Anda di halaman 1dari 8

TRADISI MELANCARAN LAN MACECINGAK RATU GEDE ALIT

PURA GUNUNG JIMBAR DESA ADAT BENG GIANYAR

Mata Kuliah : Sejarah Kebudayaan Hindu


Dosen Pengampu : I Made Gde Puasa, S.Sos. H., M. Fil. H
Disusun untuk memenuhi tugas

Gusti Ayu Anggi Trisna Dewi (2013081014)

PARIWISATA BUDAYA SIANG A


FAKULTAS DHARMA DUTA
UNIVERSITAS HINDU NEGERI I GUSTI BAGUS SUGRIWA DENPASAR
TAHUN AJARAN 2021/2022

1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tradisi merupakan suatu warisan budaya yang diwariskan leluhur pada kita untuk senantiasa
dilaksanakan dan dilestarikan. Sama halnya dengan tradisi ada dalam bentuk sakral dan ada juga yang
tidak, tradisi tentu berkaitan erat dengan upacara keagamaan dan nilai religius yang ada di dalamnya.
Sama halnya tradisi yang ada di Bali yang erat kaitannya dengan nilai keagamaan Hindu (tattwa,
susila, upacara) dan dengan kepercayaan dari masyarakat setempat. Terdapat Banyak sekali pesan dan
makna dari setiap tradisi yang ada khususnya di Bali, sama halnya dengan tradisi Melacaran Lan
Macecingak di Desa Beng Kecamatan Gianyar.
Desa Adat Beng merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Gianyar,
Kabupaten Gianyar. Sejarah Desa Beng tidak terlepas dari kerajaan – kerajaan Bali kuno
pada jaman dahulu. Menurut sejarah, Desa Beng terbentuk saat perjalanan Ida Dewa Manggis
Kuning yang datang dari daerah Badung untuk menyelamatkan diri dari kejaran Prajurit I
Gusti Tegeh Kori penguasa daerah Badung. Tradisi Melancaran Lan Macecingak Ratu Gede Alit
Pura Gunung Jimbar ini digelar enam (6) bulan sekali yakni pada hari Umanis Galungan. Melancaran
atau mececingak bertujuan untuk memohon kerahayuan kehadapan Ida Bhatara Sesuhunan agar
terhindar dari segala marabahaya, penyakit, dan bencana.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah Desa Pakraman Beng?
2. Bagaimana sejarah Pura Gunung Jimbar
3. Bagaimana prosesi Tradisi Melancaran lan Macecingak Sesuhunan Pura Gunung Jimbar?
4. Apa makna dan nilai religius dari tradisi Melancaran lan Macecingak di Desa Beng?

1.3 Tujuan
Agar mahasiswa mengetahui keunikan, makna, sejarah, serta prosesi dari tradisi Melancaran Pura
Gunung Jimbar Desa Pakraman Beng

