Anda di halaman 1dari 24

Sejarah Wayang Kulit Bali

Menurut I Dewa Ketut Wicaksana, beberapa prasasti yang ditemukan mengungkapkan


bahwa, pertunjukan wayang kulit di Bali memiliki perjalanan hidup yang cukup panjang.
Pada prasasti yang dikeluarkan oleh raja Ugrasena berangka tahun 818 Saka (896 Masehi),
yang kini di simpan di Desa Bebetin (Singaraja), antara lain disebutkan: "...pandé tambaga,
pamukul, pagending, pabunjing, papadaha, parbhangsi, partapukan, parbwayang,
panekan, dihyang api, tikasana, metani kasiddhan dudukyan hu" (...pandai tembaga,
penabuh gamelan, juru kidung/penyanyi, juru tabuh angklung bambu, pemukul kendang,
peniup suling, penari topeng, permainan wayang).1 Prasasti di atas menyebutkan beberapa
kelompok orang yang menggambarkan profesi tertentu, termasuk orang yang
mempertunjukan wayang atau disebut dalang.
Prasasti Dawan (Kabupaten Klungkung) berangka tahun 975 Saka (1053 Masehi),
menyebutkan sebagai berikut: "...yan hanâ agending ihaji maranmak ngkanâku 2
pawehanyâ, agending ambaran ku 1 amukul sa 3 pawehanyâ ing satuhan aringgit atali
tali banjuran wehanyâ ku 1 ri satuhun..." (...jika ada juru gending/ penyanyi yang bermain
dihadapan raja diberikan upah 2 kupang, juru tabuh/penabuh gamelan diberikan 3 kupang,
perkumpulan wayang dan atali-tali? diberikan 1 kupang).2 Sedangkan Prasasti Blantih
yang berangka tahun 980 Saka (1058 Masehi) juga menyebutkan tentang bentuk-bentuk
kesenian, seperti: "...mangkanâ yan hanâ abanwal, atapukan, aringgit, pirus, ménmén, i
haji maranmak ku 2 pawehanyâ i riya anuling ku 3, agending ambaran maran-mak ku 2
pawehanyâ i riya ameling ku 1, amukul ku 2 pawehanyâ i riyâ..." (...demikianlah kalau ada
pertunjukan lawak, topeng, wayang, badut/pemain drama yang bermain dihadapan raja,

1
R. Goris, Prasasti Bali, Lembaga Bahasa dan Budaya (Fakultas Sastra dan Filsafat)
Universitas Indonesia, NV. Masa Baru, Bandung, 1954, p.55. Lihat juga W. Simpen AB., "Sejarah
Wayang Purwa", dalam Serba Neka Wayang Kulit Bali, diterbitkan oleh Majelis Pertimbangan dan
Pembinaan Kebudayaan (LISTIBIYA) Daerah Bali, Denpasar, 1974, p. 3. Lihat juga Pameran
Wayang Kulit. Koleksi Museum Bali, diselenggarakan oleh Meseum Bali, Direktorat Museum,
Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen P&K., Denpasar, 1979, p.2 . Lihat juga Sejarah Bali,
Proyek Penyusunan Sejarah Bali, Pemerintah Daerah Tingkat I Bali, 1986, p. 107. Lihat juga Rota,
Ketut, Pewayangan Bali, Sebuah Pengantar, Proyek Peningkatan/Pengembangan ASTI Denpasar,
1977/1978, p. 10
2
IW. M. Aryasa, Perkembangan Seni Karawitan Bali, Proyek Sasana Budaya Bali, Denpasar,
1976/1977, p.16. Lihat juga Rota, ibid., p. 11

1
mereka diberi upah 2 kupang, juru kidung/penyanyi 2 kupang, juru suling 1 kupang, juru
tabuh/penabuh gamelan 2 kupang).3
Kitab Epigraphia Balica I, oleh P. V. van Stein Callenfels, koleksi Museum Bali
no. 80/v, yang disalin dari turunan prasasti Gurun Pai dari Desa Pandak Bandung,
dikeluarkan oleh raja Anak Wungsu tahun 1071 Masehi, berbunyi demikian: "...yan
amukul (juru tabuh), anuling (seruling), atapukan (tapel), abanwal (pelawak), pirus
(badut), menmen (tontonan), aringgit (wayang).4 Goris dalam penyelidikannya
menemukan bentuk tertua wayang Bali yaitu pada sebuah relief perunggu yang
menggambarkan Semara-Ratih, yang disimpan bersama-sama dengan prasasti Anak
Wungsu tahun 1071 Masehi.5 Setelah itu didapati pula sebuah lukisan wayang berbentuk
Bhatara Guru pada prasasti yang sekarang disimpan di Pura Kehen (Kabupaten Bangli)
berangka tahun 1204 Masehi.6
Prasasti-prasasti tersebut di atas, hampir dapat dipastikan bahwa sekitar tahun 896
Masehi di Bali sudah ditemukan adanya pertunjukan wayang dengan kelompok yang sudah
teratur dan keahlian mempertunjukkan wayang sudah merupakan suatu profesi tersendiri di
antara berbagai profesi yang ada. Dari temuan tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa
sebelum tahun 896 Masehi pertunjukan wayang juga sudah ada di daerah ini, namun
sayang bukti-bukti yang mendukung ke arah itu sampai sejauh ini belum ditemukan.
Menurut Hobart, wayang kulit Bali muncul dalam masa pemerintahan Majapahit
(abad XIII sampai XV).7 Pada masa kerajaan Gelgel dengan rajanya Dalem Watu
Renggong (1460-1550 Masehi), pernah mendapat hadiah satu gedog (kotak) wayang kulit
dari raja Majapahit sekitar abad ke-XV Masehi, dimana bentuk-bentuk wayang itu tidak
bedanya dengan bentuk wayang kulit Bali yang sekarang ini yaitu sama dengan bentuk
relief wayang yang terdapat pada Pura Taman Sari (Kabupaten Klungkung), yang berasal
kira-kira pada abad XVI/XVII Masehi.8 Kalau dugaan ini benar maka diperkirakan antar
abad IX sampai XIV wayang kulit beralih dari Jawa ke Bali. Hal ini memungkinkan karena
3
Simpen AB., loc. cit. Lihat juga Rota, Ibid. p, 16
4
R. Goris.1948. Sedjarah Bali, Koleksi Pribadi, Singaraja. p.5. Baca juga Sejarah Bali, op.
cit., p. 108
5
cf.Koleksi Museum Bali, Pameran Wayang Kulit, op. cit., p.2
6
I b i d.
7
Angela Hobart, Dancing Shadows of Bali, Theatre and Myth, KPI London and New York,
1987, p.22
8
Lihat Koleksi Museum Bali. loc. cit.

2
pengaruh Hindu Jawa di Bali sangat pesat dengan ditandai serangkaian penaklukan, ketika
Bali ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1343 Masehi sebagai manifestasi sumpah
Gadjah Mada.9 Setelah keruntuhan kerajaan Majapahit di Jawa Timur, para ilmuwan,
pendeta, dan bangsawan melarikan diri ke Bali untuk mengungsi serta membawa pula
naskah-naskah sastra klasik. Pada waktu antara dua masa tersebut, wayang kulit, wayang
orang (wayang wong), dan topeng dikenal di Bali.10
Orang Bali, secara mitologis menganggap pertunjukan wayang berasal dari dewa-
dewa di sorga. Mitos asal-usulnya disebutkan dalam dua naskah lontar yaitu lontar
Siwagama, dan lontar Tantu Pagelaran. Lontar Siwa gama menyebutkan sebagai berikut:
"...sinasâ ring lemah, ryyarepaning salu-agung, ginawéken panggung Hyang
Trisamayâ, kumenaken kelirning awayang Bhatara Iswara hudipan, rinaksâ dé
Sanghyang Brahma Wisnu, ginameling redep kacapi, rinorwan pamanjang mwang
gulâ ganti, sinamening langon-langon, winahyaken lampah Bhatara kalih,
Sanghyang Kala Ludra lawan Bhatari Panca Durga, sira purwakaning hana ringgit
ring Yawa Mandala, tinonton ing wwang akwéh.11

Kalimat tersebut diatas menunjukkan bahwa, di bumi tepatnya di depan rumah Balé Gedé,
dibuatkan sebuah panggung atau arena Hyang Trisamaya, digelar pertunjukan wayang
memakai kelir, Bhatara Iswara bertindak sebagai dalang/pembicara, didampingi oleh
Sanghyang Brahma dan Sanghyang Wisnu, diiringi gamelan Gender dan kecapi,
menyanyikan lagu gula ganti, diikuti dengan gerak tari yang menawan, menceriterakan
perjalanan kedua dewata, yaitu Sanghyang Kala Ludra/Bhatara Siwa dengan Bhatari Panca
Durga/Dewi Uma, demikianlah awal mula adanya wayang (ringgit) di bumi Jawa, orang
yang menonton cukup banyak.
Naskah lontar Tantu Pagelaran, juga menyebutkan tentang asal mula per-tunjukan
wayang yang berasal dari dewa-dewa di sorga. Adapun isinya adalah sebagai berikut:

