Anda di halaman 1dari 13

Paramita Vol. 21, No.

2 - Juli 2011

PUJĀ-CARU PADA MASYARAKAT


JAWA KUNA
Hariani Santiko
Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia

ABSTRACT ABSTRAK

The offering known as caru or macaru is still Korban yang dikenal sebagai caru atau macaru
done in Bali. This macaru in Bali is actually masih dilakukan di Bali. Hal ini macaru di Bali
blood sacrifice offered to the lords of the demonds sebenarnya darah pengorbanan yang ditawarkan
(bebutan or butabala) before the Balinese doing a kepada raja butha (bebutan atau butabala) sebe-
special ritual for instance the Nyepi ceremony. lum Bali melakukan ritual khusus misalnya
The most important caru is called “caru man- upacara Nyepi. Yang paling penting adalah caru
casanak”, they sacrifice animals and other ingre- disebut "caru mancasanak", mereka men-
dients. The word caru is known in Old-Javanese gorbankan hewan dan bahan lainnya. Kata caru
inscriptions and Old-Javanese/Middle-Javanese dikenal di prasasti Jawa kuno dan karya sastra
texts among others are the Adiparwa, Rāmāyana, Jawa Kuno/Jawa Tengah antara lain adalah Adi-
Sutasoma, Korawasrama, Calon Arang. How- parwa, Ramayana, Sutasoma, Korawasrama,
ever no special explanation on the meaning of the Calon Arang. Namun tidak ada penjelasan
word caru and its rituals. khusus arti kata caru dan ritualnya.

Keywords: pūjā caru, ambhūtayajña, buburpē- kata kunci: pūjā caru, ambhūtayajña, buburpē-
han, pindapitryājña, kunda, homayajña, skul- han, pindapitryājña, Kunda, homayajña, skul-
dinyun. dinyun.

PENDAHULUAN Pūjā caru ditujukan untuk para bhūta


(bebutan, butabala) serta pemimpinnya
Dalam berbagai sumber tertulis di yang disebut bhutaraja. Upacara dilaku-
Jawa kita mengenal adanya suatu kan oleh seorang sengguhu, dan bi-
persembahan atau sesaji pūjā untuk to- natang serta benda-benda yang akan
koh tertentu yang disebut caru. Bagai- dijadikan sesaji diletakkan di atas tanah
mana upacara pūjā tersebut belum ban- mengarah keempat mata angin, ditam-
yak kita ketahui, tetapi rupanya Pūjā bah satu di tengah, sebagai berikut: di
caru ini masih hidup di Bali, bahkan me- sebelah Timur: seekor angsa, anak ayam
rupakan suatu pūjā sesaji yang penting. berbulu putih, bermacam-macam benda
Pūjā caru di Bali lebih tepat disebut berwarna putih, bisa kelipatan lima. Se-
“macaru mancasanak” merupakan belah Selatan: seekor anjing warna cok-
upacara yang dilakukan antara lain se- lat kemerahan dengan moncong hitam
belum melakukan suatu upacara besar atau putih, anak ayam berbulu coklat
dengan tujuan “membersihkan” dari kemerahan, dan benda-benda berwarna
berbagai gangguan yang tidak di- merah, bisa kelipatan Sembilan. Sebelah
inginkan selama melakukan upacara Barat : seekor kambing atau anak sapi
yang dimaksud. Sebelum upacara warna putih kekuningan (krem), anak
Nyepi, misalnya, diadakan upacara caru ayam berbulu putih dengan kaki warna
di batas desa atau di perempatan jalan kuning, benda-benda warna kuning,

Paramita Vol. 21 No. 2 - Juli 2011 [ISSN: 0854-0039]124


Hlm. 125-137
Paramita Vol. 21, No. 2 - Juli 2011

bisa kelipatan. Sebelah Utara: seekor prasasti Kwak III, prasasti Kubu-kubu
babi muda atau domba hitam, anak tahun 827 Śaka, prasasti Sugih Manek
ayam berbulu hitam benda-benda ber- tahun 837 Śaka, prasasti Lintakan tahun
warna hitam, bisa kelipatan empat. Ten- 841 Śaka, prasasti Siman (Paradah) ta-
gah : seekor sapi, anak ayam berbagai hun 865 Śaka, (Sarkar I, 1971: 171-177, II,
warna, benda-benda warna 5 macam, 1972: 53-54, 162-183), dan prasasti
bisa kelipatan 8. Trailoyapuri II (Jiu II) tahun 1408 Śaka
Pūjā caru ini selain ditujukan (OJO XCIII).
kepada bhūta yang dianggap sangat Dalam prasasti-prasasti tersebut di
mengganggu manusia, juga untuk dewa atas, persembahan caru atau pūjā caru
-dewa penghuni dunia bawah, dianta- pada umumnya dikaitkan dengan
ranya Bhatārī Durgā dan Yamaraja, upacara pendirian sebuah śima (tanah
yang merupakan dewa kematian perdikan), yaitu pada bagian upacara
(Swellengrebel 1984: 48-49, 99). śapatha, pada upacara pemujaan dewa di
Bagaimana keadaan di Jawa, sebuah bangunan suci, dan/atau di se-
khususnya masyarakat Jawa Kuna buah lapangan yang dipakai melakukan
apakah melakukan hal yang sama den- upacara śapatha tersebut. Śapatha berarti
gan upacara caru di Bali? Pada beberapa “kutukan”, disini te rkait dengan
sumber tertulis baik prasasti maupun upacara sumpah kutukan bagi yang
karya sastra Jawa Kuna dan Jawa Ten- melanggar ketentuan sebuah prasasti
gahan, kita menemukan kata “caru”, tentang keputusan raja/pejabat tentang
akan tetapi belum kita ketahui jenis pendirian daerah perdikan (śima). Śa-
yang dipersembahkan untuk siapa dan patha ini biasanya terdapat di bagian
dengan tujuan apa. Data artefaktual be- penutup prasasti.
lum dijumpai, tetapi data sumber tertu- Perkecualian terdapat pada
lis, baik dari prasasti dan maupun dari prasasti Telaga Batu yang ditemukan di
karya sastra Jawa Kuna dan Jawa Ten- sebalah timur Kota Palembang, prasasti
gahan cukup banyak. Pengungkapan berbahasa Sansekerta, dan berhuruf Pal-
data dari prasasti akan dilakukan terle- lava. Tidak berangka tahun, namun dari
bih dahulu, kemudian diperbandingkan bentuk hurufnya, De Casparis mem-
dengan data dari sumber naskah, perkirakan prasasti Telaga Batu seusia
khususnya yang telah diterbitkan untuk dengan prasasti Kota Kapur, di Bangka,
mengetahui pengertian caru serta upaca- yang berasal dari tahun 686 Masehi. Isi
ranya. Dalam hal ini perbandingan den- prasasti berupa kutukan bagi mereka
gan Pūjā caru di India akan dilakukan. yang menghancurkan kerajaan Sriwi-
jaya. Pada baris 11 terdapat kata
mañcaru namun tidak dijelaskan arti
PŪJĀ CARU DI NUSANTARA ABAD dan tujuannya. Melihat konteks dalam
VII-XVI kalimatnya, kemungkinan caru meru-
pakan salah satu bentuk humukan (?)
Pūjā caru pada sumber prasasti yang akan ditimpakan pada mereka
yang akan melanggar perintah dalam
Prasasti yang menyebut caru tidak prasasti itu. Menurut De Casparis kata
terlalu banyak, antara lain prasasti Te- “caru” memiliki arti “korban untuk para
laga Batu di Palembang (De Casparis bhūta (demon)”, dan dalam kaitan den-
1956:33), kemudian prasasti-prasasti di gan prasasti Telaga Batu kata “mañcaru”
Jawa yaitu prasasti Dinoyo tahun 682 diartikan sebagai “mengorbankan
Śaka, prasasti Pereng tahun 784 Śaka, (seseorang) kepada bhūta” (De Casparis

