Anda di halaman 1dari 13

MAHA YOGI RSI MARKANDEYA

Silsilah Maha Yogi Rsi


Markandeya.
Rsi Markandeya adalah seorang Maha Yogi yang sangat
utama yang berasal dari keturunan warga Bregu.
Bheghawan Bregu adalah keturunan dari Hyang
Jagatnatha yang bergelar Sang Hyang Ratnamaya. Beliau
adalah putra dari Sang yang Tunggal yang menjaga dan
menguasai dunia seluruhnya. Dikisahkan, Salah satu
keturunan Hyang Jagatnatha bernama Sang Hyang Rsiwu,
beliau seorang Mahayogi yang amat bijaksana mempunyai
putra bergelar Sang Hyang Meru.
Sang Hyang Meru mempunyai Putra Sang Ayati dan
adiknya Sang Niata. Sang Ayati mempunyai putra bernama
Sang Prana , dan Sang Niata mempunyai putra bernama
Sang Markanda. Sang Markanda memperistri seorang
gadis cantik dan sempurna bernama Dewi Manswini.
Inilah yang Melahirkan Sang Maharsi Markandeya. Rsi
Markandeya sangat tampan da mempunyai banyak ilmu,
Lama beliau membujang dan akhirnya memperistri Dewi
Dumara. Dan mempunyai putra seorang bergelar Hyang
rsi Dewa Sirah.Rsi Dewa sirah memperistri Dewi Wipari.
Rsi Markadeya adalah titisan Dewa Surya yang berasal
dari Negara Bharatawarsa ( India). Dan Beliau
berkeinginan mengembangkan ajaran Yoga beliau menuju
daerah selatan India di bagian timur Nusantara dengan
beberapa murid beliau yang telah siap turun gunung.
Perjalanan beliau pertama menuju Gunung Dumalungdi
Hyang yang disebut gunung Hyang atau Dewata.
Namun disana sudah ada pertapaan Sang Ila putra Rsi
Trenawindhu yang merupakan murid dari Sang Hyang
Maharsi Agastya. Yang telah bertapa di tanah Jawa dan
telah berbaur dengan Sapta Rsi di sana. Dan itulah
sebabnya Hyang Mahayogi Merkandeya pergi ke tempat
lain yaitu Gunung Raung,Jawa timur. Disana beliau bertapa
dan membangun pesraman,dan pada suatu hari Belau
mendengar Sabda Dari Akasa Dan melihat sinar menjulang
ke Akasa, Sabda didengar dari leluhur Beliau Hyang
Jagatnatha, dan Sabda itu memerintahkan Mahayogi
Markandeya pergike arah timur yaitu Balipulina. Sebelah
timur Tanah jawa, dan di Sabdakan itu karena di Bali
Pulina ada Stana Para Dewa yaitu di Gunung Tohlangkir (
Gunung Agung).Yang pada saat itu disebut Giri Raja,Dalam
Sabda beliau mendengar bahwa Gunung itu adalah
potongan Gunung Maha Meru yang di bawa hyang
Pasupati untuk memngunci Dunia saat itu.
Akhirnya Mahayogi Markandeya pergi kea rah Timur Bali
sesuai sabda dengan pengikutnya sebanay 400 orang,
Namun dalam perjalanan pertama ini, beliau mendapat
Halangan semua pengikutnya meninggal terserang
penyakit, Karena mendapat halangan Beliau kembali ke
Gunung Raung Jawa, bersemedi untuk mohon petunjuk,
Dari hasil semedi beliau mandapat wahyu , kalau ingin
selamat dalam perjalanan Dharmayatra ini Harus
menanam Panca Datu sebagai dasar Yadnya untuk
keharmonisan dengan alam Bali ini. Seterusnya beliau
melakukan perjalanan ke dua kali dengan pengikut
800orang .Beliau berkehendak berdharmayatra
menyebarkan ajaran ajaran Tri Sakti paksa, terutama
Waisnawa Paksa segala aturan Tatacara upacara dan
upakaranya. Dan Pada perjalanan ke dua ini., beliau
menghaturkan Yadnya berupa penanaman Panca Datu di
Gunung Tohlangkir, sekarang disebut Besakih.
JEJAK MAHA RSI MARKANDEYA DI BUMI
PARHYANGAN.
Pura Murwa (Purwa) Bhumi menjadi tonggak pertama kali
Maharsi Markandeya menyebarkan ilmu keagamaan,
menularkan ilmu teknologi pertanian pada orang Aga yang
tinggal di Payangan.
Kecamatan Payangan yang berlokasi di belahan barat laut,
Kabupaten Gianyar, selama ini lebih banyak dikenal
sebagai daerah pertanian, terutama penghasil buah leci.
Satu identitas yang sulit ditampik kenyataannya.
Mengingat hanya di Payangan jenis tanaman yang
menurut cerita masyarakat Payangan berasal dari ngeri
Tirai Bambu, Cina, banyak bertumbuhan.
Di balik potensi pertanian yang dimiliki, kawasan yang
berada sekitar 500 meter dari permukaan laut ini ternyata
memiliki banyak tempat suci tergolong tua. Satu di
antaranya Pura Murwa Bhumi.
Lokasi pura tua ini tak jauh dari pusat kota kecamatan.
Kalau Anda berangkat dari Denpasar hendak menuju
Kintamani dan mengambil jalur jalan raya Payangan, maka
di satu tempat sebelah timur jalan, kurang lebih 500 meter
sebelum Pasar Payangan, coba sempatkan melihat ke arah
kanan jalan (arah timur). Di sana terpampang dengan jelas
papan nama Pura Murwa Bhumi atau masyarakat sekitar
ada menyebut Purwa Bhumi. Dalam penjelasan Kelian
Dinas Pengaji sekaligus menjadi Kepala Desa Melinggih
