Anda di halaman 1dari 7

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI PADA

SUTRA YOGA PATANJALI YOGA DARSANA


Oleh:
Kadek Dwitya Widi Adnyani
Mahasiswi Yoga dan Kesehatan, IHDN Denpasar

1. Pendahuluan

Yoga Sutra yang disusun oleh Maharsi Patanjali ini adalah teks klasik terbesar
dan terutama dalam aliran filsafat Yoga India. Ditulis 2.500 tahun yang lalu. Bahkan
ada yang berpendapat bahwa teks ini telah disusun tak kurang dari abad ke-2 SM. Di
dalamnya, sutra-sutra tentang Yoga atau penyatuan universalnya pendek dan akurat
menegaskan bagian-bagian esensial secara lengkap dan rinci. Mengingat kepadatan
dan kepekatan kandungan makna filosofis spiritualnya.Tujuan pokoknya adalah
merealisasikan kebebasan jiwa dari kungkungan maya. Menjalankan Yoga bukan
berarti seseorang harus mengasingkan diri dari kehidupan nyata – sembunyi di gua-
gua atau pergi ke belantara. Hidup dalam kebenaran (righteousness) dan
mengabaikan keakuan (non selfishness) adalah masalah perubahan sikap, pandangan
dan motif hidup seperti dijelaskan dalam Sutra Patanjali dan bukannya merubah
kebiasaan sehari-hari dengan menjadi pertapa. Susunan sutra-sutra Patanjali dibagi
menjadi empat tahap, yaitu: samadhi pada, sadhana pada, vibhuti pada dan kaivalya
pada.
Melalui tulisan ini mencoba menjelaskan 3 sutra dari yogasutra patanjali yang
berkaitan dengan filsafat. Filsafat terdiri atas tiga cabang besar yaitu: ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Ketiga cabang itu sebenarnya merupakan satu kesatuan
yaitu 1) Ontologi membicarakan hakikat (segala sesuatu), ini berupa pengetahuan
tentang hakikat segala sesuatu. 2) Epistemologi membicarakan cara memperoleh
pengetahuan itu. 3) Aksiologi membicarakan kegunaaaan pengetahuan itu.
Berdasarkan pernyataan tersebut sangat menarik dibahas lebih lanjut 3 sutra yang
berkaitan dengan ontologi, epistemologi, dan aksiologi, sebagai berikut.

1
2. Pembahasan
2.1 Ontologi
Ontologi merupakan bagian filsafat yang menganalisis tentang objek materi
dari ilmu pengetahuan. Aliran yang meliputi dalam subyek ontologi ini termasuk
pandangan (1) realisme yang melihat segala sesuatu nya dari satu sudut pandang serta
dilihat secara naluriah dan harfiah nya yang sesuai dengan kenyataan, (2) naturalism
yaitu lebih pada sifat alamiah secara lahir dan batin baik itu dari benda hidup atau
benda mati yang dapat dilacak dari substansi dasar pembentuknya.Sementara yang ke
(3) empirisme yang lebih dikaitkan pada perhitungan numeric dengan hasil yang
konkret dan cepat. Selain itu banyak pula terdapat istilah menarik atau khas dalam
ontologi seperti esensi (pokok), tunggal, realitas, substansi, perubahan, jamak, yang
ada atau nyata dan eksistensi. Adapun hakekat ontologi yang dimaksud dalam sutra
patanjali yoga darsana sebagai berikut.