9
Lihat Babad Smarapura (manuskrip), koleksi I Made Kanta, Banjar Ketapean, Gelgel,
Klungkung , pp. 38b dan 39a’
10
Brandon, op. cit., pp. 52-53
11
cf. Pemerintah Propinsi daerah Tk. I Bali, Alih Aksara Lontar Siwagama, bait 66a, turunan
lontar milik Ida Pedanda Sidemen dari Geria Sanur (Denpasar), Pusat Dokumentasi Kebudayaan
Bali, Denpasar, 1988, pp. 60-61. Lihat juga Hobart, p. 22

3
"...Rep saksana Bhatara Iswara Brahma Wisnu umawara panadah Bhatara Kala-
rudra; tumurun maring madyapada hawayang sira, umucapaken tatwa bhatara
mwang bhatari ring bhuwana. Mapanggung maklir sira, walulang inukir maka
wayangnira, kinudangan panjang langonlangon. Bhatara Iswara sira hudipan,
rinaksa sira de Hyang Brahma Wisnu. Mider sira ring bhuwana masang gina
hawayang, tineher habandagina hawayang; mangkana mula kacarita nguni..." 12

Kalimat tersebut di atas berbunyi antara lain, para dewata menjadi takut, Siwa yang
berwujud Kalarudra berkeinginan akan membinasakan segala isi dunia. Bhatara Iswara,
Brahma dan Wisnu mengetahui hal itu, kemudian turun ke bumi dan mengadakan
pertunjukan wayang. Mereka menceriterakan siapa sesungguhnya Kalarudra dan Durga
itu. Pertunjukan itu diadakan di atas panggung dengan kelir, sedangkan wayang-
wayangnya dibuat dari kulit binatang yang diukir dan dipahat disertai nyanyian yang
menawan. Iswara bertindak sebagai dalang, didampingi oleh Brahma dan Wisnu. Mereka
berkelana di bumi ini dengan bermain musik dan memainkan wayang. Dengan ini
terciptalah suatu pertunjukan wayang kulit.
Kedua naskah tersebut di atas cukup jelas menyebutkan adanya pertunjukan
wayang lengkap dengan aparatusnya. Walaupun secara ekplisit disebutkan asal mula
pertunjukan wayang ada di Jawa (Yawa mandala), namun secara implisit mendekati bentuk
pertunjukan wayang kulit di Bali. Hal itu ditandai dengan digelarnya wayang kulit tempat
khusus (bale gede), dalang dibantu oleh dua orang kanan dan kiri disebut
katengkong/tututan, serta menggunakan iringan/gamelan gender. Ketiga dewa (Bhatara
Iswara, Brahma, dan Wisnu) sampai sekarang diyakini membantu seorang dalang
mensukseskan pertunjukan wayang, hal ini jelas sekali tercantum dalan dharma
pewayangan. Colophon naskah Tantu Panggelaran yang ditemukan oleh Pigeaud,
menujukkan bahwa naskah tersebut selesai ditulis pada 1557 saka (1635 Masehi).

12
cf. Pemerintah Propinsi daerah Tk. I Bali, Alih Aksara Lontar Tantu Pagelaran, bait 44b-
45a, diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali, Denpasar, 1987, p. 43. Lihat juga
Th.G.Th. Pigeaud, De Tantu Panggelaran, Een Oud-Javaansch Prozageschrift, uitge-geven,
vertaald en toegelicht,`s-Gravenhage, Nederl. Boek en Steendrukkerij, voorheen H.L. Smits, 1924,
pp. 103-104. Lihat juga G.A.J. Hazeu, Kawruh Asalipun Ringgit Sarta Gagepokanipun Kaliyan
Agami ing Jaman Kina, Alih Aksara oleh Sumarsana, dan Alih Bahasa oleh Hardjana HP, Proyek
Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra, Depdikbud, Jakarta, 1979, pp. 43-44

4
Gusti Bagus Sugriwa, salah seorang tokoh budayawan Bali menyebutkan hal yang
berbeda mengenai asal-mula wayang. Beliau menyebutkan bahwa, asal-usul wayang
bermula dari pratima (pralingga atau arca lingga) yaitu suatu perwujudan yang
menyerupai manusia kecil (antropomorphi) yang terbuat dari kayu, batu atau logam yang
disimpan pada tempat suci bernama pura (sanggar/ sanggah)13. Oleh karena pratima
dikeramatkan, supaya diketahui oleh umum, maka dibuatkanlah tiruannya yang dinamakan
parba. Kalau diamati dari segi bentuknya ada dua macam parba, yakni: parba ukir (relief)
yang dipahat pada dinding bangunan pura; parba tetulisan yaitu gambar lukisan pada
tebing bale pahyasan. Dalam parba tergambar riwayat hidup leluhurnya dengan tema
kepahlawaan dalam perjuangan hidup yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat
yang lainnya. Mengingat parba hanya terdapat dalam tempat suci saja, untuk melihatnya
sangat terbatas waktunya dan hanya pada satu keluarganya saja, kemudian parba dibuat
pada sebidang kayu atau kulit sapi yang ditata atau diukir dan diberi warna sehingga
tampak indah, dinamakan wayang beber. Semua sistem pelukisan tersebut di atas diwarisi
sampai sekarang di Bali, yang masih menganut paham animisme dan dinamisme.
Kebudayaan Hindu telah masuk ke Indonesia dengan membawa kitab epos Ramayana dan
Mahabharata serta merta menghiasi riwayat roh suci leluhur kita.14 Sugriwa mendasarkan
pandangannya demikian, karena penyembahan kepada leluhur merupakan satu ciri
kebudayaan asli penduduk nusantara, hal ini sampai sekarang masih dapat dilihat pada
berbagai suku termasuk suku Bali. Agar mereka yang masih hidup dapat mengarahkan
cinta baktinya lebih terpusat, sehingga dibuatlah perwujudan berupa patung yang disebut
pratima; lingga/pralingga.
Wayan Simpen A.B. melengkapi argumentasinya Sugriwa, dengan mengamati asal
mula wayang dari prosesnya. Simpen menduga bahwa adanya wayang mula-mula pertama
kali asalnya dari para seniman terutama seniman lukis dan seniman pahat yang ingin
mewujudkan dan memperagakan isi ceritera epos Ramayana dan Mahabharata. Kemudian
dibuatlah lukisan pada daun rontal berupa orang yang dihias sesuai dengan watak atau sifat

13
I Gusti Bagus Sugriwa, Ilmu Pedalangan/Pewayangan, Konservatori Karawitan Indonesia,
Djurusan Bali, Denpasar, 1963, pp. 2-5. Karya tulisnya juga diterbitkan oleh Yayasan Pewayangan
Daerah Bali dengan judul "Piagem Pedalangan/Dharma Pewayangan", dalam Aneka Pewayangan
Bali, Yayasan Pe-wayangan Daerah Bali, 1978, pp. 26-34
14
I b i d.

5
adegan atau pelakunya. Lukisan pada daun rontal tersebut ditatah (dipahat) supaya
berlobang, maka jadilah ukiran itu nerawang, kemudian lukisan itu disebut ringgit artinya
lukisan yang beriris-iris (bergerigi). Oleh karena rontal itu yang diringgit amat kecil, maka
dicarilah bahan yang lebih lebar, yaitu dengan kulit sapi/kerbau. Pada mulanya dibersihkan
dan diolah semestinya, kemudian baru diringgit (ditatah/dipahat).15 Seseorang yang ahli
membuat ringgit diberi gelar khusus dengan sebutan bhujangga prabangkara, yaitu:
seseorang yang ahli membuat cahaya atau bayangan (ringgit). Pernyataan tersebut
dikuatkan dengan tercantumnya kata "bhujangga prabangkara" dalam lontar kakawin
Udayana yang berbunyi sebagai berikut:
"... dening loka pada ngalem guna sang Bhujangga pinuji, ndan sajuyanira
sang Prabangkara maha prakaca winuwus, wanten teki muwah wicaksanani sang
Bhujangga karenga, sasing warna nika tuladen ira ring peteki kawaca, yadin
raksasa danawa picaca dewa tuwi, mwang stryarja naleming sarat tan
makewehanira..." (...oleh rakyat sekalian menghormati keahlian sang Bhujangga
dipuji, adapun gelar beliau sang prabangkara amat ternama dan termasyur. Ini ada
lagi keahliannya sang bhujangga masyur, segala rupa itu ditirunya dapat
digambarkan/dilukisnya walaupun raksasa, danawa, setan, ataupun dewa dan putri
yang cantik, yang dipuji di dunia tentu tidak sukar oleh beliau melukisnya).16

