DOSEN PEMBIMBING
DRS. I Ketut Suarja.M.SI
DISUSUN OLEH :
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmatnya dan
karunianya kami dapat menyelsaikan paper guna memenuhi tugas kelompok untuk mata
kuliah Pendidikan Agama Hindu. Dengan judul “Sejarah Pura Pulaki” dengan tepat waktu.
Kami menyadari sepenuhnya paper bahwa paper ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki . oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga paper ini dapat memberikan manfaat bagi
kita semua.
Jimbaran,November 2022
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
PEMABAHASAN
Kisah berdirinya Pura Pulaki tidak terlepas dari sejarah perjalanan Dang Hyang
Nirartha dari Blambangan (Jawa Timur) ke Dalem Gelgel (Bali), pada masa pemerintahan
Dalem Cri Waturenggong (1460-1550 M). Pura Pulaki merupakan Pura Kahyangan Jagat
yang dipuja (disungsung) oleh seluruh umat Hindu di Bali. Pura Pulaki sebenarnya
merupakan pusat dari serangkaian pura sekitarnya, yaitu Pura Kerta Kawat pada Km 51
dari Singaraja (sekitar 750 M di sebelah selatan jalan raya), Pura Melanting, Pura Pabean,
dan Pura Pemuteran. Urut- urutan upacara yang diadakan pada piodalan yang jatuh pada
Purnamaning Kapat dimulai dari Pura Pulaki, kemudian Pura Melanting dan Kerta
Kawat, lalu di Pura Pemutaran dan terakhir di Pura Pabean.
Di kawasan Pura Pulaki, di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa
alat perkakas yang dibuat dari batu , antara lain: berbentuk batu picisan, berbentuk kapak
dan alat-alat dari batu lainnya. Berdasarkan hal itu dan jika dilihat dari tata letak maupun
struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitaan
dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak. Di
sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak
sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-
abad yang lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi oleh perahu dagang
yang memerlukan air sebagai bahan yang dibutuhkan dalam pelayaran menuju ke Jawa
maupun ke Maluku. Bahkan kemungkinannya pada waktu itu sudah terjadi perdagangan
dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah
gula dari nira lontar. Ini didasarkan bukti dengan ditemukannya tananam lontar di
sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.
Dari uraian itu, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik
berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini
berlanjut sampai dengan peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi.
Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa
pasukan Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman,
seperti Pegametan, Pulaki, dan Wangaya.
Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan Agama Hindu sekte Waisnawa
sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku “Bhuwana Tatwa Maharesi Markadeya”
yang disusun Ketut Ginarsa. Kisah tentang Pulaki terdapat juga dalam buku “Dwijendra
Tatwa” yang ditulis I Gusti Bagus Sugriwa. Di situ terdapat uraian seperti: “Baiklah
adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci
menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang
akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan agar tak
kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian
bernama Pulaki”.
Keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah
dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirartha dengan peristiwa
dipralinakannya Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama. Jadi,
Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak tahun
1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. Namun sebelum itu, sejak
zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Betara Dang Hyang Nirarta 1489, Pura
Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah,
orang Baliaga maupun Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya dan orang
pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai yang berwarna merah, hitam,
dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga
di Pulaki.
Tahun 1920 Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh
pemerintah Kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What. Kawasan ini
kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950 yang selanjutnya dilakukan pemugaran-
pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu.Pemugaran Pura Pulaki dan
pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950. Menurut Simba, Pura Pulaki dan pesanakan,
seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatung, Pura Puncak
Manik, dan Pura Pemuteran tidak bisa dipisahkan. Dilihat dari lokasi sejumlah pura
tersebut dan sesuai konsep Hindu Bali itu termasuk konsep sapta loka, yakni konsep
tentang sapta patala atau 7 lapisan alam semesta. Jadi, Pura Pulaki yang dibangun atas
dasar perpaduan antara daerah pegunungan dan laut atau teluk sehingga tata letak,
struktur dan lingkungan Pura Pulaki ini ditemukan unsur segara dan gunung yang
menyatu.
Dalam sejarah Pura Pulaki juga dinyatakan bahwa Dang Hyang Nirartha datang ke
Bali memiliki tujuan antara lain melantik Dalem Watu Renggong yang memerintah di
Bali tahun 1460-1550 M. Perjalanan beliau ke Klungkung dilakukan dari Desa Gading
Wani. Anak-anaknya ditinggalkan di Desa Gading Wani. Beliau berjanji akan segera
kembali setelah acara di Klungkung berakhir. Tetapi ternyata, Dang Hyang Nirartha tidak
datang dalam jangka waktu yang lama. Putri beliau, Ida Ayu Swabhawa akhirnya sangat
gusar. Penduduk desa-desa di sekitarnya yang berjumlah 8.000 orang dikutuk menjadi
wong samar. Semua menjadi wong samar termasuk dirinya. Ida Ayu Swabhawa dengan
ribuan pengiringnya tinggal di bawah pohon-pohon besar.Pohon-pohon itu memiliki
sulur-sulur tempat bergelayut (ngelanting dalam Bahasa Bali).Di areal pohon itulah Ida
Ayu Swabhawa dibuatkan pelinggih yang disebut Pura Melanting. Beliau dengan wong
samar itulah yang menjadi penguasa pasar. Barang siapa yang melakukan transaksi jual-
beli pagi tidak sesuai dengan etika moral dharma akan diganggu hidupnya oleh Dewi
Melanting dengan anak buahnya. Kalau kegiatan di pasar mengikuti dharma maka Dewi
Melanting itulah yang akan melindunginya.
