Anda di halaman 1dari 17

REVITALISASI MAKNA TUMPEK LANDEP DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

MODERN Bagian II
REVITALISASI MAKNA TUMPEK LANDEP
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MODERN
Bagian II
Oleh: Nanang Sutrisno
(Sambungan WHD No.526)

Hari baik untuk melakukan persembahan dan pemujaan, maka tujuan bhakti tersebut sangatlah
jelas, yaitu untuk mendapatkan kasih dan Hyang Widhi (manusa bhakti dewa asih). Dalam
konteks spiritual, Tumpek merupakan hari yang istimewa untuk melakukan perenungan dan
permenungan mengenai hakikat din sejati sehingga Sang Atman menyadari kesejatiannya
(matutur ikang atma ri jatinia). Tumpek adalah hari yang utama untuk melakukan pemujaan
kepada Bhatara Siwa sebagai asal mula dan tujuan segala yang ada, sangkan paraning dumadi.
Menyimak uraian di atas jelas bahwa Tumpek memiliki kedudukan, fungsi, dan makna yang
penting bagi kehidupan manusia dan semesta alam. Dalam struktur kesusasteraan Veda, Tumpek
adalah tradisi religius (acara) yang memiliki kedudukan penting sebagai salah satu sumber
pelaksanaan ajaran Agama Hindu. Menjadi kewajiban bagi seluruh penganut SiwaBuddha untuk
melaksanakan Hari suci Tumpek. Lain daripada itu bahwa dengan menyadari hakikat Tumpek
akan menuntun manusia pada kesadaran din untuk melaksanakan Kerti, Yasa, dan Karma, yakni
karya nyata menciptakan kebahagiaan masyarakat melalui pengabdian, pelayanan, dan tindakan.
Tumpek Landep adalah hai suci Hindu yang didasarkan pada pertemuan zvazvaran dan pawukon
dalam sistem kalender Jawa-Bali, yakni Saniscara Kiizvon (Sabtu Kliwon) wuku Landep. Kata
landep berarti tajam atau merupakan wuku ke-2 dalam sistem pawukon. Bagi umat Hindu, hari
ini diyakini menjadi otonan atau selamatan bagi semua senjata tajam, alat perang, peralatan dan
besi, dan sebagainya (Tim, 2002: 123). Dasar pelaksanaan upacara ini adalah Lon tar
Sundarigarna, yang berbunyi sebagai berikut:
Kunang ring wara Landep, Saniscara Kliwon, puja wali Bhatara Shea, mwah yoganira
Sanghyang Paceupati, puja wali Bhatara Siwa turn peng putih kuning adanadanan, iwak sata

sarupania, grih trasibang, sedah wah, haturakna ring sanggar.


Yoga Sanghyang Sri Pasupati, sesayut jayeng prang, sesayut kusurna yudha, suci, daksina,
peras, canang wangi-wangi, astawakna ring sarwa sanjata, lendepaning prang.
Kalingania ring wwang, denia paceupati, landeping idep, samangkana talaksanakna
kangjapamantra wisesa Pacrupati.
Artinya:
Pada hari Wuku Landep, Saniscara Kliwon (Sabtu Kliwon) adalah hari pemujaan Bhatara Siwa
dan hari yoganya Sanghyang Paceupati. Adapun sarana untuk pemujaan Bhatara Siwa adalah
tumpeng putili selengkapnya, lauknya ayam sebulu-bulu, grih trasibang (ikan asin dan terasi
merah), sedah woh, dihaturkan di Sanggar Pamujan (tempat pemujaan).
Sementara itu, untuk pemujaan Sanghyang Pasupati dihaturkan, sesayut jayeng prang, sesayut
kusuma yudha, suci, daksina, peras, canang wangi-wangi. Babantenan ini ditujukan (di-ayabkan)
kepada semua jenis senjata sehingga bertuah dalam perang.
Adapun hakikatnya dalam din manusia, ialah tajamnya pikiran (idep), untuk itu laksanakanlah
japa mantra untuk mendapatkan anugerah Pasupati.
Dan uraian lontar tersebut dapat dipahami bahwa ista dewata yang dipuja dalam pelaksanaan
Tumpek Landep adalah Bhatara Siwa dalam manifestasiNya sebagai Sanghyang Paceupati.
Pasupati dalam teologi Hindu adalah manifestasi Siwa sebagai Raja binatang (Pasu = binatang;
pati = raja). Akan tetapi dalam praktik keagamaan Hindu di Indonesia, Paceupati juga berarti
upacara pemberkatan, upacara untuk memberikan tuah pada benda-benda pusaka untuk
mendapatkan kekuatan magis (Tim, 2002:81). Dengan demikian upacara Tumpek Landep tepat
dimaknai sebagai pemujaan kepada Sanghyang Paceupati untuk mendapatkan anugerah berupa
tuah (kekuatan/sakti) bagi senjata tajam atau alat-alat perang dan peralatan kehidupan manusia
khususnya yang terbuat dan logam. ini sekaligus menegaskan bahwa upacara Tumpek Landep
bukanlah pemujaan kepada besi sebagaimana pemahaman masyarakat yang keliru selama ini.
Pada kenyataannya pelaksanaan upacra Tumpek Landep telah mengalami perubahan dalam
pelaksanaannya sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia. Kata landep yang berarti

