Anda di halaman 1dari 14

PRASASTI PENDEK DARI CANDI SANGGAR DAN

KEMUNGKINAN PENGHORMATAN TERHADAP DEWA BRAHMA

SHORT INSCRIPTION FROM SANGGAR TEMPLE


A HOMAGE TO BRAHMA
T.M. Rita Istari
ritaistari@yahoo.com

ABSTRACT
Sanggar temple is located on Penanjakan slope.. The hill is part of Wonogriyo of
Pusungmalang village, Puspo regency, Pasuruan district. Sanggar temple suspected as place of
worship to the God Brahma who dwells in Mount Bromo.
On a series of research carried out in 2005-2008 by Yogyakarta Centre of Archaeology
were found several short inscriptions around the temple to be praises used in religious rituals it is
allegedly the people in the region. The tradition to sing praises by until the spread of Islam in
Java. The adoption of Islam influence changes lasted praises.
The contents of such literatur review espeally ancient writings are used to prove the
assumptin.

Keywords: Brahma – Bromo’s Mountain – Short inscription – Praises - Java’s song

ABSTRAK
Candi Sanggar berada di lereng Gunung Penanjakan yang merupakan anak Gunung
Bromo, secara administrative terletak di Dusun Wonogriyo, Desa Pusungmalang, Kecamatan
Puspo, Kabupaten Pasuruan. Candi Sanggar diduga sebagai tempat pemujaan kepada Brahma yang
bersemayam di Gunung Bromo.
Pada waktu Balai Arkeologi Yogyakarta melakukan penelitian tahun 2005 – 2008,
ditemukan beberapa prasasti pendek, diantaranya 2 buah angka tahun / Candrasengkala, dan
sebuah prasasti pendek yang belum terpecahkan maknanya meskipun sudah terbaca per kata.
Dugaan sementara, prasasti tersebut berkaitan dengan puji-pujian yang diucapkan sebagai
pelengkap suatu aktivitas keagamaan yang pernah dikenal masyarakat sekitar situs tersebut.
Tradisi menembangkan sebuah pujian berlangsung hingga masa masuk dan berkembangnya
pengaruh Islam di Jawa, dengan penambahan unsur-unsur yang bernafaskan Islam.
Makalah ini bertujuan untuk membuktikan kebenaran dugaan tersebut, melalui studi
pustaka terutama naskah-naskah kuna yang ada sangkut pautnya dengan tema makalah ini.

Kata Kunci: Brahma, Gunung Bromo, Prasasti pendek, Pujian, Tembang

Tanggal masuk : 09 Maret 2015


Tanggal diterima : 27 April 2015

Prasasti Pendek dari Candi Sanggar dan Kemungkinan Penghormatan 59


Terhadap Dewa Brahma (T.M Rita Istari) ;
PENDAHULUAN kepercayaan masyarakat berpusat
Dusun Wonogriyo, Desa kepada penyembahan dewa-dewa
Pusungmalang, Kecamatan Puspo, alam dan arwah nenek moyang
terletak di lereng Gunung (Lelono, 2003: 31). Dahyang
Penanjakan salah satu anak Gunung berawal dari kata Rahyang yang
Bromo di Kabupaten Pasuruan, kemudian berubah menjadi kata
mempunyai Koordinat LS danyang dalam bahasa Jawa baru
07*50’57,8”, BT 112*56’36,5”, dan (ra = da = honorefic prefic)
dpl 1340 m. Di desa ini telah (Kartoatmodjo, 1979: 43). Punden ini
ditemukan sebuah candi berbahan oleh masyarakat setempat disebut
andesit, terletak di atas bukit, dan Candi Sanggar. Sanggar adalah
diperkirakan seluas 500 m². Candi suatu tempat untuk pemujaan arwah
berbentuk punden berundak tersebut leluhur, dan dahyang, pemujaan
terdiri atas 3 halaman, berasal dari tersebut berlangsung hingga
masa Hindu. Pendapat ini sekarang. Tradisi pemujaan kepada
berdasarkan pada hasil penelitian leluhur sampai sekarang masih
yang telah dilakukan oleh Balai dilakukan oleh lima dusun yang ada
Arkeologi Yogyakarta pada tahun dalam wilayah Desa Pusungmalang
2005, dan tahun 2008 dengan tema yaitu: Dusun Mangu, Wonogriyo,
Arsitektur dan Latar Belakang Kenongo, Jagungsromo, dan
Pendirian Candi Sanggar di Lereng Pusungmalang. Upacara ini
Gunung Bromo. Secara arkeologis dilakukan setiap 2 tahun sekali
penemuan candi ini penting, sebab dengan waktu yang sudah
menambah bukti bahwa di lereng- ditentukan, mereka melakukan
lereng gunung Pananjakan pernah upacara yang dinamakan Bersih
ada aktivitas pemukiman maupun Desa. Sedangkan tujuan
keagamaan pada masa lampau. dilaksanakan upacara ini untuk
Halaman I candi diyakini memuja, dan menghormati para
oleh masyarakat, se tempat terdapat danyang yang tinggal di sana, agar
makam sesepuh/cikal bakal/leluhur mereka selalu menjaga,
desa bernama Kyai Wonosodo, yang menghindarkan mala petaka, serta
dianggap sebagai danyang, dan gangguan roh-roh jahat. Upacara
diyakini dapat menjaga keselarasan tersebut dilakukan dengan cara
hidup seluruh masyarakat desa mengelilingi ke lima dusun yang
tersebut. Di kawasan Tengger setiap berada di wilayah Desa
dusun atau desa pada umumnya Pusungmalang. Masyarakat beriring-
mempunyai punden-punden yang iringan menuju ke delapan punden
dikeramatkan. Punden secara fisik desa yang dikeramatkan dan
dapat berupa batu alam atau batu mengadakan upacara ritual di
monolit yang berdiri tegak, pohon- tempat-tempat tersebut.
pohon besar seperti beringin, mata Secara geografis Desa
air, sungai, gunung, dan lain Pusungmalang terletak di daerah
sebagainya.Punden, menurut perbukitan, dan permukiman
kepercayaan masyarakat, dianggap penduduk berada di bawah lereng
sebagai tempat bersemayamnya roh Gunung Penanjakan atau di bawah
leluhur/nenek moyang, maupun cikal bukit tempat Candi Sanggar berdiri.
bakal desa yang disebut dahyang. Pelaku upacara terdiri atas: kepala
Asal mula munculnya dahyang desa, sesepuh desa, dukun,
diduga pada masa pra-Hindu, ketika perantara, pesinden, penari tayub,

