Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH

Sejarah mengenai Pura Khayangan Tiga yang ada disetiap Desa Adat, masih belum pasti karena sumber tertulis yang menyebutkan
secara jelas belum ditemukan. Akan tetapi ada yang menyebutkan bahwa adanya Pura Khayangan Tiga berawal ketika pada masa sebelum
pemerintahan raja suami-istri Udayana dan Gunapriya Darmapatni tahun 989 -1011M di Bali berkembang yang mana pada saat itu banyak
aliran-aliran keagamaan seperti: Pasupata, Bairawa, Wesnawa, Boda, Brahmana, Resi, Sora, Ganapatya dan Siwa Sidanta. Adanya banyak
aliran-aliran di Bali menimbulkan perbedaan kepercayaan di masyarakat sehingga sering menimbulkan pertentangan dan perbedaan
pendapat di antara aliran yang satu dengan yang lainnya. Akibat adanya pertentangan ini membawa pengaruh buruk terhadap jalannya roda
pemerintahan kerajaan dan mengganggu kehidupan masyarakat.
Menyadari keadaan yang demikian itu maka raja Udayana menugaskan Empu Kuturan untuk mengadakan pasamuhan (pertemuan)
para tokoh- tokoh agama di Bali. Pasamuhan para tokoh agama itu bertempat di Desa Bedahulu Kabupaten Gianyar. Dari pertemuan itu
menghasilkan sebuah keputusan yaitu diharuskan agar dalam lingkungan masyarakat Desa dibangun Kahyangan Tiga, yang berfungsi
sebagai tempat suci untuk memuja Tri Murthi yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa yang merupakan manifestasi Hyang Widhi Wasa .Dan
berkat pendekatan, pemikiran dan usaha yang dilakukan Mpu Kuturan tersebut, sekte-sekte dalam masyarakat Bali itu berhasil lebur dan
menyatu (manunggal).
Kahyangan Tiga yang merupakan unsur parhyangan dari Tri Hita Karana, penempatannya pada desa adat diatur sebagai berikut:
Pura Desa biasanya dibangun di tengah-tengah pada salah satu sudut dari Caturpata atau perempatan agung. Pada sudut yang lain
terdapat bale wantilan (bale desa) rumah pejabat desa, pasar dengan Pura Melanting. Pura Desa atau Pura Baleagung adalah tempat
pemujaan Tuhan dalam prabawanya sebagai Brahma sang pencipta (Utpati).
Pura Puseh dibangun pada bagian arah selatan dari desa yang mengarah ke pantai karena itu Pura Puseh sering disebut Pura Segara di
Bali Utara. Pura Puseh dan atau Pura Segara, tempat pemujaan Tuhan dalam prabawanya sebagai Wisnu sang pemelihara (Sthiti).
Pura Dalem dibangun mengarah ke arah barat daya dari desa karena arah barat daya adalah arah mata angin yang dikuasai oleh Dewa
Rudra yaitu aspek Siwa yang berfungsi mempralina segala yang hidup. Pura Dalem adalah tempat memuja Tuhan dalam prabawanya
sebagai iwa sang pelebur (Pralina).
Kahyangan Tiga bisa dalam wujud tiga buah Pura, tetapi bisa juga dalam dua buah Pura saja, di mana Pura Desa dan Puseh menyatu,
biasanya disebut Pura Puseh-Desa Bale Agung. Pura Dalem menyendiri karena letaknya di teben dekat Sema atau Tunon (Kuburan). Dan
untuk Pura yang dipakai untuk tugas ini, Pura Desa dan Pura Puseh Singapadu digabung menjadi satu kawasan pura.
Riwayat Desa Singapadu yang diterima oleh warga masyarakat pendahulunya menyebutkan Desa Singapadu cikal bakal dari jaman
kerajaan Ida Dalem Jambe yang bertahta di Keraton Suweca Pura, Klungkung. Beliau memiliki 3 (tiga) orang putra yaitu:
1. Ida Sri Dewa Dimadya, bertahta di Puri Klungkung
2. Ida Sri Dewa Anom Wirya bertahta di Timbul Sukawati
3. Ida Sri Dewa Ketut jertahta di Gelgel
Pada tahun Caka 1632 atau 1710 M diceritakan Ida Sri Dewa Anom Wirya atau Ida Sri Dewa Agung Anom Wirya Wijaya Tanu
bertahta di Keraton Timbul Sukawati dengan gelar Ida Sri Dalem Maha Sirikan atau Ida Dalem Sukawati. Pemerintahan Ida Dalem
Sukawati juga didukung oleh I Dewa Kaleran, putra dari I Dewa Kaleran Prabu, keturunan dari I Dewa Agung Artha yang berasal dari
Kaliaiget, Buleleng. Keberadaan I Dewa Kaleran di Sukawati berkaitan dengan terjadinya kekacuan di daerah Kalianget. Ketika itu Prabu I
Dewa Kaleran yang menderita gangguan jiwa dibunuh oleh rakyatnya yang mengamuk dan membakar keraton. Setelah peristiwa tersebut,
anak-anak beserta keluarganya mengungsi dari Kalianget menuju daerah Bali Tengah, antara lain menuju Kerambitan dan Kutul
(Tabanan). Sedangkan I Dewa Kaleran mengungsi ke Desa Kuta yang merupakan daerah Kerajaan Mengwi.
