Anda di halaman 1dari 13

Beberapa perjalanan orang-orang Suci ke Bali :

1. DANGHYANG MARKANDEYA

Perkembangan agama Hindu dengan berbagai Tradisi Budaya dan Adat di Bali seperti
yang kita kenal terbentuk melalui proses sejarah yang panjang. Salah satu bagian penting
dari proses adalah masa dharmayatra beberapa pendeta suci baik Hindu maupun Budha
ke pulau ini. Salah satu tonggak sejarah dari perkembangan agama Hindu di Bali adalah
peranan MahaRsi Markandeya yang pertama kali menanam Panca Datu dan merintis
masa sejarah pada abad ke-9. Masa kedatangan beliau dianggap sebagai tonggak
perkenalan masayarakat Bali dengan pengetahuan tentang keagamaan dan mulai terdapat
peninggalan sejarah dalam bentuk tulisan di bumi dewata ini. Beliau pulalah yang
memperkenalkan sistem irigasi (Subak), sistem bercocok tanam yang sampai saat ini
masih dipertahankan sebagai salah satu keunikan budaya masyarakat Bali yang tidak
dijumpai di daerah lain.

Peninggalan tertulis dari jaman MahaRsi Markandeya ini selain berupa beberapa prasasti
adalah berupa lontar atau Purana, terutama sekali adalah lontar Markandeya Purana,
yang menceritakan tentang asal usul sang MahaRsi dan perjalanan beliau dalam
berdharmayatra. Di lontar ini disebutkan bahwa MahaRsi Markandeya berasal dari India
(kemungkinan dari India Selatan), melakukan perjalanan suci menuju tanah Jawadwipa.
Beliau sempat beryoga semadi di Gunung Demulung, lalu berlanjut ke Gunung Di Hyang
(Pegunungan Dieng), Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah yang pada saat itu berada
dalam pemerintahan Mataram Kuno (wangsa Sanjaya dan Syailendra).

Kemungkinan karena bencana alam (gunung meletus), dari Gunung Dieng, Rsi
Markandeya meneruskan perjalanan menuju arah timur ke Gunung Rawung yang terletak
di wilayah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Kemungkinan perpindahan beliau
bersamaan dengan pemindahan kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa
Timur dan menjadi kerajaan Medang Kemulan yang dengan raja Pu Sindok sebagai awal
dari dinasti Isana. Di Gunung Rawung sang MahaRsi beserta pengikutnya, sempat
membangun pasraman, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Bali. Pasraman
beliau diyakini berada di tempat dimana sekarang didirikan Candi Gumuk Kancil di Desa
Bumiharjo, Kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi.

Setelah beberapa saat bemukim di Gunung Rawang, sekarang dikenal sebagai Gunung
Raung (Jawa Timur), Rsi Markandeya kemudian tertarik untuk melanjutkan
perjalanannya ke timur. Pada masa itu Pulau Bali belum dikenal sesuai namanya
sekarang. Pulau ini masih belum banyak diketahui, sebagian pelaut mengira Pulau Bali
merupakan sebuah pulau yang memanjang yang menyatu dengan apa yang kita kenal
sekarang sebagai Kepulauan Nusa Tenggara. Jadi pada masa itu Pulau Bali dan
Kepulauan Nusa Tenggara dianggap merupakan sebuah pulau yang sangat panjang yang
disebut dalam Markandeya Purana sebagai Nusa Dawa/Pulau Panjang.

Pada saat kedatangannya yang pertama dengan menyeberang Segara Rupek (selat Bali)
Rsi Markandeya setelah tiba di Bali, misi beliau mengalami kegagalan dimana sebagian
besar pengikutnya yang berjumlah sekitar 8,000 orang, mengalami kematian ataupun
sakit secara misterius. Beliau merasakan aura misterius yang sangat kuat menguasai
pulau ini sehingga dia kemudian memutuskan untuk kembali ke Gunung Raung dan
bermeditasi/puja wali untuk meminta petunjuk agar bisa selamat dalam perjalanan ke
Bali berikutnya.