126
Paramita Vol. 21, No. 2 - Juli 2011

1956: 41, cat. 38). samping itu panda dibuat di dalam


Sebuah prasati lain yaitu prasati periuk, beras ditanak, kalau sudah ma-
Dinoyo, yang ditemukan di dekat Kota tang, nasi tidak dikeluarkan dari periuk,
Malang, ditulis di atas batu dalam huruf tetapi dibagi menjadi 4 bagian dengan
Jawa Kuna dan berbahasa Sansekerta. mempergunakan rumput kuśa, setelah
Pada tahun 682 Śaka yang disebut seba- itu baru dikeluarkan dari periuk.
gai bentuk candrasangkala “nayana vayu Masing-masing bagian disebut panda
rasa” raja kerajaan Kanjuruhan bernama pula. Selanjutnya pinda-pinda tersebut
Gajayana mendirikan sebuah bangunan diletakkan di tanah dilambari rumput
suci untuk menempatkan sebuah arca kuśa, kemudian satu persatu dimasuk-
rsi Agastya yang dibuat dari batu hitam, kan ke dalam tungku api (kunda) yang
untuk menggantikan arca yang lama, sudah dipersiapkan untuk itu (Kane
yang terbuat dari kayu cendana. Untuk 1941 I:741-748, Shastri 1963: 170-171).
kepentingan upacara Gajayana mengun- Upacara piŗtyajña ini telah terdapat pada
dang para pendeta ahli dalam Veda upacara Veda pada upacara śrauta-yajña
serta upacaranya, para pertapa (yati) (Gonda 1985: 146).
yang terpilih, para ahli bangunan Dalam agama Veda terdapat 2
(sthapaka) dan sebagainya. Raja men- macam upacara, yaitu grhya-yajňa dan
yedahkan ksetra, lembu yang gemuk- srauta-yajňa. Grhya-yajňa adalah upacara
gemuk, sapi jantan yang sehat dan kuat, bersaji di setiap rumah, yang dilakukan
serta budak-budak laki-laki dan perem- setiap hari yang dilakukan/dipimpin
puan, untuk melaksanakan upacara ca- oleh kepala rumah tangga. Melakukan
ruhavis dan snana (mandi menyucikan homayajňa dalam kunda. Srauta-yajňa
diri) bagi para pendeta (baris 13-19). (dari kara sruti berarti “apa yang di den-
Upacara keagamaan yang dilakukan gan” oleh para pendeta dewa-dewa)
Gajayana adalah upacara Veda, yaitu berupa upacara besar yang dilaksana-
srauta-yajňa (upacara besar) yang dila- kan di sebuah lapangan suci yang dise-
kukan di sebuah lapangan suci (ksetra). but ksetra atau Vedi, dipimpin oleh 4
(Satari 2005, Santiko 2010). Dalam macam pendeta. Di tengah-tengah la-
prasasti ini upacara caru dikaitkan den- pangan didirikan 3 buah tungku yang
gan upacara havis (caruhavis). Uraian diberi nama Garhapatya (sebelah barat),
singkat tentang caru dan havis di India, Ahavaniya (sebelah timur) dan Daksi-
ditemukan di Śatapatha Brahmana, nagni (sebelah selatan). Ada beberapa
Dharmaśastra dan beberapa kitab Pu- upacara penting yang termasuk srauta-
rana. Dari uraian yang serba singkat yajňa yaitu Somayajňa, Rajasurya, Va-
tersebut, penulis ketahui bahwa persa- japeya dan Asvamedha.
jian untuk Pūjā caru di India, berupa Dalam kitab-kitab keagamaan
beras atau gandum ditanak dengan susu tersebut di atas, pengertian tentang havis
dan mentega (ghee) yang dipersem- lebih banyak dibicarakan, berupa persa-
bahkan kepada para dewa (devayajña) jian kepada dewa dan arwah leluhur,
dan kepada arwah (leluhur) (piŗtyajña). berupa campuran gandum, susu, soma,
Upacara untuk arwah disebut śraddha, mentega (ghee), dibuat semacam bubur
lebih dikenal sebagai panda-piŗtyajña, dan kemudian dimasukkan ke dalam
pernah dibicarakan oleh Daksinanranjan api. Secara umum upacara bersaji den-
Shastri. Pada upacara tersebut dijadikan gan mempergunakan api di tungku
panda yaitu beras ditanak dengan air (kunda) disebut homayajňa.
atau air susu, dicampur sayuran dan Bahwa Pūjā caru berupa persajian
daging (?) kemudian dikepal-kepal. Di nasi, terdapat datanya pada prasati di

