Anda di halaman 1dari 29

Brahmacari: Masa Menuntut Ilmu

Kategori : Artikel Baru


Dalam Agama Hindu, kehidupan dibagi berdasarkan jenjang kehidupan yang mesti
dilalui sesuai dengan tingkatan-tingkatan yang disebut dengan Catur Asrama. Jenjang
kehidupan manusia berdasarkan alas tatanan rohani, waktu, umur dan sifat perilaku
manusia. Catur Asrama berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu dari kata Catur dan
Asrama. Catur berarti empat dan Asrama berarti tempat atau lapangan "Kerohanian".
Kata Asrama sering juga dikaitkan dengan jenjang kehidupan. Jenjang Kehidupan itu
berdasarkan atas tatanan rohani, waktu, umur, dan sifat perilaku manusia.
Catur Asrama adalah empat tingkatan hidup manusia, antara lain Brahmacari yaitu
masa menuntut ilmu pengetahuan dan teknologi, Grhasta yaitu masa membina rumah
tangga atau hidup bersuami istri, Wanaprasta yaitu masa mengasingkan diri menekuni
ilmu kerohanian dengan melakukan Panca Karma (lima macam perawatan) atau istilah
lainnya Panca Yadnya (lima persembahan), dan Bhiksuka adalah meninggalkan ikatan
dunia ini dengan jalan meminta-minta, semua yang ada di dunia ini tidak menjadi
miliknya, karena tidak terikat lagi, hidup meminta-minta sebagai ciri khasnya
(Sanyasin). Lebih lanjut tentang Brahmacari, semua belajar dilarang melakukan
hubungan sex (Suklabrahmacari).
Empat tujuan hidup ini hanya dapat dicapai melalui tahapan-tahapan hidup sesuai
dengan pertunmbuhan manuia itu sendiri. Tahapan-tahapan tersebut disebut dengan
Catur Asrama. Catur Asrama ini adalah konsepsi dasar untuk mencapai empat tijuan
hidup tersebut. Sebagai konsepsi hidup, Catur Asrama juga menjadi landasan
konsepsional penerapan Hindu Dharma. Karena penerapan Hindu Dharma bertujuan
untuk mewujudkan tujuan hidup manusia pula. Catur Asrama berasal dari kata Catur
yang artinya empat dan asrama yang artinya "usaha seseorang". Yang dimaksud
dengan usaha seseorang dalam pengertian Catur Asrama adalah usaha yang mutlak
yang harus dilakukan oleh seseorang pada tiap-tiap asrama.
Berdasarkan difinisi di atas, Agama Hindu mengatur kehidupan manusia berdasarkan'
fase-fase atau jenjang-jenjang yang harus dilalui sesuai dengan tingkatan umur. Pada
masa Brahmacari menitik beratkan pada ilmu pengetahuan. Pada waktu masuk jenjang
grahasta memfokuskan diri pada harta dan kama, pada jenjang kehidupan wanaprasta
mengurangi keterikatan diri terhadap duniawi, dan pada waktu saniasin kehidupan
berlahan-lahan dilepaskan dari kehidupan duniawi Dengan demikian akan tercapai
kehidupan yang moksatamjahathita ya ici dharma.
Brahmacari merupakan tingkatan pertama dari catur asrama yang harus dilalui oleh
manusia dalam perjalanan hidupnya. Sejak lahir ke dunia ini manusia sudah mulai
belajar. Belajar berbicara, belajar merangkak, belajar berjalan, belajar berfikir, belajar
bekerja, belajar tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, diucapkan
dan difikirkan. Makin bertambah umur, makin banyak yang harus dipelajari. Ada ilmu
pengetahuan seni dan teknologi yang harus ditelaah untuk bekal dalam memasuki
tahap hidup selanjutnya. Ada banyak hal yang perlu dipelajari, baik melalui pendidikan
formal, informal maupun nonformal. Semua pengetahuan, keterampilan, kecakapan,
kebiasaan, kegemaran, sikap dan lainnya yang diperoleh semasa kehidupan
brahmacari merupakan potensi yang diperoleh akibat belajar, akan sangat menentukan
warna kehidupan berikutnya. Hal ini akan menghasilkan perubahan pada diri seseorang
baik aktual maupun potensial.
Manusia lahir dari proses suatu perkawinan, oleh karena itu perkembangan dari masa
anak-anak sampai menginjak remaja (yowana) dipandang sebagai Brahmacari Asrama.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan anak melalui siklus reproduksi yang integral,
yaitu sejak janin dalam kandungan ibu, bayi, anak, remaja (yowana), dewasa, orang tua
dan lanjut usia. Dalam siklus ini berlangsung tahapan-tahapan yang relatif rumit dan
spesifik untuk masing-masing tahapan. Salah satu tahapan tersebut adalah masa
remaja (yowana) yang dalam Agama Hindu disebut dengan Brahmacari Asrama (masa
menuntut ilmu). Pada masa ini terjadinya proses awal kematangan organ reproduksi
dan mental manusia, dalam tahapan ini, berlangsung penuh konplik seingga berpotensi
untuk terjadinya disharmoni dalam hubungan interpersonal pada remaja (yowana).
Masa remaja (yowana) akan terjadi perubahan-perubahan pada fisik maupun psikis.
Karena itu masa remaja (yowana) sering juga disebut masa pancaroba, yang penuh
tantangan dan resiko. Remaja (yoivana) sangat mudah terpengaruh oleh hal-hal yang
menjerumuskan  atau  merugikan dirinya maupun orang lain. Tidak sedikit yang
terpengaruh atau kecanduan minuman keras, narkoba, terjangkit penyakit HIV/Aids dan
perilaku negatif lainnya dimulai pada masa remaja.
Masa Remaja (Yowana) adalah Masa Belajar
Pengeritan Brahmacari
Menurut Punyatmadja menyatakan bahwa yang bernama Catur Asrama ialah
Brahmacari, grahasta, ivanaprasta, biksuku. Brahmacari namanya yaitu orang yang
membiasakan (mempelajari dengan cermat) ilmu pengetahuan (sastra) dan yang
mengetahui prihal ilmu huruf (aksara), orang yang demikian pekerjannya bernama
Barahmacari. Adapun yang dianggap Brahmacari di dalam masyarakat (ialah) orang
yang tidak terikat nafsu keduniawian, (sebagai) beristeri dsb. Adapun Brahmacari yang
lain (dari itu) disebut Brahmacari Saranam, arinya menuntut ilmu petunjuk kerohanian
(Atmapradesa). Sang Yogiswara, beliau Bramacari didalam berbagai ilmu (Satrantara),
didalam pengertian ilmu (Sastrajna). Setelah puas dimasukaanya pengetahuan semua
yang diketahui Beliau (menjadi) Grahasthalah beliati, beristri beliau, beranak,
mempunyai budak dsb, memupuk kebajikan yang berhubungan dengan diri pribadi
(kayikadharma) dengan kekuatan yang ada padanya (yathasakti).
Brahmacari menurut Sudharta ialah tingkatan hidup manusia pada watu sedang
mengejar ilmu pengetahuan atau ilmu ketuhanan. Brahma berarti ilmu pengetahuan
atau ilmu ketuhanan; dan cara arinya tingkah laku dalam mengejar atau menuntut ilmu
pengetahuan.
Brahmacari merupakan tingkatan hidup manusia pada waktu mengejar ilmu
pengetahuan serta ilmu ketuhanan. "Braman" disini artinya ilmu pengetahuan/ilmu
ketuhanan dan "cara" artinya tingkah laku dalam belajar, Dep.Agma Provisi Bali
(2006;56) Menurut Titib Brahmacari adalah masa belajar, masa menuntut ilmu
pengetahuan, utamanya ilmu pengetahtian tentang ketuhanan (spiritual). Kata
Brahmacari sering dijabarkan melalui pernyataan beikut : brahmacarati iti barahmacari,
mereka yang berkecimpung di bidang pengetahuan (mencari ilmu pengetahuan)
disebut Brahmacari. Seorang Brahmacari yang mampu mengendalikan diri terhadap
nafsu sek dikatakan memiliki kekuatan suci (cahaya) kedewataan. Hal ini disebutkan
dalam Atharvaveda XI.5.1 sebagai berikut:
"Brahmacaryena taf asa
Raja rastram vi raksati
acaryo brahmacaryena
Brahmacarinam icchate
Artinya:
Seorang raja, dengan sarana menjalankan brahmacari, bisa melindungi bangsanya.
Seorang penddik (guru pembimbing), yang sedang menjalankan brahmacari sendiri,
berkeinginan mngajar para siswa yang saleh.
Brahmacari merupakan tingkatan hidup yang pertama, yang harus dilalui oleh manusia
dalam perjalanan hidupnya. Sejak lahir ke dunia manusia sudah mulai belajar, belajar
tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diucapkan dan dipikirkan. Semakin
bertambah umur seseorang semakin banyak yang harus dipelajari.Ada ilmu
pengetahuan tentang seni dan teknologi yang harus ditelaah sebagai bekal dalam
memasuki tahapan hidup selanjutnya. Ada etika dan Agama yang harus ditekuni dan
dihayati selanjutnya dilaksanankan sebagai pedoman hidup sehari-hari. Ada banyak hal
yang perlu dipelajari, baik melalui pendidikan formal, informal maupun non formal.
Semua pengetahuan,keterampilan, kecakapan, kebiasaan, kegemaran, sikap dan lain
sebagainya dapat dipeoleh pada masa kehidupan Brahmacari. Pada masa Brahmacari
ini, banyak potensial yang diperoleh dari peroses belajar, yang akan menetukan warna
kehidupan berikutnya. Hal ini akan menghasilkan perubahan pada diri seseorang baik
aktual maupun potensial. Pada masa Brahmacari ini manusia dituntut untuk
memfokuskan diri pada pelajaran baik pada pelajaran ilmu pengetahuan maupun ilmu
kerohanian. Masa Brahmacari, merupakan masa untuk menuntut ilmu sebanyak-
banyaknya sebagai bekal dalam menempuh kehidupan berumah tangga (grahasta).
Jenis - Jenis Brahmacari
Dalam ajaran Agama Hindu prosesi belajar tidak dibatasi pada tingkat umur, namun
lebih banyak memfokuskan diri sesuai dengan jenjang Catur Asrama. Pada Masa
Brahmacari lebih banyak memfokuskan diri terhadap ilmu pengetahuan. Pada masa
Grahasta kehidupan lebih banyak difokuskan pada artha dan koma, pada masa
wanaprasta mengurangi keterikatan terhadap gemerlapnya kehidupan dunia serta
mempelajari ajaran kerohanian dan kegiatan spiritual. Sedangkan pada masa sanyasin/
bhisuka mulai perlahan-lahan meninggalkan kehidupan terhadap gemerlapnya
kehidupan duniawi serta memfokuskan diri terhadap ajaran kerohanian dan spiritual.
Mengingat ilmu pengetahuan selalu mengalami perkembangan sehingga tidak akan
habis untuk dipelajari, maka Brahmacari tersebut digolongkan menjadi 3 (tiga) bagian.
Menurut Punyatmadja menggolongkan Brahmacari menjadi 3 (tiga) bagian antara
lain: Suklabrahmacari, Tresnabrahmacari, dan Sawalabrahmacari.
1. Sukla Brahmacari
Sukla barahmacari berarti seseorang tidak melakukan perkawinan atau melakukan
hubungan seksual sepanjang hidupnya. Hal ini dapat dilakukan karena : a), disebabkan
oleh cacat badan, mengidap penyakit tertentu sehingga tidak mampu melakukan
perkawinan, b), adanya niat yang tumbuh dalam diri untuk tidak melakukan perkawinan
sepanjang hidupnya. Hal ini dapat kita jumpai dalam Silakrama yang berbunyi: Sukla
Brahmacari ngaranya tanpa rabi sangkan rere tan kuring sira. Adyapi teku ringwerdha
tuivi tan pangincep arabi sangkan pisan. Artinya :Sukla Brahmacari namanya orang
yang tidak kawin dari sejak lahir sampai ia meninggal. Hal ini bukan disebutkan karena
impoten atau lemah syahwat. Dia sama sekali tidak pernah kawin sampai umur lanjut
2. Sewala Brahmacari
Sewala Brahmacari adalah seseorang yang dalam hidupnya hanya melaukan
perkawinan sekali dengan istri atau suaminya. Walaupun istri atau suaminya meninggal
tetap setia dengan tidak melakukan perkawinan yang kedua atau seterusnya. Hal ini
dapat kita jumpai dalam Silakrama yang
berbunyi sebagai berikut:
Swala Brahmacari ngaranya, Marabi pisan, tan parahi muah yan Kahalangan mati
Strinya,tanpa rabi muah sira, adyapi teka ri patinya, tan pangcap arahnya. Mangkana
Sang Brahmacari, yan sira swala Brahmacari. Artinya: Sewala Brahmacari namanya
bagi orang yang hanya kawin satu kali, tidak kawin lagi bila mendapatkan halangan
salah satu meninggal maka ia tidak kawin lagi sampai datang ajalnya. Demikian
namanya Sewala Brahmacari
3. Tresna Brahmacari
Tresna Brahmacari adalah seseorang yang melakukan perkawinan lebih dari satu kali
dan sebanyak-banyaknya empat kali. Istri-istrinya yang dikawini tersebut merupakan
istri yang sah menurut hukum perundang-undangan yang berlaku, serta tidak
melanggar agama.
Kehidupan Brahmacari asrama dalam belajar di sekolah
https://phdi.or.id/artikel/brahmacari-masa-menuntut-ilmu
A.    PENGERTIAN CATUR ASRAMA