Keberadaan I Dewa Kaleran di Desa Kuta diketahui Ida Dalem Sukawati. teringat akan asal-usul kekerabatan antara Satria Kaleran
dengan Ida Dalem Sukawati, maka Dalem Sukawati mohon kepada Ki Agung Anglurah Made Agung yang bertahta di Mengwi pada saat
itu agar rnengijinkan mengajak I Dewa Kaleran menetap di Sukawati untuk dijadikan Jan-Banggul (pemangku) di Pura Penataran Agung
Sukawati.
I Dewa Kaleran akhirnya diijinkan menetap di Sukawati dengan bertempat tinggal di sebelah utara Pura Penataran Agung Sukawali
didampingi oleh seorang istri dan dua orang anak. Permaisuri dari Ida Dalem Sukawati yaitu Ida Sri Bahtari Mutering Jagat telah
Melahirkan seorang putra. Ketika itu I Dewa Kaleran menyerahkan putranya yang bernama I Desak Made Oka untuk mengabdi kepada
Permaisuri Ida Dalem Sukawati sebagai inang pengasuh.
Penampilan dari Desak Made Oka yang anggun dan simpatik membuat Ida Dalem Sukawati berpikir untuk menjodohkannya dengan
salah satu ipar beliau yang ada di Puri Mengwi. Namun Dalem Sukawati mengalami kesulitan menentukan kepada siapa sepantasnya gadis
itu dijodohkan mengingat ipar beliau ada tiga yaitu Ki Gusti Putu Panji, Ki Gusti Made Banyuning, dan Ki Gusti Ketut Munggu
Agar tidak dianggap memihak terhadap salah satu diantaranya maka akhirnya Ida Dalem Sukawati memutuskan untuk mengundang
ke tiga ipar beliau tersebut dengan catatan siapa yang datang paling awal berhak mempersunting Ni Desak Made Oka. Diceritakan bahwa
yang datang paling awal adalah I Gusti Ketut Munggu, dengan demikian sesuai dengan keputusan yang telah ditetapkan maka Ida Dalem
Sukawati kemudian merestui I Gusti Ketut Munggu mempersunting Ni Desak Made Oka. Kedua mempelai kembali ke Mengwi, dan
sesampainya disana I Gusti Putu Panji betul-betul terkejut dan terpesona menyaksikan kecantikan dan keanggunan Ni Desa Made Oka.
Tanpa diduga muncul rasa dendam dan sakit hati dari I Gusti Putu Panji terhadap Ida Dalem Sukawati yang dianggap tidak adil dan pilih
kasih. Akibatnya muncul niat dari Ki Gusti Putu Panji untuk menyerang dan menggempur Kerajaan Sukawati.
Rencana penyerangan tersebut sudah didengar oleh Ida Dalem Sukawati dengan memerintahkan kepada pasukannya untuk siap siaga.
Menyadari situasi kerajaan Sukawati yang dalam bahaya maka I Dewa Kaleran menghadap dengan memohon kepada beliau agar
diperkenankan untuk turut serta dalam pertempuran, namum tidak diijinkan oleh Ida Dalem Sukawati, karena I Dewa Kaleran sudah
berstatus sebagai Jan-Panggul (pemangku) di Pura Penataran Agung Sukawati. Namun karena I Dewa Kaleran tetap bersikeras, maka Ida
Dalem Sukawati akhirnya mengijinkan turun ke medan peperangan untuk memimpin pasukan Sukawati. Dalam menghadapi pertempuran,
pasukan Sukawati dibawah pimpinan I Dewa Kaleran beristirahat di hutan Jagaraga yang terletak di tepi barat wilayah Kerajaan Sukawati.
Di tempat tersebut para pasukan ngabas hutan untuk mendirikan Pakubon (kubu-kubu pertahanan). Lambat laun kawasan hutan yang telah
di rabas dikenal dengan nama Banjar Abasan, sedangkan tempat pasukan Sukawati mendirikan pakubon dikenal sebagai Banjar Kebon
(Kubu-an).
Pasukan Sukawati dan Mengwi saling berhadap-hadapan, sorak sorai pasukan kedua pihak terdengar bergemuruh di medan perang.
Ketika itu I Dewa Kaleran memerintahkan I Made Nusa untuk mengibarkan kober putih. Ternyata setelah melihat kibaran kober putih
tersebut pasukan Mengwi lari tunggang langgang. Hal ini mengakibatkan Ki Gusti Putu Panji marah dan mengamuk membabi buta
menghadapi pasukan Sukawati, Akhirnya Ki Gusti Putu Panji tewas di tangan pasukan Sukawati dengan kondisi jenasah yang dekdek
lidek (hancur lebur). Untuk mengenang peristiwa tersebut dibangun Pura Padekdekan yang terletak di kawasan Subak Kalangan Kebon.
Mendengar kakaknya tewas di medan perang maka Ki Gusti Made Banyuning kemudian turun ke medan perang untuk membela Mengwi.
Namun Ki Gusti Made Banyuning pun berhasil dibunuh oleh pasukan Sukawati setelah anusnya ditusuk dengan besi panas yang membara.
Kawasan tempat meninggalnya Ki Gusti Made Banyuning dibangun sebuah Pura yang disebut Pura Anggar Besi, dan medan perternpuran
antara Mengwi dan Sukawati disebut Kalangan Kebon (Subak Kalangan Kebon).
Singkat cerita, pasukan Kerajaan Mengwi telah berhasil dikalahkan dan perang pun berakhir. Ida Dalem Sukawati kemudian
memerintahkan I Dewa Kaleran tinggal menetap di Jagaraga dan mengangkatnya sebagai Manca untuk mengawasi dan menjaga wilayah
tepi barat Kerajaan Sukawati. Disamping itu Ida Dalem Sukawati memerintahkan orang-orang kepercayaannya untuk memperkuat
pertahanan dibeberapa wilayah yaitu:
1. I Pasek Nesa, rnemperkuat pertahanan di wilayah Singapadu
2. I Pasek Pretara, rnemperkuat pertahanan di wilayah Negari
3. I Pasek Gaduh dan I Pasek Penataran, memperkuat pertahanan di wilayah Jagaraga
4. I Pasek Selat memperkuat pemerintahan di Desa Celuk
5. I Pasek Bangbang Pulasari memperkuat di Desa Samawanggon
6. I Pasek Puaji memperkuat di Batuaji
7. Ki Bendesa Gde Nusa diperkenankan nyungsung Pura Pepantian Mayun
8. I Pasek Mundung Tawal diperkenankan nyungsung Pura Pepantian Maospahit
Setelah sekian lama menetap di Jagaraga, I Dewa Kaleran belum juga dikaruniai putra. Karena rnerasa dirinya sudah tua, maka
muncul keinginan untuk pulang ke Sukawati agar dapat berkumpul kembali bersama putranya yang tinggal di Sukawati. Oleh sebab itu ia
menghadap kepada Ida Dalem Sukawati dan menyampaikan niatnya untuk kembali ke Sukawati. Sehubungan dengan itu ia memohon agar
Ida Dalem Sukawati berkenan menempatkan salah seorang putranya untuk bertahta di Jagaraga. Keinginan I Dewa Kaleran untuk kembali
ke Sukawati ternyala tidak direstui oleh Ida Dalem Sukawati karena beliau masih tetap menaruh kepercayaan kepada I Dewa Kaleran
sebagai manca di Jagaraga untuk mempertahankan wilayah tepi Barat Kerajaan Sukawati tersebut. Oleh karena tatkala itu belum ada putra
yang dapat diangkat untuk bertahta di Jagaraga, maka Ida Dalem Sukawati menyerahkan putranya yang masih sedang dalam kandungan
istrinya. I Dewa Kaleran patuh terhadap perintah Ida Dalem Sukawati dan kembali ke Jagaraga diiringi para Pasek, undagi, dan rakyat
lainnya.
Diceritakan bahwa sang jabang bayi pun kemudian lahir ke dunia. Namun keahiran bayi tersebut membuat orang-orang kaget karena
buruk rupa dan sedikit pun tidak mirip dengan wajah Ida Dalem Sukawati. Rakyat Merasa sangsi atau kurang percaya bahwa bayi tersebut
adalah putra dari Ida Dalem Sukawati, sehubungan dengan peristiwa tersebut maka tempat dimana bayi tersebut dilahirkan kemudian lebih
dikenal sebagai Banjar Sangsi, dan rumah I Dewa Kaleran pun akhirnya disebut Jero Sangsi. Keberadaan bayi tersebut kemudian
dilaporkan oleh I Dewa Kaleran kepada Ida Dalem Sukawati. Namun ditengah perjalanannya ia dihadang atau dihalang-halangi oleh
penduduk dari Selat. Untuk mengenang peristiwa tersebut kemudian di tempat itu didirikan bangunan yang disebut Bale Malang.
Setelah I Dewa Kaleran melaporkan tentang keberadaan sang jabang bayi tersebut kehadapan Ida Dalem Sukawati, maka untuk
menjawab kesangsian rakyatnya terhadap sang jabang bayi, beliau bermaksud untuk menguji sang jabang bayi dengan kobaran api.
Apabila dengan cara demikian ternyata sang jabang bayi masih tetap hidup, maka itu berarti bahwa bayi tersebut memang benar putra Ida
Dalem Sukawati.
Diceritakan bahwa sang jabang bayi telah ditaruh dalarn kobaran api yang sedang membesar. Tak lama kemudian kobaran api tersebut
semakin redup dan akhirnya padam. Ketika itu I Dewa Kaleran bersama rakyat terkejut dan terheran-heran menyaksikan bahwa sang
jabang bayi ternyata masih dalarn keadaan hidup seperti sediakala. Sejalan dengan peristiwa itu akhirnya I Dewa Kaleran dan rakyat
seluruhnya percaya bahwa sang jabangbayi itu adalah benar putra Ida Dalem Sukawati. Sejak peristiwa itu pula sang jabang bayi tersebut
mendapat sebutan I Dewa Agung Api. Selanjutrtya sang jabang bayi diajak ke jeroan oleh I Dewa Kaleran serta diupacarai sebagaimana
tatakrama upacara yang berlaku bagi keturunan Ida Dalem Sukawati. Selain itu, untuk Mengantisipasi agar pasidikaran sang jabang bayi
tidak bercampur-baur dengan keturunan I Dewa Kaleran, maka khusus untuk sang jabang bayi tersebut dibuatkan sebuah tempat pemujaan
atau pelinggih pamuspan yang terletak di dalam areal pamerajan Jero Sangsi. Setelah sekian tahun lamanya menetap di Jero Sangsi
akhirnya I Dewa Kaleran dikaruniai lagi seorang putra. Pada suatu ketika dimana putra I Dewa Kaleran dan I Dewa Agung Api sama-sama
telah beranjak dewasa, tatkala itu I Dewa Kaleran menyampaikan pendapatnya kepada anaknya:
"Pada kemudia hari jika nanda telah cukup dewasa, tidaklah pantas tinggal bersama I Dewa Agung di rumah ini, karena akan kelihatan
berbaur. Jika nanda mencari tempat pekarangan yang baru juga tidaklah pantas, karena nandalah yang memang sepantasnya menjadi
pewaris di rumah ini. Nah, sebaiknya I Dewa Agung dibuatkan puri agar kita tidak berbaur dengan beliau".
Singkat cerita, agar kedudukan I Dewa Agung Api tidak berbaur dengan keturunan I Dewa Kaleran, maka I Dewa Agung Api
akhirnya dibuatkan puri tersendiri yang diberi nama Puri Agung Singapadu, disamping itu I Dewa Kaleran juga menghaturkan sebuah
pajenengan di Pamerajan Agung Singapadu sebagai perwujudan bukti kesetiaannya terhadap keturunan Ida Dalem Sukawati, terutama Ida
Dewa Agung Api. Semenjak dibangunnya puri tersebut keseluruhan wilayah Jagaraga lebih dikenal dengan sebutan Singapadu. Mengenai
asal-usul nama Singapadu ini diperkirakan berkaitan dengan peristiwa dahsyat yang pernah terjadi antara Kerajaan Sukawati dengan
Mengwi. Pertempuran tersebut sebagai perang tanding antara dua singa. Dalam Bahasa Bali, makna kata "Singa" juga berarti manggala
atau raja dan kata "Padu" berarti perang tanding atau pertempuran (Profil Desa Singapadu, 2009: 1-5).
Daftar Pustaka:
Galang, Bali. Pura Kahyangan Desa. http://www.babadbali.com/pura/kahyangan-desa.htm. Diakses 7 Juni 2016.
Inputbali. Sejarah Adanya Pura Khayangan Tiga di Bali. http://inputbali.com/sejarah-bali/sejarah-adanya-pura-khayangan-tiga-di-bali. Diakses 7 Juni 2016.
Lamopia. Sejarah Desa Singapadu. http://lamopia-singapadu-antropolog.blogspot.co.id/2010/11/sejarah-desa-singapadu.html. Diakses 7 Juni 2016.

Anda mungkin juga menyukai