Data tersebut di atas menyebutkan bahwa keberadaan wayang sudah demikian tuanya
dan seniman pembuatnya diberi kedudukan khusus dengan sebutan gelar yang istimewa
dengan seniman yang lainnya. Dari berbagai jenis seni pertunjukan yang ada dan
berkembang di Bali, wayang kulit termasuk jenis pertunjukan yang utameng-lungguh
(kedudukan terhormat) dalam kehidupan kebudayaan masyarakat Bali.17 Seorang
budayawan asing, Covarrubias mengatakan bahwa, pertunjukan wayang kulit bukan hanya
merupakan hiburan terpenting bagi masyarakat Bali, tetapi bahkan diperkirakan sebagai
nenek moyang teater tradisional Bali, katanya: "...With is elaborate magic, relegious

15
Simpen, A.B., "Sejarah Wayang Purwa", dalam Serba Neka Wayang Kulit Bali, diterbitkan
oleh Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (LISTI BIYA) Daerah Bali, Denpasar,
1974, p. 1
16
I b i d.
17
Ketut Rota, Retorika sebagai Ragam Bahasa Panggung dalam Seni Pertunjukan Wayang
Kulit Bali, Laporan Penelitian, STSI Denpasar, 1990, p.5

6
significance, its undeminished popularity, and as the most impotant firm of Balinese
entertainment".18
Wayang kulit Bali, secara bentuk (prototipe) ternyata lebih tua umurnya dari wayang
kulit Purwa (Jawa). Walaupun penyelidikan ilmiah belum menghasilkan jawaban
kesimpulan di atas, akan tetapi Mangkunagoro VII dari Surakarta secara tegas mengatakan
bahwa, gaya yang lebih naturalistik dari wayang kulit Bali harus diakui lebih unggul dalam
usia, sehingga seseorang menerima secara aksiomatis bahwa stilisasi senantiasa
berkembang di luar bentuk naturalistis. Beliau mengatakan bahwa:
"...The more naturalistic style of the Balinese wayangs [puppets] plead for their
precedence in age, provided one accepts axiomatically that stylization always
develops out of naturalistic forms. Seen from such a viewpoints, one could argue that
the [style of the] Balinese wayang figures must have preseded the Javanese style,
including that of the wayang beber. A second circumstance that would seem to support
this opinion is the fact that in the Balinese figures one can still see clearly the way the
garments were worn, while in the Javanese wayang-figures, cloting and body have
fused, stylistically and ornamentally, into one harmonious whole..." 19

Prototipe tertua wayang kulit Bali dikuatkan dengan adanya bentuk relief yang
menyerupai bentuk wayang kulit, terdapat pada relief candi di Jawa Timur seperti relief
candi Jago di Tumpang (Malang); Candi Surawana, dan Tegalwangi di dekat Pare (Kediri),
atau pada candi Panataran di Blitar.20 Semua bentuk-bentuk tokohnya mirip sekali dengan
bentuk wayang kulit Bali yang belum sempat diislamkan.

Klasifikasi Wayang Kulit Bali

18
Covarrubias, Island of Bali, Oxford University Press, Kuala Lumpur, Jakarta-Singapore-
Melbourme, 1973, p. 243
19
K.G.P.A.A. Mangkunagoro VII di Surakarta, On The Wayang Kulit (Purwa) and its
Symbolic and Mystical Elements, diterjemahkan oleh Claire Holt, Cornell, New York, 1957, p. 7.
Lihat juga Claire Holt, Art in Indonesia, Continuities and Change, diterbitkan oleh Cornell
University Press, Ithaca New York, 1967, p. 135
20
Soedarso Sp., Morfopologi Wayang Kulit, Dipandang dari Jurusan Bentuk, Pidato Ilmiah
pada Dies Natalis ke-III, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, 25 Juli 1987, pp. 5-6

7
Berbagai jenis karya sastra kuna yang berkembang di Bali, maka lahirlah jenis-jenis
wayang kulit Bali.21 Disamping didasarkan pada lakon atau ceritera tersebut, instrumen
yang mengiringinya juga membedakan jenis wayang satu dengan lainnya seperti:
1. Epos Ramayana, yang dibagi menjadi 7 bagian (sargah) sering disebut sapta kanda,
melahirkan Wayang Ramayana. Jenis wayang ini juga disebut wayang batel, karena
menggunakan iringan gamelan batel seperti, 4 buah (tungguh) gender; 2 buah kendang
kecil (krumpungan); tawa-tawa; klenang; cengceng ricik; kajar; klenong; dan kempur.
2. Karya sastra Epos Mahabharata/Bharatayuda, terdiri dari 18 parwa (asta dasa parwa),
melahirkan Wayang Parwa. Jenis wayang ini menggunakan iringan 4 buah (tungguh)
gamelan gender laras slendro, terdiri dari 2 tungguh besar dan 2 tungguh kecil yang
dimainkan oleh 4 orang penabuh berjajar atau berpasangan.
3. Karya sastra Calonarang melahirkan Wayang Kulit Calonarang, mengisahkan seorang
janda bernama Walunateng Dirah yang mempraktekkan ilmu hitam (black magic) yang
berada dalam kekuasan raja Airlangga (Jawa Timur). Iringannya hampir sama dengan
instrumen wayang ramayana.
4. Karya sastra Malat (siklus ceritera Panji), melahirkan Wayang Kulit Gambuh, Wayang
Kulit Arja, dan Wayang Dangkluk. Bentuk wayang gambuh merupakan transisi antara
wayang kuli Bali dengan wayang kulit Jawa (wayang Madya), cuma postur wayang
gambuh lebih kecil sama seperti wayang kulit Bali lainnya. Diduga wayang gambuh
merupakan transformasi dari dramatari Gambuh, hal itu karena ada kemiripan baik
penyebutan nama “gambuh” maupun aksentuasi antawacana serta bentuk iringannya
seperti, 3-4 buah suling superbesar/pegambuhan (panjangnya 90-100 cm); 2 buah
kendang kecil (krumpungan); masing-masing 1 buah kajar; klenang-klenong;
kemanak; kangsi; dan kempur. Untuk jenis Wayang Kulit Arja, ini memang merupakan
transformasi utuh dari dramatari Arja (akan dibahas pada lampiran berikutnya).
Sedangkan Wayang Dangkluk, tidak teridentifikasi baik bentuk maupun iringannya
karena jenis wayang ini sudah punah. Menurut I Wayan Simpen, AB. (alm.), wayang
dangkluk mirip wayang golek dengan bentuk pertunjukan-nya dengan cara digantung

21
Mengenai penjelasan jenis wayang kulit Bali, lebih jauh lihat Ketut Rota, op. cit., pp. 36-37.
Lihat juga W. Simpen AB., op. cit., pp. 4-6. Lihat juga I Nyoman Sedana, Keadaan Wayang-wayang
Langka di Bali Masa Kini, kertas kerja disampaikan dalam Seminar Pekan Wayang Pinggiran,
diselenggarakan oleh MSPI Komda Jawa Timur, Februari 1994

8
pada dua utas tali/benang dan diikat pada dua batang kayu, serta dipegang oleh dua
orang disamping. Teknik menggerakkan dengan cara benag ditegangkan kesamping
kanan kiri sehingga boneka yang tergantung pelan-pelan bertemu satu dengan yang
lainnya, kemudian dalang ditengah-tengah memberikan dialog. Dikatakan pula
iringannya terdiri dari gamelan geguntangan (sama dengan dramatari Arja).22
5. Sastra Cupak-Gerantang merupakan ceritera rakyat (folklore) Bali dengan setting
ceritera Malat. Dari ceritera ini melahirkan Wayang Kulit Cupak; berkisah tentang dua
orang bersaudara dengan sifat dan watak yang sangat berbeda yakni watak buruk
(Cupak) dan watak rupawan (Grantang). Iringannya sama dengan wayang ramayana,
cuma ditambahkan suling kecil.
6. Sastra Serat Menak dengan lakon Amir Hamzah melahirkan Wayang Kulit Sasak;
memang lahir di Lombok Barat, tapi pernah populer di Bali Timur (khususnya
kabupaten Karangasem). Bentuk wayangnya diantara wayang Bali dengan wayang
Jawa (seperti wayang gambuh), menggunakan bahasa Kawi, Bali, dan Sasak.
Iringannya gamelan batel namun tanpa gamelan gender dan bentuk pertunjukannya
sama dengan pakeliran Bali.
7. Sastra Tantri Kamandaka, melahirkan Wayang Kulit Tantri (akan dibahas lebih lanjut),
menggunakan iringan gamelan palegongan laras pelog lima nada.
8. Sastra Babad, merupaka legenda/mitos raja-raja Jawa dan Bali, melahirkan Wayang
Kulit Babad (akan dibahas dalam tulisan ini), menggunakan gamelan gender rambat
laras pelog tujuh nada.

Wayang Parwa Bali

Wayang Parwa, pertunjukan wayang kulit yang mengambil sastra/lakon Mahabharata


(India) di Bali sering disebut asta parwa (18 parwa) dan kakawin Bharatayuddha (Jawa
Kuna). Iringan/gamelannya terdiri dari 4 tungguh gender laras slendro (2 tungguh gender
besar dan 2 tungguh gender kecil). Epos Mahabharata (Astadasaparwa) merupakan sastra
klasik India yang besar sekali pengaruhnya terhadap khasanah sastra Jawa Kuna,

22
Hal itu dikatakan ketika penulis berkunjung ke rumahnya (Jl. Kenyiri, Denpasar) pada
tahun 1984, jauh sebelum beliau meninggal. Beliau sempat menjadi dosen luar biasa (bidang
sastra Bali dan Jawa Kuno) di ASTI Denpasar.

9
disamping epos Ramayana. Inti pokok ceritera Mahabharata adalah perang saudara
keturunan Bharata atau Bharatayudha. Sedangkan disebut Astadasaparwa karena
ceriteranya dibagi kedalam 18 bagian/parwa antara lain:
1. Adiparwa merupakan parwa I (pertama), yang mengisahkan kurban ular oleh
Maharaja Janamejaya, riwayat para naga, asal-usul keturunan Bharata, masa
muda Pandawa-Korawa, dan sampai dengan perkawinan Arjuna.
2. Sabhaparwa merupakan parwa II (kedua), yang memuat tentang per-sidangan
para Korawa dan Pandawa dan pembuangan pandawa ke hutan setelah
Yudistira kalah main dadu (juki) melawan Korawa.
3. Wanaparwa merupakan parwa III (ketiga), yang menceriterakan petualangan
para Pandawa bersama Dewi Drupadi di hutan Kamyaka selama 12 tahun,
perkawinan Bima dengan Dimbi sehingga melahirkan Gatotkaca.
4. Wirataparwa, merupakan parwa IV (keempat), yang mengisahkan tentang
penyamaran Pandawa dan Dewi Drupadi di negara Wirata pada tahun ke-13.
5. Udyogaparwa, merupakan parwa V (kelima), yang memuat tentang usaha
perdamaian para Pandawa. Selain itu, diceriterakan pula mengenai kemarahan
Kresna sebagai utusan Pandawa yang dihina oleh pihak Korawa, juga memuat
tentang persiapan-persiapan pihak Pandawa dan Korawa dalam menghadapi
perang di Kuruksetra.
6. Bhismaparwa, merupakan parwa VI (keenam), yang menceriterakan tentang
peperangan pada hari pertama dan diangkatnya Rsi Bisma sebagai
mahasenapati (panglima perang) dari pihak Korawa dan Drestadyumna di pihak
Pandawa. Parwa ini berakhir dengan rebahnya Rsi Bhisma pada hari ke-7 oleh
panah Srikandi dan Arjuna.
7. Dronaparwa merupakan parwa VII (ketujuh), melukiskan tentang diangkatnya
Resi Drona menjadi mahasenapati dipihak Korawa, dan berakhir dengan
terbunuhnya Rsi Drona oleh Raden Drestadyumna.
8. Karnaparwa merupakan parwa VIII (kedelapan), yang melukiskan tentang
peperangan Pandawa dan Korawa dengan mahasenapati Adipati Karna di pihak
Korawa. Menceriterakan juga gugurnya Gatotkaca oleh panah kontanya Karna,
demikian juga Karna dibunuh oleh panahnya Arjuna.

10
9. Salyaparwa merupakan parwa IX (kesembilan), menceriterakan tentang
diangkatnya Salya sebagai senapati menggantikan Karna dipihak Korawa yang
telah gugur, berakhir dengan gugur pula Prabu Salya di tangan Yudistira.
10. Sauptikaparwa merupakan parwa X (kesepuluh), memuat tentang terbunuhnya
Panca Kumara, putra Drupadi dan gugurnya Dresta-dyumna dalam penyerangan
tengah malam oleh Aswatama, kemudian berakhir dengan terbunuhnya pula
Aswatama oleh Arjuna.
11. Stripalapaparwa merupakan parwa XI (kesebelas), memuat tentang kesediahan
dan ratap tangis para wanita dan istri yang ditinggal suami atau putra mereka
akibat perang. Juga memuat ceritera kesedihan Drestarastra dan Gandari karena
gugurnya seluruh putra dan cucunya.
12. Santiparwa merupakan parwa XII (keduabelas), mengisahkan tentang
kunjungan Pandawa kehadapan Rsi Bhisma yang terbaring rebah di medan
Kuruksetra, dan juga memuat nasehat Resi Bhisma kepada Pandawa.
13. Anusasanaparwa merupakan parwa XIII (ketigabelas), lanjutan parwa
keduabelas yakni nasehat Rsi Bhisma kepada Pandawa dan mangkatnya Bhisma
setelah seratus hari terbaring di atas tikar anak panah yang dibuat Arjuna.
14. Aswamedhikaparwa merupakan parwa XIV (keempat belas), mengisahkan
tentang upacara kurban kuda (rajasuya) oleh Yudistira untuk memperoleh gelar
“maharajadiraja”
15. Asramaparwa/Asramawasanaparwa merupakan parwa XV (kelima belas),
menceriterakan Pandawa menghibur Drestarastra, dan perginya Drestarastra
bersama Gandari, Kunti, dan Widura ke hutan, serta wafatnya mereka berempat
akibat hutan terbakar dimana beliau bertapa.
16. Mausalaparwa merupakan parwa XVI (keenam belas), mengisahkan kutukan
Narada kepada keturunan Yadu (negara Prabu Kresna) agar musnah oleh
sebatang gada.
17. Prasthanikaparwa merupakan parwa XVII (ketujuh belas), mengisahkan
tentang perjalanan Pandawa ke gunung Mahameru (Himalaya) untuk
melakukan bhrasta yoga (yoga pemusnaan). Dalam perjalanan yoga ini satu-
persatu gugur/wafat didahului oleh Drupadi, Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan

11
Bima. Hanya Yudistira dan seekor anjing yang ternyata Bhatara Dharma yang
mampu masuk sorga bersama badan kasarnya.
18. Swargarohanaparwa merupakan parwa XVIII (kedelapan belas/ terakhir), yang
mengisahkan keadaan para Pandawa di neraka dan Korawa di sorga. Setelah
Yudistira masuk ke kawah, tempat adik-adiknya, barulah kawah neraka tempat
Pandawa berubah menjadi sorga dan sebaliknya tempat Korawa berubah
menjadi neraka untuk selama-lamanya.

Fungsi Wayang Kulit Bali

Fungsi kesenian bagi kehidupan masyarakat Bali adalah salah satunya sebagai alat
komunikasi untuk memperkuat keyakinan, nilai-nilai, norma-norma yang hidup dalam
masyarakat. Selanjutnya kesenian itu secara universal dikaitkan pertama dan utama dengan
religi, karena dalam religi tertanam berbagai nilai dan norma yang membawa masyarakat
kesuatu kemungkinan untuk berkomunikasi dengan hakekat tertinggi secara lebih tenang
dan tepat.23
Fungsi kesenian khususnya seni pertunjukan, R.M. Soedarsono, seorang pakar seni
pertunjukan tari, musik, dan teater mengutarakan tiga fungsi utama, yaitu: (1) sarana
upacara atau ritual; (2) hiburan pribadi; dan (3) penyajian estetis.24 I Made Bandem juga
mengamati fungsi kesenian khususnya wayang kulit yang diyakini oleh orang Bali
memiliki arti dan makna sebagai: (1) penggugah ras indah dan kesenangan; (2) pemberi
hiburan sehat; (3) media komunikasi; (4) persembah-an simbolis; (5) penyelenggaraan
keserasian norma-norma masyarakat; (6) pengukuhan institusi sosial dan upacara
keagamaan; (7) kontribusi terhadap kelangsungan dan stabilitas kebudayaan; dan (8)
pencipta integritas masyarakat.25

23
Hans. J. Daeng, Pengantar Antropologi Seni, Diktat Kuliah Program Pasca-Sarjana,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1992, p. 1
24
R. M. Soedarsono, Pengantar sejarah Kesenian I, Bahan Kuliah untuk Program Studi Seni
Pertunjukan, Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Fakultas Pasca-Sarjana, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 1994, pp. 13-14
25
I Made Bandem, "Mengembangkan Lingkungan Sosial yang Mendukung Wayang", dalam
Mudra, Jurnal Seni Budaya, no. 2, Th. II, Penerbit UPT. Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)
Denpasar, 1994, p. 33

12
Pertunjukan wayang kulit di Bali secara tradisional memang erat kaitannya dengan
upacara penyucian atau pembersihan, ditandai dengan keterlibatannya pada setiap jenis
upacara. Wayang selalu hadir pada setiap upacara baik sebagai bagian (wali) maupun
sebagai pengiring (bebali) disamping jenis kesenian lainnya. Upacara-upacara keagamaan
di Bali, sangat memerlukan sekali jenis-jenis kesenian untuk menopang pelaksanaan
berbagai macam bentuk upacara, seperti: seni rupa (ukiran dan lukisan di pura), seni tari,
seni musik (karawitan) dan termasuk seni pewayangan. Dalam fungsinya mendukung ritual
keagamaan, maka wayang kulit dapat digolongkan menjadi 2 macam yakni: (1)
pertunjukan bebali, yakni untuk menyertai pelaksanaan upacara keagamaan, seperti
upacara dewa yajnya, pitra yajnya, manusa yajnya, dan butha yajnya; dan (2) pertunjukan
balih-balihan, yaitu pertunjukan hiburan yang menekankan nilai artistik dan didaktis.26
Sesuai dengan kesepakatan pada seminar seni sakral dan profan27 di Denpasar,
menempatkan pertunjukan wayang atau seni pewayangan pada seni tari bebali (ceremonial
dance), yaitu seni yang dipertunjukan dalam fungsinya sebagai pengiring upacara dan
upakara di pura atau di luar pura. Namun kalau diteliti lebih cermat dalam kenyataan di
lapangan tidaklah semua pertunjukan wayang berfungsi sebagai pengiring upacara.
Wayang Sapuhleger dalam prakteknya ternyata tidak sebagai pengiring upacara,
akan tetapi merupakan bagian dari upacara itu sendiri. Sebagai bagian (keharusan) dari
keseluruhan upacara, wayang sapuh leger28 termasuk seni wali (sacred relegious) yaitu
berfungsi sebagai pelaksana dalam hubungannya dengan upacara agama khususnya ritual
furifikasi dan inisiasi (manusa yajnya). Atas dasar kenyataan tersebut pertunjukan wayang
dapat digolongkan menjadi 3 macam yakni: (1) wayang wali, yaitu wayang yang berfungsi
sebagai bagian dari keseluruhan upacara yang dilaksanakan. Termasuk golongan wayang ini
ialah wayang sapuh leger; (2) wayang bebali, pertunjukan wayang sebagai pengiring
upacara di pura atau dalam rangkaian upacara panca yadnya. Termasuk golongan ini ialah
wayang lemah dan wayang sudamala; (3) wayang balih-balihan, pertunjukan wayang untuk
tontonan umum yang fungsinya diluar wali dan bebali dengan penekanan fungsi seni dan

26
Sugriwa, op. cit., p.7. Lihat juga Rota, op. cit., p. 15.
27
Keputusan Seminar Seni Sakral dan Profan Bidang Tari, Proyek Pemeliharaan dan
Pengembangan Kebudayaan Daerah Bali, Denpasar, tanggal 24-25 Maret 1971, p. 2
28
Lebih lengkapnya silahkan baca, I Dewa Ketut Wicaksana, Wayang Sapuh Leger: Fungsi
dan Maknanya dalam Masyarakat Bali, Thesis Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan, Pasca-
Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1997.

13
hiburannya. Wayang Lemah adalah pertunjukan wayang kulit yang diselenggarakan pada
siang (lemah) hari, seiring dengan penyelenggaraan upacara, karena fungsi utamanya
sebagai bagian upacara keagamaan (panca yajnya).29 Sedangkan Wayang Sudamala adalah
pertunjukan wayang kulit parwa dipentaskan pada malam hari, biasanya untuk mengiringi
upacara kematian (pitra yajnya) pada upacara keagamaan di Bali dengan tujuan untuk
penyucian (inisiasi). Melihat fungsi dan maknanya yang sangat penting dalam kehidupan
sosial religius masyarakat Bali, kini wayang kulit hidupnya sangat subur di pulau Bali.

Atas dasar kenyataan tersebut, pertunjukan wayang kulit di Bali dapat digolongkan
menjadi 3 macam yakni :

1) Wayang wali, yaitu wayang yang berfungsi sebagai bagaian dari keseluruhan
upacara yang dilaksanakan, termasu golongan wayang ini ialah wayang Sapuh-
leger
2) Wayang bebalai, pertunjukan wayang sebagai pengiring upacara di pura atau
dalam rangkaian upacara panca yajnya, termasuk golongan ini ialah wayang lemah
dan wayang Sudamala
3) Wayang balih-balihan, pertunjukan wayang untuk tontonan umum yang fungsinya
diluar wali dan bebali dengan menitik beratkan fungsi seni dan hiburannya.

Gaya Wayang Bali

Di Bali, meskipun tidak muncul secara tajam di permukaan, terdapat dua pendapat
dari masyarakat Bali Utara dan Bali Selatan yang saling bertentangan, masing-masing
menganggap bahwa wayang kulit Bali berasal dari daerahnya. Perbedaan pendapat ini
memang tidak membahayakan, karena keduanya merasa memiliki warisan budaya yang
tinggi nilainya, chauvinisme bukan karena politik melainkan karena rasa bangga selaku
pewaris budaya. Pada kenyataannya wayang kulit Bali itu memiliki berbagai gaya, dan
29
Wayan Kawen, "Penjelasan Singkat Wayang Lemah", dalam Serba Neka Wayang Bali,
diterbitkan oleh Majelis Pertimbangan dan Pertimbangan Kebudayaan Daerah Bali, Denpasar, 1974,
pp. 7-9. Lihat juga I Dewa Ketut Wicaksana, "Wayang Lemah Refleksi Nilai Budaya dan Agama
Hindu Bagi Masyarakat Bali", dalam Mudra, Jurnal Seni Budaya, no. 4, Th. IV, STSI Denpasar,
Maret 1996, pp. 102-114.

14
gaya-gaya tersebut kemudian saling bergabung menjadi dua gaya wayang kulit yaitu
wayang kulit Bali Utara dan Bali Selatan, yang masing-masing memiliki persamaan dan
perbedaan. Persamaan menanda-kan bahwa kedua gaya tersebut mempunyai akar yang
sama, dan perbedaan menandakan bahwa kedua gaya itu memiliki pengaruh lokal dan
perkembangan yang berlainan dan justru inilah yang menjadi ciri khasnya. Meskipun
demikian secara etnis Bali, keduanya disebut wayang kulit Bali.
Soedarso Sp., dkk.,30 mencoba menelurusinya dengan pengamatan cermat melalui
aspek bentuk wayang, teknik pewayangan, tandak, bebaturan, dan sendon wayang yang
dalam pertunjukan wayang purwa Jawa dianalogikan dengan istilah suluk pedalangan.
Melacak fakta sejarah, berupa perkawinan raja Bali dari kerajaan Singhamandawa yaitu
Udayana dengan Mahendradatta, maka wayang kulit Bali yang berasal dari Jawa (sebelum
pengaruh Islam) itu berada di kerajaan Singhamandawa. Walaupun sampai saat ini belum
diketahui secara pasti letak kerajaannya, namun diduga berada di desa Pejeng sekarang.
Bila dugaan ini benar, maka akar wayang kulit Bali haruslah dari Bali Selatan yang
kemudian menyebar atau berkembang ke Bali Utara.
Analisis bentuk wayang; nampak wayang-wayang Bali Utara lebih besar dan
tambun, bukan semata-mata karena lebih besar ukurannya, melainkan karena lebih meriah
dan lebih banyak perhiasan yang dipakai. Sementara perhiasan tersebut dibuat lebih
longgar, lebih besar dan kain yang dikenakannyapun terasa kedodoran. Misalnya tokoh
Bima, untuk wayang kulit Bali gaya selatan digambarkan hampir telanjang (bulet ginting),
yang tak lebih bagai cawat yang menutupi kemalauannya, dan setelah kain tersebut
tersimpul kebelakang dan sisanya terjuntai ke bawah (melancingan). Kaki muka dan
belakang terlihat polos semua tanpa menggunakan perhiasan (gelang batis), begitupun
sebagian pantatnya. Berbeda dengan Bima gaya Bali Utara tampil dengan gelungan supit
urang/buwana lukar yang lebih besar dan kekar, dengan sekar mas atau ronron yang
meriah pula. Kalung yang berupa ular yang melilih di lehernya juga besar, dan kain
kancut (Jawa, dodot) terjuntai ke bawah hampir memenuhi ruangan antara kedua kakinya
serta menggunakan gelang batis yang bentuknya serupa dengan gelang kana (Jawa,
kelatbahu) di tangannya. Hal yang sama berlaku pada wayang-wayang lainnya.

30
Soedarso Sp., dkk. Menelusuri Sejarah Wayang Kulit Bali: Tinjauan Aspek Bentuk, Suluk Pedalangan,
dan Teknik Pewayangan, Laporan Penelitian ISI Yogyakarta, 1995. pp. 7-11

15
Diasumsikan bahwa, adanya kenyataan bahwa hiasan atau asesoris wayang gaya Bali
Utara lebih tinggi elaborasinya dari pada gaya Bali Selatan maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa gaya Bali Utara lebih muda usianya karena penambah-an-penambahan dan
elaborasi itu kehadirannya memerlukan waktu. Sesuatu penggambaran yang semula
berawal sederhana saja, lambat laun ditambah dan ditambah terus sehingga akhirnya
menjadi bentuk yang rumit dan meriah dengan asumsi perkembangan makin tinggi
elaborasinya maka makin muda umur atau usianya.
Analisis Teknik Pewayangan; meliputi segala sesuatu yang me-nyangkut cara-cara
memainkan atau mempertunjukan wayang kulit, termasuk didalamnya penyejian-
penyajian ceritera, keterampilan seorang dalang dalam menampilkan ataumenghidupkan
para panakawan. Hal ini menarik diamati karena para dalang di Bali (Utara dan Selatan)
mempunyai spesifikasi masing-masing. Dalam pakeliran gaya Bali Utara memainkan
wayang (nikesang) terlihat kasar dan agak beringas, hampir kekayonan tidak ditarikan,
demikian juga pada adegan pagunem, wayang-wayang bagai lari mondar-mandir. Akan
halnya Bali Selatan, nikesang wayang tampak lebih tenang, halus dan sederhana sesuai
karakter wayang-wayang yang ditampilkannya. Kekasaran Bali Utara ini diduga,
masyarakat Buleleng terbuka terhadap pengaruh luar bahwa daerah ini paling pertama
kena pengaruh luar (lokal maupun internasional) dengan ibukota Balinya yang pertama.
Kemudian aturan-aturan konvensional pewayangan belum terbentuk bisa jadi ditafsirkan
bahwa usianya lebih muda.
Pengolahan Ceritera; Dalang Bali Utara ada kebebasan mengolah lakon sehingga
penonton sulit menebak jalan ceriteranya walaupun tokoh-tokoh wayang yang
diangkatnya tetap mengambil tokoh yang ada di dunia pewayangan (lihat, sejumlah lakon
yang pernah dipentaskan oleh dalang-dalang Bali Utara pada bagian III, di bawah ini).
Dari pengamatan lakon-lakon yang dipentaskan itu cendrung bergeser dari pakem dan
sumbernya (Maha-bharata dan Ramayana). Berbeda dengan dalang Bali Selatan, lebih
setia berpijak pada pakem dan sumber ceriteranya sesuai dengan jenis pertunjuk-an
wayangnya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa terjadi juga peng-garapan ceritera,
namun tidak terlalu jauh beranjak dari pakem/babonnya. Bisa diduga bahwa Bali selatan
lebih konservatif dari orang-orang Bali Utara yang lebih terbuka dan kreatif.

16
Gaya/styl pewayangan untuk dua tradisi besar di Bali (Bali Utara dan Bali Selatan),
masing-masing juga berkembang gaya/tradisi baik dalam lingkup wilayah kecil dan
daerah (otonomi) seperti, Bali Utara, berkembang menjadi 3 (tiga) wilayah seperti,
Buleleng Timur; Buleleng Tengah; dan Buleleng Barat. Sedangkan Bali Selatan menjadi 2
(dua) tradisi yakni, gaya Badung; dan gaya Gianyar. Gaya Badung lebih banyak disukai
dan di-gemari oleh daerah-daerah lainnya seperti, Jembrana; Tabanan; Bangli;
Klungkung; dan Karangasem. Sedangkan gaya Gianyar paling menonjol adalah gaya
Sukawati yang sebelumnya berkembang gaya Mas, Ubud; dan gaya Pacung, Bedulu.

Perkembangan Wayang Bali


Melihat fungsi dan maknanya yang sangat penting dalam kehidupan sosial religius
masyarakat Bali, kini wayang kulit hidupnya sangat subur di pulau Bali. Pada saat ini
tercatat adanya 240 orang dalang (sekaa/group wayang kulit) yang memiliki potensi kuat
untuk dilestarikan dan dikembangkan. Distribusi penye-barannya meliputi seluruh daerah
di Bali seperti: Kabupaten Jembangan. (Negara) memiliki 7 sekaa seni pedalangan,
Kabupaten Tabanan sebanyak 35 kelompok; Kabupaten Klungkung (Semarapura) 26
kelompok; Kabupaten Bangli 17 kelompok; Kebupaten Buleleng (Singaraja) 31
kelompok, Kabupaten Karangasem (Amlapura) 8 kelompok. Di antara jumlah
sekaa/kelompok tersebut di atas yang masih aktif ini, terdapat beberapa dalang muda hasil
pemenang festival Wayang Kulit yang diadakan Pemda Tk I Bali setiap tahun sejak 1971
(Suyatna dkk., 1992: 122).
Menurut Kadek Suartaya, berbeda dengan wayang Jawa, wayang kulit Bali lebih menukik
pada fungsi ritual keagamaan, sementara sebagai seni tontonan tampak kurang stabil
bahkan umumnya kini kurang diminati. Padahal terobosan-terobosan kreatif inovatif telah
banyak ditawarkan para seniman pedalangan. Namun hingga kini hanya segelintir dalang
yang mampu menambat hati penonton. Sebenarnya gereget pembaruan yang ditawarkan
para kreator seni pewayangan Bali tak kalah bobotnya dengan para penggagas wayang di
Jawa. Tapi begitulah, wayang kulit Bali belum mampu diberdayakan kembali sebagai seni
tuntunan dan tontonan seperti di masa lalu. Beruntung justifikasi tumpek wayang dengan
kukuh menyangga keberadaan kesenian ini.

17
Semangat menyimak wayang sebagai seni tontonan rupanya perlu dibangkitkan kembali
di tengah masyarakat Bali. Setidaknya usaha-usaha pembaruan yang telah digelindingkan
para pelaku seni pewayangan perlu diapresiasi, nilai estetiknya maupun subtansi pesan-
pesan moral yang disuguhkan. Wayang sebagai "Karya Agung Budaya Dunia" yang
diakui oleh UNESCO bukan hanya wayang Jawa tapi wayang Indonesia, termasuk
wayang Bali, wayang golek Sunda, wayang Lombok, dll. Oleh karena itu, sudah
semestinya semua pihak termotivasi untuk mengharumkan wayang seperti yang
ditawarkan oleh Sena Wangi yakni Trikarsa: melestarikan, mengembangkan dan
mengagungkan wayang; Pancagatra: mengembangkan seni pentas, seni karawitan, seni
kriya, seni ripta dan seni widya dalam wayang. Melalui kedua strategi ini, wayang sebagai
teater total yang berupakan seni budaya asli Indonesia, mudah-mudahan menjadi kesenian
agung dan diagungkan oleh masyarakatnya sendiri. http://www.balipost.co.id

Struktur Pertunjukan
Pada umumnya pementasan wayang kulit Bali memiliki struktur pementasan yang
sama, kendatipun di beberapa daerah di Bali terdapat beberapa perbedaan kecil, namun hal
tersebut malah menunjukkan adanya ciri khas dari daerah masing-masing. Menurut I Made
Bandem, struktur pementasan wayang kulit Bali secara inplisit diikat oleh instrumen
pengiringnya (gamelan Gender).31 Asumsinya diperkuat oleh tulisan I Ketut Madra (Alm.)32
menyebutkan bahwa :
"...Titiang nguningayang bah-bangun minakadi pangepahan babat wayang sane biasa
mangge ring Sukawati. Wantah kategul antuk rincian gending gender. Sayuwakti
pinaka uger-uger antuk para dalang, rikala ngolahang minekadi ngepah bagian
pawayangan punika..."

31
I Made Bandem, dkk, Wimba Wayang Kulit Ramayana (Ketut Madra), dicetak oleh Proyek
Penggalian/Tradisional dan Baru, 1981/1982, p. 5
32
I Ketut Madra meninggal pada awal Januari 1979. Almarhum adalah seorang dalang muda dari Sukawati
(Gianyar) dan memenangkan kompetisi wayang se-Bali tahun 1971, kemudian tulisannya diterbitkan dengan
judul Wayang Parwa Bali oleh Proyek Penggalian/Pembinaan Seni Budaya Klasik/Tradisional dan Baru,
1982/1983. p.1

18
Terjemahannya kurang lebih “...Saya menerangkan bahwa bagian atau pembabakan wayang
yang biasa digunakan di Sukawati, Gianyar, yakni diikat oleh urutan gending gender.
Sebenarnya digunakan sebagai patokan oleh para dalang, pada saat mengolah atau
pembabakan bagian pertunjukkan wayang itu…”
Pementasan wayang kulit yang lengkap, struktur dramatiknya dapat dibagi menjadi
beberapa adegan atau pembabakan. Adegan-adegan itu berlangsung terus tanpa ada pause
(berhenti) diantaranya, namun para penonton akan dapat mengikuti alur ceritera dan adegan
itu melalui dialog, suasana iringan serta penampilan karakter tokoh dengan gerak tari
(tetikesan) yang unik. Sebagaimana diutarakan oleh I Ketut Madra (Alm.), bahwa alur
dramatiknya (pembabakan) diikat oleh gending gender, I Wayan Loceng33 seorang ahli
pengender (salah satu pengiring Madra) mengatakan bahwa, secara umum struktur
pementasan wayang kulit Bali (khususnya di Gianyar) terdiri dari :
(1) Pategak, suatu permainan beberapa jenis komposisi lagu, baik klasik maupun modern
sebelum pembabakan cerita dimulai dalam repertoar wayang kulit Bali, seperti:
sekar ginotan, sekar sungsang, sekar jepun, sekar gadung, sulendra, sekati, merak
ngelo, cangak merengang, engkuk-engkuk, crukcuk punyah. dan yang lainnya.
(2) Pamungkah, adalah bermacam-macam gending untuk mengiringi dalang didalam
melakukan hal-hal sebagai berikut: (a) persembah-yangan dan selamatan; (b)
pemukulan kropak/kotak dengan sebuah cepala, yang terletak di sebelah kiri dalang
untuk penyimpanan wayang, kemudian tutup kropak itu dipindahkan kekanan juga
sebagai tempat menumpuk wayang yang akan dipakai; (c) dalang memulai wayang
dengan sebuah kekayonan/gunungan sebagai tanda pertunjuk-an sudah mulai dan
kemudian kekayonan ditancapkan pada pertengah-an kelir. Iringan gendingnya
adalah segara-mancuh; (d) dalang mengambil wayang di dalam kropak satu persatu
kemudian ditancap-kan sebelah kanan dan kiri, serta tokoh-tokoh wayang baik pihak
kanan maupun pihak kiri ditancapkan berdampingan dengan Kekayon-an, iringannya
adalah taru mentik, katak ngongkek, sesapi ngindang, berayut anggit-anggitan, bayu
33
I Wayan Loceng dan Maria Bodman, Gender Wayang Music, T. Tahun, pp. 1-3. koleksi pribadi, diijinkan
untuk dikutip. I Wayan Loceng (dosen STSI Denpasar) adalah seniman yang mengkhususkan diri dalam
bidang karawitan Bali, yaitu Gender wayang. Salah seorang dalang yang sukses di bawah asuhannya adalah I
Ketut Madra (Alm.) yang juga keponakannya sendiri. Ulasan lebih jauh tentang Gender Wayang lihat juga I
Made Bandem, "Gender Wayang", dalam Serba Neka Wayang Kulit Bali, diterbitkan oleh LISTIBIYA, Daerah
Bali, Denpasar, 1974, pp. 10-13

19
bajra, jojor, omang-omang, dan tulang lindung; (e) setelah tokoh-tokoh wayang
dicabut (kecuali kekayonan) diletakkan teratur di samping dalang, ada satu lagu yang
dimainkan untuk mengiringi cabut kekayonan yaitu, gilak kayonan, untuk me-
langkah ke pembabakan ceritera.
(3) Petangkilan, beberapa motif lagu untuk mengiringi tokoh-tokoh wayang akan
mengadakan sidang. Motif lagu petangkilan dalam wayang kulit ada tiga macam
yaitu: gending alas-harum untuk karakter halus; rundah adalah untuk karakter keras
(dedeling). dan candi rebah/bopong adalah untuk karakter raksasa. Ketiga gending
ini dipakai setelah cabut kekayonan dan merupakan narative yang pertama dari
dalang itu sendiri.
(4) Pengalang, gending ini merupakan pengenalan sebagai pendahuluan (introduksi)
untuk masing-masing karakter wayang dan selalu dipakai sebelum dialog dimulai.
Pengalang ada dua jenis yakni, pengalang ratu (tokoh ksatria); dan pengalang
panasar (untuk panakawan).
(5) Angkat-angkatan, lagu-lagu ini berbentuk ostinato terdiri dari empat atau delapan
ketuk, untuk mengiringi busyscene seperti keberangkatan laskar, perjalanan, dan
sebagainya. Jenis-jenis gendingnya adalah, pakesahan, drestadyumna, bima kroda,
kejojor, partha wijaya, burisrawa, abimanyu, grebeg, sri kandi, krepetan.
(6) Rebong, sebuah lagu yang terkenal sebagai ekspresi romantis di dalam pewayangan,
terdiri dari dua jenis yang berbeda yaitu, pertama, rebong pengawak, sifatnya lirik,
bagian ini mengiringi percintaan atau kasih-kasihan, seperti Arjuna, Bimanyu,
Kresna, dan yang lainnya; dan kedua, kelanjutan dari gending pertama dan biasanya
disebut dengan pengecet dan pengipuk rebong. Gending ini dipakai juga mengiringi
suasana romantis dari para panakawan.
(7) Tangis, lagu ini bentuknya lirik dan selalu diiringi dengan sesendon sebagai narasi
untuk menciptakan suasana sedih. Dalam katagori tangis, ada dua macam gending
yang dipakai yaitu, pertama, mesem, suasana sedih untuk semua karakter yang
bermata supit atau halus (noble character); dan kedua, bendu-semara untuk
mengiringi karakter bermata bulat atau keras (gagahan).

20
(8) Tunjang, gending ini juga sifatnya lirik dan secara khusus mengiringi Bhatari Durga
serta anak buahnya (Lenda, Lendi, Wak Sirsa, Jaran Guyang, Mahisa Wedana, dan
lain-lainnya)
(9) Batel, lagu ini berbentuk ostinato yang terdiri dari beberapa bagian, suasananya
sangat energik serta bersemangat, dipakai untuk meng-iringi adegan perkelahian
dalam arti yang umum. Batel ada dua jenis yakni: batel demung (tempo cepat); dan
batel maya (tempo lambat).
(10) Bugari, sebuah gending sebagai akhir dari pada pertunjukan wayang (ending peise).
(11) Panyudamalan, lagu ini sifatnya lembut dan dimainkan apabila diperlukan
panglukatan (pembuatan air suci). Lagu ini lanjutan dari gending bugari dan
diteruskan dengan gending cupu kembang.

Gamelan Pengiringnya

Musik atau gamelan yang dipakai untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit Bali di
sebut gender wayang. Menurut I Made Bandem, gamelan gender dipakai sebagai iringan
wayang kulit Bali pada tahun 1920-an, yang sebelumnya hanya diiringi oleh seperangkat
instrumen selonding, suling, kangsi, dan kamanak/gumanak. Asumsinya itu dikuatkan
dengan tertulisnya dalam kakawin Wretta-Sancaya (Mpu Tanakung) dan kakawin Bharata-
yuddha (Mpu Sedah) pada jaman Jayabaya (Jawa Timur) pada abad XI.34
Teknik permainan dari gamelan ini adalah sangat elaborate, intricate, holyponic,
melodic, dan bermacam sistem kotekan (interlocking figuration).35 Untuk mengiringi
pertunjukan wayang kulit terutama pada wayang kulit parwa biasanya digunakan 2 sampai
4 buah/tungguh. Masing-masing instrumen berlaras slendro36 dan memakai 10 keys,
sedangkan urutan nadanya terdiri dari 5 nada yaitu: dong, deng, dung, dang, ding. Colin
McPhee, seorang ahli etnomusikologi mengatakan bahwa, warna nada dari empat buah

34
I Made Bandem, dkk., Wimba Wayang Kulit Ramayana (Ketut Madra), Proyek Penggalian Seni Budaya
Klasik/Tardisional dan Baru, 1981/1982, pp. 23-24
35
Made Bandem, "Gender Wayang", dalam Serba Neka Wayang Kulit Bali, diterbitkan oleh LISTIBIYA
Daerah Bali, Denpasar, 1974, p. 10
36
Ukuran atau laras slendro diduga berasal dari pertengahan abad VIII, pertama kali muncul, dibawa oleh
raja Syailendra dari kerajaan Indonesia Hindu. Lihat Colin McPhee, op. cit., p. 9

21
instrument (Gender) menimbulkan gambaran atau kesan tentang kecantikan suaranya yang
sulit disampaikan dalam kata-kata, karena ia terasa manis, lunak, dan menarik sangat sesuai
dengan sifat pertunjukannya. Makanya tidak heran kalau ia mengatakan bahwa bentuk
tertinggi dan paling peka dari ungkapan musik yang ada di Bali ditujukan dalam musik
(gamelan gender) yang mengiringi wayang kulit.37
Menurut kegunaannya, gending-gending gender dapat dijadikan dua kelompok yaitu,
pertama, gending-gending pategak, suatu permainan beberapa jenis komposisi lagu, baik
klasik maupun modern sebelum pem-babakan ceritera dimulai dalam repertoar wayang
kulit Bali, seperti: sekati, sekar ginotan, sekar sungsang, dan yang lainnya. Kedua, gending-
gending yang mengikuti tetikesan wayang (Jawa, sabetan) terdiri dari, (a) pemungkah
(pembukaan); (b) petangkilan (persidangan); (c) penyacah/pemahbah (introduksi); (d)
angkat-angkatan (keberangkatan tokoh wayang); (e) rebong (ekspresi romantis); (f) tangis
(suasana sedih); (g) tunjang (karakter keras atau raksasa); (h) batel (perang); dan (i) tabuh
gari, selesai pertunjukkan dan penyudamalan.
Secara konvensional, pertunjukan wayang kulit parwa menggunakan iringan
gamelan gender berjumlah 4 buah/tungguh, terdiri dari 2 tungguh gender besar, dan 2
tungguh gender kecil. Namun beberapa daerah ada yang menggunakan 2 tungguh gender
(besar) seperti di daerah Buleleng dan Nusa Penida (Klungkung). Belakangan ini muncul
beberapa dalang yang memakai iringan di luar gamelan konvensional tersebut di atas
seperti, seperangkat gamelan angklung; semar pagulingan, pegambuhan, palegongan dan
lain-lainnya.
Garap Lakon

Lakon dalam pewayangan merupakan salah satu unsur yang sangat penting, kalau
tidak dikatakan yang terpenting. Diantara jenis-jenis wayang yang ada di Bali saat ini,
wayang parwa termasuk jenis wayang yang paling populer baik jumlah repertoarnya maupun
frekwensi penyajiannya. Sesuai namanya, jenis wayang ini memakai lakon yang diambil dari
parwa-parwa (bagian) epos/wiracarita Mahabharata. Para dalang di Bali mengetahui epos ini
sebagian besar melalui kakawin berbahasa Jawa Kuno, dan sedikit sekali melalui kitab yang
berbahasa Sanskerta.

37
McPhee, Ibid., p.1

22
Hal yang menarik adalah adanya sikap dan prilaku kreatif dalam proses transmisi
lakon-lakon dari epos India baik dituturkan lewat karya tulis, digubah dari bentuk prosa ke
dalam bentuk puisi (kakawin), maupun dipresentasikan ke dalam suatu bentuk teater seperti
wayang. Sederetan nama-nama sastrawan kerajaan (mulai dari jaman Diah Balitung, Kediri,
Majapahit, Dharmawangsa Teguh hingga Dalem Waturenggong di Bali) terus-menerus
menumbuh-kembangkan epos itu, dengan melibatkan inspirasi spiritual dan artistiknya
masing-masing, sehingga muncullah berbagai lakon-lakon baru yang merupakan
perkembangan dari epos India itu. Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa
menjadi raja di belahan timur Yawadwipa (Jawa) berhasil membahasa-jawakan epos
Ramayana dan Mahabharata ke dalam bentuk kakawin. Sastrawan besar yang bernama Empu
Yogiswara (?), menyalin Ramayana ke dalam bentuk kakawin, ternyata tidak sepenuhnya
patuh pada Ramayana versi Walmiki, justru mengambil model atau inspirasi dari Ramayana
versi Bhattikavya.38 Empu Sedah dan Panuluh menyadur Mahabharata menjadi kakawin
Bharatayuda (1157Masehi).39 Sebuah “proyek besar mangjawaken Byasamata” dilakukan
Dharmawangsa Teguh dengan membahasa-jawakan buah pikiran Byasa, muncul dalam
Wirata Parwa berbunyi, “…sira ta sri Dharmawangsa teguh anantawikrama ngaran ira
umilwa manggala i mangjawaken Byasamata…”40. Demikian pula kitab Pustaka Raja
Purwa, merupakan saduran dari kakawin Ramayana dan Bharatayuda dengan bahasa Jawa
Baru, dilakukan oleh pujangga keraton R.Ng. Jasadipura (sekitar tahun 1755)41 kini diterima
sebagai babon dari lakon wayang purwa (Jawa), dan kakawin yang dianggap sebagai babon
dari lakon-lakon wayang kulit di Bali, keduanya adalah karya sastrawan Indonesia yang
gandrung mengembangkan epos India.
Khusus dalam pewayangan, pengolahan lakon ini adalah hasil interpretasi individu dari
setiap dalang, oleh karenanya semua hasil pengolahan itu dikenal sebagai lakon “carita kawi
padalangan”. Disebutkan “carita kawi padalangan, sebab seorang dalang lebih banyak

38
Prof. Dr. R. M. Ng. Poerbatjaraka, Kapustakaan Djawi, Diterbitkan oleh Djambatan, Djakarta, 1952, pp. 2-
3. Baca juga, IBG. Agastia, Sastra Jawa Kuna dan Kita, Penerbit Wyasa Sanggraha, Denpasar, 1982, p. 16
39
Prof. Dr. R. M. Sutipto Wirjosuparto, Kakawin Bharatayuddha, Fak. Sastra UI, Penerbit Bhratara, Jakarta,
1968, pp. 10-41
40
IBG. Agastia, loc.cit., p 14
41
R. M. Sutipto Wirjosuparto, op. cit. p. 13

23
berperan aktif mengolah ceritera-ceritera pewayangan, oleh karenanya ia diberi predikat
“Sanghyang Kawi”42. Sifat-sifat dan cara pengolahan itu sangat bervariasi yang menyebab-
kan jauh dekatnya hasil olahan dari babonnya menjadi berbeda-beda. Dari pembiakan lakon-
lakon itu, kini dikenal banyak jenis-jenis lakon dalam pewayangan seperti, lakon baku
(pokok); lakon sempalan (terpotong-potong); lakon carangan (cabang); lakon karangan
(interpretasi); lakon babad (legenda); lakon komik (gambar); lakon anggit-anggitan/kawi
dalang; dan lain sebagainya. Salah satu contoh, lakon Bima Swarga termasuk lakon kawi
dalang, hal itu bisa ditelusuri dari alur dramatiknya mendekati struktur alur pewayangan.
Dugaan tersebut dikuatkan dengan ditemukannya kisah Bima Swarga berupa “satua kawi
pedalangan (satua wayang) oleh Hinzler seperti disebutkan di atas. Ciri khas lakon “kawi
dalang” adalah, seorang dalang ngakit/nganggit satua (membuat pola ceritera) dengan cara
mengambil ceritera pokok (babon) dari astadasa parwa (Mahabharata) sebagian/episode,
kemudian mengarang (ngawi) dengan adaftasi dari naskah-naskah lain yang sesuai dengan
kondisi dan situasi (kontekstual) seperti Yamapurana Tatwa.
Sebagian besar pertunjukan wayang di Bali mengiringi ritual keagamaan (Hindu) yang
dikenal dengan panca yadnya (dewa yadnya; rsi yadnya; pitra yadnya; manusa yadnya; dan
bhuta yadnya). Salah satu contoh lakon Bima Swarga dalam pertunjukan wayang kulit
sangat jelas mengiringi upacara pitra yadnya (ritual kematian). Lakon ini dipentaskan pada
waktu malam hari menjelang puncak upacara ngaben/pitra yadnya (H.–1), sehingga lakon
ini berfungsi sebagai media komunikasi, persembahan simbolis, keserasian norma-norma
masyarakat, pengukuhan sosial dan upacara keagamaan, dan menggugah rasa indah dan
kesenangan, atau lebih singkatnya memberikan tuntunan dan tontonan.

42
Gedong Kirtya, Lakon Wayang dan Lakon Gambuh, Singaraja, Tanpa Tahun. p. xxiv

24

Anda mungkin juga menyukai