Anda di halaman 1dari 11

SEJARAH KERAJAAN BEDULU

Kerajaan Bedahulu atau Bedulu adalah kerajaan kuno di pulau Bali pada abad ke-8
sampai abad ke-14, yang memiliki pusat kerajaan di sekitar Pejeng (baca: pèjèng) atau
Bedulu, Kabupaten Gianyar, Bali. Diperkirakan kerajaan ini diperintah oleh raja-raja
keturunan Dinasti Warmadewa. Penguasa terakhir kerajaan Bedulu (Dalem Bedahulu)
menentang ekspansi Kerajaan Majapahit pada tahun 1343, yang dipimpin oleh Gajah
Mada, namun berakhir dengan kekalahan Bedulu. Perlawanan Bedulu kemudian benar-
benar padam setelah pemberontakan keturunan terakhirnya (Dalem Makambika) berhasil
dikalahkan tahun 1347.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Bedahulu

Pada abad ke-4 di Campa, Muangthai bertahta Raja Bhadawarman. Beliau diganti oleh
anaknya bernama Manorathawarman, selanjutnya Rudrawarman. Anak Rudrawarman
bernama Mulawarman merantau, mendirikan kerajaan Kutai. Mulawarman diganti
Aswawarman. Anaknya bernama Purnawarman mendirikan kerajaan Taruma Negara.
Anak Purnawarman bernama Mauli Warmadewa mendirikan kerajaan Sriwijaya. Anak
Mauli Warmadewa bernama Sri Kesari Warmadewa pergi ke Bali, pertama-tama
mendirikan Pura Merajan Salonding dan Dalem Puri di Besakih.

Raja-raja Bedahulu

1. Sri Wira Dalem Kesari Warmadewa - (882-913)


2. Sri Ugrasena - (915-939)
3. Agni
4. Tabanendra Warmadewa
5. Candrabhaya Singa Warmadewa - (960-975)
6. Janasadhu Warmadewa
7. Sri Wijayamahadewi
8. Dharmodayana Warmadewa (Udayana) - (988-1011)
9. Gunapriya Darmapatni (bersama Udayana) - (989-1001)
10. Sri Ajnadewi
11. Sri Marakata - (1022-1025)
12. Anak Wungsu - (1049-1077)
13. Sri Maharaja Sri Walaprabu - (1079-1088)
14. Sri Maharaja Sri Sakalendukirana - (1088-1098)
15. Sri Suradhipa - (1115-1119)
16. Sri Jayasakti - (1133-1150)
17. Ragajaya
18. Sri Maharaja Aji Jayapangus - (1178-1181)
19. Arjayadengjayaketana
20. Aji Ekajayalancana
21. Bhatara Guru Sri Adikuntiketana
22. Parameswara
23. Adidewalancana
24. Mahaguru Dharmottungga Warmadewa
25. Walajayakertaningrat (Sri Masula Masuli atau Dalem Buncing?)
26. Sri Astasura Ratna Bumi Banten (Dalem Bedahulu) - (1332-1343)
27. Dalem Tokawa (1343-1345)
28. Dalem Makambika (1345-1347)
29. DalemMadura

Sri Kesari Warmadewa diganti Cabdrabhaya Singha Warmadewa, diganti Wijaya


Mahadewi, diganti Udayana menurunkan dua putra :

1. Airlangga
2. Anak Wungsu
Airlangga pergi ke Jawa kemudian menurunkan :
1. Sridewi Kili Endang Suci
2. Sri Jayabaya
3. Sri Jayasabha
4. Sira Arya Buru
Sri Jayabhaya bertahta di Kediri, menurunkan :
1. Sri Aji Dangdang Gendis
2. Sri Siwa Wandira
3. Sri Jaya Kesuma
Sri Jayasabha bertahta di Jenggala, berputra :
Sira Aryeng Kediri
Sri Aji Dangdang Gendis menurunkan :
Sri Aji Jaya Katong, menjadi leluhur warga Arya Gajah Para, Arya Getas, Arya
Kanuruhan, dll.Sri Siwa Wandira menurunkan Sri Jaya Waringin, menjadi leluhur warga
Arya Kubon Tubuh, Arya Parembu, dll. Sri Jaya Kesuma menurunkan Sri Wira Kusuma,
kemudian masuk Islam bergelar Raden PatahSira Aryeng Kediri menurunkan Sira
Aryeng Kepakisan selanjutnya menurunkan Pangeran Nyuh Aya dan Pangeran Asak.
Kedua beliau menjadi leluhur warga Arya Kepakisan, Arya Dauh Bale Agung, Kiyai
nginte, dll.Setelah pemerintahan raja Sri Mahaguru tahun 1324-1328 M. Maka
pemerintahan dipegang oleh Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang disebut
dalam prasasti Patapan Langgahan tahun 1337 M.
Selain itu ada pula sebuah patung yang disimpan di Pura Tegeh Koripan termasuk Desa
Kintamani. Pada bagian belakang patung itu ada tulisan yang sangat rusak keadaannya.
PEMERINTAHAN SRI ASTASURA RATNA BUMI BANTEN
Dikisahkan pada tahun 1337 raja Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten / Sri Gajah
Waktera / Sri Topolung mulai berkuasa di Pulau Bali, beliau sangat bijaksana serta adil
dalam mengendalikan pemerintahan dan taat dalam melaksanakan upacara keagamaan.,
beliau terkenal sebagai seorang pemberani serta sangat sakti. dalam pemerintahannya
beliau mengadakan pergantian sejumlah pejabat pemerintahan antara lain :

- Kesenepatian Kuturan yang dijabat Ki Dalang Camok diganti oleh Ki Mabasa Sinom
- Kesenepatian Danda yang dijabat Ki Kuda Langkat-Langkat diganti oleh Ki Bima Sakti
- Dibentuk kesenepatian baru yaitu Kesenepatian manyiringin di pegang oleh Ki Lembu
Lateng.
- Perutusan Siwa rajamanggala yang dulu tinggal di Dewastana kini digeser ke
Kunjarasana.
- Perutusan Pendeta Siwa Sewaratna yang dulu tinggal di Trinayana kini dipindahkan ke
Dharmahanyar.
- Dang Upadyaya Pujayanta yang dijabat Pendeta di Biharanasi diganti oleh Pendeta
Dang Upadyaya Dharma.
- Dibentuk pejabat Makarun di Hyang Karamus yang dipagang oleh Ki Panji
Sukaningrat.
- Dibentuk 2 buah perutusan yaitu di Burwan yang dipegang oleh Sira Mahaguru dan di
Buhara Bahung yang
dipegang oleh Dang Upadyaya Kangka.

Beliau mengangkat seorang Mangkubumi yang gagah perkasa bernama Ki Pasunggrigis,


yang tinggal di desa Tengkulak dekat istana Bedahulu di mana raja Astasura
bersemayam. Sebagai pembantunya diangkat Ki Kebo Iwa alias Kebo Taruna yang
tinggal di Desa Belahbatuh. Para menterinya di sebutkan antara lain :

1. Krian Pasung Grigis jabatan Mangkubumi di Tengkulak


2. Ki Kebo Iwa jabatan Patih di
3. Ki Girikmana jabatan Menteri di Desa Loring Giri Ularan (Buleleng)
4. Ki Tambiak jabatan Menteri di desa Jimbaran
5. Ki Tunjung Tutur jabatan Menteri di desa Tenganan
6. Ki Buahan jabatan Menteri di desa Batur
7. Ki Tunjung Biru jabatan Pertanda di desa Tianyar
8. Ki Kopang jabatan Pertanda di desa Seraya
9. Ki Walungsari jabatan Pertanda di desa Taro.
10. Ki Gudug Basur jabatan Tumenggung
11. Ki Kalambang jabatan Demung
12. Ki Kalagemet jabatan Tumenggung di Desa Tangkas
13. Ki Buahan di Batur14. Ki Walung Singkal di Desa Taro

Demikianlah para Menteri Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang sebagian
besar diantaranya adalah keturunan sang Ratu Ugrasena leluluh Sanjayawamsa, kesatrya
Kalingga. Keturunan belia sangat berani sehingga terus menduduki jabatan penting
sebagai Panglima Perang sampai pemerintahan Gelgel dan bergelar Jlantik. Beliau
terkenal sebagai Arya Ularan panglima Dulang Mangap (Pasukan inti Kerajaan Gelgel)
yang menaklukkan Blambangan dan Jlantik Bogol terkenal sebagai pahlawan perang
Pasuruhan.

Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten adalah seorang penganut agama Budha yang
taat terbukti pada tahun 1338 M beliau banyak mendirikan tempat tempat suci agama
Budha. Dalam melaksanakan ibadah keagaman beliau sering melaksanakan
persembahyangan di Pura Besakih dengan didampingi para Mentri dan pendeta Siwa-
Budha.

Keadaan yang berlangsung aman dan tentram tersebut tiba tiba terancam karena sikap
dari Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang menentang dan tidak bersedia tunduk
dibawah kekuasaan Ratu Majapahit Tribhuwana Wijayatunggadewi, meskipun beliau
adalah keturunan Majapahit. Alasan Beliau bersikap demikian karena Bali sudah dari
dahulu dibawah lindungan kerajaan Daha.

Hubungan antara Kerajaan Bali dan Kerajaan Daha sudah berlangsung sejak
pemerintahan Raja Putri Ganapriya Dharmapatni yang memerintah Bali tahun 989-1001
M. Karena hubungan inilah maka Bali mengadakan perlawanan terhadap kerajaan
Singhasari, tahun 1222 M , namun Bali baru dapat ditaklukkan pada tahun 1284 oleh
Prabu Kertanegara. Selanjutnya karena runtuhnya kerajaan Singhasari oleh Jayakatwang
tahun 1292 maka Bali kembali menjadi pengawasan Kerajaan Daha. Pada Tahun 1293
Kerajaan Daha mengalami keruntuhan karena serangan oleh Kerajaan Majapahit
sehingga Bali langsung dikuasai oleh Raja Majapahit.

Keputusan Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten untuk menetang Majapahit tercetus
dalam rapat dengan para menterinya dimana Keputusan tersebut akibat pengaruh dari
Menteri Pertahanan (Senapati danda) yang bernama Ki Bima Sakti yang di Majapahit
terkenal dengan nama Werkodara.

Adapun politik pemerintah Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten sekarang sungguh
sangat berbeda dibandingkan yang sudah sudah, bahkan beliau sekarang bersikap
membangkang dan tidak menghiraukan perintah-perintah dari Majapahit. Karena sikap
beliau tersebut maka beliau dijuluki Raja Bedahulu, “Beda” artinya berbeda (pendapat)
dan “Hulu” berarti atasan. Tegasnya raja ini melepaskan diri dan tidak mau tunduk
dibawah kekuasaan Majapahit sebagai atasan yang dulu mengangkatnya. Sikap dan
prilaku Raja ini didengar oleh Ratu Majapahit karena itu Ratu Tribhuwana Tunggadewi
menjadi marah besar sehingga beliau merencanakan untuk mengirim pasukan besar ke
Bali dibawah pimpinan Patih Gajah Mada dan panglima Arya Damar (Adityawarman)

Untuk lebih jelasnya bahwa Raja Bali diangkat oleh Singhasari dan Majapahit dapat
diuraikan sebagai berikut :
Setelah akhir pemerintahan Raja Kembar Mahasora dan Mahasori atau yang lebih dikenal
dengan Raja Masula Masuli yang menjadi Raja Bali adalah Sri Hyang Ning Hyang
Adidewa Lencana (tahun 1260 -1286 M) . Pada masa pemerintahan raja ini, Bali diserang
dan dikuasai oleh Kerajaan Singhasari dibawah kepemimpinan Raja Kertanagara. Raja
Adidewa Lancana kemudian ditangkap dan dibawa ke Singhasari tahun 1286 M. Sejak
itulah Bali menjadi kekuasaan kerajaan Singhasari.

Dengan dikuasainya Bali oleh Singhasari maka pengangkatan raja raja Bali selanjutnya
dilakukan oleh Raja Singhasari. Namun Demikian karena Kerajaan Singhasari runtuh
akibat Penyerangan dari Prabu Jayakatwang yang menyebabkan Prabu Kertanagara
Gugur maka selanjutnya pengangkatan raja Bali dilakukan oleh Majapahit yang
merupakan penerus dari kerajaan Singhasari.

Raja Bali pertama yang diangkat oleh Prabu Kertanagara adalah Ki Kryan Demung yang
berasal dari Jawa timur yang kemudian digantikan oleh putranya Ki Kebo Parud.
Berikutnya yang menjadi raja Bali adalah Sri Paduka Maharaja Batara Mahaguru ( 1324-
1328 M). Beliau diangkat oleh Raja Majapahit yaitu Prabu Jayanegara/ Kalagemet. Yang
menggantikan beliau adalah putranya sendiri yaitu Sri Tarunajaya dengan gelar Sri
Walajaya Kertaningrat (1328-1337 M). Sesudah beliau meninggal dunia, maka
digantikan oleh adiknya yaitu Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang berarti Raja yang
berkuasa (1337-1343 M)

Mitos Tentang Raja Bedulu

Suatu hari, Raja Sri Tapolung, Raja Bali Kuno terakhir, bertamasya ke daerah Batur
diiringi patih Ki Pasung Grigis. Tiba di Panelokan, sang raja diuji oleh sang patih.
“Paduka, jika paduka benar sakti dan dapat melepaskan jiwa dari raga, mohon
tunjukkanlah pada hamba!” kata Ki Pasung Grigis. Permohonan Ki Pasung Grigis
dikabulkan. Sang raja pun bersemadi. Beberapa saat kemudian, kepala sang raja lepas
dari raganya. Kepala Sri Tapolung diceritakan melesat ke surga. Ki Pasung Grigis kini
hanya menghadapi badan rajanya tanpa kepala. Setelah lewat tiga hari, kepala Sri
Tapolung belum kembali juga. Ki Pasung Grigis mulai khawatir. Kebetulan saat itu ada
seekor babi lewat. Babi itu pun dipenggal dan kepala babinya itu disatukan dengan raga
Sri Tapolung. Tak dinyana, beberapa saat kemudian kepala Sri Tapolung kembali.
Mengetahui kepalanya diganti dengan kepala babi, sang raja pun murka dan mengutuk
orang-orang Bali Aga. Karena berkepala babi, sang raja kemudian dijuluki Bedahulu atau
Bedamuka (beda kepala).Mitologi ini masih tertanam kuat di kalangan masyarakat Bali
hingga kini. Mitos raja berkepala babi ini memang kerap diceritakan sebagai dongeng
atau pun cerita dalam suatu pementasan drama tradisional. Penikmat teks kemudian
menginterpretarikan cerita Raja Bedahulu ini secara lebih kritis. Cerita raja berkepala
babi ini dipersepsikan sebagai simbolisasi dari sikap Raja Bali Kuno terakhir itu yang
tidak mau mengakui supremasi kekuasaan Majapahit. Sang raja ingin menempatkan Bali
sebagai kerajaan berdaulat dan merdeka, terbebas dari cengekeraman kekuasaan luar.

Interpretasi ini kemudian didukung dengan hasil penelitian para sejarawan dan arkeolog.
Dalam sejumlah sumber-sumber Bali Kuno, Raja Sri Tapolung disebut-sebut sebagai raja
yang kuat, bervisi, disegani dan dihormati rakyatnya. Raja ini diberi gelar sebagai Sri
Asta Sura Ratna Bhumi Bhanten, penguasa Bali yang memiliki delapan kekuatan dewa.
Sikap inilah yang dipandang Majapahit berbahaya bagi ambisi kerajaan itu menguasai
Nusantara. Karenanya, Bali kemudian dijadikan target utama untuk ditundukkan. Melalui
tipu muslihat sang patih Gajah Mada, Bali berhasil ditaklukkan.

Penaklukan oleh Majapahit tidak serta merta membuat rakyat Bali Kuno mengakui
kekuasaan Majapahit di Bali. Malah sebaliknya, gelombang perlawanan tiada surut di
pulau mungil ini. Hingga akhirnya terjadi negosiasi politik antara penguasa Majapahit
dengan orang-orang Bali Aga untuk memadamkan perlawanan. Namun, Majapahit
tampaknya menyadari benar, kecintaan rakyat Bali terhadap rajanya yang terakhir masih
sangat dalam.

Sisa peninggalan Kerajaan Bedulu

Perlawanan kerajaan Bedulu terhadap Majapahit oleh legenda masyarakat Bali dianggap
melambangkan perlawanan penduduk Bali asli (Bali Aga) terhadap serangan Jawa (Wong
Majapahit). Beberapa tempat terpencil di Bali masih memelihara adat-istiadat Bali Aga,
misalnya di Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli, Desa Tenganan
Kec. Manggis Kabupaen Karangasem serta di desa-desa Sembiran, Cempaga Sidatapa,
Pedawa, Tiga Was, dan Padangbulia di Kabupaten Buleleng .

Beberapa obyek wisata yang dianggap merupakan peninggalan kerajaan Bedulu, antara
lain adalah pura Jero Agung, Samuan Tiga, Goa Gajah, dan Pura Bukit Sinunggal.

Kawasan Bedahulu dan Pejeng di utara Gianyar tercatat dalam sejarah sebagai pusat
pemerintahan sebelum jaman Majapahit sedangkan Samplangan di timur Gianyar adalah
pusat pemerintahan saat awal kekuasaan Majapahit merangkul Bali.

Goa Gajah baru ditemukan kembali pada tahun 1923. Walaupun Lwa Gajah dan
Bedahulu, yang sekarang menjadi Goa Gajah dan Bedahulu, telah disebutkan di dalam
kitab Nagarakertagama ditulis pada tahun 1365 M. Pada tahun 1954, ditemukan kembali
kolam petirtaan di depan Goa yang kemudian disusul dengan pemugaran dan
pemasangan kembali area-area pancuran yang semula terletak di depan Goa dalam
keadaan tidak lengkap. Kekunoan Pura Goa Gajah dapat dibagi menjadi dua bagian.
LokasiPura Goa Gajah yang dikalangan penduduk setempat lebih dikenal dengan nama
Pura Goa, terletak disebelah barat desa Bedahulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten
Daerah Tingkat II Gianyar, kira-kira 27 Km dari Denpasar. Suatu kunjungan ke Pura ini
dapat dilakukan dengan mudah, karena letaknya hanya beberapa meter di bawah jalan
raya menuju desa Tampaksiring. Sesungguhnya Pura ini dibangun di embah sungai
Petanu, dengan panorama alam yang indah, disela-sela pohon-pohon nyiur dan sebuah
sungai kecil bercampur dengan Sungai Petanu dibawahnya.

FasilitasPura Goa Gajah sebagai peninggalan sejarah dan purbakala yang penting, kecuali
berada di tepi jalan raya yang baik, juga mempunyai fasilitas-fasilitas pendukung yang
memadai. Di sebelah barat pura terdapat Restaurant Petanu (Petanu, Food and Beverage)
dan dari sini pengunjung dapat menyaksikan alam disebelah utaranya dengan air terjun,
walaupun tidak terlalu besar. Tidak jauh dari restaurant ini, ke arah barat terdapat
beberapa buah toko-toko souvenir yang baik. Di tepi jalan raya (di atas Pura Goa Gajah),
telah dibangun sebuah Warung Telekomunikasi untuk komunikasi yang diperlukan. Di
tempat parkir, terdapat juga warung-warung minuman dan souvenir serta toilet untuk
umum, sedangkan di sebelah selatan Pura (di samping ceruk pertapaan) telah dibangun
sebuah balai istirahat untuk berteduh, dengan toilet, sebuah kolam kecil dan sebuah
taman kecil. Disamping itu, kini sedang dibangun sebuah wantilan, di ujung tangga turun
ke halaman pura, untuk keperluan masyarakat dan pengunjung. Agak ke barat dari
Wantilan ini, di balik pohon-pohon yang rindang terdapat sebuah toilet. Di sebelah
selatan tempat parkir, terdapat dua buah restaurant.

Kunjungan Sementara menikmati hidangan di restaurant ini, pengunjung dapat


memandang ke selatan atau ke bawah (ke sebelah timur Pura), menikmati alam yang
indah disertai desiran angin yang menyegarkan. Dewasa ini, Pura Goa Gajah semakin
banyak dikunjungi oleh para wisatawan, baik dari nusantara maupun mancanegara.
Deskripsi Bagian utara terdiri dari sebuah Goa Alam yang dipahat berbentuk huruf “T”.
Di dalam Goa ini terdapat sebuah arca Ganesa, yang dianggap sebagai Dewa Ilmu
Pengetahuan, fragmen-fragmen arca dan sebuah trilangga yang dikelilingi oleh delapan
buah lingga kecil-kecil. Pada bagian dinding Goa, terdapat ceruk-ceruk pertapaan dan
bagian muka Goa, kecuali dihiasi dengan pahatan yang menggambarkan sebuah hutan
belantara dengan isinya, juga dilengkapi dengan sebuah kepala kala memakai subang.

Di dinding Goa terdapat juga prasasti singkat yang berbunyi “Kumon” dan
“sahywangsa”, yang menurut tipe hurufnya diduga berasal dari abad 11 M. Di sebelah
barat Goa, di dalam sebuah bangunan terdapat sebuah arca jongkok, Ganesa dan arca
Men Brayut yang di dalam mitologi agama Budha dikenal sebagai Hariti, penyelamat
anak-anak.

Di depan Goa, kecuali arca penjaga, terdapat juga fragmen-fragmen bangunan yang tidak
diketahui asal usulnya, seperti fragmen-fragmen bangunan yang sekarang tidak
dikumpulkan di halaman pura di sebelah barat kolam petirtaan. Arca-arca pancuran yang
sekarang telah berfungsi kembali di dalam kolam petirtaan yang dibagi menjadi tiga
bagian, menurut gayanya diduga berasal dari abad 11 M. Sayang sekali arca pancuran
yang terletak di kolam paling tengah, belum ditemukan hingga sekarang. Di sebelah
kanan Goa, memang terdapat sebuah arca Pancuran Ganesa, tetapi ternyata tidak cocok
dengan kolam yang paling tengah tadi.

Adapun bagian yang kedua dari Pura Goa Gajah ialah bagian sebelah Tenggara. Di sini
terdapat dua buah arca Budha, yang sebuah tanpa kepala dan sebuah lagi masih cukup
baik dengan gaya Jawa Tengah. Di sebelah utara arca ini, masih kelihatan melekat di
tebing yaitu bagian kaki dari candi tebing yang bagian atasnya telah lama jatuh ke dalam
sungai kecil. Di dalam sungai kecil ini terdapat relief stupa bercabang tiga, reruntuhan
candi tebing dengan pahatan-pahatan yang indah. Di sebelah barat sungai kecil ini
terdapat sebuah ceruk pertapaan.

Berdasarkan temuan kepurbakalaan tersebut di atas, dapat diketahui, bahwa Pura Goa
Gajah berasal dari abad 9 dan 11 M. Yang dahulu kala berfungsi sebagai tempat
pertapaan Bhiksu Buddha dan Pendeta Siwa. Kekunoan ini juga menunjukkan penyatuan
ajaran agama Buddha dan Siwa berlangsung dengan baik.

Di seberang jalan raya di atas Pura Goa Gajah terdapat sebuah pura yang disebut pura
Jempinis yang dalam ritual keagamaan masih mempunyai hubungan erat sekali denga
Pura Goa Gajah. Di sini juga terdapat beberapa arca kuno dan fragmen - fragmen
bangunan.

Benda Bersejarah Ditemukan di Bedulu

Balai Arkeologi Denpasar berhasil menemukan benda-benda peninggalan sejarah di


Banjar Batulumbang, Bedulu, Gianyar, Rabu (23/6) kemarin. Peninggalan sejarah itu
ditemukan setelah dilakukan penggalian selama hampir enam jam oleh 16 anggota tim
penggali BAD yang dibantu warga sekitar dan tenaga dari Dinas Kebudayan Gianyar.
Sekitar Juli 2002, warga setempat yang sedang bergotong royong membuat lapangan bola
voli, tiba-tiba menemukan tulang belulang yang masih utuh dalam bentuk tengkorak
manusia. Tetapi oleh warga, tulang itu ditanam kembali di tempat semula. Beberapa
bulan kemudian, baru dilaporkan ke BAD.

Menerima laporan, BAD saat itu hanya melakukan peninjauan ke lapangan. Selanjutnya
mempersiapkan penggalian. Penggalian tahap I, akan berlangsung selama 10 hari atau
hingga 30 Juni mendatang. Setelah itu, akan dilakukan penelitian. Untuk sementara, dari
tujuh titik penggalian, tim baru menemukan benda-benda berupa pecahan gerabah (yang
terbuat dari keramik, paras), koin (cetakan tembaga), tulang dan lainnya. Ada dua
kemungkinan dari hasil temuan sementara itu. Pertama, wilayah itu kemungkinan
sebelumnya merupakan pusat pemerintahan (kerajaan). Mengingat, berdasakan lontar-
lontar dan cerita rakyat, Bedulu merupakan tempat beristananya Raja Bali Kuno terakhir.
Namun tidak diketahui di daerah mana pastinya.

Goa Gajah

Ada juga penemuan peninggalan sejarah lainnya berupa peti mayat (sakofagos) yang
ditemukan beberapa tahun silam, skitar 20 meter dari lokasi sekarang.
Kemungkinan kedua, lokasi penemuan yang diperkirakan sudah dihuni sejak zaman pra-
sejarah itu merupakan pusat kerajinan gerabah yang terbuat dari berbagai macam bahan.
Mengingat, kerajinan gerabah itu masih ditekuni warga hingga zaman Hindu klasik saat
ini. (bal)
Uit: Bali Post 24-06-2004

Oleh karena itu, dengan penemuan ini, juga sekaligus bisa dipakai untuk menyelaraskan
atau menelusuri cerita rakyat tersebut. Apalagi, di sekitar tempat penemuan tersebut
dikelilingi oleh peninggalan-peninggalan pendukung lain, seperti Pura Jero Agung yang
setiap melaksanakan piodalan* memiliki keunikan tersendiri. Di mana, upacaranya
menggunakan daging cundang (daging ayam aduan) dan menggunakan penjor damar
kerubung (lampu tertutup) sebagaimana laiknya upacara kematian.

Sehari sebelum upacara digelar, warga juga melaksanakan prosesi mendak* Ratu Jawa.
Setelah itu, baru damar kerubung itu dinyalakan dan dikerek ke atas (ujung) penjor.
�Kepercayaan warga di sini (Batulumbang-red), nyala damar kerubung itu bisa juga
disaksikan dari Jawa,� ujar Agung Oka yang juga warga Bedulu itu. Terkait pemakaian
daging cundang, warga mempercayai bahwa Bedulu (baca Bali) dulu sempat dijajah dan
dipecundangi oleh Jawa.

Di samping itu, ada beberapa pendukng lain, seperti, relief Yah Pulu*, Goa Gajah* dan
Samuan Tiga* yang mengelilingi areal tersebut. Ada juga penemuan peninggalan sejarah
lainnya berupa peti mayat (sarkofagos) yang ditemukan beberapa tahu silam, sekitar 20
meter dari lokasi penggalian.
Het paleis van de Koningen van Bedahulu ontdekt?
Tengkorak Itu Keluarga Raja Bedahulu?

Tim arkeologi terus melakukan galian di areal ditemukan tengkorak oleh warga Banjar
Batulumbang, Bedulu, Blabahtuh. Penggalian hingga sembilam titik hingga Selasa (29/6)
kemarin kian bertambah jumlah benda prasejarah ditemukan. Selain pernak-pernik, juga
ditemukan tembok dari batu bata khas Majapahit. Dugaan sementara di sanalah pusat
kerajaan Raja Bedahulu yang selama ini misterius.

Tengkorak itu kemungkinan salah satu bagian kerangka keluarga Raja Bedahulu. Namun
perlu dikaji lebih lanjut. Arah penelitian arkeologi kami memang ke pengungkapan
misteri letak pusat kerajaan Bedahulu,� kata Drs. AA Gde Oka Astawa, M.Hum.*,
ketua tim.

Yang bisa disimpulkan sementara, berdasarkan temuan pernak-pernik benda prasejarah


seperti gerabah, pecahan stupa, kapak batu, perunggu dan manik-manik, di lokasi itu
pernah ada aktivitas manusia prasejarah. Sedangkan pondasi tembok yang lebarnya 1,5
meter, diperkirakan bagian dari tembok Puri Raja Bedahulu.
Diakui selama ini di wilayah Bedulu banyak ditemukan peninggalan raja Bedahulu.
Namun belum ditemukan lokasi pusat kerajaannya. Dikaitkan dengan tradisi yang dianut
warga setempat, baginya, kemungkinan besar lokasi galian itulah pusat kerajaan
Bedahulu sebelum runtuh lalu dikuasai Majapahit sekitar tahun 1343. Lokasi galian itu
sejak leluhur warga Batulumbang dikenal sangat angker.

Dewa Beratha, warga setempat lulusan FS* Unud* jurusan Arkeologi membenarkan. Tak
ada warga berani bicara ngawur di sana. Wanita yang menstruasi menghindari melintas
dan jangan coba-coba buang air (kencing/berak). �Yang melanggar dipastikan linglung
tak tahu jalan pulang,� jelasnya seraya menyebut sejumlah nama warga yang pernah
jadi korban.

Bukti kuat itu lokasi kerajaan, sebut Oka Astawa, nama Pura Jero Agung bersebelahan
dengan lokasi temuan. Sedangkan subak selatan pura itu disebut Subak Delod Jero. Bukti
lain kekhasan upacara di Pura Jero Agung mendak �Betara Jawa� dan menaikkan
damar kurung* di atas penjor. Konon sinar damar kurung itu bisa dilihat dari Jawa.
Sedangkan bagian akhir upacara menghaturkan daging ayam jantan yang kalah diadu.
�Itu simbolis dari runtuhnya Bedahulu oleh Majapahit,� ucapnya. Soal dana
operasional penggalian, diakui sangat minim. Pihaknya telah bersurat ke Pemkab*
Gianyar. (029)

LOKASI WISATA: TENGANAN PEGERINGSINGAN

Sejarah:Tenganan merupakan salah satu dari beberapa desa kuno di Bali, yang biasanya
disebut "Bali Aga". Ada beberapa versi tentang sejarah tentang desa Tenganan. Ada yang
mengatakan kata Tenganan berasal dari kata "tengah" atau "ngatengahang" yang berarti
"bergerak ke daerah yang lebih dalam". Penurunan kata ini berhubungan dengan
pergerakan orang-orang desa dari daerah pinggir pantai ke daerah pemukiman, dimana
posisi desa ini adalah di tengah-tengah perbukitan, yakni Bukit Barat (Bukit Kauh) dan
Bukit Timur (Bukit Kangin).

Versi lain mengatakan bahwa orang-orang Tenganan berasal dari Desa Peneges, Gianyar,
tepatnya Bedahulu. Berdasarkan cerita rakyat, dulu Raja Bedahulu kehilangan salah satu
kudanya. Orang-orang mencarinya ke Timur dan sang kuda ditemukan tewas oleh Ki
Patih Tunjung Biru, tangan kanan sang raja. Atas loyalitasnya, sang raja memeberikan
wewenang kepada Ki Patih Tunjung Biru untuk mengatur daerah itu selama aroma dari I
carrion kuda tercium. Ki Patih seorang yang pintar, is memotong carrion menjadi
potongan-potongan dan menyebarkannya sejauh yang dia bisa lakukan. Dengan demikian
dia mendapatkan daerah yang cukup luas.

Kata Pegeringsingan diambil dari kata "geringsing". Geringsing adalah produk tenun
tradisional yang hanya dapat ditemukan di Tenganan. Gerinsing dianggap sakral yakni
menjauhkan kekuatan magis jahat atau black magic. Geringsing diturunkan dari kata
"gering" yang berarti sakit dan "sing" yang berarti tidak.

Lokasi:Tenganan Pegeringsingan terletak di Kecamatan Manggis, sekitar 65 km dari


Denpasar (Bandar Udara Internasional Bali), dekat dengan Candidasa dan dapat
dijangkau dengan mudah oleh kendaraan umum atau pribadi.

Fasilitas:Wisatawan akan merasa nyaman mengunjungi daerah ini karena banyak fasilitas
yang tersedia misalnya: warung, kamar mandi yang bagus, toko barang-barang seni, dan
area parkir yang luas. Jika Anda ingin makan di restoran atau bermalam di daerah ini,
Anda bisa datang ke Candidasa, sekitar 3 km dari desa ini.

Dalam Kerajaan Bali Kuno, ditanah inilah Ki Patih Tunjung Biru memperoleh kuasa
sebagai menteri kerajaan. Masa itu, Bali dipimpin oleh putra Shri Musala Masuli yang
bernama Shri Gajah Waktra dengan gelar Dalem Bedahulu atau Sri Astasura Ratna Bumi.
Dengan kesaktian dan kebijaksanaannya, Bali pada waktu itu diperintah dengan adil dan
tenteram. Dalam pemerintahannya, beliau dibantu para menteri yang patuh memegang
perintah sang raja, disiplin, dan sakti mandraguna.Diantaranya Ki Pasung Grigis sebagai
mahapatih berkuasa di Tengkulak Ki Kebo Iwa sebagai patih muda berkedudukan di
Blahbatuh, Ki Tunjung Tutur mengambil tempat di Tianyar, Ki Tunjung Biru berada di
Tenganan, Ki Tambyak di Jimbanan, Ki Buan di Batur, Ki Kopang di Seraya, Ki Walung
Singkal di Taro. Para menteri inilah yang selalu menjaga tanah Bali.

Dari sinilah timbul cerita bahwa orang-orang Tenganan berasal dari Bedahulu, Gianyar.
Suatu kali, raja Dalem Bedahulu kehilangan salah satu kuda kesayangannya. Di manakah
kuda itu meringkik? Raja berniat hati agar kuda itu ditemukan. Maka diperintahlah
orang-orang Bedahulu untuk mencarinya ke timur Bali di bawah pimpinan Ki Patih
Tunjung Biru. Di tanah inilah pada akhirnya kuda itu ditemukan dalam keadaan tidak
bernyawa oleh Ki Patih. Atas kerja keras dan kesetiaan Ki Tunjung Biru maka sang raja
memberikan wewenang untuk mengatur dan menguasai daerah tempat kuda itu
ditemukan.
Wilayah yang bisa dikuasai sejauh aroma bangkai kuda itu bisa tercium. Berkat
kepintaran Ki Patih, dipotong-potonglah bangkai kuda itu dan disebarkan sejauh mungkin
sehingga sang menteri kerajaan bisa mendapatkan daerah kekuasaan yang cukup
luas.Tengananpun menjadi tempat kekuasaan Ki Patih Tunjung Biru hingga masa
ekspedisi Gajah Mada ke Bali. Dimanakah Ki Tunjung Biru membakar semangat laskar
perang Bali Aga ketika Gajah Mada menyerang Bali? Di sini di tengah-tengah bukit
Tenganan kupercayai Ki Tunjung Biru gugur sebagai ksatria sejati melawan serangan
pasukan Majapahit dari pintu gerbang timur Pulau Bali.

Jika aku Tenganan, kudapati pandan-pandan itu tengah berduri. Meruncing pada tepi-tepi
daunnya yang menyirip hijau. Siapakah yang menjadikan pandan-pandan itu tumbuh
menyuburi Pageringsingan? Kupercayai ini sudah menjadi titah Dewa Indra sebagai dewa
tertinggi dalam dunia peperangan. Di tanah Tenganan Dewa Indra selalu dihormati
dengan ritual Perang Geret Pandan. Warga percaya bahwa mereka adalah keturunan
ksatria perang dari tanah suci India. Setajam apakah duri-duri itu akan menggeret kulit
tubuhmu? Setajam hatimu untuk selalu menjaga tradisi perang yang penuh dengan
kedamaian itu. Nah, duri-duri itu telah lama menunggumu untuk beryuda di atas arena
perang tradisional. Juga tameng ata (sejenis tumbuhan pakis yang merambat) itu,
bukankah telah lama merindukannya? Perisai yang akan melindungimu nanti dari geretan
duri pandan lawan. Sudah siapkah dirimu bersetubuh dengan duri-duri itu?

Pada sasih kelima tepat di Hari Raya Sambah perang pandan kembali berkobar. Arena
yang selalu jadi riuh itu telah menanti laki-laki pemberani sebagai laskar ksatria perang.
Di arena perang itulah, pemuda-pemuda Tenganan akan membuktikan bahwa raga dan
jiwa mereka betul-betul kuat mempertahankan tradisi yang telah berurat-akar. Tajamnya
duri pandan Tenganan tak lalu membuatnya jadi takut jika menghujani punggungnya
yang menegak matahari. Sakitkah ketika duri-duri itu menggeret kulit punggungnya?
Gepokan daun pandan berduri itu akan menjadi saksi bahwa tubuhmu betul-betul kuat
menahan sakit dan perih sesaat. Jikapun punggungnya itu nanti berdarah tak lalu
membuatnya meringis kesakitan.
Mereka kini tahu, keteguhan hatinya betul-betul diuji di laga perang. Semangat akan
makin menyala untuk menggores punggung lawan ketika tahu bajang-bajang dari celah
jendela di atas rumah panggung itu memberinya sorak dalam senyum yang menggoda.
Siapakah yang akan mencabuti duri-duri itu pada punggungnya yang memerah? Ketika
duri-duri itu dicabuti satu per satu, tarian perang pun telah usai. Perang pandan selalu
berakhir dengan damai. Bagiku tak ada yang menang tak ada yang kalah. Kemenangan
sejati akan ada ketika tradisi itu tetap terjaga sepanjang pandan-pandan itu terus berbunga
dan berduri ditanah Bali Aga Tengan

Anda mungkin juga menyukai