Kelod, I Made Suwardana, pura yang diempon warga Desa
Pengaji ini memiliki pertalian dengan kisah perjalanan
seorang tokoh suci Maharsi Markandeya, di tanah Bali
Dwipa.
Seperti banyak tersurat dalam lontar atau Purana, di
antaranya lontar Markandeya Purana, bahwa sang yogi
Markandeya yang kawit hana saking Hindu (yogi Rsi
Markandeya berasal dari India), melakukan perjalanan
suci menuju tanah Jawadwipa. Beliau sempat beryoga
semadi di Gunung Demulung, lalu berlanjut ke Gunung Di
Hyangkelak Gunung Di Hyang dikenal dengan nama
Gunung Dieng, berlokasi di Jawa Tengah.
Dari Gunung Dieng Rsi Markandeya meneruskan
perjalanan menuju arah timur ke Gunung Rawung yang
terletak di wilayah Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa
Timur. Di Gunung Rawung sempat membangun pasraman,
sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Bali.
Di pulau mungil ini Maharsi bersama pengikutnya
merabas hutan dan membangun banyak tempat suci. Di
antaranya Pura Murwa Bhumi.
Mengenai Pura Murwa Bhumi, tradisi lisan di Payangan
dan sekitarnya menyebutkan, tempat suci ini konon
menjadi tempat pertama kali Maharsi Markandeya
memberikan pembelajaran kepada para pengikutnya.
Penegasan yang cukup masuk diakal, terutama bila
dikaitkan dengan nama tempat di mana pura tersebut
dibangun, yakni Desa Pengaji.
Besar kemungkinan nama Pengaji diambil dari satu tugas
mulia Maharsi Markendya selama berada di Payangan,
yakni memberi pengajian (pembelajaran) pada orang-
orang. Kehadiran Pura Murwa Bhumi ada tercatat di
dalam prasasti, sebut Cokorda Made Ranayadnya, tetua
dari Puri Agung Payangan, sekaligus pangempon di Pura
Murwa Bhumi. Satu di antaranya tertulis dalam prasasti
Pura Besakih yang termuat di Buku Eka Dasa Ludra.
Dalam buku itu disebutkan secara singkat bahwa ada pura
di Payangan bernama Pura Murwa Bhumi. Dulu, warga
sekitar sering menyebut Pura Dalem Murwa.
Tak beda jauh dengan penjelasan Cok Ranayadnya. Dalam
buku Sejarah Bali Jilid I dan II, karangan Gora Sirikan dan
diterbitkan Nyoman Djelada, juga ada menerangkan,
kedatangan Rsi Markandeya yang kedua ke Bali dengan
mengikutsertakan ribuan orang dari Desa Aga, Jawa.
Orang Aga ini dikenal sebagai petani kuat hidup di hutan.
Maharsi Markandeya mengajak pengikut orang Aga guna
diajak merabas hutan dan membuka lahan baru. Setelah
berhasil menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-
bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah,
ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat awal
melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa
bernama Puwakan. Kini lokasinya di Desa Puwakan, Taro
Kaja, Kecamatan Tegallang, Kabupaten Gianyar.
Tentang pembagian tanah dan kehadiran maharsi di Bali,
dalam Markandya Purana ada dijelaskan:
Saprapta ira sang Yoghi Markandya maka di watek pandita
Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta
agelis sang Yoghi Markandya mwang watek Pandita
prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha
samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara kabeh,
sang Pandita aji anguncar aken wedha panulaks arwa
marana, tarmalupengpuja samadhi, Dewayajna mwang
Bhhutayajna, Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning
pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon
angrabas ikangwana balantara, angrebah kunang taru-
taru, ngawit saking Daksina ka Utara.
Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara,
mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih
pasangkalan, Sang Yoghi Markandya anuduh akenwadwan
ira araryanrumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira
sadaya, angangge sawah mwang tegal karang
paumahan..,
Artinya:
Setibanya Sang Yoghi Markandya seperti juga para Pandita
Aji, bersama rakyatnya semua di tempat yang di tuju,
maka segera Sang Yoghi Markandya dan para pandita
semuanya melakukan bratha samadi, dengan
mengucapkan wedha samadi, serta weda memohon
perkenan Ida Batara semua, Sang pandita Aji
mengucapkan weda penolakan terhadap semua jenis
hama dengan tak melupakan puja samadhi,
menyelenggarakan upacara Dewayajnya dan Bhutayajnya,
serta memuja Pertiwi. Setelah selesai melakukan pangaci-
aci (melakukan upacara), maka seluruh rakyatnya
diperintahkan merabas hutan belantara tersebut,
menebang kayu-kayu, di mulai dari selatan setelah itu
baru ke utara.
Atas perkenan Tuhan Hyang Maha Kuasa, proses
perabasan hutan tak mendapat halangan. Karena sudah