Dalam kunjungannya yang kedua, berdasarkan hasil dari meditasinya, Rsi Markandeya
beserta pengikutnya sepakat untuk pertama-tama melakukan upacara suci/ Pecaruan/
Ruwatan untuk keselamatan mereka selama berada di Bali. Beliau memutuskan untuk
mengadakan upacara suci tersebut ditempat yang tertinggi di pulau ini yang juga diyakini
sebagai tempat yang paling keramat. Mereka kemudian mendaki Gunung Agung yang
pada saat itu dikenal dengan nama Toh Langkir. Di kaki gunung itu mereka mengadakan
upacara suci yang aktifitas utamanya berupa penanaman Panca Datu, berupa 5 unsur
logam yang dianggap paling penting pada masa itu (emas, perak, perunggu, tembaga dan
kuningan). Tempat beliau beserta pengikutnya menanam Panca Datu itu kemungkinan
sekali adalah di tempat yang sekarang menjadi Pura Basukihan di areal Pura Besakih.
Pura Basukihan ini adalah pura yang lokasinya tepat di kaki jalan tangga masuk ke area
Pura Penataran Agung Besakih.
Kemungkinan pada saat berada di ketinggian Toh Langkir (Gunung Agung) tersebut Rsi
Markandeya menyadari bahwa ternyata Pulau Bali hanya pulau kecil sehingga beliau
menganggap bahwa nama Pulau Panjang kurang tepat dan menggantinya dengan nama
Pulau Bali. Kata Bali sendiri berasal dari bahasa Palawa yang berkembang di India
Selatan tempat asal sang MahaRsi. Bali kurang lebih berarti persembahan, mengingat
untuk mendapatkan keselamatan Rsi Markandeya harus mengaturkan persembahyangan/
upacara suci terlebih dahulu terhadap kekuatan alam semesta dimana kita beraktivitas.
Dalam perkembangan selanjutnya Bali kurang lebih sama artinya dengan Banten (sarana
upacara) pada masa sekarang ini.

Dalam perkembangan selanjutnya Rsi Markandeya memutuskan untuk menetap di Bali


dan menyebarkan agama Hindu. Di pulau ini Maharsi bersama pengikutnya merabas
hutan dan membangun banyak tempat suci, pasraman untuk penyebaran pendidikan
agama. Kedatangan beliau yang kedua ke Bali dengan mengikutsertakan sekitar 4,000
orang Age (wong Age) yang berasal dari daerah sekitar Gunung Raung. Orang Age ini
dikenal terampil dalam tanah untuk budidaya pertanian, rajin dan kuat. Maharsi
Markandeya mengajak pengikutnya orang Age guna diajak merabas hutan dan membuka
lahan baru. Setelah berhasil menunaikan tugas, maka tanah itu dibagi-bagikan kepada
pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat
awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan. Kini
lokasinya di Desa Puwakan, Taro Kaja, Kecamatan Tegallang, Kabupaten Gianyar.
Beliau dan pengikutnya kemudian membuka Hutan Taro dan bermukim di tempat yang
sekarang di kenal sebagai Desa Taro (sebelah Utara Ubud) yang dianggap sebagai desa
tertua di Pulau Bali. Di desa tersebut beliau mendirikan Pura Murwa Bhumi (Murwa
kemungkinan sama artinya dengan mula/ permulaan) sebagai pura pertama di Bali.
Selanjutnya beliau mengembangkan daerah Toh Langkir menjadi areal pura (tempat suci)
yang dianggap sebagai Pura Utama di Bali.

Jika dikaitkan dengan perjalanan Maharsi di Bali khususnya di daerah Taro,


kemungkinan Pura Murwa Bhumi merupakan tempat pertama oleh Maharsi Markandeya
beryoga, berdharma wacana memberikan pembelajaran bagi para pengikut menyangkut
agama dan cara-cara berteknologi guna memperoleh kemakmuran dengan tata cara
bertani yang baik dan benar sehingga mampu mendapat hasil bagus. Beliau mengajarkan
masyarakat untuk selalu giat berusaha namun juga senantiasa mengingat akan kebesaran
sang Pencipta. Untuk itu beliau juga mengajarkan umat agar senantiasa ingat
mengaturkan upakara (persembahan) yang di Bali saat ini dikenal sebagai banten. Ini
sebagai upaya menjaga harmonisasi hubungan masyarakat dengan kekuatan alam
semesta. Dalam lontar Bhuwana Tattwa, disebutkan bahwa Maha Rsi bersama
pengikutnya membuka daerah baru pada tahun Saka 858 di Puwakan. Kemudian
mengajarkan cara membuat berbagai bentuk upakara sebagai sarana upacara. Mula-mula
terbatas kepada para pengikutnya. Lama-kelamaan berkembang ke penduduk lain di
sekitar Desa Taro.