Niyatam kuru karma tvam


Karma jyayo hy akarmanah
Sarra-yatrapi ca te
Na prasiddhyed akarmanah
(Bhagawadgita III.8.42)

Artinya :
Lakukanlah pekerjaan yang diberikan padamu, karena melakukan perbuatan itu lebih baik
sifatnya daripada tidak melakukan apa-apa, sebagai juga untuk memelihara badanmu tidak akan
mungkin jika engkau tidak bekerja.

Manusia tumbuh melalui berbagai tahap usia dalam hidup mereka, proses yang dikenal
sebagai siklus kehidupan manusia. Berbagai poin sepanjang siklus kehidupan seseorang
menawarkan berbagai pertumbuhan dan perkembangan, baik pada tingkat fisik dan emosional.
Sebagai orang yang bergerak melalui kehidupan dari satu siklus ke siklus yang lain, ia juga
mengalami perkembangan konstan dari kehidupan seluler, kematian dan regenerasi, dari saat
pembuahan sampai saat kematian.

Kita mesti bangga karena Hindu telah memiliki konsep yang jelas tentang jenjang
kehidupan seorang manusia yang tersusun secara sistimatis dalam Catur Asrama. Dalam
kepercayaan lain konsep ini Nampak tidak begitu jelas, dimana seorang yang sebenarnya sudah
masuk di masa yang sudah tidak muda lagi masih diijinkan untuk menikah dan begitu juga
sebaliknya diusia yang masih sangat muda seseorang telah dinikahkan.

Selain itu penilaian Hindu tentang seberapa pantas seorang itu menikah bukan hanya dari
fisik tapi kedewasaan mental dan seberapa besar kemampuan yang diperoleh dalam masa belajar
untuk dapat menunjang kehidupan rumah tangganya nanti.

Kata Catur Asrama berasal dari bahasa sansekerta yaitu dari kata Catur berarti empat dan
kata Asrama berarti tempat atau lapangan “kerohanian”. Catur asrama adalah empat jenjang
kehidupan manusia berdasarkan petunjuk kerohanian yang dipolakan untuk mencapai empat
tujuan hidup manusia yang disebut Catur Purusartha. Jenjang kehidupan itu berdasarkan atas
tatanan rohani, waktu, umur dan sifat perilaku manusia.
Empat Asrama atau tahapan dalam kehidupan, yaitu : Brahmacari (tahapan belajar atau
masa menuntut ilmu pengetahuan), Grhastha (tahapan berumah tangga), Wanaprastha (tahapan
penghuni hutan atau pertapa dan yang terakhir adalah Sannyasin (kehidupan penyangkalan atau
bhiksuka). Setiap tahapan memiliki tugas sendiri-sendiri. Tahapan-tahapan ini membantu evolusi
manusia. Empat Asrama menempatkan manusia pada kesempurnaan oleh masing-masing
tahapan. Pelaksanaan dari Empat Asrama, mengatur kehidupan dari awal sampai akhir. Dua
Asrama yang pertama menyinggung tentang Prawrtti Marga atau jalan kerja, dan tua tahapan
berikutnya yaitu kehiduan Wanaprastha dan Sannyasa merupakan tahapan penarikan diri dari
dunia luar. Mereka menyinggung kepada Niwrtti Marga atau jalan penyangkalan atau penolakan.
Wanaprastha dan Sannyasa Asrama, adalah tahapan hidup memasuki masa pension dan
tahapan hidup mempersiapkan diri untuk melepaskan sang diri (Atman) dari belenggu kehidupan
di dunia nyata ini. Dua tahap ini hanya ditujukan untuk mencapai Moksa sebagai tujuan akhir
dari proses  hidup ini. Saat Wanaprastha adalah tahapan hidup untuk membagi berbagai
pengalaman hidup pada generasi penerus yaitu Brahmacari dan Grhastha Asrama. Dalam hal
inilah berlaku semboyan pengalaman sebagai guru terbaik. Sukses dan gagal dalam hidupnya
saat Brahmacari dan Grhastha seyogyanya menjadi bahan pelajaran untuk ditelaah oleh generasi
selanjutnya.
Pengalaman yang sukses dan gagal itu sebagai suatu bahan pelajaran yang sangat
berharga sebagai suatu pebandingan bagi generasi berikutnya. Tentunya dengan kajian-kajian
mendalam. Karena situasi dan kondisi jaman sebelumnya dan jaman selanjutnya tidak sama.
Cara sukses pada masa yang lalu tentunya tidak selamanya bisa diterapkan pada jaman
selanjutnya. Demikian juga kegagalan yang pernah dialami jangan sampai terulang oleh generasi
selanjutnya.  
Susunana tatanan itu mendukung atas perkembangan rohani seseorang. Perkembangan
rohani berproses dari bayi, muda, dewasa, tua, dan mekar. Kemudian berkembang menjadi
rohani yang mantap mengalami ketenangan dan keseimbangan.

Adanya empat jenjang kehidupan dalam ajaran agama Hindu dengan jelas
memperlihatkan bahwa hidup itu deprogram menjadi empat  fase dalam kurun waktu tertentu.
Tegasnya dalam satu lintasan hidup diharapkan manusia mempunyai tatanan hidup melalui
empat tahap program itu, dengan menunjukkan hasil yang sempurna.

Dalam fase pertama, kedua, ketiga dan keempat rumusan tatanan hidup dipolakan.
Sehingga dapat digariskan bahwa pada umumnya orang yang berada dalam fase pertama dan
tidak boleh atau kurang tepat menuruti tatanan hidup dalam fase yang kedua, ketiga ataupun
keempat.

Demikian seterusnya diantara satu fase hidup dengan kehidupan berikutnya. Bilamana
hal itu terjadi dan diikuti secara tekun maka kerahayuan hidup akan mudah tercapai. Bilamana
dilanggar tentu yang bersangkutan akan mengalami hal yang sebaliknya. Jadi untuk
memudahkan menuju tujuan hidup maka agama Hindu mengajarkan dan mencanangkan empat
jenjang tatanan kehidupan ini. Masing-masing jenjang itu, memiliki warna tersendiri dan semua
jenjang itu mesti dilewati hingga akhir hayat dikandung badan. Setelah itu diharapkan atma
menjadi bersatu dengan sumbernya yaitu Parama Atma.
B.     BAGIAN-BAGIAN CATUR ASRMA DAN KEWAJIBANNYA

“Pelaksanaan Bahmacari Membawa Akibat Bagi leluhurnya

Tersebutlah seorang Brahana yang bernama sang Jaratkaru. Ia yang bernama Jaratkaru,
sangatlah takut pada kesengsaraan hidup ini. Jaratkaru adalah putra seorang wiku terpilih atas
ketetapan budinya. Beliau begitu rajin mengambil butir-butir padi yang tercecer di jalan atau di
sawah lalu dipungut dan dicucinya. Apabila sudah terkumpul banyak lalu ditanaknya, digunakan
sebagai korban kepada para Dewa dan juga untuk di hidangkan kepada para tamu. Demikianlah
ketetapan budi leluhurnya Jaratkaru, tidak terikat oleh cinta asmara, tidak memikirkan istri
melainkan bertapa sajalah yang dipentingkan.

Dikisahkan sekarang Sang Maha Raja Parikesit berburu kemudian dikutuk oleh
Bhagawan Srenggi supaya digigit naga Taksaka. Pada kesempatan itulah Jaratkaru bertapa.
Setelah ia berhasil bertapa mahir atas segala mantra-mantra ia dibolehkan memasuki segala
tempat, termasuk tempat-tempat yang dikehendaki yaitu tempat di antara surga dan neraka
namanya Ayatanasthana. Pada tempat neraka ditemukan roh leluhurnya sadang terhukum
tergantung pada pohon bamboo besar, mukanya tertelungkup ke bawah kakinya diikat sedangkan
di bawahnya ada jurang yang sangat dalam, jalan akan menuju kawah neraka. Roh akan tepat
jatuh ke kawah apabila tali gantungan itu putus. Di lain pihak seekor tikus sedang menggigit
pohon bamboo tersebut. Peristiwa ini sangat kritis dan sangat mengerikan bagi para roh yang
terhukum. Melihat kejadian ini Jaratkaru berlinang-linang air matanya kasihan menyaksikan roh
terhukum tersebut.