127
Paramita Vol. 21, No. 2 - Juli 2011

Jawa, antara lain pada prasasti Lintakan, bunga yang indah, demikianlah
sebuah prasasti tembaga yang dikeluar- ditengah-tengah lapangan terda-
kan oleh raja Tulodong tahun 841 Śaka pat tungku sang Hyang Brahmā
(919 Masehi). Pada lempengan 1, baris 3 (berbentuk) persegi empat…..).
dan 4 disebut tentang pendirian sebuah
śima di Kasugihan setalah raja membeli Pada prasasti Pereng dan prasasti
tanah tersebut. Kasugihan dijadikan Paradah, tidak disebut secara eksplisit
śima untuk pembiayaan sebuah caitya di jenis perajinan pada pūjā caru, namun
tempat wafatnya raja yaitu di Turaman- dengan menyebut luas sawah yang
gambil, dan untuk caitya tersebut diberi dipersembahkan untuk caru, kemungki-
persajian caru. (..carua I caitya ni yayah śrĩ nan memang caru berupa beras/nasi.
maharāja I turamangambil ..). Pūjā caru Misalnya pada prasati Siman (Paradah)
disebut dua kali dalam prasasti Linta- (OJO XL VIII), yang membicarakan
kan. Selain pada lempengan I tersebut pendirian ίima untuk membiayai Sang
di atas, pada lempengan III, baris 14, 15, Hyang Dharmma Kamulan di Paradah,
16 terdaftar daftar sajian-sajian yang dikatakan pada 10, …lmah sawah pacaru I
diperlukan untuk upacara śapatha, dan sang hyang dharma kamūlan…dst.
sebagai persembahan kepada Bhatāra Demikian pula pada prasasti Pereng
Brahmā yang bertindak sebagai saksi dewa yang mendapat persembahan caru
upacara tersebut. Dalam daftar saji- adalah sang hyang Wināya (..carua sang
sajian tersebut terdapat caru skul dinyun hyang wināya…) biaya berupa sawah di
(caru berupa) nasi di (tempatkan) di Wukiran sebanyak 2 tampah (Sarkar 1971
periuk) (Sarka 1972 II: 162-182, 169). Sa- I: 171-177).
jian caru disebut “skul dinyun” yaitu nasi Uraian yang agak lengkap terda-
dimasukkan periuk, dan setelah itu pat pada prasasti Trailoyapri (Jiu) II
dalam upacara persajian caru untuk yang berasal dari jaman akhir Majapa-
Bhatāra Brahmā, nasi dimasukkan api hit, tahun 1408 Śaka (1486 Masehi),
dalam kunda (tungku). Perlu dikemu- dikeluarkan oleh raja Sri Girin-
kakan bahwa peranan dewa Brahma di drawarddhana dyah Ranawijaya. Isinya
Jawa lebih mengarah sebagai dewa api. tentang hadiah kepada Śri Brahmarāja
H u b u n g a n d e w a Br a h m ā d e n g a n Ganggadhara berupa tanah di
tungk u te rdapat da lam be ber a pa Trailokyapuri dan lain-lain. Dalam
prasasti khususnya sebelum membicara- prasasti diingatkan agar Śri Brahmarāja
kan śapatha, misalnya pada prasasti tidak melalaikan upacara-upacara pe-
Gilikan I, sebuah prasasti tembaga, mujaan kepada dewa-dewa yang ban-
menyebut tentang kabikuan I gilikan gunan sucinya terletak di daerah-daerah
(Kabikuan di Gilikan), yang diperkira- Trailokyapuri. Pūjā caru disebut dalam
kan dari awal abad IX. Pada bagian prasasti ini. Pada sisi a baris 18-19 dise-
yang membicarakan śapatha, dijelaskan but caru untuk hyang Dharmma (Yama),
bahwa śapatha akan berlangsung di se- Bhatārī Durgī, dan untuk segala jenis
buah lapangan dan di tengah lapangan yang menakutkan (sarvabhīra), disajikan
terdapat benda-benda sebagai berikut susu sapi (?) (puhañjinya goh), serta
(Sarkar 1972 II: 270). segala jenis air suci untuk bhatara
3….hayam 4, hantrini 4 gandha Rama. Pūjā caru untuk bhatārī Durggā
dhūpa puspāksata nāhan munggu 4, I disebut secara khusus walaupun bi-
tngah ning pasabhān muang sang asanya paling kecil, yaitu dilaksanakan
hyang brahmā caturaśra kunda…. persajian oleh mahāmantri di sebuah ka-
(3….ayam 4, telor 4, dupa wangi, buyutan pada setiap tanggal 15, dan pūjā