Selain pura Murwa Bhumi dan beberapa pura lainnya di sekitar daerah Kecamatan
Payangan dan Ubud (antara lain Pura Gunung Raung di Desa Taro), pura lainnya yang
erat kaitannya dengan Rsi Markandeya adalah Pura Silawanayangsari di Gunung
Lempuyang, Kabupaten Karangasem. Beliau juga mendirikan asrama di Pura
Silawanayangsari (dikenal juga sebagai Pura Lempuyang Madya) dan di sini beliau
dikenal sebagai Bhatara Hyang Gnijaya.

Pada saat sekarang ini dimana masyarakat Bali ingin menelusuri silsilah keluarga mereka,
menemukan kawitan mereka, ada sebuah fakta yang membingungkan tentang tokoh yang
disebut sebagai Hyang Gnijaya. Ada disebutkan tentang Bhatara Gnijaya yang
berpasraman di Pura Lempuyang Madya (Pura Silawanayangsari) yang dianggap
merupakan leluhur dari Klan/Warga Pasek dan menganggap bahwa Pura Lempuyang
Madya merupakan kawitan utama dari warga Pasek.

Sekedar catatan, banyak yang menafsirkan Bhatara Gnijaya atau yang di Babad Pasek
disebut sebagai Mpu Gnijaya yang menjadi leluhur para warga Pasek adalah sama dengan
MahaRsi Markandeya. Namun bila dilihat dari periode keberadaannya, tampak jelas
bahwa mereka adalah 2 orang yang berbeda. MahaRsi Markandeya berada di Bali pada
sekitar abad ke 9 M, sedangkan Mpu Gnijaya dalam Babad Pasek adalah salah satu dari 5
pendeta bersaudara yang dikenal sebagai Panca Tirtha (Panca Pandita) yaitu Mpu
Gnijaya. Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bhradah. Bila keberadaan
Mpu Kuturan dan Mpu Bhradah di Bali adalah sekitar abad ke 11 M, maka jelas terlihat
bahwa sosok Mpu Gnijaya disini berbeda dengan MahaRsi Markandeya. Mpu Gnijaya
disini merupakan ayah dari Sapta Rsi yang dianggap sebagai leluhur warga Pasek. Beliau
sebenarnya bermukim di Kuntuliku, Jawa Timur, namun diyakini kemudian Mpu Gnijaya
pindah ke Bali dan menetap di gunung Lempuyang. Pertanyaan lainnya yang timbul
adalah mengenai jati diri tokoh yang pasramannya di Pura Lempuyang Madya, apakah
Mpu Gnijaya versi Babad Pasek ataukah MahaRsi Markandeya.

Dari tinjauan sejarah tidak banyak peninggalan tertulis dari Rsi Markandeya baik selama
di Jawa maupun di Bali, selain dari pada lontar Markandeya Purana dan beberapa lontar
lainnya yang berkaitan dengan dharmayatra beliau. Peninggalan beliau yang sampai
sekarang bertahan adalah beberapa pura yang ditujukan untuk pemujaan terhadap jasa-
jasa beliau sebagai seorang Dang Guru yang pertama kali menyebarkan agama Hindu di
Bali dan sistem pengolahan lahan di Bali yang sangat unik.

2. MPU SANGKULPUTIH

Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan


melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik
untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya
seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian:
beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari,
canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi
panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten
dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul
getaran-getaran spiritual. Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi
sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor pembuatan
arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam
sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi

Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari
Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan,
Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang
bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh
Danghyang Markandeya.

3. MPU KUTURAN

Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan
sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Seperti disebutkan oleb R. Goris pada
masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada
sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata,
Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya.
Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan
(Ardhana 1989:56). Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai
istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta
berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap
lebih rendah.Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu
sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa
didalam tubuh masyarakat Bali Aga.

Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan
ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir seluruh aspek
kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negative ini bukan saja menimpa desa
bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda
pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja
Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa
Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada
di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa
bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:a. Mpu Semeru,
dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari
Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921
(999M) lalu berparhyangan di Besakih.b. Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di
Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu
berparhyangan di Gelgelc.

Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu
Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan
atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)d. Mpu
Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan,
bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa
dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis
(Lempuyang)Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di Jawa Timur bersaudara 5 orang
yaitu adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan
berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut
Panca Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “wijati”
yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”. Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di
Bata Anyar yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu, yaitu :o Dari pihak
Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidango Dari pihak
Ciwa diwakili oleh Mpu Semeruo Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali
AgaDalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan
keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran.

Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti
(Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap
sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.Konsesus yang
tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan
bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha”
sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha.Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus
mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa
dalam perwujudannya yang masing-masing bernama:ØPura Desa Bale Agung untuk
memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
(Tuhan)ØPura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang
Hyang Widhi Wasa ØPura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya
Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi WasaKetiga pura tersebut
disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di
Bali. Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan suatu organisasi “Desa Pakraman” yang lebih
dikenal sebagai “Desa Adat”.

Dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang
politik, social, dan spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tersebut semua prasasti
ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan
bahasa Jawa Kuna (Kawi).

Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Samuan
Tiga.Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang
mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol
palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa
Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan
Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan
manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider)

4. MPU MANIK ANGKERAN

Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik
Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra.
Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari
pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan
memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut
segara rupek.

5. MPU JIWAYA

Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum
bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai
dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget)
dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
6. DANGHYANG DWIJENDRA

Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem
Waturenggong. Atas wahyu Hyang Widhi di Purancak, Jembrana, Beliau mempunyai
pemikiran-pemikiran cemerlang bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa
yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan
Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana. Jika
konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan
horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan
vertikal. Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang
kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum
dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-
tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak
ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain itu beliau juga
mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan
lontar, kidung atau kekawin.

Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang,
Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa
Sesana, Aji Pangukiran, dll. Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan
untuk memberikan Dharma wacana. Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-
Pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat
misalnya :

1. Pura Purancak,
2. Pura Rambut siwi,
3. Pura Pakendungan,
4. Pura Hulu watu,
5. Pura Bukit Gong,
6. Pura Bukit Payung,
7. Pura Sakenan,
8. Pura Air Jeruk,
9. Pura Tugu,
10. Pura Tengkulak,
11. Pura Gowa Lawah,
12. Pura Ponjok Batu,
13. Pura Suranadi (Lombok),
14. Pura Pangajengan,
15. Pura Masceti,
16. Pura Peti Tenget,
17. PuraAmertasari,
18. Pura Melanting,
19. Pura Pulaki,
20. Pura Bukcabe,
21. Pura Dalem Gandamayu,
22. Pura Pucak Tedung, dll.

Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di
Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan
Hindu di luar Bali.
TOKOH ORANG SUCI DALAM PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI
BALI