Didekatilah roh itu dan ditanya satu persatu penyebab ia sampai terhukum seperti itu.
Semua roh menyampaikan suatu alas an penyebabnya, seperti mencuri, irihati, memfitnah,
berzina dan lain-lain yang menurut Jaratkaru memang pantas pula mendapatkan hukuman seperti
itu. Kemudian akhirnya Sang Jaratkaru menanyakan penyebabnya sampai terhukum, lalu roh itu
menjawab, saya ini yang kau tanyai, saya akan katakana keadaan saya semua, keturunan kami
putus itulah sebabnya saya pisah dari dunia leluhur dan tergantung di bamboo besar ini seakan-
akan sudah masuk neraka. Saya punya seorang keturunan bernama Jaratkaru. Ia pergi karena
ingin melepaskan ikatan kesengsaraan orang, ia tidak punya istri, karena menjadi seorang
brahmacari sejak masih kecil.

Itulah sebabnya saya ada di buluh ini, karena berate semadinya keturunan saya di asrama
pertapaannya. Mungkin ia telah hebat ilmunya namun apabila putus keturunannya niscaya tidak
ada buah dari tapanya. Saya tidak berbeda seperti orang yang melaksanakan perbuatan hina yang
pantas mendapat sengsara. Rugi rupanya perbuatan saya yang baik pada waktu hidup. Kalau
kiranya engkau belas kasihan kepada saya, pintalah kasihannya sang wiku Jaratkaru supaya suka
berketurunan, supaya saya dapat pulang ke tempat para leluhur, katakanlah bahwa saya
menderita sengsara, supaya ia juga berbelas kasihan.

Mendengar kata-kata leluhurnya itu, makin berlinang-linang air matanya dan tanpa
disadari ia menangis, hatinya makin tersayat melihat leluhurnya menderita, lalu berkata : “ saya
inilah yang bernama Jaratkaru, seorang keturunanmu yang gemar bertapa, bertekad menjadi
brahmacari, kiranya sekaranglah penderitaanmu berakhir sebab selalu sempurna tapa yang telah
berlangsung. Adapun kalau itu yang menjadi kendala untuk kembali ke surga, janganlah
khawatir, saya akan memberhentikan kebrahmacarian saya”.

Saya akan mencari istri agar mempunyai anak. Adapun istri yang saya kehendaki adalah
istri yang namanya sama dengan nama saya supaya tidak ada pertentangan dalam perkawinan
saya. Kalau saya telah berputra saya akan menjadi brahmacari lagi. Demikian kata Sang
Jaratkaru dan pergilah ia mencari istri yang senama dengan dia. Semua penjuru sudah
dimasukinya namun belum mendapatkan istri yang senama dengan dia, maka dia tidak tahu apa
yang akan dikerjakan dengan tanpa disadari dia mencari pertolongan kepada bapaknya supaya
dapat menghindarkan dirinya dari sengsara.

Kemudian masuklah ia ke hutan sunyi, sambil menangis mengeluh kepada segala


makhluk, termasuk makhluk yang tidak bergerak. Saya ini Jaratkaru seorang brahmana yang
ingin beristri berilah saya istri yang senama dengan saya Jaratkaru, supaya saya berputra, supaya
leluhur saya pulang ke surga. Seru dan tangis sang Jaratkaru terdengar oleh para naga, dalam
waktu singkat disuruhlah para naga mencari brahmana itu yang bernama Jaratkaru oleh Sang
Basuki, yang akan diberikan pada adiknya yang bernama Nagini yang diberi nama Jaratkaru agar
mempunyai anak brahmana yang akan menghindarkan dirinya dari korban ular.

Terjadilah perkawinan kedua mempelai Jaratkaru yang senama, dengan berbagai upacara.
Kemudian Sang Jaratkaru mengadakan perjanjian kepada sang istri yaitu jangan engkau
mengatakan sesuatu yang tidak mengenakan perasaan, demikian pula berbuat yang tidak
senonoh. Kalau hal itu kau perbuat engkau akan kutinggalkan. Demikianlah kata Sang Jaratkaru
kepada istrinya, lalu merekapun hidup bersama. Beberapa bulan kemudian terlihatlah tanda-
tanda bahwa istrinya hamil.

Pada suatu waktu ia akan tidur, ia minta ditunggui oleh istrinya, karena dikiranya akan
ditinggalkan. Ia minta agar kepalanya dipangku oleh istrinya dan tidak mengganggunya selama
beliau tidur. Dengan hati-hati istrinya memangku suaminya yang cukup lama sampai waktu senja
tepat waktu waktu pemujaan. Lalu sang Nagini Jaratkaru membangunkan brahmana Jaratkaru,
takut kelewatan waktu memuja. Setelah membangunkan Jaratkaru justru terbalik, brahmana
Jaratkaru malah marah-marah mukanya merah karena marahnya. Brahmana berseru “Hai Nagini
(Jaratkaru) jahanam! Sangatlah penghinaanmu sebagai istri, engkau berani mengganggu tidurku!
Tidak selayaknya tingkah laku istri seperti tingkahmu itu. Sekarang engkau akan ketinggalkan”.
Demikian kata-katanya lalu memandang kepada istrinya.

Nagini mengikutinya, lari lalu memeluk kaki suaminya. “Oh tuanku, Ampunilah hamba
tuanku ini. Tidak karena hinaan hamba membangunkan tuanku. Tetapi hanya memperingatkan
tuanku akan waktu pemujaan setiap hari waktu senja. Salah kiranya, karena itu hamba
menyembah, minta ampun tuanku, baik kiranya tuanku kembali……kalau hamba sudah punya
anak yang akan menghindarkan keluarga hamba dari korban ular, sejak itulah tuanku boleh
bertapa kembali”.

Demikian Nagini minta belas kasihan. Jaratkaru menjawab “Alangkah baiknya


perbuatanmu, Nagini, memperingatkan pemujaan kepadaku pada waktu senja, tapi sama sekali
aku tidak dapat mencabut perkataanku untuk meninggalkan engkau. Jangan khawatir
keinginanmu untuk memiliki Asti, anakmu sudah ada. Itulah yang akan melindungimu kelak
pada waktu korban ular. Senanglah Nagini Jaratkaru. Sang Nagini ditinggalkannya. Nagini lalu
mengatakan kepada Sang Basuki tentang kepergian suaminya. Mengatakan segala perkataan
Sang Jaratkaru, dan mengatakan pula tentang isi kandunganya, yang menyebabkan girangnya
sang Basuki. Setelah berselang beberapa lama lahir seorang bayi laki-laki sempurna keadaan
badannya. Kemudian diberi nama Sang Astika, karena bapaknya hilang “asti”. Bayi itu disambut
oleh Sang Basuki dan diberi upacara sebagai seorang Brahmana. Baru lahir Sang Astika seketika
itu leluhur yang bergantungan tadi lepas dari penderitaan dan melayang ke surga mengenyam
hasil tapanya dahulu. Demikian pula Naga Taksaka terhindar dari korban ular yang
dilangsungkan oleh raja Janamejaya.

Naskah Jawa Kuno yang diberi nama Agastya Parwa menguraikan tentang bagian-bagian


Catur Asrama. Dalam kitab Silakrama hal 8 dijelaskan sebagai berikut :

“Catur Asrama ngaranya Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha, Bhiksuka, Nahan tang


Catur Asrama ngaranya”.

Yang bernama Catur Asrama adalah Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha, dan Bhiksuka.

Catur Asrana ialah empat fase pengasramaan berdasarkan petunjuk kerohanian. Dari
keempat pengasramaan itu diharapkan mampu menjadi tatanan hidup umat manusia secara
berjenjang.

Masing-masing tatanan dalam tiap jenjang menunjukkan proses menuju ketenangan


rohani. Sehingga diharapkan tatanan rohni pada jenjang Moksa sebagai akhir pengasramaan
dapat dicapai atau dilaksanakan oleh setiap umat.

Masing-masing jenjang memiliki kurun waktu tertentu untuk melaksanakannnya.


Pelaksanaan jenjang perjenjang ini hendaknya dapat dipahami dan dipandang sebagai kewajiban
moral dalam hidup dan kehidupan ini. Dengan demikian betapapun beratnya permasalahan yang
dihadapi dari masing-masing fase kehidupan itu tidak akan pernah dikeluhkan oleh pelakunya.

Idealnya memang seperti itu, tidak ada sesuatu “permasalahan” yang patut kita keluhkan.
Keluh-kesah yang kita simpan dan menguasai sang pribadi kita tidak akan pernah membantu
secara ikhlas untuk mendapatkan jalan keluar dari permasalahan yang ada. Bila kita hanya
mampu mengeluh tentu akan menambah beban yang lebih berat lagi. Hindu sebagai agama telah
menggariskan kepada umatnya untuk tidak mengeluh.

Bhagawadgita III.9.43 menyebutkan “


Yajnarthat karmano ‘nyatra
Loko ‘yam karma-bandhanah
Tad-artham karma kaunteya
Mukta-sangah samacara
               
Kecuali pekerjaan yang dilakukan sebagai dan untuk yadnya dunia ini juga terikat oleh hukum
karma. Oleh karenanya, O Arjuna, lakukanlah pekerjaanmu sebagai yadnya, bebaskan dari
semua ikatan.
Demikianlah Sri Bhagawab Kresna menjelaskan agar kita melakukan pekerjaan yang
telah diwajibkan dengan benar dan tanpa terikat akan hasilnya. Tujuannya tiada lain adalah agar
semua karma atau perbuatan yang kita lakukan diubah menjadi yoga, sehingga kegiatan itu dapat
membawa kita menuju persatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Bila seseorang melakukan perbuatan dengan kesadaran badan, yaitu bila mereka
menyamakan dirinya sebagai manusia yang berbuat, maka perbuatannya itu tidak akan menjadi
karma yoga. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan perasaan mementingkan dirinya sendiri,
dengan rasa keterikatan, yaitu merasa perbuatannya, maka semua perbuatan semacam itu akan
mengakibatkan kesedihan. Sehubungan dengan itu, renungkan sloka berikut :

Bhagawadgita III.25.50
Na buddhi-bhedam janayed
Ajnanam karma-sanginam
Josayet sarva-karmani
Vidvan yuktah samacaram
               
Orang yang pandai seharusnya jangan menggoncangkan pikiran orang yang bodoh yang terikat
pada pekerjaannya. Orang yang bijaksana melakukan semua pekerjaan dalam jiwa yoga, harus
menyebabkan orang lain juga bekerja.

“Berkarmalah” untuk dapat mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini


sebagaimana dijelaskan dalam ajaran Catur Purusartha. Hanya dengan melakukan kewajiban
karma seseorang akan terbebas dari semua masalah yang dihadapinya.

