dari candi terpenting yang biasanya sangat megah,
hingga candi sederhana. Dari tingkat skala kepentingannya atau
peruntukannya, candi terbagi menjadi:
a. Candi Kerajaan, yaitu candi yang digunakan oleh seluruh warga
kerajaan, tempat digelarnya upacara-upacara keagamaan penting
kerajaan. Candi kerajaan biasanya dibangun mewah, besar, dan luas.
Contoh: Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Candi
Panataran.
b. Candi Wanua atau Watak, yaitu candi yang digunakan oleh masyarakat
pada daerah atau desa tertentu pada suatu kerajaan. Candi ini biasanya
kecil dan hanya bangunan tunggal yang tidak berkelompok. Contoh:
candi yang berasal dari masa Majapahit, Candi Sanggrahan di Tulung
Agung, Candi Gebang di Yogyakarta, dan Candi Pringapus.
c. Candi Pribadi, yaitu candi yang digunakan untuk mendharmakan
seorang tokoh, dapat dikatakan memiliki fungsi mirip makam. Contoh:
Candi Kidal (pendharmaan Anusapati, raja Singhasari), candi Jajaghu
(Pendharmaan Wisnuwardhana, raja Singhasari), Candi Rimbi
(pendharmaan Tribhuwana Wijayatunggadewi, ibu Hayam Wuruk),
Candi Tegowangi (pendharmaan Bhre Matahun), dan Candi Surawana
(pendharmaan Bhre Wengker).

53
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Candi

F. Candi-Candi yang ada di Dunia

1. Shwedagon, Burma

Sesuai dengan legenda, kuil berumur lebih dari 2500 tahun. Juga
dikenal dengan sebutan candi emas, candi ini terdiri atas stupa dan pagoda.
Candi ini terletak di pusat kota Yangon, Burma, dan menghiasi
pemandangan kota.

Gambar 1. Shewedagon, Burma

2. Kuil Chion-in, Jepang

Kuil Chion-in dibangun pada tahun 1234 oleh seorang murid dari
guru Honen, Genchi. Hal unik yang pertama dari kuil ini adalah terdapat
ukiran berupa lambang keluarga Tokugawa di setiap atap balok kuil. Salah
satu arsitek yang membantu membangun kembali kuil ini menempatkan
beberapa payung di depan kuil ini karena dipercaya dapat membantu
menurunkan hujan.kaskus.

54
Gambar 2. Kuil Chion-in, Jepang

3. Harmandir Sahib, India

Juga dikenal dengan sebutan Golden Temple, Harmandir Sahib


merupakan tempat suci bagi umat Sikh. Seluruh bangunan kuil ini terbuat
dari emas, dan terletak ditengah-tengah danau. Harmandir Sahib terletak di
kota Amritsar.

Gambar 3. Harmandir Sahib, India

55
4. Wat Rong Khun, Thailand

Wat Rong Khun merupakan sebuah candi Hindu dan Buddha di


kota Chiang Rai. Candi ini didesain oleh Chalermchai Kositpipat, konstruksi
dimulai pada tahun 1997. Keunikan dari candi ini adalah warna
bangunannya yang berwarna putih. Sampai sekarang candi ini masih akan
diperbesar dan dibangun.

Gambar 4. Wat Rong Khun, Thailand

5. Kuil Surga, Republik Rakyat Cina

Kuil Surga merupakan sebuah kompleks kuil Tao yang terletak di


sebelah tenggara kota Beijing. Kompleks ini dikunjungi oleh kaisar-kaisar
dinasti Ming dan Qing untuk doa tahunan ke surga agar mendapatkan hasil
panen yang baik. Kuil ini merupakan salah satu dari UNESCO World
Heritage Site dan merupakan ikon kota Beijing.

56
Gambar 5. Kuil Surga, Republik Rakyat Cina

6. Candi Srirangam, India

Candi Srirangam merupakan candi yang dipersembahkan kepada


dewa Ranganatha. Sekarang, candi ini merupakan candi terbesar di India dan
merupakan salah satu candi Hindu terbesar di dunia. Candi ini merupakan
tujuan wisata utama bagi Tamil Nadu, India.

Gambar 6. Candi Srirangam, India

57
7. Tiger’s Nest Monastery, Bhutan

Tiger’s Nest Monastery merupakan situs sakral bagi umat Buddha


Himalaya, terletak di Lembah Paro bagian atas. Pada abad ke-8, Guru
Padmasambhava meditasi di gua ini selama tiga bulan. Pada tahun 1692, di
sekitar gua tersebut di bangun kompleks ini. Kompleks ini terletak di tepi
tebing yang curam. Kompleks ini juga merupakan ikon wisata negara
Bhutan.

Gambar 7. Tiger’s Nest Monastery, Bhutan

8. Angkor Wat, Kamboja

Candi Angkor Wat terbesar di dunia. Angkor Wat merupakan


kompleks Hindu Buddha terbesar di dunia. Kompleks ini dibangun pada
awal abad ke-12 untuk dipersembahkan kepada Raja Suryawarman II
sebagai tempat tinggal dan tempat pemerintahannya. Desain kompleks ini
berdasarkan desain bangunan Khmer. Angkor Wat memiliki arti ‘Kota
Candi’, dan sekarang Angkor Wat merupakan salah satu dari UNESCO
World Heritage Site dan merupakan tujuan wisata utama bagi Kamboja.

58
Gambar 8. Angkor Wat, Kamboja

9. Borobudur, Indonesia

Borobudur merupakan candi Buddha terbesar di Indonesia,


sekaligus di Asia Tenggara. Candi ini memiliki 2,672 panel relief dan
memiliki 504 stupa dan patung Buddha. Candi ini merupakan salah satu dari
UNESCO World Heritage Site dan merupakan ikon wisata utama pulau
Jawa.

Gambar 9. Borobudur, Indonesia

59
G. Nama-Nama Candi di Indonesia

Kebanyakan candi-candi yang ditemukan di Indonesia tidak diketahui


nama aslinya. Kesepakatan di dunia arkeologi adalah menamai candi itu
berdasarkan nama desa tempat ditemukannya candi tersebut. Candi-candi yang
sudah diketahui masyarakat sejak dulu, kadang kala juga disertai dengan
legenda yang terkait dengannya. Ditambah lagi dengan temuan prasasti atau
mungkin disebut dalam naskah kuno yang diduga merujuk kepada candi
tersebut. Akibatnya nama candi dapat bermacam-macam, misalnya candi
Prambanan, candi Rara Jonggrang, dan candi Siwagrha merujuk kepada
kompleks candi yang sama. Prambanan adalah nama desa tempat candi itu
berdiri. Rara Jonggrang adalah legenda rakyat setempat yang terkait candi
tersebut. Sedangkan Siwagrha (Sanskerta: "rumah Siwa") adalah nama
bangunan suci yang dipersembahkan untuk Siwa yang disebut dalam Prasasti
Siwagrha dan merujuk kepada candi yang sama. Berikut adalah sebagian kecil
candi-candi yang dapat diketahui kemungkinan nama aslinya:

Nama Candi Dusun dan Desa Nama Asli Nama Lain

Bayu (?) (berdasarkan


Angin Tempur, Keling, Jepara
warga)

Gunung Wukir
Siwalingga (?) (berdasarkan
(Jawa: "gunung Canggal, Kadiluwih
prasasti Canggal)
berukir")

Jinalaya
Bhumisambharabudhara (berdasarkan
(Sanskerta:"sepuluh prasasti
Bumisegoro,
Borobudur tingkatan kebajikan Karangtengah),
Borobudur
bodhisatwa", berdasarkan Budur
prasasti Tri Tepusan) berdasarkan
Nagarakretagama

60
Nama Candi Dusun dan Desa Nama Asli Nama Lain

Venuvana (Sanskerta:
Mendut Mendut, Mungkid "hutan bambu" berdasarkan
prasasti Karangtengah)

Pawon (Jawa:
Vajranala (?) (Sanskerta:
"dapur" atau "pa-
Bajranalan "api halilintar" berdasarkan
awu-an", tempat
nama desa)
abu)

Shivagrha
Rara Jonggrang
(Sanskerta:"rumah Siwa",
Prambanan Prambanan (legenda
berdasarkan prasasti
setempat)
Siwagrha)

Manjusrigrha
Sewu (Jawa:
(Sanskerta:"rumah
"seribu", terkait
Bener, Bugisan Manjusri", berdasarkan
legenda Rara
prasasti Kelurak dan
Jonggrang)
prasasti Manjusrigrha)

Ratu Boko (Jawa: Abhayagiri


"raja Boko", (Sanskerta:"gunung yang
Sambirejo
terkait legenda aman dari bahaya", prasasti
Rara Jonggrang) Abhayagiri Wihara)

Tara<grha> (?)
(berdasarkan
Kalaça (nama desa
prasasti Kalasan
Kalasan Kalibening, Kalasan berdasarkan prasasti
candi ini
Kalasan)
dipersembahkan
untuk dewi Tara)

Penataran Penataran, Nglegok Palah (Nagarakretagama)

61
Nama Candi Dusun dan Desa Nama Asli Nama Lain

Jawi Candi Wates, Prigen Jajawa (Nagarakretagama)

Jago Tumpang Jajaghu (Nagarakretagama)

Çrenggapura atau Sri


Ranggapura
Bajang Ratu (Sanskerta:"Istana Sri
(Jawa:"raja Temon, Trowulan Rangga", berdasarkan
cacat") Nagarakretagama,
pedharmaan raja
Jayanegara)

Vajrajinaparamitapura
(Sanskerta:"Istana Wajra
Sajabung
Jabung Jabung, Paiton Jina (Buddha) Paramita",
(Pararaton)
ber-
dasarkanNagarakretagama)

(hanacaraka:,ejaan bahasa
Cetho Gumeng,Karanganyar
Jawa latin: cethå)

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Candi

Nama – nama candi yang terkenal di Indonesia :


1. Candi Angin
Menurut cerita tutur yang diyakini oleh masyarakat setempat,candi
angin terletak didukuh petung desa tempurini,dibangun untuk tempat
peribadatan umat Hindu yang ada diujung utara pulau jawa,pada zaman ratu
shima.Candi ini dibangun jauh sebelum candi Borobudur.Candi ini
merupakan tempat untuk menyembah dewa angin yang dalam jagad
pewayangan dikenal sebagai dewa bayu.
Penempatan candi angin yang letaknya kurang lebih 1500 meter
diatas permukaan laut ini konon diyakini sebagai usaha untuk mendekatkan

62
diri pada dewa yang disembah/Yang Maha Kuasa.Karena letaknya yang
tinggi serta tiupan angin kencang setiap saat membuat candi ini
hancur/bubrah.Ada yang beranggapan kerusakan candi ini kemungkinan
disebabkan oleh gempa bumi.Walaupun tidak ada ornamen Hindu Budha
dalam bentuk ukiran batu,candi angin dibangun dengan teratur dan ada
pembagian ruang.Ada tempat yang rendah dan tinggi.Artinya ada ruang-
ruang /tingkatan tertentu untuk pemujaan para dewa yang disembah.Candi
angin adalah candi yang bubrah atau hancur dan tidak pernah dikunjungi
oleh orang karena letaknya yang tinggi.Ketika diketemukan beberapa
petilasan berupa tiga makam dan juga benda-benda bersejarah seperti
patung kecil yang terbuat dari tanah.Sampai sekarang tidak diketahui siapa
yang dimakamkan ditempat itu.Orang sering datang ke candi pada bulan
Syuro hingga maulud. Orang yang memohon sesuatu dan doanya
terkabulkan,biasanya akan kembali lagi ke candi angin membawa ketupat-
lepet sebagai tanda terima kasih dan tanda syukur.

Gambar 1. Candi Angin

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Angin

63
2. Candi Gunung Wukir
Candi Gunung Wukir atau Candi Canggal adalah candi Hindu yang
berada di dusun Canggal, kalurahan Kadiluwih, kecamatan Salam,
Magelang, Jawa Tengah. Candi ini tepatnya berada di atas bukit Gunung
Wukir dari lereng gunung Merapi pada perbatasan wilayah Jawa Tengah dan
Yogyakarta. Menurut perkiraan, candi ini merupakan candi tertua yang
dibangun pada saat pemerintahan raja Sanjaya dari zaman Kerajaan Mataram
Kuno, yaitu pada tahun 732 M (654 tahun Saka).
Kompleks dari reruntuhan candi ini mempunyai ukuran 50 m x 50
m terbuat dari jenis batu andesit, dan di sini pada tahun 1879 ditemukan
prasasti Canggal yang banyak kita kenal sekarang ini. Selain prasasti
Canggal, dalam candi ini dulu juga ditemukan altar yoni, patung lingga
(lambang dewa Siwa), dan arca lembu betina atau Andini.

Gambar 2. Candi Gunung Wukir

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_gunungwukir

3. Candi Borobudur
Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur,
Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100
km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan

64
40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan
oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi
pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau
kuil Buddha terbesar di dunia, sekaligus salah satu monumen Buddha
terbesar di dunia.
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang
diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan
2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Borobudur
memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia. Stupa
utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini,
dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya
terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna
dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-
14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta
mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan
bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang
saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu
Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan
pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga
1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian
situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan;
tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan
mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak.
Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di
Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.

65
Gambar 3. Candi Borobudur

4. Candi Mendut
Candi Mendut adalah sebuah candi bercorak Buddha. Candi yang
terletak di Jalan Mayor Kusen Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah ini, letaknya berada sekitar 3 kilometer dari candi Borobudur.
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari
dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824
Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci
bernama wenuwana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli
arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan
Candi Mendut.
Bahan bangunan candi sebenarnya adalah batu bata yang ditutupi
dengan batu alam. Bangunan ini terletak pada sebuah basement yang tinggi,
sehingga tampak lebih anggun dan kokoh. Tangga naik dan pintu masuk
menghadap ke barat-daya. Di atas basement terdapat lorong yang
mengelilingi tubuh candi. Atapnya bertingkat tiga dan dihiasi dengan stupa-
stupa kecil. Jumlah stupa-stupa kecil yang terpasang sekarang adalah 48
buah. Tinggi bangunan adalah 26,4 meter.

66
Gambar 4. Candi Mendut

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Mendut

5. Candi Pawon
Candi Pawon terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur,
Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Candi yang mempunyai nama
lain Candi Brajanalan ini lokasinya sekitar 2 km ke arah timur laut dari
Candi Barabudhur dan 1 km ke arah tenggara dari Candi Mendut. Letak
Candi Mendut, Candi Pawon dan Candi Barabudhur yang berada pada satu
garis lurus mendasari dugaan bahwa ketiga candi Buddha tersebut
mempunyai kaitan yang erat. Selain letaknya, kemiripan motif pahatan di
ketiga candi tersebut juga mendasari adanya keterkaitan di antara ketiganya.
Poerbatjaraka, bahkan berpendapat bahwa candi Pawon merupakan upa
angga (bagian dari) Candi Barabudhur.
Menurut Casparis, Candi Pawon merupakan tempat penimpanan abu
jenazah Raja Indra ( 782 - 812 M ), ayah Raja Samarrattungga dari Dinasti
Syailendra. Nama "Pawon" sendiri, menurut sebagian orang, berasal dari
kata pawuan yang berarti tempat menyimpan awu (abu). Dalam ruangan di

67
tubuh Candi Pawon, diperkirakan semula terdapat Arca Bodhhisatwa,
sebagai bentuk penghormatan kepada Raja Indra yang dianggap telah
mencapai tataran Bodhisattva, maka dalam candi ditempatkan arca
Bodhisatwva. Dalam Prasasti Karang Tengah disebutkan bahwa arca
tersebut mengeluarkan wajra (sinar). Pernyataan tersebut menimbulkan
dugaan bahwa arca Bodhisattwa tersebut dibuat dari perunggu.
Batur candi setinggi sekitar 1,5 m berdenah dasar persegi empat,
namun tepinya dibuat berliku-liku membentuk 20 sudut. Dinding batur
dihiasi pahatan dengan berbagai motif, seperti bunga dan sulur-suluran.
Berbeda dengan candi Buddha pada umumnya, bentuk tubuh Candi Pawon
ramping seperti candi Hindu.

Gambar 5. Candi Pawon

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Sewu

6. Candi Prambanan

Berdiri di bawah Candi Hindu terbesar di Asia Tenggara ini selarik


puisi tiba-tiba terlintas di benak. Candi Prambanan yang dikenal juga sebagai

68
Candi Roro Jonggrang ini menyimpan suatu legenda yang menjadi bacaan
pokok di buku-buku ajaran bagi anak-anak sekolah dasar. Kisah Bandung
Bondowoso dari Kerajaan Pengging yang ingin memperistri dara cantik
bernama Roro Jonggrang. Si putri menolak dengan halus. Ia
mempersyaratkan 1000 candi yang dibuat hanya dalam waktu semalam.
Bandung yang memiliki kesaktian serta merta menyetujuinya. Seribu candi
itu hampir berhasil dibangun bila akal licik sang putri tidak ikut campur.
Bandung yang kecewa lalu mengutuk Roro Jonggrang menjadi arca, yang
diduga menjadi arca Batari Durga di salah satu candi.

Gambar 6. Candi Prambanan

7. Candi Sewu
Candi Sewu atau Manjusrighra adalah candi Buddha yang dibangun
pada abad ke-8 yang berjarak hanya delapan ratus meter di sebelah utara
Candi Prambanan. Candi Sewu merupakan kompleks candi Buddha terbesar
kedua setelah Candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi Sewu berusia lebih
tua daripada Candi Borobudur dan Prambanan. Meskipun aslinya memiliki
249 candi, oleh masyarakat setempat candi ini dinamakan "Sewu" yang
berarti seribu dalam bahasa Jawa. Penamaan ini berdasarkan kisah legenda
Loro Jonggrang. Secara administratif, kompleks Candi Sewu terletak di

69
Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten,
Provinsi Jawa Tengah.
Kompleks candi Sewu adalah kumpulan candi Buddha terbesar di
kawasan sekitar Prambanan, dengan bentang ukuran lahan 185 meter utara-
selatan dan 165 meter timur-barat. Pintu masuk kompleks dapat ditemukan
di keempat penjuru mata angin, tetapi mencermati susunan bangunannya,
diketahui pintu utama terletak di sisi timur. Tiap pintu masuk dikawal oleh
sepasang arca Dwarapala. Arca raksasa penjaga berukuran tinggi sekitar 2,3
meter ini dalam kondisi yang cukup baik, dan replikanya dapat ditemukan di
Keraton Yogyakarta.
Aslinya terdapat 249 bangunan candi di kompleks ini yang disusun
membentuk mandala wajradhatu, perwujudan alam semesta dalam
kosmologi Buddha Mahayana. Selain satu candi utama yang terbesar, pada
bentangan poros tengah, utara-selatan dan timur-barat, pada jarak 200 meter
satu sama lain, antara baris ke-2 dan ke-3 candi Perwara (pengawal) kecil
terdapat 8 Candi Penjuru, candi-candi ini ukurannya kedua terbesar setelah
candi utama. Aslinya di setiap penjuru mata angin terdapat masing-masing
sepasang candi penjuru yang saling berhadapan, tetapi kini hanya candi
penjuru kembar timur dan satu candi penjuru utara yang masih utuh.
Berdasarkan penelitian fondasi bangunan, diperkirakan hanya satu candi
penjuru di utara dan satu candi penjuru di selatan yang sempat dibangun,
keduanya menghadap timur. Itu berarti mungkin memang candi penjuru
utara sisi timur dan penjuru uselatan sisi timur memang tidak pernah (tidak
sempat) dibangun untuk melengkapi rancangan awalnya.

70
Gambar 7. Candi Sewu

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Sewu

8. Candi Ratu Boko


Candi Boko (bahasa Jawa: Candhi Ratu Baka) adalah situs
purbakala yang merupakan kompleks sejumlah sisa bangunan yang berada
kira-kira 3 km di sebelah selatan dari kompleks Candi Prambanan, 18 km
sebelah timur Kota Yogyakarta atau 50 km barat daya Kota Surakarta, Jawa
Tengah, Indonesia. Situs Ratu Baka terletak di sebuah bukit pada ketinggian
196 meter dari permukaan laut. Luas keseluruhan kompleks adalah sekitar
25 ha.
Situs ini menampilkan atribut sebagai tempat berkegiatan atau situs
pemukiman, namun fungsi tepatnya belum diketahui dengan jelas. Ratu
Boko diperkirakan sudah dipergunakan orang pada abad ke-8 pada masa
Wangsa Sailendra (Rakai Panangkaran) dari Kerajaan Medang (Mataram
Hindu). Dilihat dari pola peletakan sisa-sisa bangunan, diduga kuat situs ini
merupakan bekas keraton (istana raja). Pendapat ini berdasarkan pada
kenyataan bahwa kompleks ini bukan candi atau bangunan dengan sifat
religius, melainkan sebuah istana berbenteng dengan bukti adanya sisa

71
dinding benteng dan parit kering sebagai struktur pertahanan. Sisa-sisa
permukiman penduduk juga ditemukan di sekitar lokasi situs ini.
Nama "Ratu Baka" berasal dari legenda masyarakat setempat. Ratu
Baka (bahasa Jawa, arti harafiah: "raja bangau") adalah ayah dari Loro
Jonggrang, yang juga menjadi nama candi utama pada kompleks Candi
Prambanan. Kompleks bangunan ini dikaitkan dengan legenda rakyat
setempat Loro Jonggrang

Gambar 8. Candi Ratu Boko

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Situs_Ratu_Baka

9. Candi Kalasan
Candi Kalibening merupakan sebuah candi yang dikategorikan
sebagai candi umat Buddha terdapat di desa Kalasan, kabupaten Sleman,
provinsi Yogyakarta, Indonesia. Candi ini memiliki 52 stupa dan berada di
sisi jalan raya antara Yogyakarta dan Solo serta sekitar 2 km dari candi
Prambanan.
Pada awalnya hanya candi Kalasan ini yang ditemukan pada
kawasan situs ini, namun setelah digali lebih dalam maka ditemukan lebih
banyak lagi bangunan bangunan pendukung di sekitar candi ini. Selain candi

72
Kalasan dan bangunan - bangunan pendukung lainnya ada juga tiga buah
candi kecil di luar bangunan candi utama, berbentuk stupa.
Berdasarkan prasasti Kalasan bertarikh 778 yang ditemukan tidak
jauh dari candi ini menyebutkan tentang pendirian bangunan suci untuk
menghormati Bodhisattva wanita, Tarabhawana dan sebuah vihara untuk
para pendeta. Penguasa yang memerintah pembangunan candi ini bernama
Maharaja Tejapurnapana Panangkaran (Rakai Panangkaran) dari keluarga
Syailendra. Kemudian dengan perbandingan dari manuskrip pada prasasti
Kelurak tokoh ini dapat diidentifikasikan dengan Dharanindra atau dengan
prasasti Nalanda adalah ayah dari Samaragrawira. Sehingga candi ini dapat
menjadi bukti kehadiran Wangsa Syailendra, penguasa Sriwijaya di
Sumatera atas Jawa.
Dalam Prasasti Kalasan berhuruf Pre Nagari, berbahasa Sanksekerta
ini menyebutkan para guru sang raja Tejapurnapana Panangkaran dari
keluarga Syailaendra berhasil membujuk raja untuk membuat bangunan suci
bagi Dewi Tara beserta biaranya bagi para pendera sebagai hadiah dari
Sangha.
Profesor Dr Casparis. menafsir berdasarkan prasasti Kalasan itu,
Candi Kalasan dibangun bersama antara Budha dan Hindu. Sementara itu
Van Rumond, sejarahwan dari Belanda meyakini bahwa di situs yang sama
pernah ada bangunan suci lain yang umurnya jauh lebih tua dibanding Candi
Kalasan, sesuai hasil penelitian yang dilakukannya pada tahun 1928.
Bangunan suci itu berbentu wihara yang luasnya 45 x 45 meter. Ini berarti
bangunan candi mengalami tiga kali perbaikan. Sebagai bukti, menurutnya,
terdapat empat sudut kaki candi dengan bagian yang menonjol.
Pada bagian selatan candi terdapat dua relief Bodhisattva,
sementara pada atapnya terdiri dari 3 tingkat. Atap paling atas terdapat 8
ruang, atap tingkat dua berbentuk segi 8, sedangkan atap paling bawah
sebangun dengan candi berbentuk persegi 20 yang dilengkapi kamar-kamar
setiap sisinya.

73
Gambar 9. Candi Kalasan

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Kalasan

10. Candi Penataran


Candi Panataran atau nama aslinya adalah Candi Palah adalah
sebuah gugusan candi bersifat keagamaan Hindu Siwaitis yang terletak di
Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Candi termegah dan terluas di Jawa Timur ini terletak di lereng barat daya
Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar, pada ketinggian 450 meter di atas
permukaan laut. Dari prasasti yang tersimpan di bagian candi diperkirakan
candi ini dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kadiri sekitar
tahun 1200 Masehi dan berlanjut digunakan sampai masa pemerintahan
Wikramawardhana, Raja Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1415.
Dalam kitab Desawarnana atau Nagarakretagama yang ditulis pada
tahun 1365, Candi ini disebut sebagai bangunan suci "Palah" yang
dikunjungi Raja Hayam Wuruk dalam perjalanan kerajaan bertamasya
keliling Jawa Timur. Pada tahun 1995 candi ini diajukan sebagai calon
Situs Warisan Dunia UNESCO.