Beberapa maha rsi yang dalam kehidupan agama Hindu dikenal dan disebut – sebut dalam
kitab suci karena peran dan jasanya diantaranya adalah :
1. Bhagawan Bhrgu, adalah seorang Maha Rsi yang didalam kitab Purana dianggap sebagai putra
Brahma dan sebagai pendiri dari warga atau bangsa beliau yang disebut bangsa Bhagawan.
2. Rsi Agastya, dalam Penyebaran agama hindu Rsi Agastia adalah terkenal jasa – jasanya.
Menurut Kitab suci Purana dan Mahabharata beliau lahir dikasi (Beranes) sebagai penganut siwa
yang taaat. Beliau dikatakan sebagai pemegang obor yang memberi penerangan suci didaerah
pelosok. Beliau meninggalkan kota Kasi menuju keselatan sebagai darmadutha menyebarkan
Agama Hindu.
3. Bhagawan Brhaspati, menurut beberapa kitab purana Bhagawan Braspati adalah putra
Bhagawan Angirasa (Angira). Bhagawan Angira terkenal sebagai orang suci, Manasaputra itu
diciptakan oleh Brahma melalui pikirannya. Nama – nama Mana Saputra dan Dewa Brahma
antara lain Marici, Bhregu, Angira, dan lain – lain.
4. Mpu Tantular, adalah seorang Rsi yang tinggi Pribadinya dan juga seorang pujangga besar
Hindu, hasil karyanya banyak tersebar, satu diantaranya yaitu Sotasoma. Karya ini
menggambarkan bahwa Ide Sanghyang Widhi Wasa satu bukan dua, sekalipun ada yang
mengatakan Siva dan Budha. Mpu tantular adalah putra dari Mpu Bahula, cucu dari Mpu
Bharadah yang saudara kandung dengan Mpu Kuturan. Mpu Tantular memiliki empat putra yaitu
: Mpu Kanawawika, Mpu Asmaranatha, Mpu Sidhimantra, dan Mpu Kepakisan, Mpu yang
terakhir merupakan leluhur dari Dalem Waturenggong. Kerajaan Gelgel di Bali.
5. Mpu Kuturan, didalam cerita calon Arang, disebutkan seorang tokoh yaitu Mpu Kuturan. Beliau
hidup di Zaman kerajaan Erlangga. Mpu Kuturan ini memiliki saudara kandung yaitu Mpu
Bharadah. Kedua Mpu ini adalah penasehat Raja Erlangga.
6. Mpu Bharadah, adalah adik kandung Mpu Kuturan. Nama Mpu Bharadah sangat harum baik
dalam tulisan – tulisan sejarah kehidupan Agama Hindu di Nusantara. Mpu Bharadah sendiri
pernah datang ke Bali. Hal ini dapat dibuktikan dengan disebutnya Nama Mpu Bharadah pada
Batu bertulis yang terdapat dipura batumadeg di Besakih tahun 1007.
7. Dang Hyang Astapaka, adalah Seorang Pandita Budha yang datang dari Majapahit ke Bali.
Beliau menyebrang dari blambangan Jawa Timur dengan mengendarai Perahu menuju daerah
Bali Timur. Dalam perjalanan beliau sempat singgah di pulau Serangan ( di sebelah selatan Pula
Bali) dan kemudian di tempat tersebut didirikan sebuah pura bernama Pura Sakhyana yang
berarti tempat Sakhyamuni atau Budha.
8. Dang Hyang Markandeya, adalah orang yang Pertama kali datang ke Bali untuk menyebarkan
agama Hindu. Dang Hyang Markandya adalah putra dari Pasangan Sang Mrakanda dengan Dewi
Manaswini, dan merupakan cucu dari sang Niata. Beliau berasal dari Jawa Timur. Memiliki
Pasraman di kaki Gunung Rawung yang sebelumnya melaksanaan pertapaan digunung raung
wilayah sekitar Pegunungan Dieng.
9. Dang Hyang Dwijendra, adalah seorang Pandita Hindu beliau sangat dihormati di Bali karena
kesuciannya, keunggulan budinya, ketinggian rohaninya, karena jasa – jasa dan pengabdian
beliau terhadap agama Hindu. Memberikan kesejahteraan rohani dan mengatasi kesengsaraan
hidup.
Dang Hyang Dwijendra berasal dari Jawa Timur yakni Kerajaan Majapahit. Dang Hyang
Asmaranata adalah nama ayah beliau. Dang Hyang Dwijendra dijadikan menantu oleh
Danghyang Penataran di Daha. Di Daha Dang Hyang Dwijendra mengadakan Dharma Yatra
(Perjalanan Suci) ke Arah Timur menuju Pasuruan.
Dang Hyang Dwijendra sangat terkenal karena pengabdiannya dalam pembinaan umat
hindu di Indonesia terutama di Lombok, Jawa, Bali dan Sumbawa. Hal ini diwujudkan karena
perjalanan Sucinya (Tirta Yatra). Di Bali beliau mendapat gelar Pendeta Sakti Wauh Rauh dan
Dang Hyang Nirata. Di Lombok dengan Gelar Pangeran Sangupati dan di Sumatra dengan gelar
Tuan Semeru. Untuk mengingatkan Pendalaman Agama beliau mendirikan beberapa Pura
diantaranya : Pura Purancak, Rambut Siwi, Pilaki, Batu Klotok, Mesceti, Ulu Watu, Pati Tenget,
Tanah Lot, Air Jeruk dan Pojok batu. Juga Pura Suranadi di Lombok. Serta sebagai cikal bakal
lahirnya Brahmana Siwa yang ada di Bali. Beliau moksa di pura Ulu Watu, Badung.
PERJALANAN ORANG-ORANG SUCI KE BALI

NAMA KELOMPOK :
 Desak Md. Agung Putri K.W (03)
 Ni Kadek Dian Dwi Lestari (28)
 Nyoman Didit Suasta Adijaya (30)
 Nyoman Gita Pariska (31)
 Nyoman Trilyawan (33)
 Putu Ari Awatara Ega F.G.H (34)
Kelas : XI MIA 2

2014/2015
SMAN 4 SINGARAJA

Anda mungkin juga menyukai