Bagian-bagian Catur Asrama dijelaskan sebagai berikut :

1)      Brahmacari asrama

Adalah fase pertama dari catur asrama Brahmacari yang berasal dari 2 kata , brahma dan
cari . Brahma artinya ilmu pengetahuan suci dan Cari ( car ) yang artinya bergerak atau
bertingkah laku mencari atau mengejar ilmu pengetahuan.

Jadi brahmacari artinya bergerak di dalam kehidupan menuntut ilmu pengetahuan ( masa
menuntut ilmu pengetahuan ), yakni masa belajar dan berjuang, mengisi diri menuju peringkat
hidup yang lebih baik, dalam usaha melenyapkan atau menghilangkan kegelapan menuju
kecerdasan.
“Brahmacari ngaranya sang sedeng mangabhyasa Sang Hyang Sastra, mnwang Sang
Wruh ring tingkah Sang Hyang aksara, sang mangkana karamanya sang Brahmacari
ngaranya. (Silakrama hal 8)
                        Artinya :

Barhmacarinya namanya bagi orang yang sedang menuntut ilmu pengetahuan dan yang
mengetahu perihal ilmu huruf (aksara).

Brahmacari dikenal juga dengan istilah hidup aguron-guron atau asewaka guru. Di dalam
tingkatan Brahmacari guru mendiidk para siswa atau murid dengan petunjuk kerohanian,
kebajikan, amal, pengabdian dan semuanya itu didasari oleh Dharma (kebenaran).

Di samping itu guru memberikan berbagai ilmu pengetahuan kepada para muridnya.
System Brahmacari lebih mengutamakan pada pembentukan pribadi-pribadi manusia yang
tangguh dan handal serta memiliki berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Semuanya itu
untuk menjadikan manusia bisa hidup mandiri dan siap untuk menempuh kehidupan berumah
tangga nantinya.

Demikian juga Brahmacari merupakan pondasi/dasar untuk menempuh tingkat dan


jenjang kehidupan lainnya seperti Grhastha, wanaprastha dan bhiksuka.

Semasih seseorang berada pada lintasan umur brahmacari, mesti lebih terdorong hatinya
untuk mengisi diri dan bertekad bulat menuntut ilmu sebanyak-banyaknya sesuai dengan slogan
“masa muda adalah masa belajar dan berjuang”.  Bukan masa muda dijadikan ajang sebagai
masa bermalas-malasan dan hura-hura! Setiap orang hendaknya memprogram diri untuk dapat
melewati masa brahmacari asrama itu dengan sasaran dan tujuan yang dicita-citakan

Lebih-lebih di dalam era globalisasi ini antara iptek dengan imtaq itu, harus seimbang
adanya. Artinya antara penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi diselaraskan dengan perilaku
iman dan takwa. Bila tidak seimbang antara penguasaan iptek dengan pengalaman perilaku imtaq
ini akan bisa menimbulkan adanya kesombongan. Bagaimanapun tingginya iptek itu harus
diimbangi dengan imteq agar iptek itu dapat berguna meningkatkan harkat martabat hidup umat
manusia. Seperti yang dikatakan oleh Albert Einstein yaitu ilmu tanpa agama buta dan agama
tanpa ilmu lumpuh.

Menurut agama Hindu saat berada dalam Brahmacari asrama, para siswa dilarang
mengumbar hawa nafsu sex. Melainkan semua kekuatan jasmani dan rohaninya sebagian besar
hendaknya diarahkan untuk pembentukan kecerdasan otak yang disebut dengan oyas sakti,
hendaknya menuntut ilmu pengetahuan setinggi mungkin, agar dapat membentuk perilaku dan
sikap moral serta mengembangkan jiwa budhi luhur.

Ilmu pengetahuan itu ada dua macam : para widya (pengetahuan Ketuhanan) dan apara
widya (ilmu tentang keduniawian). Menurut kitab Atharwa Wda XI.5, disebutkan untuk dapat
menjadi seorang siswa terlebih dahulu harus diawali dengan upacara upanayana dan diakhiri
dengan upacara samawartana. Upacara upanayana berfungsi untuk menyucikan calon brahmacari
untuk dapat menjadi siswa yang sah. Sedangkan upacara samawartana adalah upacara wisuda
yang menyatakan siswa tersebut telah resmi menamatkan pelajarannya.
            Pembagian Brahmacari asrama yaitu :
a.       Sukla brahmacari
“Sukla brahmacari ngaranya tanpa rabi sangkan rere, tan maju tan kuring sira, adyapi teku
ring wreddha tewi tan pangincep arabi sangkan apisan”. (silakrama hal.32)

Artinya :

Sukla brahmacari namanya orang yang tidak kawin dari sejak lahir sampai ia meninggal. Hal ini
bukan disebabkan karena impoten atau lemah sahwat. Dia sama sekali tidak pernah kawin
sampai umur lanjut.

Orang yang melaksanakan Sukla Brahmacari dengan sungguh-sungguh maka dalam


ingatannya tidak ada terlintas nafsu seks dan beristri. Kesadaran melaksanakan Sukla Brahmacari
ini memang tumbuh dari getaran bathin dan hatinya yang suci murnih.

Dalam wira cerita Ramayana, Taruna Laksamana ditampilkan sebagai sosok yang
menjalankan Sukla Brahmacari. Betapapun wanita menggoda, termasuk Raksasa Surpanaka, ia
tetap teguh imam melaksanakan sukla brahmacari itu yakni tidak kawin sampai akhir hayat
dikandung badan. Sehingga akhirnya Surpanaka jengkel dan marah dan mengadu kepada
Rahwana.

Rahwana marah, karena aduan dari Surpanaka, mengatakan dirinya dianiaya dan disiksa
oleh Laksmaa. Sehingga Rahwana mengirim patih Marica untuk menggoda Dewi Sita. Patih
Marica berubah menjadi Kijang Mas, sehingga Dewi Sita tertarik terhadap kijang itu, dan
menyuruh Rama untuk menangkapnya. Rama berpisah pergi mengejar kijang itu. Saat Rama
berpisah dengan Sita, dipergunakan sebagai kesempatan oleh Rahwana untuk melarikan Dewi Sit
dibawa ke Alengka.

b.      Sewala brahmacari
“Sewala brahmacari ngaranya, marabi pisan, tan parabi, muwah yan kahalangan mati strinya,
tanpa rabi, mwah sira, adnyapi teka ri patinya, tan pangucap arabya. Mangkana sang
brahmacari yan sira sewala brahmacari”. (silakrama hal. 32)

Artinya :

Sewala brahmacari namanya bagi orang yang hanya kawin satu kali, tidak kawin lagi. Bila
mendapatkan halangan salah satu meninggal, maka ia tidak kawin lagi sampai datang ajalnya.
Demikianlah namanya sewala brahmacari.

c.       Krsna (Trsna) brahmacari

Seseorang diijinkan kawin lebih dari satu kali dalam batas maksimal 4 kali. Itupun
dengan ketentuan bahwa seorang brahmacari boleh mengambil istri yang kedua bilamana istri
yang pertama tidak dapat melahirkan keturunan. Tidak dapat berperan sebagai seorang istri
mungkin sakit-sakitan, dan bila istri pertama mengijinkan untuk kawin kedua kalinya.
Walaupun dalam Trsna brahmacari disebutkan boleh kawin lebih dari satu kali, namun
ada aturan yang harus ditaati agar ketenteraman rumah tangga tetap dapat terbina. Aturan atau
syara-syarat yang harus ditaati bagi yang mau menjalankan kehidupan Trsna Brahmacari adalah :
1.      Mendapatkan persetujuan dari istri
2.      Suami harus bersifat adil terhadap istri-istrinya secara lahir dan bathin
3.      Suami sebagai seorang ayah harus dapat berlaku adil terhadap anak-anak yang dilahirkan.

Pada masa Brahmacari tujuan utama manusia adalah tercapainya dharma dan artha.
Seseorang belajar untuk memahami dharma dan dapat mencari nafkah di masa depan. Dharma
merupakan dasar dan bekal mengarungi kehidupan berikutnya.

Kitab Manawa Dharmasastra, IV.7


“Sarvan parityajed arthan svadhyayasya virodinaa, yatha tatha dhyapayamstu sa hyasya krta
krtyata”

Artinya :

“Hendaknya ia menghindari semua jalan mencapai kekayaan yang dapat mengganggu pelajaran
Vedanya, bagaimana pun juga hendaknya ia mengukuhkan diri dalam mempelajari veda
berdasarkan kebhaktian akan sampai pada saat segala-galanya menjadi kenyataan”.

Dharma sebagai dasar utama mempunyai pengertian yang sangat luas. Dharma dapat
diartikan sebagai mematuhi semua ajaran-ajaran agama yang terlihat dari pikiran, perkataan dan
perbuatan sehari-hari.

Kewajiban dalam Brahmacari

Sebagai seorang siswa yang sedang menuntut ilmu pengetahuan ia harus taat terhadap
petunjuk dan nasihat yang diajarkan oleh guru yang mengajarnya. Dalam ajaran agama Hindu
dikenal empat guru yang disebut Catur Guru yaitu :

1.      Guru Swadhyaya yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Adapun kewajiban sebagai seorang siswa terhadap Guru Swadhyaya tersebut, harus taat
terhadap segala petunjuk dan ajaran-Nya. Sebagai umat yang percaya tentang kemahakuasaan
Tuhan, yang merupakan sumber dari segala yang ada di dunia ini, maka taat kepada Guru
Swadhyaya dapat diwujudkan dengan cara sujud bhakti memujanya.

Berguru ke hadapan Tuhan dapat dilakukan dengan cara mentaati ajaran suci yang telah
diwahyukan melalui para maharsi. Setiap hari kita harus mendekatkan diri pada Beliau sebagai
Guru dari semua guru. Dalam hubungan ini kita manusia adalah murid dari Sang Hyang Widhi
(Tuhan), yang sering disebut dengan “Brahmacarin”. Brahman artinya Tuhan. Carin artinya
berguru. Jadi berguru kepada Tuhan

Amal baik atau perbuatan dosa yang dilakukan selama berguru kepada Hyang Widhi
hasilnya berupa subha dan asubha karma. Subha asubha karma ini dapat diterima hasilnya berupa
:
a.       Sancita karmaphala
Hasil perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam kehidupan terdahulu yang belum
habis dinikmatinya sehingga hasil perbuatannya itu akan menjadi benih yang sangat menentukan
pada kehidupan yang sekarang.

b.      Prarabda karmaphala
Karma yang dilakukan oleh seseorang pada kehidupan sekarang ini, phalanya dinikmati
pula dalam kehidupan ini sehingga tiada sisanya lagi untuk dinikmati pada kehidupan yang akan
datang.

c.       Kriyamana karmaphala
Hasil perbuatan seseorang yang belum sempat dinikmati pada waktu hidupnya dan akan
dinikmati pada masa penjelmaan yang akan datang.