74
Gambar 10. Candi Penataran

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Penataran

11. Candi Jawi


Candi Jawi (nama asli: Jajawa) adalah candi yang dibangun sekitar abad
ke-13 dan merupakan peninggalan bersejarah Hindu-Buddha Kerajaan Singhasari
yang terletak di terletak di kaki Gunung Welirang, tepatnya di Desa Candi Wates,
Kecamatan Prigen, Pasuruan, Jawa Timur, Indonesia, sekitar 31 kilometer dari
kota Pasuruan. Candi ini terletak di pertengahan jalan raya antara Kecamatan
Pandaan - Kecamatan Prigen dan Pringebukan. Candi Jawi banyak dikira sebagai
tempat pemujaan atau tempat peribadatan Buddha, namun sebenarnya merupakan
tempat pedharmaan atau penyimpanan abu dari raja terakhir Singhasari,
Kertanegara. Sebagian dari abu tersebut juga disimpan pada Candi
Singhasari. Kedua candi ini ada hubungannya dengan Candi Jago yang merupakan
tempat peribadatan Raja Kertanegara.
Candi Jawi menempati lahan yang cukup luas, sekitar 40 x 60 meter
persegi, yang dikelilingi oleh pagar bata setinggi 2 meter. Bangunan candi
dikelilingi oleh parit yang saat ini dihiasi oleh bunga teratai. Bentuk candi berkaki
Siwa, berpundak Buddha. Ketinggian candi ini sekitar 24,5 meter dengan panjang
14,2 m dan lebar 9,5 m. Bentuknya tinggi ramping seperti Candi Prambanan di
Jawa Tengah dengan atap yang bentuknya merupakan paduan antara stupa dan

75
kubus bersusun yang meruncing pada puncaknya. Pintunya menghadap ke timur.
Posisi pintu ini oleh sebagian ahli dipakai alasan untuk mempertegas bahwa candi
ini bukan tempat pemujaan atau pradaksina (upacara penghormatan terhadap
dewa, disebut Dewayadnya atau dewayajña), karena biasanya candi untuk
peribadatan menghadap ke arah gunung, tempat yang dipercaya sebagai tempat
persemayaman kepada Dewa. Candi Jawi justru membelakangi Gunung
Penanggungan. Sementara ahli lain ada pula yang beranggapan bahwa candi ini
tetaplah candi pemujaan, dan posisi pintu yang tidak menghadap ke gunung
karena pengaruh dari ajaran Buddha.

Gambar 11. Candi Jawi


Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Jawi

12. Candi Jago


Candi Jago berasal dari kata "Jajaghu", didirikan pada masa
Kerajaan Singhasari pada abad ke-13. Berlokasi di Kecamatan Tumpang,
Kabupaten Malang, atau sekitar 22 km dari Kota Malang.
Candi ini cukup unik, karena bagian atasnya hanya tersisa sebagian
dan menurut cerita setempat karena tersambar petir. Relief-relief
Kunjarakarna dan Pancatantra dapat ditemui di candi ini. Sengan
keseluruhan bangunan candi ini tersusun atas bahan batu andesit.

76
Arsitektur Candi Jago disusun seperti teras punden berundak.
Keseluruhannya memiliki panjang 23,71 m, lebar 14 m, dan tinggi 9,97 m.
Bangunan Candi Jago nampak sudah tidak utuh lagi; yang tertinggal pada
Candi Jago hanyalah bagian kaki dan sebagian kecil badan candi. Badan
candi disangga oleh tiga buah teras. Bagian depan teras menjorok dan
badan candi terletak di bagian teras ke tiga. Atap dan sebagian badan candi
telah terbuka. Secara pasti bentuk atap belum diketahui, namun ada dugaan
bahwa bentuk atap Candi Jago menyerupai Meru atau Pagoda.
Pada dinding luar kaki candi dipahatkan relief-relief cerita
Kresnayana, Parthayana, Arjunawiwaha, Kunjarakharna, Anglingdharma,
serta cerita fabel. Untuk mengikuti urutan cerita relief Candi Jago kita
berjalan mengelilingi candi searah putaran jarum jam (pradaksiana).

Gambar 12. Candi Jago

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Jago

13. Candi Bajang Ratu


Candi Bajang Ratu atau disebut juga sebagai Gapura Bajang Ratu
merupakan salah satu peninggalan Majapahit yang hingga kini masih
berdiri kokoh di Trowulan, Mojokerto. Candi ini terletak di desa Temon,
kecamatan Trowulan, Mojokerto. Jaraknya kurang lebih 500 meter dari
Candi Tikus.

77
Menurut sejarah, candi ini berfungsi sebagai pintu masuk ke dalam
bangunan suci untuk memperingati meninggalnya raja Jayanegara.
diperkirakan dibangun pada abad ke 14, bangunan ini merupakan salah satu
gapura (pintu masuk) terbesar pada jaman keemasan Majapahit. Lokasi
Candi ini sangat mudah dijangkau yang ingin berkunjung. Jarak candi dari
jalan Mojokerto-Jombang hanya sekitar 4 kilometer saja. Untuk mencapai
lokasi Candi Bajang Ratu, traveler harus berkendara sejauh kurang lebih
200 atau 300 meter ke arah selatan, kemudian belok kiri menuju kearah
timur di perempatan Dukuh Ngliguk.

Gambar 13. Candi Bajang Ratu

Sumber : https://andstory.wordpress.com/2014/02/19/candi-bajang-ratu-sedikit-cerita/

14. Candi Jabung


Candi Jabung adalah salah satu candi hindu peninggalan
kerajaan Majapahit. Candi hindu ini terletak di Desa Jabung, Kecamatan
Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Struktur bangunan candi
yang hanya dari bata merah ini mampu bertahan ratusan tahun. Menurut
keagamaan, Agama Budha dalam kitab Nagarakertagama Candi Jabung di
sebutkan dengan nama Bajrajinaparamitapura. Dalam kitab
Nagarakertagama candi Jabung dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk pada
lawatannya keliling Jawa Timur pada tahun 1359 Masehi. Pada kitab

78
Pararaton disebut Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhre Gundal salah
seorang keluarga raja. Arsitektur bangunan candi ini hampir serupa dengan
Candi Bahal yang ada di Bahal, Sumatera Utara.
Candi Jabung berdiri di sebidang tanah berukuran 35 meter x
40 meter. Pemugaran secara fisik pada tahun 1983-1987, penataan
lingkungan luasnya bertambah 20,042 meter persegi dan terletak pada
ketinggian 8 meter di atas permukaan air laut. Situs terdiri dari dua
bangunan utama yang terdiri atas satu bangunan besar dan yang satu
bangunan kecil dan biasa disebut "Candi Sudut". Yang menarik adalah
material bangunan candi yang tersusun dari batu bata merah berkualitas
tinggi yang diukir untuk membentuk relief.
Bangunan terbuat dari batu bata dan ukuran candi Jabung
adalah panjang 13,13 meter, lebar 9,60 meter dan tinggi 16,20 meter. Candi
Jabung menghadap ke arah Barat, pada sisi barat menjorok ke depan,
merupakan bekas susunan tangga naik memasuki Candi. Disebelah Barat
Daya halaman candi terdapat bangunan candi kecil. Menara sudut di
perkirakan penjuru pagar, fungsinya sebagai pelengkap bangunan induk
Candi Jabung. Candi Menara sudut terbuat dari bahan batu bata, bangunan
candi tersebut berukuran tiap-tiap sisi 2,55 meter, tinggi 6 meter. Arsitektur
Candi Jabung sangat menarik, terdiri atas bagian batur, kaki, tubuh dan
atap, pada bagian tubuh bentuknya bulat (silinder segi delapan ) berdiri di
atas bagian kaki candi yang betingkat tiga berbentuk persegi. Sedangkan
pada bagian atapnya dagoda (stupa) tetapi pada bagian puncak sudah
runtuh dan atapnya berhias motif sulur-suluran. Di dalam bilik candi
terdapat lapik arca, berdasarkan inskripsi pada gawang pintu masuk candi
Jabung didirikan tahun 1276 saka (1354 Masehi) pada masa awal
pemerintahan Raja Hayam Wuruk.

79
Gambar 14. Candi Jabung
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Jabung

15. Candi Cetho

Candi Cetho merupakan sebuah candi bercorak agama Hindu


peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit (abad ke-15). Laporan
ilmiah pertama mengenainya dibuat oleh Van de Vlies pada 1842. A.J.
Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi
(penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali pada
tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya
ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang tidak jauh
dengan Candi Sukuh. Lokasi candi berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng,
Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, pada ketinggian 1400m di
atas permukaan laut.
Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari
sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi
bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama
setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa

80
halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur
masyarakat Dusun Cetho.

Gambar. 15 Candi Cetho

H. Nama-Nama Candi di Sumatera Selatan

1. Candi Bumiayu
Candi Bumi Ayu merupakan salah satu situs peninggalan agama
Hindu yang terdapat di pesisir sungai lematang, di hilir desa siku sebagai
desa paling hilir dari kecamatan rambang dangku masih kawasan Kabupaten
Muara Enim Propinsi Sumatera Selatan. dengan kata lain suksesnya candi
bumi ayu sebagai tujuan wisata akan berpengaruh pada perkembangan
rambang dangku.
Candi-candi di Bumi ayu merupakan death monument, artinya
monumen yang telah ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Candi tersebut
ditinggalkan mungkin seiring dengan terdesaknya kekuatan politik Hindu
oleh Islam pada sekitar abad ke-16. Kemudian candi-candi itu rusak dan
terkubur tanah hingga ditemukan kembali oleh E.P. Tombrink tahun 1864.

81
Tinggalan monumental itu beserta sistem budayanya benar-benar hilang pula
dari ingatan kolektif pewarisnya. Hal itu tampak bahwa penduduk Bumi ayu
tidak mengenal fungsinya semula. Cerita penduduk yang dicatat oleh A.J.
Knaap tahun 1902 menyatakan bahwa apa yang sekarang disebut candi di
Bumi ayu itu adalah bekas istana sebuah kerajaan yang disebut Gedebong
Undang. Diceritakan pula bahwa wilayah kerajaan tersebut sampai di
Modong dan Babat. F.M. Schnitger melaporkan bahwa di kedua desa
tersebut terdapat pula tinggalan agama Hindu (1934:4), namun kini telah
hilang terkena erosi Sungai Lematang.
Penduduk Bumiayu tidak mengenal pula kata “candi” sebelum ada
kegiatan penelitian, perlindungan, dan pemeliharaan di situs tersebut. Kata
“candi” diambil dari bahasa Jawa untuk menggantikan kata “kuil” dari
agama Hindu atau Budha. Namun, orang Jawa yang mewarisi puluhan
candi-candi itu pun tidak mengenal lagi pengertian dan fungsi candi yang
sebenarnya. Mereka menganggap candi sebagai bangunan pemakaman atau
penanaman abu jenazah, bukan kuil dewa Hindu atau Budha.
Candi ini merupakan satu-satunya Kompleks Percandian di
Sumatera Selatan, sampai saat ini tidak kurang 9 buah bangunan Candi yang
telah ditemukan dan 4 diantaranya telah dipugar, yaitu Candi 1, Candi 2,
Candi 3 dan Candi 8. Usaha pelestarian ini telah dimulai pada tahun 1990
sampai sekarang, dengan didukung oleh dana APBN. Walaupun demikian
peran serta Pemerintah Kabupaten Muara Enim cukup besar, antara lain
Pembangunan Jalan, Pembebasan Tanah dan Pembangunan Gedung
Museum Lapangan. Percandian Bumiayu meliputi lahan seluas 75,56 Ha,
dengan batas terluar berupa 7 (tujuh) buah sungai parit yang sebagian sudah
mengalami pendangkalan.
Baru baru ini sedang dibangun dan diperlebar jalan dari teluk lubuk
menuju tanah abang yang melewati bebarapa desa di daerah rambang
dangku di sepanjang aliran sungai lematang sebagai salah satu akses menuju
kawasan candi bumi ayu.

82
Objek Wisata Candi Bumi Ayu terletak di Desa Bumiayu
Kecamatan Tanah Abang jarak antara kota Muara Enim sekitar 85 Km
ditempuh dengan kendaraan darat.
Candi Bumi Ayu pada saat ini masih dalam proses pengkajian dan
pemugaran, sehingga belum banyak informasi yang dapat diketahui,
sedangkan informasi tertulis dari Candi tersebut masih dalam proses
dipahami oleh Tim Pengkajian Peninggalan Purbakala Propinsi Sumatera
Selatan.

Gambar 1. Candi Bumiayu

Sumber : http://indonesian-story.com/kunjungan/situs-peninggalan-sejarah-candi-bumiayu/

2. Candi Kedukan Bukit


Ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di
Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, di
tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi, berangka tahun 605 Saka/683
Masehi. Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm, ditulis dalam
aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuna. Isi prasasti Kedukan Bukit
menceritakan tentang siddhayatra (pawai kemenangan) yang dilakukan oleh

83
Dapunta Hyang, bersama lebih dari 20.000 prajurit, atas ditaklukkannya Melayu
oleh Sriwijaya. Pada bagian terakhir prasasti, terdapat kata “jayasiddhayatra”
yang berarti “perjalanan jaya”.

ISI PRASASTI
§ svasti śrī śakavaŕşātīta 605 (604 ?) ekādaśī śu
§ klapakşa vulan vaiśākha dapunta hiya<m> nāyik di
§ sāmvau mangalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa
§ apunta hiyavulan jyeşţha d<m> maŕlapas dari minānga
§ vala dualakşa dangan ko-(sa)tāmvan mamāva yam
§ duaratus cāra di sāmvau dangan jālan sarivu
§ di mata japtlurātus sapulu dua vañakña dātam
§ sukhacitta di pañcamī śuklapakşa vula<n>…
§ marvuat vanua…laghu mudita dātam
§ śrīvijaya jaya siddhayātra subhikşa…
TERJEMAHAN

 Selamat ! Tahun Śaka telah lewat 604, pada hari ke sebelas


 paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang naik di
 sampan mengambil siddhayātra. Di hari ke tujuh paro-terang
 bulan Jyestha Dapunta Hiyang berlepas dari Minanga
 tambahan membawa bala tentara dua laksa dengan perbekalan
 dua ratus cara (peti) di sampan dengan berjalan seribu
 tiga ratus dua belas banyaknya 84ating di mata jap (Mukha Upang)
 sukacita. Di hari ke lima paro-terang bulan….(Asada)
 lega gembira 84ating membuat wanua….
 Śrīwijaya jaya, siddhayātra sempurna….

84
Gambar 1. Candi Kedukan Bukit

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Kedukan_Bukit

I. Gaya Arsitektur Candi

Soekmono, seorang arkeolog terkemuka di Indonesia, mengidentifikasi


perbedaan gaya arsitektur (langgam) antara candi Jawa tengah dengan candi
Jawa Timur. Langgam Jawa Tengahan umumnya adalah candi yang berasal dari
sebelum tahun 1000 masehi, sedangkan langgam Jawa Timuran umumnya
adalah candi yang berasal dari sesudah tahun 1000 masehi. Candi-candi di
Sumatera dan Bali, karena kemiripannya dikelompokkan ke dalam langgam
Jawa Timur.

Bagian dari Langgam Jawa


Langgam Jawa Timur
Candi Tengah

Bentuk
Cenderung tambun Cenderung tinggi dan ramping
bangunan

Atap Jelas menunjukkan Atapnya merupakan kesatuan tingkatan.

85
Bagian dari Langgam Jawa
Langgam Jawa Timur
Candi Tengah

undakan, umumnya Undakan-undakan kecil yang sangat


terdiri atas 3 banyak membentuk kesatuan atap yang
tingkatan melengkung halus. Atap ini menimbulkan
ilusi perspektif sehingga bangunan
berkesan lebih tinggi

Stupa (candi
Kubus (kebanyakan candi Hindu),
Kemuncak atau Buddha), Ratna,
terkadang Dagoba yang berbentuk tabung
mastaka Wajra, atau Lingga
(candi Buddha)
Semu (candi Hindu)

Gaya Kala-Makara;
kepala Kala dengan
mulut menganga
Gawang pintu tanpa rahang bawah Hanya kepala Kala tengah menyeringai
dan hiasan terletak di atas pintu, lengkap dengan rahang bawah terletak di
relung terhubung dengan atas pintu, Makara tidak ada
Makara ganda di
masing-masing sisi
pintu

Ukiran lebih tinggi


Ukiran lebih rendah (tipis) dan kurang
dan menonjol
Relief menonjol, gambar bergaya seperti wayang
dengan gambar
Bali
bergaya naturalis

Undakan jelas, Undakan kaki lebih banyak, terdiri atas


biasanya terdiri atas beberapa bagian batur-batur yang
Kaki
satu bagian kaki membentuk kaki candi yang mengesankan
kecil dan satu bagian ilusi perspektif agar bangunan terlihat

86
Bagian dari Langgam Jawa
Langgam Jawa Timur
Candi Tengah

kaki lebih besar. lebih tinggi. Peralihan antara kaki dan


Peralihan antara tubuh lebih halus dengan selasar keliling
kaki dan tubuh jelas tubuh candi lebih sempit
membentuk selasar
keliling tubuh candi

Mandala konsentris,
simetris, formal;
dengan candi utama Linear, asimetris, mengikuti topografi
terletak tepat di (penampang ketinggian) lokasi; dengan
Tata letak dan tengah halaman candi utama terletak di belakang, paling
lokasi candi kompleks candi, jauh dari pintu masuk, dan seringkali
utama dikelilingi jajaran terletak di tanah yang paling tinggi dalam
candi-candi perwara kompleks candi, candi perwara terletak di
yang lebih kecil depan candi utama
dalam barisan yang
rapi

Arah hadap Kebanyakan


Kebanyakan menghadap ke barat
bangunan menghadap ke timur

Bahan Kebanyakan batu


Kebanyakan bata merah
bangunan andesit

Pembangunan candi dibuat berdasarkan beberapa ketentuan yang


terdapat dalam suatu kitab Vastusastra atau Silpasastra yang dikerjakan oleh
silpin yaitu seniman yang membuat candi (arsitek zaman dahulu). Salah satu
bagian dari kitab Vastusastra adalah Manasara yang berasal dari India Selatan,

87
yang tidak hanya berisi pedoman-pedoman membuat kuil beserta seluruh
komponennya saja, melainkan juga arsitektur profan, bentuk kota, desa,
benteng, penempatan kuil-kuil di kompleks kota dan desa.

1. Lokasi
Kitab-kitab ini juga memberikan pedoman mengenai pemilihan
lokasi tempat candi akan dibangun. Hal ini terkait dengan pembiayaan candi,
karena biasanya untuk pemeliharaan candi maka ditentukanlah tanah sima,
yaitu tanah swatantra bebas pajak yang penghasilan panen berasnya
diperuntukkan bagi pembangunan dan pemeliharaan candi. Beberapa
prasasti menyebutkan hubungan antara bangunan suci dengan tanah sima ini.
Selain itu pembangunan tata letak candi juga seringkali memperhitungkan
letak astronomi (perbintangan).

Beberapa ketentuan dari kitab selain Manasara namun sangat penting


di Indonesia adalah syarat bahwa bangunan suci sebaiknya didirikan di dekat
air, baik air sungai, terutama di dekat pertemuan dua buah sungai, danau,
laut, bahkan kalau tidak ada harus dibuat kolam buatan atau meletakkan
sebuah jambangan berisi air di dekat pintu masuk bangunan suci tersebut.
Selain di dekat air, tempat terbaik mendirikan sebuah candi yaitu di puncak
bukit, di lereng gunung, di hutan, atau di lembah. Seperti kita ketahui, candi-
candi pada umumnya didirikan di dekat sungai, bahkan candi Borobudur
terletak di dekat pertemuan sungai Elo dan sungai Progo. Sedangkan candi
Prambanan terletak di dekat sungai Opak. Sebaran candi-candi di Jawa
Tengah banyak tersebar di kawasan subur dataran Kedu dan dataran Kewu.

2. Struktur
Kebanyakan bentuk bangunan candi meniru tempat tinggal para
dewa yang sesungguhnya, yaitu Gunung Mahameru. Oleh karena itu, seni
arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan berupa pola
yang menggambarkan alam Gunung Mahameru. Peninggalan-peninggalan

88
purbakala, seperti bangunan-bangunan candi, patung-patung, prasasti-
prasasti, dan ukiran-ukiran pada umumnya menunjukkan sifat kebudayaan
Indonesia yang dilapisi oleh unsur-unsur Hindu-Budha. Pada hakikatnya,
bentuk candi-candi di Indonesia adalah punden berundak, dimana punden
berundak sendiri merupakan unsur asli Indonesia.
Berdasarkan bagian-bagiannya, bangunan candi terdiri atas tiga
bagian penting, antara lain, kaki, tubuh, dan atap :
a. Kaki candi merupakan bagian bawah candi. Bagian ini melambangkan
dunia bawah atau bhurloka. Pada konsep Buddha disebut kamadhatu.
Yaitu menggambarkan dunia hewan, alam makhluk halus seperti iblis,
raksasa dan asura, serta tempat manusia biasa yang masih terikat nafsu
rendah. Bentuknya berupa bujur sangkar yang dilengkapi dengan jenjang
pada salah satu sisinya. Bagian dasar candi ini sekaligus membentuk
denahnya, dapat berbentuk persegi empat atau bujur sangkar. Tangga
masuk candi terletak pada bagian ini, pada candi kecil tangga masuk
hanya terdapat pada bagian depan, pada candi besar tangga masuk
terdapat di empat penjuru mata angin. Biasanya pada kiri-kanan tangga
masuk dihiasi ukiran makara. Pada dinding kaki candi biasanya dihiasi
relief flora dan fauna berupa sulur-sulur tumbuhan, atau pada candi
tertentu dihiasi figur penjaga seperti dwarapala. Pada bagian tengah alas
candi, tepat di bawah ruang utama biasanya terdapat sumur yang
didasarnya terdapat pripih (peti batu). Sumur ini biasanya diisi sisa
hewan kurban yang dikremasi, lalu diatasnya diletakkan pripih. Di dalam
pripih ini biasanya terdapat abu jenazah raja serta relik benda-benda suci
seperti lembaran emas bertuliskan mantra, kepingan uang kuno, permata,
kaca, potongan emas, lembaran perak, dan cangkang kerang.

b. Tubuh candi adalah bagian tengah candi yang berbentuk kubus yang
dianggap sebagai dunia antara atau bhuwarloka. Pada konsep Buddha
disebut rupadhatu. Yaitu menggambarkan dunia tempat manusia suci

89
yang berupaya mencapai pencerahan dan kesempurnaan batiniah. Pada
bagian depan terdapat gawang pintu menuju ruangan dalam candi.
Gawang pintu candi ini biasanya dihiasi ukiran kepala kala tepat di atas-
tengah pintu dan diapit pola makara di kiri dan kanan pintu. Tubuh candi
terdiri dari garbagriha, yaitu sebuah bilik (kamar) yang ditengahnya
berisi arca utama, misalnya arca dewa-dewi, bodhisatwa, atau Buddha
yang dipuja di candi itu. Di bagian luar dinding di ketiga penjuru lainnya
biasanya diberi relung-relung yang berukir relief atau diisi arca. Pada
candi besar, relung keliling ini diperluas menjadi ruangan tersendiri
selain ruangan utama di tengah. Terdapat jalan selasar keliling untuk
menghubungkan ruang-ruang ini sekaligus untuk melakukan ritual yang
disebut pradakshina. Pada lorong keliling ini dipasangi pagar langkan,
dan pada galeri dinding tubuh candi maupun dinding pagar langkan
biasanya dihiasi relief, baik yang bersifat naratif (berkisah) atau pun
dekoratif (hiasan).

c. Atap candi adalah bagian atas candi yang menjadi simbol dunia atas atau
swarloka. Pada konsep Buddha disebut arupadhatu. Yaitu
menggambarkan ranah surgawi tempat para dewa dan jiwa yang telah
mencapai kesempurnaan bersemayam. Pada umumnya, atap candi terdiri
dari tiga tingkatan yang semakin atas semakin kecil ukurannya.
Sedangkan atap langgam Jawa Timur terdiri atas banyak tingkatan yang
membentuk kurva limas yang menimbulkan efek ilusi perspektif yang
mengesankan bangunan terlihat lebih tinggi. Pada puncak atap
dimahkotai stupa, ratna, wajra, atau lingga semu. Pada candi-candi
langgam Jawa Timur, kemuncak atau mastakanya berbentuk kubus atau
silinder dagoba. Pada bagian sudut dan tengah atap biasanya dihiasi
ornamen antefiks, yaitu ornamen dengan tiga bagian runcing penghias
sudut. Kebanyakan dinding bagian atap dibiarkan polos, akan tetapi pada
candi-candi besar, atap candi ada yang dihiasi berbagai ukiran, seperti

90
relung berisi kepala dewa-dewa, relief dewa atau bodhisatwa, pola hias
berbentuk permata atau kala, atau sulur-sulur untaian roncean bunga.

3. Tata Letak
Bangunan candi ada yang berdiri sendiri ada pula yang berkelompok.
Ada dua sistem dalam pengelompokan atau tata letak kompleks candi, yaitu:
a. Sistem konsentris, sistem gugusan terpusat; yaitu posisi candi induk
berada di tengah–tengah anak candi (candi perwara). Candi perwara
disusun rapi berbaris mengelilingi candi induk. Sistem ini dipengaruhi
tata letak denah mandala dari India. Contohnya kelompok Candi
Prambanan dan Candi Sewu.
b. Sistem berurutan, sistem gugusan linear berurutan; yaitu posisi candi
perwara berada di depan candi induk. Ada yang disusun berurutan
simetris, ada yang asimetris. Urutan pengunjung memasuki kawasan
yang dianggap kurang suci berupa gerbang dan bangunan tambahan,
sebelum memasuki kawasan tersuci tempat candi induk berdiri.
Sistem ini merupakan sistem tata letak asli Nusantara yang
memuliakan tempat yang tinggi, sehingga bangunan induk atau
tersuci diletakkan paling tinggi di belakang mengikuti topografi
alami ketinggian tanah tempat candi dibangun. Contohnya Candi
Penataran dan Candi Sukuh. Sistem ini kemudian dilanjutkan dalam
tata letak Pura Bali.