Yogas Citta Wåtti Nirodhaá


(Sutra 2, Samàdhi Pàdà)

Terjemahan:

Yoga Adalah Pengekangan Benih-Benih Pikiran (citta) dari pengambilan


berbagai wujud (perubahan; wåtti)
Berdasarkan kutipan sutra Yogasutra (I:2) tersebut secara ontologis hakekat
dari pelaksanaan yoga adalahmengendalikan gerak-gerik pikiran, atau cara untuk
mengendalikan tingkah-polah pikiran yang cendrung liar, bias, dan lekat terpesona
oleh aneka ragam objek (yang dikhayalkan) memberi nikmat. Oleh karena itu, kini
kita mulai menyadari bahwa mengendalikan pikiran adalah hal yang terpenting.
Mengendalikan dalam konteks yoga lebih berarti “amuter tutur pinahayu” membalik
kesadaran secara benar (Kanwa X:1). Artinya kesadaran yang sebelumnya cendrung
mengarah keluar dan suka berada diluar diri adalah kesadaran yang lebih cenderung

2
terjebak, karena seringkali didasari oleh pengetahuan yang keliru. Maksudnya pikiran
hendaknya diusahakan dan dikendalikan berdasarkan atas pengetahuan yang benar.

Sehingga berdasarkan ontologis Yogasutra patanjali darsana (I:2) tersebut


hakekat sesungguhnya adalah untuk mengendalikan rajendriya (pikiran) karena
melalui pikiranlah menjadi manusia rahayu, sehat dan bahagia lahir bathin, tidak
sakit-sakitan, terhindar dari penderitaan serta untuk mengetahui-memahami
kemanunggalan dengan Sang Jati Diri, manunggalnya atman ‘roh individu’ dengan
Atman atau Brahman ‘Roh Semesta, Tuhan’. itulah dijadikan tujuan utamanya, dalam
melaksanakan yoga.

2.2 Epistemologi

Epistemologi Berasal dari kata Yunani, Episteme dan Logos. Episteme artinya
adalah pengetahuan. Logos artinya teori. Epistemologi adalah sebuah kajian yang
mempelajari asal mula, atau sumber, struktur dan metode pengetahuan. Adapun
hakekat epistemologi yang dimaksud dalam sutra patanjali yoga darsana sebagai
berikut.

Yama niyamàsana prànàyàma pratyàhàra dhàraóà


dhyàna samàdha yo’ ûþàw aògàni

(Sutra 29, Sàdhana Pàdà)


Terjemahan:
Pengekangan diri (Yama), kepatuhan yang mantap (Niyama), sikap badan
(asana), pengaturan pernafasan (pranayama), penyaluran (pratyahara), pemusatan
(konsentrasi; dharana), perenungan (dhyana), penyerapan (samadhi), semuanya ini
adalah bagian (dari disiplin diri dari yoga)

Berdasarkan kutipan Sutra 29, Sàdhana Pàdà dalam sutra patanjali yoga
darsana merupakan epistemologi dalam melaksanakan yoga. Delapan tahapan dalam
melaksanakan yoga disebut dengan Astangga Yoga. Kedelapan tahapan yoga ini satu