luas, maka Sang Yoghi Markandya


memerintahkan rakyatnya untuk berhenti melakukan
perabasan hutan. Yoghi Markandya kemudian membagi-
bagikan lahan itu kepada pengikutnya untuk dijadikan
sawah, tanah tegalan, serta pekarangan rumah.
Usai melakukan pembagian tanah, Maharsi Markandeya
kembali melakukan pertapaan di satu tempat yang mula-
mula diberi nama Sarwadha. Tempat dimaksud kini
menjadi Desa Taro, sedang Sarwadha, kini merupakan
lokasi satu tempat suci cukup besar. Sarwadha sendiri
berasal dari kata sarwa (serba) dan ada, Jadilah serba ada,
artinya di tempat inilah segala keinginan tercapai,
lantaran semua serba ada.
Setelah keinginan terpenuhi di Taro, Maharsi kemudian
melanjutkan perjalanan serta memindahkan tempat
pertapaan ke arah barat. Pada satu lokasi yang masih asri.
Di tempat baru itu Beliau mendapat inspirasi (kahyangan)
dari Tuhan, makanya lamat-lamat tempatnya dinamakan
kahyangan, kemudian berubah lagi menjadi parhyangan,
dan kini disebut Payangan.
Tempat di mana rohaniwan
mengelar pertapaan dibuat sebuah mandala srta didirikan
sebuah sebagai tempat memuja para dewa. Pura dimaksud
diberi nama Murwa yang artinya permulaan.
Belum benderang betul kenapa pura yang diberi nama
Purwa atau Murwa (kini bernama Murwa Bhumi) disebut
sebagai permulaan. Tiada tanda jelas yang bisa dijadikan
bukti otentik.
Tapi, bila ditelaah lebih jelas, kata Purwa sama dengan
timur atau yang pertama. Di timur pertama kali matahari
mulai memancarkan sinarnya yang benderang. Di timur
pula bulan kali pertama terbit.
Jika dikaitkan dengan perjalanan Maharsi di Payangan,
boleh jadi di Pura Murwa Bhumi-lah dijadikan tempat
pertama oleh Maharsi Markandeya bertapa sekaligus
memberikan pembelajaran bagi para pengikut
menyangkut agama dan cara-cara berteknologi guna
memperoleh kemakmuran. Makmur yang dimaksud
zaman dulu, jelas menyangkut cara bertani yang baik dan
benar sehingga mampu mendapat hasil bagus.
Tempat suci yang diempon warga Desa Pakraman Pengaji,
menurut Bandesa Pakraman Pengaji Dewa Ngakan Putu
Adnyana, masih memiliki beberapa peninggalan. Di
antaranya palinggih babaturan dan Gedong Bang yang
menjadi stana Ida Rsi Markandeya. Dulu ada peninggalan
terbuat dari batu yang dinamakan Bedau. Bentuknya
menyerupai perahu, kata Ngakan Adnyana. Dari Bedau
itu terus keluar air yang biasa dimohon oleh warga guna
dijadikan sarana pengobatan, terutama bila ada ternak
yang sakit. Sayang, tinggalan tua itu telah rusak dan
sebagai pengingat saja, warga mengganti dengan perahu
batu baru.
Selain tinggalan tua berupa palinggih, di Pengaji sampai
saat ini masih berkembang struktur masyarakat Bali Aga
terutama menyangkut keagamaan, yang dinamakan Ulu
Apad (delapan tingkatan), mulai dari Kubayan, Kebau,
Singgukan, Penyarikan, Pengalian, pemalungan, Pengebat
Daun, dan Pengarah. Warga yang tercatat dalam struktur
organisasi tradisional ini akan menunaikan tugas sesuai
fungsi dan jabatan yang dipegang.
TAPAK-TAPAK SUCI SANG
MAHARSI.
Jejak perjalanan Rsi Markandeya menelusuri tanah
Balidwipa, banyak meninggalkan atau ditandai oleh
pembangunan tempat suci. Pura itu banyak yang menjadi
sungsungan jagat, tak sedikit pula yang di-emong warga
desa pakraman.
Tempat-tempat suci yang berhubungan dengan Rsi
Markandeya di Bali meliputi Pura Basukian di kaki
Gunung Agung (Gunung Tolangkir), tepatnya di Desa
Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem.
Semula, lokasi pura merupakan tempat yajnya tempat Rsi
Markandeya menanam kendi yang berisi Pancadatu, lima
jenis logam mulia. Seperti perunggu, emas, perak,
tembaga, dan besi. Tujuannya, supaya Maharsi beserta
pengikutnya mendapat keselamatan. Lamat-lamat
komplek pura Basukian dikenal dengan nama Besakih.
Berikutnya ada Pura Pucak Cabang Dahat. Tempat suci ini
berlokasi di Desa Puwakan, Taro, Kecamatan Tegalalang,
Kabupaten Gianyar. Pura ini dibangun sebagai tanda
pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan
perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung
Agung. Setelah sukses merabas hutan, Maharsi
Markandeya kemudian membagi-bagikan lahan kepada
pengikutnya guna dijadikan pemukiman dan areal
pertanian.
Masih di wilayah Desa Taro, Rsi Markandeya juga
membangun Pura Gunung Raung, sebagai tempat
panyawangan (perwakilan) Gunung Raung yang terdapat
di Desa Sugih Waras, Kecamatan Glanmore, Kabupaten
Banyuwangi, Jawa Timur. Sebab dari tempat itulah
pertama kali sang Rohaniwan mendapat wangsit sebelum
datang ke Bali.
Di kawasan Ubud ada dua tempat suci sebagai pertanda
kedatangan Rsi Markandeya, yakni Pura Pucak Payogan di
Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan,
Ubud, Kabupaten Gianyar.
Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi
Markandeya kemudian bersemadi. Dalam semadinya

menemukan satu titik


sinar terang. Selanjutnya Rohaniwan ini menelusuri sinar
yang ditemukan dalam beryoga, hingga sampai pada satu
tempat agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi
dimaksud Rsi Markandeya melakukan yoga semadi. Nah,
di tempat Maharsi beryoga itulah selanjutnya berdiri Pura
Pucak Payogan.
Sekitar dua kilometer arah tenggara Pucak Payogan,
tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi Markandeya mendirikan
tempat suci Gunung Lebah. Pura ini dibangun sebagai
tempat sang yogi melakukan penyucian diri dari segala
mala petaka atau tempat panglukatan dasa mala.
Dalam Bhuwana Tatwa Maharsi Markandeya ada
ditegaskan:
Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman
sira rsi Markandya iniring para sisyan ira, makadi kula
wanduan ira sira sang Bhujangga Waisnawa.

Artinya : Di pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah Wihara


sebagai pasraman Ida Maharsi Markandeya disertai oleh
muridnya, seperti sanak keluarga sang Bhujangga
Waisnawa.

Ketika melanjutkan perjalanan ke


wilayah Parhyangan (Payangan), sesuai yang tersurat di
buku Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, karangan Gde
Sara Sastra, bahwa Maharsi Markandeya juga membangun
tempat suci Murwa (Purwa) Bhumi. Pura dimaksud
berlokasi di Desa Pakraman Pengaji, dan warga setempat
meyakini di tempat itulah Maharsi dari India ini pertama
kali (Purwa) memberikan proses pembelajaran kepada
para pengikutnya. Pelajaran yang diberikan selain
menyangkut agama juga tentang teknologi pertanian.

Setelah berhasil memberikan pengajian, termasuk


menjadikan masyarakat Aga di Payangan sukses dalam
mengelola pertanian, maka sang Maharsi kembali
membangun tempat suci yang diberinama Sukamerih
(mencapai kesukaan). Letaknya tepat di seberang jalan
Pura Murwa Bhumi.
Sesuai penjelasan Bandesa Pakraman Pengaji, Dewa
Ngakan Putu Adnyana, kedua pura tadi oleh warga Pengaji

diyakini ada saling


keterkaitan. Maka, upacara keagamaan juga dilaksanakan
secara bersamaan.
Pura Pucak Payogan,adalah Tempat Yoga Semadi
Mahayogi Markkandeya. Dan Tempat ini tempat beliau
moksa sebagai akhir penjalanan Dharmayatra beliau.

Anda mungkin juga menyukai