4. Bahan Bangunan
Bahan material bangunan pembuat candi bergantung kepada lokasi
dan ketersediaan bahan serta teknologi arsitektur masyarakat pendukungnya.
Candi-candi di Jawa Tengah menggunakan batu andesit, sedangkan candi-
candi pada masa Majapahit di Jawa Timur banyak menggunakan bata
merah. Demikian pula candi-candi di Sumatera seperti Biaro Bahal, Muaro

91
Jambi, dan Muara Takus yang berbahan bata merah. Bahan-bahan untuk
membuat candi antara lain:
a. Batu andesit, batu bekuan vulkanik yang ditatah membentuk kotak-kotak
yang saling kunci. Batu andesit bahan candi harus dibedakan dari batu
kali. Batu kali meskipun mirip andesit tapi keras dan mudah pecah jika
ditatah (sukar dibentuk). Batu andesit yang cocok untuk candi adalah
yang terpendam di dalam tanah sehingga harus ditambang di tebing bukit.
b. Batu putih (tuff), batu endapan piroklastik berwarna putih, digunakan di
Candi Pembakaran di kompleks Ratu Boko. Bahan batu putih ini juga
ditemukan dijadikan sebagai bahan isi candi, dimana bagian luarnya
dilapis batu andesit
c. Bata merah, dicetak dari lempung tanah merah yang dikeringkan dan
dibakar. Candi Majapahit dan Sumatera banyak menggunakan bata
merah.
d. Stuko (stucco), yaitu bahan semacam beton dari tumbukan batu dan pasir.
Bahan stuko ditemukan di percandian Batu Jaya.
e. Bajralepa (vajralepa), yaitu bahan lepa pelapis dinding candi semacam
plaster putih kekuningan untuk memperhalus dan memperindah sekaligus
untuk melindungi dinding dari kerusakan. Bajralepa dibuat dari campuran
pasir vulkanik dan kapur halus. Konon campuran bahan lain juga
digunakan seperti getah tumbuhan, putih telur, dan lain-lain. Bekas-bekas
bajralepa ditemukan di candi Sari dan candi Kalasan. Kini pelapis
bajralepa telah banyak yang mengelupas.
f. Kayu, beberapa candi diduga terbuat dari kayu atau memiliki komponen
kayu. Candi kayu serupa dengan Pura Bali yang ditemukan kini.
Beberapa candi tertinggal hanya batu umpak atau batur landasannya saja
yang terbuat dari batu andesit atau bata, sedangkan atasnya yang terbuat
dari bahan organik kayu telah lama musnah. Beberapa dasar batur di
Trowulan Majapahit disebut candi, meskipun sesungguhnya merupakan
landasan pendopo yang bertiang kayu. Candi Sambisari dan candi

92
Kimpulan memiliki umpak yang diduga candi induknya dinaungi
bangunan atap kayu. Beberapa candi seperti Candi Sari dan Candi
Plaosan memiliki komponen kayu karena pada struktur batu ditemukan
bekas lubang-lubang untuk meletakkan kayu gelagar penyangga lantai
atas, serta lubang untuk menyisipkan daun pintu dan jeruji jendela.

Meskipun demikian terdapat beberapa pengecualian dalam


pengelompokkan langgam candi ini. Sebagai contoh candi Penataran, Jawi,
Jago, Kidal, dan candi Singhasari jelas masuk dalam kelompok langgam
Jawa Timur, akan tetapi bahan bangunannya adalah batu andesit, sama
dengan ciri candi langgam Jawa Tengah; dikontraskan dengan reruntuhan
Trowulan seperti candi Brahu, serta candi Majapahit lainnya seperti candi
Jabung dan candi Pari yang berbahan bata merah. Bentuk candi Prambanan
adalah ramping serupa candi Jawa Timur, tapi susunan dan bentuk atapnya
adalah langgam Jawa Tengahan. Lokasi candi juga tidak menjamin
kelompok langgamnya, misalnya candi Badut terletak di Malang, Jawa
Timur, akan tetapi candi ini berlanggam Jawa Tengah yang berasal dari
kurun waktu yang lebih tua di abad ke-8 masehi.
Bahkan dalam kelompok langgam Jawa Tengahan terdapat perbedaan
tersendiri dan terbagi lebih lanjut antara langgam Jawa Tengah Utara
(misalnya kelompok Candi Dieng) dengan Jawa Tengah Selatan (misalnya
kelompok Candi Sewu). Candi Jawa Tengah Utara ukirannya lebih
sederhana, bangunannya lebih kecil, dan kelompok candinya lebih sedikit;
sedangkan langgam candi Jawa Tengah Selatan ukirannya lebih raya dan
mewah, bangunannya lebih megah, serta candi dalam kompleksnya lebih
banyak dengan tata letak yang teratur.
Pada kurun akhir Majapahit, gaya arsitektur candi ditandai dengan
kembalinya unsur-unsur langgam asli Nusantara bangsa Austronesia, seperti
kembalinya bentuk punden berundak. Bentuk bangunan seperti ini tampak
jelas pada candi Sukuh dan candi Cetho di lereng gunung Lawu, selain itu

93
beberapa bangunan suci di lereng Gunung Penanggungan juga menampilkan
ciri-ciri piramida berundak mirip bangunan piramida Amerika Tengah.

J. Hubungan Sanitasi dengan Candi

Candi adalah tempat dimana masyarakat atau orang banyak berkumpul


dan melakukan banyak berbagai aktifitas. Candi mempunyai potensi besar
dalam terjadinya penyakit maupun timbulnya gangguan kesehatan lainnya.
Pengawasan dan pemeriksaan yang teratur khususnya di bidang sanitasi
pada candi perlu dilakukan secara baik dan benar, terus-menerus dan
berkesinambungan. Dengan demikian sanitasi pada candi dapat ditingkatkan,
sehingga kemungkinan terjadinya penyebaran penyakit dan timbulnya
gangguan kesehatan lainnya dapat dicegah dan dikendalikan. Candi yang
dikelola secara saniter akan mendapat penilaian yang memuaskan diri para
pengunjung. Hal ini merupakan suatu promosi yang baik dan akan sangat
menguntungkan baik dari segi bisnis maupun menunjang dari segi pariwisata.

Adapun persyaratan sanitasi yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :

1. Persyaratan Bagian Luar Candi


a. Halaman parkir
Pada bagian halaman parkir mempunyai kondisi yang rata, keras,
kedap air. Pencahayaan yang ada di halaman parkir harus terang, adanya
pencahayaan buatan yang cukup untuk menerangi halaman parkir dan
kebersihannya harus bersih 10 FC dan tersedia rambu-rambu lalu lintas
yang jelas sehingga dapat mencegah kecelakaan di halaman parkir.
1) Loket
Pada bagian loket mempunyai pencahayaan terang , loket
harus bersih dan ventilasi loket harus memenuhi syarat yaitu 10%
dari luas lantai bagian loket.
2) Tempat Sampah

94
Tempat sampah mempunyai konstruksi yang kuat, kedap,
mempunyai tutup, jumlah tempat sampah cukup, peletakannya setiap
10 meter untuk satu tempat sampah.
b. Karyawan
Karyawan yang bekerja dicandi harus mempunyai pakaian kerja
yang lengkap dan personah hygiene yang memenuhi syarat bersih dan
sehat.
c. Pondok Informasi
Pada bagian pondok informasi harus mempunyai kebersihan
yang bersih dan sound yang lengkap.

2. Persyaratan Bagian Dalam Candi


a. Area Batas Candi
Area batas candi mmpunyai batas area yang jelas dan
mempunyai rambu untuk pengunjung
b. Kondisi Lingkungan
Kondisi lingkungan candi harus bersih, tersedia tempat sampah
di setiap tempat yang memproduksi sampah.
c. Persyaratan Fasilitas Sanitasi
1) Penyediaan air bersih
Penyediaan air untuk Gedung Pertunjukan perlu mendapatkan
perhatian dan harus memenuhi persyaratan standar sesuai peraturan
yang berlaku yaitu Permenkes No.416/MENKES/PU/IX/1990
tentang persyaratan kualitas air bersih, Kepmenkes
No.907/MENKES/SK/VII/2002 tentang pengawasan air minum,
dan Permenkes No.492/MENKES/PER/IV/2010 tentang
persyaratan kualitas air minum.

95
2) Tempat sampah
Tempat sampah dibuat dari bahan kedap air, tidak mudah
berkarat, mempunyai tutup, jumlah tempat sampah disesuaikan
dengan produk sampah yang dihasilkan pada setiap tempat kegiatan
dan kondisi tempat sampah mudah diangkut, diisi dan dikosongkan.
3) Pembuangan air limbah
Air limbah yang berasal dari Candi umumnya berasal dari air
hujan, air WC, air yang berasal dari Kantin (bila ada) Dan Urinoir,
sehingga perlu adanya saluran saluran pembuangan air limbah di
sekeliling bangunan, adapun hal yang perlu diperhatikan dari
pembuangan air limbah yaitu:
4) Jangan menimbulkan genangan air terutama untuk air hujan di
halaman.
5) Saluran dari pembuangan air limbah harus diusahakan sedemikian
rupa sehingga air limbah dapat mengalir dengan baik dan lancar.
6) Saluran air limbah harus tertutup dalam arti rapat serangga dan
tikus.
d. Persyaratan Fasilitas Penunjang
1) Plaza
Plaza yang ada di pantai mempunyai kebersihan yang baik ,
lokasi yang strategis untuk pengunjung dan jumlahnya cukup .
2) Mushola
Mushola mempunyai kebersihan yang bersih, kondisi yang
memenuhi, kuat, tempat duduk yang bersih dan perlengkapan sholat
yang lengkap.
3) Fasilitas rekreasi
Fasilitas rekreasi mempunyai kelengkapan yang lengkap.

4) Fasilitas keamanan

96
Fasilitas keamanan mempunyai penjagaan yang memenuhi sound
system lengkap.
e. Fasilitas Pengujung
Fasilitas pengunjung mempunyai kebersihan yang bersih dan
kondisi yang memenuhi
f. TP2M
TP2M mempunyai kebersihan yang bersih, pengaturan tempat
yang teratur dan pengelola yang memenuhi personal hygiene.

97
LAMPIRAN

Gambar 1. Museum Taman Purbakala tempat peletakan prasasti kedukan bukit

Gambar 2. Prasasti Kedukan bukit

98
Gambar 3. Isi dari Prasasti kedukan bukit dalam bahasa Indonesia

Gambar 4. Isi dari Prasasti kedukan bukit dalam bahasa Inggris

99
Gambar 6. Archa stambha Gambar 7. Archa Nandi

Gambar 8. Archa Buddha Bukit Siguntang Gambar 9. Archa Buddha Awalokiteswara

100
Gambar 10. Prasati Telaga Batu Gambar 11. Prasati Palas Pasemah

Gambar 12. Prasati Bungkuk Gambar 13. Archa Singa Xiling

101
Gambar 14. Bata Berhias Flora Gambar 15. Situs Geding Suro

Gambar 16. Foto bersama didepan museum taman purbakala

102
KERATON

A. Pengertian Keraton
Keraton (logat Jawa: kraton) adalah daerah tempat seorang penguasa
(raja atau ratu) memerintah atau tempat tinggalnya (istana). Dalam pengertian
sehari-hari, keraton sering merujuk pada istana penguasa di Jawa dan
Kalimantan. Dalam bahasa Jawa, kata kraton (ke-ratu-an) berasal dari kata
dasar ratu yang berarti penguasa. Kata Jawa ratu berkerabat dengan kata dalam
bahasa Melayu; datuk/datu dan bahasa Ambon; latu. Dalam bahasa Jawa sendiri
dikenal istilah kedaton yang memiliki akar kata dari datu, di Keraton Surakarta
istilah kedaton merujuk kepada kompleks tertutup bagian dalam keraton tempat
raja dan putra-putrinya tinggal. Masyarakat Keraton pada umumnya memiliki
gelar kebangsawanan (www.Wikipedia.com).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keraton bearti tempat


kediaman ratu atau raja; istana raja; kerajaan. Dalam pengertian sehari-hari,
keraton sering merujuk pada istana penguasa jawa. Dalam bahasa Jawa, kata
keraton berasal dari kata dasar ratu yang bearti penguasa. Kata Jawa ratu
berkerabat dengan kata dalam bahasa melayu; datuk/datu. Masyarakat keraton
pada umumnya memiliki gelar kebangsawanan. Istilah keraton berasal dari kata
ka-ratu-an (keraton), maksudnya adalah tempat bersemayam bagi ratu. Di
samping keraton, ada istilah kedaton yang sering juga digunakan untuk
menyebut pengertian yang sama.

Kraton berasal dari kata ka-ra-tuan yang berarti tempat tinggal ratu atau
raja. Kraton juga disebut dengan istilah kadaton yang berasal dari kata ke +
datu + an. Kedaton memiliki arti tempat datu-datu atau ratu-ratu (raja-raja),
dalam bahasa Indonesia disebut Istana, tetapi Istana bukan Kraton, karena
istana hanya menunjukkan arti tempat tinggal raja sedangkan kraton memiliki
arti yang lebih luas. Kraton memiliki arti sebuah istana yang mengandung arti

103
keagamaan, filsafat dan kulturil (kebudayaan). Dalam kalimat lain Kraton dapat
diartikan lingkungan seluruh struktur dan bangunan wilayah kraton yang
mengandung arti tertentu yang berkaitan dengan salah satu pandangan hidup
jawa yang sangat esensial. Pandangan hidup tersebut adalah “Sangkan
Paraning Dumadi” (bahasa jawa) yang berarti “dari mana asalnya manusia dan
kemana akhirnya manusia setelah mati.” (http://historyfileon.blogspot.com).

B. Fungsi Keraton
Fungsi Keraton dapat dikategorikan menjadi dua yaitu fungsi keraton
pada masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dan pada masa
kemerdekaan Republik Indonesia.

1. Pada masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia

a. Sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya

b. Sebagai pusat pemerintahan

c. Sebagai pusat kebudayaan dan pengembangannya

2. Pada masa kemerdekaan Republik Indonesia

a. Sebagai obyek wisata dan pengembangan ilmu pengetahuan

b. Sebagaii Museum Perjuangan Bangsa

Sumber : (www.wikipedia.com)

104
C. Nama-nama Keraton di Indonesia

Daftar Kerajaan & Keraton Se-Indonesia

No. Nama Kerajaan Nama Propinsi Nama Istana / Keraton


1. Kerajaan Badung Bali Puri Gede Mengwi

2. Kerajaan Badung Bali Puri Denpasar

3. Kerajaan Badung Bali Puri Jero Kuta

4. Kerajaan Badung Bali Puri Pemecutan Denpasar

5. Kerajaan Badung Bali Puri Kesiman

6. Kerajaan Bangli Bali Puri Agung Bangli

7. Kerajaan Buleleng Bali Puri Buleleng

8. Kerajaan Gianyar Bali Puri Ageng Blahbatu

9. Kerajaan Gianyar Bali Puri Agung Peliatan

10. Kerajaan Klungkung Bali Puri Agung Klungkung

11. Kerajaan Karangasem Bali Puri Karangasem

12. Kerajaan Tabanan Bali Puri Anyar Kerambitan

13. Kerajaan Ubud Bali Puri Agung Ubud


14. Kesultanan Banten Banten Keraton Banten
15. Kasultanan D.I. Yogyakarta Karaton Ngayogyakarta
Ngayogyakarta Hadiningrat
Hadiningrat

105
16. Pakualaman D.I. Yogyakarta Puro Pakualaman
17. Kasultanan Cirebon Jawa Barat Keraton Kasepuhan
18. Kasultanan Cirebon Jawa Barat Keraton Kanoman
19. Kasultanan Cirebon Jawa Barat Keraton Kacirebonan
20. Kerajaan Sumendang Jawa Barat Keraton Sumedang Larang
Larang
21. Kasunanan Surakarta Jawa Tengah Keraton Kasunanan
Hadiningrat Hadiningrat
22. Mangkunegaran Jawa Tengah Puro Mangkunegaran
23. Kerajaan Majapahit, Jawa Timur Istana Majapahit
Mojokerto

24. Panembahan Sumenep Jawa Timur Keraton Sumenep


25. Kesultanan Pontianak Kalimantan Barat Istana Kadriyah
26. Kesultanan Sambas Kalimantan Barat Istana Alwatziqubillah
27. Panembahan Kalimantan Barat Istana Amantubillah
Mempawah
28. Kesultanan Kutai Kalimantan Timur Keraton Kutai Kartanegara
Kartanegara Ing Ing Martadipura
Martadipura
29. Kesultanan Gunung Kalimantan Timur Istana Gunung Tabur
Tabur
30. Kesultanan Kalimantan Timur Istanan Sambaliung
Sambaliung
31. Kerajaan Pasir Kalimantan Timur Istana Pasir Belengkong

32. Kesultanan Bulungan Kalimantan Timur Istana Tanjung Palas

33. Kesultanan Ternate Maluku Utara Kedaton Sultan Ternate

106
34. Kesultanan Tidore Maluku Utara Istana Tidore

35. Kesultanan Jailolo Maluku Utara Istana Jailolo

36. Kesultanan Bacan Maluku Utara Istana Bacan

37. Kesultanan Bima Nusa Tenggara Barat Istana Bima

38. Kerajaan Kupang Nusa Tenggara Timur Istana Kupang

39. Kesultanan Siak Riau Istana Siak


Indrapura
40. Kerajaan Riau Riau Riau Lingga

41. Kerajaan Gowa Sulawesi Selatan Istana Balla Lompoa

42. Kerajaan Bone Sulawesi Selatan Istana Saoraja

43. Kedatuan Luwu Sulawesi Selatan Istana Luwu

44. Kesultanan Buton Sulawesi Tenggara Istana Wallo

45. Kerajaan Minangkabau Sumatera Barat Istana Pagaruyung

46. Kesultanan Palembang Sumatera Selatan Istana Palembang


Darussalam
47. Kerajaan Sriwijaya Sumatera Selatan Istana Sriwijaya

48. Kesultanan Deli, Sumatera Utara Istana Maimoon

107
Medan
49. Kesultanan Serdang Sumatera Utara Puri Darul Arif

D. Keraton-keraton di Indonesia

Nama Keraton Nama Kerajaan Provinsi

Keraton Surosowan Kesultanan Banten Banten

Keraton Kaibon Kesultanan Banten Banten

Keraton Kasepuhan Kesultanan Cirebon Jawa Barat

Keraton Kanoman Kesultanan Cirebon Jawa Barat

Keraton Kacirebonan Kesultanan Cirebon Jawa Barat

Keraton Sumedang Larang Kerajaan Sumedang Larang Jawa Barat

Keraton Surakarta Hadiningrat Kasunanan Surakarta Hadiningrat Jawa Tengah

Pura Mangkunegaran Praja Mangkunagaran Jawa Tengah

Keraton Ngayogyakarta Kasultanan Ngayogyakarta D.I. Yogyakarta


Hadiningrat Hadiningrat

Pura Paku Alaman Kadipaten Paku Alaman D.I. Yogyakarta

Keraton Sumenep Panembahan Sumenep Jawa Timur

Kedaton Kutai Kartanegara Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Kalimantan


Martadipura Timur

Sumber : (http://id.wikipedia.org)

108
E. Sejarah Keraton di Indonesia
1. Keraton Surosowan
Keraton Surosowan memiliki tiga buah gerbang masuk, yang
masing-masing terletak di sisi timur, utara dan selatan. Akan tetapi, pintu
yang ada disebelah selatan telah ditutup dengan tembok yang belum
diketahui apa sebabnya. Pada pertengahan Keraton Surosowan terdapat
sebuah kolam yang berisi air berwarna hijau, yang sudah dipenuhi ganggang
dan lumut. Didalam keraton ini juga terdapat banyak ruangan yang
berhubungan dengan air atau ritual mandi (petiratan). Slah satu bangunan
yang terkenal adalah bekas kolah taman, yang bernama Bale Kambang Rara
Denok dan ada juga panvuran untuk mandi biasa yang dinamakan “pancuran
mas”. Kolam Rara Denok berbentuk persegi empat dengan lebar 13 meter,
dengan panjang 30 meter serta kedalaman kolam 4,5 meter. Ada dua sumber
air di Surosowan yaitu sumur dan Danau Tasik kardi yang terletak sekitar
dua kilometer dari Surosowan.

Atas pemahaman geo-politik yang mendalam Sunan Gunung Jati


menentukan posisi Keraton, Benteng, Pasar, dan Alun-Alun yang harus
dibangun di dekat kuala Sungai Banten yang kemudian diberi nama Keraton
Surosowan. Hanya dalam waktu 26 tahun, Banten menjadi semakin besar
dan maju, dan pada tahun 1552 Masehi, Banten yang tadinya hanya sebuah
kadipaten diubah menjadi negara bagian Kesultanan Demak dengan
dinobatkannya Hasanuddin sebagai Sultan di Kesultanan Banten dengan
gelar Maulanan Hasanuddin Panembahan Surosowan (Pudjiastuti, 2006:61)

109
Gambar1. keraton Surosoan

2. Keraton Kaibon
Keraton Kaibon merupakan salah satu bangunan utama pada masa
Kesultanan Banten (1526-1684), terpisah dari kompleks Keraton Surosowan
sebagai pusat pemerintahan. Hal ini merupakan tradisi masyarakat Jawa
dimana Keraton Kaibon merupakan tempat tinggal para istri (Ratu) dan
Putri-putri Kesultanan. Dengan kata lain yang lebih populer bahwa Keraton
Kaibon adalah Keputrennya Kesultanan Banten. Terletak kurang lebih 2 km
dari Pusat Pemerintahan Keraton Surosowan yang dikelilingi persawahan
dan jalur transportasi sungai (atau lebih tepatnya kanal khusus yang dibuat
pada waktu itu).

Keraton Kaibon menghadap ke Barat (ke Keraton Surosowan/Masjid


Agung Banten) yang didepannya terdapat kanal sebagai sarana transportasi
menuju dan ke Keraton Surosowan. Kini, reruntuhan Keraton menjadi pusat
bermain bagi anak-anak masyarakat lingkungan sekitar, seperti bermain bola
atau sekedar tempat nongkrong. Sehingga tempat bersejarah ini
dikawatirkan akan mengalami kerusakan yang lebih cepat bila tidak diisolasi
layaknya peninggalan sejarah.

110
Papan nama Keraton dan Pintu Gerbang Utama

3. Keraton Kasepuhan Cirebon

Keraton Kasepuhan adalah keraton termegah dan paling terawat di


Cirebon. Makna di setiap sudut arsitektur keraton ini pun terkenal paling
bersejarah. Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan
terdapat pendopo didalamnya. Keraton ini memiliki museum yang cukup
lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Salah satu
koleksi yang dikeramatkan yaitu kereta Singa Barong. Kereta ini saat ini
tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk
dimandikan. Bagian dalam keraton ini terdiri dari bangunan utama yang
berwarna putih. Didalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan
singgasana raja.

Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh Pangeran Mas


Mochammad Arifin II (cicit dari Sunan Gunung Jati) yang menggantikan
tahta dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1506. Ia bersemayam di dalem
Agung Pakungwati Cirebon. Keraton Kasepuhan dulunya bernama Keraton
Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar
Panembahan Pakungwati I. Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu
Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan
Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta

111
Rasa dalam usia yang sangat tua. Nama beliau diabadikan dan dimuliakan
oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton
Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.

Di depan Keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang pada waktu


zaman dahulu bernama Alun-alun Sangkala Buana yang merupakan tempat
latihan keprajuritan yang diadakan pada hari Sabtu atau istilahnya pada
waktu itu adalah Saptonan. Dan di alun-alun inilah dahulunya dilaksanakan
berbagai macam hukuman terhadap setiap rakyat yang melanggar peraturan
seperti hukuman cambuk. Di sebelah barat Keraton kasepuhan terdapat
Masjid yang cukup megah hasil karya dari para wali yaitu Masjid Agung
Sang Cipta Rasa. Sedangkan di sebelah timur alun-alun dahulunya adalah
tempat perekonomian yaitu pasar -- sekarang adalah pasar kesepuhan yang
sangat terkenal dengan pocinya. Model bentuk Keraton yang menghadap
utara dengan bangunan Masjid di sebelah barat dan pasar di sebelah timur
dan alun-alun ditengahnya merupakan model-model Keraton pada masa itu
terutama yang terletak di daerah pesisir. Bahkan sampai sekarang, model ini
banyak diikuti oleh seluruh kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di depan
gedung pemerintahan terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya terdapat
masjid.

Sebelum memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan terdapat


dua buah pendopo, di sebelah barat disebut Pancaratna yang dahulunya
merupakan tempat berkumpulnya para punggawa Keraton, lurah atau
pada zaman sekarang disebut pamong praja. Sedangkan pendopo sebelah
timur disebut Pancaniti yang merupakan tempat para perwira keraton
ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun. Memasuki jalan
kompleks Keraton di sebelah kiri terdapat bangunan yang cukup tinggi
dengan tembok bata kokoh disekelilingnya. Bangunan ini bernama Siti
Inggil atau dalam bahasa Cirebon sehari-harinya adalah lemah duwur
yaitu tanah yang tinggi. Sesuai dengan namanya bangunan ini memang

112
tinggi dan nampak seperti kompleks candi pada zaman Majapahit.
Bangunan ini didirikan pada tahun 1529, pada masa pemerintahan Syekh
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Di pelataran depan Siti Inggil
terdapat meja batu berbentuk segi empat tempat bersantai. Bangunan ini
merupakan bangunan tambahan yang dibuat pada tahun 1800-an. Siti
Inggil memiliki dua gapura dengan motif bentar bergaya arsitek zaman
Majapahit. Di sebelah utara bernama Gapura Adi sedangkan di sebelah
selatan bernama Gapura Banteng. Dibawah Gapura Banteng ini terdapat
Candra Sakala dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng yang jika
diartikan adalah tahun 1451. saka yang merupakan tahun pembuatannya
(1451 saka = 1529 M). Tembok bagian utara komplek Siti Inggil masih
asli sedangkan sebelah selatan sudah pernah mengalami
pemugaran/renovasi. Di dinding tembok kompleks Siti Inggil terdapat
piring-piring dan porslen-porslen yang berasal dari Eropa dan negeri Cina
dengan tahun pembuatan 1745 M. Di dalam kompleks Siti Inggil terdapat
5 bangunan tanpa dinding yang memiliki nama dan fungsi tersendiri.
Bangunan utama yang terletak di tengah bernama Malang Semirang
dengan jumlah tiang utama 6 buah yang melambangkan rukun iman dan
jika dijumlahkan keseluruhan tiangnya berjumlah 20 buah yang
melambangkan 20 sifat-sifat Allah SWT. Bangunan ini merupakan
tempat sultan melihat latihan keprajuritan atau melihat pelaksanaan
hukuman. Bangunan di sebelah kiri bangunan utama bernama Pendawa
Lima dengan jumlah tiang penyangga 5 buah yang melambangkan rukun
islam. Bangunan ini tempat para pengawal pribadi sultan.Bangunan di
sebelah kanan bangunan utama bernama Semar Tinandu dengan 2 buah
tiang yang melambangkan Dua Kalimat Syahadat. Bangunan ini adalah
tempat penasehat Sultan/Penghulu.

Di belakang bangunan utama bernama Mande Pangiring yang


merupakan tempat para pengiring Sultan, sedangkan bangunan disebelah

113
mande pangiring adalah Mande Karasemen, tempat ini merupakan tempat
pengiring tetabuhan/gamelan. Di bangunan inilah sampai sekarang masih
digunakan untuk membunyikan Gamelan Sekaten (Gong Sekati), gamelan
ini hanya dibunyikan 2 kali dalam setahun yaitu pada saat Idul Fitri dan
Idul Adha. Selain 5 bangunan tanpa dinding terdapat juga semacam tugu
batu yang bernama Lingga Yoni yang merupakan lambing dari
kesuburan. Lingga berarti laki-laki dan Yoni berarti perempuan.
Bangunan ini berasal dari budaya Hindu. Dan di atas tembok sekeliling
kompleks Siti Inggil ini terdapat Candi Laras untuk penyelaras dari
kompleks Siti Inggil ini.
KERATON KASEPUHAN yang terletak di Kelurahan Kasepuhan,
Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon merupakan keraton yang
pertama sekali didirikan sekitar abad ke 13. Sebagai pusat pemerintahan
Kesultanan Cirebon pada masa itu.
Sebagai Keraton Kesultanan Cirebon yang pertama, Keraton
Kasepuhan memiliki sejarah yang paling panjang dibanding ketiga
keraton lainnya. Keraton ini juga memiliki wilayah kekeratonan yang
terluas, wilayah kekeratonannya mencapai lebih dari 10 Ha. Keraton ini
terletak di selatan alun-alun dengan Masjid Agung Sang Cipta Rasa di
sebelah barat alun-alun.
Pada masa awal didirikannya yang pertama kali dibangun adalah
bangunan Keraton Pakungwati I. Keraton Pakungwati dibangun
menghadap ke arah Laut Jawa dan membelakangi Gunung Ciremai.
Bangunan ini terdapat disebelah timur bangunan Keraton Pakungwati II.
Banyak sejarah penting yang tersimpan di dalam keraton ini, serta
benda peninggalan yang terdapat didalamnya seperti: sebuah tandu
berbentuk makhluk berkepala burung dan berbadan ikan. Hal ini
melambangkan “Setinggi-tingginya seorang pemimpin dalam
kepemimpinannya tetap harus mampu melihat dan menyelami keadaan
setiap rakyat yang berada dibawahnya”.

114
Rentetan perjalanan panjang dalam membangun sebuah
pemerintahan pada masa itu. Keraton Kasepuhan sebagai keraton yang
pertama ada di Cirebon. Hal ini menunjukan betapa besar peran serta
pengaruh budaya Cirebon dalam membangun ekonomi pada masa
pemerintahan Kesultanan saat itu. Keraton Kasepuhan memang saat ini
tidak lagi memegang dan menjalankan tampuk pemerintahan Cirebon
seperti pada masa Kesultanan. Namun sebagai peninggalan budaya,
Keraton Kasepuhan memiliki arti dan peran yang sangat penting dalam
perjalanan panjangnya membangun budaya dan ekonomi Cirebon
(http://indahcahayaa.blogspot.com/)

Siti Inggil Kraton Kasepuhan

4. Keraton Kanoman
Keraton Kanoman adalah pusat peradaban Kesultanan Cirebon,
yang kemudian terpecah menjadi Keraton Kanoman, Keraton Kasepuhan,
Keraton Kecirebonan, dan Keraton Kaprabonan Kebesaran Islam di Jawa
Barat tidak lepas dari Cirebon.
Sunan Gunung Jati adalah orang yang bertanggung Jawab
menyebarkan agama Islam di Jawa Barat, sehingga berbicara tentang
Cirebon tidak akan lepas dari sosok Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati. Sunan Gunung Jati juga meninggalkan jejaknya yang hingga
kini masih berdiri tegak, jejak itu bernama Keraton Kanoman.

115
Keraton Kanoman masih taat memegang adat-istiadat dan pepakem,
di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg Syawal,seminggu setelah Idul
Fitri dan berziarah ke makam leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana,
Cirebon Utara.
Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat
kaitannya dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung
Jati, yang juga dikenal dengan Syarif Hidayatullah. Kompleks Keraton
Kanoman yang mempunyai luas sekitar 6 hektar ini berlokasi di belakang
pasar Di Kraton ini tinggal sultan ke dua belas yang bernama raja
Muhammad Emiruddin berserta keluarga.
Keraton Kanomann merupakan komplek yang luas, yang terdiri dari
dua puluh tujuh bangunan kuno. salah satunya saung yang bernama
bangsal witana yang merupakan cikal bakal Kraton yang luasnya hampir
lima kali lapangan sepakbola. Di keraton ini masih terdapat barang
barang Sunan Gunung Jati, seperti dua kereta bernama Paksi Naga Liman
dan Jempana yang masih terawat baik dan tersimpan di museum.
Bentuknya burak, yakni hewan yang dikendarai Nabi Muhammad ketika
ia Isra Mi'raj. Tidak jauh dari kereta, terdapat bangsal Jinem, atau
Pendopo untuk Menerima tamu, penobatan sultan dan pemberian restu
sebuah acara seperti Maulid Nabi. Dan di bagian tengah Kraton terdapat
komplek bangunan bangunan bernama Siti Hinggil.
Hal yang menarik dari Keraton di Cirebon adalah adanya piring-
piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua
keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu
bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon. Dan yang tidak
kalah penting dari Keraton di Cirebon adalah keraton selalu menghadap
ke utara. Dan di halamannya ada patung macan sebagai lambang Prabu
Siliwangi. Di depan keraton selalu ada alun alun untuk rakyat berkumpul
dan pasar sebagai pusat perekonomian, di sebelah timur keraton selalu
ada masjid. Keraton Kanoman didirikan oleh Pangeran Mohamad

116
Badridin atau Pangeran Kertawijaya, yang bergelar Sultan Anom I, pada
sekitar tahun 1510 aka atau 1588 M. Titimangsa ini mengacu pada
prasasti berupa gambar surya sangkala dan Keraton Sangkala yang
terdapat pada pintu Pendopo Jinem menuju ruang Prabayasa berupa
matahari yang berarti 1, wayang Dharma Kusuma yang berarti 5, bumi
yang berarti 1 dan bintang kemangmang yang berarti 0. Jadi, chandr
sangkala itu menunjukan angka tahun 1510 aka atau 1588 M. Sementara
sumber lain menyebutkan bahwa angka pembangunan Keraton Kanoman
adalah bersamaan dengan pelantikan Pangeran Mohamad Badridin
menjadi Sultan Kanoman dan bergelar Sultan Anom I, yang terjadi pada
tahun 1678-1679 M.
Salah satu bangunan penting yang terdapat dalam komplek Keraton
Kanoman adalah Witana. Witana berasal dari kata awit ana yang berarti
bangunan tempat tinggal pertama yang didirikan ketika membentuk
Dukuh Caruban. Dalam kakawin Nagarakertagama bangunan witana
adalah berupa panggung kayu sementara dengan atap tanpa dinding
tempat persemayaman raja sementara waktu. Sebagaimana kita ketahui,
bahwa Cirebon adalah salah satu kota tua di Pulau Jawa. Menurut Babad
Cerbon yang diindonesiakan oleh Pangeran Sulaeman Suleendraningrat
(1984), Cirebon bermula dari pendukuhan kecil. Pendukuhan ini telah
terbentuk sejak abad ke 15, yaitu sekitar 1 sura 1367 Hijriah atau 1445 M
dirintis oleh Ki Gede Alang-alang dan kawan-kawan. Dukuh Cirebon ini
dilengkapi pula dengan Keraton Pakungwati dan Tajug Pejlagrahan yang
dibangun oleh Pangeran Cakrabuana (penerus/pengganti Ki Gede Alang-
alang) pada tahun 1452 M. Pada masa itu dukuh ini telah berkembang
dengan penduduk dan mata pencaharian yang beragam. Oleh karena itu,
dukuh ini juga pernah disebut caruban yang berarti campuran.
Keraton Kanoman merupakan satu kompleks dengan denah empat
persegi panjang dari arah utara selatan.

117
Keraton Kanoman (2010).
Sumber : (http://gebankz.heck.in/sejarah-keraton-kanomancirebon.xhtml)

5. Keraton Kacirebonan

Kecirebonan dibangun pada tanggal 1800 M, Bangunan kolonial ini


banyak menyimpan benda-benda peninggalan sejarah seperti Keris,
Wayang, perlengkapan Perang, Gamelan dan lain-lain. Seperti halnya
Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman, Kecirebonan pun tetap
menjaga, melestarikan serta melaksanakan kebiasaan dan upacara adat
seperti Upacara Pajang Jimat dan sebagainya. Kacirebonan berada di
wilayah kelurahan Pulasaren Kecamatan Pekalipan, tepatnya 1 km
sebelah barat daya dari Keraton Kasepuhan dan kurang lebih 500 meter
sebelah selatan Keraton Kanoman. Kacerbonan merupakan pemekaran
dari Keraton Kanoman setelah Sultan Anom IV yakni PR Muhammad
Khaerudin wafat, Putra Mahkota yang seharusnya menggantikan tahta
diasingkan oleh Belanda ke Ambon karena dianggap sebagai
pembangkang dan membrontak. Ketika kembali dari pengasingan tahta
sudah diduduki oleh PR. Abu sholeh Imamuddin. Atas dasar kesepakatan
keluarga, akhirnya PR Anom Madenda membangun Istana Kacerbonan,
kemudian muncullah Carbon I sebagai Pangeran Kacirebonan pertama.
Kedudukan Cirebon yang berada pada bayang-bayang pengaruh
Mataram. ketika Amangkurat I berkuasa dari tahun 1646 hingga 1677.

118
Masa pemerin tahan yang ditandai dengan banyaknya pergolakan
agaknya menjadi faktor penting mengapa Cirebon semakin menjadi
lemah. Pada zaman Amangkurat I, penguasa Cirebon Panembahan Ratu
II, cucu Panembahan Ratu, atas permintaan Mataram berpindah ke
Girilaya. Kepergiannya dari Keraton Cirebon ke daerah dekat ibukota
Mataram ini disertai oleh kedua puteranya, yakni Pangeran Martawijaya
dan Pangeran Kertawijaya. Sebagai penggan ti kedudukannya selaku
Sultan Cirebon, ditunjuk puteranya yang paling bungsu, yaitu Pangeran
Wangsakarta.

Panembahan Ratu wafat pada tahun 1662 Masehi. Sebelum


meninggal beliau membagi kerajaannya menjadi dua yang diwariskan
kepada kedua puteranya itu. Pangeran Martawijaya diangkat sebagai
Panembahan Sepuh yang berkuasa atas Kasepuhan. Sedangkan
Kertawijaya ditunjuk sebagai Panembahan Anom yang berkuasa atas
Kanoman.

Sementara itu, Raja Amangkurat I yang kurang bijaksana


menimbulkan kebencian di kalangan istana dan penguasa-penguasa
daerah yang lain. Dengan didukung oleh seorang pangeran dari Madura
bernama Tarunajaya, sang putera mahkota mengadakan pemberontakan.
Sayangnya, usaha mereka menentang Amangkurat I tidak berhasil karena
perpecahan antara keduanya. Raja Amangkurat I kemudian meninggal di
Tegalwangi setelah melarikan diri dari ibukota Mataram. Dalam
pertempuran tersebut, kedua pangeran dari Cirebon itu memihak pada
pihak pemberontak. Kira-kira tahun 1678 Masehi, kedua bangsawan
pewaris tahta Cirebon kembali ke tanah kelahirannya. Dengan demikian
kini di Cirebon bertahta dua sultan, Sultan Sepuh Keraton Kasepuhan dan
Sultan Anom Keraton Kanoma. Sementara itu di Mataram sebagai akibat
dari pemberontakan Tarunajaya, bertumpuklah hutang yang harus
dibayarkan kepada pihak VOC-Belanda yang membantu Amangkurat I.

119
Pihak Mataram membayar hutangnya itu dengan cara melepaskan
pelabuhan-pelabuhan potensial beserta penghasilan yang amat
menguntungkan itu kepada VOC. Akibatnya lebih lanjut adalah
penghapusan gelar Sultan dari penguasa Cirebon pada tahun 1681
Masehi. Sebagai gantinya, raja-raja Cirebon kembali pada gelar
Panembahan yang sesungguhnya lebih rendah dari Sultan. Pengganti
Sultan Anom adalah putera bungsu. Sedangkan di Kasepuhan terjadi
pembagian kekuasaan anatara Sultan Sepuh dan Sultan Cirebon. Ketika
Pangeran Cirebon dibuang karena melawan Belanda, daerah kekuasaan
nya diberikan kembali kepada Sultan Sepuh. Kemunduran Kesultanan
Cirebon semakin meningkat sejak tahun 1773 Masehi. Setelah
Panembahan terakhir wafat tanpa mewarisi keturunan, daerahnya
kemudian menjadi terbagi-bagi dan dikuasai oleh para pangeran. Mulai
abad ke 19 setelah perjanjian Wina, kedudukan politik Kasepuhan
maupun Kanoman benar-benar dihapuskan, sebagai gantinya mereka
mendapat subsidi dari pemerintah kolonial Belanda. Sejak itu bangsawan
Cirebon hanya dikenal sebagi pelindung kesenian tradisional Cirebon.
Maka tidak mengherankan apabila seni batik, seni ukir, seni tari, seni
topeng, tetap lestari dan berkembang pesat. (www.wikipedia.com)

Gambar Keraton Kacirebonan

6. Kerajaan sumedang larang

120
Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan Islam yang
pernah berdiri di Jawa Barat, Indonesia. Namun, popularitas kerajaan ini
tidak sebesar popularitas Kerajaan Demak, Mataram, Banten dan Cirebon
dalam literatur sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Tapi,
keberadaan kerajaan ini merupakan bukti sejarah yang sangat kuat
pengaruhnya dalam penyebaraan Islam di Jawa Barat sebagaimana yang
dilakukan oleh Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten.

Kerajaan Sumedang Larang (kini Kabupaten Sumedang) adalah


salah satu dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di provinsi Jawa Barat,
Indonesia. Selain itu dikenal juga kerajaan sunda lainnya seperti kerajaan
Pajajaran yang juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya
(Galuh), namun keberadaan kerajaan Pajajaran ini berakhir di Pakuan
(Bogor) karena serangan aliansi kerajaan Cirebon, Banten dan Demak
(Jawa Tengah). Sejak itu, Kerajaan Sumedang Larang menjadi kerajaan
yang memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri.

Kerajaan Sumedang Larang berasal dari kerajaan Sunda-Pajajaran


yang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Adji Putih atas perintah Prabu
Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Padjadjaran, Bogor.
Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang
mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong
Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin
oleh Prabu Guru Adji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa
zaman Prabu Tadjimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti
menerangi alam, dan kemudian diganti lagi menjadi Sumedang Larang
(Sumedang berasal dari Insun Medal/ Insun Medangan yang berarti aku
dilahirkan, dan larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya).

Pada pertengahan abad ke-16, Ratu Pucuk Umun, seorang wanita


keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda

121
muslim menikahi Pangeran Santri(1505-1579 M) yang bergelar Ki
Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama
serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri
adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit
dari Syekh Datuk Kahfi, seorang Ulama keturunan Arab Hadramaut yang
berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru
daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk
Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu
Angkawijaya.

Prabu Geusan Ulun dinobatkan sebagai Bupati Sumedang I (1580-


1608 M) menggantikan kekuasaan Ayahnya, Pangeran Santri. Beliau
menetapkan Kutamaya sebagai Ibu kota kerajaan Sumedang Larang, yang
letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan,
Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis).
Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan
yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik
pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera kandungnya,
Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata/Rangga Gempol I atau yang
dikenal dengan Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinan
ayahnya. Namun, pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan,
pada tahun 1620 M Sumedang Larang dijadikan wilayah kekuasaan
Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai
‘kerajaan’ dirubah menjadi ‘kabupaten’ olehnya. Hal ini dilakukan
sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah
pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten dan Belanda yang
sedang mengalami konflik dengan Mataram.

Sultan Agung memberi perintah kepada Rangga Gempol I beserta


pasukannya untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura.
Sedangkan pemerintahan sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati

122
Rangga Gede. Hingga suatu ketika, pasukan Kerajan Banten datang
menyerbu dan karena setengah kekuatan militer kabupaten Sumedang
Larang dipergikan ke Madura atas titah Sultan Agung, Rangga Gede tidak
mampu menahan serangan pasukan Banten dan akhirnya melarikan diri.
Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati
Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati
Ukur. Sekalilagi, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk
bersama-sama pasukan Mataram untuk menyerang dan merebut
pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta) yang pada akhirnya menemui
kegagalan. Kekalahan pasukan Dipati Ukur ini tidak dilaporkan segera
kepada Sultan Agung, diberitakan bahwa ia kabur dari pertanggung
jawabannya dan akhirnya tertangkap dari persembunyiannya atas
informasi mata-mata Sultan Agung yang berkuasa di wilayah Priangan.

Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan


kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang. Sedangkan wilayah
Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis) dibagi kepada tiga
bagian; Pertama, Kabupaten Bandung, yang dipimpin oleh Tumenggung
Wirangunangun, Kedua, Kabupaten Parakanmuncang yang dimpimpin
oleh Tanubaya dan Ketiga, kabupaten Sukapura yang dipimpin oleh
Tumenggung Wiradegdaha/ R. Wirawangsa.

Hingga kini, Sumedang masih berstatus kabupaten, sebagai sisa


peninggalan konflik politik yang banyak diinterfensi oleh Kerajaan
Mataram pada masa itu. Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang,
atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan
Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum
Prabu Geusan Ulun, Sumedang letaknya tepat di selatan alun-alun kota
Sumedang, bersatu dengan Gedung Srimanganti dan bangunan
pemerintah daerah setempat.

123
Sumber : (https://dongengkakrico.wordpress.com/kisah/kisah-kerajaan-sumedang-larang/)

7. Keraton Surakarta Hadiningrat


Keraton (Istana) Surakarta merupakan salah satu bangunan yang
eksotis di zamannya. Salah satu arsitek istana ini adalah Pangeran
Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengkubuwono I) yang juga
menjadi arsitek utama Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan jika pola dasar tata ruang kedua keraton tersebut
(Yogyakarta dan Surakarta) banyak memiliki persamaan umum. Keraton
Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini tidaklah
dibangun serentak pada 1744-45, namun dibangun secara bertahap
dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan
awalnya. Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran terakhir
dilakukan oleh Susuhunan Pakubuwono X (Sunan PB X) yang bertahta
1893-1939. Sebagian besar keraton ini bernuansa warna putih dan biru
dengan arsitekrur gaya campuran Jawa-Eropa.
Keraton Surakarta atau lengkapnya dalam bahasa Jawa disebut
Karaton Surakarta Hadiningrat adalah istana Kasunanan Surakarta.
Keraton ini didirikan oleh Sunan Pakubuwono II (Sunan PB II) pada
tahun 1744 sebagai pengganti Istana/Keraton Kartasura yang porak-
poranda akibat Geger Pecinan 1743. Istana terakhir Kerajaan Mataram
didirikan di desa Sala (Solo), sebuah pelabuhan kecil di tepi barat
Bengawan (sungai) Beton/Sala. Setelah resmi istanaKerajaan
Mataram selesai dibangun, nama desa itu diubah
menjadi Surakarta Hadiningrat. Istana ini pula menjadi saksi bisu
penyerahan kedaulatan Kerajaan Mataram oleh Sunan PB II
kepada VOC pada tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyantitahun 1755,
keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kasunanan Surakarta.
Kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat
tinggal sunan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan

124
tradisi kerajaan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah
satu objek wisata di Kota Solo. Sebagian kompleks keraton merupakan
museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kasunanan, termasuk
berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan
gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu
contoh arsitektur istana Jawa tradisional yang terbaik.
Sumber : (www.wikipedia.com)

Gambar Keraton Surakarta

8. Pura Mangkunegaran

PURA MANGKUNEGARAN dibangun pada tahun 1757 oleh


Raden Mas Said yang lebih dikenal sebagai Pangeran Sambar Nyawa,
setelah penandatanganan Perundingan Salatiga pada tanggal 13 Maret.
Raden Mas Said kemudian menjadi Pangeran Mangkoe Nagoro I. Istana
Mangkunegaran terdiri dari dua bagian utama : pendopo dan dalem yang
diapit oleh tempat tinggal keluarga raja. Hal yang menarik adalah
keseluruhan istana dibuat dari kayu jati yang bulat/utub.
PENDOPO adalah Joglo dengan empat saka guru (tiang utama)
yang digunakan untuk resepsi dan pementasan tari tradisional Jawa. Ada
seperangkat gamelan yang dinamai Kyai Kanyut Mesem. Gamelan yang
sebagaian besar masih lengkap ini dimainkan pada hari-hari tertentu

125
untuk mengiringi latihan tarian tradisional. Di dalam DALEM terdapat
Pringgitan, ruang dimana keluarga menerima pejabat. Ruangan ini juga
digunakan untuk mementaskan wayang kulit. Di dalam pringitan, ada
beberapa lukisan karya Basuki Abdullah, pelukis kenamaan Solo.
Dalem juga digunakan untuk memajang berbagai koleksi barang
peninggalan berharga yang bernilai seni dan sejarah yang tinggi. Terdapat
koleksi topeng-topeng tradisional dari berbagai daerah di Indonesia,
kitab-kitab kuno dari jaman Majapahit dan Mataram, koleksi berbagai
perhiasan emas dan koleksi beberapa potret Mangkunegoro. Pura
Mangkunegaran juga memiliki perpustakaan yang disebut Rekso Pustoko.
Koleksi topeng tradisional dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Solo,
Jogjakarta, Cirebon. Beberapa koleksi topeng dari China. Pengunjung
dapat memperoleh berbagai souvenir dan cinderamata di Pare Anom art
shop. Pura Mangkunegaran dibuka untuk umum setiap hari jam 09.00-
14.00, Jumat jam 09.00-12.00, Minggu jam 09.00-14.00. Ada juga
beberapa koleksi kereta yang digunakan untuk upacara-upacara
tradisional.

9. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat


Keraton Yogyakarta ini dibangun pada tahun 1756 atau sama juga
dengan tahun Jawa 1682. Raja Keraton Solo adalah Pakubuwono ke 13
sedangkan raja Keraton Yogya sekarang adalah Hamengku Buwono ke
10. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta
merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang
kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah
menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan
keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggalsultan dan rumah
tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat
ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota

126
Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang
menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai
pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari
segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh
arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah
dan lapangan serta paviliun yang luas.
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku
Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun1755.
Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang
bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-
iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan
dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton
merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan
Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku
Buwono I berdiam diPesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang
termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Sumber : (www.yogyes.com)

Gambar Keraton Yogyakarta

10. Paku Alaman

Puro Paku Alaman (bahasa Jawa: Hanacaraka, Pura Pakualaman)


adalah bekas Istana kecil Kadipaten Paku Alaman. Istana ini menjadi

127
tempat tinggal resmi para Pangeran Paku Alam mulai tahun 1813 sampai
dengan tahun 1950, ketika pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia
menjadikan Kadipaten Paku Alaman (bersama-sama Kesultanan
Yogyakarta) sebagai sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi
yang bernama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Arsitektur dan Tata ruang

Puro Paku Alaman ini adalah sebuah istana kecil jika dibandingkan
dengan Keraton Yogyakarta. Ini menunjukkan kedudukan kadipaten ini
yang walaupun sebagai negara berdaulat sendiri di luar Kesultanan
Yogyakarta namun tetap setingkat di bawahnya. Istana ini menghadap ke
arah selatan (sekarang Jalan Sultan Agung). Di depannya juga terdapat
sebuah tanah lapang kecil, Alun-alun Sewandanan. Masjid Besar
Pakualaman terdapat di sebelah barat daya istana. Arsitektur masjid mirip
dengan masjid raya kesultanan namun dalam skala lebih kecil dan
sederhana. Di dalamnya juga terdapat mimbar dan maksura, tempat
khusus untuk Pangeran Paku Alam, seperti yang juga terdapat di masjid
raya kesultanan tersebut.