2.      Guru rupaka yaitu orang tua (ibu dan bapak) yang melahirkan dan membesarkan kita.

Guru Rupaka ialah orangtua (Ibu dan Bapak) yang mengadakan atau
yang ngerupaka kita. Sebagai seorang anak harus menyadari bahwa jasa orangtua (Ibu dan
Bapak) adalah sangat berat, dan tak ternilai berapa besar jasanya lebih-lebih sang ibu yang
mengandung dan melahirkan kita, dengan bertaruhan nyawa.

Demikian tinggi rasa cinta kasihnya ibu kepada kita, sehingga ia rela berkorban untuk
menjadi badan perantara untuk memperbanyak umat manusia di mayapada ini.

Dalam Manu Smrti II,227 disebutkan :


“Yam mata pitaram klesam sehete sambawe nmam natasya niskrtih sakya kartum warsaca tai
rapi”
Artinya :
Penderitaan yang dialami oleh orang tua pada waktu melahirkan anaknya, tidak dapat dibayar
walaupun dalam waktu seratus tahun.

Dalam Sarasamuscaya, 240 disebutkan :


Mata gurutara bhumeh khat
Tathoccatarah pita
Manah cighrataram wayoccina
Bahutara trnat

Apan lwih temen bwatning ibu, Sangkeng bwatning lemah, katsangana, tar bari-barin
kalinganya, aruhur temen sang bapa sangke langit, adrs temen ang manah sangkeng bayu, akwh
temen angenangen sangkeng dukut.

Artinya :
Sebab sesungguhnya ibu dikatakan lebih berat dari ibu perthivi (tanah), karenanya patut
menghormati ia dengan sungguh-sungguh, demikian pula lebih tinggilah sesungguhnya
penghormatan kepada bapak daripada tingginya langit, lebih deras jalannya pikiran dibandingkan
dengan jalannya angin, lebih banyak sesungguhnya angan-angan itu dibandingkan dengan
banyaknya rumput.

Maka seorang anak berusaha melakukan swadharmanya dengan rela hati melayani segala
keperluan orangtuanya. Seorang anak berkewajiban memberikan atau mengorbankan harta
benda, tenaga dan pikirannya untuk kebahagiaan orangtuanya. Malahan lebih dari itu seorang
anak ikhlas mengorbankan jiwa dan raganya demi untuk berbhakti pada orang tuanya. Di
samping itu masih ada suatu kewajiban seorang anak kepada leluhurnya yaitu upacara pitra
yadnya.

Walaupun upacara pitra yadnya telah dapat dilakukan sebagai tanda pembayaran hutang
kepada orang tuanya, tapi bukanlah berarti sudah lunas segala kewajiban kita sebagai seorang
anak. Namun yang paling penting pembayaran hutang pada orang tua adalah pada waktu orang
tua masih hidup, yaitu dengan jalan membuat bahagia hati orang tuanya.

                       
                        Dalam Sarasamuscaya 241 menyebutkan :

                        Pita mata ca rajendra


                               Tusyato yasya dehinah
                               Iha pretya ca tasyatha
                               Kirtirbhawati cacwati
                              
“Ikang bhakti makawwitan, paritusta sang rawwitnya denya phalanya mangke dlaha, langgeng
paleman ika ring hayu.
Artinya :

Orang yang setia dan hormat kepada orang tua, sehingga membuat orang tua menjadi senang dan
bahagia, maka anak yang demikian akan memperoleh kemasyuran dan keselamatan pada
kehidupannya sekarang dan kelak di kemudian hari.

Dari sloka tersebut, maka pahala yang diperoleh orang yang hormat pada orang tua ialah:
-          Kerti yaitu  kemasyuran yang baik
-          Yusa yaitu panjang
-          Bala yaitu kekuatan
-          Yasa yaitu jasa atau penghargaan.

Tiga hutang yang dimiliki oleh seorang anak terhadap orang tuanya yang patut dibayar untuk
memenuhi dharma bhaktinya terhadap orang tua sebagai guru rupaka yaitu :
a)      Sarira krta yaitu hutang badan (sarira data)
b)      Annadatta yaitu hutang budhi karena orang tualah yang memberikan makan, minum, pakaian,
pendidikan dan lain sebagainya
c)      Pranadatta yaitu hutang jiwa dalam arti pemeliharaan atau kelanjutan hidup.

3.      Guru Pengajian, yaitu guru yang mendidik dan mengajar di sekolah


Tugas guru pengajian cukup berat tetapi mulia. Guru pengajian berfungsi untuk
melanjutkan pendidikan dari Guru Rupaka, yang bertitik tolak dari segi kerohanian dan juga ilmu
pengetahuan lainnya.

Guru pengajian bertugas untuk mengembangkan intelek dan pengetahuan siswa, demi
tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-citakan Negara RI yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945, yaitu membentuk manusia susila yang cakap, cerdas, dan terampil, berbudi pekerti
yang luhur, dan bertanggung jawab terhadap kesejateraan keluarga, masyarakat, nusa dan
Bangsa.

Tugas yang lebih berat lagi yaitu tugas dari seorang guru agama yang mengajarkan
pengetahuan agama, membentuk moral serta budi pekerti yang luhur, serta berbhakti kepada
Tuhan Yang Maha Esa.

Tugas Guru Pengajian ialah mendidik dan mengajarkan ilmu pengetahuan dengan penuh
cinta kasih agar anak didiknya menjadi manusia susila lahir bathin (wahyadyatmika). Hubungan
antara murid dengan guru benar-benar dapat mewujudkan keharmonisan, sebagai halnya antara
seorang ayah dengan anaknya. Seorang murid tidak boleh menjelek-jelekkan atau menghina
guru.

Dalam kitab Nitisastra II,13 disebutkan :

                        Haywa maninda ring dwija daridra dumaa atemu


                               Sastra teninda denira kapataka tinemu magong
                               Yan kita ninda ring guru patinta maparek atemu
                               Lwirnika wangsa-patra tunibeng watu remek apasah

                               Artinya :

Janganlah sekali-kali mencela guru, perbuatan itu akan dapat mendatangkan kecelakaan bagimu.
Jika kamu mencela buku-buku suci, maka kamu akan mendapatkan siksaan dan neraka, jikalau
kamu mencela guru maka kamu akan menemui ajalmu, ibarat piring yang jatuh hancur di batu.

Dalam kitab Sarasamuscaya, 238  juga menyebutkan:


Samyan mithyaprawrtte wa
Wartitawyam gurawiha
Guruninda nihantyayurmanusyanam
Na samsayah

Lawan waneh, hay wa juga ngwang mangupat ring guru, yadyapin salah kene polahnira,
kayatnakena juga gurupacarana, kasiddhaning kasewaning kadi sira, bwat amuharapayusat
amangun kapapan, kanin-daning kadi sira.

Artinya :
Sebagai seorang siswa (murid), tidak boleh mengumpat guru, walaupun perbuatan beliau keliru,
adapun yang harus diusahakan dengan baik ialah perilaku yang layak kepada guru agar berhasil
dalam menimba ilmu. Bagi yang suka menghina guru, akan menyebabkan dosa dan umur pendek
baginya.

                        Umur untuk belajar (Brahmacari)

Kitab Dharmasastra oleh Rsi Yajnawalkya menyatakan bahwa umur untuk mulai belajar
adalah umur semasih kanak-kanak yakni umur lima tahun dan selambat-lambatnya umur delapan
tahun. Pada umur delapan tahun seorang anak harus sudah menikmati masa belajar melalui
proses belajar mengajar.

Sedangkan kitab Grihya Sutra menyatakan bahwa masa belajar berlangsung jangan
sampai melampaui batas umur 24 tahun. Ini berarti setelah umur 24 tahun seseorang sudah
semestinya mempersiapkan diri untuk memasuki masa hidup Grhasta.

Dalam kekawin Nitisastra, V. 1 disebutkan “

“Taki-taki ning sewaka guna widya, smarawisaya rwang puluh ing ayusya, tengahi tuwuh san
wacana gogonta, patilaring atmeng tanu panguroken”.

Artinya :
“Seorang pelajar wajib menuntut ilmu pengetahuan dan keutamaan, jika sudah berumur 20 tahun
orang boleh kawin. Jika setengah tua, berpeganglah pada ucapan yang baik hanya tentang
lepasnya nyawa kita mesti berguru”.

Dari sloka tersebut, dapat ditegaskan bahwa jenjang pertama adalah Brahmacari saat
umur muda kemudian Grhasta, setelah cukup dewasa, selanjutnya Wanaprastha setelah umur
setengah lanjut dan terakhir bhiksuka setelah umur lanjut.

                        Tata tertib pada masa belajar


                       
Secara umum tata tertib itu antara lain :
a.       Siswa wajib taat dan bhakti pada catur guru (guru susrusa)
b.      Siswa harus hidup sederhana
c.       Berpakaian bersih, rapi, sopan dan sederhana
d.      Makan sederhana (aharalaghawa)
e.       Siswa harus bisa dan biasa hidup jujur
f.       Tidur secukupnya dan sepatutnya
g.      Tidak menghibur diri berlebih-lebihan (liar)
h.      Tidak kawin selama masa belajar

Belajar berbagai hal dalam hidup ini baik lisan maupun tertulis hanya secara teori tentu
belum dapat menolong manusia itu sendiri. Oleh karena berbagai ilmu itu patut dicoba dan
dipraktekkan dalam hidup ini, demi kebahagiaan umat manusia. Untuk itu perlu dipraktekkan
dan dilatih secara teratur.

Latihan dalam menghadapi kenyataan hidup tidak selalu dengan perencanaan seperti
halnya bermain catur. Banyak peristiwa yang dialami seseorang, di luar dugaan dengan dan
tanpa persiapan mental untuk menerimanya. Demikianlah setiap persoalan hidup sekaligus
merupakan latihan lahir bathin bagi seseorang.

Hidup dengan aneka problemnya merupakan latihan yang sekaligus ujian dalam usaha
mencapai kebebasan tertinggi. Untuk itu setiap orang dituntut harus sadar bahwa hidup ini adalah
perjuangan dan medan untuk latihan, sehingga di dunia inilah manusia harus giat melatih diri.
Dunia dengan segala isinya yang bersifat maya menjadikan hidup manusia penuh persoalan.
Setiap persoalan hidup harus dihadapi dan diselesaikan. Jangan menghindari kegiatan hidup dan
jangan pula lari dari kenyataan dunia ini.

Di dalam Bhagawadgita III. 4 disebutkan :

Na karmanam anarambhan
Naiskarmyam puruso “snute
Na ca sannyasanad eva
Siddhim samadhigacchati

Artinya :

Tanpa kerja orang tidak akan mencapai kebebasan pun juga tidak akan mencapai kesempurnaan
karena menghindari kegiatan kerja.