3
dengan yang lainnya saling terkait. Dalam lontar Tattwa Jnana disebut
prayogasandhi. Delapan tahapan yoga itu adalah:
1) Yama adalah pengekangan diri yang mesti senantiasa dilaksanakan. 5 jenis
disiplin utama yang disebut mahavrata ‘janji agung’; “ahima satasteya
brahmacaryaparigraha yamah” (yogasutra. II:30). Artinya: 1) Ahimsa, yaitu
tidak bersikap atau berlaku kasar kepada sesama pun kepada makhluk lain,
baik melalui pikiran, ucapan, maupun tindakan. 2) Satya, yaitu bersikap dan
berprilaku bajik, benar pada pikiran, setia pada ucapan, dan jujur pada
perbuatan. 3) Asteya, yaitu tidak mencuri. 4) Brahmacarya, yaitu bersikap dan
berlaku terkendali, mengendalikan nafsu asmara. 5) Aparigraha, yaitu hidup
sederhana atau tidak serakah.
2) Nyama adalah janji diri yang dapat dipandang sebagai pengokoh yama,5
disiplin penunjang untuk mengukuhkan yama brata; ”sauca santosa tapah
svadyayesvara pranindhanani niyamah” (yogasutra, II:3). Artinya: 1) Sauca,
yaitu berusaha menjaga kebersihan dan kesucian diri, baik lahir maupun batin.
2) Santosa, yaitu berusaha menjaga kestabilan emosi, agar selalu tenang, arif,
dan damai dalam menghadapi suatu masalah. 3) Tapa, yaitu berusaha untuk
tahan uji, melenyapkan ketidak sempurnaan diri dengan melakukan tapa, yang
berpegang teguh pada dharma. 4) Swagdyaya, yaitu berusaha belajar mandiri
dan tekun mempelajari kitab suci. 5) Isvarapranidhana, yaitu berusaha selalu
memusatkan pikiran dan bhakti kepada Isvara ‘Tuhan’.
3) Asana, sikap duduk benar dan sempurna menurut sistem yoga (Zoetmulder
2004:67). Asana dapat dikelompokkan 3 posisi, yaitu: (1) duduk, (2) berdiri
terbalik, (3) terlentang.
4) Pranayama, latihan pernafasan (Zoetmulder, 2004:847), tujuan utamanya
adalah agar tidak ada gangguan pernafasan dan dapat bernafas dengan lega
dan alami melalui hidung yang diselaraskan dengan asana. Pranayama dapat

4
dikelompokkan menjadi 3, yaitu: (1) puraka (menarik nafas), (2) khumbaka
(menahan nafas), (3) recaka (mengeluarkan nafas).
5) Prathahara, penarikan (Zoetmulder, 2004:856). Menarik indra dari objek
kesukaannya,karena setiap indra mempunyai kesenangan sendiri-sendiri yang
kemudian diarahkan kedalam diri.
6) Dharana, tindakan memegang, membawa, menguasai, dan memiliki
(Zoetmulder, 2004:196). Maharsi Patanjali mengajarkan 3 cara dharana,
yaitu: (1) menguasai indra-indra agar tetap terkonsentrasi pada satu objek saja,
tetap dibawah pengawasan manah (pikiran), (2) menentramkan gerak-gerik
pikiran dengan watak lemah lembut, ceria, penuh kasih sayang dan tenang
baik dalam keadaan duka maupun suka, (3) mengkonsentrasikan indra
tersebut pada nafas yang keluar masuk tubuh (Yogasutra, I:32-25).
7) Dhyana, berarti meditasi, refleksi, atau pemusatan pikiran (Zoetmulder,
2004:245), disebut juga kontemplasi atau renungan mendalam. Patanjali
menjelaskan “tatra pratyaikatanata dhyanam” artinya, “arus pikiran
terkonsentrasi tak putus-putusnya pada objek renungan”.
8) Samadhi, kata ini berasal dari urat kata sam dan dhi. Sam artinya kumpulan
persamaan, gundukan, timbunan, sedangkan Dhi artinya pikiran, ide-ide, atau
budi. Secara etimologis Samadhi berarti pemusatan atau kumpulan pemikiran
yang ditujukan kepada satu objek tertentu, dalam konteks yoga objek
sasarannya adalah Tuhan Yang Maha Esa. Renungan mendalam itu
sesungguhnya adalah Samadhi. Orang yang merenung (pemikir), aktivitas
merenungnya (pemikirannya), dan yang direnungkan (objek yang dipikirkan).
Maharsi Patanjali (yogasutra, I:17-18) menyatakan ada 2 jenis Samadhi, yaitu:
1). Samprajnata Samadhi, disebut juga sabija atau savikalpa
samadhi, yakni keadaan supra sadar yang lebih rendah, karena masih
ada benih kesadaran atau sisa kesan yang dirasakan.
2). Asamprajnata Samadhi atau nirbija atau nirvikalpa samadhi,
adalah keadaan supra sadar yang transenden, yakni tidak menyadari

5
lagi keadaan puncak yang dicapainya, ia mencapai kelepasan total, ia
mencapai Sunya.