128
Paramita Vol. 21, No. 2 - Juli 2011

n agung setiap tanggal 5 bulan Àsadha: menyebut suatu pemujaan kepada dewa
8 ….bha 8.tārĩ durggā ring mahā- atau yang telah menjadi dewa,
mantri ring ka 10 buyutan angkēn (seringkali hanya disebut bhatāra,
pañcadasi 11. pūjā n agung ing kabu- bhatārī), maka biasanya terkait dengan
y u t a n a ng k ē n 1 2 .p a ñc a m a n i n g besaran biaya upacara. Hal ini disebab-
Àsadha mwang ka 5 pa 13 nangkan- kan karena prasasti-prasasti diterbitkan
ing parabeya…(Terjemahan: 1.8-11.. dengan tujuan penetapan suatu śima
bhatārī Durggā oleh Mahāmantri di (daerah perdikan) dan bukan untuk
Kabuyutan setiap tanggal 15, (dan) dewa-pūjā .
pūjā n agung pada tanggal 5 Ketiga, waktu diadakan pūjā caru,
(bulan) Àsadha dengan biaya ka pada prasasti Kubu-Kubu caru diadakan
5…)(OJO XCIII, Santiko 1987: 184- waktu julung…., tidak diketahui kelan-
186). jutan jenis wuku yang dimaksud. Pada
prasasti Sugihmanek, Pūjā caru untuk
Dari prasasti-prasasti tersebut di bhatara diadakan setiap hari (pratidina)
atas data tentang Pūjā caru berkenaan (Sarkar 1972 II: 153). Pada setiap
dengan: Pertama, pengertian caru; dalam “parbwani” (..muang caru angkan parb-
prasasti Dinoyo disebut caruhavis, yang wani…) pada prasasti Kwak III baris 3
di India sendiri pengertian caru dan (Sarka 1972 II: 282-283). “Parbwani
havis sedikit berbeda, namun di Jawa adalah masa pancaroba, kadangkala
pengertian havis dilebur jadi satu den- disebut sebagai “purwakala”. Sementara
gan pengertian caru, dan havis sendiri itu pada prasasti Trailokyapuri, Pūjā
tidak pernah disebut-sebut lagi dalam caru untuk Bhatārī Durgā diadakan di
sumber tertulis. Jenis persajian untuk Kabuyutan setiap tanggal 15, dan pūjā n
Pūjā caru adalah beras/gandum ditanak, agung pada tanggal 5 bulan Àsadha.
kemudian susu. Apa yang dimaksud
dengan mañcaru pada prasasti Telaga
Batu belum jelas maksudnya. Pūjā caru Pada Karya Sastra Jawa Kuna
Kedua, siapa yang diberi persajian dan Jawa Tengahan
caru, secara eksplisit disebut nama dewa
yaitu bhatara Brahma (prasati Lintakan), Pengertian pūjā caru, persemba-
Sang Hyang Winaya (prasasti Pereng), han untuk siapa dan bilamana diadakan
Bhatari Durgga, Bhatara Yama dan Sang terdapat pada naskah Jawa Kuna mau-
Hyang Dharmma dan sarvvabhīra (yang pun Jawa Tengahan. Uraian Pūjā caru
serba menakutkan). Di samping itu Pūjā dalam naskah pada umumnya pendek-
caru diperuntukkan bhatāra/bhatārī pendek, kecuali dalam kakawin Rāmā-
yaitu arwah raja/permaisurinya yang di yana, dan naskah Calon Arang. Pertama,
dharmakan di suatu bangunan suci sete- dalam Adiparwa Jawa Kuna, karya sas-
lah raja tersebut meninggal dan diang- tra berbentuk prosa, disadur pada masa
gap telah menjadi dewata. Misalnya pemerintahan Dharmawangsa Tguh.
pada prasasti Kwak III (abad IX) caru Dalam Adiparwa tentang Pūjā caru dibi-
untuk sang dewata lumah I kwak (dewa carakan 2 kali, pertama pada cerita ten-
yang dhinarma di Kwak), persajian caru tang ayah Jaratkaru yang bernama Jarat-
untuk sebuah caitya bagi ayah Śri Maha- karu pula, yang gemar mengumpulkan
rāja yang wafat di Turumangambil beras serta biji-bijian yang tercecer di
(prasasti Lintakan). Upacara dewa-pūjā jalan. Setelah terkumpul, beras dan biji-
belum pernah ditemukan di prasasti di bijian itu ditanak sebagai persembahan
Jawa. Apabila dalam sebuah prasasti caru kepada dewa-dewa serta untuk

129
Paramita Vol. 21, No. 2 - Juli 2011

menjamu tamu yang datang ke rumah-  Bhūta semua dihilangkan


nya (wija irika ta yan liniwet nira, tatkala  Siapapun yang akan meng-
pinakacaru ri bhatara mwang pameh nira ganggu persajian
ring tamuy). Kedua, dalam Adiparwa di-
katakan bahwa pūjā caru dilakukan den- Bait 26:
gan cara memasukkannya ke dalam api  Sakali kārana ginawe
(anghanaken parikramaning yajňa saha caru  Awahana len pratista sānnidhya
mwang sajinya kabeh, paripurna ikang  Parameśwara inangēn-angēn
widhiwidhana, murub tikang apuy ring  Umuńgu ring kunda bahnimaya
kunda, dan terjemahannya kurang lebih Terjemahan:
sebagai berikut: “melaksanakan upacara  Semua yang diperlukan telah
yajňa dan caru beserta kelengkapannya, tersedia
sempurnalah tata upacara itu (dan) api  S e r u a n s e r t a p e n e m p a t a n
menyala di tungku”). (Juynboll 1906: (dewa) dilaksanakan
24).  Pemusatan fikiran pada Pa-
Dalam kakawin Rāmāyana sarga ramasiwa
I:28, 29, pada bagian yang menceritakan  Di hadapan tungku dengan api
upacara mahoma memuja Parameswara yang menyala
yang diselenggarakan atas perintah raja
Dasaratha yang berlangsung sebagai Bait 27:
berikut:  Sampun bhatara inenah
Bait 24:  Tinitisaken tang minyak sasomya-
 Saji ning yajňa ta umadang maya
 S r i w r ē k s a s a m i d d h a p u s p a  Lawan ikang kresnatila madhu
gandha phala  Śri wrēska samiddha rowangnya
 Dadi ghrēta krēsnatila madhu
 Mwang kumbha kusagra wretti Terjemahan:
weith  Ketika bhatara telah ditempat-
Terjemahan : kan
 Persajian untuk upacara telah  Minyak dicampur soma diper-
siap cikkan
 Kayu cendana kayu bakar  Bersama wijen hitam madu
bunga yang wangi dan buah-  Kayu cendana (dan) kayu
buahan bakar
 Susu masam, mentega (ghee),
wijen hitam, madu Bait 28:
 Serta periuk, ujung rumput,  Sang hyang kunda pinūja
gabah (dan) jagung  Caru makulilingan samatsyamāń-
sadadhi
Bait 25:  Kalawan sēkul niwedya
 Lumekas ta sira mahoma  Inamēs salwir nikang marasa
 Prētādi piśaca rāksasa minantran Terjemahan:
 Bhūta kabehinilangaken  Sang Hyang Kunda (tungku)
 Asin mamighnerikan yajňa dipūjā
Terjemahan :  Di sekeliling caru terdapat pir-
 Segeralah ia melaksanakan ing berisi ikan, daging dan
homa mentega, bersama-sama den-
 Prēta piśaca raksasa di (beri) gan nasi persajian “dirames”
mantra dengan segalanya yang enak-
130
Paramita Vol. 21, No. 2 - Juli 2011

enak. dengan mudah


 Kemudian (ia) menyembah
Bait 29: kepada “emas manikam”
 Ri sēdēng sang hyang dumilah  Janaki dengan segala rasa bakti
 Niniwedyaken ikang niwedya  Dengan tujuan kemenangan
kabeh sang raja (Santoso 1976 II:422-
 Osadhi lawan mula 423).
 Mwang kēmbang gandha dhūpādi
Terjemahan: Bait-bait selanjutnya berisi tentang
 Ketika sedang sang hyang (api) puji-pujian Sita kepada Hyang Siwāgni
menyala yang disebut sebagai dewa bertubuh 8
 Dicampurlah kelengkapan atau astamūrti. Astamūrti adalah 8
sesaji itu semua tubuh Siwa, yaitu “ravi (matahari), sasi
 Tanam-tanaman obat dan akar- (bulan), pancamahabhuta yaitu 5 materi
akaran dasar (air, tanah, angin, api, udara), ya-
 Dan bunga (serta) wangi dupa jamana (orang yang melakukan upacara
utama (Santoso 1976 :40-42) bersaji, sebutan yang dikenal sejak ja-
man Veda, sebagai wakil manusia).
Dalam kakawin Rāmāyana ini ma- Khususnya di Jawa, Siwagni adalah
sih terdapat pūjā caru, pada sarga XVII: salah satu wujud Siwa, dan menurut
91, Pūjā caru dilakukan oleh Sitā kepada Stella Kramrisch dalam syair-syair Veda
Siwāgni sebagai berikut: akhir dan dalam Mahabharata, Agni
Bait 91: dan Rudra sering dipersamakan (1981:
 Dewi tangiran akuja sira wawan 17-18).
 Puspa dhupa saha dipa ya pina- Dalam kakawin Rāmāyana kata
sang caru disebut lagi pada sarga XXII: 53d
 Sopacara caru ning raja – rajahan yang menceritakan ranayajňa: …hutinta
 Japyahoma paripurnna ya gi- ń hurip nyān awak carwa (Santoso 1976 II:
naway (Santoso 1976 II: 422). 575, berarti: hidup (dan) tubuhmu me-
Terjemahan: rupakan persajian caru.
 Segeralah dewi sadar (dan) Sesaji caru berupa bubur beras,
menyediakan disebut di dalam kakawin Siwaratrikalpa
 Bunga, dupa serta lampu di- (Lubdhaka) karangan Mpu Tanakung,
pasangnya pupuh XXXVII:4. Dalam bagian cerita ini
 Segala keperluan caru disertai mengungkapkan ajaran Siwa kepada
garis-garis magis Giriputri (Uma) tentang tata cara me-
 Japa – homa sempurna dikerja- muja Siwa-lingga di malam Siwa
kan (Siwaratri). Siwaratri adalah “malam
Siwa”, siapapun yang memuja Siwa
Bait 92 dalam bentuk lingga pada malam itu
 Wrētti sang hyang atisighra sira akan bersih dosa-dosanya tidak meman-
murub dang kasta/golongan si pemuja. Biar-
 Ngkān panēmbah umareng kanaka
pun seorang dari kasta rendah seperti
manik halnya Lubhdaka yang berasal dari
 Janaki saphala bhakti atiśaya
golongan Sabara termasuk kasta Sudra
 Prārthana nira ri sang nrēpati
akan memperoleh phala dan hilang
jaya
dosa-dosanya. Jenis-jenis yang akan
Terjemahan:
disajikan dalam upacara tersebut adalah
 Kenyataan Hyang api menyala

131
Paramita Vol. 21, No. 2 - Juli 2011

(XXXVII: 3,4): jenis-jenis bunga, akar disusun pada masa Majapahit akhir
pohon maja dan sulasih (?), dupa wangi, (Poerbotjaroko 1926, Santiko 1987).
mentega (ghrta) dan lampu, serta persa- Pada naskah-naskah tersebut, pūjā
jian caru berupa: 4b,c …ikang caru bubur caru terkait dengan korban darah, baik
pēhan saha bubur gula liwet acarub hatak darah binatang maupun darah manusia.
wilis, yatika pinakadining caru, yadin dulu- Dua naskah yaitu kakawin Arjunawijaya
rana phala pana masyaka samangkana…) dan kakawin Sutasoma merupakan cerita
(caru (berupa) bubur susu serta bubur yang berlatar belakang agama Buddha,
gula, ditanak campur dengan kacang dikarang oleh Mpu Tantular. Dalam
hijau, itu adalah caru terbaik, tetapi ha- kakawin Arjunawijaya terdapat beberapa
rus disajikan bersama-sama buah- cerita tentang caru yang dikaitkan den-
buahan, minuman dan ikan) (Teeuw gan korban darah, yaitu pada pupuh I:
1969: 140-141). Bahkan caru dipakai un- 16 c,d, 17 a,b, pupuh L: 2c, d, dan pupuh
tuk menjamu tamu seperti yang disebut LIII:3. Pada pupuh I diceritakan masa
dalam Adiparwa, kita temukan dalam muda Rawana dan saudara-saudaranya
Nagarakartagama pupuh LXVII: 2c,d, yang semuanya gemar bertapa. Rawana
pada upacara śraddha Rajapatni Gayatri. atau dasawaktra bertapa selama 10.000
Pada baris 2 c,d diceritakan setelah tahun, dan setiap 1000 tahun ia mem-
upacara selesai, tamu-tamu penganut persembahkan sebuah dari 10
agama Buddha dibagi caru dan hadiah kepalanya sebagai caru untuk Sang Hy-
(2,c,d ……sampun mulih sopakara sakweh ang Siwagni yang berupa api yang men-
caru ganjaran tuwi dinum lumrerikang yala hingga tinggal satu kepala yang
bhŗtyasanghya) (Pigeaud 1960 I:52). Meli- utama. Ketika ia akan mempersem-
hat upacara telah selesai, kemungkinan bahkan kepalanya yang tinggal sebuah,
yang dibagikan adalah “sisa caru” mak- dicegah oleh dewa:
sudnya caru yang telah dipersembahkan Pupuh I: 16c:
kepada dewa. Memperhatikan mereka c. bheda mwang daśawaktra laksa
yang diberi bagian persajian caru adalah widha ning warsa n payogajapa
para pendeta Buddha anggota sangha, d. dhairyanken I iwu warsa yeka
maka naiwedyanya tidak berupa daging. magalar tendasnya tunggal pinok
Berbagai kelengkapan persajian Terjemahan :
untuk pūjā caru, di samping bubur atau c. berbeda dengan Dasawaktra,
nasinya sebagai sajian utama, disebut ia bertapa melakukan yoga se-
niwedya dan yang penting menurut lama 10.000 tahun
sumber tertulis di Jawa adalah susu, d. dan setiap 1000 tahun tanpa
mentega (ghŗta), gula tebu. Dalam halangan ia memotong satu
Korawasrama disebut-sebut tebu satu pi- dari kepala2nya
kulan untuk caru di bulan Anggarakasih
…tatkala wngi angarakasih cinaron pwa Pupuh 17 a,b:
kita tēbu sapikul…(Kor.92.20). Tebu satu a. naiwedanya ri kunda rakwa ri
pikul ini mungkin akan dijadikan gula sedeng sang hyang siwāgni ojwala
untuk niwedya pūjā caru. b. meh meh yan telasa n sirah pra-
Penjelasan yang berbeda tentang mukha ning mudheki carwakena
persembahan caru ini kita dapati dalam Terjemahan:
kakawin Sutasoma dan kakawin Arjun- a. sebagai persajian konon ke
awijaya, keduanya karangan Mpu Tan- tungku Sang Hyang Siwāgni
tular antara tahun 1367-1389 (Worsley yang sedang menyala
1991: 163), dan kitab Calon Arang yang b. hampir-hampir akan habis

132
Paramita Vol. 21, No. 2 - Juli 2011

kepalanya kecuali (Kepala) gah-tengah medan perang yang


utama akan dijadikan caru…. indah
 tubuh yang indah adalah kayu
Selanjutnya pada pupuh L:2 c,d bakar, bendera sebagai tali
sesaji caru dikaitkan dengan suasana kasta kereta menjadi persajian
antara bala tentara Rahwana melawan caru
bala tentara Arhunasahasrabahu, yang  semua panah api bersinar men-
dipimpin oleh patih Suwandha. Pada yala-nyala, lautan darah seba-
bait tersebut di atas dikatakan sebagai gai minyaknya (Soepomo 1977
berikut: I: 1:49, II:259).
c. akweh bhawanya n anyat: hana
kadi mamunuh sukara swana tulya Pada karangan Mpu Tantular lain-
d. dudw and kady amunuh minda nya yaitu kakawin Sutasoma, Pūjā caru
harina gawaya mwang krewag juga berupa korban darah. Kakawin Su-
carwa donya tasoma menceritakan riwayat Sutasoma,
Terjemahan: raja Hastina yang merupakan Buddha
c. mereka membuhuh dengan Wairocana yang “turun” ke dunia untuk
berbagai cara: sebagian seperti menentramkan dunia dari kekacauan,
membunuh serigala dan anjing yang antara lain disebabkan oleh raja
d. yang lain seperti membunuh Ratnakanda yang dikenal dengan nama
kambing, onta, banteng dan Porusada yang berjanji kepada Bhatara
kerbau yang akan dikorbankan Kala untuk mempersembahkan 100 raja
untuk caru (Soepomo I, 1977: sebagai caru untuk dewa Kala apabila ia
145). disembuhkan dari lukanya (pupuh
XCIV;3d…macarwa ratus satus ing wana
Pada pupuh LIII:3, uraian tentang yadin sudirghang hurip…). Setelah
ranayajňa yaitu “persajian” di medan terkumpul, atas permintaan bhatara
perang. Dalam pupuh tersebut dikatakan Kala, raja berjumlah 100 diganti dengan
perang adalah “upacara homa di medan satu saja, yaitu raja Hastina, Sutasoma.
perang” (ahoma ri mahya ning samara), Raja Hastina Sutasoma bersedia dijadi-
yang disajikan adalah tubuh para ksa- kan caru untuk menggantikan 100 raja
trya: dan menentramkan dunia serta
mencegah perang besar. (CXV…ambek
Pupuh LIII:3: sri Jinaputri manggeh I manah nira yadi
 sangkspetanya sudhirabuddhi ga- pakacarwa lampunen de ning sih nira jagat
wayenta gumawaya tapeng prang karang tan harep I temahaning prang
adbhuta adbhuta). Bhatara Kala telah masuk ke
 lagyahoma ri madyang ning sam- tubuh rasaksa Porusada, walaupun
ara: kunda nika pagēlaring musuh dicegah oleh dewa-dewa yang ketaku-
datēng tan (pupuh CXXXIX). Cerita diakhiri per-
 kaprawksa sarira dibya, masawit ang antara Sutasoma melawan Porusada
dhwaja macaru rathawahana dengan kemenangan Sutasoma, setelah
 sarwastragni mahojwalangarab- Sutasoma berhasil memenangkan hati
arab rudhirajaladhi tala kottama Bhatara Rudra yang kemudian mening-
Terjemahan: galkan tubuh Porusada (Santoso 1975).
 singkatnya, tabahkan dirimu Pūjā caru dengan korban manusia,
agar menjalankan tapa (di) dijumpai dalam kitab Calon Arang. Ber-
peperangan yang indah beda dengan kedua kakawin Buddha
 laksanakan persajianmu di ten-

133
Paramita Vol. 21, No. 2 - Juli 2011

tersebut di atas, kitab Calon Arang bersi- tungku (kunda) dengan api yang men-
fat agama Hindu Tantra, dan Calon yala.
Arang adalah seorang Guru dengan be- Melihat cara penyajian caru terse-
berapa murdinya (sisya, sadhaka). Calon but tidak terlalu berbeda dengan panda-
Arang dan murid-murid nya melakukan pitr-yajňa di India, demikian pula bahan
Pūjā caru dengan mempersembahkan dasarnya sama yaitu beras/gandum/
mayat yang telah dihidupkan terlebih kacang-kacangan yang ditanak dengan
dahulu, kemudian dibunuh kembali un- air atau susu dan mentega (ghrta), na-
tuk persembahan caru kepada Bhatārī mun naiwedyanya di Jawa lebih bervari-
Durgā dan para bhūta penghuni kubu- asi.
ran (lawayanya ingolah kinabasan kabeh, Selanjutnya ada yang disebut “sisa
makacaruweng bhūta kabeh sahananing caru” yang dibagikan kepada pende-
samsana makanguni paduka bhatari Baga- tanya dan tamu yang hadir. Apa yang
watiadi nikanang cirnarwan). dimaksud dengan “sisa caru” ini tidak
Bahwa caru berupa daging dan jelas, karena nasi dan sebagainya telah
darah mentah (maminta caru getih mantah dimasukkan ke dalam api, kemudian
dagng mantah) terdapat pada adegan lain bagaimana bentuk “sisa caru” tidak ada
yaitu ketika salah satu murid Calon penjelasan.
Wőksirsa, minta caru darah dan daging Disamping pūjā caru yang menya-
mentah kepada penduduk desa jikan nasi dan kelengkapannya pada
(maminta caru getih mantah daing mantah) naskah yang bersifat antris, baik yang
(Poerbotjaroko 1926:121-122). bersifat Buddha Tantrayana atau Vajra-
yana maupun Hindu Tantra, yang mem-
bicarakan Pūjā caru berupa korban da-
PENGERTIAN PŪJĀ CARU rah binatang maupun darah manusia.
Dalam agama Buddha, karuna (belas
Data tekstual yaitu prasasti dan kasihan) dan prajna (kebijaksanaan) me-
karya sastra Jawa Kuna dan Jawa Ten- rupakan dasar ajarannya. Dalam ajaran
gahan, tentang upacara dan jenis persa- agama Buddha Mahayana, memberikan
jian caru dapat dilihat pada tabel 1. kemungkinan kepada manusia biasa
Berdasarkan sumber tertulis terse- untuk mencapai ke Buddhaan, namun ia
but, Pūjā caru termasuk homayajňa yaitu harus menunda ke Buddhaan tersebut
upacara bersaji dengan memperguna- sampai pengikut lainnya mencapainya
kan tungku (kunda) untuk membakar dan ia menjadi seorang bodhisattwa. Un-
persajian tersebut. Jenis yang disajikan tuk menjadi seorang boddhisattwa ia ha-
berupa beras/gandum/biji-bijian yang rus menempuh 10 tingkatan bodhisattwa
ditanak dengan air atau susu, dan gula (daśabodhisattwabhūmi) dan bersamaan
tebu. Setelah nasi yang matang diberi dengan 10 jalan bodhisattwa tersebut ada
kelengkapan (naiwedya) yang terpenting 10 paramita yang harus dilakukan. Dian-
adalah bunga, dupa wangi, bijen (hitam) tara ke-10 tersebut terdapat dānā pā-
kayu cendana dan berbagai jenis lainnya ramitā (derma) yang terdiri atas 3 jenis,
tergantung kemauan si pelaku caru. yaitu: dana, atidana (dana yang lebih
Pada kakawin Rāmāyana misalnya nasi tinggi) dan mahatidana (dana yang
yang akan dijadikan caru diletakkan di tertinggi). Ada pula pembagian dana
piring-piring dan di “rames” dengan “pribadi” yaitu pemberian atas nyawa
ika n dan la uk yan g seda p-s e dap atau badan sendiri, dana di luar pribadi,
(mirasa). Setelah siap dengan kelengka- yaitu harta kekayaan pribadi, serta dana
pannya maka caru dimasukkan ke “pribadi maupun luar pri-

134
Paramita Vol. 21, No. 2 - Juli 2011

Tabel 1. Upacara dan Jenis Pesajian Caru

Nama Sumber Tahun Jenis Cara Tokoh


(Masehi)
Prasati Telaga Batu 686 ? ? Bhūta?
Prasasti Dinoyo 760 ? ? Pendeta, pertapa
Prasati Pereng 862 ? ? Sang Hyang Wi-
nayaka
Prasasti Lintakan 919 Beras/bubur homayajňa Bhatara
Prasasti Paradah 943 ? ? Bhatara I kabuyu-
tan
Prasasti Jiu II 1408 Air sus sapi? ? Dewa Yama dan
Bhatārī Durgā
Kitab Adiparwa Abad X Beras dan bijian Homa-yajňa Dewa & tamu
ditanak
Kakawin Rāmāyana Abad IX/X Nasi dan lauk Kunda/homa Dewa Siwāgni
pauk
Kakawin Siwaratri- Abad XIV Bubur gula dan ? Dewa
kalpa kacang hijau
Kakawin Nagara- Abad XIV ? ? Dewa & tamu
kartagama
Kakawin Arjunawi- Abad XIV Korban Dara Dibunuh/ Dewa
jaya bagian
tubuh
Kakwin Sutasoma ABAD XV Korban darah Dibunuh? Bhatara Kalarudra
Kitab Korawas- Abad XIV/ Air gula tebu Campuran Dewa & bhūta
rama XV bubur
Kitab Calon Abad XV Mayat dan Dibunuh Bhatārī Durgā dan
Aarang korban darah bhūta

badi” (Magetsari 1997: 128). Dana walaupun dalam kakawin itu pula selalu
“pribadi” terdapat ajarannya dalam disebut-sebut pertemuan konsep Siwa-
kakawin Arjunawijaya dan Sutasoma. Buddha. Dalam kakawin ini, Sutasoma
Dalam Arjunawijaya, raja Rawana men- adalah Buddha Wairocana, dan Bhatara
yajikan kepala-kepalanya yang berjum- Kalarudra diceritakan “masuk” ke
lah 9 sebagai caru untuk dewa sedang- tubuh raja Porusada, sehingga tindak
kan dalam Sutasoma pada cerita Su- tanduk Porusada sangat menakutkan. Ia
tasoma menggantikan anak harimau mencari Sutasoma untuk dijadikan caru
yang akan dimakan induknya. pengganti 100 raja-raja yang sudah di-
Tetapi dalam kakawin Sutasoma tangkap. Di sini Sutasoma melakukan
ada tendensi mempertentangkan dewa- dānā pāramitā “pribadi”, yaitu dengan
dewa tertinggi Buddha maupun Siwa, sukarela akan menggantikan raja 100
135
Paramita Vol. 21, No. 2 - Juli 2011

untuk dijadikan caru kepada bhattara yang bersangkutan dapat “memaksa”


Kalarudra. Namun akhirnya, Kalarudra dewa/dewi yang dipūjā agar menyetu-
dapat dikalahkan oleh Sutasoma dengan jui permintaannya dan si pemuja akan
menenangkan hati Kalarudra, dan Poru- memiliki sifat dewa/dewi yang di-pūjā
sada yang tubuhnya telah ditinggalkan tersebut (Gupta 1979: 126, 159-160, San-
oleh Bhatara Kalarudra menjadi pen- tiko 1987:347-351). Calon Arang mem-
ganut agama Buddha. persembahkan caru kepada Bhatārī
Di samping itu pūjā caru juga di- Durgā berupa mayat yang dihidupkan
hubungkan dengan ranayajňa, kematian dan dibunuh lagi, sehingga upacaranya
di medan perang diumpamakan sebagai berhasil dan Calon Arang memiliki sifat
yajňa (persajian). Dalam naskah-naskah Durgā. Salah satu sifat Durgā yang dita-
Rāmāyana dan kakawin pada jaman kuti adalah apabila marah ia akan mem-
Kadiri dijumpai ranayajňa, namun peng- binasakan manusia antara lain dengan
gambarannya tidak mengerikan seperti menyebarkan penyakit menular
halnya gambaran dalam kakawin Ar- (Santiko 1987: 350).
hunawijaya dan kakawin Sutasoma.
Dalam aliran Tantra baik Buddha
Tantra (Tantrayana) maupun Hindu Tan- SIMPULAN
tra (Saiwa dan Sakta) sangat bersifat ra-
hasia, sehingga sering menggunakan Berdasarkan sumber tertulis, pūjā
simbol-simbol dan kata-kata sandhi caru adalah upacara homa (homayajňa)
(sandhibhasa). Sebagai contoh terdapat yang mempersembahkan bubur/nasi
ajaran Samkhya yang diambil alih oleh dari beras dicampur biji-bijian, susu,
agama-agama Buddha maupun Hindu, mentega (ghŗta), gula merah. Kemudian
adalah kepercayaan adanya 3 guna ditambah berbagai kelengkapan lainnya
(sifat) pada manusia yaitu sifat sattwa, tergantung kepada pelaku caru, salah
rajah dan tamas. Sattwa adalah sifat baik satunya adalah bunga memiliki perang
digambarkan berwarna putih, rajas ber- penting, sehingga dalam beberapa
warna merah, sifat agresif/marah, dan naskah dipakai sebagai lambang keinda-
tamas berwarna hitam, sifat apatis, han dan cinta kasih yang dipersem-
malas. Untuk mencapai kesempurnaan, bahkan kepada seseorang. Sebagai con-
seseorang harus menghilangkan sifat toh, ketika Sutasoma akan menikah,
tamas dan rajas, dan mencapai sattwa. para dayang membayangkan percintaan
Dalam berbagai upacara Tantris, minum sang pangeran dengan isterinya kelak,
darah adalah simbol upaya melenyap- dan terdapat kalimat pada pupuh
kan sifat rajas pada diri manusia. LXXIV:8c…:pūjā n ring sēkar arjja ring
Cerita Calon Arang bersifat agama gēlung acarwa susu tekap ing adyah ing
Hindu Tantris (Saiwa atau Sakta) dengan tilam..(persembahan bunga yang indah
Calon Arang sebagai Guru. Seperti telah (menghias) di sanggul, payudara sang
dikemukakan terdahulu, Calon Arang gadis di tempat tidur akan menjadi
dengan murid-muridnya mengadakan caru..).
Durgā pūjā di sebuah kuburan dan me- Pada jaman Majapahit muncul
lakukan upacara marana yaitu upacara naskah-naskah Tantris yang bersifat
Tantris dengan mempergunakan ilmu Buddha maupun Hindu, yang menyaji-
hitam dengan tujuan membinasakan kan caru-darah. Sebuah relief arca Bud-
musuh. Marana merupakah salah satu dha dari jaman Chola memperlihatkan
dari 6 upacara magis yang disebut Sat- dua orang pemujanya yang akan mem-
karma dan apabila upacaranya berhasil persembahkan dirinya satu orang me-

136
Paramita Vol. 21, No. 2 - Juli 2011

megang pahanya yang akan dipersem- Pigeaud, Th.G.Th. 1924. “De Tantu
bahkan kepada dewi, dan satu lagi siap- Panggelaran”. Itgegeven, vertaald en
siap akan memotong kepalanya, jiwa toegelicht Diss, Leiden.
raganya dipersembahkan untuk dewi. Poerbotjaroko. 1926. “De Calon Arang”.
Walaupun Tantris sarat dengan BKI 82:181-205.
simbol, namun korban darah ini tetap Santiko, Hariani. 1987. “Kedudukan
mempengaruhi Pūjā caru pada masa- Bhatārī Durgā di Jawa pada abad
masa selanjutnya, bahkan sampai di X-XV Masehi. Disertasi. Univer-
Bali. Pūjā caru memang untuk dewa, sitas Indonesia
yang telah menjadi dewa (bhatāra/ Santoso, Soewito. 1975. Sutasoma: A
bhatārī) dan untuk tamu, namun pada Study on Javanese Vajrayana. New
Korawasrama caru juga diberikan kepada Delhi: Internasional Academy of
bhūta:…ambutayajňa aweh Pūjā caru ring Indian Culture.
bhūta… (ambhutayajňa memberi persem- ----------. 1980. Rāmāyana Kakawin, 3 vol.
bahan caru kepada bhūta), namun jenis Issued under auspices of the Insti-
caru apa yang diberikan kepada bhūta tute of the S.E.A. Studies Singa-
tidak disebut. pore and International Academy
of Indian Culture, New Delhi.
Sarkar, Himansu Bhusan. 1971, 1972.
DAFTAR PUSTAKA Corpus on the Inscriptions of Java
(Corpus Inscriptionum Javanicum) 2
Brandes, JLS. 1913. Oud-Javaansche Oork- vol. Calcutta: Firma K.L. Muk-
onden (OJO), nagelaten transcripties hopadhyayay.
wijlen Dr. JLS Brandes, uitgegeven Shastri, Daksinaranjan. 1963. Origin and
door N.J. Krom, VBG LX. Development of the Rituals of Ances-
Caparis,J.G.de. 1956. Selected Inscriptions tor Worship in India. Calcutta, Alla-
from the 7th to the 9th Century AD. habad, Patna: Bookland Private
Bandung: Masa Baru. Limited.
Hiltebeitel, Alf. 1991. The Cult of Drau- Soepomo, S. 1977. Arjunawijaya of Mpu
padi, On Hindu Ritual and the God- Tantular. The Hague M-Nijhoff.
dess, vol. II. Chicago, London: The Swellengrebel, J.L. 1936. Korawasrama:
University of Chicago Press. Een Oud Javaansche proza-gezicht,
Juynboll, Hendrik Herman. 1906. Adi- uitggeven vertaald en toegelicht.
parwa. Den Haag. Diss.Leiden.
Kane, P.V. 1941. History of Dharmasastra: ---------- .1984. Bali: Studies in Life,
Ancient and Medieval Religions and Thought and Ritual. Dordrecht-
Civil Law. Volume I, part I, 2. Holland/Cinnaminson-USA: Foris
Poona: Bhandarkar Oriental Publications.
Reasearch Institute. Worsley, P.J. 1991. “Mpu Tantular’s
Kramsrisch, Stella. 1981. The Presence of kakawin Arjunawijaya and con-
Siva. Princetown University Press. ceptions of kingships in fourteenth
MacDonell, Arthur Anthony. 1954. A century Java” Dalam Variation,
Practical Sanskrit Dictionary. Lon- Transforamtion and Meaning Studies
don: Oxford University Press. on Indonesian Literatures in honour
Magetsari, Nurhadi. 1997. Candi Boro- of A. Teeuw. Edited by J.J. Ras and
budur, Rekonstruksi Agama dan Fil- S.O. Robson, Leiden: KITLV Press.
safatnya. Jakarta: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.

137

Anda mungkin juga menyukai