Dengan demikian kegiatan kerja sebagai suatu latihan dan kewajiban hidup harus
dikerjakan demi tercapainya kebebasan. Oleh karena itu dalam hidup ini ternyata bukan
pelajaran di sekolah saja mesti dipelajari dan dilatih. Ilmu yang didapat di sekolah hanyalah
sebagian dari teori dan kunci yang harus dikuasai untuk menghadapi persoalan hidup.

Ilmu bukanlah bekal hidup kelak dihari tua, tetapi adalah alat untuk menghadapi hidup
sekarang. Tentu dalam pergaulan itu patut disesuaikan dengan desa-kala-patra sehingga tidak
menganggu ketertiban hidup bersama.

Demikianlah dalam hidup ini orang wajib berbuat dan melatih diri dengan teratur. Sukar
akan merasakan kenyamanan dalam hidup sehari-hari bila orang tidak hidup teratur. Tidak setiap
orang dapat sembahyang dan berdoa setiap hari sesuai petunjuk agama. Hal ini terjadi bukan
karena tidak ada waktu, bukan juga karena tidak tahu, namun hanya karena hidup tidak teratur
dan tidak berusaha untuk melatih diri.

Belajar melalui kitab suci harus dilakukan sebanyak-banyaknya agar sirnalah kebodohan.
Sirnanya kebodohan adalah langkah awal untuk mengatasi kemarahan, kelobaan yang berarti
menurunnya frekuensi kesengsaraan hidup. Berjuanglah mengejar kebenaran untuk melenyapkan
kebodohan dengan belajar rajin, teratur, dan terus menerus.

4.      Guru Wisesa yaitu pemerintah

Sebagai seorang siswa, dan sekaligus juga merupakan bagian dari anggota masyarakat
maka kita harus menghormati dan menjunjung tinggi martabat bangsa, Negara dan
pemerintahannya. Sebaliknya pemerintah selalu memikirkan dan mengusahakan kesentosaan dan
kemakmuran rakyat.

Di samping itu harus dapat memberikan perlindungan kepada rakyat dari berbagai
problem seperti kesusahan, kesewenanga (monarkhi), menjalankan hukum dan keadiln tanpa
pandang bulu. Menyelenggarakan pendidikan bagi warganya demi kemajuan dan kecerdasan
bangsa.

Tidak hanya rakyat yang cinta, tetapi Tuhan sebagai pelindung Dharma akan merahmati
umat-Nya yang berbudi mulia. Oleh karena itu ajaran agama Hindu kita diharapkan dalam
melaksanakan tugas, berpegang pada motto dan pedoman sepi ing pamrih rame ing gawe, demi
kepentingan masyarakat dan umat manusia.

2)      Grehastha asrama

Adalah jenjang kedua dari catur asrama. Kata grahasta berasal dari dua kata yaitu kaya
Grha artinya rumah, stha artinya berdiri. Jadi grahasta artinya berdiri membentuk rumah tangga.
Dalam berumah tangga ini harus mampu seiring dan sejalan untuk membina hubungan atas darar
saling cinta mencintai dan ketulusan. Masa grehastha asrama hendaknya dibangun mulai dari
brahmacari asrama. Tatanan hidup brahmacari dituruti, dan tujuan hidup brahmacari telah diraih
barulah dengan optimis mengabdikan ilmu itu di masyarakat. Dengan pengabdian itu, kita
mencapai bekal hidup. Dengan bekal hidup inilah kita optimis membangun rumah tangga. Maka
dari itu brahmacari asrama adalah dasar hidup dari grehastha asrama.

Setelah memasuki tingkat hidup Grhastha, bukan berarti masa belajar atau menuntut ilmu
itu berakhir sampai disitu saja. Belajar tidak mengenal batas usia. Belajar berlangsung selama
hayat dikandung badan. Maka orang mengatakan masa muda adalah masa belajar. Hal ini
mengandung arti bahwa tidak ada istilah tua dalam hal belajar. Karena ilmu pengetahuan itu
sifatnya berkembang terus. Ilmu yang didapatkan dalam jenjang Brahmacari itu lebih diperdalam
serta ditingkatkan lagi setelah menginjak hidup berumah tangga (Grhastha).

Dalam Agastya Parwa dijelaskan

“ Grhastha ngarania Sang yatha sakti kayika Dharma”.

                        Artinya
“  Grhastha namanya beliau yang dengan kemampuan sendiri mengamalkan Dharmanya”.

Ciri seorang Grhastha adalah memiliki kemauan untuk mandiri untuk mewujudkan
swadharmanya. Dalam Catur Asrama ini kedudukan Grhastha Asrama inilah kedudukan yang paling
sentral. Suksesnya seorang Brahmacari dan Vanaprastha amat tergantung dari kemampuan Grhastha
Asrama melakukan kewajibannya untuk membiayai pemeliharaan dan biaya pendidikan Brahmacari
Asrama.

Grhasta asmara atau pernikahan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan
kesempatan kepada leluhur atau jiwa-jiwa yang lain untuk menjelma kembali dalam rangka
memperbaiki karmanya. Dalam kitab suci Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan "Ri sakwehning sarwa
bhuta, iking janma wang juga wenang gumaweakenikang subha asubha karma, kunang
panentasakena ring subha karma juga ikang asubha karma pahalaning dadi wang" artinya: dari
demikian banyaknya semua mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat
berbuat baik atau buruk. Adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu
adalah manfaat jadi manusia. Dan merupakan bagian dari usaha penyucian diri lewat sebuah ikatan
lahir bathin antara seorang laki-laki dam seorang wanita lewat sebuah jalur kesetiaan untuk sehidup
semati.

Adapun kewajiban-kewajiban orang yang sudah berumah tangga yaitu :


                              1.      Melanjutkan keturunan

                              2.      Membina rumah tangga

                              3.      Bermasyarakat

                              4.      Melakukan panca yadnya

Kewajiban Suami

Menurut kitab suci Hindu (Weda Smrti) seorang suami berkewajiban :

a.       Melindungi  istri dan anak-anaknya. Ia harus mengawinkan anaknya kalau sudah waktunya.
b.      Menugaskan istrinya untuk mengurus rumah tangga. Dan urusan agama dalam rumah tangga
ditanggung bersama.
c.       Menjamin hidup dengan memberi nafkah kepada istrinya bila akan pergi keluar daerah.
d.      Memelihara hubungan kesucian dengan istri, saling percaya mempercayai, memupuk rasa cinta
dan kasih sayang serta jujur lahir bathin. Suka dan duka dalam rumah tangga ditanggung
bersama sehingga terjaminnya kerukunan dan keharmonisan.
e.       Menggauli istrinya dan mengusahakan agar tidak terjadi penceraian dan masing-masing tidak
melanggar kesucian.
f.       Tidak merendahkan martabat istri. Janganlah terlalu cemburuan, yang menyebabkan timbulnya
percekcokan dan perceraian dalam keluarga.

Kewajiban istri
a.       Sebagai seorang istri dan sebagai seorang wanita hendaknya selalu berusaha tidak bertindak
sendiri-sendiri. Setiap rencana yang akan dibuat harus dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan
suami.
b.      Istri harus pandai membawa diri dan pandai pula mengatur dan memelihara rumah tangga,
supaya baik dan ekonomis.
c.       Istri harus setia pada suami dan pandai meladeni suami dengan hati yang tulus ikhlas serta
menyenangkan.
d.      Istri harus dapat mengendalikan pikiran, perkataan, dan tingkah laku dengan selalu berpedoman
pada susila. Ia harus dapat menjaga kehormatan dan martabat suaminya.
e.       istri harus dapat memelihara rumah tangga, pandai menerima tamu, dan meladeni dengan
sebaik-baiknya.
f.       Istri harus setia dan jujur pada suami, dan tidak berhati dua.
g.      Hemat cermat dalam menggunakan harta kekayaan, tidak berfoya-foya dan boros.
h.      Tahu dengan tugas wanita, rajin bekerja, merawat anak dan meladeni kepentingan semua
keluarga. Berhias diwaktu perlu.

Antara suami dan istri harus selalu ada saling pengertian untuk mewujudkan keluarga
sejahtera. Sebagai seorang suami dan istri haruslah tetap ingat melaksanakan kewajiban dengan
penuh kesadaran sebagai anggota atau kepala rumah tangga sehingga dapat terciptana
keharmonisan dalam keluarga.

Oleh karena itu hendaknya selalu memupuk pribadi yang baik. Selain itu rasa kasih dan
sifat lemah lembut bersaudara harus kita tumbuh kembangkan. Adapun hubungan antara suami
dan istri harus dapat menjalin kerukunan dalam kesatuan pikiran, ucapan, perbuatan serta sesuai
dengan norma-norma agama. Hidup suami istri bukanlah merupakan suatu persaingan dalam
menuntut persamaan hak dan bukan merupakan suatu perlombaan dalam melaksanakan tugas
dan kewajiban itu, melainkan merupakan suatu keharmonisan dan kesatuan hidup lahir dan
bathin. Hal ini disimbolakn sebagai Ardanaraswari yaitu persatuan antara laki dan perempuan
dalam satu badan.

3)                  Wanaprastha asrama

Wanaprasta terdiri dari dua kata yaitu ” wana ” yang artinya pohon, kayu, hutan, semak
belukar dan ” prasta ” yang artinya berjalan, berdoa. Jadi wanaprasta artinya hidup
menghasingkan diri ke dalam hutan. Mulai mengurangi hawa nafsu bahkan melepaskan diri dari
ikatan duniawi.

Kalau dalam grehastha asrama seseorang giat bekerja, mengabdi untuk mendapatkan
bekal hidup baik yang bersifat rohani dan lebih-lebih lagi yang bersifat artha. Namun dalm
tingkatan wanaprastha asrama perlahan-lahan seseorang itu mulai mengasingkan diri dari
kesibukan duniawi. Dengan demikian juga yang berhubungan dengan kepuasan yang bersifat
lahiriah sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan. Pusat perhatian pada jenjang ini mengarah pada
kenikmatan rohani, memperdalam ajaran kerohanian dan kegiatan spiritual lebih diperbanyak.

Tetapi dizaman modern seperti sekarang ini, sulit dilakukan mengingat hutan susah untuk
ditemukan. Hutan – hutan berubah menjadi rumah, ruko dan juga gedung – gedung bertingkat.
Lalu bagaimana kita menjalani kehidupan wanaprasta. Kehidupan wanaprasta dimaksudkan,
secara perlahan – lahan melepaskan keterikatan duniawi dan mendekatkan diri dengan Tuhan,
meningkatkan spiritualitas untuk mengetahui hakekat Tuhan yang sesungguhnya. Jadi tidak
harus pergi ke hutan dan mengasingkan diri.

Manfaat menjalani jenjang wanaprasta dalam kehidupan ini antara lain :


1.      Untuk mencapai ketenangan rohani.
2.      Manfaatkan sisa-sisa kehidupan di dunia untuk mengabdi dan berbuat amal kebajikan kepada
masyarakat umum.
3.      Melepaskan segala keterikatan duniawi
Masa mulai menempuh hidup Wanaprastha
Menurut kitab Nitisastra masa wanaprasta kurang lebih 50 – 60 tahun.
Masa yang baik untuk mulai menempuh hidup sebagai seorang Wanaprastha adalah setelah
berusia kurang lebih 60 tahun ke atas. Karena pada usia seperti itu, anak-anaknya sudah dapat hidup
mandiri. Bagi seorang pegawai negeri ia sudah pension sehingga ia sudah lepas dan bebas dari tugas
dinasnya.
Vanaprastha tidaklah diartikan sebagai meninggalkan rumah lalu pergi menyepi kehutan
untuk bertapa, tetapi vanaprastha dimaknai sebagai hidup yang hening dan suci, sedikit demi sedikit
melepaskan diri dari ikatan keduniawian, dan menguatkan pengendalian diri berdasarkan ajaran
Agama Hindu. Ajaran agama yang diperoleh pada masa brahmacari kini dilaksanakan pada
kehidupan sehari-hari secara lebih mantap, dimana lebih dipusatkan pada bidang spiritual. 
Orang yang melaksanakan vanaprastha disebut vanaprasthin, hendaknya selalu menjaga
kesucian dan kesehatan jasmani/rohani, banyak melakukan pekerjaan mulia, bijaksana, bersahabat,
berbicara manis dan menyenangkan, melakukan sadhana, melaksanakan latihan-latihan kerohanian
(yoga), melakukan berbagai "vrata" atau pengekangan diri, suka belajar dan bergaul pada orang-
orang suci (Sulinggih), sering me-dharma yatra dan lain-lain. 
Wanaprastha adalah batu loncatan untuk mencapai sebuah jenjang Sanyasin karena lewat
Wanaprasta jiwa secara perlahan terlatih tidak lagi bergantung kepada hal-hal yang bersifat
kenikmatan indria dengan demikian pikiran tidak lagi focus ke indria apapun bentuknya melainkan
hanya pada Tuhan.
“ Tat-buddhayas tad-atmanas
tan-nisthas tat-parayanah
gacchanty apunar-avrtti
jnana-nirdhuta-kalmasah”.

                        ( Bhagavadgita V-17)

Artinya:

“Mereka yang memikirkan-Nya, menyerahkan seluruh jiwa kepada-Nya, menjadikan-Nya tujuan


utama, memuja hanya pada-Nya, akan pcrgi tidak kcmbali, dan dosa mereka dihapus oleh
pengetahuan itu”.
           
Dari sloka ini dijelaskan bahwa pikiran adalah faktor terpenting dalam keberhasilan seorang
dalam melaknakan Sanyasin asrama, untuk itu pikiran harus dilatih secara perlahan-lahan pada masa
wanaprasta hingga nanti saat memasuki jenjang sannyasi asrama pikiran benar-benar telah mantap
pada Tuhan. Hingga tidak ada lagi goncangan-goncangan mental saat menjalani masa Sannyasin.

Adapun ciri-ciri orang yang telah dapat masuki tahap wanapratha ini adalah: usia yang sudah
lanjut, mempunyai banyak pengalaman hidup, mampu mengatasi gelombang pahit getirnya
kehidupan, serta mempunyai kebijaksanan yang dilandasi oleh ajaran agama dan ilmu pengetahuan.
Telah memiliki keturunan atau generasi lanjutan yang sudah mapan dan mampu hidup mandiri.serta
tidak bergantung lagi pada orang tua baik dibidang ekonomi maupun yang lainnya.

Artha dan kama hendaknya kita mulai mengurangi, berkosentrasi dalam spiritual, mencari
ketenangan bathin dan lebih mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi. Tujuan hidup pada
masa ini adalah persiapan mental dan fisik untuk dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga Tujuan
hidup ini diprioritaskan kepada kama dan moksa.

4)      Bhiksuka asrama

Adalah jenjang terakhir dari catur asrama, yang sering disebut sanyasin. Kata biksuka
berasal dari kata biksu yang merupakan sebutan pendeta Buda. Biksu artinya meminta-minta.
Masa biksuka ialah tingkat kehidupan yang dilepaskan terutama ikatan duniawi, hanya
mengabdikan diri kepada Tuhan ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa ).

Dalam pengertian sebagai peminta-minta dimaksudkan ia tidak boleh mempunyai apa-


apa dalam pengabdiannya pada Hyang Widhi dan untuk makannya pun ditanggung oleh murid-
murid pengikutnya ataupun umatnya sendiri. Dalam pengertian sanyasin dimaksudkan
meninggalkan keduniawian dan hanya mengabdi kepada Hyang Widhi dengan memperluas
ajaran-ajaran kesucian.
Jenjang bhiksuka ini melepaskan segala kegiatan dan ikatan duniawian secara tuntas
sudah menjadi kewajibannya. Tidaklah berlebihan bila seolah-olah jenjang hidup bhiksuka itu
sebagai persiapan lepas landas dari program hidup menuju akhirat.

Ciri-ciri seorang biksuka :


a.       Selalu melakukan tingkah laku yang baik dan bijaksana
b.      Selalu memancarkan sifat-sifat yang menyebabkan orang lain bahagia.
c.       Dia akan tetap menyebarkan angin kesejukan, angin kebenaran, tidak mudah diombang-ambing oleh
gelombang kehidupan duniawi
d.      Dapat menundukkan musuh-musuh nya seperti sadripu, sapta timira, sad atatayi dan tri mala

Sad Ripu

Adalah enam macam musuh yang ada dalam setiap diri manusia. Musuh-musuh ini perlu
dikendalikan dari  diri kita, sehingga dapat menerapkan kehidupan  Bhiksuka dengan baik.
Pembagiannya yaitu :
         Kama  =    nafsu
Hal ini ada pada setiap orang dengan menjadi musuh dari setiap orang, selama belum dapat
dikuasainya. Kalau nafsu ini dapat dikuasai dan ditundukkan, ia akan menjadi teman akrab.

Dengan kewaspadaan yang tinggi serta dengan usaha yang keras dan akhirnya kama dapat
dikendalikan.
         Lobha  =    tamak / rakus

Menyebabkan orang tidak pernah merasa puas akan sesuatu. Orang yang lobha akan selalu
ingin memiliki sesuatu yang lebih daripada apa yang telah dimiliki. Dengan demikian ia akan
berpikir dan bekerja keras. Akibatnya orang yang demikian itu akan gusar, gelisah resa, karena
didorong oleh kelobhaan. Dia tidak akan pernah merasa tenteram dan tenang, sedangkan ketenangan
menjadi idaman bagi setiap orang.

         Kroda  =    marah

Kemarahan timbul karena pengaruh perasaan yang jengkel, muak, bosan, tersinggung dan
sebagainya. Orang yang suka marah adalah tidak baik sebab kemarahan menyebabkan orang
menderita. Dan orang pada umumnya tidak suka dimarahi. Orang yang dimarahi juga bisa marah,
sehingga akan dapat menimbulkan suasana hubungan yang buruk. Karenanya hilangkan perasaan
marah itu dan kendalikanlah kemarahan itu.

         Moha  =  bingung

Karena bingung dapat menyebabkan pikiran menjadi gelap. Orang yang sedang bingung
tidak dapat berpikir dengan baik, sehingga tidak akan dapat melakukan kewajiban dengan baik.
Bingung banyak penyebabnya, antara lain :
-          Karena ditimpa kesusahan yang hebat.
-          Karena kehilangan sesuatu yang dicintai.
-          Karena situasi yang menekan perasaannya.
-          Karena tidak dapat mengatasi problem yang menimpa dirinya.

Dengan demikian, dapatlah diteliti segala macam persoalan itu dengan cara seksama, serta
dapat mencari jalan pemecahannya dengan baik. Menempuh jalan dengan cara demikian berarti kita
telah siap untuk menerima segala kemungkinan dan kenyataan yang akan terjadi. Oleh karena itu kita
harus berusaha menghilangkan kebingungan itu.

         Mada  =  mabuk/minuman keras

Bila minuman ini diminum melewati batas akan menimbulkan kemabukan, bahkan sering
menimbulkan akibat yang jelek seperti merusak tubuh, melumpukan pencernaan, merusak urat-urat
syaraf dan lain sebagainya.

Kemabukan ini dapat menghilangkan kesadaran, sehingga menimbulkan perilaku yang


merugikan diri sendiri dan orang lain. Maka dari itu kemabukan ini harus dicegah karena ia
merupakan musuh yang harus dijauhi.

         Matsyarya  =  iri hati

Perasaan iri hati merupakan perongrongan diri manusia. Karena orang yang diliputi oleh rasa
iri ini, tidak senang melihat orang lebih bahagia dan beruntung dari padanya. Orang yang demikian
selalu merasa dirinya malang, miskin, nasib sial dan bermacam-macam perasaan negatif yang
dirasakan.
            Sapta Timira
Artinya tujuh kegelapan yaitu tujuh hal yang menyebabkan pikiran orang menjadi gelap.
Kegelapan pikiran ini dapat menimbulkan tingkah laku yang jelek dan menyimpang dari ajaran
agama.

Pembagiannya yaitu :
1.      Surupa
Artinya kecantikan atau ketampanan. Kecantikan dan ketampanan ini dibawa sejak lahir,
merupakan anugerah Hyang Widhi. Bagi orang yang memiliki semua ini, boleh merasa beruntung,
namun janganlah takabur atas kecantikan dan ketampanan yang dimiliki itu. Karena semua sifatnya
maya dan tidak kekal, harus disertai dengan keluhuran budhi pekerti. Jika tidak, tidak aka nada
nilainya semua itu.

2.      Dhana
Artinya kekayaan. Kekayaan memang sangat berguna bagi siapapun, dan setiap orang
menginginkan hal itu. Oleh karenanya bagi orang yang memiliki kekayaan hendaknya dapat
menggunakan kekayaan itu dengan tepat sesuai dengan ajaran agama Hindu.

Tetapi sering kali kekayaan itu menimbulkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran
agama. Karena pengaruh kekayaan orang sering menjadi sombong, angkuh, menghina orang lain,
mengumbar hawa nafsu dan sering menjadikan lupa diri.

Dan sebenarnya kekayaan itu adalah anugerah Tuha, karenanya patutlah dipelihara dan
dipergunakan untuk kepentingan Dharma.

3.      Guna
Artinya kepandaian. Kepandaian dicari oleh setiap orang, dan semua orang ingin menjadi
pandai. Karena kepandaian dapat meringankan seseorang dalam menghadapi suka duka kehidupan di
dunia ini. Dan kepandaian juga dapat membahayakan orang, bila digunakan untuk kejahatan.

Oleh karena itu kepandaian harus diimbangi oleh ajaran agama. Ilmu tanpa agama adalah
lumph, agama tanpa ilmu adalah buta.