2.3 Aksiologi
Aksiologi Berasal juga dari bahasa Yunani, yaitu Axion yang berarti nilai dan
logos yang berarti ilmu atau teori, aksiologi ini merupakan bentuk lanjutan dari i dan
epistimologi yang lebih berfokus pada aksi atau tindakannya seperti bagaiamana
seseorang menggunakan ilmunya dimana dapat disimpulkan bahwa aksiologi hendak
mencapai manfaat dari diambilnya ilmu pengetahuan tersebut. Adapun hakekat
aksiologi yang dimaksud dalam sutra patanjali yoga darsana sebagai berikut.

Purusàrtha sunyànàý guóanàm prati prasavaá kaivalyam


swarùpa pratiûþhà và citi sakter iti

(Sutra 34, Kaiwalya Pàdà)


Terjemahan:
Kaiwalya (Pembebasan) adalah keadaan (dari pencerahan) yang mengikuti
penggabungan kembali dari guóa, karena lenyapnya objek-objek dari purusa. Dalam
keadaan ini, purusa tegak dalam sifat sejatinya yang merupakan kesadaran murni.

Berdasarkan kutipan Sutra 34, Kaiwalya pàdà dalam sutra patanjali yoga
darsana merupakan aksiologi dalam pelaksanaan yoga. Dalam Kaiwalya pàdà
merupakan tahap pengalaman isolasi puncak spiritual atau kesempurnaan batin. Ada
empat tingkat pencapaian seorang sadhaka/siswa yoga :
1. Orang yang tekun mempraktekkan yoga darinya cahaya akan menyingsing
2. Orang yang mempraktekkan yoga akan memperoleh pengetahuan yang
mengandung kebenaran hakiki
3. Orang yang berhasil menundukkan organ-organ tubuh dan sekaligus unsur-
unsur alam akan dikaruniai kemampuan mempertahankan keberhasilannya itu
dan kemampuan untuk terus menjadi sempurna.
4. Orang yang telah melampaui apa yang ditemukan ia akan berkonsentrasi pada
Prima Causa (Penyebab Pertama dari segala kejadian)

6
3. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ontologis, epistemologis
dan aksiologi dalam melaksanakan yoga. Secara ontologi Yoga sebagai sebuah cara
atau jalan untuk mengendalikan pikiran yang terobyektifkan serta kecendrungan
alami pikiran dan mengatur segala kegelisahan-kegelisahan pikiran agar tetap tak
terpengaruh sehingga bisa mencapai penyatuan antara kesadaran unit dan kesadaran
kosmik. Secara epistemologi yoga adalah Astangga yoga merupakan tahapan-tahapan
yang harus dijalankan bagi seseorang yang ingin meningkatkan kualitas spiritual.
Astangga Yoga berarti delapan tahapan yang harus dilaksanakan dalam beryoga.
Bagian-bagian dari Astangga Yoga yaitu Yama (pengendalian), Nyama (peraturan-
peraturan), Asana (sikap tubuh), Pranayama (latihan pernafasan), Prathyahara
(menarik semua indrinya kedalam), Dharana (telah memutuskan untuk memusatkan
diri dengan Tuhan), Dhyana (mulai meditasi dan merenungkan diri serta nama
Tuhan), dan Samadhi (telah mendekatkan diri, menyatu atau kesendirian yang
sempurna atau merialisasikan diri). Dan Aksiologi dalam pelaksanaan yoga adalah
memperoleh pencerahan murni, pengetahuan kebenaran dan menjadi sempurna
jagadhita (Sutra 34, Kaiwalya Pàdà).

4. Daftar Pustaka

Saraswati, Swami Satya Prakas. 1996. Patanjali Raja Yoga. Malang: Paramita
Surabaya

Suka Yasa, I Wayan, dkk. 2006. Yoga (Marga Rahayu). Denpasar. Widya Dharma.

Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 2004. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Penerjemah
Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai