Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN TOUR BUDAYA

BALI

OLEH :
MADE PUTRI WULANDARI GUNAWAN
28/XII AP 3

SMK NEGERI 4 DENPASAR


2016
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan dunia pariwisata di negara kita terutama peninggalan


peninggalan sejarah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke menjadi salah satu alasan
diadakan karya wisata. Karya wisata merupakan suatu kegiatan rutin tahunan yang
diselenggarakan oleh sekolah kami. Karya wisata tahun ini mengambil objek objek karya
wisata di Pulau Bali karena di sana banyak terdapat tempat tempat wisata yang terkenal di
Indonesia bahkan di dunia internasional.

Kaitannya dengan karya wisata, kami ditugasi untuk membuat laporan dalam bentuk
Karya Tulis mengenai objekobjek wisata yang kami kunjungi di Pulau Bali, tepatnya di
kabupaten Gianyar. Tapi saya akan ceritakan 4 objek yang penulis kunjungi. Dalam menyusun
laporan tersebut, kami memerlukan data data yang akurat. Dalam pencarian datadata yang
akurat tersebut kami mencari dari berbagai sumber.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja obyek wisata di Pulau Bali berdasarkan kunjungan penulis?


2. Sejarah Pura yang dikunjungi oleh penulis?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk memaparkan tentang obyek wisata yang ada di Bali kepada para pembaca.
2. Menyebarkan informasi tentang sejarah Pura yang ada di Gianyar

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PURA PENATARAN SASIH DAN LEGENDA BULAN JATU

Beberapa arca peninggalan masa lalu yang masih bertahan dan diletakkan di pura. Selain
sebagai surga terakhir (the last paradise), Bali juga dikenal sebagai pulau seribu pura. Di sini, di
hampir setiap sudutnya, dapat ditemukan berbagai tempat pemujaan. Penduduk Bali mayoritas
beragama Hindu. Dan masyarakat berbasis Hindu memiliki pura sesuai dengan segmentasinya
masing-masing. Di setiap desa di Bali yang berbasis Hindu, minimal ada tiga pura yang disebut
Khayangan Tiga. Khayangan Tiga ini di-sungsung atau diusung oleh warga desa yang
bersangkutan. Selain itu, ada juga pura keluarga yang diusung oleh keluarga, mulai dari keluarga
kecil, keluarga besar, atau klan tertentu.

Sementara itu, ada juga pura yang disebut Khayangan Jagad. Pura ini merupakan tempat
pemujaan semua umat Hindu di Bali. Yang termasuk pura Khayangan Jagad adalah Pura Besakih
dan Pura Tanah Lot. Tapi, kali ini kita tidak akan membicarakan Pura Besakih yang merupakan
pura terbesar di Bali. Bukan juga soal Pura Tanah Lot yang terletak di pantai dan kerap hadir
dalam kartu-kartu pos dengan lembayungnya yang menawan. Tapi ini soal Pura Penataran Sasih.
Pura ini terletak di Desa Pejeng, Kabupaten Gianyar. Sekitar 40 kilometer dari Bandara Ngurah
Rai. Bagi para pelancong, desa ini mungkin kurang populer. Namun bagi penggemar sejarah dan
arkeolog, desa ini pasti tak asing. Di desa inilah ditemukan banyak sekali peninggalan bersejarah
dari abad kedelapan hingga empat belas. Pura Penataran Sasih berusia cukup tua ketimbang
peninggalan lain. Ia ada jauh sebelum Hindu lahir di Bali. Jika diterjemahkan dengan bebas,
Penataran Sasih dapat diartikan sebagai tanahnya bulan. Ia memang memiliki keterkaitan erat
dengan mitos yang berkembang bersama pura ini.

Di atas pelinggih/tugu inilah ditempatkan


nekara besar yang dianggap sebagai bulan. Dahulu
kala diceritakan bahwa ada dua bulan yang bersinar.
Di malam hari, sinar kedua bulan itu menyamai
terangnya matahari. Ini menyebabkan para
bromocorah terutama pencuri sulit melakukan
aksinya. Maka salah satu pencuri tersakti lalu terbang
ke bulan dan mengencingi salah satunya. Bulan yang
dikencingi itu kemudian redup dan lantas jatuh ke bumi. Di tempat jatuhnya bulan itu kemudian
didirikan pura yang bernama Penataran Sasih. Bulan jatuh itu dapat tersimpan rapi hingga kini
dan dapat disaksikan di pura tersebut.

Tapi benarkah itu sebuah bulan? Benda bulat bersinar yang berotasi mengelilingi bumi?
Benda itu dipercaya sebagai bulan walau pada dasarnya ia adalah sebuah nekara. Nekara besar
itu memiliki tinggi 186,5 sentimeter dengan diameter bidang pukul 160 sentimeter. Nekara
merupakan genderang perunggu peninggalan kebudayaan Dongson. Kebudayaan ini berkembang
di lembah Song Hong, Vietnam, dan kemudian menyebar ke wilayah Asia lainnya, termasuk
yang kini disebut Indonesia pada masa sebelum masehi.

Arkeolog menafsirkan bahwa nekara perunggu tersebut dibuat sekitar dua ribu tahun
yang lalu. Ini berarti sebelum Hindu masuk ke Bali. Hindu masuk ke Bali diperkirakan pada
abad ke-8. Made Jati, penjaga pura yang kerap mengantarkan para turis berkeliling pura,
mengatakan bahwa nekara tersebut merupakan peninggalan dari 2.200 tahun yang lalu. Ini juga
dituliskan dalam brosur penjelasan yang diberikan pada tamu ketika mereka memasuki areal
pura.

Pada nekara tersebut ditemukan hiasan kodok muka. Dalam budaya pertanian, kodok
merupakan simbol air. Ini dikaitkan dengan fungsi nekara sebagai sarana pemujaan untuk
memohon hujan. Nekara ditabuh dan suaranya menyerupai petir yang kemudian dapat
menimbulkan hujan. Namun, saat ini nekara tersebut sudah tidak difungsikan lagi. Ia hanya
menempati satu bangunan tertentu. Beberapa bagiannya sudah nampak bopeng. Ketika pura
tersebut menyelenggarakan odalan atau upacara rutin yang mengikuti siklus kalender bulan atau
kalender Bali yang berulang setiap tujuh bulan, maka kita akan melihat banyak sesajen yang
diletakkan di depan bangunan tersebut. Mereka tidak hendak memuja nekara tersebut, tetapi
menggunakannya sebagai simbol. Agama Hindu memang sangat kaya akan simbol. Simbol-
simbol seperti arca digunakan untuk membantu orang berkonsentrasi dan membayangkan seperti
apa Tuhan mereka. Karenanya, arca dewa dewi dibuat sangat rupawan, sementara arca raksasa
dibuat menyeramkan.

Cukup banyak arca dan prasasti yang diletakkan di beberapa bangunan Pura Penataran
Sasih. Arca-arca ini berasal dari periode yang beragam. Setelah kebudayaan pra Hindu
berkembang di desa ini, kebudayaan Hindu kemudian menyusul dengan dinasti Warmadewa
yang juga menjadikan desa ini sebagai pusat kerajaan pada abad kedelapan sampai empat belas.
Memasuki kawasan pura, kita akan tiba di areal yang disebut jaba pura atau areal luar pura.
Secara bebas, jaba pura dapat diartikan sebagai halaman sebelum masuk ke dalam rumah. Di
sebelah tenggara ada fragmen atau bekas bangunan yang memuat prasasti beraksara kediri
kuadrat (segi empat) yang menyebutkan Parad Sang Hyang Dharma yang artinya bangunan suci.
Di jeroan pura atau dalam atau areal utama pura sebelah selatan, kita akan menemukan prasasti
dari batu. Prasasti tersebut berkarakter huruf dari abad kesepuluh. Di bagian dalam ini pula
terdapat beberapa bangunan yang berisi arca-arca dan prasasti kuno. Namun, beberapa bangunan
lagi nampak kosong. Bangunan kosong inilah yang pada saat odalan akan menjadi penuh sesak
dengan simbol-simbol dewa-dewi yang datang dari seluruh penjuru Pejeng. Belum lagi gebogan
atau sesajen berupa buah-buahan yang ditata apik lalu diletakkan berderet di sepanjang bangunan
tersebut.

Pura Penataran Sasih tampak dari depan. Inilah salah satu peninggalan sejarah yang
masih eksis hingga kini. Dalam satu pekarangan tidak hanya terdapat Pura Penataran Sasih
sebagai pura induk tapi juga beberapa pura lainnya, seperti Pura Taman Sari, Pura Ratu Pasek,
dan Pura Bale Agung. Kedatangan Hindu sendiri tidak lantas menihilkan kebudayaan yang sudah
berkembang di masyarakat. Ia bersinkretis. Selain menempatkan nekara dalam posisi terhormat,
dalam waktu tertentu pada hari raya besar di pura ini, dipentaskan pula Tari Sanghyang Jaran. Ini
merupakan tari sakral yang hanya dipertunjukkan pada saat upacara. Dalam keadaan kerasukan
roh kuda (jaran), penari menari dengan mata terpejam di atas bara api yang terhampar di areal
tersebut. Ia menari diiringi dengan gending sanghyang. Tari Sanghyang merupakan peninggalan
pra Hindu. Ini merupakan media berkomunikasi antara manusia dengan alam gaib. Ritual ini
bertujuan untuk penolak bala. Di beberapa tempat, tarian ini baru digelar ketika terjadi wabah.

Menurut Made Jati, sudah beberapa tahun terakhir ini tari sanghyang tak pernah dipentaskan. Hal
ini dikarenakan memang tidak ada yang kerauhan (kerasukan). Ini bisa jadi pertanda baik. Sebab,
tidak ada sesuatu yang perlu disampaikan dari dunia sana atau wabah yang perlu
ditanggulangi. Pura Penataran Sasih hanya satu dari sekian banyak koleksi arkeologi di
sepanjang daerah aliran sungai Pakerisan. Kawasan ini, per April 2010, ditetapkan sebagai
warisan budaya oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO) bersama dua daerah lainnya di Bali, Jati Luwih, dan Taman Ayun.

2.2 TAMPAK SIRING

Tampak Siring, nama sebuah kecamatan di


kabupaten Gianyar, luas dari wilayah kecamatan
Tampak Siring, sebesar 42,63 kilometer persegi.
Jika anda berangkat dari airport Ngurah Rai
Denpasar, maka anda perlu waktu satu jam lima
belas menit, untuk ke tempat wisata di Ubud ini
dengan mobil. Tampak Siring lebih dikenal
dikalangan wisatawan sebagai sebuah pura yang bernama Tirta Empul.
Tirta Empul adalah nama sebuah pura yang terletak di kecamatan Tampak Siring.
Pura Tirta Empul banyak dikunjungi para wisatawan, baik dari mancanegara
maupun wisatawan domestik. Objek wisata Tirta Empul, merupakan salah
satu, tempat liburan di Bali yang wajib dikunjungi. Di pura Tirta Empul, terdapat
mata air dan juga digunakan oleh masyarakat pemeluk agama Hindu, untuk
permandian dan memohon tirta suci.
Untuk jalur pariwisata di Bali, Tampak Siring digunakan sebagai jalur persinggahan
wisatawan yang telah berkunjung ke daerah objek wisata Ubud, seperti objek
wisata sawah terasering Tegalalang, atau wisatawan yang telah datang dari tempat
wisata Kintamani, menuju ke kawasan tempat wisata di Bali selatan.

Sejarah Tampak Siring Pura Tirta Empul

Nama Tampak Siring berasal dari kata Tampak yang berarti telapak dan Siring
berarti miring. Usana Bali salah satu lontar yang menceritakan tentang sejarah
Tampak Siring Bali. Telapak yang ada dalam nama tempat wisata ini, diceritakan
sebagai telapak dari raja yang bernama Mayadenawa.
Mayadenawa diceritakan seorang raja sakti, tapi memiliki sifat jahat dan
beraggapan dirinya adalah seorang dewa. Karena bersifat jahat, maka Dewa
Indra mengirim pasukan beliau, untuk menghancurkan Mayadenawa. Mayadenawa
kalah perang melawan Dewa Indra dan Mayadenawa lari kehutan. Untuk
menghilangkan jejak, Mayadenawa berjalan dengan memiringkan kakinya ke
tengah hutan.

Walaupun Mayadenawa berusaha menghilangkan jejak, tapi usahanya melarikan


diri gagal. Sebelum berhasil ditangkap oleh pasukan dewa Indra, Mayadenawa
menciptakan mata air beracun. Dengan mata air beracun, Mayadenawa berhasil
membunuh sebagian dari pasukan dewa Indra, yang mengejar Mayadenawa.

Untuk mengatasi mata air beracun dari Mayadenawa, Dewa Indra menciptakan
mata air penawar racun. Mata air ini yang bernama Tirta Empul (air suci), oleh
karena itu Pura yang memiliki mata air ini disebut dengan nama pura Tirta Empul.
Hutan yang digunakan untuk Mayadenawa melarikan diri, dengan posisi kakinya
dimiringkan inilah yang sekarang menjadi kawasan wisata Tampak Siring. Lihat
disini, lokasi dari Pura Tirta Empul di Google Map.

Istana Tampak Siring Tempat Wisata Di Bali

Selain pura, di tempat wisata ini terdapat istana kepresidenan yang didirikan oleh
presiden pertama Indonesia, IR Soekarno sebagai tempat peristirahatan beliau saat
berkunjung ke Bali. Istana Tampak Siring di bangun dari tahun 1957 1960.
Pembangunan istana kepresidenan Tampaksiring dilakukan secara perlahan-lahan
dan mengalami tahapan. Artiktek yang mendesain istana kepresidenan adalah RM
Soedarsono. Bangunan awal yang di bangun pada tahun 1957 adalah wisma
Merdeka dan wisma Yudistira.

Istana Tampak Siring mengalami penambahan bangunan pada tahun 2003, yang
diperuntukan untuk KTT ASEAN Summit XIV. Penambahan bangunan pada Istana
Tampak Siring, berupa bangunan untuk sarana konfrensi dan resepsi tamu negara.
Balai Wantilan yang ada di Istana Tampak Siring, juga mengalami renovasi untuk
acara pertujukan kesenian tamu negara.

Tujuan dari pembangunan istana kepresidenan ini, sebagai tempat Presiden,


keluarga presiden dan tamu negara beristirahat saat berkunjung ke pulau Bali.

Tampak Siring Ubud, tempat wisata di Bali favorit wisatawan. Lokasi dari pura Tirta
Empul (permandian air suci) dan Istana Kepresidenan Republik Indonesia.

Candi Gunung Kawi atau Candi Tebing Kawi adalah situs Purbakala yang dilindungi
di Bali. Terletak di Sungai Pakerisan, Dusun Penangka, Desa Sebatu,
Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, Indonesia. candi ini sangat
unik biasanya candi berupa batuan utuh yang terbuat dari bata merah atau batu
gunung, candi ini tidak seperti itu melainkan Pahatan di dinding tebingbatu padas
ditepi sungai. Nama Gunung Kawi itu sendiri konon berasal dari kata Gunung dan
Kawi. Gunung berarti Gunung atau Pegunungan dan Kawi Berarti Pahatan Jadi Candi
Gunung Kawi berarti Candi yang dipahat di atas gunung. Candi ini terletak sekitar
40 kilometer dari Kota Denpasar dengan perjalanan sekitar 1 jam menggunakan
mobil atau motor. Sementara dari Kota Gianyar berjarak sekitar 21 kilometer atau
sekitar setengah jam perjalanan. Apabila tidak membawa kendaraan pribadi, dari
Denpasar maupun Gianyar wisatawan dapat memanfaatkan jasa taksi, bus
pariwisata, maupun jasa agen perjalanan.

Candi ini dibangun kira-kira abad ke-11 Masehi pada masa pemerintahan Raja
Udayana hingga pemerintahan Anak Wungsu. Raja Udayana merupakan salah satu
raja terkenal di Bali yang berasal dari Dinasti Marwadewa. Melalui pernikahannya
dengan seorang puteri dari Jawa yang bernama Gunapriya Dharma Patni, ia
memiliki anak Erlangga dan Anak Wungsu. Setelah dewasa, Erlangga kemudian
menjadi raja di Jawa Timur, sementara Anak Wungsu memerintah di Bali. Pada masa
inilah diperkirakan candi tebing kawi dibangun. Salah satu bukti arkeologis untuk
menguatkan asumsi tersebut adalah tulisan di atas pintu-semu yang menggunakan
huruf Kediri yang berbunyi haji lumah ing jalu yang bermakna sang raja yang
(secara simbolis) disemayamkan di Jalu. Raja yang dimaksud adalah Raja Udayana.
Sedangkan kata jalu yang merupakan sebutan untuk taji (senjata) pada ayam
jantan, dapat diasosiasikan juga sebagai keris atau pakerisan. Nama Sungai
Pakerisan atau Tukad Pakerisan inilah yang kini dikenal sebagai nama sungai yang
membelah dua tebing Candi Kawi tersebut. Candi ini ditemukan kembali
oleh peneliti Belanda sekitar tahun 1920.

Tukad Pakerisan dan Tukad Petanu adalah dua buah sungai yang mengalir di
sebelah timur dan barat Desa Buruan, yang sejak dahulukala mendapatkan sumber
air yang tidak ada hentinya dari kaki pegunungan Kintamani. Kedua sungai ini
menjadi terkenal di kalangan para ahli arkeologi dan sejarah Bali Kuno, bahkan juga
kalangan para ahli kebudayaan Bali, karena kawasan di antara kedua sungai ini
yang membentang dari utara desa Tampaksiring hinga ke pantai selatan Gianyar,
terbukti memiliki kandungan bukti-bukti kelahiran awal peradaban Bali yang sangat
signifikan. Kawasan ini dapat juga disebut sebagai kawasan budaya, terutama
kerena mempunyai populasi peninggalan arkeologi yang amat padat dan beragam,
baik secara kunatitatif maupun kualitatif, antara lain tersebar di desa-desa
Panempahan, Manukaya (Tampaksiring). Pejeng, Bedulu dan Kutri (Buruan), hingga
desa-desa pesisir pantai selatan, seperti desa Lebih, Keramas, Saba, dan Tewel.
Oleh karena itu, kedua sungai tersebut di atas seringkali disejajarkan dengan sungai
Gangga dan Jamuna di India, karena terbukti merupakan pusat kebudayaan India
kuno.
Pada umumnya hampir semua peninggalan arkelogi yang terdapat di kawasan
tersebut di atas sampai sekarang masih berfungsi sakral (living sacred monuments)
bagi masyarakat setempat. Sebagai contoh disebutkan, ialah Pura Pegulingan, Pura
Tirtha Empul, Prasada Mangening, Candi Tebing Gunung Kawi (Tampaksiring), Pura
Goa Gajah, Pura Penataran Sasih, Pura Pusering Jagat, Pura Kebo Edan (Pejeng),
Pura Samuan Tiga (Bedulu), Pura Bukit Dharma Kutri dan lain-lainnya. Oleh karena
itu, kawasan di antara Tukad Pakerisan dan Petanu seringkali disebut juga sebagai
kawasan suci atau kawasan sakral (sacred topography) yang penting dalam
kehidupan beragama masyarakat Bali sejak dahulukala hingga sekarang. Kenyataan
semacam ini, telah ditunjukkan oleh para ahli arkeologi yang melakukan penelitian
sejak permulaan abad 20 yang lalu. Berbagai ragam peninggalan arkeologi yang
dapat disaksikan dewasa ini, adalah warisan budaya yang merupakan saksi sejarah
masa lalu yang sebenarnya dapat menjadi penutur perkembangan dinamika dan
kreativitas budaya nenek moyang yang berlangsung secara bertahap terutama seni
kerajinan, seperti seni pahat dan lain-lainnya.

Pura Bukit Dharma terletak di Banjar (Dusun) Kutri, Desa Buruan, Kecamatan
Blahbatuh, Kabupaten Giahyar, Propinsi Bali. Atau situs ini terletak di antara
koordinat 80 30 Bujur Timur dan 80 30-80 40 Lintang Selatan dengan ketinggian
193 meter dari permukaan air laut. Banjar Kutri adalah salah satu banjar yang
terletak di ujung utara desa Buruan. Sebenarna situs Pura Bukit Dharma Kutri terdiri
atas empat buah pura, yaitu Pura Push, Pura Ulun Carik, Pura Bukit Dharma, dan
Pura Kdarman. Pura Puseh Desa terletak pada halaman ke dua (jabe tengah), Pura
Ulun Carik dan Pura Bukit Dharma pelatarannya lebih tinggi dari Pura Ulun Carik dan
Pura Kedarman terletak pada pelataran yang paling tinggi, karena terletak di atas
bukit. Pura Kdarman dapat dicapai setelah melalui anak tangga sebanyak 102
buah dan tanjakannya cukup tajam. Pura Kedarman terletak pada ketinggian 193
mater di atas permukaan laut.

Komplek Pura Bukit Dharma mudah dicapai karena terletak di pinggir jalan raya
Gianyar Denpasar atau 4 kilometer di sebelah barat Kota Gianyar dan 24 kilometer
dari Denpasar. Di depan pura terpancang sebuah papan nama yang berbunyi
Kahyangan Jagat Pura Durga Kutri. Sebenarnya yang dimaksud dengan nama itu
adalah untuk menunjukkan kompleks Pura Bukit Dharma Kutri. Hal itu dapat
dimaklumi karena pada salah satu pura itu (Pura Kdarman) menyimpan sebuah
arca Durga Mahissuramardhini.

Bukit tempat didirikan komplek Pura Bukit Dharma ditumbuhi beberapa jenis pohon
kayu berdaun rimbun seperti pohon beringin, kepih, dan lain-lainnya, sehingga bukit
itu terhindari dari erosi.

Kompleks Pura Bukit Dharma menyimpan peninggalan arca-arca antara lain Durga
Mahissuramardini, Amoghapaa, Ganesa, arca Bhatara, dan arca Buddha. Menurut
Stutterheim arca-arca yang tersimpan di kompleks Pura Bukit Dharma dimasukkan
dalam arca-arca kelompok Kutri yang diperkirakan berasal dari abad X-XIII M.
(Stutterheim, 1929 : 116-117). Bangunan yang tergolong kuna di komplek Pura
Bukit Dharma tidak ada lagi berdiri karena bangunan yang ada sekarang semuanya
tergolong baru. Tetapi terdapat petunjuk rupa-rupanya pada jaman yang lampau di
tempat itu pernah berdiri bangunan candi, karena dalam Prasasti Peguyangan
terdapat keterangan yang menyebutkan sanghyang candi i burwan (Callenfels,
1926 : 19).

Selain prasasti Peguyangan masih terdapat prasasti lainnya untuk mengungkap


situs Kutri (Buruan), yaitu prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Anak Wngsu
yang memerintah di Bali tahun Saka 971-999, prasasti yang dikeluarkan oleh Raja
Jayapangus yang pernah memerintah di Bali tahun Saka 1099-1103 dan prasasti
yang dikeluarkan oleh Raja Patih kbo Parud yang pernah memerintah di Bali tahun
Saka 1218-1222 (Goris, 1948 : 9-14).

Prasasti lain yang ada hubungannya dengan raja suami istri Gunapriya Dharmapatni
dan Udayana (ayah-bunda Marakata dan Anak Wungsu), yaitu Prasasti Tengkulak A.
Prasasti itu menyebutkan pada mulanya raja suami istri dicandikan bersama-sama
di Bau Wka (Ginarsa 1961 : 3-17).

Prasasti dapat memberikan data kesejarahan dan mengidentifikasikan seni arca.


Demikianlah halnya dengan ungkapan bhatari lumah i burwan dipergunakan untuk
mengidentifikasikan arca Durga Mahisasuramardhini yang di simpan di Pura Bukit
Dharma. Dari prasasti dapat pula diketahui bahwa di Pura Bukit Dharma Kutri
(Burwan) pernah sebagai tempat kediaman pendeta agama Buddha.

Kata Darma (dharma bahasa Sansekerta) yang terkandung pada nama Pura (Bukit
Darma dan Kdarman) memberikan petunjuk, bahwa Pura Bukit Dharma sebagai
tempat pemujaan arwah (roh) seorang tokoh penting pada jamannya. Selain arca
itu di sekitar Pura Kdarman ditemukan batu-batu candi yang salah satu di
antaranya berbentuk ambang pintu. Di Pura Kdarman yang terletak di puncak
bukit itu mungkin dahulu didirikan sebuah candi yang dalam prasasti Peguyangan
disebut sanghyang candi i burwan (Soekmono, 1974 : 225; Callenfels, 1926 : 19).

1.2 Struktur Pura

Pura adalah sebuah tempat suci, sehingga bentuk dan strukturnya didasarkan atas
konsep filosofis sebagai landasannya. Pada intinya, landasan filosofisnya
berdasarkan kosmologis Hindu yang memandang, bahwa dunia ini terdiri atas
susunan yang berlapis-lapisdisebut loka dan tala, sebagai replika dari makro-
kosmos atau dunia. Pura di bagi menjadi beberapa halaman (mandala) sebagai
simbol loka dan tal. Seperti pura dengan dua halaman(mandala), yaitu jaroan
(hulu), dan jaba (hilir) sebagai simbol dari alam atas (swah), dan alam bawah
(bhur). Pura dengan tiga halaman (mandala) adalah simbol tri loka, yaitu bhur loka,
bwah loka dan swah loka. Di samping itu, halaman (mandala) dilengkapi dengan
bangunan, pelinggih, bangunan pelengkap, dan bangunan
penunjang. Pemisahan masing-masing halaman (mandala) ditandai dengan
tembok penyengker, candi bentar, dan kori agung sebagai penghubungnya.

Demikian halnya dengan Pura Bukit Darma, tidak secara tegas menunjukkan
konsep tri loka, tetapi merupakan kompleks pura dengan halaman-
halaman (mandala) sebagai berikut.

1. Mandala Jaba

Mandala ini adalah sisi terluar, dan di mandala terdapat beberapa pelinggih dan
bangunan pelengkap sebagai berikut :

Manik Tirtha, yaitu merupakan pelinggih yang terbuat dari bambu dan terdapat
beberapaarca yang ditempatkan di bawah pohon beringin. Pelinggih ini merupakan
tempat meletakkan sesajen pada saat piodalan dan harihari seperti purnama, tilem
dan lain-lain.

Beji, di tempat ini terdapat pancuran dan airnya ditampung seperti kolam yang
berada di seb timur pohon beringin. Air pancuran di Beji ini diperguna-kan untuk
kepentingan upacara, seperti melasti, ngingsah beras, nunas toya ning, dan lain-
lain untuk masyarakat Blahbatuh dan sekitarnya.

Bale Gong, adalah untuk melakukan kegiatan terutama bagi sekhe gong dalam
kaitannya den upacara di Pura Bukit Darma.

Bale Banjar, bale ini adalah tempat untuk melakukan aktifitas seperti pertemuan
(sangkep) oleh Krama Banjar Kutri.

Di sebelah barat mandala jaba (halaman luar) terdapat jalan raya dari kota Gianyar
ke Blahbatuh, dan di sebelah barat jalan raya ini terdapat perumahan penduduk
dari utara (Semabaung) sampai Desa Burwan dan seterusnya. Di belakang rumah-
rumahsebelah barat jalan raya ditemukan susunan batu kali mengarah utara
selatan, yang ke arah utara sampai di Pura Jeron Dewa sedangkan yang ke selatan
sampai batas Banjar Kutri dengan Desa Buruan. Kemungkinan pada masa lalu jalan
yang terbuat dari batu itu ada kaitanny dengan Pura Bukit Darma,
selain itu terdapat juga sumber mata air yang dialirkan ke sebelah utara halaman
luar (pohon beringin) dan ke Puri Blahbatuh dengan menggunakan
pipa untuk kebutuhan air sehari-hari.

2. Mandala Jaba Tengah

Untuk mencapai mandala ini, dengan melewati candi bentar melalui beberapa anak
tangga dan sampailah di mandala jaba tengah. Di mandala ini terdapat bale
kulkul yang terletak di ujung utara tembok, dan setelah melewati candi bentar yang
menghadap ke arah selatan terdapat Pura Puseh dan Pura Desa (Bale Agung) Di
halaman pura initerdapat pelinggih dan bangunan lainnya sebagai berikut :
1. Penetegan

2. Piyasan

3. Bale Agung

4. Taksu

5. Pelinggih Naga Basuki

6. Pengaruman

7. Gedong Sinapa

8. Gedong Gunung Lebah

9. Padmasana

10. Gedong Siwa

11. Pelinggih Gunung Agung

12. Pelinggih Arca

13. pelinggih Arca

14. Sedahan Ngerurah

15. Panggungan

16. Apit Lawang

17. Bale Gong

3. Mandala Jeroan

Sebelum masuk mandala Jeroan melalui jalan di depan candi bentar Pura Puseh dan
Pura Desa (Bale Agung) ke arah timur memasuki Kori Agung dan dikanan kirinya
terdapat Apit Lawang dengan beberapa anak tangga sampailah di mandala
Jeroan. Mandala ini menurut informasi I Wayan Rupa juga disebut Limas Duwur yang
terdiri atas beberapa halaman (teras) dengan pelinggih dan bangunan lainnya
sebagaai berikut :

Halaman Pertama : di halaman ini terdapat beberapa pelinggih dan bangunan


sebagai berikut.

1. Bale Pesanekan

2. Bale Penyucian

3. Bale Penetegan
4. Perantenan

Di halaman ini juga terdapat Pura Ulun Carik, untuk memasuki pura ini melewati
candi bentar dan Apit Lawang. Di pura ini terdapat beberapa buah pelinggih dan
bangunan lainnya sebagai berikut.

1. Pelinggih Jero Sedahan Tangkeb Langit

2. Pelinggih Bhatara Sri

3. Pelinggih Limas Catu

4. Pelinggih Gunung Lebah

5. Bale Pesanekan

6. Piyasan.

Halaman Kedua : untuk mencapai halaman ini melewati beberapa anak tangga
tetapi tidak terdapat Kori Agung maupun candi bentar. Di halaman ini terdapat
pelinggih dan bangunan sebagai berikut.

1. Piyasan

2. Gedong Sari

3. Gedong Sinapa

4. Gedong Gunung Lebah

5. Gedong Siwa

6. Panggung Dedari

7. Pesaren (Pelinggih Arca)

8. Gedong Doho

9. Bale Peselang

10. Bale Gong

11. Panggungan
Halaman Tiga : halaman ini terletak di
atas bukit yang dibatasi dengan penyengker yang terbuat dari padasdengan candi
bentar menghadap ke arah barat. Untuk mencapai halaman ini melalui anak
tangga yang jumlahnya 102 buah dan cukup melelahkan. Di halaman ini terdapat
sebuah pelinggih tempat penyimpanarca Durga Mahisasuramardini, dan pelinggih
ini dipugar tahun1964 oleh Lembaga Peninggalan Purbakala Nasional (LPPN)
diBedulu, Blahbatuh Gianyar. Pelinggih tempat arca tersebut sekarang direnovasi
dengan material batu hitam bantuan dari Gubernur Bali.

Di sebelah selatan bale gong, di halaman Jeroan terdapat wantilan, untuk ke tempat
tersebut, yaitu melalui candi bentar ke arah selatan dari halaman jeroan atau dapat
di capai melalui halaman tengah (Jaba Tengah). Wantilan ini dipergunakan untuk
pementasan kesenian pada saat upacara piodalan di Pura Bukit Darma.

1.3 Riwayat Penelitian

Pura Bukit Darma, yang terletak di Banjar Kutri, Desa Buruan, Kecamatan
Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, menyimpan tinggalan arkeologis terutama arca-arca
kuno, seperti arca Durga Mahisasuramardini, Amoghapasa, Ganesa, arca Bhatara,
arca Buddha dan lain-lain. Karena banyaknya arca-arca yang tersimpan di pura itu,
para ahli arkeologi maupun sejarah melakukan penelitian terhadap arca-arca itu.
Penelitian terhadap Pura Bukit Darma Kutri sudah dilakukaan sebelum pecahnya
Perang Dunia II. Hasil penelitian itu telah dimuat dalam Oudheidkundig Verslag,
tahun 1927 halaman 147-148 dengan menyebut beberapa pura. Adapun pura-
pura di kompleks Pura Bukit Darma Kutri, antara lain : Pura Ulun Carik (Inv. No. 111),
Pura Puseh (Inv. No 112), Pura Bukit Darma (Inv. No. 113), Pura Kedarman (Inv. No.
114) dan Pura Dalem (Inv. No. 115). Berdasarkan hasil penelitian yang telah
disebutkan dalam Oudheidkundig Verslag itu dapat dikatakan, bahwa penelitian
tersebut menitik beratkan pada inventarisasi.

Setelah merintis penelitian di Pura Bukit Darma Kutri, seperti tersebut


dalam Oudheikundig Verslag, selanjutnya menyusun buku Ouddheden Van
Bali terbit 1929. Di dalam buku ini telah memuat analisis terhadap beberapa arca di
Pura Bukit Darma Kutri. Arca-arca yang ditemukan di Pura Bukit Darma Kutri oleh
Stutterheim di kelompokkan pada periode abad X XIII Masehi (Periode Bali Kuno).
Arca-arca kuno lainnya yang di kelompokkan dalam periode abad X XIII Masehi,
adalah kelompok Gunung Penulisan, Goa Gajah dan Gunung Kawi (Stutterheim,
1929 : 116 117). Analisis yang penting dilakukan oleh Stutterheim adalah
membuat suatu kesimpulan, bahwa arca Durga Mahisasuramardiniadalah arca
perwujudan dari Mahendradatta Ibu Elangga. Sedangkan Amoghapasa masih
diragukan identitasnya, apakah arca perwujudan Udayana atau penggantinya
(Stutterheim, 1929).

Dalam laporan tahunan, Dinas Purbakala Indonesia tahun 1951-1952 disebutkan,


tentang pekerjaan perbaikan arca Durga di Pura Kedarman dengan melakukan
beberapa bagian yang dapat dipasang kembali dengan mempergunakan semen
sebagai perekat. (Dinas Purbakala, 1958 : 8).

Bangunan yang tergolong kuno dikompleks Pura Bukit Darma tidak ada lagi berdiri,
tetapiada petunjuk bahwa di lokasi itu pernah berdiri bangunan (candi), dengan
adanya temuan berupa batu ambang pintu suatu bangunan (candi) dan kompenen
bangunan lainnya. Hal ini diperkuat lagi, dengan adanya keterangan dalam prasasti
Peguyangan, yang menyebutkan Sanghyang candi I burwan (Calleenfels, 1926 : 19).

Selanjutnya pada tahun 1982, penelitian dilakukan terhadap arca-arca kuno dan
tinggalan lainnya di Pura Bukit Darma oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Jakarta bekerjasama dengan Balai Arkeologi Denpasar. Penelitian yang dilakukan,
terfokus pada inventarisasi terhadap arca-arca kuno yang tersimpan di pura-
pura Desa Burwan dansekitarnya. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut dapat diperkira-kan, bahwa arca-arca yang tersimpan di Pura
Bukit Darma Kutri berasal dari abad X- XIII Masehi.

Pada tahun1986, Balai Arkeologi Denpasar melakukan ekskavasi terhadap situsPura


Bukit Darma Kutri dengan tujuan, untuk mengumpulkan data tentang arsitektur,
karenabanyak di sekitar pura itu ditemukan komponen bangunan. Berdasarkan
temuan itu, dilakukan beberapa tahap ekskavasi secara farsial di sekitar
kompleks pura tersebut.Dengan adanya struktur bangunan yang ditemukan seperti
tersebut di atas, maka untuk sementara dapat perkirakan bahwa di kompleks Pura
Bukit Darma Kutri pernah berdiribangunan (kompleks percandian) dengan batas-
batas, yaitu di sebelah selatan di belakang rumah penduduk, dan batas
utara sampai pada kali yang mengalir di sebelah utara rumah penduduk.

1.4 Asal Usul Nama

Mengenai nama Pura Bukit Darma Kutri pada kesempatan ini perlu dikaji,
apakahnama itu muncul sejak berdirinya atau pada masa belakangan, karena
pemberian nama pada suatu tempat menurut tradisi masyarakat, biasanya
dihubungkan dengan suatu peristiwa tertentu atau hal lain yang terkait dengan
tempat itu. Untuk mencari asal usul nama ini,kiranya sangat sulit karena
terbatasnya data, dan pada kesempatan ini akan dicoba mengkajiberdasarkan data
prasasti yang kemungkinan ada kaitannya dengan nama pura tersebut.
Sebelum membicarakan asal usul nama Pura Bukit Darma Kutri, ada baiknya
terlebih dahulu membahas data yang telah diuraikan di depan. Berdasarkan data
tersebutdapat diketahui, bahwa ayah bunda raja Anak Wungsu masing-
masing lumah (dicandikan) di Burwan, dan lumah di Banu Wka. Kata bhatari dalam
prasasti tidak lain, adalah Gunaprya Dharmapatni (sang ratu
luhur), dan bhatara, adalah Dharmodayana Waradewa (sang ratu maruhani) (Goris,
1954 : 301). Menurut Goris, letak candi dan arca Gunaprya Dharmapatniadalah di
Kutri (Burwan) dan arcanya berwujud Durga Mahisasuramardini yang tersimpan di
Pura Kedarman (Goris, 1957 : 20). Selain arca di sekitar
Pura Kedarman ditemukan batu-batu candi dan ada di antaranya berbentuk batu
ambang pintu. Di Pura Kedarman yang terletak dipuncak bukit itu, mungkin pada
masa lalu pernah berdiri sebuah candi yang disebutkan dalam prasasti
Peguyangan, yaitu sang hyang candi i burwan (Soekmono, 1974 : 225)

Berdasarkan keterangan di atas, dapat diperkirakan bahwa sang hyang candi i


burwan, adalah bangunan candi untuk memuliakan arwah (roh) Gunaprya
Dharmapatni yang dalam wujud pisik diwujudkan sebagai Durga Mahisasura-
mardini. Pura Kedarman sebagai identifikasi dari sang hyang candi i
burwan mempunyai bukti-bukti, seperti arca Durga Mahisasuramardini, batu
ambang pintu, batu-batu candi, serta letaknya di atas bukit yang dianggap sebagai
alam arwah atau dewa. Arca Durga Mahisasuramardini di Pura Kedarmanberukuran
besar (237 cm) dan dapat dikatakan insitu dan dapat dipakai untuk mengidentifikasi
bhatari lumah i burwan (sang ratu luhur = Gunaprya Dharmapatni) sebagai seorang
raja putri keturunan Jawa pada masa itu. Data lain yang dapat dipergunakan untuk
menguatkan, bahwa Pura Kedarman sebagai sang hyang candi i burwan adalah
unsur kata darma pada kata Kedarman. Kata darma (dharma bahasa Sansekerta) di
sampingmempunyai arti yang lain, dapat juga berarti candi pemujaan,
pemakaman (Mardiwarsito, 1981 : 171). Dugaan ini diperkuat oleh data
prasasti yang menyebutkan bahwa raja Jayapangus dicandikan di Dharmahanar
(Pura Pengukur-ukuran) kemudian disebut bhatara ring dharmahanar (Callenfels,
1926 : 47). Kata darma (dharma) sampai sekarang masihdipakai untuk
mengidentifikasi bangunan pemujaan untuk arwah nenek moyang (kawitan).
Bangunan itu disebut pedarman yang banyak ditemukan di kompleks Pura Besakih.

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa bagian prasasti yang menyebutkan thani
karaman i burwan. Menurut Goris bahwa di sekitar sang hyang candi i
burwan terdapat pemukiman penduduk yang bernama karaman (desa) burwan.
Kemungkinan kata thani di depan kata karaman i burwan itu dapat ditafsirkan untuk
menunjukkan wilayah burwan pada masa lalu, mengingat kata thani berarti
wilayah desa (Goris, 1954b : 319). Selain itu, perlu diketahui
tentang mpungkwing kutrihanar (kutrihanar) dan mpungwing burwan karena kedua
nama tempat itu sebagai tempat kediaman pendeta
Buddha. Perkataan kutrihanar terdiri ataskuti dan hanar ; kuti (kuti bahasa
Sansekerta) berarti biara, asrama, pertapaan. Sedangkan kata hanar berarti
baru, kutihanar, berarti asrama baru. Kutihanar, adalah nama tempat kebudaan
di Bali (Mardiwarsito, 1981 : 301). Kata kutihanar selain tersebut dalam prasasti
Tengkulak A., juga disebutkan dalam prasasti Buwahan E, dan Campaga C
(Callenfels, 1926 : 45). Dalam prasasti Sukawana D, dan Pengotan
E terbaca kurtihanar dan juga menyebutkan mpungkwing burwan.
Kata kutihanar yang tersebut dalam prasasti Tengkulak Asama dalam
prasasti Buwahan E, dan Campaga C, kemudian mengalami korespondesi bunyi
pada prasasti Sukawana D, dan Pengotan E, lalu menjadi kutrihanar. Lambat
laun terjadipemotongan kata sehingga kata kutrihanar hanya
diucapkan kutri saja, dan menjadi namaBanjar Kutri tempat kompleks Pura Bukit
Darma sekarang.

Berdasarkan uraian di atas menurut perkiraan bahwa nama Pura Bukit


Darma Kutrimuncul sejak pura itu dibangun atau di dirikan, kemungkinan nama itu
diambil dari keberadaan (tempat di atas bukit) di mana pura itu berada, kemudian
dikaitkan dengan fungsi (sebagai pedarman). Kemudian suatu bangunan
suci sebagai tempat pemujaan sudah tentuada masyarakat (wilayah desa)
yang bertanggung jawab atas kelangsungan bengunan sucitersebut. Dengan
demikian nama Pura Bukit Darma Kutri sudah muncul sejak pura itu dibangun.

1.5 Tinggalan Arkeologi

Di situs Pura Bukit Dharma terdapat empat buah pura, yaitu Pura Push, Pura Bukit
Dharma, Pura Ulun Carik, dan Pura Kdarman. Masing-masing pura itu berada pada
teras dari sebuah bukit, yakni Pura Push terletak pada teras pertama, pura Ulun
Carik terletak pada teras kedua, pura Bukit Dharma terletak pada teras ketiga, dan
Pura Kdarman terletak di teras keempat atau di puncak bukit karang. Untuk
mencapai Pura Kdarman yang terletak di atas bukit itu melalui anak tangga
(undak-undak) yang ada pada masing-masing teras yang paling banyak jumlah
anak tangga nya, yaitu sebanyak 102 buah.

Dari pelinggih-pelinggih yang ada di pura tersebut tidak semuanya merupakan


tempat penyimanan arca, misalnya :

- Pura Push, pelinggih yang menjadi tempat penyimpanan arca, adalah satu
buah pelinggih, oleh masyarakat disebut Gedong, Tungkup.

- Pura Bukit Dharma, pelinggih yang menjadi tempat penyimpanan arca adalah dua
buah, yaitu pelinggih Pesaren dan pelinggih Doko.

- Pura Kedarman, yang letaknya di atas bukit karang dengan luas 13 x 10,24 meter
terdapat sebuah pelinggih berukuran 5 x 5 meter. Pelinggih ini merupakan tempat
penyimpanan arca Durga Mahisasuramardhini dan beberapa arca lainnya. Pelinggih
ini selesai dipugar oleh Dinas Purbakala Bali tanggal 28 Maret 1962.
- Penelitian terhadap situs Kutri (Pura Buklit Dharma) sudah dilakukan sebelum
pecahnya perang Dunia II. Hasil penelitian itu sudah dimuat dalam
buku Oudheidkundig verslag dan menyebutkan beberapa pura yang ada di Kutri,
antara lain Pura Ulun Carik, Pura Push, Pura Bukit Dharma, Pura Kdarman.
Penelitian yang dilakukan itu bertitik beratkan pada inventarisasi (Stutterheim, 1927
: 147-148). Tetapi meskipun belum mengarah/mengacu kepada analisis, hal itu
merupakan perintis jalan terhadap penelitian arkeologi di masa mendatang.

Di dalam buku Oudheiden van Bali telah dimuat analisis terhadap beberapa arca
yang terdapat di pura itu. Arca-arca yang terdapat di kompleks Pura Bukit Dharma
Kutri dikelompokkan pada periode Bali Kuno (abad X-XIII M), adalah kelompok
Gunung Penulisan, Goa Gajah, Gunung Kawi (Stutterheim, 1929 : 116-117).

Dalam laporan tahunan Dinas Purbakala Indonesia tahun 1951 1952 disebutkan
tentang perbaikan arca Durga di Pura Kdarman dengan pemasangan bagian yang
dapat ditemukan kembali dengan mempergunakan semen sebagai perekat (Dinas
Purbakala 1958 : 8).

Kemudian pada tahun 1957 terlihat kembali sebuah artikel yang berjudul Dinasti
Warmadewa di Pulau Bali dalam Bahasa dan Budaya yang juga menguaraikan
tentang arca Durga di Pura Kdarman dan Pura Push (Goris, 1957 : 20).

A.J. Bernet Kempers dalam bukunya Bali Purbakala dan Monumental Bali juga
menguraikan secara singkat arca Amoghapasa di Pura Push dan arca
Mahisasuramardhini, gamparan (bakyak) dan arca Ganesa (Bernet Kempers, 1960 :
49 dan 1977 : 166-168).

Adapun arca-arca yang terdapat di pura itu adalah sebagai berikut :

1. Pura Push,

Di pura ini tersimpan 2 (dua) buah arca yaitu :

1. Arca Durga Mahisasuramrdhini , dan

2. Arca Amoghapasa.

2. Pura Bukit Dharma

Di pura ini tersimpan 6 (enam) buah arca yang terdiri dari 5 buah arca perwujudan
Bhatara dan 1 (satu) buah arca Buddha

3. Pura Kdarman

Di pura ini terdapat 9 (sembilan) buah arca dan benda kuno lainnya, terdiri 5 buah
arca perwujudan Bhatara/Bhatari, 1 buah lingga ganda, 1 buah gamparan, 1 buah
arca ganesa, dan 1 buah arca Durga Mahisasuramardhini.
Di pura tersebut disimpan arca dewa dan perwujudan, dan konsepsi dasar
pemujaan arca perwujudan adalah kepercayaan terhadap roh leluhur. Untuk itu
terlebih dahulu harus berpijak pada zaman prasejarah. Karena pada zaman itu
terdapat kepercayaan, bahwa puncak gunung atau pegunungan adalah sebagai
alamnya arwah (Linus, 1983 : 6). Untuk itu, pemujaan terhadap roh leluhur mereka
mendirikan menhir, tahta batu, punden berundak (Darmosoetopo, 1984 : 117).

Pemujaan terhadap nenek moyang berlatar belakang dari adanya penghormatan


terhadap jasanya yang melindungi keturunannya. Dan untuk menunjukkan letak
tinggi (gunung atau bukit) itu, maka tidak jarang sebuah menhir di dirikan di atas
sebuah bangunan berundak-undak.

Setelah bangunan berbentuk menhir tidak dibuat lagi, sering terjadi tempat
pemujaan roh nenek moyang diwujudkan dalam bentuk arca-arca (Soekmono,
1973 : 77). Temuan arca-arca dari zaman prasejarah di antaranya nenek moyang
terdapat di Pasemah. Untuk daerah Bali, arca-arca dari zaman prasejarah
ditemukan di Depaa Kabupaten Buleleng, pura Besakih Desa Keramas (Blahbatuh,
Gianyar), dan lain-lainnya. Arca-arca di pura Besakih Keramas memeperlihatkan
sikap menyembah sebagai salah satu unsur sikap arca perwujudan leluhur
(Mahaviranata, 1980 : 119).

Sekitar abad ke-5 pengaruh Hindu masuk di Indonesia, dengan penemuan prasasti
Tugu. Dalam prasasti tersebut terdapat kalimat yang menyebutkan, bahwa raja
Purnawarman mengatakan dirinya titisan dewa Wisnu dengan gambar telapak kaki
dewa Wisnu (Poerbatjaraka, 1951 : 13). Selain ditemukan arca Wisnu di Cibuaya
yang diperkirakan berasal dari abad ke-6 dan ke-7 Masehi (Tim Penulisan Naskah
Pengembangan Media Kebudayaan Jawa Barat,1977 : 42).

Pengaruh Hindu itu bukan saja berkembang di Jawa Barat, tetapi juga berkembang
di Jawa Tengah dengan hasil seni klasiknya yang menampakkan kelemah-lembutan
dengan konsepsi kedewataan India (Suparto, 1956 : 58). Hal ini dapat dibuktikan
pada arca Wisnu di Candi Banon, arca Buddha di Candi Borobudur, arca Siwa di
Candi Prambanan (Soekmono, 1973 : 94-97).

Pada masa Jawa Timur, di Bali nampak terjadi penyimpangan-penyimpangan


terhadap ketentuan ikonografi India yang dapat diketahui dari langgam arca yang
mulai menampakkan sikap kaku (seperti mayit), dan pemberian atribut.
Penyimpangan itu terjadi karena konsep dasar pengarcaan di Indonesia berbeda
dengan konsep ikonografi India, sehingga arca dewa dengan atribut yang
menyimpang menggambarkan arca perwujudan tokoh (Geria, 1986 : 41).

Dalam Kamus Arkeologi I, arca perwujudan merupakan perwujudan dewa yang


disembah oleh penganutnya untuk tujuan pemujaan. Di Indonesia seorang raja
telah wafat diarcakan sesuai dengan agama yang dianutnya. Di samping tanda-
tanda kedewataan yang dibawanya, arca perwujudan ini bertangan dua yang
ditekuk sejajar perut dengan telapak tangan menghadap ke atas, memegang
kuncup bunga teratai (Ayatrohaedi, 1981 : 18).

Kemudian Ir. J.L. Moens mengupas mengenai benda bulatan yang dibawa oleh arca-
arca itu dalam hubungannya dengan pembebasan jiwa. Bulatan (bunga teratai) itu
erat hubungannya dengan roh seorang dalam usahanya mencapai kebahagiaan
rohani. Sebab, apabila seorang masih hidup, rohaninya masih diselimuti
oleh karma (perbuatan) dan badan kasar. Tapi lama kelamaan, jiwa halus itu akan
bebas juga. Dengan demikian, tiap arca yang membawa bulatan dalam arti atribut
yang menyimpang dari biasanya, dapat disebut arca perwujudan atau patung potret
(Mantra 1960 : 6).

Di Bali banyak ditemukan arca yang tergolong perwujudan, tetapi tidak jelas tokoh
yang diarcakan. Dalam perkembangan arca perwujudan di Bali sekitar abad 10-13
Masehi, lebih cendrung mengarah kepada perwujudan raja-raja.

Dari data prasasti Bali dapat diketahui, bahwa raja itu adalah titisan dewa. Hal ini
dapat dibuktikan dari prasasti atas nama raja Jaya Sakti (1133-1150 Masehi),
menyebutkan raja sebagai perwujudan dewa Wisnu (Astra 1982 : 6).

Oleh sebab itu, terjadilah penyatuan pandangan terhadap roh leluhur dengan dewa.
Apabila raja meninggal akan kembali kepada dewa penitisannya. Kemudian, bila
seorang mengadakan upacara/pemujaan terhadap roh leluhur sekaligus memuja
dewa.

Di Bali, pembuatan arca perwujudan tidak berkelanjutan lagi sejak masa


pemerintahan Dalem Watu Renggong (abad 15-16 Masehi). Ketika Dang Hyang
Nirarta menjadi Porohito di Bali, tradisi pembuatan arca perwujudan itu tidak
dilakukan lagi, dan Atmapratistha tidaklagi dibuat dalam bentuk arca, melainkan
dengan menggunakan DaksinaPelinggih yang sifatnya sementara (Geria 1986 : 44).

Anda mungkin juga menyukai