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Desa Adat Beng
Desa Adat Beng merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Gianyar,
Kabupaten Gianyar. Sejarah Desa Beng tidak terlepas dari kerajaan – kerajaan Bali kuno
pada jaman dahulu. Tersebutlah Kerajaan ini adalah Kerajaan Gelgel pada rentang tahun
1580 – 1665 M diperintah oleh Dalem Segening sebagai sesuhunan Bali - Lombok. Pada
suatu hari Dalem segening berkunjung ke Desa Manggis, Karangasem. Dari sana ia terpikat
oleh seorang wanita dan melahirkan seorang anak yang rupawan. Anak ini diberi nama Dewa
Manggis Kuning. Setelah anak itu dewasa, ia menghadap ayahnya (Dalem Segening) di
Gelgel. Karena permohonan dari Arya Badung beliau memberikan salah satu puteranya yakni
Dewa Manggis Kuning, Semenjak beliau tinggal di Badung, daerah itu menjadi tentram.
Beberapa waktu berlalu, Dewa Manggis Kuning dicurigai oleh Arya Tegeh kori
karena adanya hubungan rahasia antara istri Arya Tegeh Kori dengan Dewa Manggis Kuning.
Kemudian akhirnya beliau meninggalkan Kerajaan Badung secara diam – diam dan beranjak
ke desa Pahang daerah kekuasaan I Gusti Arya Pinatih. Keberadaan Dewa Manggis Kuning
membuat Arya Pinatih cemas karena Arya Tegeh Kori sangat berambisi untuk menemukan
Dewa Manggis Kuning hidup atau mati. Karena merasa tidak aman, akhirnya beliau menuju
arah timur laut dari Desa Pahang, hingga sampai di hutan Bengkel.
Setelah merasa aman dari kejaran Arya Tegeh Kori, Dewa Manggis Kuning merabas
hutan (alas) Bengkel. Disana beliau bercocok tanam, beternak dan akhirnya menetap di sana.
Lama – lama daerah ini semakin berkembang dan subur, dan semakin bertambahnya
penduduk yang menetap di alas Bengkel ini. Kemudian pada akhirnya desa ini dinamai Desa
Bengkel dari hutan kayu Bengkel dan sekarang dikenal dengan nama Desa Beng. Kini Desa
Pakraman Beng saat ini memiliki penduduk sekitar 4.350 jiwa dan sudah mengalami
perubahan – perubahan yang lebih baik dari adanya globalisasi dan dipimpin oleh seorang
bendesa, dan juga telah memiliki pakem serta awig – awig desa adat

2.2 Sejarah Pura Gunung Jimbar


.Pura Gunung Jimbar merupakan pura yang tertua di Desa Pakraman Beng yang juga
merupakan lingga istana Sang Hyang Ista Dewata yang disucikan oleh masyarakat adat Desa
Beng. Menurut sejarah, pelaksanaan upacara memungkah di Pura Gunung Jimbar telah
dilaksanakan pada tahun 1975, maka sampai saat ini sudah dilaksanakan 47 tahun yan lalu.

3
Sehingga sebagai generasi penerus wajib untuk melaksanakan upacara yang sama sebagai
wujud bhakti kepada sesuhunan untuk menjaga keseimbangan alam. Tak jauh dari sejarah
Desa Beng, pada suatu hari ketika Dewa Manggis Kuning merambas hutan ke sebelah selatan
dari lokasi kediaman beliau, beliau menemukan sebuah Pura dan dari saat itu beliau selalu
memohon anugrah keselamatan dan tidak lupa membersihkan serta memelihara pura tersebut.
Berkat ketulusan hati beliau merawat pura tersebut, Ista Dewata (Dewi Gangga/Dewi Giri
Putri yang bersemayam di sana berkenan memberi anugrah berupa besi tombak yang dikenal
sebagai Ki Baru Alis.
Berkat dari anugrah dari Isra Dewata yang bersemayam di Pura ini, beliau Ida Dewa
Manggis Kuning mendapat kekuasaan yang tinggi (raja) dan kewibawaanya tersohor dan
meluas hingga ke pelosok daerah lain. Pura tersebut akhirnya diperbaiki sesuai dengan Asta
Kosala Kosali dan pada akhirnya Pura ini dikenal dengan nama Pura Gunung Jimbar. Pura
adalah tempat suci untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi, Gunung artinya tempat yang tinggi
dan Jimbar berarti luas. Diketahui pula menurut sejarah dari pengempon dan pemangku Pura
Gunung Jimbar Sesuhunan Ratu Gede Alit yang berada di Pura tersebut telah ada sekitar
tahun seribuan melalui bukti sebuah barong sesuhunan yang ditemukan dan sudah diupacarai
dan dipasupati.