Istana ini diapit oleh jalan umum di sisi utara(Jl. Purwanggan),


timur (Jl. Harjono), dan selatan (Jl. Sewandanan). Gerbang istana Paku
Alaman terdapat di sisi selatan (gerbang utama) dan sisi utara (sudah
ditutup, namun masih ada bekas-bekasnya). Konon dulu istana ini juga
dikelilingi benteng baluwerti yang tidak beranjungan. Konon tembok
tebal sepanjang dua puluh meter di sisi utara Jalan Sultan Agung sebelah
timur pertigaan dengan Jalan Jagalan dipercaya sebagai bekas baluwarti
tersebut. Gerbangnya konon terdapat di ujung selatan Jalan Gajah Mada.

Puro Paku Alaman masih menjadi tempat kediaman resmi Sri


Paduka Paku Alam IX, yang juga wakil gubernur Provinsi Daerah

128
Istimewa Yogyakarta. Bagian yang dapat dilihat oleh umum adalah
pendapa terdepan yang disebut dengan Bangsal Sewatama. Sementara
itu, bagian yang terbuka untuk dimasuki umum hanyalah bagian Museum
Puro Pakualaman.

Warisan Paku Alaman

Warisan yang dapat disaksikan oleh masyarakat umum adalah yang


terdapat dalam museum Paku Alaman. Di antara koleksinya adalah
terjemahan perjanjian politik sebagai dasar berdirinya Kadipaten Paku
Alaman serta berbagai perjanjian politik lainnya. Selain itu terdapat
beberapa pusaka kerajaan (royal heirlooms) diantaranya adalah
singgasana KGPA Paku Alam I, payung kebesaran "Songsong Bharad",
serta "Songsong Tunggul Naga", Senjata tombak trisula, pakaian
kebesaran, serta kereta kuda yang menjadi kendaraan resmi para Pangeran
Paku Alam.

Pemangku Adat

Semula Puro Paku Alaman merupakan Lembaga Istana yang


mengurusi raja dan keluarga kerajaan disamping menjadi pusat
pemerintahan Kadipaten Paku Alaman. Setelah Kadipaten Paku Alaman
bersama-sama Kesultanan Yogyakarta diubah statusnya dari negara
menjadi Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara resmi pada 1950, Puro
Paku Alaman mulai dipisahkan dari Pemerintahan Daerah Istimewa dan
di-depolitisasi sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga Pemangku Adat
Jawa khususnya garis/gaya Paku Alaman Yogyakarta. Fungsi Puro Paku
Alaman berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa
khususnya gaya Paku Alaman Yogyakarta. Budaya Jawa gaya Paku
Alaman ini kurang begitu terlihat dan berpengaruh di Yogyakarta

129
mengingat wilayah Kadipaten Paku Alam yang kecil dan terletak jauh di
pantai selatan Kabupaten Kulon Progo sekarang.

Namun ada perbedaan antara Puro Paku Alaman Yogyakarta


dengan Istana kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain. Sri Paduka Paku
Alam selain sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat /Kepala Puro
Paku Alaman juga memiliki kedudukan yang khusus dalam bidang
pemerintahan sebagai bentuk keistimewaan daerah Yogyakarta. Dari
permulaan DIY berdiri (de facto 1946 dan de yure 1950) sampai tahun
1998 Sri Paduka Paku Alam secara otomatis diangkat sebagai Wakil
Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa yang tidak terikat dengan
ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan Wakil
Gubernur/Wakil Kepala Daerah lainnya (UU 22/1948; UU 1/1957; Pen
Pres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974). Antara 1988-1998 Wakil
Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa ditunjuk sebagai penjabat
jabatan Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Setelah 1999 keturunan Sri
Paduka Paku Alam tersebut yang memenuhi syarat mendapat prioritas
untuk diangkat menjadi Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa
(UU 22/1999; UU 32/2004). Saat ini yang menjadi Yang Dipertuan
Pemangku Tahta adalah Sri Paduka Paku Alam IX.

11. Keraton Sumenep


Dalam sejarah Sumenep disebutkan keraton tempat kediaman raja
sempat berpindah-pindah. Konon pada masa awal yang dipimpin oleh
Raja Aria Wiraraja, yang berasal dari Singosari, keraton Sumenep berada
di Desa Banasare, Kecamatan Rubaru. lalu keraton juga pernah pindah ke
daerah Dungkek pada masa raja Jokotole (1415-1460).

Beberapa daerah lain juga diindikasi sebagai keraton Sumenep,


seperti Tanjung, Keles, Bukabu, Baragung, Kepanjin dan daerah lain
sebelum akhirnya menempati lokasi keraton yang masih tersisa sekarang.

130
Di Desa Pajagalan yang merupakan warisan sejak raja, yaitu Panembahan
Somala dan enam raja berikutnya.

Panembahan Somala berinisiatif membangun katemenggungan atau


kadipaten ini setelah selesai perang dengan Blambangan, pada tahun 1198
hijriyah. Keraton itu selesai pada tahun 1200 hijriyah atau 1780 masehi.

Walau kini Keraton Sumenep tidak lagi dihuni seorang raja beserta
keluarga dan para abdinya. Namun bangunan yang berumur lebih dari
200 tahun itu tetap terjaga. Sumenep setelah berubah secara birokrasi dan
mulai dipimpin oleh seorang bupati setelah masa raja Panembahan
Notokusumo II (1854-1879) menganggap warisan sisa masa keemasan itu
sebagai sebuah kekayaan sejarah yang tak ternilai harganya.

Gambar Keraton Sumenep

12. Keraton Kutai Kartanegara

Keraton Kutai Kartanegara adalah istana milik Sultan Kutai


Kartanegara yang terletak dipusat kota Tenggarong, Kalimantan
Timur, Indonesia. Istana ini selesai dibangun oleh Pemerintah Kabupaten
Kutai Kartanegara pada tahun 2002 setelah dihidupkannya
kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Meski telah resmi menjadi milik Sultan Kutai Kartanegara, istana
baru ini lebih difungsikan sebagai kantor lembaga kesultanan serta
sebagai tempat pelaksanaan acara seremonial oleh Sultan atau Kesultanan

131
Kutai Kartanegara ing Martadipura. Arsitektur Keraton Kutai Kartanegara
merupakan perpaduan gaya modern dan gaya istana Kerajaan Kutai
Kartanegara. Ruangan istana nampak megah dan mewah dengan tatanan
Singgasana Sultan di kelilingi oleh kursi yang terbuat dari emas. Di
sebelah kiri Singgasana terdapat Gamelan Jawa. Di dalam Kedaton juga
terdapat banyak ukiran yang berciri khas adat Kutai,
Dayak dan Jawa untuk menunjukkan bahwa Kerajaan Kutai
Kartanegara memiliki hubungan sejarah yang erat dengan suku
Dayak dan kesultanan di Jawa.
Sumber : (www.wikipedia.com)

Gambar keraton Kutai Kartanegara

F. Sejarah Keraton di Palembang


Sejarah Kesultanan Palembang dimulai pada pertengahan abad ke-15
pada masa hidupnya seorang tokoh bernama Ario Damar. Beliau adalah putra
Raja Majapahit Prabu Kertabumi Brawijaya V terakhir, yang berkuasa tahun
1455-1486 di Palembang Lamo, yang sekarang letaknya di kawasan 1 Ilir. Saat
Ario Damar ke Palembang, penduduknya sudah banyak memeluk Islam dan ia
juga kemudian memeluk Islam. Namanya pun berubah menjadi Ario Abdillah
atau Ario Dillah. Ia mendapat hadiah dari ayahnya salah seorang isterinya
keturunan Cina yang telah memeluk Islam. Saat putri ini diboyong ke
Palembang ia sedang mengandung Raden Fatah.

132
Setelah Majapahit runtuh, Sunan Ampel sebagai wakil Wali Songo,
mengangkat Raden Fatah menjadi penguasa seluruh Jawa menggantikan
ayahnya. Atas bantuan dari daerah-daerah lainnya yang sudah lepas dari
Majapahit seperti Jepara, Tuban, Gresik, Raden Fatah mendirikan Kerajaan
Islam dengan Demak sebagai pusatnya (1481). Raden Fatah memperoleh gelar
Senapati Jimbun Ngabdur-Rahman Panembahan Palembang Sayidin
PanataGama.

Kondisi ini menempatkan Palembang menjadi wilayah perlindungan


Kerajaan Demak sekitar tahun 1546. Namun kejayaan Kerajaan Demak tidak
berlangsung lama, setelah Pangeran Trenggono Sultan Demak III, anak Raden
Fatah wafat, terjadilah perang saudara yang melibatkan Aria Penangsang dari
Jipang dan Pangeran Hadiwijaya dari Pajang (Badaruddin, 2008:8). Kematian
Aria Penangsang membuat para pengikutnya, yakni orang-orang keturunan
Pangeran Trenggono (atau Keturunan Raden Fatah) dari Kerajaan Demak ke
Palembang.

Mereka berjumlah 80 kepala keluarga dan diketuai oleh Pangeran Sedo


Ing Lautan (1547-1552) ini melarikan diri ke Palembang yang saat itu
Palembang di bawah pimpinan Dipati Karang Widara, keturunan Demang
Lebar Daun (Badaruddin, 2008:8). Mereka lalu membangun kekuatan baru dan
mendirikan Kerajaan Palembang yang bercorak Islam dengan mendirikan
Keraton Kuto Gawang yang pada saat ini situsnya tepat berada di kompleks PT.
Pusri Palembang (Badaruddin, 2008:8).

Pada aspek hukum, di era ini, istri Pangeran Sedo Ing Kenayan
Jamaludin Mangkurat IV (1639-1650), Ratu Sinuhun telah menyusun Undang-
undang Simbur Cahaya yang mengatur adat pergaulan bujang gadis, adat
perkawinan, piagam, dan lain sebagainya (Badaruddin, 2008:8). Namun pada
masa ini juga, Gubernur Jendral di Batavia Jacob Specx (1629-1632) telah

133
membuka Kantor perwakilan Dagang VOC (Factorij) di Palembang (Triyono,
2007).
Anthonij Boeij sejak tahun 1655 ditunjuk sebagai wakil pedagang VOC
di Palembang namun tetap tinggal di kapal karena belum punya tempat (loji) di
darat. Pembangunan loji dari batu mengalami kesulitan karena pada saat yang
sama didirikan keraton di Beringin Janggut, Masjid Agung dan lainnya.
Kemudian VOC
Pangkulu, Pangeran Mangkubumi Nembing Kapal, dan Kiai Demang
Kecek naik ke atas kapal yacht Belanda, Jacatra dan de Wachter, dan
membunuh Ockerz menggantikannya dengan Cornelis Ockerz yang tadinya
dicadangkan untuk perwakilan di Jambi.
Pada 22 Agustus 1658 beberapa bangsawan Palembang, yakni Putri
Ratu Emas, Tumenggung Bagus Kuning dan 42 orang Belanda lainnya serta
menawan 28 orang Belanda. Peristiwa ini terjadi karena kecurangan dan
kelicikan Belanda.
Untuk membalas tindakan orang Palembang ini Belanda mengirimkan
armadanya yang dipimpin Laksamana Johan Van der Laen pada tanggal 24
November 1659. Pada serangan ini, Belanda membakar habis Keraton Kuta
Gawang beserta permukiman penduduk, termasuk pemukiman orang Cina,
Portugis, Arab, dan bangsa-bangsa lain yang ada di seberang Kuta tersebut
selama 3 hari 3 malam. Akibat Keraton Kuto Gawang dibakar habis oleh VOC,
Sultan Abdurrahman kemudian memindahkan keraton ke Beringin Janggut
(sekarang sebagai pusat perdagangan Palembang).
Kesultanan Palembang Darussalam sendiri secara resmi diproklamirkan
oleh Pangeran Ratu Kimas Hindi Sri Susuhanan Abdurrahman Candiwalang
Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (atau lebih dikenal Ki Mas Hindi/Sunan
Cinde Walang) sebagai sultan pertama (1659-1706), terlepas dari pengaruh
Kerajaan Mataram (Jawa). Dia menyatakan diri sebagai sultan, setara dengan
Sultan Agung di Mataram. Corak pemerintahannya pun diubah condong ke
corak Melayu dan lebih disesuaikan dengan ajaran agama Islam.

134
Dari bentuk sistem pemerintahan keraton Jawa di tepi Sungai Musi, para
penguasa Kerajaan Palembang ini kemudian beradaptasi dengan lingkungan
Melayu di sekitarnya. Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan
Jawa dan Melayu, yang kemudian dikenal sebagai kebudayaan Palembang.
Sultan Mahmud Badaruddin I yang bergelar Jayo Wikramo (1724-1757)
adalah tokoh pembangunan era ini. Dia membuat kanal-kanal di wilayah
kesultanan yang berfungsi ganda, yaitu sebagai alur pelayaran dan pertanian
juga untuk pertahanan. SMB I memantapkan konsep kosmologi Batanghari
Sembilan sebagai satu lifeworld dari kekuasaan Palembang.
Batanghari Sembilan adalah satu konsep Melayu - Jawa, yaitu adalah
delapan penjuru angin yang terpencar dari pusatnya yang merupakan penjuru
kesembilan. Pusat atau penjuru kesembilan ini berada di Keraton Palembang.
Di masa kepemimpinannya juga, ia telah berhasil melakukan pembangunan,
antara lain Gubah Kawah Tekurep (1728), Mesjid Agung (1738) dan Keraton
Kuto Lamo (1737) (Badaruddin, 2008:33).
Tahun 1821 Keraton Kuto Lamo diserang oleh Belanda dan tanggal 7
Oktober 1823, Reguting Commisaris Belanda J.L Van Seven House
diperintahkan membongkarnya habis untuk menghilangkan monumental
Kesultanan Palembang demi membalas dendam atas dibakarnya loji Sungai Aur
oleh SMB I pada tahun 1811. Bangunan ini dibangun kembali (1825) yang
selanjutnya dijadikan komisariat Pemerintah Hindia Belanda untuk Sumatera
Bagian Selatan sekaligus sebagai kantor Residen.
Pada tahun 1942-1945 gedung ini sempat dikuasai oleh Jepang. Tahun
1949 gedung tersebut dijadikan kantor Toritorium II Sriwijaya dan tahun 1960-
1974 digunakan sebagai Resimen Induk IV Sriwijaya. Kini Keraton Kuto Lamo
itu berganti nama menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II yang
diabadikan sekaligus untuk mengingat dan menghargai jasa-jasanya.
Sumber : (http://anitashiva88.blogdetik.com)

135
Kuta Besak adalah keraton pusat Kesultanan Palembang
Darussalam, sebagai pusat kekuasaan tradisional yang mengalami proses
perubahan dari zaman madya menuju zaman baru di abad ke-19. Pengertian
KUTO di sini berasal dari kata Sanskerta, yang berarti: Kota, puri, benteng,
kubu (lihat ‘Kamus Jawa Kuno – Indonesia’, L Mardiwarsito, Nusa Indah
Flores, 1986). Bahasa Melayu (Palembang) tampaknya lebih menekankan pada
arti puri, benteng, kubu bahkan arti kuto lebih diartikan pada pengertian pagar
tinggi yang berbentuk dinding. Sedangkan pengertian kota lebih diterjemahkan
kepada negeri.

Benteng ini didirikan pada tahun 1780 oleh Sultan Muhammad


Bahauddin (ayah Sultan Mahmud Badaruddin II). Gagasan benteng ini
datangnya dari Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758) atau dikenal
dengan Jayo Wikramo, yang mendirikan Keraton Kuta Lama tahun 1737.
Proses pembangunan benteng ini didukung sepenuhnya oleh seluruh rakyat di
Sumatera Selatan. Mereka pun menyumbang bahan-bahan bangunan maupun
tenaga pelaksananya. Siapa arsiteknya, tidak diketahui dengan pasti. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa arsiteknya adalah orang Eropa. Untuk
pelaksanaan pengawasan pekerjaan dipercayakan kepada seorang Cina, yang
memang ahli di bidangnya. Sebagai bahan semen untuk perekat bata ini
dipergunakan batu kapur yang ada di daerah pedalaman Sungai Ogan. Tempat
penimbunan bahan kapur tersebut terletak di daerah belakang Tanah Kraton
yang sekarang disebut Kampung Kapuran, dan anak sungai yang digunakan
sebagai sarana angkutan ialah Sungai Kapuran.

Pada tahun 1797, pembangunan benteng ini selesai, dan mulai


ditempati secara resmi oleh Sultan Muhammad Bahauddin pada hari Senin,
23 Sya’ban 1211 Hijriah di pagi hari atau bersamaan dengan 21 Februari
1797 Masehi. Sedangkan putranya yang tertua, yang menjadi Pangeran Ratu
(putra mahkota) menempati Keraton Kuta Lama.

136
Pada Perang Palembang 1819 yang pertama, benteng ini dicoba
oleh peluru-peluru meriam korvet Belanda, tetapi tak satu pun peluru yang
dapat menembus, baik dinding maupun pintunya. Akibat kehabisan peluru dan
mesiu, maka armada Belanda tersebut melarikan diri ke Batavia. Dari sinilah
lahir ungkapan, yang menyatakan pekerjaan yang sia-sia, karena tak
mendatangkan hasil: Pelabur habis, Palembang tak alah, artinya perbuatan
atau usaha yang tak rnemberikan hasil, hanya mendatangkan rugi dan lelah
sernata. Peristiwa ini ditulis dengan penuh pesona dalam Syair Perang
Menteng atau disebut pula Syair Perang Palembang.

Selain keindahan dan kekokohannya, Kuto Besak memang terletak di


tempat strategis, yaitu di atas lahan bagaikan terapung di atas air. Dia terletak di
atas “pulau”, yaitu kawasan yang dikelilingi oleh Sungai Musi (di bagian muka
atau selatan), di bagian barat dibatasi oleh Sungai Sekanak, di bagian timur
berbatas Sungai Tengkuruk dan di belakangnya atau bagian utara dibatasi oleh
Sungai Kapuran. Kawasan ini disebut Tanah Kraton.

Gambar Sketsa Keraton Palembang oleh J. Jeakes


Bentuk dan keadaan tanah di kota Palembang seolah-olah berpulau-
pulau, dan oleh orang-orang Belanda memberinya gelar sebagai de Stad der
Twintig Eilanden (Kota Dua Puluh Pulau). Selanjutnya menurut G. Bruining,

137
pulau yang paling berharga (dier eilanden) adalah tempat Kuto Besak, Kuta
Lama dan Masjid Agung berdiri.
Terbentuknya pulau-pulau di kota Palembang ialah karena banyaknya
anak sungai yang melintas dan memotong kota ini. Sewajarnya pula kalau
Palembang disebut Kota Seratus Sungai. Sedangkan di zaman awal kolonial,
Palembang dijuluki oleh mereka sebagai het Indische Venetie. Julukan lainnya
adalah de Stad des Vredes, yaitu tempat yang tenteram (maksudnya Dar’s
Salam). Dan memang nama ini adalah nama resmi dari Kesultanan
Palembang Darussalam.

Peta Benteng Kota Besak (tanda plus) dilihat dengan wikimapia

1. Sejarah Singkat Keraton Kesultanan Palembang


Menurut catatan sejarah, cerita tentang Kesultanan Palembang muncul
melalui proses yang panjang dan berkaitan erat pula dengan kerajaan-kerajaan
besar lain, terutama di Pulau Jawa, seperti Kerajaan Majapahit, Demak, pajang
dan Mataram.

138
Raja Majapahit, Prabu Brawijaya yang terakhir memiliki putera bernama
Aria Damar atau setelah memeluk Islam disebut Aria Dilah dikirim kembali ke
Palembang untuk menjadi penguasa. Di sini ia menikah dengan saudara
Demang Lebar Daun yang bernama Puteri Sandang Biduk, dan diangkat
menjadi raja (1445-1486). Pada saat Aria Dilah memerintah Palembang, ia
mendapat kiriman seorang puteri Cina yang sedang hamil, yakni isteri ayahnya
yang diamanatkan kepadanya untuk mengasuh dan merawatnya. Sang puteri ini
melahirkan seorang putera di Pulau Seribu, yang diberi nama Raden Fatah atau
bergelar Panembahan Palembang, yang kemudian menjadi raja pertama di
Demak dan menjadi menantu Sunan Ampel.

Pada saat Raden Fatah menjadi raja Demak I (1478-1518), ia berhasil


memperbesar kekuasaannya dan menjadikan Demak kerajaan Islam pertama di
Jawa. Akan tetapi, kerajaan Demak tidak dapat bertahan lama karena terjadinya
kemelut perang saudara dimana setelah Pangeran Trenggono Sultan Demak III
anak Raden Fatah wafat, terjadilah kekacauan dan perebutan kekuasaan antara
saudaranya dan anaknya. Saudaranya, mengakibatkan sejumlah bangsawan
Demak melarikan diri kembali ke Palembang.

Rombongan dari Demak yang berjumlah 80 Kepala Keluarga ini diketuai


oleh Pangeran Sedo Ing Lautan (1547-1552) menetap di Palembang Lama (1
ilir) yang saat itu Palembang dibawah pimpinan Dipati Karang Widara,
keturunan Demang Lebar Daun. Mereka mendirikan Kerajaan Palembang yang
bercorak Islam serta mendirikan Istana Kuto Gawang dan Masjid di Candi
Laras (PUSRI sekarang). Pengganti Pangeran Sedo Ing Lautan sebagai Raja
adalah anaknya, Ki Gede Ing Sura Tuo selama 22 tahun (1552-1573). Oleh
karena beliau tidak berputera, maka ia mengangkat keponakannya menjadi
penggantinya dengan bergelar pula Ki. Gede Ing Suro Mudo (1573-1590).
Setelah wafatnya ia di ganti oleh Kemas Adipati selama 12 tahun. Kemudian
digantikan oleh anaknya Den Arya lamanya 1 tahun. Selanjutnya ia diganti oleh
Pangeran Ratu Madi Ing Angsoko Jamaluddin Mangkurat I (1596-1629) yang

139
wafat teraniaya di bawah pohon Angsoka. Pengganti selanjutnya ialah adiknya
Pangeran Madi Alit Jamaluddin Mangkurat II (1629-1630). Setelah wafat
diteruskan pula oleh adiknya yang bernama Pangeran Sedo Ing Puro
Jamaluddin Mangkurat III (1630-1639), wafat di Indra laya. Lalu digantikan
oleh kemenakannya yang bernama Pangeran Sedo Ing Kenayan Jamaluddin
Mangkurat IV (1639-1650) bersama dengan isterinya Ratu Senuhun. Ratu
Senuhun inilah yang menyusun "Undang-undang Simbur Cahaya" yang
mengatur adat pergaulan bujang gadis, ad at perkawinan, piagam dan lain
sebagainya.

Sebagai ganti Pangeran Sido Ing Kenayan ialah Pangeran Sedo Ing
Pesarean Jamaluddin Mangkurat V (1651-1652) bin Tumenggung Manca
Negara. Tongkat estafet selanjutnya dipegang oleh puteranya yang bernama
pangeran Sedo Ing Rejek Jamaluddin Mangkurat VI (1652-1659) sebagai raja
Palembang. Beliau raja yang alim dan wara'. Pada masanya ini terjadilah
pertempuran pertama dengan Belanda pada tahun 1659 yang mengakibatkan
Keraton Kuto Gawang hangus terbakar. Pangeran Sido Ing Rejek menyerahkan
kepemimpinannya kepada adiknya, Pangeran Kesumo Abdurrohim Kemas
Hindi. Sedangkan ia mengungsi ke Saka Tiga sampai akhir hayatnya dan di
sana pula jasadnya dikebumikan.

2. Latar Belakang Terbentuknya Kesultanan Palembang Darussalam


Perang yang Pertama Antara Kerajaan Palembang dan Belanda

140
KERATON KUTO GAWANG (1659)

Pada tahun 1658 datang diperairan sungai musidi pelimbang kapal-kapal


kompeni Belanda dari Batavia (jakarta sekarang) yang dipimpin oleh Cornelisz
Oc-kerse. Diantara kapal-kapal itu terdapat dua kapal besar bernama ’Jakarta’
dan ’de Wachter’

Kedatangan Cornelisz Oc-kerse ke Pelimbang itu adalah dalam rangka


memenuhi pelaksanaan kontrak dagang antara kompeni belanda dan kerajaan
pelimbang, diantaranya adalah timah putih dan rempah- rempah seperti lada
putih dan lada hitam.

Kito atau keraton pelimbang pada abad ke 16 dan awal abad ke 17


terletak di seberang ilir atau sebelah kiri dari sungai musi dan bernama waktu
itu KUTO GAWANG (Pusri Sekarang). Yang kemudian setelah Kuto tersebut
berpindah lagi ke tempat yang baru, bernama Kuto Cerancangan pada akhir
abad ke 18, maka Kuto Gawang diberi nama PELIMBANG LAMA.

Keraton Kuto Gawang ini terletak diantara dua sungai yaitu bernama
Sungai Buah dan Sungai Linta dan ditengah-tengah kuto tersebut terdapat
sungai Rengas.

Kuto atau Keraton Kerajaan Pelimbang tersebut panjang dan lebarnya


sama yaitu 700 Depa atau k.l. 1100 m lebar, dan dikelilingi oleh tembok atau
benteng terbikin dari kayu setinggi 7,25 m, dan terdiri atas balok-balok dari
kayu besi atau kayu unglen (kayu tulen) berukuran 30x30 cm.

Dibelakang benteng kayu ini yang disusun secara rapih sekali dan teratur,
terdapat pula tembok dari tanah dimana tersusun meriam-meriam
pertahanannya. Dibagian pinggir sungai musi terdapat pula tiga (BULUARTI)
atau anjungan (bastion). Satu diantaranya yang terletak dibagian tengah adalah
dibikin dari batu. Ketiga buluarti ini dilengkapi pula dem\ngan alat-alat
persenjataannya seperti meriam, lelo, dan lain sebagainya.

141
Pintu utama masuk ke dalam kuto ini adalah dari sungai rengas, dan
begitulah terdapat pula pintu-pintu lainnya dari samping kiri kanan dan
belakang.

Disebelah timur dari kuto ini terdapat pula kembara yang pada masa jauh
sebelum kedatangan belanda ini telah dibangun kubu-kubu pertahanan yang
dilengkapi dengan lapisan-lapisan cerucug dari kayu unglen terbentang dari
pantai sebelah hilir sungai musi sampai kepantai seberang hulu sungai musi
berikut rantainya. Ketiga kubu pertahanan atau istilah sekarang benteng yang
terletak di pulau kembara, bernama benteng ”manguntama” yang kedua terletak
disebelah hilir bagus kuning yaitu bernama benteng pertahanan ”Martapura”
dan yang terletak di muara pelaju adalah benteng pertahanan yang terbesar
bernama ”Tambakbaja”.

Seperti kita ketahui bukan saja di pelimbang. Kompeni belanda dalam


melakukan kontraknya selalu berbuat curang dan melakukan penyelundupan-
penyelundupan, baik oleh pihak kompeninya sendiri. Maupun pribadi orangnya
sendiri, tetapi rata-rata diseluruh wilayah nusantara kita ini. Maka atas
penipuan-penipuan tersebut timbulah amarah rakyat pelimbang terhadap
kompeni belanda. Pada bulan desember 1658 kapl-kapal belanda diserbu
secara serentak oleh kerajaan pelimbang bersama-sama rakyat dibawah
pimpinan Pangeran Ario Kusuma Abdulrochim Kiayi Mas Endi dengan dibantu
oleh :

1. Adiknya Putri Ratu Emas Temenggung Bagus Kuning Pangluku

2. Pangeran Mangku Bumi Nembing Kapal.

3. Kiyai Demang Kecek.

Didalam pertempuran tersebut maka sebahagian dari anak kapal Cornelisz


Oc-kerse dapat ditewaskan, sebagian ditawan sebagian lagi dapat lolos melalui
Jambi kemarkasnya di Betawi. Dua kapal besar belanda dari angkatan lautnya

142
yaitu, ’JAKARTA’ dan ’ de WACHTER’ dapat dikuasai dan dimenangkan oleh
pelimbang dalam peperangan tersebut. Kemudian kedua kapal tersebut
disimpan di pulau kembara. Kesemuanya ini adalah akibat kecurangan dari
pihak kompeni belanda yang dalam pelaksanaan kontrak dagangnya dengan
kerajaan pelimbang tidak mematuhi peraturan kontraknya sendiri.

Rupanya kompeni tidak melupakan kejadian tersebut begitu saja, satu


tahun kemudian pada tanggal 10 november 1659 menyusul satu armada kapal
perang dibawah pimpinan commandeur JOHAN vender LAAN dimuka kubu
pertahanan (benteng) Manguntama, dan benteng tambak jaya yang terletak di
pulau kembara dan muara sungai komering, menggempur benteng pertahanan
pelimbang tersebut. Pada hari permulaan Belanda keisian dan dipukul mundur
sampai posisi pulau salah nama sebab kapal-kapal perang mereka banyak yang
rusak tenggelam, orang-orangnya banyak yang cidera karena tembakan oleh
meriam Sri Pelimbang yang sangat dibanggakan oleh rakyat pelimbang dan
diakui oleh musuh kehebatannya itu, baik dari segi kaliber kekuatan maupun
keampuhannya sehingga pada jaman itu meriam musuh yang dapat
menandinginya.

Dalam keadaan posisi yang parah itu maka pihak pihak musuh mencari
siasat dan jalan keluar berupa mengincar letak pusat penyimpanan obat mesiu
pelimbang. Walaupun bagaimana sulitnya untuk mendapatkan rahasia
penyimpanan tersebut, akhirnya letak dari gudang-gudang obat mesiu itu dapat
juga diketahui oleh mereka, diledakkan oleh musuh pusat pennyimpanan mesiu
di benteng tambak baya di muara pelaju itu.

Oleh karena itu maka posisi pertempuran beberapa kali berubah –ubah
dan akhirnya dikarenakan gudang-gudang mesiu pelimbang terbakar, maka
palembang harus bertempur dengn senjata tajam, seperti keris, pedang, panah,
tombak nibung, yaitu semacam tombak bambu runcing yang berbisa sekali.
Dikarenakan kuto gawang hampir habis terbakar itu maka pasukan dan rakyat

143
palemban berangsur mengundurkan diri kepedalaman. Raja pelimbang, sido ing
rejek berikut rakyatnya kemudian mendirikan kuto baru di pedalaman yang
diberi nama indralaya yang dijadikan tempat kedudukan raja pelimbang.
Sebagian besar rakyat pelimbang dibawa oleh raja mengungsi ke saka tiga,
pedamaran, tanjung batu dan pondok, tetapi kemudian sebagian besar dari
mereka tinggal menetap ditempat-tempat tersebut hingga sekarang telah
berkeluarga, turun temurun menjadi penduduk ditempat-tempat tersebut.
Setelah pelimbang dan kuto gawang hampir dikosongkan dengan
mengungsinya sebagian besar penduduknya ke pedalaman, maka dalam pada
itu raja mengambil siasat melakukan sistem peperangan secara pengepungan
(blokade) dan gerilya terhadap kompeni belanda dan raja sendiri pindah ke saka
tiga. Ternyata masih banyak peniggalannya di tempat tersebut yaitu. Makam
perkuburannya sendiri, masjid, balainya dan lain-lain. Pada siang harinya
rakyat dan tentara pelimbang menghilang tidak menampakkan diri di kuto yang
sebagian telah dibakar dan dibumi hanguskan itu, dan baru pada malam harinya
diadakan kesibukan-kesibukan. Sandang dan pangan tidak di jual belikan
kepada kompeni belanda, sehingga mereka lama kelamaan menderita
kekurangan persediaan.

Di indralaya, saka tiga, pedamaran, pondok, tanjung batu, dan daerah


sekitarnya rakyat sibuk membuat alat-alat persenjataan untuk perang dan
pembangunan. Di pondok khususnya untuk pertemuan, oleh raja sendiri
diadakan dan dipimpin musyawarah besar bersama dengan alim ulama,
hulubalang, pemimpin pasukan, pemuka rakyat perihal bagaimana cara
melakukan siasat peperangan melawan musuh. Jikalau tadinya hanya kaum pria
saja yang berperang, maka didalam musyawarah di pondok tersebut diambil
keputusan antara lain, bahwa didalam peperangan yang akan diadakan nanti
kaum wanita juga akan ikut serta yang pimpinananya akan ditunjuk adalah adik
dari kyai kemas endi pangeran ario kusumo abdul rochim, ratu bagus kuning

144
dengan gelar Tumenggung Bagus Pangluklu, yaitu adik dari Pangeran Sido Ing
Rejek.

Maka didalam menghadapi peperangan yang akan dilakuakan pada hari-


hari mendatang melawan belanda itu setelah diadakan persiapan-persiapan itu
da;lam waktu yang cukuo lama dan matang dengan cara kerja sama dan
persaudaraan yang baik itu, maka di aturlah pimpinan oleh empat orang yaitu :

1. Pangeran Ario Kesumo Abdul Rochim adik raja sendiri, selaku


pimpinan umum
2. Pangeran Mangku Bumi Nembing Kapal dengan alim ulama,
hulubalang dan pasukan sabililahnya
3. Ki Demang Kecek dengan pasukan dan rakyatnya sebagian dari
jambi dan sekutu-sekutunya.
4. Ratu Tumenggung Bagus Kuning Pangluku, dengan srikandi-srikandi
pimpinan serta pasukan-pasukannya.

Maka didalam peperangan berlangsung begitu dahsyat dan agak lama


banyak jatu korban dikedua belah pihak. Lama kelamaan dipihak belanda tidak
bertahan dengan serangan dari rakyat pelimbang secara gerilya maupun secara
langsung terus menerus dari pedalaman dan segala penjuru. Disamping itu
menilik pula bahwa posisi belanda selama di blokade itu banyak diantara
mereka yang sakit akibat kekurangan obat dan pangan dan selama itu tidak
dapat turun ke daratan dan kekurangan perlengkapan. Melihat hal demikian
serangan dari pihak palembang berjalan terus , maka armada belanda kemudian
tidak dapat bertahan lebih lama lagi dengan banyak korban Comandeur JOHAN
vander LAAN

Menundurkan diri ke perairan yang aman di luar jarak tembakan meriam


dari ketiga benteng pertahanan pelimbang yaitu : Tambak baya, pulau kembara
laut dan kembara darat dan mangun tama. Dua hari kemudian armada angkatan
perang belanda dipimpin oleh Comandeur JOHAN vander LAAN dan wakil

145
komandeurnya JOHAN TEREUYTMAN meninggalkan perairan musi dan
mengundurkan diri ke Batavia (Betawi).

Sejak terbakar habisnya keraton Kuto Gawang, Palembang telah rata


dengan tanah. Akan tetapi Palembang harus bangkit dan perlu kepemimpinan.
Kemas Hindi dengan upaya dan kharismanya yang tinggi, menegakkan kembali
harkat dan martabat Palembang. Ia berhasil memimpin, membentuk serta
membangun kembali peradaban Palembang pasca perang 1659, dan
memutuskan keterikatan dengan Jawa terutama Mataram. Kemudian pada tahun
1666, Pangeran Ario Kusumo Kemas Hindi memproklamirkan Palembang
menjadi Kesultanan Palembang Darussalam dan beliau dilantik sebagai sultan
oleh Badan Musyawarah Kepala-kepala Negeri Palembang dengan gelar Sultan
Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam serta mendapat legalitas pula
dari Kerajaan Istambul (Turki Usmani). Sebuah keraton baru Kuto
Cerancangan di Beringin Janggut dibangunnya dalam tahun 1660, dan sebuah
masjid negara (1663). Masjid ini kemudian dikenal dengan Masjid Lama (17
ilir sekarang) dan kini hanya tinggal namanya saja.

Bapak pembangunan Kesultanan Palembang Darussalam ini setelah


wafatnya disebut dengan Sunan Candi Walang, makamnya terdapat di Gubah
Candi Walang 24 ilir Palembang, pemerintahannya selama 45 tahun. Dibawah
kepemimpinan beliaulah Islam telah menjadi agama Kesultanan Palembang
Darussalam (Darussalam = negeri yang aman, damai dan sejahtera) dan
pelaksanaan hukum syareat Islam berdasarkan ketentuan resmi. Beliaulah yang
memantapkan menyusun, mengatur serta mengorganisir struktur pemerintahan
modern secara luas dan menyeluruh, hukum dan pengadilan ditegakkan,
pertahanan, pertanian, perhutanan dan hasil bumi lainnya ditata dengan serius.
Struktur pemerintahan di tata sesuai menurut adat istiadat negeri yang lazim
diatur leluhur kita di Palembang ini. Sultan mempunyai seorang penasehat
Agama dan seorang sekretaris. Juga didampingi pelaksana pemerintahan sehari-
hari sebagai pelaksana harian dan didampingi oleh Kepala Pemerintahan

146
setempat sebagai Kepala Daerah. Tiga orang sebagai anggota Dewan Menteri
terdiri dari pangeran Natadiraja, pangeran Wiradinata dan pangeran Penghulu
Nata Agama yang mengatur tentang seluruh permasalahan Agama Islam.

PERANG PALEMBANG PERTAMA – VOC (1659)

147
KERATON PALEMBANG (1821)

Sumber : http://keratonpalembang.blogspot.co.id/p/sejarah.html

G. Sanitasi Keraton
Menurut WHO Sanitasi merupakan suatu usaha untuk mengawasi
beberapa faktor lingkungan fisik yang berpengaruh kepada manusia terutama
terhadap hal-hal yang mempunyai efek merusak perkembangan fisik, kesehatan,
dan kelangsungan hidup.

Sanitasi adalah perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih


dengan maksud mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan
bahan buangan berbahaya lainnya dengan harapan usaha ini akan menjaga dan
meningkatkan kesehatan manusia.

Pengertian Sanitasi menurut para ahli yaitu:

1. Menurut Dr.Azrul Azwar, MPH, sanitasi adalah cara pengawasan masyarakat


yang menitikberatkan kepada pengawasan terhadap berbagai faktor
lingkungan yang mungkin mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat

148
2. Menurut Hopkins, sanitasi adalah cara pengawasan terhadap factor-faktor
lingkungan yang mempunyai pengaruh terhadap lingkungan.

Secara umum, Sanitasi diartikan sebagai suatu upaya yang


dilakukan untuk menjaga lingkungan agar tetap bersih dan terbebas dari
ancaman penyakit. Sedangkan tempat-tempat umum diartikan sebagai suatu
tempat dimana banyak orang berkumpul untuk melakukan kegiatan baik
secara insidentil maupun terus-menerus, baik secara membayar, maupun
tidak.
Sedangkan pengertian Keraton atau kraton (bahasa Jawa) adalah
daerah tempat seorang penguasa (raja atau ratu) memerintah atau tempat
tinggalnya (istana). Dalam pengertian sehari-hari, keraton sering merujuk
pada istana penguasa di Jawa. Dalam bahasa Jawa, kata kraton (ke-ratu-an)
berasal dari kata dasar ratu yang berarti penguasa. Kata Jawa ratu berkerabat
dengan kata dalam bahasa Melayu; datuk/datu. Dalam bahasa Jawa sendiri
dikenal istilah kedaton yang memiliki akar kata dari datu, di Keraton
Surakarta istilah kedaton merujuk kepada kompleks tertutup bagian dalam
keraton tempat raja dan putra-putrinya tinggal.( www.wikipedia.com)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sanitasi keraton merupakan
suatu usaha atau upaya yang dilakukan untuk menjaga kebersihan keraton
yang sering digunakan untuk menjalankan aktivitas hidup sehari-hari agar
terhindar dari ancaman penyakit yang merugikan kesehatan.

H. Langkah-langkah Melakukan STTU


Sanitasi tempat-tempat umum adalah suatu usaha untuk mengawasi dan
mencegah kerugian akibat dari tidak terawatnya tempat-tempat umum tersebut
yang mengakibatkan timbul menularnya berbagai jenis penyakit, atau
Sanitasi tempat-tempat umum merupakan suatu usaha atau upaya yang
dilakukan untuk menjaga kebersihan tempat-tempat yang sering digunakan

149
untuk menjalankan aktivitas hidup sehari-hari agar terhindar dari ancaman
penyakit yang merugikan kesehatan.

Tujuan dari pengawasan sanitasi tempat-tempat umum, antara lain:


1. Untuk memantau sanitasi tempat-tempat umum secara berkala.
2. Untuk membina dan meningkatkan peran aktif masyarakat dalam
menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat di tempat-tempat umum.

Kegiatan yang mendasari sanitasi tempat-tempat umum (STTU), yaitu:

1. Pemetaan (monitoring)
Pemetaan (monitoring) adalah meninjau atau memantau letak, jenis dan
jumlah tempat-tempat umum yang ada kemudian disalin kembali atau
digambarkan dalam bentuk peta sehingga mempermudah dalam
menginspeksi tempat-tempat umum tersebut.

2. Inspeksi sanitasi
Inspeksi sanitasi adalah penilaian serta pengawasan terhadap tempat-
tempat umum dengan mencari informasi kepada pemilik, penanggung jawab
dengan mewawancarai dan melihat langsung kondisi tempat umum untuk
kemudian diberikan masukan jika perlu apabila dalam pemantauan masih
terdapat hal-hal yang perlu mendapatkan pembenahan.

a. Fasilitas kerja pengelola.

b. Fasilitas sanitasi, seperti penyediaan air bersih, bak sampah, WC/


Urinoir, kamar mandi, pembuangan limbah.

Jadi sanitasi tempat-tempat umum adalah suatu usaha untuk


mengawasi dan mencegah kerugian akibat dari tempat-tempat umum
terutama yang erat hubungannya dengan timbulnya atau menularnya suatu
penyakit. Untuk mencegah akibat yang timbul dari tempat-tempat umum.

150
Usaha-usaha yang dilakukan dalam sanitasi tempat-tempat umum
dapat berupa :

1. Pengawasan dan pemeriksaan terhadap factor lingkungan dan factor


manusia yang melakukan kegiatan pada tempat-tempat umum.
2. Penyuluhan terhadap masyarakat terutama yang menyangkut pengertian
dan kesadaran masyarakat terhadap bahaya-bahaya yang timbul dari
tempat-tempat umum.

Peran sanitasi tempat-tempat umum dalam kesehatan masyarakat adalah


usaha untuk menjamin :

1. Kondisi fisik lingkungan TTU yang memenuhi syarat :

a. Kualitas kesehatan.

b. Kualitas sanitasi.

2. Psikologis bagi masyarakat :

a. Rasa keamanan (security) : bangunan yang kuat dan kokoh sehingga

tidak menimbulkan rasa takut bagi pengunjung.

b. Kenyamanan (confortmity) : misalnya kesejukkan.

c. Ketenangan (safety) : tidak adanya gangguan kebisingan, keramaian


kendaraan.

3. Penyuluhan
Penyuluhan terhadap masyarakat (education) terutama untuk
menyangkut pengertian dan kesadaran masyarakat terhadap bahaya-
bahaya yang timbul dari STTU.

151
MUSEUM

A. Pengertian Museum
Museum adalah lembaga yang diperuntukkan bagi masyarakat umum.
Museum berfungsi mengumpulkan, merawat, dan menyajikan serta
melestarikan warisan budaya masyarakat untuk tujuan studi, penelitian dan
kesenangan atau hiburan (Ayo Kita Mengenal Museum ; 2009).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 1995, museum
adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan
pemanfaatan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan
lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan
budaya bangsa. Sedangkan menurut Intenasional Council of Museum (ICOM) :
dalam Pedoman Museum Indoneisa,2008.
Museum adalah sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari
keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum,
memperoleh, merawat, menghubungkan dan memamerkan artefak-artefak
perihal jati diri manusia dan lingkungannya untuk tujuan studi, pendidikan dan
rekreasi.

B. Fungsi Museum
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 : dalam
Pedoman Museum Indoneisa,2008. museum memiliki tugas menyimpan,
merawat, mengamankan dan memanfaatkan koleksi museum berupa benda
cagar budaya. Dengan demikian museum memiliki dua fungsi besar yaitu :
1. Sebagai tempat pelestarian, museum harus melaksanakan kegiatan sebagai
berikut :
a. Penyimpanan, yang meliputi pengumpulan benda untuk menjadi koleksi,
pencatatan koleksi, sistem penomoran dan penataan koleksi.Perawatan,
yang meliputi kegiatan mencegah dan menanggulangi kerusakan koleksi.

152
b. Pengamanan, yang meliputi kegiatan perlindungan untuk menjaga koleksi
dari gangguan atau kerusakan oleh faktor alam dan ulah manusia.
c. Sebagai sumber informasi, museum melaksanakan kegiatan pemanfaatan
melalui penelitian dan penyajian.
d. Penelitian dilakukan untuk mengembangkan kebudayaan nasional, ilmu
pengetahuan dan teknologi.
e. Penyajian harus tetap memperhatikan aspek pelestarian dan
pengamanannya.

C. Jenis-jenis Museum
Museum yang terdapat di Indonesia dapat dibedakan melaui beberapa
jenis klasifikasi (Ayo Kita Mengenal Museum ; 2009), yakni sebagai berikut :
1. Jenis museum berdasarkan koleksi yang dimiliki, yaitu terdapat dua jenis :

Museum Umum, museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan bukti


material manusia dan atau lingkungannya yang berkaitan dengan berbagai
cabang seni, disiplin ilmu dan teknologi.
Museum Khusus, museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan bukti
material manusia atau lingkungannya yang berkaitan dengan satu cabang
seni, satu cabang ilmu atau satu cabang teknologi.

2. Jenis museum berdasarkan kedudukannya, terdapat tiga jenis Museum


Nasional, museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan benda yang
berasal, mewakili dan berkaitan dengan bukti material manusia dan atau
lingkungannya dari seluruh wilayah Indonesia yang bernilai nasional.
Museum Propinsi, museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan
benda yang berasal, mewakili dan berkaitan dengan bukti material manusia
dan atau lingkungannya dari wilayah propinsi dimana museum berada.

153
Museum Lokal, museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan
benda yang berasal, mewakili dan berkaitan dengan bukti material manusia
dan atau lingkungannya dari wilayah kabupaten atau kotamadya dimana
museum tersebut berada.

Sumber :http://belajaritutiadaakhir.blogspot.co.id/2011/08/museum-di-indonesia.html)

D. Sejarah Museum di Dunia

Museum berasal dari kata Latin museion, yaitu kuil untuk sembilan
dewi Muse, anak-anak Dewa Zeus yang tugas utamanya adalah menghibur.
Dalam perkembangannya museion menjadi tempat kerja ahli-ahli pikir zaman
Yunani kuna, seperti Pythagoras dan Plato. Mereka menganggap museion
adalah tempat penyelidikan dan pendidikan filsafat, sebagai ruang lingkup ilmu
dan kesenian. Dengan kata lain tempat pembaktian diri terhadap ke sembilan
Dewi Muse tadi. Museum yang tertua sebagai pusat ilmu dan kesenian terdapat
di Iskandarsyah.

Museum adalah institusi permanen, nirlaba, melayani kebutuhan publik,


dengan sifat terbuka, dengan cara melakukan usaha pengoleksian,
mengkonservasi, meriset, mengomunikasikan, dan memamerkan benda nyata
kepada masyarakat untuk kebutuhan studi, pendidikan, dan kesenangan. Karena
itu ia bisa menjadi bahan studi oleh kalangan akademis, dokumentasi kekhasan
masyarakat tertentu, ataupun dokumentasi dan pemikiran imajinatif pada masa
depan).

Lama-kelamaan gedung museum tersebut, yang pada mulanya tempat


pengumpulan benda-benda dan alat-alat yang diperlukan bagi penyelidikan
ilmu dan kesenian, berubah menjadi tempat mengumpulkan benda-benda yang
dianggap aneh. Perkembangan ini meningkat pada abad pertengahan. Kala itu
yang disebut museum adalah tempat benda-benda pribadi milik pangeran,
bangsawan, para pencipta seni dan budaya, serta para pencipta ilmu

154
pengetahuan. Kumpulan benda (koleksi) yang ada mencerminkan minat dan
perhatian khusus pemiliknya.

Benda-benda hasil seni rupa ditambah benda-benda dari luar Eropa


merupakan modal yang kelak menjadi dasar pertumbuhan museum-museum
besar di Eropa. “Museum” ini jarang dibuka untuk masyarakat umum karena
koleksinya menjadi ajang prestise dari pemiliknya dan biasanya hanya
diperlihatkan kepada para kerabat atau orang-orang dekat. Museum juga pernah
diartikan sebagai kumpulan ilmu pengetahuan dalam karya tulis seorang
sarjana. Ini terjadi di zaman ensiklopedis yaitu zaman sesudah Renaissance di
Eropa Barat, ditandai oleh kegiatan orang-orang untuk memperdalam dan
memperluas pengetahuan mereka tentang manusia, berbagai jenis flora maupun
fauna serta tentang bumi dan jagat raya di sekitarnya. Gejala berdirinya
museum tampak pada akhir abad ke-18 seiring dengan perkembangan
pengetahuan di Eropa. Negeri Belanda yang merupakan bagian dari Eropa
dalam hal ini juga tidak ketinggalan dalam upaya mendirikan museum.

Perkembangan museum di Belanda sangat mempengaruhi


perkembangan museum di Indonesia. Diawali oleh seorang pegawai VOC yang
bernama G.E. Rumphius yang pada abad ke-17 telah memanfaatkan waktunya
untuk menulis tentang Ambonsche Landbeschrijving yang antara lain
memberikan gambaran tentang sejarah kesultanan Maluku, di samping
penulisan tentang keberadaan kepulauan dan kependudukan. Memasuki abad
ke-18 perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan, baik pada masa
VOC maupun Hindia-Belanda, makin jelas. Pada 24 April 1778 berdiri
Bataviaach Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Lembaga tersebut
berstatus setengah resmi, dipimpin oleh dewan direksi. Pasal 3 dan 19 Statuten
pendirian lembaga tersebut menyebutkan bahwa salah satu tugasnya adalah
memelihara museum yang meliputi: pembukuan (boekreij); himpunan
etnografis; himpunan kepurbakalaan; himpunan prehistori; himpunan keramik;

155
himpunan muzikologis; himpunan numismatik, pening dan cap-cap; serta
naskah-naskah (handschriften), termasuk perpustakaan.