Di samping distanakan di Pura Melanting ada juga stana beliau yang disebut Pura
Tedung Jagat. Pura inilah yang kemudian disebut Pura Pulaki dan juga distanakan roh
suci Dang Hyang Nirarhta. Karena itu, Pura Melanting dan Pura Pulaki merupakan
lambang predana-purusa sebagai tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran
ekonomi. Pura Pulaki disungsung subak-subak di sekitar Pulaki. Selain itu, Pura Pabean
merupakan tempat pemujaan bagi para nelayan dan para pedagang antarpulau. Mungkin
identik dengan Pura Ratu Subandar di Pura Batur dan Besakih. Pura Kertha Kawat juga
termasuk kompleks Pura Pulaki sebagai stana Tuhan untuk memohon tegaknya moral
etika dan hukuman dalam berbisnis. Di pura ini disebut stana Bhatara Kertaningjagat.
Pura Gunung Gondol terletak 3 Km dari pusat Pura Pulaki sebagai stana untuk memuja
Dewa Mentang Yudha yaitu Tuhan dalam fungsinya sebagai pelindung dari segala
bahaya seperti Dewa Ganesha.
2.2 Pura Agung Pulaki Stana Ida Bhatari Dalem Ketut Pulaki
Di Pura Gede Pulaki distanakan Istri Dang Hyang Nirartha, yaitu: Danghyang
Biyang Sri Patni Keniten yang bergelar Ida Dalem Ketut Pulaki. Di Pura Dalem
Melanting distanakan putri Beliau, yaitu: Ida Ayu Swabhawa yang bergelar Dewi atau
Dyah Ayu Melanting. Sedang di Pura Kerta Kawat di stanakan putra Beliau, yaitu: Ida
Bagus Bajra yang bergelar Ida Bhatara I Dewa Mentang Yudha atau Ida Bhatara Hakim
Agung atau Ida Bhatara Kertaning Jagat. Dengan demikian, Pura Gede Pulaki pada
dasarnya juga merupakan tempat penghormatan terhadap jasa-jasa Dang Hyang Nirartha
dan istri atau permaisurinya, yaitu: Danghyang Biyang Sri Patni Keniten.
Dikisahkan secara ringkas bahwa karena dalam keadaan hamil, Ida Sri Patni
Keniten terpaksa ditinggal oleh oleh Dang Hyang Nirartha di Desa Gading Wani
bersama putri dan pengikutnya untuk perjalanan ke timur, ke istana Dalem Watu
Renggong di Klungkung. Jadilah Peranda istri ditemani sebagian pengikutnya,
melepaskan lelah sampai sehat benar, membangun huma, berladang dan bersawah,
sambil mengajar ilmu-ilmu kehidupan dan menjadi suri tauladan masyarakat di daerah
itu. Lama kelamaan warganya pun makin banyak, sampai ribuan orang semua setia
kepadanya. Karena kesaktian dan kearifannya, warga menggagapnya sebagai Mpu
Biyang, ibu seluruh masyarakat di daerah itu. Beliau melahirkan seorang putra yang
tampan, diberi nama Bagus Bajra, sesuai pesan ayahndanya. Daerah tempat Peranda Istri
dan putrinya Dyah Ayu Swabawa tinggal itu kian ramai dikunjungi saudagar dari tempat
lain, jadilah tempat itu marak dengan perniagaan karena masyarakat senang berbelanja di
tempat itu.
Tak juga ada kabar berita. Beliau sangat menyesalkan perpisahan yang telah lalu,
sehingga pada puncaknya, beliau menangis di sanggar pemujaan sambil mohon kepada
Dewata agar dirinya bersama seluruh warganya diperbolehkan menunggu tanpa
termakan usia, walau Dewata memberi persyaratan yang berat. Peranda Istri Mpu Alaki
dan seluruh warganya dibebaskan dari perjalanan sang kala, luput dari penuaan dan
kematian karena tua, namun tidak akan dapat dilihat orang lain. Dewata menjelaskan,
persyaratan itu untuk menjaga agar umat yang lain tidak iri hati melihatnya abadi. Kilat
menyambar dan guruh menggelegar di saat itu walau tidak ada hujan dan tidak ada badai.
Warga Mpu Alaki lenyap dari pandangan, demi menjaga kesetiaan dan kasih sayang.
Demi penantian yang panjang dan dibayar dengan keabadian. Ida Peranda Sakti Wawu
Rauh yang mengira istri dan putrinya telah moksah baru menyadari hal ini setelah beliau
juga moksah di Ujung Selatan pulau Bali, di hulu batu yang sepi.
Belahan jiwanya, Danghyang Patni Keniten menyusul moksah bersama sang putri
yang bijak tanpa cela, Dyah Ayu Swabawa Melanting. Diikuti kemudian oleh adindanya
yang termuda, pangeran Bajra sang Ratu Samar. Tempat itu kini terkenal dengan nama
Pulaki, Dyah Ayu Melanting berstana di pura Melanting, Pangeran Bajra di pura Kerta
Kawat sebagai Pangeran Mentang Yuda yang adil dalam memutuskan perkara.
Ketiganya juga dipuja dan dilinggihkan di banyak pura sebagai Ratu Niyang Lingsir
yang pemurah, Dewa Ayu Melanting yang bijak, dan Ida Bagus Ratu Samar.
Di Teluk Pulaki Buleleng, dekat dengan pura, memiliki sejumlah mata air tawar
yang dapat diminum oleh pengunjung. Namun sebab mata air ini disucikan oleh warga,
maka Anda harus tetap menjaga perkataan dan perbuatan selama di area mata air maupun
area Pura Pulaki.