60 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.1 Mei 2015: 59-72


dan rombongan penabuh gamelan adalah peranan dewa Brahma
(musik tradisional), dan masing- sebagai dewa pencipta alam
masing mempunyai peran sendiri- semesta. Prasasti Walandit antara
sendiri. Setiap kali berhenti di lain menyebutkan adanya upacara
punden, mereka melakukan upacara pemujaan di Tengger di Gunung
ritual dengan meletakkan sesaji, dan Bromo yang disebutnya upacara
pesinden menembangkan puji-pujian Kasada. Istilah Bromo memang
yang sudah dtentukan, sesuai identik dengan Brahma salah satu
dengan urutan prosesi. dewa Trimurti dalam agama Hindu.
Ke delapan punden yang Prasasti Muncang berangka tahun
dikeramatkan oleh masyarakat 866 Saka atau 944 Masehi,
Desa Pusungmalang adalah: ditemukan di Dukuh Blandit, Desa
1. Setran atau kuburan desa Wonorejo, Kecamatan Singasari,
2. Perempatan desa yang Kabupaten Malang, berbahasa
menghubungkan ke 5 dusun di Sanskerta, dan alih aksaranya telah
wilayah Desa Pusungmalang diterbitkan oleh Brandes – Krom
3. Jambu, berupa pohon besar dalam OJO, prasasti nomor 51
4. Kali Kenongo, sumber mata air (Nastiti, 2003. 150), prasasti ini
yang berada di utara desa sekarang disimpan di Gedung Balai
5. Candi Sanggar atau punden Penyelamat Benda Purbakala Mpu
6. Halaman bangunan Sekolah Purwo, Malang dengan inventaris
Dasar Pusungmalang, berada di nomor 01, (http:id/kekunaan.
selatan desa Blogspot). Isi prasasti menjelaskan
7. Kali Sumberrejo, sumber mata bahwa desa Muncang dijadikan sima
air yang berada di selatan desa atau tanah perdikan. Suatu candi
8. Pertigaan desa, merupakan biasanya akan memiliki tanah-tanah
persimpangan jalan, di mana perdikan atau Sima. Tanah yang
salah satu persimpangannya dijadikan sima itu dapat berupa
menuju ke atas yaitu ke lokasi sawah, ladang, kebun, padang
Tengger yang berada di puncak rumput, bahkan juga hutan. Sima
Gunung Bromo (Istari, 2008: tersebut tidak bebas sama sekali
92-93). dari pungutan pajak. Hanya bedanya
dengan tanah biasa adalah,
Acara puncak upacara ini pungutan pajak dari tanah sima tidak
diadakan di halaman Candi Sanggar untuk kas perbendaharaan kerajaan
yang berada di tengah-tengah desa melainkan digunakan untuk
dan terletak di bukit tertinggi. membiayai berbagai macam
Sebagaimana telah disebutkan keperluan bangunan suci
bahwa Candi Sanggar dianggap (Sulistyanto, 1997: 35). Dalam
sebagai tempat keramat, karena prasasti Muncang disebutkan untuk
adanya makam Kyai Wonosodo membiayai prasada kabyaktyan
sebagai cikal bakal masyarakat yang disebut Siddhayoga, yaitu
Desa Pusungmalang. Upacara di bangunan suci tempat para hulun
tempat ini biasanya tepat tengah hyang melakukan persembahan
har, dengan prosesi ritual lebih kepada Bhatara Sang Hyang
panjang dibanding pada ke tujuh Swayambhu di Walandit setiap hari.
punden yang lain. Terlepas dari Swayambhuwa adalah nama lain
Candi Sanggar, salah satu dari dewa Brahma, Swayambhu
persoalan dalam sejarah berarti: yang ada dengan sendirinya
kebudayaan Indonesia kuna yang (Maulana, 1997: 27). Berangkat dari
belum terpecahkan hingga sekarang

Prasasti Pendek dari Candi Sanggar dan Kemungkinan Penghormatan 61


Terhadap Dewa Brahma (T.M Rita Istari) ;
permasalahan tersebut, artikel ini masa Hindu-Buddha, mempunyai 3
akan membahas kemungkinan unsur pokok yaitu, kaki, tubuh, atap
adanya “penghomatan” terhadap candi, dan mempunyai bilik
dewa Brahma yang bersemayam di pemujaan (Garbhagrha). Sedangkan
Gunung Bromo. bangunan punden berundak tidak
mempunyai bilik pemujaan, seluruh
PEMUJAAN LELUHUR bangunan merupakan struktur
Dipandang dari segi terbuka yang menjadi satu dengan
arsitektur, Candi Sanggar berbentuk alam lingkungannya. Konstruksi
punden berundak, sedangkan punden berundak bukan merupakan
bangunan candi dan bangunan suatu bangunan berdiri tegak seperti
punden berundak mempunyai candi, melainkan rebah mengikuti
bentuk fisik berbeda. Bangunan garis kemiringan lereng tempat
candi, dalam pengertiannya sebagai berdirinya punden tersebut.
kuil atau bangunan keagamaan dari Bangunan punden berundak
memperlihatkan unsur tradisi asli
yang telah berkembang pada jaman
prasejarah, sejak dikenalnya tradisi
megalitik (Romondt, 1951: 5).
Menurut Soekmono, susunan
tersebut merupakan proyeksi datar
dan susunan vertikal, dengan tujuan
pengarahan perhatian ke lokasi
nenek moyang di gunung-gunung
(Soekmono, 1988: 237-238).
Bangunan punden berundak banyak
terdapat di lereng-lereng Gunung
penanggungan, Gunung Lawu, dan
sementara ini Candi Sanggar baru
satu-satunya punden berundak yang
ditemukan di lereng Gunung Bromo.
74 cm, dan tebal 10 cm bertuliskan
candrasengkala atau angka tahun
Gambar 1. Undakan menuju ke tingkat 1267 Saka atau 1345 Masehi,
paling atas, di tingkat bawah terdapat batu dengan huruf dan bahasa Jawa
andesit bertuliskan angka tahun di salah Kuna (Istari, 2006: 28). Tingkat III
satu sisinya atau tingkat teratas, merupakan
tempat paling sakral, biasanya
Candi Sanggar mempunyai 3
terdapat altar untuk pemujaan,
halaman bertingkat, pada
halaman/tingkat I diyakini seperti halnya bangunan punden
masyarakat sebagai tempat makam berundak di Gunung Penanggungan
(Atmodjo,1986: 291). Namun di
Kyai Wonosodo, dan pada halaman
ini terdapat lantai terbuat dari Candi Sanggar tidak ditemukan
lempengan pipih batu andesit. altar, melainkan baru ditemukan
struktur pondasi dari hasil ekskavasi,
Selanjutnya tingkat II terletak lebih
kemungkinan adalah pondasi altar
tinggi dari tingkat I, terdapat tangga
naik/undakan dari andesit, pada pemujaan. Bangunan punden
berundak ini tidak dikelilingi pagar,
undakan terbawah ditemukan
batas antara tingkatan-tingkatan
sebuah batu andesit berbentuk
persegi panjang dengan ukuran 72 X yang bersifat profan dan sakral

62 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.1 Mei 2015: 59-72


ditandai dengan tingkat-tingkat atau mulut tersenyum ramah, tangan
undakan yang meninggi ke kanan memegang gada yang
belakang, semakin tinggi letaknya disampirkan ke pundak kiri, posisi
semakin suci atau sakral sifatnya. duduk, kaki kanan menekuk ke
Arah hadap punden tidak seperti dalam, kaki kiri setengah berlutut,
halnya candi yang berorientasi ke dan teknik pahatan ornamen yang
arah mata angin, misalnya barat kaku.
atau timur. Candi Sanggar Arca tersebut identik
cenderung mengarah ke puncak dengan Dwarapala sebagai penjaga
gunung yang dianggap sebagai pintu gerbang bangunan suci, tipe
tempat para dewa atau roh leluhur, menunjukkan tradisi asli, yang
berorientasi ke arah utara sebab muncul kembali pada kehidupan
bangunan ini terletak di selatan keagamaan masa Majapahit akhir.
Gunung Bromo. Pada waktu Selama masa Majapahit,
dilakukan upacara Bersih Desa telah terjadi perubahan-perubahan
sesaji-sesaji diletakkan di tingkat kebudayaan yang dilandasi adanya
III/tempat paling atas Candi Sanggar pergeseran dalam bidang
yang merupakan tempat paling kepercayaan. Kepercayaan asli
sakral. masyarakat Jawa yang dilandasi
Hasil ekskavasi lain yang oleh pemujaan terhadap arwah
cukup penting adalah ditemukan leluhur, tampak tergeser oleh unsur-
struktur bangunan yang diduga unsur Hindu-Budha. Menjelang
semacam struktur ambang pintu, abad 18-19 Masehi unsur
dengan ukuran lebar 210 cm kepercayaan asli tersebut muncul
membujur arah timur-barat. Pojok kembali, ditunjukkan pada bentuk,
timur struktur tersebut ditemukan susunan, dan orientasi bangunan-
sebuah arca setinggi 40 cm, bangunan sucinya, dan munculnya
perpaduan antara pemujaan leluhur
dengan pemujaan kepada dewa-
dewa kosmis (Soekmono, 1993:
104).
Temuan permukaan dari
situs ini adalah sebuah batu andesit
dengan ukuran panjang 35 cm, lebar
21 cm, tebal 10 cm, dan tinggi 15
cm, bertuliskan huruf dan bahasa
Jawa kuna berupa candrasengkala
terbaca 1431 Saka atau 1509
Masehi (Istari, 2006: 28). Beberapa
komponen batuan candi berpelipit
halus maupun kasar, fragmen-
fragmen gerabah, keramik, terakota,
uang kepeng. Sedangkan batu-batu
Gambar 2. Arca Dwarapala sebagai penjaga andesit bergores dan 23 umpak
pintu bangunan suci. andesit dengan ukuran bervariasi,
merupakan temuan permukaan yang
berbahan batu pasiran dengan dikumpulkan masyarakat pada
kondisi sudah sangat aus, dan waktu mereka menemukan batu-
porositas kasar. Melihat bentuk dan batu candi di sekitar situs, dan
ikonografinya, arca digambarkan ditumpuk di halaman I Candi
sebagai berikut: kedua mata melotot,

Prasasti Pendek dari Candi Sanggar dan Kemungkinan Penghormatan 63


Terhadap Dewa Brahma (T.M Rita Istari) ;
Sanggar. Batu-batu andesit dengan Jayawisnuwarddhani
bermacam-macam goresan itu, (Poesponegoro,2008: 461).
menurut keterangan Suroso dan Sementara angka tahun kedua yaitu
Parman (styler dari Balai Pelestarian 1431 Saka atau 1509 Masehi,
Cagar Budaya Jawa Timur) Majapahit pada waktu itu diperintah
merupakan suatu tanda/kode untuk oleh raja Girindrawarddhana Dyah
memudahkan penyusunan batu-batu Ranawijaya Bhattara I Kling sebagai
tersebut. Demikian pula, raja terakhir dari kerajaan Majapahit
berdasarkan laporan Sukarno, (Djafar,1978:51).
pemerhati budaya dari Desa Menurut catatan sejarah,
Bulukambang, Kecamatan Lumbang abad-abad tersebut merupakan
yang terletak di sebelah utara Desa periode akhir masa kejayaan Klasik
Pusungmalang, pernah ditemukan di Indonesia, yang ditandai dengan
beberapa arca, namun sekarang merosotnya kekuasaan Majapahit
sudah tidak dapat dilacak yang masih menganut agama Hindu-
keberadaannya. Di antara 23 Buddha. Sebenarnya penyembahan
umpak terdapat 3 umpak dengan kepada dewa-dewa berkembang
ukuran dan bentuk sama, pada pula pada masa kerajaan Majapahit.
salah satu sisinya bertuliskan Hal ini berdasarkan konsep
candrasengkala/ angka tahun pengaruh kepercayaan yang bersifat
dengan huruf dan bahasa Jawa kosmologi. Majapahit dianggap
kuna, terbaca angka 1431 Saka atau sebagai replika jagad-raya, sehingga
1509 Masehi. Berdasarkan ke dua raja-raja Majapahit disamakan
angka tahun tersebut, tim peneliti kedudukannya dengan dewa
Balai Arkeologi Yogyakarta tertinggi yang bersemayam di
berasumsi bahwa Candi Sanggar puncak Gunung Mahameru
dibangun atau dibuat bertahap ((Pusponegoro, 2008: 248).
antara abad ke-14 sampai dengan Upacara keagamaan dari tradisi
abad ke-16 Masehi. Angka tahun asli diantaranya berupa pemujaan
pertama yaitu 1267 Saka atau 1345 terhadap arwah nenek moyang

Gambar 3 . Hasil Pembacaan Prasasti dari Candi Sanggar. Baris Atas: “Ji lu lu ma lu lu lu ra”.
Baris Bawah: Pa dra dra dra a/mu la dra la”

Masehi atau sekitar abad 14 seperti yang disebutkan dalam


Masehi, ketika kerajaan Majapahit prasasti Jiwu I dan Jiwu III, berasal
diperintah oleh Bhre Kahuripan yang dari sekitar tahun 1486 Masehi.
bergelar Tribhuwanottunggadewi Prasasti ini dikeluarkan pada masa

64 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.1 Mei 2015: 59-72


pemerintahan Girindrawarddhana. satu buah batu andesit bertulis
Isi prasasti menyebutkan adanya berbentuk persegi panjang
upacara untuk memperingati berukuran: panjang 32 cm, lebar 19
seorang raja yang meninggal di cm, tebal 10 cm, dan tinggi 12 cm.
Indranibhawana 12 tahun yang lalu, Prasasti pendek ini dituliskan pada
peringatan itu dinamakan upacara salah satu sisi batu andesit tersebut
Sraddha (Brandes, 1913: 221). Pada menggunakan bahasa dan huruf
waktu itu raja Majapahit disejajarkan Jawa kuna. Artikel tentang
dengan dewa-dewa sehingga penemuan Candi Sanggar meliputi
pemujaan terhadap arwah leluhur arsitektur dan latar belakang
tetap dijalankan dengan melakukan keagamaannya, pernah diterbitkan
upacara-upacara peringatan seperti dalam buku “Majapahit. Batas Kota
Sraddha tersebut. Oleh sebab itu dan Jejak Kejayaan di Luar Kota”
dapat pula dikatakan bahwa pada oleh Balai Arkeologi Yogyakarta.
masa Majapahit akhir, muncul Sayangnya sampai dengan waktu
kembali pemujaan kepada dewa- artikel tersebut diterbitkan, belum
dewa “tradisional” (Atmodjo,1986: terpecahkan arti dan maknanya,
298). meskipun sudah dapat dibaca
sebagai berikut pa dra dra dra a
TAFSIR PRASASTI SANGGAR ladra la. Dugaan sementara kalimat
Prasasti pendek dari Candi itu adalah suatu pujian atau sebuah
Sanggar berbahan batu andesit, kutukan (Istari, 2014: 132).
ukuran panjang 19 cm, lebar 10 cm, Menurut Aang Prambudi
dan tinggi 12 cm, tulisan dan huruf mahasiswa Sejarah, Universitas
Jawa kuna. Bentuk empat persegi Malang, dan Yogi Pradana
panjang, dengan identifikasi aksara mahasiswa Jurusan Arkeologi,
terdiri atas dua baris aksara, bagian Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
tengah terdapat garis lurus Gadjah Mada mereka berpendapat,
horizontal yang memisahkan dua bahwa kata ke lima dari kanan
baris aksara tadi. Sedangkan di adalah kata mu bukan a, sehingga
bagian tepinya terdapat bingkai kalimat itu terbaca pa dra dra dra
selebar 3 cm mengelilingi seluruh mu la dra la. Jadi ada perbedaan
aksara prasasti tersebut. Pola pembacaan pada kata ke empat dan
pemahatan pada salah satu sisi ke lima yaitu ala menjadi mu la.
saja. Tipe aksara tegak dengan Tafsiran ke dua mahasiswa tersebut
pahatan yang dalam, memiliki masuk akal juga, sehingga penulis
ukuran 5 cm, tipe ini biasanya terinspirasi untuk menuangkannya
ditemukan pada prasasti-prasasti dalam makalah ini. Mula sama
yang dikeluarkan pada masa mPu dengan: awal, asal mula, atau asli.
Sindok. Di atas aksara prasasti Penulis berpendapat bahwa kalimat
terdapat bulatan-bulatan kecil dalam prasasti itu ada hubungannya
berjumlah 1,2,3, dan 5, menurut dengan “asal mula” suatu
penulis, semacam not balok sebuah kehidupan, dan ada sangkut pautnya
tembang yang dilukiskan dengan dengan dewa Brahma yang
simbol-simbol seperti yang terlihat bersemayam di Gunung Bromo,
dalam prasasti pendek tersebut. sebagai dewa pencipta dalam
Salah satu temuan kepercayaan agama Hindu.
permukaan yang sangat penting di Sebagaimana telah diketahui bahwa,
situs Candi Sanggar selain yang prasasti pendek itu ditemukan di
sudah disebutkan di atas adalah, situs Candi Sanggar yang berlokasi

Prasasti Pendek dari Candi Sanggar dan Kemungkinan Penghormatan 65


Terhadap Dewa Brahma (T.M Rita Istari) ;
di lereng Gunung Bromo. Telah semesta (makrokosmos). Konsep
disebutkan pula, bahwa Candi kosmologi ini berdasar pada doktrin
Sanggar berbentuk punden agama Hindu-Buddha, bahwa jagad
berundak dengan arah hadap ke raya/alam semesta merupakan
puncak Gunung Bromo. Istilah benua yang berbentuk lingkaran
“Bromo” dihubungkan dengan kata disebut Jambudwipa, dan di
“Brahma”, salah satu dewa Trimurti tengahnya berdiri Gunung
dalam agama Hindu. Penciptaan Mahameru sebagai gunung tertinggi.
manusia yang dikaitkan dengan Jambudwipa dikelilingi 7 samudra
Brahma ini terdapat dalam kitab dan 7 benua lainnya. Lingkaran
Tantu Panggelaran, yang pertama terakhir terdapat jajaran
kali ditulis oleh Th.G.Th.Pigeaud pegunungan. Konsepsi tentang
untuk disertasinya pada tahun 1924 gunung yang dianggap suci sudah
di Leiden, Belanda. Tantu muncul sejak jaman pra-sejarah.
Panggelaran kitab berbentuk prosa Pada jaman sejarah, konsep
berbahasa Jawa Pertengahan, tersebut ditandai dengan bangunan
dikeluarkan pada masa Majapahit suci yang berada di lereng-lereng
sekitar abad 15 Masehi (Cahyono, gunung. Sehubungan dengan hal itu,
2010: 7). Isinya mengisahkan Dewa Brahma dianggap sebagai
tentang Bhatara Guru atau Bhatara pencipta atau yang menciptakan
Mahakarana yang memerintahkan asal mula manusia pertama dan
dewa Brahma dan dewa Wisnu kehidupannya di Jawa, sudah
untuk turun ke bumi guna sepantasnyalah mendapat
menciptakan manusia dengan kehormatan dan puji-pujian dari
segala aturannya di Jawa. Kemudian masyarakat sekitar yang
Brahma menciptakan seorang laki- mempercayai mitos tersebut pada
laki, dan Wisnu menciptakan masa itu. Perihal ini mungkin
seorang perempuan. Intinya, kitab ini berkaitan dengan prasasti pendek
terdiri atas mitos-mitos yang dari Candi Sanggar itu yang
berhubungan dengan penciptaan menyebutkan kata mu la, pada
manusia, mandala-mandala atau kalimat tersebut. Hanya saja
tempat suci, dan awal keberadaan menimbulkan pertanyaan, mengapa
Pulau Jawa. hanya Brahma yang dihormati,
Dipilihnya Jawa untuk apakah karena keberadaan Gunung
penciptaan manusia pertama itu, Bromo di sana. Sedang dewa
dihubungkan dengan pemindahan Wisnu dianggap tidak ada kaitan
Gunung Mahameru dari India ke dengan tempat itu.
Jawa untuk menstabilkan pulau Bukti lain yang memperkuat
tersebut. Pulau Jawa pada waktu betapa pentingnya peranan Brahma
dahulu terguncang terus. Oleh ini adalah temuan prasasti Walandit
sebab itu Bhatara Guru perlu di daerah Penanjakan (anak Gunung
memerintahkan untuk memindahkan Bromo) di Desa Wonokitri,
Gunung Mahameru ke Pulau Jawa Kabupaten Pasuruan. Prasasti
agar tidak terguncang lagi. Peranan tersebut merupakan sebuah prasasti
gunung dalam simbolisme tinulad/tiruan, ditulis pada
kehidupan terlihat dalam landasan lempengan perunggudi ke dua
kosmologi yang mempunyai sisinya. Sisi pertama berangka tahun
kepercayaan akan adanya 1303 Saka atau 1381 Masehi, isinya
keserasian antara dunia manusia tentang larangan memungut pajak
(mikrokosmos) dengan alam Desa Walandit untuk upacara ritual

66 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.1 Mei 2015: 59-72


keagamaan, karena desa tersebut penghormatan kepada Bhatara i
merupakan permukiman para hulun Walandit yang dilakukan setiap
hyang/orang-orang yang tahunnya.
mengabdikan hidupnya bagi para Prasasti lain dan isi yang
dewata, sehingga dibebaskan dari sama tetapi desa berlainan, adalah
segala macam pajak. Sisi ke dua, prasasti Muncang, berangka tahun
ditulis pada tahun 1327 Saka atau 866 Saka/944 Masehi ditemukan di
1405 Masehi, isinya memperkuat Dukuh Blandit1, Desa Wonorejo,
pernyataan sisi pertama prasasti Kecamatan Singosari, Kabupaten
tersebut. Prasasti Walandit dibuat Malang, posisinya berada di lereng
pada masa pemerintahan Sri
1
Paduka Bhatara Hyang Wekas ing Pada jaman sekarang, di wilayah Tengger
Suka, nama anumerta raja Hayam banyak dijumpai toponimi nama-nama
Wuruk dari Majapahit. Sebagaimana tempat yang pernah disebut dalam naskah-
telah disebutkan di atas, bahwa naskah kuna, Nama desa-desa tersebut
Bromo identik dengan dewa sekarang secara administratif dipisahkan
Brahma. Dalam prasasti Walandit dalam wilayah kecamatan maupun
sisi 2, alinea 4 disebutkan: kabupaten, tentunya pada jaman itu belum
ada pembagian wilayah secara
4. ila hulun hyangira sang hyang administratif. Jadi wilayah tersebut masih
gunung Brahma, yata hanimi menjadi satu wilayah besar yaitu Tengger
taming unambrakĕng dening yang berada di Gunung Bromo. Toponim
kabayan made, buyut desa-desa itu antara lain Desa Lumbang
......(Pigeaud, 1960: 120). adalah nama desa yang penting pada jaman
Terjemahan: Majapahit, nama itu disebutkan dalam kitab
4. dan orang-orang kahyangan yang Nagarakertagama pupuh 73:3, yang
memuja Gunung Brahma dikatakan bahwa pada jaman Majapahit
pernah tinggal seorang empu atau pembuat
yang bertuah, itulah yang
keris yang sangat terkenal. Juga
menjadi sebab atau alasan
menyebutkan bahwa pada masa
maka piagam perunggu
pemerintahan Hayam Wuruk, di Lumbang
diperintahkan dibuat untuk
pernah dibangun sebuah candi untuk
mereka oleh Kabayan, made seseorang, sayangnya tidak diketahui
buyut ..... namanya (Robson, 1995: 5). Dalam
Nagarakertagama juga dikatakan bahwa
Nama desa Walandit sesudah Gadjah Mada tidak lagi menjadi
sebenarnya sudah ada sejak masa mahapatih Majapahit, dia bertempat tinggal
pemerintahan mPu Sindok yang di sebuah desa bernama Lumbang yang
berlanjut sampai masa Majapahit. terletak di lereng Gunung Bromo
Prasasti masa mPu Sindok yang (Pramudito, 2006: 63). Selain Lumbang,
berhubungan dengan Walandit nama Walandit yang sangat terkenal
antara lain: prasasti Linggasutan sehingga mendapat keistimewaan dijadikan
berangka tahun 851 Saka atau 929 sebuah sima/tanah perdikan, kemungkinan
Masehi (Poesponegoro, 2011: 250- ada kaitannya dengan nama Dukuh Blandit
251). Isinya tentang penetapan yang sekarang termasuk dalam wilayah
sima/tanah perdikan desa desa Wonorejo. Demikian pula nama
Linggasutan yang termasuk wilayah wilayah penguasa di Hujung, pada jaman
Rakryan Hujung pu Madhura pemerintahan mPu Sindok, sekarang
Lokaranjana. Desa tersebut menjadi nama dukuh Ngujung di desa
dibebaskan dari pajak, dan hasil Toyamarto, Kecamatan Singosari (Cahyono,
buminya untuk menambah biaya 2010: 7).

Prasasti Pendek dari Candi Sanggar dan Kemungkinan Penghormatan 67


Terhadap Dewa Brahma (T.M Rita Istari) ;
barat Gunung Bromo. Prasasti ini (.....1327, bulan Asada (juni – juli)
dipahatkan pada batu andesit tanggal 9 hari minggu pahing (salah
(linggapala) menggunakan huruf dan satu hari dari lima hari dalam
bahasa Jawa kuna. Dinamakan kalender Jawa), bulan/wuku
prasasti Muncang berdasarkan dungulan (wuku ke sebelas dari 30
penyebutan nama tersebut dalam wuku dala kalender Jawa), waktu
teks prasasti. Isi prasasti antara lain malam bulan purnama ......)
menyebutkan bahwa pada bulan Sebagian masyarakat Tengger
Caitra tanggal 6 Suklapaksa tahun pemeluk agama Hindu-lama –
866 Saka/ 944 Masehi, Sri Mahāraja berbeda dengan pemeluk
rake Hino mPu Sindok Sri kepercayaan agama Hindu sekarang
Isanawikramadharmottunggadewa yang melakukan pemujaan di candi-
memerintahkan penguasa se tempat candi atau pura bagi pemeluk
agar sebidang tanah di desa agama Hindu Bali – sampai
Muncang dijadikan sima/daerah sekarang masih menjalankan
perdikan. Wilayah tersebut upacara Kasada ini. Upacara
dibebaskan dari kewajiban diadakan setiap tanggal 14 bulan
membayar pajak, sebagai gantinya Kasada/Asada pada waktu bulan
hasil bumi wilayah itu untuk purnama. Mereka
membiayai sebuah bangunan mempersembahkan sesaji berupa
prasada kabyaktyan yang disebut hasil bumi dan ternak. Seperti yang
Siddhayoga, yaitu bangunan suci disebutkan dalam prasasti Walandit
tempat para hulun hyang melakukan dan prasasti Muncang, bahwa
persembahan kepada Bhatara Sang penganugerahan daerah menjadi
Hyang Swayambhuwa di Walandit sima dengan kewajiban
setiap hari. Swayambhuwa adalah menyerahkan hasil bumi untuk
nama lain dari dewa Brahma. Jadi persembahan kepada dewa Brahma.
kemungkinan “penghomatan” itu Rupa-rupanya ada kesamaan jenis
berhubungan dengan dewa Brahma sesaji yang dipersembahkan dalam
yang bersemayam di Gunung upacara Kasada tersebut.
Bromo. Kembali menyimak prasasti
Prasasti Walandit juga pendek dari Candi Sanggar, di atas
menyebutkan satu hal penting yang kalimat prasasti terdapat bulatan-
dapat dikaitkan dengan upacara bulatan kecil berjumlah 1, 2, 3, dan
pemujaan di Tengger/Gunung 5.Sebagaimana diketahui pada
Bromo ini, yaitu tentang upacara jaman sekarang, seorang pencipta
Kasada.Upacara ini diadakan satu lagu apabila menciptakan sebuah
tahun sekali sampai sekarang. lagu/nyanyian, juga membuat not
Tujuannya melakukan balok berupa angka-angka untuk
penghormatan kepada roh leluhur menyusun nada-nada dari lagu
mereka yang bersemayam di tersebut. Nada lagu itu berupa
Tengger. Asal mula dinamakan angka-angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7
Kasada, dikaitkan dengan bulan diucapkan do re mi fa sol la si
Asada yang disebutkan dalam dengan nada berbeda. Demikian
prasasti Walandit, yaitu: ......1327, pula sebuah tembang Jawa, not
Asadamasa, tithi, balok dilagukan dengan nada
mawamiķŗşnapakşa, pa, ra, wara, berlainan, dan memakai bahasa
dungulan, irika diwasanya ri Jawa. Jadi, bulatan-bulatan di atas
parawa.......(Pigeuaud, 1960: 120) kalimat prasasti itu dapat dibaca: 1,
3, 3, 5, 3, 3, 3, 2 dalam bahasa Jawa

68 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.1 Mei 2015: 59-72


menjadi ji lu lu ma lu lu lu ra cara Pujian yang ditembangkan
melagukannya dengan nada tersebut sebagai pelengkap dari
berbeda pula. aktivitas keagamaan yang
Penulis berpendapat, bahwa pernah dikenal masyarakat
dalam kepercayaan agama apapun sekitar situs tersebut.
termasuk kepercayaan yang dianut
masyarakat masa lampau,
melantunkan suatu pujian dengan UCAPAN TERIMAKASIH
dilagukan adalah hal biasa. Tradisi  Kepada Prof. (Ris) Dr.
tersebut bahkan berlangsung hingga Bambang Sulistyanto yang
masa masuknya kepercayaan telah berkenan membaca,
agama yang baru, tentunya dengan mengarahkan, dan
perubahan-perubahan yang mengoreksi artikel ini.
disesuaikan dengan kepercayaan  Bapak Sukarno B.A,
agama yang bersangkutan. narasumber dari Desa
Bulukambang, Kecamatan
PENUTUP Lumbang, Kabupaten
Sebagai penutup makalah ini, Pasuruan
beberapa kesimpulan yang  Aang Pambudi Nugroho,
diperoleh, adalah: mahasiswa Sejarah,
- Pemujaan kepada Brahma Universitas Negeri Malang,
sebagai pencipta di Jawa yang Ketua Komunitas Belajar
bersemayam di Gunung Bromo, Sejarah Budaya Masa Jawa
sudah dibuktikan dari beberapa Kuna – Museum Majapahit.
prasasti seperti yang telah  Yogi Pradana, mahasiswa
dibahas di atas. Pemujaan Jurusan Arkeologi, Fakultas
berawal dari adanya Ilmu Budaya, Universitas
penghormatan kepada roh Gadjah Mada Yogyakarta.
leluhur atau nenek moyang
masyarakat sekitar Tengger, di
Gunung Bromo.

- Prasasti pendek dari Candi


Sanggar merupakan sebuah
puji-pujian untuk dewa Brahma
atau roh leluhur yang
bersemayam di Gunung Bromo,
dengan cara ditembangkan.

Prasasti Pendek dari Candi Sanggar dan Kemungkinan Penghormatan 69


Terhadap Dewa Brahma (T.M Rita Istari) ;
DAFTAR PUSTAKA

Atmodjo, Junus Satrio. 1986. Arsitektur Punden Berundak di Gunung


Penanggungan. Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional Jakarta. Halaman 291-304.

Brandes, J.L.A. 1913. Oud Jayaansche Oorkunden. Disunting oleh N.J. Krom, VBG
60. Batavia: Albercht & Co s-Hage: M. Nijhoff. Halaman 216-226.

Cahyono, Dwi. 2010. Prasasti Muncang. Kompas Jawa Timur, 23 Juli 2010,
halaman 7.

Djafar, Hasan. 1978. Girindrawarddhana. Beberapa Masalah Majapahit Akhir.


Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhist Nalanda.

Istari, Rita, T,M. 2006 Arsitektur Candi Sanggar di Lereng Gunung Bromo Kabupaten
Pasuruan (Tahap II). Laporan Penelitian Arkeologi. Yogyakarta: Balai
Arkeologi Yogyakarta (Tidak terbit).

Istari. Rita T.M. 2008. Tradisi Bersih Desa di Lereng Gunung Bromo. Berkala
Arkeologi Tahun XXIX November 2009. Yogyakarta: Balai Arkeologi
Yogyakarta. Halaman 89-99

Istari, Rita, T.M. 2014. Candi di Lereng Bromo. Majapahit. Batas Kota dan Jejak
Kejayaan di Luar Kota. Yogyakarta: Penerbit: Kepel Press. Halaman 127-
144.

Kartoatmodjo. Sukarto M.M. 1979. Struktur Masyarakat Jawa Kuna pada Jaman
Mataram Hindu dan Majapahit. Yogyakarta: Pusat Penelitian Studi
Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada

Lelono. Hari T.M. 2003. Unsur-unsur Kepercayaan pada Bentuk Permukiman dan
Rumah Tengger, Jawa Timur. Berita Penelitian Arkeologi No. 18.
Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta

Maulana, Ratnaesih. 1997. Ikonografi Hindu. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas


Indonesia.

Nastiti, Titi Surti. 2003. Pasar di Jawa. Masa Mataram Kuna. Abad VIII – XI Masehi.
Jakarta: Pustaka Jaya

Pigeaud, Th.G.Th. Java in the Forteenth Century Vol I. A Study in Cultural History.
Leyden: The Hague-Martinus Nijhoff.

Poesponegoro. Marwati Djoened. (ed). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II. Zaman
Kuno. Edisi Pemutakhiran. Cetakan ke 5. Jakarta: Balai Pustaka

Pramudito, Bambang. 2006. Kitab Nagara Kertagama. Sejarah Tata Pemerintahan


dan Peradilan Kraton Majapahit.Yogyakarta: Geombang Pasang.

Robson, Stuart. 1995. Dėsawarnana (Nagaraķŗtagama) by Mpu Ptapanca. Leiden:


KTTLV Press.

Romondt. V.E. van. 1951. Peninggalan-Peninggalan Purbakala di Gunung


Penanggungan. Jakarta: Dinas Purbakala Jakarta

70 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.1 Mei 2015: 59-72


Sulistyanto, Bambang. 1997. Pemukiman di Lingkungan Candi, Sebuah Model
Kajian. Jurnal Penelitian Arkeologi Nomor: 04. Yogyakarta: Balai Arkeologi
Yogyakarta. Halaman 35-40.

Soekmono, R. 1986. Local Genius dan Perkembangan Bangunan Sakral di


Indonesia, dalam Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta:
Pustaka Jaya.

http:/Kekunaan. Blogspot. Com/2012/05/prasasti_munca.html/ browsing tanggal 26


Maret 2015, pukul 10.15.

Prasasti Pendek dari Candi Sanggar dan Kemungkinan Penghormatan 71


Terhadap Dewa Brahma (T.M Rita Istari) ;
72 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.1 Mei 2015: 59-72

Anda mungkin juga menyukai