Lembaga tersebut mempunyai kedudukan penting bukan saja sebagai


perkumpulan ilmiah, tetapi juga karena para anggota pengurusnya terdiri dari
tokoh-tokoh penting dari lingkungan pemerintahan, perbankan dan
perdagangan. Yang menarik dalam pasal 20 Statuten menyatakan bahwa benda
yang telah menjadi himpunan museum atau Genootschap tidak boleh
dipinjamkan dengan cara apapun kepada pihak ketiga dan anggota-anggota atau
bukan anggota untuk dipakai atau disimpan, kecuali mengenai perbukuan dan
himpunan naskah-naskah (handschiften) sepanjang peraturan membolehkan.

Pada waktu Inggris mengambil alih kekuasan dari Belanda, Raffles


sendiri yang langsung mengepalai Batavia Society of Arts and Sciences.
Kegiatan perkumpulan itu tidak pernah berhenti, bahkan Raffles memberi
tempat yang dekat dengan istana Gubernur Jendral yaitu di sebelah Harmoni
(Jl. Majapahit No. 3 sekarang).

Selama kolonial Inggris nama lembaga diubah menjadi Literary Society.


Namun ketika Belanda berkuasa kembali, diganti pada nama semula,
Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Watenschappen dan memusatkan
perhatian pada ilmu kebudayaan, terutama ilmu bahasa, ilmu sosial, ilmu
bangsa-bangsa, ilmu purbakala, dan ilmu sejarah. Sementara itu, perkembangan
ilmu pengetahuan alam mendorong berdirinya lembaga-lembaga lain. Di
Batavia anggota lembaga bertambah terus, perhatian di bidang kebudayaan
berkembang dan koleksi meningkat jumlahnya, sehingga gedung di Jl.
Majapahit menjadi sempit. Pemerintah kolonial Belanda membangun gedung
baru di Jl. Merdeka Barat No. 12 pada 1862. Karena lembaga tersebut sangat
berjasa dalam penelitian ilmu pengetahuan, maka pemerintah Belanda memberi
gelar “Koninklijk Bataviaasche Genootschap Van Kunsten en Watenschappen”.
Lembaga yang menempati gedung baru tersebut telah berbentuk museum

156
kebudayaan yang besar dengan perpustakaan yang lengkap (sekarang Museum
Nasional).

Sejak pendirian Bataviaach Genootschap van Kunsten en


Wetenschappen untuk pengisian koleksi museumnya telah diprogramkan antara
lain berasal dari koleksi benda-benda bersejarah dan kepurbakalaan baik dari
kalangan pemerintah maupun masyarakat. Semangat itu telah mendorong untuk
melakukan upaya pemeliharaan, penyelamatan, pengenalan bahkan penelitian
terhadap peninggalan sejarah dan purbakala. Kehidupan kelembagaan tersebut
sampai masa Pergerakan Nasional masih aktif bahkan setelah Perang Dunia I.
Masyarakat setempat didukung Pemerintah Hindia Belanda menaruh perhatian
terhadap pendirian museum di beberapa daerah di samping yang sudah berdiri
di Batavia, seperti Lembaga Kebun Raya Bogor yang terus berkembang di
Bogor. Von Koenigswald mendirikan Museum Zoologi di Bogor pada 1894.
Lembaga ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang bernama Radyapustaka
(sekarang Museum Radyapustaka) didirikan di Solo pada 28 Oktober 1890,
Museum Geologi didirikan di Bandung pada 16 Mei 1929, lembaga bernama
Yava Instituut didirikan di Yogyakarta pada 1919 dan dalam perkembangannya
pada 1935 menjadi Museum Sonobudoyo. Mangkunegoro VII di Solo
mendirikan Museum Mangkunegoro pada 1918. Ir. H. Maclaine Pont
mengumpulkan benda purbakala di suatu bangunan yang sekarang dikenal
dengan Museum Purbakala Trowulan pada 1920. Pemerintah kolonial Belanda
mendirikan Museum Herbarium di Bogor pada 1941.

Di luar Pulau Jawa, atas prakarsa Dr.W.F.Y. Kroom (asisten residen


Bali) dengan raja-raja, seniman dan pemuka masyarakat, didirikan suatu
perkumpulan yang dilengkapi dengan museum yang dimulai pada 1915 dan
diresmikan sebagai Museum Bali pada 8 Desember 1932. Museum Rumah
Adat Aceh didirikan di Nanggroe Aceh Darussalam pada 1915, Museum
Rumah Adat Baanjuang didirikan di Bukittinggi pada 1933, Museum

157
Simalungun didirikan di Sumatera Utara pada 1938 atas prakarsa raja
Simalungun.

Sesudah kemerdekaan Indonesia 1945 keberadaan museum diabadikan


pada pembangunan bangsa Indonesia. Para ahli bangsa Belanda yang aktif di
museum dan lembaga-lembaga yang berdiri sebelum 1945, masih diizinkan
tinggal di Indonesia dan terus menjalankan tugasnya. Namun di samping para
ahli bangsa Belanda, banyak juga ahli bangsa Indonesia yang menggeluti
permuseuman yang berdiri sebelum 1945 dengan kemampuan yang tidak kalah
dengan bangsa Belanda.

Memburuknya hubungan Belanda dan Indonesia akibat sengketa Papua


Barat mengakibatkan orang-orang Belanda meninggalkan Indonesia, termasuk
orang-orang pendukung lembaga tersebut. Sejak itu terlihat proses
Indonesianisasi terhadap berbagai hal yang berbau kolonial, termasuk pada 29
Februari 1950 Bataviaach Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang
diganti menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). LKI membawahkan
dua instansi, yaitu museum dan perpustakaan. Pada 1962 LKI menyerahkan
museum dan perpustakaan kepada pemerintah, kemudian menjadi Museum
Pusat beserta perpustakaannya. Periode 1962-1967 merupakan masa sulit bagi
upaya untuk perencanaan mendirikan Museum Nasional dari sudut
profesionalitas, karena dukungan keuangan dari perusahaan Belanda sudah
tidak ada lagi. Di tengah kesulitan tersebut, pada 1957 pemerintah membentuk
bagian Urusan Museum. Urusan Museum diganti menjadi Lembaga Urusan
Museum-Museum Nasional pada 1964, dan diubah menjadi Direktorat Museum
pada 1966. Pada 1975, Direktorat Museum diubah menjadi Direktorat
Permuseuman.

Pada 17 September 1962 LKI dibubarkan, Museum diserahkan pada


pemerintah Indonesia dengan nama Museum Pusat di bawah pengawasan

158
Direktorat Jenderal Kebudayaan. Museum Pusat diganti namanya menjadi
Museum Nasional pada 28 Mei 1979.

Penyerahan museum ke pemerintah pusat diikuti oleh museum-museum


lainnya. Yayasan Museum Bali menyerahkan museum ke pemerintah pusat
pada 5 Januari 1966 dan langsung di bawah pengawasan Direktorat Museum.
Begitu pula dengan Museum Zoologi, Museum Herbarium, dan museum
lainnya di luar Pulau Jawa mulai diserahkan kepada pemerintah Indonesia.
Sejak museum-museum diserahkan ke pemerintah pusat, museum semakin
berkembang. Bahkan museum baru pun bermunculan, baik diselenggarakan
oleh pemerintah maupun oleh yayasan-yayasan swasta.

Perubahan politik akibat gerakan reformasi yang dipelopori oleh para


mahasiswa pada 1998, telah mengubah tata negara Republik Indonesia.
Perubahan ini memberikan dampak terhadap permuseuman di Indonesia.
Direktorat Permuseuman diubah menjadi Direktorat Sejarah dan Museum di
bawah Departemen Pendidikan Nasional pada 2000. Pada 2001, Direktorat
Sejarah dan Museum diubah menjadi Direktorat Permuseuman. Susunan
organisasi diubah menjadi Direktorat Purbakala dan Permuseuman di bawah
Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata pada 2002. Direktorat
Purbakala dan Permuseuman diubah menjadi Asdep Purbakala dan
Permuseuman pada 2004. Akhirnya pada 2005, dibentuk kembali Direktorat
Museum di bawah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata. (Tim Direktorat Museum).

Sumber : (http://museumku.wordpress.com/sejarah-museum/)

1. Beberapa museum di dunia, diantaranya:


a. Capitoline Museums, merupakan museum dengan koleksi seni yang
ditujukan untuk publik yang paling tua di dunia, dimulai pada tahun

159
1471 ketika Paus Siktus IV mendonasikan sekelompok koleksi patung
kuno untuk masyarakat Roma
b. Museum Vatikan, merupakan museum kedua tertua di dunia, dibuka
untuk unmum sejak 1501 oleh Paus Julius II
c. Rumphius membangun sebuah museum botani di Ambon pada tahun
1662, dan membuat museum tersebut menjadi museum tertua di
Indonesia. Tidak ada yang tersisa dari museum tersebut, kecuali dalam
buku yang dia tulis sendiri, yang sekarang menjadi koleksi perpustakaan
Museum Nasional Indonesia. Penerusnya adalah Ikatan Kesenian dan
Ilmu Kerajaan di Batavia, yang dibangun pada 24 April 1778.
Organisasi ini mendirikan sebuah museum dan perpustakaan, dan
berperan penting dalam penelitian, dan pengumpulan bahan penelitian
mengenai sejarah alam dan kebudayaan di Indonesia.[5]
d. British Museum di London, Inggris, didirikan pada tahun 1753 dan
dibuka untuk publik pada 1759. Koleksi pribadi Sir Hans Sloane
merupakan dasar dari koleksi British Museum.
e. Hermitage Museum dibangun pada tahun 1764 oleh Yekaterina II dari
Rusia dan telah dibuka untuk umum sejak 1852.
f. Museum Louvre di Paris Perancis, merupakan museum yang juga
diletakkan pada bekas istana kerajaan, dibuka untuk publik pada tahun
1793.
Sumber : (http://id.wikipedia.org/wiki/Museum)

E. Sejarah Museum di Indonesia

Pengertian tentang museum dari zaman ke zaman mengalami


perubahan. Hal ini disebabkan karena museum senantiasa mengalami
perubahan tugas dan kewajibannya. Museum merupakan suatu gejala sosial
atau kultural dan mengikuti sejarah perkembangan masyarakat dan kebudayaan
yang menggunakan museum itu sebagai prasarana sosial atau kebudayaan.

160
Museum berakar dari kata Latin “museion”, yaitu kuil untuk sembilan
dewi Muse, anak-anak Dewa Zeus yang tugas utamanya adalah menghibur.
Dalam perkembangannya museion menjadi tempat kerja ahli-ahli pikir zaman
Yunani kuna, seperti sekolahnya Pythagoras dan Plato. Dianggapnya tempat
penyelidikan dan pendidikan filsafat sebagai ruang lingkup ilmu dan kesenian
adalah tempat pembaktian diri terhadap ke sembilan Dewi Muse tadi. Museum
yang tertua sebagai pusat ilmu dan kesenian adalah yang pernah terdapat di
Iskandarsyah.

Lama kelamaan gedung museum tersebut yang pada mulanya tempat


pengumpulan benda-benda dan alat-alat yang diperlukan bagi penyelidikan
ilmu dan kesenian, ada yang berubah menjadi tempat mengumpulkan benda-
benda yang dianggap aneh. Perkembangan ini meningkat pada abad
pertengahan dimana yang disebut museum adalah tempat benda-benda pribadi
milik pangeran, bangsawan, para pencipta seni dan budaya, para pencipta ilmu
pengetahuan, dimana dari kumpulan benda (koleksi) yang ada mencerminkan
apa yang khusus menjadi minat dan perhatian pemiliknya.

Benda-benda hasil seni rupa sendiri ditambah dengan benda-benda dari


luar Eropa merupakan modal koleksi yang kelak akan menjadi dasar
pertumbuhan museum-museum besar di Eropa. "Museum" ini jarang dibuka
untuk masyarakat umum karena koleksinya menjadi ajang prestise dari
pemiliknya dan biasanya hanya diperlihatkan kepada para kerabat atau orang-
orang dekat. Museum juga pernah diartikan sebagai kumpulan ilmu
pengetahuan dalam karya tulis seorang sarjana. Ini terjadi di zaman
ensiklopedis yaitu zaman sesudah Renaissance di Eropa Barat ditandai oleh
kegiatan orang-orang untuk memperdalam dan memperluas pengetahuan
mereka tentang manusia, berbagai jenis flora maupun fauna serta tentang bumi
dan jagat raya disekitarnya. Gejala berdirinya museum tampak pada akhir abad
18 seiring dengan perkembangan pengetahuan di Eropa. Negeri Belanda yang

161
merupakan bagian dari Eropa dalam hal ini juga tidak ketinggalan dalam upaya
mendirikan museum.

Perkembangan museum di Belanda sangat mempengaruhi


perkembangan museum di Indonesia. Diawali oleh seorang pegawai VOC yang
bernama G.E. Rumphius yang pada abad ke-17 telah memanfaatkan waktunya
untuk menulis tentang Ambonsche Landbeschrijving yang antara lain
memberikan gambaran tentang sejarah kesultanan Maluku, di samping
penulisan tentang keberadaan kepulauan dan kependudukan. Memasuki abad
ke-18 perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan baik pada masa
VOC maupun Hindia-Belanda makin jelas dengan berdirinya lembaga-lembaga
yang benar-benar kompeten, antara lain pada tanggal 24 April 1778 didirikan
Bataviaach Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, lembaga tersebut
berstatus lembaga setengah resmi dipimpin oleh dewan direksi. Pasal 3, dan 19
Statuten pendirian lembaga tersebut menyebutkan bahwa salah satu tugasnya
adalah memelihara museum yang meliputi: pembukuan (boekreij); himpunan
etnografis; himpunan kepurbakalaan; himpunan prehistori; himpunan keramik;
himpunan muzikologis; himpunan numismatik, pening dan cap-cap; serta
naskah-naskah (handschriften), termasuk perpustakaan.

Lembaga tersebut mempunyai kedudukan yang penting bukan saja


sebagai perkumpulan ilmiah, tetapi juga karena para anggota pengurusnya
terdiri dari tokoh-tokoh penting dari lingkungan pemerintahan, perbankan dan
perdagangan. Yang menarik dalam pasal 20 Statuten menyatakan bahwa benda
yang telah menjadi himpunan museum atau Genootschap tidak boleh
dipinjamkan dengan cara apapun kepada pihak ketiga dan anggota-anggota atau
bukan anggota untuk dipakai atau disimpan, kecuali mengenai perbukuan dan
himpunan naskah-naskah (handschiften) sepanjang peraturan membolehkan.

Pada waktu Inggris mengambil alih kekuasan dari Belanda, Raffles


sendiri yang langsung mengepalai Batavia Society of Arts and Sciences. Jadi

162
waktu inggris kegiatan perkumpulan itu tidak pernah berhenti, bahkan Raffles
memberi tempat yang dekat dengan istana Gurbenur Jendral yaitu di sebelah
Harmoni (Jl. Majapahit No. 3 sekarang).

Selama kolonial Inggris nama lembaga diubah menjadi "Literary


Society". Namun ketika kolonial Belanda berkuasa kembali pada nama semula
yaitu "Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Watenschapen " dan
memusatkan perhatian pada ilmu kebudayaan, terutama ilmu bahasa, ilmu
sosial, ilmu bangsa-bangsa, ilmu purbakala, dan ilmu sejarah. Sementara itu,
perkembangan ilmu pengetahuan alam mendorong berdirinya lembaga-lembaga
lain. Di Batavia anggota lembaga bertambah terus, perhatian di bidang
kebudayaan berkembang dan koleksi meningkat jumlahnya, sehingga gedung di
Jl. Majapahit menjadi sempit. Pemerintah kolonial belanda membangun gedung
baru di Jl. Merdeka Barat No. 12 pada tahun 1862. Karena lembaga tersebut
sangat berjasa dalam penelitian ilmu pengetahuan maka pemerintah Belanda
memberi gelar "Koninklijk Bataviaasche Genootschap Van Kunsten en
Watenschapen". Lembaga yang menempati gedung baru tersebut telah
berbentuk museum kebudayaan yang besar dengan perpustakaan yang lengkap
(sekarang Museum Nasional).

Sejak pendirian Bataviaach Genootschap van Kunsten en


Wetenschappen untuk pengisian koleksi museumnya telah diprogramkan antara
lain berasal dari koleksi benda-benda bersejarah dan kepurbakalaan baik dari
kalangan pemerintah maupun masyarakat. Semangat itu telah mendorong untuk
melakukan upaya pemeliharaan, penyelamatan, pengenalan bahkan penelitian
terhadap peninggalan sejarah dan purbakala. Kehidupan kelembagaan tersebut
sampai masa Pergerakan Nasional masih aktif bahkan setelah Perang Dunia I
masyarakat setempat didukung Pemerintah Hindia Belanda menaruh perhatian
terhadap pendirian museum di beberapa daerah di samping yang sudah berdiri
di Batavia, seperti Lembaga Kebun Raya Bogor yang terus berkembang di
Bogor. Von Koenigswald mendirikan Museum Zoologi di Bogor pada tahun

163
1894. Lembaga ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang bernama Radyapustaka
(sekarang Museum Radyapustaka) didirikan di Solo pada tanggal 28 Oktober
1890, Museum Geologi didirikan di Bandung pada tanggal 16 Mei 1929,
lembaga bernama Yava Instituut didirikan di Yogyakarta tahun 1919 dan dalam
perkembangannya pada tahun 1935 menjadi Museum Sonobudoyo.
Mangkunegoro VII di Solo mendirikan Museum Mangkunegoro pada tahun
1918. Ir. H. Haclaine mengumpulkan benda purbakala di suatu bangunan yang
sekarang dikenal dengan Museum Purbakala Trowulan pada tahun 1920.
Pemerintah kolonial Belanda mendirikan Museum Herbarium di Bogor pada
tahun 1941.

Di luar Pulau Jawa, atas prakarsa Dr.W.F.Y. Kroom (asisten residen


Bali) dengan raja-raja, seniman dan pemuka masyarakat, didirikan suatu
perkumpulan yang dilengkapi dengan museum yang dimulai pada tahun 1915
dan diresmikan sebagai Museum Bali pada tanggal 8 Desember 1932. Museum
Rumah Adat Aceh didirikan di Nanggro Aceh Darussalam pada tahun 1915,
Museum Rumah Adat Baanjuang didirikan di Bukittinggi pada tahun 1933,
Museum Simalungun didirikan di Sumatera Utara pada tahun 1938 atas
prakarsa raja Simalungun.

Sesudah tahun 1945 setelah Indonesia merdeka keberadaan museum


diabadikan pada pembangunan bangsa Indonesia. Para ahli bangsa Belanda
yang aktif di museum dan lembaga-lembaga yang berdiri sebelum tahun 1945,
masih diijinkan tinggal di Indonesia dan terus menjalankan tugasnya. Namun di
samping para ahli bangsa Belanda, banyak juga ahli bangsa Indonesia yang
menggeluti permuseuman yang berdiri sebelum tahun 1945 dengan kemampuan
yang tidak kalah dengan bangsa Belanda.

Memburuknya hubungan Belanda dan Indonesia akibat sengketa Papua


Barat mengakibatkan orang-orang Belanda meninggalkan Indonesia dan
termasuk orang-orang pendukung lembaga tersebut. Sejak itu terlihat proses

164
Indonesianisasi terhadap berbagai hal yang berbau kolonial, termasuk pada
tanggal 29 Februari 1950 Bataviaach Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen yang diganti menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI).
LKI membawahkan 2 instansi, yaitu museum dan perpustakaan. Pada tahun
1962 LKI menyerahkan museum dan perpustakaan kepada pemerintah,
kemudian menjadi Museum Pusat beserta perpustakaannya. Periode 1962-1967
merupakan masa sulit bagi upaya untuk perencanaan medirikan Museum
Nasional dari sudut profesionalitas, karena dukungan keuangan dari perusahaan
Belanda sudah tidak ada lagi. Di tengah kesulitan tersebut, pada tahun 1957
pemerintah membentuk bagian Urusan Museum. Urusan Museum diganti
menjadi Lembaga Urusan Museum-Museum Nasional pada tahun 1964, dan
diubah menjadi Direktorat Museum pada tahun 1966. Pada tahun 1975,
Direktorat Museum diubah menjadi Direktorat Permuseuman.

Pada tanggal 17 September 1962 LKI dibubarkan, Museum diserahkan


pada pemerintah Indonesia dengan nama Museum Pusat di bawah pengawasan
Direktorat Jenderal Kebudayaan. Museum Pusat diganti namanya menjadi
Museum Nasional pada tanggal 28 Mei 1979.

Penyerahan museum ke pemerintah pusat diikuti oleh museum-museum


lainnya. Yayasan Museum Bali menyerahkan museum ke pemerintah pusat
pada tanggal 5 Januari 1966 dan langsung di bawah pengawasan Direktorat
Museum. Begitu pula dengan Museum Zoologi, Museum Herbarium dan
museum lainnya di luar Pulau Jawa mulai diserahkan kepada pemerintah
Indonesia sejak museum-museum diserahkan ke pemerintah pusat, museum
semakin berkembang dan museum barupun bermunculan baik diselenggarakan
oleh pemerintah maupun oleh yayasan-yayasan swasta.

Perubahan politik akibat gerakan reformasi yang dipelopori oleh para


mahasiswa pada tagun 1998, telah mengubah tata negara Republik Indonesia.
Perubahan ini memberikan dampak terhadap permuseuman di Indonesia.

165
Direktorat Permuseuman diubah menjadi Direktorat Sejarah dan Museum di
bawah Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2000. Pada tahun 2001,
Direktorat Sejarah dan Museum diubah menjadi Direktorat Permuseuman.
Susunan organisasi diubah menjadi Direktorat Purbakala dan Permuseuman di
bawah Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Pada tahun 2002.
Direktorat Purbakala dan Permuseuman diubah menjadi Asdep Purbakala dan
Permuseuman pada tahun 2004. Akhirnya pada tahun 2005, dibentuk kembali
Direktorat Museum di bawah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala,
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Sumber : (http://arkeologi.web.id)

F. Jenis-jenis Museum di indonesia

Museum, berdasarkan definisi yang diberikan International Council of


Museums disingkat ICOM, adalah institusi permanen, nirlaba, melayani
kebutuhan publik, dengan sifat terbuka, dengan cara melakukan usaha
pengoleksian, mengkonservasi, meriset, mengomunikasikan, dan memamerkan
benda nyata kepada masyarakat untuk kebutuhan studi, pendidikan, dan
kesenangan. Karena itu ia bisa menjadi bahan studi oleh kalangan akademis,
dokumentasi kekhasan masyarakat tertentu, ataupun dokumentasi dan
pemikiran imajinatif di masa depan dan sejak tahun 1977 tiap tanggal 18 Mei
diperingati sebagai hari Hari Museum Internasional.

Pengelompokan jenis museum akan memudahkan pengunjung museum


dalam menentukan tujuan kunjungan museum. Ada pun pengelompokan
tersebut adalah sebagai berikut :

1. Museum Kebun Raya.


Kebun raya merawat dan menampilkan berbagai jenis jenis
tanaman. Rumah rumah kaca menjadi salah satu cara untuk berbagi kepada
pengunjung mengenai koleksi tanaman yang di miliki oleh museum kebun

166
raya tersebut. Kotamadya Yogyakarta memiliki satu museum kebun raya
yang sekaligus menjadi kebun binatang yaitu museum kebun raya
Gembiraloka.

Bangunan Museum Zoologi Bogor pada tahun 1920, sampai saat ini di dunia
internasional sebagai rujukan dikenal dengan nama Museum Zoologicum
Bogoriense (MZB)

2. Museum Militer.

Museum militer memiliki kekhasan berupa focus kepada sejarah


dan tindakan pasukan militer. Sebuah museum militer ini didedikasikan
untuk cabang tertentu dari layanan bersenjata atau untuk suatu konflik
tententu atau pertempuran. Kotamadya Yogyakarta memiliki dua museum
militer, yaitu : Museum Dharma Wiratama dan Museum Vredenburg.

Dharma Wiratama Museum

167
3. Museum Sejarah Alam.

Museum Sejarah Alam dikhususkan untuk mengumpulkan


specimen dari semua jenis mahluk hidup atau benda benda dari alam
sekitarnya seperti halnya mineral atau logam mulia. Kotamadya Yogyakarta
memiliki satu Museum Sejarah Alam, yaitu : Museum Biologi UGM

Museum Biologi UGM

4. Museum Sejarah Pergerakan

Museum Sejarah Pergerakan memiliki tujuan untuk


mendokumentasikan segala macam karya tentang pergerakan suatu kaum
tertentu atau sekelompok masyarakat. Kotamadya Yogyakarta memiliki dua
Museum SejarahPergerakan, yaitu : Museum Mandala Bhakti Wanitatama
dan Museum Perjuangan Yogyakarta

168
Museum Perjuangan Yogyakarta

5. Museum Seni

Museum Seni adalah tempat untuk mengumpulkan semua karya


seni baik secara peorangan ataupun kelompok. Museum Seni sering
memiliki anggaranlebih besar dari jenis museum lainnya. Kotamadya
Yogyakarta memiliki empat Museum Seni, yaitu : Museum Amri Yahya,
Museum Jogja Gallery, Museum Sonobudoyo I dan Museum Sonobudoyo II

Museum Amri Yahya

6. Museum Tempat Bersejarah

169
Sebuah rumah bersejarah bisa menjadi museum yang berdiri
sendiri, atau dapat menjadi bagian dari kompleks museum lebih besar seperti
kebun raya, museum sejarah atau situs bersejarah. Rumah Bersejarah
umumnya memegang koleksi kecildari artefak yang secara langsung
berhubungan dengan sejarah rumah itu sendiri atauorang-orang yang tinggal
di rumah. Rumah Bersejarah diselamatkan karena alasantertentu, karena
individu yang terkenal atau keluarga tinggal di rumah pada waktutertentu
dalam sejarah atau karena rumah merupakan jenis ikon gaya struktur-suatu
arsitektur atau "khas" rumah seorang kelas khusus atau wilayah negara.
Sebuahsitus bersejarah dapat merupakan bangunan, satu set bangunan,
medan perang atau lanskap penting lainnya.

Museum Fatahillah

Museum yang terdapat di Indonesia dapat dibedakan melaui


beberapa jenis klasifikasi (Ayo Kita Mengenal Museum ; 2009), yakni
sebagai berikut :

a. Jenis museum berdasarkan koleksi yang dimiliki, yaitu terdapat dua jenis :

Museum Umum, museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan


bukti material manusia dan atau lingkungannya yang berkaitan dengan
berbagai cabang seni, disiplin ilmu dan teknologi.

170
Museum Khusus, museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan
bukti material manusia atau lingkungannya yang berkaitan dengan satu
cabang seni, satu cabang ilmu atau satu cabang teknologi.

b. Jenis museum berdasarkan kedudukannya, terdapat tiga jenis :

Museum Nasional, museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan


benda yang berasal, mewakili dan berkaitan dengan bukti material manusia
dan atau lingkungannya dari seluruh wilayah Indonesia yang bernilai
nasional.

Museum Propinsi, museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan


benda yang berasal, mewakili dan berkaitan dengan bukti material manusia
dan atau lingkungannya dari wilayah propinsi dimana museum berada.

Museum Lokal, museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan


benda yang berasal, mewakili dan berkaitan dengan bukti material manusia
dan atau lingkungannya dari wilayah kabupaten atau kotamadya dimana
museum tersebut berada.

Sumber : (www.wikipedia.com)

G. Perundang-Undangan
Salah satu undang-undang yang mengatur tentang museum adalah :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar
Budaya.

171
H. Nama-nama museum di Indonesia
1. Museum Nasional

Ini adalah museum tertua yang ada di Indonesia ,selain itu koleksi
sejarahnya paling lengkap dan terbesar di Indonesia. Disini, kita bisa Melihat
berbagai peninggalan bersejarah bangsa indonesia yang amat banyak dan
beragam. Museum ini pertama didirikan tahun 1778, dan memiliki sekitar
142.000 memiliki sekitar 142.000 koleksi bersejarah dari zaman pra-sejarah
dan sejarah Indonesia. Kita bisa melihat kapak purba, kalung pra sejarah ,
prasasti, dan benda-benda bersejarah lainnya. Yang paling menarik disini
adalah prasasti Yupa, Arca Bhairawa Buddha, serta koleksi emas nusantara.

2. Museum Bank Indonesia

Museum ini adalah museum yang modern, berbeda dari museum


lainnya yang biasanya bernuansa kuno. Museum yang terdiri tahun 2006 ini
tentu saja menjelaskan sejarah bank Indonesia. Yang hebat dari museum ini,

172
semua serba modern, mulai dari animasi di bioskop animasi mini,teknologi
touch screen, dan semua informasi tertata sangat sistematis. Disini kita tak
bisa melewatkan permainan tangkap uang virtual dan mengangkat emas
batangan .
3. Museum Karton Indonesia (di Bali)

Selain keindahan pantainya, Bali juga mempunyai museum yang


menarik ini. Isinya tentu adalahsejarah kartun di Indonesia. Di sini kita bisa
melihat berbagai kartun, komik, dan karikatur karya anak bangsa. Kita juga
bisa melihat koleksi kartun karya Presiden Soekarno, dan bisa meminta
seorang pelukis untuk melukiskan karikatur kita.

4. Museum Geologi Bandung

173
Museum ini menampilkan berbagai macam fosil dari binatang-
binatang purba dan sejarah geologi di Indonesia. Museum ini dibuka untuk
umum pada tahun 1929. Disini kita bisa melihat fosil dinosaurus,
Tyrannosaurus Rex, gajah mastodon, dan binatang purba lainnya. Kita juga
bisa melihat maket-maket tentanggeologi disini.

5. Museum Listrik dan Energi Baru

Musium ini, kita bisa melihat berbagai peragaan tentang energi,


seperti rumah solar dan mobil tenaga surya. Kita bisa mencoba semua
peragaan tersebut, yang menarik adalah peragaan mesin Testa, Van de
Graf, dan sepeda kinetik.

6. Museum Transportasi

174
Museum ini menampilkan berbagai jenis transportasi di Indonesia,
dari zaman padati, lokomotif uap, dan bus DAMRI. Selain itu, ada juga
transportasi laut dan udara kuno yang ditampilkan di sini.

7. Museum Layang-Layang

/
Museum ini menampilkan barbagai jenis layang-layang, yang
terbuat dalam berbagai jenis. Disini kita bisa menemukan layangan besar
bernama Ikan Singa, Layangan yang mengeluarkan bunyi, serta workshop
membuat layangan.
8. Museum Anak Kolong Tangga ( Yogyakarta)

Museum ini menampilkan berbagai permainan anak-anak


tradisional dari Indonesia dan dunia. Kita juga bisa melihat mainan anak dari
zaman kerajaan.

175
9. Musium Polri
Museum ini menjelaskan berbagai sejarah , kegiatan dan peralatan
yang dipakai oleh POLRI. Di museum, ada juga corner untuk bermain
detektif dan alat pendeteksi kebohongan.

10. Museum Kereta Api Ambarawa

Museum ini dulunya adalah sebuah stasiun kreta api Belanda yang
bernama stasiun KA Ambarawa. Setelah kemerdekaan, stasiun ini diubah
menjadi museum yang menyimpan berbagai benda dari stasiun itu. Museum
ini menyimpan 21 koleksi keretauap, kita bahkan bisa menaiki 2 dari kereta
uap itu dari stasiun Ambarawa ke stasiun Bedono, 2 kereta tersebut B2502
dan B2503, adalah 2 dari 3 kereta api bergerigi di dunia yang masih
beroprasi.
Sumber : (http://yourselftitled.wordpress.com)

I. Tujuan Museum
Adapun beberapa tujuan dari museum adalah sebagai berikut :
1. Memberikan pemahaman kepada anggota masyarakat dan sivitas akademika
tentang eksistensi dan peran Museum Pendidikan.
2. Memberikan informasi tentang perkembangan pendidikan nasional baik
secara horisontal atau vertikal, baik jenis maupun jenjang pendidikan
melalui berbagai koleksi, simbol, dan dokumen yang terkait dengan
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun.

176
3. Memberdayakan sivitas akademika UNY dan masyarakat pemerhati
pendidikan untuk berkreasi dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan.
4. Memberikan penghargaan kepada para perintis, tokoh dan pejuang
pendidikan nasional.
5. Menambah dan meningkatkan kualitas sarana dan prasarana wisata kampus
yang bersifat edukatif-rekreatif.

J. Sejarah Museum di Palembang


Sultan Mahmud Badaruddin II (l: Palembang, 1767, w: Ternate, 26
September 1852)[1] adalah pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam
selama dua periode (1803-1813, 1818-1821), setelah masa pemerintahan
ayahnya, Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803). Nama aslinya sebelum
menjadi Sultan adalah Raden Hasan Pangeran Ratu.
Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran
melawan Inggris dan Belanda, di antaranya yang disebut Perang Menteng. Pada
tangga 14 Juli 1821, ketika Belanda berhasil menguasai Palembang, Sultan
Mahmud Badaruddin II dan keluarga ditangkap dan diasingkan ke Ternate.
Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di
Palembang, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II dan Mata uang rupiah
pecahan 10.000-an yang dikeluarkan oleh bank Indonesia pada tanggal 20
Oktober 2005. Penggunaan gambar SMB II di uang kertas ini sempat menjadi
kasus pelanggaran hak cipta, diduga gambar tersebut digunakan tanpa izin
pelukisnya, namun kemudian terungkap bahwa gambar ini telah menjadi hak
milik panitia penyelenggara lomba lukis wajah SMB II.
Konflik dengan Inggris Sejak timah ditemukan di Bangka pada
pertengahan abad ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi incaran Britania
dan Belanda. demi menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa berniat menguasai
Palembang. Awal mula penjajahan bangsa Eropa ditandai dengan penempatan
Loji (kantor dagang). Di Palembang, loji pertama Belanda dibangun di Sungai
Aur (10 Ulu).

177
Orang Eropa pertama yang dihadapi Sultan Mahmud Badaruddin II
(SMB II) adalah Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles tahu persis tabiat Sultan
Palembang ini. Karena itu, Raffles sangat menaruh hormat di samping ada
kekhawatiran sebagaimana tertuang dalam laporan kepada atasannya, Lord
Minto, tanggal 15 Desember 1810:
“Sultan Palembang adalah salah seorang pangeran Melayu yang terkaya
dan benar apa yang dikatakan bahwa gudangnya penuh dengan dollar dan emas
yang telah ditimbun oleh para leluhurnya. Saya anggap inilah yang merupakan
satu pokok yang penting untuk menghalangi Daendels memanfaatkan
pengadaan sumber yang besar tersebut.
”Bersamaan dengan adanya kontak antara Britania dan Palembang, hal
yang sama juga dilakukan Belanda. Dalam hal ini, melalui utusannya, Raffles
berusaha membujuk SMB II untuk mengusir Belanda dari Palembang (surat
Raffles tanggal 3 Maret 1811).
Dengan bijaksana, SMB II membalas surat Raffles yang intinya
mengatakan bahwa Palembang tidak ingin terlibat dalam permusuhan antara
Britania dan Belanda, serta tidak ada niatan bekerja sama dengan Belanda.
Namun akhirnya terjalin kerja sama Britania-Palembang, di mana pihak
Palembang lebih diuntungkan.
Pada tanggal 14 September 1811 terjadi peristiwa pembumihangusan
dan pembantaian di loji Sungai Alur. Belanda menuduh Britanialah yang
memprovokasi Palembang agar mengusir Belanda. Sebaliknya, Britania cuci
tangan, bahkan langsung menuduh SMB II yang berinisiatif melakukannya.
Raffles terpojok dengan peristiwa loji Sungai Aur, tetapi masih berharap
dapat berunding dengan SMB II dan mendapatkan Bangka sebagai kompensasi
kepada Britania. Harapan Raffles ini tentu saja ditolak SMB II. Akibatnya,
Britania mengirimkan armada perangnya di bawah pimpinan Gillespie dengan
alasan menghukum SMB II. Dalam sebuah pertempuran singkat, Palembang
berhasil dikuasai dan SMB II menyingkir ke Muara Rawas, jauh di hulu Sungai
Musi.

178
Setelah berhasil menduduki Palembang, Britania merasa perlu
mengangkat penguasa boneka yang baru. Setelah menandatangani perjanjian
dengan syarat-syarat yang menguntungkan Britania, tanggal 14 Mei 1812
Pangeran Adipati (adik kandung SMB II) diangkat menjadi sultan dengan gelar
Ahmad Najamuddin II atau Husin Diauddin. Pulau Bangka berhasil dikuasai
dan namanya diganti menjadi Duke of York's Island. Di Mentok, yang
kemudian dinamakan Minto, ditempatkan Meares sebagai residen.
Meares berambisi menangkap SMB II yang telah membuat kubu di
Muara Rawas. Pada 28 Agustus 1812 ia membawa pasukan dan persenjataan
yang diangkut dengan perahu untuk menyerbu Muara Rawas. Dalam sebuah
pertempuran di Buay Langu, Meares tertembak dan akhirnya tewas setelah
dibawa kembali ke Mentok. Kedudukannya digantikan oleh Mayor Robison.
Belajar dari pengalaman Meares, Robison mau berdamai dengan SMB
II. Melalui serangkaian perundingan, SMB II kembali ke Palembang dan naik
takhta kembali pada 13 Juli 1813 hingga dilengserkan kembali pada Agustus
1813. Sementara itu, Robison dipecat dan ditahan Raffles karena mandat yang
diberikannya tidak sesuai.
Konvensi London 13 Agustus 1814 membuat Britania menyerahkan
kembali kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan sejak Januari
1803. Kebijakan ini tidak menyenangkan Raffles karena harus menyerahkan
Palembang kepada Belanda. Serah terima terjadi pada 19 Agustus 1816 setelah
tertunda dua tahun, itu pun setelah Raffles digantikan oleh John Fendall.
Belanda kemudian mengangkat Herman Warner Muntinghe sebagai
komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah
mendamaikan kedua sultan, SMB II dan Husin Diauddin. Tindakannya
berhasil, SMB II berhasil naik takhta kembali pada 7 Juni 1818. Sementara itu,
Husin Diauddin yang pernah bersekutu dengan Britania berhasil dibujuk oleh
Muntinghe ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Cianjur.
Pada dasarnya pemerintah kolonial Belanda tidak percaya kepada raja-
raja Melayu. Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajakan ke

179
pedalaman wilayah Kesultanan Palembang dengan alasan inspeksi dan
inventarisasi daerah. Ternyata di daerah Muara Rawas ia dan pasukannya
diserang pengikut SMB II yang masih setia. Sekembalinya ke Palembang, ia
menuntut agar Putra Mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan sebagai
jaminan kesetiaan sultan kepada Belanda. Bertepatan dengan habisnya waktu
ultimatum Mutinghe untuk penyerahan Putra Mahkota, SMB mulai menyerang
Belanda
Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Menteng
(dari kata Muntinghe) pecah pada tanggal 12 Juni 1819. Perang ini merupakan
perang paling dahsyat pada waktu itu, di mana korban terbanyak ada pada pihak
Belanda. Pertempuran berlanjut hingga keesokan hari, tetapi pertahanan
Palembang tetap sulit ditembus, sampai akhirnya Muntinghe kembali ke
Batavia tanpa membawa kemenangan.
Belanda tidak menerima kenyataan itu. Gubernur Jenderal G.A.G.Ph.
van der Capellen merundingkannya dengan Laksamana Constantijn Johan
Wolterbeek dan Mayjen Hendrik Merkus de Kock dan diputuskan mengirimkan
ekspedisi ke Palembang dengan kekuatan dilipatgandakan. Tujuannya
melengserkan dan menghukum SMB II, kemudian mengangkat keponakannya
(Pangeran Jayaningrat) sebagai penggantinya.
SMB II telah memperhitungkan akan ada serangan balik. Karena itu, ia
menyiapkan sistem perbentengan yang tangguh. Di beberapa tempat di Sungai
Musi, sebelum masuk Palembang, dibuat benteng-benteng pertahanan yang
dikomandani keluarga sultan. Kelak, benteng-benteng ini sangat berperan
dalam pertahanan Palembang.
Pertempuran sungai dimulai pada tanggal 21 Oktober 1819 oleh Belanda
dengan tembakan atas perintah Wolterbeek. Serangan ini disambut dengan
tembakan-tembakan meriam dari tepi Musi. Pertempuran baru berlangsung satu
hari, Wolterbeek menghentikan penyerangan dan akhirnya kembali ke Batavia
pada 30 Oktober 1819.

180
SMB II masih memperhitungkan dan mempersiapkan diri akan adanya
serangan balasan. Persiapan pertama adalah restrukturisasi dalam pemerintahan.
Putra Mahkota, Pangeran Ratu, pada Desember 1819 diangkat sebagai sultan
dengan gelar Ahmad Najamuddin III. SMB II lengser dan bergelar susuhunan.
Penanggung jawab benteng-benteng dirotasi, tetapi masih dalam lingkungan
keluarga sultan.
Setelah melalui penggarapan bangsawan ( susuhunan husin diauddin
dan sultan ahmad najamuddin prabu anom )dan orang Arab Palembang melalui
pekerjaan spionase, dan tempat tempat pertahanan disepanjang sungai musi
sudah diketahui oleh belanda serta persiapan angkatan perang yang kuat,
Belanda datang ke Palembang dengan kekuatan yang lebih besar. Tanggal 16
Mei 1821 armada Belanda sudah memasuki perairan Musi. Kontak senjata
pertama terjadi pada 11 Juni 1821 hingga menghebatnya pertempuran pada 20
Juni 1821. Pada pertempuran 20 Juni ini, sekali lagi, Belanda mengalami
kekalahan. De Kock tidak memutuskan untuk kembali ke Batavia, melainkan
mengatur strategi penyerangan.
Bulan Juni 1821 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Hari Jumat
dan Minggu dimanfaatkan oleh dua pihak yang bertikai untuk beribadah. De
Kock memanfaatkan kesempatan ini. Ia memerintahkan pasukannya untuk tidak
menyerang pada hari Jumat dengan harapan SMB II juga tidak menyerang pada
hari Minggu. Pada waktu dini hari Minggu 24 Juni, ketika rakyat Palembang
sedang makan sahur, Belanda secara tiba-tiba menyerang Palembang. di depan
sekali kapal yang tumpangi saudaranya Susuhunan Husin Diauddin dan Sultan
Ahmad Najamuddin Prabu Anom dan Susuhunan Ratu Bahmud Badaruddin /
SMB 2 merasa serba salah, kalau ditembak saudaranya sendiri yang berada
dikapal belanda dan anggapan orang sultan palembang Darussalam sampai hati
membunuh saudara karena harta / tahta (Badar Darussalam).
Serangan dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena
mengira di hari Minggu orang Belanda tidak menyerang. Setelah melalui
perlawanan yang hebat, tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan

181
Belanda. Kemudian pada 1 Juli 1821 berkibarlah bendera rod, wit, en blau di
bastion Kuto Besak, maka resmilah kolonialisme Hindia Belanda di Palembang.
Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam tanggal 3 Syawal , SMB
II beserta sebagian keluarganya menaiki kapal Dageraad pada tanggal 4 syawal
dengan tujuan Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan ke
Pulau Ternate sampai akhir hayatnya 26 September 1852. Sebagian Keluarga
Sultan karena tidak mau ditangkap, mengasingkan diri ke daerah Marga
Sembilan yang di kenal sekarang sebagai Kabupaten Ogan Komering Ilir dan
berasimilasi dengan penduduk di Desa yang dilewati Mulai dari Pampangan
sampai ke Marga Selapan Kecamatan Tulung Selapan Panglima Radja Batu
Api sampai meninggal disemayamkan Di Tulung Selapan. ( selama 35 tahun
tinggal di Ternate dan sketsa tempat tinggal Sri Paduka Susuhunan Ratu
Mahmud Badaruddin / SMB II disimpan oleh Sultan Mahmud Badaruddin III
Prabu Diradja).

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang

Sumber : (http://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Mahmud_Badaruddin_II)

182
K. Syarat Kondisi Bangunan Museum

Syarat Mendirikan Museum, sumber : Asosiasi Museum Indonesia


(AMI)
Setiap instansi pemerintah, yayasan, atau badan usaha yang akan mendirikan
museum
wajib mengajukan permohonan kepada Pemerintah Propinsi dengan tembusan
kepada
Direktur Jendral yang bertanggung jawab di bidang permuseuman. Permohonan
tersebut harus dilengkapi dengan proposal yang memuat:
1. Tujuan pendirian museum
2. Data koleksi sesuai dengan tujuan pendirian museum
3. Rencana jangka pendek dan rencana jangka panjang
4. Gambar situasi bangunan museum, harus memuat ruang pameran, ruang
penyimpanan koleksi, ruang perawatan, dan ruang administrasi, serta
peralatan museum.
5. Keterangan status tanah hak milik atau sekurang-kurangnya berstatus hak
guna bangunan (HGB) dan izin mendirikan bangunan (IMB)
6. Keterangan tenaga pengelola (pimpinan, tenaga administrasi, dan tenaga
teknis).
7. Keterangan sumber pendanaan tetap. Selanjutnya permohonan tersebut akan
diteliti oleh Tim Penilai. Tim penilai bertugas meneliti kelengkapan
dokumen permohonan, melakukan peninjauan lokasi, melakukan
pengecekan terhadap koleksi, serta melaporkan hasil dan saran pertimbangan
persetujuan atau penolakan kepada Pemerintah Provinsi.

Syarat Pembanguanan Museum :


1. Lokasi museum, harus strategis, mudah dijangkau, dan sehat (tidak
terpolusi, bukan daerah yang berlumpur/tanah rawa).

183
2. Bangunan museum, dapat berupa bangunan baru atau memanfaatkan
gedung lama. Harus memenuhi prinsip-prinsip konservasi agar koleksi
museum tetap lestari. Bangunan museum minimal terdiri atas dua
kelompok, yaitu bangunan pokok (pameran tetap, pameran temporer,
auditorium, kantor, perpustakaan, laboratorium konservasi, dan ruang
penyimpanan koleksi) dan bangunan penunjang (pos keamanan, kios
cenderamata, kantin, toilet, tempat parkir).
3. Koleksi, harus mempunyai nilai sejarah, nilai ilmiah, dan nilai estetika,
harus diterangkan asal-usulnya secara historis, geografis, dan fungsinya,
harus dapatdijadikan monumen jika benda tersebut bangunan, dapat
diidentifikasi mengenai bentuk, tipe, gaya, fungsi, makna, asal secara
historis dan geografis, genus (untuk biologi), atau periode (untuk
geologi), harus dapat dijadikan dokumen dan dapat dijadikan buktibagi
penelitian ilmiah,harus merupakan benda asli, bukan tiruan, harus
merupakan benda yang memiliki nilai keindahan (masterpiece), dan
harus merupakan benda yang unik, yaitu tidak ada duanya.
4. Peralatan museum, harus memiliki sarana dan prasarana berkaitan erat
dengan kegiatan pelestarian, seperti vitrin, sarana perawatan koleksi
(AC,dehumidifier), pengamanan (CCTV, alarm), lampu, label, dll.
5. Organisasi dan ketenagaan, sekurang-kurang nya terdiri atas kepala
museum, bagian administrasi, pengelola koleksi (kurator), bagian
konservasi (perawatan), bagian penyajian (preparasi), bagian pelayanan
masyarakat, bimbingan edukasi, dan pengelola perpustakaan.
6. Sumber dana tetap, untuk penyelenggaraan dan pengelolaan museum.
Harus ada izin yang berwenang. Selain itu juga ada izin penting.
a. Izin penggunaan tanah untuk bangunan museum dari Badan
Pertanahan Nasional (sertifikat) dan Dinas Tata Kota (rencana tata
kota).
b. Izin mendirikan bangunan (IMB).

184
Setelah memperoleh berbagai izin penting, pendirian sebuah museum
memasuki tahap berikutnya, yakni:
a. Mendirikan bangunan, setelah memperoleh IMB dan sesuai master
plan. Apabila biaya terbatas, maka pendirian museum dapat
dilaksanakan dengan system skala prioritas.
b. Penyiapan ketenagaan, sambil mendirikan bangunan, harus
mempersiapkan tenaga-tenaga ahli atau tenaga pengelola yang sesuai
dengan keperluan.
c. Pengadaan koleksi, harus betul-betul koleksi yang diperlukan dan
tidak asal diadakan saja.

L. Sanitasi Museum
Pengertian Sanitasi menurut WHO ialah :“The control of all those
factors in man's physical environment wich exercise a deleterious effect on his
physical development, health and survival”, dapat diartikan secara bebas
sebagai upaya pengendalian semua faktor lingkungan fisik yang dapat
memberikan pengaruh berbahaya terhadap perkembangan jasmani, kesehatan,
dan kelangsungan hidup manusia. Sanitasi ialah suatu usaha untuk mengawasi
beberapa faktor lingkungan fisik yang berpengaruh kepada manusia terutama
terhadap hal-hal yang mempunyai efek merusak perkembangan fisik, kesehatan,
dan kelangsungan hidup. (WHO)

Secara umum, Sanitasi diartikan sebagai suatu upaya yang dilakukan


untuk menjaga lingkungan agar tetap bersih dan terbebas dari ancaman
penyakit. Sedangkan tempat-tempat umum diartikan sebagai suatu tempat

185
dimana banyak orang berkumpul untuk melakukan kegiatan baik secara
insidentil maupun terus-menerus, baik secara membayar, maupun tidak.
Sedangkan pengertian Museum adalah institusi permanen, nirlaba,
melayani kebutuhan publik, dengan sifat terbuka, dengan cara melakukan usaha
pengoleksian, mengkonservasi, meriset, mengomunikasikan, dan memamerkan
benda nyata kepada masyarakat untuk kebutuhan studi, pendidikan, dan
kesenangan. Karena itu ia bisa menjadi bahan studi oleh kalangan akademis,
dokumentasi kekhasan masyarakat tertentu, ataupun dokumentasi dan
pemikiran imajinatif pada masa depan).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa sanitasi Museum merupakan suatu


usaha atau upaya yang dilakukan untuk menjaga kebersihan Museum yang
sering digunakan untuk menjalankan aktivitas hidup sehari-hari agar terhindar
dari ancaman penyakit yang merugikan kesehatan.

186
LAMPIRAN

Gambar 1. Lantai Keraton Gambar 2. Pintu Keraton

187
Gambar 3. Langit-Langit keraton Gambar 4. Kursi Keraton

Gambar 5. Toilet di Keraton Gambar 6. Dinding di Keraton

188
Gambar 7. Guci di Keraton Gambar 8. Tiang di Keraton

189
Gambar 9. Foto bersama Sultan Mahmud Badarudin III Prabu Diraja

190
Gambar 10. Makam Sultan Mahmud Badaruddin I

191
Gambar 11. Jalan menuju makam Gambar 12. Makam Sultan

Gambar 12. Makam

192
Gambar 13. Ruangan dalam museum Gambar 14. Lantai museum

Gambar 15. Tempat penampungan sampah dan tangga di museum

193
Gambar 16. Ventilasi di museum Gambar 17. Ruang Sauvenir di

Gambar 18. Toilet di Museum

194

Anda mungkin juga menyukai