2.3 Tradisi Melancaran lan Mececingak Sesuhunan Pura Gunung Jimbar


Tradisi Melancaran lan Mececingak Sesuhunan Pura Gunung Jimbar merupakan suatu
tradisi yang dilaksanakan setiap enam (6) bulan sekali yakni pada hari umanis galungan dan
bertepatan dengan rangkaian hari raya Galungan dan Kuningan. Pelaksanaan melancaran ini
dilaksanakan setiap hari Umanis Galungan yakni pada sasih kanem wuku dungulan dan
hanya dilaksanakan 3 hari saja. Prosesi pelaksanaan tradisi ini dilaksanakan pada sore hari
yakni jam 4 sore yang diawali dengan sembahyang bersama oleh para pengayah dan
pemundut. Setelah itu dilakukanlah prosesi nedunang Ida Ratu Gede Alit di Pura Gunung
Jimbar oleh pemangku. Dengan membawa tedung sebanyak 2 buah dan tirta suci Pura
Gunung Jimbar. Peserta yang mengikuti tradisi ini ialah para pemuda dan pemudi, mangku
pura Gunung Jimbar, tak jarang anak – anak juga mengikuti atau ngiring dalam tradisi ini
dengan rasa suka cita.
Kemudian Ratu Gede yang telah diusung akan macecingak di setiap sudut Desa
Pakraman Beng dan diiringi oleh suara gamelan atau gong. Tak sedikit warga desa yang
berada di sana yang menghaturkan sesari atau ngaturang secara tulus ikhlas. Dalam tradisi
melancaran ini diikuti oleh puluhan warga dengan memakai pakaian adat putih yang ikut

4
serta atau ngiring dengan turun ke jalanan yang dilakukan secara estafet. Setelah usai sekitar
jam 9 malam barong sesuhunan akan dilinggihkan kembali di Pura Gunung Jimbar. Tradisi
ini sudah turun temurun dilakukan oleh masyarakat terutama para pengempon Pura Gunung
Jimbar. Menurut pelingsir kegiatan melancaran dan mececingak ini dilaksanakan dan turun
ke jalanan setiap perumahan desa dan dipercaya akan mendatangkan kesejahteraan dan
menetralisir aura negatif bagi warga Desa Pakraman Beng.

2.4 Makna dan nilai Filosofi Melancaran lan Mececingak Pura Gunung Jimbar
Setiap tradisi memiliki makna yang tersirat di dalamnya, sama halnya dengan tradisi
Ngelawang sakral Ida Ratu Gede Alit Sesuhunan Pura Gunung Jimbar. Meski hampir sama
dengan tradisi ngelawang tapi dalam konteksnya Barong yang diusung adalah Barong
sesuhunan Pura Gunung Jimbar yang tentu memiliki nilai dan simbol yang cenderung sakral.
Dalam ngelawang sakral juga disertakan dengan sungsungan atau sesuhunan (pratima) Ida
Bhatara. Ngelawang atau macecingak bertujuan untuk memohon kerahayuan kehadapan Ida
Bhatara Sesuhunan agar terhindar dari segala marabahaya, penyakit, dan bencana. Jika
dikaitkan dengan filosofi, melancaran juga disebut “ngelawang” karena beliau diiringi
berangjangsana dari pintu ke pintu gerbang (lawang) keliling desa. Disebut juga
“Macecingak” karena beliau diiring untuk meninjau keberadaan umat manusia dan alam
lingkungan di desa. Namun, dalam konsep kesakralan dan juga nilai religius itu berbeda
apabila dikaitkan dengan ngelawang barong pada umumnya seperti barong bakal.