tajam menunjuk pada alat-alat kehidupan yang telah digunakan manusia sejak dahulu kala. Pada
zaman berburu sudah dikenal beberapa senjata tajam yang terbuat dan batu atau logam untuk
tujuan perburuan. Kemudian, pada masa bercocok tanam juga muncul peralatanperalatan untuk
bertani seperti, cangkul, sabit, dan sebagainya. Upacara ini semakin mendapatkan signifikansinya
pada zaman kerajaan sehingga senjata tajam dan peralatan perang (landeping prang) menjadi
objek utama dalam pelaksanaan Tumpek Landep. Akan tetapi, sekarang ini momntum Tumpek
Landep digunakan umat Hindu untuk mengupacarai peralatan besi hasil teknologi modern seperti,
mobil, sepeda motor, dan komputen. ini menandakan telah terjadinya pergeseran dalam
pelaksanaan Tumpek Landep dalam masyarakat Hindu. Namun pergeseran itu terjadi pada tataran
fisik, bukan pada substansi maknanya. Pertanda ini sekaligus membuka peluang untuk melakukan
reinterpretasi dan revitalisasi makna Tumpek Landep sehingga keberadaannya dapat didialogkan
dengan konteks kekinian.
Upaya menyelami kedalaman makna Tumpek Landep dilakukan dengan menyimak kutipan lontar
Sundarigama bahwa hakikat Tumpek Landep adalah mengasah ketajaman pikiran (landeping
idep). Landeping idep dipandang menjadi spirit Tumpek Landep yang hendak dibangun sang
kawi melalui lontar tensebut. Memahami spirit yang ingin dibangun sang kawi dan
memadukannya dengan konteks kekinian merupakan langkah hermeneutis yang ditempuh untuk
memaknai Tumpek Landep. Selain itu, dengan menggunakan Sundarigama sebagai landasan
berpijak untuk menyelami makna Tumpek Landep maka pemaknaannya tidak kehilangan
sentuhan oteritik. Di sini lontar Sundarigama diposisikan pada otensitasnya sebagai susastra
Hindu yang mengejewantahkan spirit ajaran suci Weda terutama mengenai acara agama.
Berkenaan dengan upacara Tumpek Landep Seperti dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra (II,
6) bahwa acara agama merupakan salah satu sumber ajaran agama Hindu.
Idhanim dharma pramnamyaha
Wedo khilo dharma mulam smrti sue ca tadvidam
acarascaiva sadhunam
atmanastustir eva ca

Artinya:
Seluruh pustaka suci Veda merupakan sumber pertama dan Dharma, kemudian adat istiadat, lalu
tingkah laku yang terpuji dan orang-orang bijak yang mendalami ajaran suci Veda; juga tata cara
kehidupan orang suci dan akhirnya kepuasan pribadi.
Uraian sloka dalam Manawadharmasastra di atas menegaskan bahwa upacara Tumpek Landep
memiliki dasar sastra yang jelas. Selanjutnya, sastra inilah yang menjadi sumber kebenaran dan
pelaksanaan Tumpek Landep sehingga melegitimasinya menjadi sistem ritual Hindu yang otentik
dan utuh. Sistem ritual yang utuh setidak-tidaknya terbangun oleh (a) adanya sistem keyakinan
yang mendasari pelaksanaan upacara; (b) tata cara pelaksanaan upacara (dudonan atau eed); (c)
sarana ritual (upakara); dan (d) pelaku upacara. Dengan memahami setiap komponen dan sistem
ritual tersebut maka dapat digali keseluruhan makna dan ritual Tumpek Landep.
Tata Cara Pelaksanaan Tumpek Landep
Dalam hubungannya dengan pelaksanaan ajaran Agama Hindu, kata acara sering diberi awalan
upa, yang bermakna sekitar sehingga kata upacara bermakna sekitar tata cara pelaksanaan Agama
Hindu. Dengan demikian dcra agama Hindu menyangkut persoalan sekitar tempat upacara
(lokasi), saat upacara (durasi), suasana upacara (situasi), rangkaian upacara (prosesi), ucapan
upacara (resitasi), alat upacara (sakramen), dan bunyi-bunyian upacara (instrumen). Akan tetapi
dalam pelaksanaannya upacara agama Hindu terkadang menunjukkan adanya perbedaan di
berbagai daerah sesuai dengan sirna atau drsta-nya masing-masing.
Acdra dalam maknanya sebagai kebiasaan memang memiliki arti yang kurang lebih sama dengan
kata drsta. Drsta berasal dari urat kata Sansekerta drs yang berarti memandang atau melihat.
Kemudian, kata drsta memiliki makna konotatif yang sama dengan tradisi (Sudharma, 2000).
Acdra atau drsta dibagi menjadi 5 (lima), yaitu : (1) sastra drsta berarti tradisi yang bersumber
pada pustaka suci atau sastra agama Hindu; (2) desa drsta berarti tradisi agama yang berlaku
dalam suatu wilayah tertentu; (3) loka drsta adalah tradisi agama yang berlaku secara umum
dalam suatu wilayah; (4) kuna/purwa drsta berarti tradisi agama yang bersifat turun-temurun dan
diikuti secara terus menerus sejak lama; dan (5) kula drsta adalah tradisi agama yang berlaku
dalam keluarga tertentu saja (Sudharma, 2000). Perbedaan pelaksanaan acara agama karena
perbedaan drsta mi hendaknya tidak menjadi masalah, tetapi sebaliknya menjadi kekuatan Hindu

untuk menumbuh-kembangkan lokal jenius di setiap daerah sehingga Hindu dapat tampil dengan
karakter lokal yang unik dan khas.
(BERSAMBUNG)

Ida Pedanda Made Gunung:

Mempertajam ''Manah'' dan Kewaspadaan


HINDU memiliki banyak hari raya. Hari raya keagamaan itu sesungguhnya memiliki makna cukup luas.
Termasuk Tumpek Landep, tak hanya bermakna ritual. Dalam konteks filosofis, Tumpek Landep
merupakan tonggak penajaman, citta, budhi dan manah (pikiran). Dengan demikian umat selalu
berperilaku berdasarkan kesadaran pikiran. Dengan pikiran yang suci, umat mampu memilah dan
memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Hal itu ditegaskan Ida Pedanda Gede Made Gunung saat memberi dharma wacana di hadapan umat
Hindu, Sabtu (15/11) kemarin. Dharma wacana serangkaian perayaan rerahinan Tumpek Landep itu
mengambil tema ''Tumpek Landep dalam Kehidupan Sehari-hari''.
Dengan pikiran yang tajam, kata Ida Pedanda, diharapkan umat dapat menumpulkan gejolak indria dan
menghindari perilaku menyimpang. Tumpek, kata Ida Pedanda, berarti pula tampek dan landep berarti
tanying (tajam). Dalam perayaan ritual Tumpek Landep, umat diingatkan untuk selalu mengasah pikiran
(manah), budhi dan citta. Dengan manah, budhi dan citta yang tajam diharapkan umat dapat
memerangi kebodohan, kegelapan dan kesengsaraan.
''Ritual Tumpek Landep sesungguhnya mengingatkan umat untuk selalu menajamkan manah sehingga
mampu menekan perilaku buthakala,'' katanya.
Dalam kehidupan sehari-hari umat diisyaratkan untuk selalu menajamkan ilmu dan keterampilan agar
mampu bersaing dalam era kesejagatan. ''Yang terpenting lagi, umat hendaknya selalu menajamkan
keyakinannya terhadap Tuhan,'' katanya. Dalam situasi seperti sekarang, umat penting pula
menajamkan rasa persatuan dan kesatuan dan membangkitkan kewaspadaan diri. Termasuk
mewaspadai keamanan Bali. Jangan mau dipecah-belah, karena buta politik. Sebab, sejarah
membuktikan, banyak orang Bali menjadi korban politik. Padahal politik dalam arti sesungguhnya
memiliki tujuan mulia yakni untuk mensejahterakan masyarakat. Tetapi, praktiknya berbeda, politik
justru untuk mensejahterakan kelompok dan diri sendiri.

Ditegaskan pula, ritual Tumpek Landep merupakan tonggak introspeksi (mulatsarira). Artinya, umat
manusia dituntun agar bisa mengaktualisasikan diri pada pembentukan watak atau karakter yang sesuai
dengan ajaran agama. Setiap Tumpek Landep, umat diharapkan mulatsarira, evaluasi diri apa yang
telah dilakukan selama ini. Ini penting untuk melakukan pembenahan-pembenahan dalam masa
mendatang.
Kontradiktif
Di sisi lain Ida Pedanda mengatakan, tiada hari tanpa doa di Bali. Tetapi, kondisi di lapangan sangatlah
kontradiktif. Ada orang bunuh diri, gantung diri, berlaku seperti buthakala, dan melakukan tindak
kekerasan dll. Logikanya, jika umat selalu mendekatkan diri kepada Tuhan, sesungguhnya sikap
buthakala semakin jauh dari pribadi umat. Nah, kenapa itu bisa terjadi? Menurut Ida Pedanda, karena
umat tidak mampu menghayati diri sendiri dan Bali itu sendiri.
Bali merupakan Pulau Surga. Sebagai pulau surga mestinya orang Bali adalah memiliki sifat Bethara dan
Bethari. Tapi kenyataanya ada yang berperilaku di luar sifat Bethara dan Bethari.
Karena itu, Ida Pedanda berharap umat menyeimbangkan keperluan jasmani dan rohani. Jika setiap
hari umat masuk dapur tiga kali, hal yang sama mesti dilakukan untuk keperluan rohani. Itu berarti
umat mesti bersembahyang tiga kali sehari ke merajan. Dengan demikian, ada keseimbangan antara
kebutuhan jasmani dan rohani.
Ida Pedanda menegaskan, Tumpek Landep bukan otonan motor atau komputer. Tumpek Landep adalah
pemujaan Tuhan karena saat itu beryoga Dewa Siwa. Makanya persembahyangan Tumpek Landep adalah
di merajan masing-masing. Namun untuk otonan motor paling bagus dilakukan saat Tumpek Landep.
''Jadi, bukan karena ada motor kita merayakan Tumpek Landep,''ujarnya.

Hakikat tumpek landep


api ched asi papebhyah
sarvebhyah papakrittamah
sarvam jnanaplavenai
'va vrijinam samtarishyasi

(BhagavadgtIV.36)
Walau seandainya engkau paling berdosa diantara manusia yang memikul dosa dengan perahu
ilmu-pengetahuan ini lautan dosa engkau akan seberangi
Setiap hari suci agama umat Hindu sesungguhnya tak hanya sekadar rerahinan rutin yang mesti
dirayakan. Namun, didalamnya ada nilai filosofis yang penting dimaknai dalam kehidupan
sehari-hari. Tumpek Landep, misalnya, memiliki nilai filosofi agar umat selalu menajamkan
pikiran. Setiap enam bulan sekali umat diingatkan untuk melakukan evaluasi apakah pikiran
sudah selalu dijernihkan (disucikan) atau diasah agar tajam? Sebab, dengan pikiran yang jernih
dan tajam, umat menjadi lebih cerdas, lebih jernih ketika harus melakukan analisis, lebih tepat
menentukan keputusan dan sebagainya.
Lewat perayaan Tumpek Landep itu umat diingatkan agar selalu menggunakan pikiran yang
tajam sebagai tali kendali kehidupan. Misalnya, ketika umat memerlukan sarana untuk
memudahkan hidup, seperti mobil, sepeda motor dan sebagainya, pikiran yang tajam itu mesti
dijadikan kendali. Keinginan mesti mampu dikendalikan oleh pikiran. Dengan demikian
keinginan memiliki benda-benda itu tidak berdasarkan atas nafsu serakah, gengsi, apalagi sampai
menggunakan cara-cara yang tidak benar. Semua benda tersebut mestinya hanya difungsikan
untuk menguatkan hidup, bukan sebaliknya, justru memberatkan hidup.
Dulu, keris dan tombak serta senjata tajam lainnyalah yang digunakan sebagai sarana atau
senjata untuk menegakkan kebenaran, kini sarana untuk memudahkan hidup dan menemukan
kebenaran itu sudah beragam, seperti kendaraan, mesin dan sebagainya. Sehingga pada saat
Tumpek Landep diupacarai dengan berbagai upakara seperti: sesayut jayeng perang dan sesayut
pasupati, dengan maksud untuk memuja Tuhan, dan lebih mendekatkan konsep atau nilai filosofi
yang terkandung dalam Tumpek Landep.
Landep = Lancip/ Tajam
Kata Landep dalam Tumpek Landep memiliki makna lancip atau tajam. Sehingga secara harfiah
diartikan senjata tajam seperti tombak dan keris. Benda-benda tersebut dulunya difungsikan
sebagai senjata hidup untuk menegakkan kebenaran. Dalam Tumpek Landep benda-benda

tersebut diupacarai. Kini, pengertian landep sudah mengalami pelebaran makna. Tak hanya keris
dan tombak, juga benda-benda yang terbuat dari besi atau baja yang dapat mempermudah hidup
manusia, di antaranya sepeda motor, mobil, mesin, komputer, radio dan sebagainya.
Sementara secara konotatif, landep itu memiliki pengertian ketajaman pikiran. Pikiran manusia
mesti selalu diasah agar mengalami ketajaman. Ilmu pengetahuanlah alat untuk menajamkan
pikiran, sehingga umat mengalami kecerdasan dan mampu menciptakan teknologi. Dengan ilmu
pengetahuan pulalah umat menjadi manusia yang lebih bijaksana dan mampu memanfaatkan
teknologi itu secara benar atau tepat guna, demi kesejahteraan umat manusia. Bukan digunakan
untuk mencederai nilai-nilai kemanusiaan.
tad viddhi pranipatena
paripprasnena sevaya
upadekshyanti te jnanam
jnaninas tattvadarsina
(BhagavadgtIV.34)
Belajarlah dengan wujud displin, dengan bertanya dan dengan kerja berbakti, guru budiman yang
melihat kebenaran akan mengajarkan padamu ilmu budi-pekerti

Tumpek Landep

Tumpek Landep dirayakan setiap Sanisara Kliwon Wuku Landep. Tumpek Landep
berasal dari kata Tumpek yang berarti Tampek atau dekat dan Landep yang berarti
Tajam. Jadi dalam konteks filosofis, Tumpek Landep merupakan tonggak penajaman,
citta, budhi dan manah (pikiran). Dengan demikian umat selalu berperilaku
berdasarkan kejernihan pikiran dengan landasan nilai - nilai agama. Dengan pikiran
yang suci, umat mampu memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang
buruk
Tumpek landep merupakan hari raya pemujaan kepada Sang Hyang Siwa Pasupati
sebagai dewanya taksu. Jadi setelah mempertingati Hari Raya Saraswati sebagai
perayaan turunya ilmu pengetahuan, maka setelah itu umat memohonkan agar
ilmu pengetahuan tersebut bertuah atau memberi ketajaman pikiran dan hati. Pada
rerainan tumpek landep juga dilakukan upacara pembersihan dan penyucian aneka
pusaka leluhur seperti keris, tombak dan sebagainya sehingga masyarakat awam
sering menyebut Tumpek Landep sebagai otonan besi. Namun seiring
perkembangan jaman, makna tumpek landep menjadi bias dan semakin
menyimpang dari makna sesungguhnya.
Sekarang ini masyarakat justru memaknai tumpek landep lebih sebagai upacara
untuk motor, mobil serta peralatan kerja dari besi. Sesungguhnya ini sangat jauh
menyimpang. Boleh saja pada rerainan Tumpek Landep melakukan upacara
terhadap motor, mobil dan peralatan kerja namun jangan melupakan inti dari
pelaksanaan Tumpek Landep itu sendiri yang lebih menitik beratkan agar umat
selalu ingat untuk mengasah pikiran (manah), budhi dan citta. Dengan manah,
budhi dan citta yang tajam diharapkan umat dapat memerangi kebodohan,
kegelapan dan kesengsaraan. Ritual Tumpek Landep sesungguhnya mengingatkan
umat untuk selalu menajamkan manah sehingga mampu menekan perilaku
buthakala yang ada di dalam diri.
Jika menilik pada makna rerainan, sesungguhnya upacara terhadap motor, mobil
ataupun peralatan kerja lebih tepat dilaksanakan pada Tumpek Kuningan, yaitu
sebagai ucapan syukur atas anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas sarana dan
prasara sehingga memudahkan aktifitas umat, serta memohon agar perabotan
tersebut dapat berfungsi dengan baik dan tidak mencelakakan. Tumpek landep

adalah tonggak untuk mulat sarira / introspeksi diri untuk memperbaiki karakter
agar sesuai dengan ajaran - ajaran agama. Pada rerainan tumek landep hendaknya
umat melakukan persembahyangan di sanggah/ merajan serta di pura, memohon
wara nugraha kepada Ida Sang Hyang Siwa Pasupati agar diberi ketajaman pikiran
sehingga dapat menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. Pada rerainan
tumpek landep juga dilakukan pembersihan dan penyucian pusaka warisan leluhur.
Bagi para seniman, tumpek landep dirayakan sebagai pemujaan untuk memohon
taksu agar kesenian menjadi lebih berkembang, memperoleh apresiasi dari
masyarakat serta mampu menyampaikan pesan - pesan moral guna mendidik dan
mencerdaskan umat.
Jadi sekali lagi ditegaskan, Tumpek Landep bukan rerainan untuk mengupacarai
motor, mobil ataupun perabotan besi, tetapi lebih menekankan kepada kesadaran
untuk selalu mengasah pikiran (manah), budhi dan citta untuk kesejahteraan umat
manusia. Boleh saja pada rerainan Tumpek Landep mengupacarai motor, mobil dan
sebagainya sebagai bentuk syukur namun itu adalah nilai tambahan saja. Jangan
sampai perayaan rerainan menitik beratkan pada nilai tambahan namun melupakan
inti pokok dari rerainan tersebut.

REVITALISASI MAKNA TUMPEK LANDEP


DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MODERN
Bagian I
Oleh: Nanang Sutrisno
Di Bali, budaya dan agama Hindu menjadi dua fenomena dalam satu realitas. Transformasi
kebudayaan menuju tradisi religius terjadi begitu apik dalam ruang Hinduisme yang menebarkan
aroma harmoni budaya dan agama. Fenomena budaya muncul sebagai ekspresi kebenaran
(satyam), kesucian (sivam), dan kebahagiaan (sundaram) menuju realitas absolut (Brahman).
Berbasis persembahan suci (yajna), masyarakat Hindu di Bali menyelaraskan gerak kehidupan
adat dan budayanya menjadi kesatuan rasa (keindahan), agama (tradisi suci), dan buddhi tepet
(kebijaksanaan). Ekspresi religius dalam aktivitas berkebudayaan inilah menjadikan agama
Hindu Bali begitu unik dan khas. Bukan merujul kepada Veda, tetapi mengalir dan Veda.

Bukanlah agama yang hanya tekstual, tetapi agama yang dihayati dan dilaksanakan dalam
konteks sehingga nilai-nilai agama menginternal menjadi kepribadian dan jati diri pemeluknya.
Perpaduan tradisi lokal dan Hinduisme memang menjadi karakter khas Hindu Indonesia
umumnya dan Bali khususnya. Melalui proses dialektis yang panjang dan berliku maka agama
Hindu di berbagai daerah menunjukkan keunikan dan kekhasannya sendiri, tetapi esensinya
tunggal. Pandangan dialektis berpendapat bahwa kebudayaan lokal telah memiliki kemampuan
dan posisi yang sama kuat ketika berhadapan dengan kebudayaan yang datang dari luar sehingga
proses lahirnya kebudayaan baru terjadi dalam proses dialogis yang panjang (Utama, 2003).
Pertemuan antara bentuk-bentuk kepercayaan asli Indonesia dengan Agama Hindu yang datang
dari India telah menghasilkan agama Hindu Indonesia. Proses interaksi ini terjadi secara
alkulturatif, di mana unsur-unsur asing diolah ke dalam kebudayaan lokal tanpa kehilangan
kepribadian dasar kebudayaan lokal. Hal ini sejalan dengan pernyataan Magetsari (1986) bahwa
masuknya unsur India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan Hindu
Indonesia dalam kekhasannya. Kearifan lokal ini terutama nampak dalam aktivitas ritual
sehingga sulit merujuk langsung keberadaannya dalam tradisi Veda. Mengingat ritual merupakan
sistem simbolis yang mengandung makna berlapis sehingga untuk menemukan inti ajarannya
diperlukan pengupasan yang berlapis-lapis pula. Oleh karena itu, terburu-buru menolak tradisi
ritual yang tidak tersurat dalam Veda tentu bukanlah tindakan yang bijaksana. Sekali lagi, Veda
adalah mata air yang menjadi sumber aliran sungai kebijaksanaan yang tak terhitung jumlahnya.
Pada setiap aliran sungai ini Veda memberikan warna sesuai dengan kondisi lingkungan alam,
sosial, dan budaya masyarakatnya. Dengan cara demikian Veda dapat hidup dimanapun,
memberikan warna kehidupan masyarakatnya, menumbuh-suburkan kebudayaan, dan akhirnya
mengantarkan manusia pada kesejahteraan dunia (jagadhita) dan kebabagiaan tertinggi (moksa).
Sekali lagi, baik yang merujuk kepada Veda maupun yang mengalir dari Veda sesungguhnya
semua bersumber dan bermuara kepada Veda.
Bali mewarisi ritual keagamaan yang beberapa di antaranya kental nuansa lokal. Adalah upacara
tumpek yang hadir setiap Saniscara Kliwon. Upacara tumpek hadir dari pertemuan antara Panca
wara, Sapta wara dan Pawukon dalam sistem kalender Hindu (Jawa-Bali). Sebagaimana
diketahui bahwa dalam sistem kalender Hindu Nusantara dikenal beberapa istilah, seperti
penanggal, panglong, wewaran (dari eka wara hingga dasa wara), pawukon (berjumlah 30), dan

sasih (jumlah 12). Berbeda dengan sistem kalender India yang hanya menggunakan sistem surya
candra (lunar-solar system). Singkatnya, sistem wewaran dan pawukon merupakan penanggalan
khas Indonesia (Jawa-Bali) sehingga upacara-upacara yang berlangsung dalam sistem ini juga,
mencerminkan tradisi lokal. Menjadi persoalan adalah bagaimana tradisi lokal ini dapat
dikatakan sebagai upacara Hindu? Adakah rujukan sastra yang otentik sehingga upacara tersebut
tidak bertentangan dengan Veda? ini menjadi pertanyaan yang lumrah terjadi dalam diri umat
Hindu karena rujukan otentik dan literer memang dibutuhkan bagi pelaksanaan tradisi religius.
Oleh karena itu, penting mendapatkan jawabannya sehingga ritual keagamaan tidak sekadar
menjadi tradisi yang terberi (given), tetapi menjadi nilai yang bermanfaat kehidupan. Demikian
juga penting memahami nilai kearifan lokal dalam suatu ritual keagamaan sehingga dapat
diterapkan dalam konteks kekinian.
Transformasi Ajaran Veda dalam Tumpek Landep
Tumpek adalah bagian dari Acadra agama Hindu. Acara secara umum mencakup bidang yang
sangat luas terutama berkaitan dengan tradisi ritual. Acara agama Hindu mencakup hal sebagai
berikut:
1) ajaran tentang yadnya;
2) ajaran tentang hari-hari suci keagamaan;
3) ajaran tentang tempat suci atau tempat-tempat pemujaan; dan
4) ajaran tentang orang suci.
Dalam Manawa Dharmasastra Bab II, sloka 6 dijelaskan mengenai acara agama sebagai berikut:
Idanim dhama
pramanamyaha,
wedo khilo dharma mulam,
smrti sule ca tadvidam,
Acaras ca iwa sadhunam,
Atmanastutirewa
Artinya:
Seluruh pustaka suci Veda (Sruti dan Smerti) merupakan sumber pertama dari Dharma,
kemudian adat istiadat, setelah itu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang bijak yang
mendalami ajaran suci Veda; juga tata cara kehidupan orang suci, dan akhirnya kepuasan pribadi.

Dalam hubungannya dengan pelaksanaan ajaran Agama Hindu, kata acara sering diberi awalan
upa, yang bermakna sekitar, sehingga kata upacara bermakna sekitar tata cara pelaksanaan
Agama Hindu. Dengan demikian maka acara Agama Hindu menyangkut persoalan sekitar tempat
upacara (lokasi), saat upacara (durasi), suasana upacara (situasi), rangkaian upacara (prosesi),
ucapan-upacara (resitasi), alat upacara (sakramen), dan bunyi-bunyian upacara (instrumen).
Upacara Tumpek secara khusus dibahas dalam Lontar Sundarigama. Untuk diketahui bahwa
lontar Sundarigama merupakan intisari dari ajaran wariga gemet. Hal ini tertulis dalam bait ke-3
yang berbunyi, sebagai berikut:
Um, ranak si Purahita mekabehan,
Siwa, Sogata,
rengen pawarahkwe kita anakku,
an Ling aji Sundarigama,
pakertin tikang pawitran,
pangisining wariga gemet,
pacatuning rat bhawana,
wastu wayang ning ngastuti,
Sanghyang bunten ing wwang mahayu raga sarira,
dadi hewan ing krta nugrahanira Sang Hyang Maha Wisesa,
tumurun ring bhuwana, lwih tinemunia,
rahayu hanrus ring Tribhuwana,
palaning han dadi wwang,
mapageh ikang sundih aji,
mening mahening kajagadhitan ta purahita kabeh,
bhiyuh bala, byuh sisya, kadang apa lwir nia, nihan.
Artinya:
Wahai anakku para purahita semuanya, Siwa Budha, dengarkanlah nasehatku ini untukmu
anakku, bahwa ajaran Sundarigama merupakan tuntunan pelaksanaan pesucian, inti dari wariga
gemet, bagi kehidupan dunia, wujud memuja Hyang Widhi Wasa dan menjadi perantara bagi
manusia untuk menyelamatkan dirinya, menjadi jalan tuntunan dalam memohon nugraha Sang
Hyang Wisesa. Ajaran ini diturunkan ke dunia dan diberikan kepada manusia agar manusia dapat

menikmati kebahagiaan kekal di atas dunia. Makmurlah Negara karena menikmati keutamaan,
yaitu keselamatan terus-menerus di tri bhuwana (bhur, bwah, swah), inilah keutamaan yang amat
mulia bagi manusia, dan itulah yang menyebabkan langgengnya kesucian bagi Negara dan
rajanya. Keheningan dan kemurnian para purahita adalah kebahagiaan dunia, kemakmuran
rakyat, para pelajar, para saudara dan siapapun juga.
Artinya, tujuan utama dari pelaksanaan hari-hari baik dan suci adalah untuk kebahagiaan semua
makhluk (bhuta hita, sarwa prani hita). Dalam bait ke-4, Lontar Sundarigama juga dijelaskan
bahwa pada saat hari yang uttama (kala wayutama) adalah waktu pesucian para dewa-dewi,
bhatara-bhatari, widyadara-widyadari, pitara-pitari. Beliau beryoga semedi untuk kebahagiaan
dunia maka manusia pun patut untuk ikut serta melaksanakan pujawali untuk menyambut cinta
kasih yang akan dilimpahkan oleh Hyang Widhi, berbakti dengan upacara yang disuguhkan
kepada para Bhatara. Dengan demikian maka melalui persembahan bhakti pada Hyang Widhi
Wasa tatkala hari-hari suci adalah utama demi terciptanya keselamatan dan kebahagiaan dunia.
Pada dasarnya Hari Raya Tumpek adalah hari raya yang jatuh pada hari Saniscara Kliwon.
Adapun bentuk pemujaan dan perayaan disesuaikan dengan Wuku yang mengikutinya sehingga
akan lahir 6 (enam) jenis upacara Tumpek dengan maksud dan tujuan yang berbeda satu dengan
lainnya. Mengenai arti penting dari pelaksanaan upacara Tumpek, seperti dijelaskan dalam
Lontar Sundarigama sebagai berikut:
Saniscara Kliwon ngaran,
wekasing tuduh nikang wwang,
haywa lali amusti Sang
Hyang Maha Wisesa,
haywa deh, ndan haywa pisah,
apasamana tumurun kertanira
Sanghyang Anta Wisesa ring rat kabeh.
Pangacinia kayeng lagi,
sedengnging latri tan wenang anambut karya,
meneng juga pwa ya, heningakna juga ikang adnyana malilian,
mengetaken Sang Hyang Dharma,
mwang kawyiadnyana sastra kabeh,

mangkan telas kangetakna haywa sang wruhing tattwa yeki tan mituhu,
mwang alpa ring mami, tan panemwa rahayu ring saparania,
apania mangkana, wwang tan pakarti,
tan payasa, tan pakrama, sania lawan sato,
binania amangan Sega.
Yan sang wiku tan manut,
dudu sira Wiku,
ranak ira Sanghyang Dharma .
Artinya:
Hari Saniscara Kliwon dinamakan hari inti, hakikat dan anugerah Hyang Widhi, yang diberikan
kepada manusia. Oleh karenanya, janganlah lupa menyembah Hyang Maha Wisesa, jangan
menjauhkan diri, bahkan janganlah sampai terpisah dengan Beliau. Sebab segala sesuatu yang
ada ialah karena turunnya kesempurnaan Hyang Widhi yang terus-menerus dilimpahkan kepada
seluruh dunia. Jadi, cara pemujaan kepadaNya adalah sebagaimana biasa.
Sedangkan pada malam harinya, tidak dibenarkan mengambil pekerjaan jasmani, melainkan
hanya melakukan renungan suci, yakni mengheningkan cipta dan diarahkan untuk menyadari
Sanghyang Dharma. Lain daripada itu, juga diarahkan kepada inti sari ajaran agama seluruhnya.
Demikianlah semuanya agar diingat-ingat, terutama harus disadari oleh orang yang mendalami
tattwa. Apabila hal ini tidak dilaksanakan, lebih-lebih jika malah dinodai, niscaya tidak akan
mendapatkan keselamatan di manapun nantinya berada, mengapa demikian?
Karena orang yang tidak melaksanakan Kerti, Yasa, dan Karma (tindakan terpuji, pengabdian,
dan perbuatan baik), dapatlah disamakan dengan binatang, bedanya hanya karena ia memakan
nasi. Jika sang Wiku yang bijaksana tidak menuruti ajaran ini, bukanlah dia disebut Wiku yang
disayangi oleh Sanghyang Dharma.
Dari uraian Lontar Sundaraigama di atas dapat digali beberapa keunggulan hari raya Tumpek.
Pertama, hari ini adalah hari inti untuk memohon anugerah Hyang Widhi bagi kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia. Oleh karena itu, wajib bagi umat Hindu untuk menghaturkan
persembahan, melakukan puja, sujud bhakti kepada kemuliaan dan kebesaran Hyang Widhi,

Beliau yang Mahapemurah dan pemberi anugerah keutamaan bagi kehidupan manusia.
Kedua, malam hari Tumpek adalah malam yang baik untuk melakukan renungan suci, tapa
brata-yoga-samadhi. Hubungan transendental terus - menerus ditujukan kepada Sanghyang
Dharma, Kebenaran Abadi. Anugerah utama yang dimohon adalah supaya kehidupan manusia
senantiasa dituntun oleh dharma, demi tercapainya tujuan tertinggi (purusa artha), yakni
moksartham jagadhita ya ca itu dharma. Seperti dijelaskan dalam Sarasamuccaya, seloka 14
ikang dharma ngarania, henuning mara ring swarga ika, kadi gatining perahu an hetuning
banyaga nentasing tasik (yang disebut dharma adalah jalan menuju sorga, seperti sebuah perahu
yang digunakan nelayan untuk menyeberangi samudera).
Ketiga, hari raya Tumpek mengingatkan kembali pada keutamaan manusia dibandingkan
makhluk lainnya. Keutamaan itu terletak pada kesanggupannya melaksanakan Kerti, Yasa, dan
Karma (tindakan terpuji, pengabdian, dan perbuatan baik), karena jika tidak dilaksanakan maka
tidak ada bedanya manusia dengan hewan. Ini merupakan pesan moral dari pelaksanaan upacara
Tumpek sehingga upacara ini begitu penting untuk dilaksanakan dalam keberagamaan umat
Hindu.
Keempat, upacara Tumpek memiliki kekuatan mengikat bagi umat Hindu untuk
melaksanakannya. Dalam tataran bhakti, ditegaskan dengan perbedaan antara anugerah dan
hukuman yang menjadi akibat dari dilaksanakan atau tidaknya upacara ini. Bagi yang
melaksanakannya tentu anugerah pahalanya, tetapi jika tidak maka akan diperoleh kenistaan dan
kepapaan.
Kelima, secara filosofis Tumpek memiliki hakikat mendalam yang mesti dipahami secara
berjenjang dari ritual menuju tattwa. Penguasa hari Saniscara adalah Bhatara Vasu atau
Vasudewa, yakni Bhatara Wisnu sebagai pemelihara eksistensi alam semesta. Sementara itu,
Kliwon, dewanya Bhatara Siwa menempati posisi di tengah; Dengan demikian han Kliwon
menempati poros kosmis, baik di alam maupun diri manusia. Di sinilah bersthana Bhatara Siwa
yang menjaga keseimbangan seluruh alam. Hari raya Tumpek mempertemukan Bhatara Wisnu
dengan Bhatara Siwa dalam satu titik yang sama

Anda mungkin juga menyukai