4.      Kulina
Artinya keturunan. Orang dipandang terhormat disegani, dapat dipercaya, karena dikenal
berasal dari keturunan-keturunan orang-orang berjasa, baik budi dan karyanya dapat dinikmati oleh
banyak orang.

Seringkali dari adanya keturunan ini, orang merasa bangga akan dirinya, karena ia merasa
keturunan orang-orang terhormat, maka dengan kebanggaan ini lalu ia menjadi orang yang berderajat
tinggi, sombong, dan angkuh, sehingga kemudian menghina orang lain. Kita hidup adalah saling
hormat menghormati, saling harga-menghargai. Menghargai orang lain berarti menghargai diri
sendiri.

5.      Yowana
Artinya masa muda. Masa muda atau masa remaja ini penuh dengan kegairahn hidup, masa
gemilang penuh dengan kreatif. Masa inilah sebenarnya merupakan kesempatan untuk berbuat
banyak dalam menimba berbagai ilmu untuk bekal di kemudian hari. Tetapi masa muda ini juga
penuh tantangan seperti tidak tetap pendirian, goyah, emosi dan belum ada keseimbangan pikiran,
sehingga belum tahu kemanakah arah hidupnya kelak.

Masa muda harus diisi dengan hal-hal yang baik. Masa inilah masa menuntut ilmu, bekerja
keras, menciptakan sesuatu yang berguna dan beraktivitas yang baik. Kalau masa muda ini
disalahgunakan, atau dimanfaatkan untuk merusak dan merugikan orang lain.

6.      Sura
Artinya minuman keras.

7.      Kasuran
Artinya keberanian. Setiap orang perlu memiliki keberanian. Tanpa keberanian orang akan
selalu merasa takut. Keberanian di sini dipergunakan untuk dapat mengatasi berbagai masalah dan
liku-liku kehidupan. Keberanian yang dilakukan tanpa didasari oleh Dharma maka keberanian itu
akan menjurus kepada perbuatan kejam dan sadis.

            Sad Atatayi
            Artinya enam macam pembunuhan kejam. Yaitu :

1.      Agnida
Artinya membakar milik orang lain. Orang yang karena perasaan iri dan dengki, sentimen
pribadi dan macam-macam perasaan lainnya, kemudian melakukan perbuatan terlarang lain
membakar milik orang. Karenanya kendalikanlah diri dari perbuatan terlarang itu.

2.      Wisada
Artinya meracun. Perbuatan meracun adalah suatu perbuatan jahat dan terkutuk. Orang yang
melakukan hal ini disebabkan karena perasaan dendam, benci, sehingga orang lain dianggap sebagai
musuhnya. Perbuatan yang demikian termasuk perbuatan kejam, tidak berperikemanusiaan
karenanya termasuk pembunuhan kejam. Itulah sebabnya perbuatn ini sangat terlarang.

3.      Atharwa
Artinya melakukan ilmu hitam atau black magic. Ini sering digunakan untuk membuat orang
lain menderita sakit, orang lain menjadi gila dan lain sebagainya. Perbuatan dengan melakukan ilmu
hitam ini sangat dilarang oleh ajaran agama. Oleh karena itu dianggap sebagai suatu pembunuhan
bila dilakukan.

4.      Sastraghna
Artinya mengamuk. Mengamuk adalh suatu perbuatan dari orang yang sedang bingung.
Perbuatan mengamuk bisa menimbulkan kepanikan, bahkan bisa menimbulkan pembunuhan.
Perbuatan mengamuk itu adalah perbuatan yang tidak terpuji.

5.      Dratikrama
Artinya memperkosa. Memperkosa adalah perbuatan yang dilakukan tanpa adanya
persetujuan kedua belah pihak. Perbuatan memperkosa adalah sama dengan perbuatan binatang,
karena binatang melakukan kehendaknya hanya berdasarkan nafsu jahatnya saja. Perbuatan semacam
itu tidak akan mungkin dapat membahagiakan, tapi sebaliknya menimbulkan kesengsaraan. Itulah
sebabnya ajaran agama melarang perbuatan dratikrama itu.
6.      Raja pisuna
Artinya memfitnah. Memfitnah adalah suatu perbuatan yang paling tidak baik. Memfitnah
lebih kejam dari pembunuhan. Perbuatan ini dilakukan untuk menghancurkan kehidupan orang lain.

            Tri mala
            Artinya tiga macam perbuatan kotor
a.       Kasmala yaitu perbuatan yang hina dan kotor
b.      Mada yaitu perkataan, pembicaraan yang dusta dan kotor
c.       Moha yaitu pikiran perasaan yang curang dan angkuh

Pelaksanaan jenjang perjenjang ini hendaknya dapat dipahami dan dipandang sebagai
kewajiban moral dalam hidup dan kehidupan ini. Dengan demikian betapapun beratnya
permasalahan yang dihadapi dari masing-masing fase kehidupan itu tidak akan pernah
dikeluhkan oleh pelakunya. Idialnya memang seperti itu, tidak ada sesuatu permasalah yang
patut kita keluhkan. Keluh-kesah yang kita simpan dan menguasai sang pribadi kita tidak akan
pernah membantu untuk mendapatkan jalan keluar dari permasalahan yang ada. Bila kita hanya
mampu mengeluh tentu akan menambah beban yang lebih berat lagi. Hindu sebagai agama yang
telah menggariskan kepada umatnya untuk tidak hanya biasa dan kaya dengan hanya mengeluh.

C.    

APLIKASI PENERAPAN CATUR ASRAMA PADA JAMAN MODERN


    

Pada saat ini, asrama tak dapat dihidupkan secara tepat sesuai dengan aturan rincian
kuno, karena kondisinya telah banyak sekali berubah, tetapi dapat dihidupkan kembali dalam
semangatnya, terhadap kemajuan yang besar dari kehidupan yang modern.Kedamaian dan aturan
akan berlaku dalam masyarakat , hanya apabila semua melaksanakan kewajiban masing –
masing secara efektif. Penghapusan warna dan asrama akan memotong akar dari kewajiban
social masyarakat.

Bagaimana bangsa dapat mengharapkan untuk hidup bila warnasrama dharma tidak
dilaksanakan secara tegar ? Murid – murid sekolah dan perguruan tinggi seharusnya menjalani
suatu kehidupan yang murni , sederhana serta focus pada mengejar ilmu pengetahuan stinggi-
tingginya.
 Kepala rumah tangga seharusnya menjalani kehidupan sebuah grhasta yang ideal, ia seharusnya
melaksanakan pengendalian diri, welas asih, toleransi, tidak merugikan, berlaku jujur,dan
kewajaran dalam segala hal.

 Selain itu, dengan berbekal ilmu dan keterampilan yang memadai yang didapat pada
masa brahmacari, seseorang diharapkan mendapat profesi menjanjikan sesuai dengan
keahliannya atau bahkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Melalui media itu
umat dapat mencari artha dan kama yang didasarkan atas dharma.

 Sementara pada saat menapaki kehidupan wanaprasta, umat sesungguhnya dituntun


untuk mengasingkan diri dari hal-hal yang berbau keduniawian. Dulu, menapaki hidup
wanaprasta umat pergi ke hutan untuk menyepikan diri. Tetapi dalam konteks sekarang, ”hutan
belantara” itu berada di tengah-tengah kita. Agar umat mampu menghindari diri dari kobaran api
hawa nafsu, yang memang memerlukan pengendalian diri.

Pada tahapan bhiksuka atau sanyasin, umat sangat baik mendalami hal-hal yang bernuasa
spiritual untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, dan diharapkan umat sudah harus
mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu dan keinginan duniawi dan dapat menjauhkan diri
dari sifat dan musuh yang ada dalam diri seperti sad ripu, sapta timira, sad atatayi, tri mala serta
yang sejenisnya.

Jadi manusia hidup di dunia ini ada tahapan-tahapan yang hendak dicapai agar jenjang
kehidupan menjadi tertata, catur asrama ini juga berguna untuk menerapkan manusia agar
melaksanakan swadharma menurut umur jadi dari umur 0 – 20th tahun hendaknya digunakan
untuk belajar, umur 20th keatas baru kemudian menginjak ke jenjang menikah dengan mencari
pasangan hidup agar mendapatkan keturunan yakni untuk meneruskan generasi agar tidak putus.

Kemudian pada umur 50-60th setelah matang dalam belajar kemudian menikah tentu saja
banyak memiliki ilmu-ilmu atau pengalaman yang dapat diterapkan dalam masyarakat atau
mengabdi pada masyarakat. Kemudian jenjang yang terakhir adalah biksuka atau sanyasin dari
umur 60th keatas hendaknya sudah menyerahkan diri dengan Tuhan tidak terikat lagi dengan
nafsu-nafsu yang ada dalam diri apalagi itu nafsu sad ripu. Seorang sanyasin hendaknya selalu
berbuat yang baik dan bijaksana dan tidak banyak memiliki keinginan-keinginan menyerahkan
diri dengan Tuhan dan pasrah.

Kemudian pada umur 50-60th setelah matang dalam belajar kemudian menikah tentu saja
banyak memiliki ilmu-ilmu atau pengalaman yang dapat diterapkan dalam masyarakat atau
mengabdi pada masyarakat. Kemudian jenjang yang terakhir adalah biksuka atau sanyasin dari
umur 60th keatas hendaknya sudah menyerahkan diri dengan Tuhan tidak terikat lagi dengan
nafsu-nafsu yang ada dalam diri apalagi itu nafsu sad ripu. Seorang sanyasin hendaknya selalu
berbuat yang baik dan bijaksana dan tidak banyak memiliki keinginan-keinginan menyerahkan
diri dengan Tuhan dan pasrah.

Jadi manusia hidup di dunia ini ada tahapan-tahapan yang hendak dicapai agar jenjang
kehidupan menjadi tertata, catur asrama ini juga berguna untuk menerapkan manusia agar
melaksanakan swadharma menurut umur jadi dari umur 0 – 20th tahun hendaknya digunakan
untuk belajar, umur 20th keatas baru kemudian menginjak ke jenjang menikah dengan mencari
pasangan hidup agar mendapatkan keturunan yakni untuk meneruskan generasi agar tidak putus.

Kemudian pada umur 50-60th setelah matang dalam belajar kemudian menikah tentu saja
banyak memiliki ilmu-ilmu atau pengalaman yang dapat diterapkan dalam masyarakat atau
mengabdi pada masyarakat. Kemudian jenjang yang terakhir adalah biksuka atau sanyasin dari
umur 60th keatas hendaknya sudah menyerahkan diri dengan Tuhan tidak terikat lagi dengan
nafsu-nafsu yang ada dalam diri apalagi itu nafsu sad ripu. Seorang sanyasin hendaknya selalu
berbuat yang baik dan bijaksana dan tidak banyak memiliki keinginan-keinginan menyerahkan
diri dengan Tuhan dan pasrah.
http://materiajaragamahindu.blogspot.com/2017/03/catur-asrama.html

Anda mungkin juga menyukai