2.5 Nilai – Nilai dalam Tradisi Melancaran lan Mececingak Pura Gunung Jimbar
- Nilai spiritual-religius
Dalam tradisi ini terdapat nilai tattwa yang ada di dalamnya yakni bagaimana sebuah
kepercayaan itu tumbuh dalam masyarakat dan menjadi sebuah tradisi yang mesti
dilaksanakan menurut waktu dan hari yang sudah ditetapkan. Dalam hal ini tradisi
Ngelawang lan Mececingak Ratu Gede Alit menjadi sebuah momentum dimana setiap
perayaan hari raya suci Galungan Kuningan tradisi ini harus dijalankan sehingga warga desa
mendapat wangsuhpada berupa tirta yang diambil (ditunas) yang nantinya akan disiratkan di
halaman rumah untuk menetralisir hal – hal negatif dari luar. Nantinya setelah berakhirnya
tradisi ini akan dilanjutkan dengan piodalan Pura Gunung Jimbar yang bertepatan pada Hari
Raya Kuningan. Maka masyarakat desa juga melakukan persembahyangan di Pura Gunung
Jimbar pada hari itu juga beserta prosesi atau upacara keagamaan yang digelar seperti
mendak toya ning dan termasuk dalam rangkaian dari Dewa Yadnya. Dengan pelaksanaan

5
tradisi ini dapat mengandung suatu nilai yakni memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa dan Ista Dewata agar diberikan kehidupan yang sejahtera dan terhindar dari adanya
pengaruh negatif. Sehingga diharapkan warga desa Beng diberikan kerahayuan dan
keselamatan
- Nilai Sosial Budaya
Sama halnya dengan tradisi Melancaran lan Mececingak Pura Gunung Jimbar karena
dengan tradisi kehidupan beragama masyarakat “hidup”, dengan tradisi masyarakat bisa
menjalin rasa kebersamaan (gotong royong) antar sesama, dan dengan tradisi pula kita bisa
melampiaskan emosi keagamaan kita secara suka cita. Maka dalam hal ini pun generasi muda
harus menjadi penerus yang turut andil dalam pelestarian kebudayaan seperti misalnya tradisi
melancaran sekaligus ngelawang sakral ini. Sehingga nantinya tradisi dan juga kebudayaan
tersebut tidak tergerus oleh dampak globalisasi dan dapat dilestarikan dengan baik.

6
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tradisi Melancaran lan Mececingak Sesuhunan Pura Gunung Jimbar merupakan suatu
tradisi yang dilaksanakan setiap enam (6) bulan sekali yakni sehari setelah umanis galungan
bertepatan dengan hari raya Galungan dan Kuningan. Pelaksanaan melancaran ini
dilaksanakan setiap hari Umanis Galungan yakni pada sasih kanem wuku dungulan. Tradisi
ini sudah turun temurun dilakukan oleh masyarakat terutama para pengempon Pura Gunung
Jimbar. Menurut pelingsir kegiatan melancaran dan mececingak ini dilaksanakan dan turun
ke jalanan setiap perumahan desa dan dipercaya akan mendatangkan kesejahteraan dan
menetralisir aura negatif.
Nilai religius dalam tradisi ini yakni bagaimana sebuah kepercayaan itu tumbuh
dalam masyarakat dan menjadi sebuah tradisi yang mesti dilaksanakan menurut waktu dan
hari yang sudah ditetapkan. Dengan pelaksanaan tradisi ini dapat mengandung suatu nilai
yakni memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan Ista Dewata agar diberikan
kehidupan yang sejahtera dan terhindar dari adanya pengaruh negatif. Sehingga diharapkan
warga desa Beng diberikan kerahayuan dan keselamatan. Sama halnya dengan tradisi
Melancaran lan Mececingak Pura Gunung Jimbar karena dengan tradisi kehidupan beragama
masyarakat “hidup”, dengan tradisi masyarakat bisa menjalin rasa kebersamaan (gotong
royong) antar sesama, dan dengan tradisi pula kita bisa melampiaskan emosi keagamaan kita
secara suka cita.

7
DAFTAR PUSTAKA
http://puragunungjimbar.blogspot.com/2015/03/puragunung-jimbar-1.html?m=1
https://www.payanadewa.com/2018/07/asal-usul-kota-gianyar-berawal-dari.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai