Anda di halaman 1dari 4

Babad Bendesa Mas

Om Awigenam Astu
BABAD BENDESA MAS SECARA RINGKAS

PANCA PANDITA
Mpu Geni Jaya beserta adik-adiknya Mpu Semeru, Mpu Kuturan, Mpu Pradah dan Mpu
Gana merupakan panca pandita dari India yang pada suatu ketika menghadap Raja
Airlangga di Kediri. Kedatangan mereka ke Indonesia adalah terutama untuk membina
pulau Bali atas perintah Bhatara Paçupati. Yang meneruskan perjalanan ke Bali adalah:
1. Mpu Semeru menetap di Besakih.
2. Mpu Gana di Dasar Bhuwana, Gelgel.
3. Mpu Kuturan di Çilayukti, Padang.
Yang tinggal di Jawa adalah:
1. Mpu Pradah di Pajarakan, Kediri dan
2. Mpu Genijaya.

MPU GENI JAYA (1157)


Mpu Geni jaya mempunyai 7 putera (Sapta Pandita) yang tinggal di Kuntuliku, Jawa
Timur. Dalam tahun 1157 Mpu Geni jaya pergi ke Bali untuk mengunjungi adik-adiknya
lalu menetap di gunung Lempuyang.

Gajah Waktra (1337 - 1343)


Raja Bali, Gajah Waktra beserta pepatihnya Kebo Iwa dan Pasung Gerigis memerintah
Bali selama 1337 - 1343. Kemudian Bali di serang dan di taklukan oleh patih Gajah
Mada dari Mojopahit. Selesai perang, Mpu Jiwaksara yaitu generasi ke-6 dari Mpu Geni
jaya diangkat menjadi puncuk pimpinan pemerintahan Mojopahit di Bali dengan gelar
Patih Wulung. Ayahnya Mpu Wijaksana juga ikut ke Bali dan merupakan pendeta
pertama dari Mojopahit yang mengatur tata keagamaan di Bali setelah Bali jatuh ke
tangan Mojopahit.

PATIH WULUNG (1350)


Pada tahun 1350 Patih Wulung berangkat ke Mojopahit untuk memberi laporan kepada
ratu Mojopahit Tri Buana Tunggal Dewi tentang keadaan di Bali dan sekaligus mohon
supaya cepat di angkat seorang raja di Bali sebagai wakil pemerintahan Mojopahit.
Akhirnya diangkatlah salah satu putra dari Danghyang Kepakisan, yaitu Dalem Ketut
Kresna Kepakisan menjadi raja di Bali, berkedudukan di Samplangan kemudian di
Gelgel.
Berselang beberapa tahun, Sri Kresna Kepakisan ingin mempersatukan Blambangan dan
Pasuruan yang dikuasai sang kakak, yaitu Dalem Wayan dan Dalem Made dengan
kerajaan Bali. Penyerangan dilakukan ke Pasuruan dibawah pimpinan Patih Wulung. Sri
Kresna Kepakisan berpesan agar sang kakak jangan sampai di bunuh. Namun dalam
perang tanding antara Patih Wulung dan Dalem Pasuruan, yang terakhir ini terkena
senjata Patih Wulung lalu gugur.
Setelah patih Wulung dengan pasukannya kembali ke Bali dan melaporkan jalannya
peperangan yang berakhir dengan gugurnya Dalem Pasuruan, Sri Kresna Kepakisan
menjadi sangat marah lantaran Patih Wulung telah melanggar pesannya sebagai tersebut
di atas. Patih Wulung diusir dari gelgel setelah dibekali beberapa sikut tanah dan
beberapa ratus prajurit. Di samping itu juga diberi gelar Kiyai Gusti Pangeran Bendesa
Manik Mas. Patih Wulung pindah ke Bali Tengah yang kemudian disebut Bumi Mas kira-
kira dalam tahun 1358.

Ki Patih Wulung atau Kiyai Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas mempunyai 2 putra,
yaitu:
Putra pertama adalah Kiyai Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas (II) yang menetap di
Desa Mas dan menurunkan:
a. Kiyai Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas (III),
b. Gusti Luh Made Manik Mas,
c. Gusti Luh Nyoman Manik Mas Genitri, yang kemudian diperistri oleh Danghyang
Nirartha.

Nama Bendesa Mas tetap tercantum sebagai pengenal garis keturunan. Dari sinilah
menurun para Bendesa Mas yang tersebar di seluruh Bali antara lain di Gading Wani.
Putra kedua dari Patih Wulung adalah Kiyai Gusti Pangeran Semaranata, menetap di
Gelgel dan menurunkan Gusti Rare Angon, leluhur dari Kiyai Agung Pasek Gelgel.
Istilah Pasek berasal dari istilah kata pacek yang berarti pejabat. Semua pegawai kerajaan
dari Perdana Menteri, Panglima Perang, Prajurit dan pegawai lainnya adalah pejabat.

DANGHYANG NIRARTHA (1489)


Di zaman Dalem Watu Renggong (1460 - 1550) datanglah ke Bali Danghyang Nirartha
atau Pedanda Sakti Wawu Rauh dalam tahun 1489 lalu diangkat menjadi Bagawantha
kerajaan.
Danghyang Nirartha adalah putra dari Danghyang Semara Natha yang bersama-sama
pindah dari Mojopahit ke Daha, karena Mojopahit telah jatuh ke tangan Islam dalam
tahun 1474. Islam kemudian juga merambat ke Kediri dan oleh karena itu Danghyang
Nirartha pergi bersama kedua putra putrinya yang masih kecil, yaitu Ida Suwabawa
(wanita) dan Ida Kulwan (laki) ke Pasuruan.

Di sini beliau menikah lagi dengan seorang putri Pasuruan yang melahirkan: 1. Ida Lor
atau Ida Manuaba dan 2. Ida Wetan.
Dari Pasuruan Danghyang Nirartha pindah lagi ke Belambangan di mana beliau menikah
dengan adiknya Dalem Blambangan yang bernama Patni Keniten Saraswati dan
melahirkan: 1. Ida Selaga atau Ender, 2. Ida Keniten, 3. Ida Nyoman Stri Rai (wanita).
Timbul keributan di istana Blambangan lantaran istrinya dalem jatuh cinta pada Mpu
Nirartha dan Dalem menuduh Nirartha mengguna-gunai sang permaisuri. Akhirnya
Nirartha diusir dari Blambangan. Disertai ketujuh putra putrinya dan sang istri Patni
Keniten Saraswati, beliau menyeberang ke Bali dan turun di pelabuhan Purancak.
Perjalanan dilanjutkan ke arah timur dan suatu ketika rombongan sampai di Desa Gading
Wani, yang penduduknya kebetulan ditimpa penyakit sampar. Kedatangan Danghyang
Nirartha disambut oleh Ki Bendesa Gading Wani dengan ramah dan memohon kepada
beliau agar sudi menolong mengobati mereka yang sedang sakit. Berkat kesaktian
Danghyang Nirartha berhasil menyembuhkan rakyat Gading Wani dan sejak itu beliau
disebut pula Pedanda Sakti Wawu Rauh. Sebagai tanda bakti Ki Bendesa Gading Wani
mempersembahkan kepada beliau seorang putrinya bernama Ni Luh Petapan untuk di
jadikan pelayan.

Nama Danghyang Nirartha makin terkenal di Bali dan oleh karena itu Ki Pangeran
Bendesa Manik Mas mengundang beliau untuk datang ke Bumi Mas, lebih-lebih setelah
diketahui, bahwa mereka masih saudara sepupu. Di Bumi Mas, Danghyang Nirartha
dibuatkan oleh Ki Pangeran Bendesa Manik Mas sebuah pasraman dan sebuah
permandian.
Setelah cukup lama tinggal di Mas, Kiyai Pangeran Bendesa Manik Mas
mempersembahkan putrinya Gusti Nyoman Manik Mas Genitri kepada Danghyang
Nirartha untuk di jadikan istri. Dari perkawinan ini lahirlah seorang putra yang diberi
nama Ida Bokcabe. Ni Berit putri yang dibawa dari Melanting-Pulaki dan Luh Petapan
putri dari Ki Bendesa Gading Wani akhirnya dikawini pula dan dari yang pertama lahir
Ida Andapan sedangkan dari yang kedua lahir Ida Petapan.

BUMI MAS DISERANG SUKAWATI (1750)


Kira-kira dalam tahun 1750 Bumi Mas diserang oleh Kerajaan Sukawati, oleh karena
Pangeran Bendesa Manik Mas tidak mau menyerahkan pusaka-pusakanya kepada Dalem
Sukawati. Barang-barang pusaka dimaksud adalah pusaka leluhur Mojopahit yang dahulu
diberikan oleh Ratu Mojopahit dan Patih Gajah Mada kepada Ki Patih Wulung sebagai
penguasa Bali Aga Mojopahit. Pusaka itu terdiri dari keris, mahkota dan sebuah permata
yang sangat dimuliakan bernama Menawa Ratna.

Penolakan Pangeran Bendesa Mas tersebut berdasarkan sebuah prasasti yang dahulu di
keluarkan oleh Dalem Kresna Kepakisan (leluhur Dalem Sukawati) kepada Ki Patih
Wulung, sewaktu patih ini diusir dari Gelgel ke Bumi Mas. Dalam prasasti ini antara lain
di muat: "Kekayaan, harta benda, pusaka-pusaka dan lain-lain yang menjadi milik
Bendesa Mas tidak boleh diambil atau dijarah/dikuasi untuk kerajan".
Dalem Sukawati tidak mengindahkan atau tidak memahami isi wisama ini, lalu Bumi
Mas diserang dengan pasukan besar yang mengakibatkan terbunuhnya Sang Pangeran
Bendesa Mas dan keluarganya menghilang dari Bumi Mas termasuk keluarga Brahmana
Mas. Keluarga Bendesa Mas menjadi cerai berai dan mengungsi kesegala plosok pulau
Bali, juga ke Gading Wani.

PENUTUP
Berdasarkan babad tersebut di atas, maka Pura Kawitan para Bendesa Mas adalah Pura
Lempuyang Madia, bekas parhyangan Mpu Genijaya. Di samping itu pula nyungsung ke
Pura Gading Wani (Lalanglinggah) dan Pura Taman Pule (Mas). Juga Pura Çilayukti
(Padang) dan Pura Dasar Bhuwana (Gelgel) tidak boleh dilupakan.
Waktu di pura Besakih dibangun sebuah pelinggih untuk memuja arwah suci Danghyang
Nirartha, di sebelah timurnya didirikan pula pelinggih untuk Bendesa Mas. Namun
demikian lelintihan/asal-usul dan hukum kepurusa, para Bendesa Mas patut nyungsung
pula pura pedharman di komplek pura Besakih, yaitu Pura Ratu Pasek.
Sumber:
1. Surat Jro Mangku Gde Ketut Soebandi, Tgl. 13-11-199.
2. Buku "Babad Bali Agung", I.N. Djoni Gingsir.
3. Buku "Babad Pasek dan Bandesa", I Gst. Bgs. Sugriwa.

Anda mungkin juga menyukai