Anda di halaman 1dari 19

PURA BESAKIH

Tempat Pemujaan Tuhan, Penguasa Semua Penjuru Dunia Sejumlah Pura Kahyangan jagat berada
di wilayah Kabupaten Karangasem. Salah satunya yang sudah tak asing lagi bagi umat Hindu di
Bali adalah Pura Besakih. Pura Besakih sebagai purwa rajya (sentral), hendaknya semua pihak
menjaga kesuciannya. Jika kesucian pura di kaki barat Gunung Agung itu terjaga maka akan tetap
memancarkan vibrasi kesucian kepada Bali dan umatnya. Bagaimana sejarah Pura Besakih? Pura-
pura apa saja yang ada di areal pura terbesar di Bali itu?

Pengamat agama Drs. IBG Agastia pernah mengatakan terkait masa lalu keberadaan Pura Besakih
banyak terdapat legenda, serta mitologi lisan maupun tertulis. Sastra sejarah seperti babad, usana
dan purana cukup banyak, baik menjadi koleksi pribadi terkait keluarga tertentu yang memiliki
pedharman, sementara yang menyangkut Besakih secara keseluruhan adalah Raja Purana Besakih.
Agastia dalam sebuah tulisannya mengatakan, Rsi Markandeya disebut-sebut sebagai orang suci
pertama kali menanam panca datu sebagai dasar Pura Besakih. Pura ini memiliki perjalanan
panjang, pada perkembangannya kini menjadi pusat bagi masyarakat Bali.

Cerita pengabdian penuh bakti Sang Kulputih, seorang tukang sapuh di Besakih, bisa kita baca
dalam lontar Sangkulpinge. Namun, kata Agastia, yang lebih memiliki nilai sejarah adalah usaha-
usaha Mpu Kuturan yang kemudian dikenal sebagai pendiri Pura Sad kahyangan di Bali.
Berikutnya, Mpu Bharadah yang merupakan saudara kandung Mpu Kuturan — pandita Kerajaan
Airlangga — melanjutkan kembali penataan Pura Besakih. ”Sebuah prasasti yang dinamai Mpu
Bharadah yang disimpan di Pura Batu Madeg Besakih, memuat tahun Saka 929 (1007 M), rupanya
merupakan masa kedatangan Mpu Bharadah di Besakih,” tulis Agastia yang anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) Bali ini.
Berikutnya kehadiran Dang Hyang Nirartha (Dang Hyang Dwijendra) sebagai pandita Kerajaan
Gelgel zaman Raja Dalem Waturenggong — sangat besar peranannya dalam menata kembali
kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Termasuk kemudian menata kembali Pura Besakih dan tata
upacaranya. Dang Hyang Dwijendra pernah menyarankan Raja Waturenggong untuk menggelar
upacara Eka Dasa Rudra di Besakih, sekalian dengan runtutan upacaranya sebagaimana kini kita
warisi.

Agastia mengatakan, bila mengikuti langsung pelaksanaan upacara besar di Besakih seperti Eka
Dasa Rudra (tiap 100 tahun) atau tawur sepuluh tahunan Panca Walikrama, barulah kita bisa
mengetahui secara simbolis Besakih adalah madyaning bhuwana (sentralnya dunia). Merupakan
tempat pemujaan Tuhan Yang Mahaesa dengan manifestasinya (kekuatannya) yang menguasai
semua penjuru dunia, yakni Iswara, Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu,
Sambhu. Ini sesuai dengan konsep pengider-ider bhuwana. ”Dari sini pula umat Hindu memohon
kerahayuan bhuwana, keselamatan seluruh jagat,” tandas Agastia.

Sementara itu, menurut IBM Dharma Palguna, Pura Besakih adalah gugusan 86 buah pura.
Kompleks Pura Besakih terdiri atas 18 buah pura umum, 4 pura Catur Lawa, 11 pura pedharman, 6
pura non-pedharman, 29 pura dadia, 7 pura berkaitan dengan pura dadia dan 11 pura lainnya.
PURA LEMPUYANG LUHUR

Pura Lempuyang Luhur terletak di Bukit Gamongan, pada puncak puncak bukit Bisbis atau Gunung
Kembar di desa Purahayu, kecamatan Abang, kabupaten Karangasem. Jaraknya dari kota AmlaPura
lebih kurang 22 km, arah keutara melalui Tirtagangga menuju desa Ngis di kecamatan Abang
kemudian membelok ketimur langsung ke desa Purahayu. Kendaraan bermotor maupun dengan
sepeda hanya bisa sampai di desa Ngis, kemudian berjalan kaki menuju desa Purahayu dan
selanjutnya berjalan diatas bukit menuju Pura yang berada di puncak bukit Bisbis.

Perjalanan yang memakan waktu lebih kurang 3 jam itu cukup berat dan memayahkan, karena
kadang-kadang menemui jalan yang sempit dan berjurang terjal, serta meanjak terus. Namun
kepayahan itu dapat diimbali dengan indahnya panorama yang dapat dinikmati dari atas bukit
selama pendakian itu. Lebih-lebih dari puncak Lempuyang pemandangan ke arah utara sangat
indah, kelihatan pantai Amed dan desa Culik, ke Timur Gunung Seraya, ke Selatan kota AmlaPura,
Candi Dasa, Padangbai dengan lautnya yang membiru dan ke Barat kelihatan desa-desa yang berada
di bawah seperti Desa Ngis, Basang alas, Megatiga serta Gunung Agung yang nampak indah. Pura
Lempuyang Luhur termasuk Pura Sad Kahyangan di Bali (Menurut Lontar Widisastra) yang juga
merupakan kahyangan jagat yang termasuk salah satu dari “Pura-Pura” delapan penjuru angin di
Pulau Bali.

Sejarah

Sangat Sulit untuk mengungkapkan sejarah Pura Lempuyang Luhur yang terletak di Bukit
Gamongan Karangasem itu secara jelas, oleh karena data-data yang kuat sukar di dapatkan.
Kesulitan lain lagi ialah sampai kini belum dijumpai “Purana” tentang Pura itu yang diharapkan
dapat memberikan keterangan secara jelas.
Sementara itu baru diperoleh data-data mengenai Pura Lempuyang Luhur yang sifatnya tidak
langsung, ialah keterangan dalam prasasti Sading C type :Tinulad” dan keterangan yang terdapat
dalam lontar Kutarakandha Dewa Purana Bangsul.

1. Prasasti Sading C

Naskah turunan prasasti Sading C yang disimpan di Geria Mandhara Munggu, yang isinya
menyebutkan sebagai berikut ” Pada tahun 1072 Caka (1150) bulan ke-9 hari tanggal 12 bulan
paroh terang, wuku julungpujut, ketika hari itu beliau Paduka Çri Maharaja Jayaçakti, merapatkan
seluruh pemimpin perang. Karena beliau akan pergi ke bali karena disuruh oleh ayahnya yaitu Sang
Hyang Guru yang bertujuan untuk membuat Pura (dharma) disana di Gunung Lempuyang, terutama
sebagai penyelamat bumi bali, diikuti oleh pendeta Çiwa dan Budha serta mentri besar. Beliau juga
disebut Maharaja Bima, yaitu Çri Bayu atau Çri Jaya atau Çri Gnijayaçakti.”

2. Prasasti Kutarakanda DewaPurana Bangsul

Didalam Lontar Kutarakanda DewaPurana Bangsul lembar ke 3-5 koleksi Ida Pedande Gde
Pemaron di Gria Mandhara Munggu Badung ada di singgung mengenai Lempuyang yang
kutipannya kira-kira sebagai berikut ” Demikianlah perkataan Sang Hyang Parameçwara kepada
putra beliau para dewa sekalian, terutama sekali Sang Hyang Gnijayaçakti wahai anaknda, anda-
anda para dewa sekalian, dengarkanlah perkataanku kepdada anda sekalian, hendaknya anda turun
(datang) ke Pulau Bali menjaga pulau Bali, seraya anda menjadi dewa disana”
Dari kedua sumber tersebut diatas ada dua hal yang penting dapat diambil yaitu : Gunung
Lempuyang dan Sang Hyang Gnijaya. Di dalam bahsa Jawa kata Lempuyang berarti “Gamongan”
gunung Lempuyang berarti gunung gamongan atau bukit gamongan sebagaimana disebutkan dalam
lontar Kusuma Dewa dan sampai sekarang masyarakat sekitar tempat itu menyebutkan bahwa Pura
Lempuyang terletak di Bukit Gamongan disebelah timur kota Amlapura.

Fungsinya

Menurut Upadeca, bila dihubungkan dengan “Pura-Pura” Sad Kahyangan di Bali, maka Pura
Lempuyang Luhur adalah termasuk salah satu diantaranya disamping lima Pura lainnya. Pura
Lempuyang Luhur adalah kedudukan Dewa Içwara dan terletak di ufuk Timur penjuru mata angin
di Bali. Hal ini dapat dihubungkan dengan Dewa Nawa Sanga beserta tempatnya dan senjatanya
masing-masing. Jadi jelaslah bahwa Pura Lempuyang Luhur adalah sebagai penjaga/pemelihara
arah sebelah timur dengan dewa Içwara sebagai manefestasi Sang Hyang Widhi Wasa.

Adapun dewa yang dipuja adalah Bethara Agnijaya (Hyang Gnijaya) sebagai manefestasinya
Hyang Widhi, oleh karena Bhtara Agnijaya disejajarkan fungsi serta peranannya dengan Brahma,
Wisnu, Indara dan Shambu maka dapatlah dimengerti bahwa Bhatara Agnijaya adalah identik
dengan Içwara yaitu Dewa Asthadhipalaka yang berada di penjuru Timur. Nama Sang Hyang
Agnijaya yaitu putra dari Sang Hyang Parameçwara (maksudnya sebagai manefestasi dari Hyang
Widhi) juga ada disebutkan di dalam Lontar DewaPurana Bangsul. Pura-Pura yang berada di Bukit
Gamongan yang ada hubungannya dengan Pura Lempuyang Luhur adalah Pura Desa Purahayu,
Pura Telaga Mas dan Pura Pasar Agung.

Pengemong

Pengemong Pura Lempuyang Luhur adalah seluruh anggota”krama Desa” dari desa Purahayu,
sedangkan penyungsungnya adalah segenap masyarakat Bali yang beragama Hindu dan Masyarakat
Hindu di pulau Lombok termasuk umat hindu di seluruh Indonesia serta masyarakat Tionghoa di
Bali.
Piodalan

Upacara Piodalan Pura Lempuyang Luhur jatuh pada hari kemis Umanis wuku dungulan yakni
setiap enam bulan bali sekali (210 hari). Adapun urutan upacara piodalan pada Pura Lempuyang
Luhur adalah sama dengan upacara pada Pura Sad Khayangan lainnya.

Pemangku

Pura Lempuyang luhur mempunyai pemangku tersendiri dan bersifat turun temurun dari keluarga
pemangku menurut garis keturunan patrilinial dannyatanya.

Suatu yang menarik dan merupakan keistimewaan adalah didalam Pura Lempuyang luhur terdapat
serumpun bambu jenis kecil. Setelah selesai menghaturkan bhakti batang pohon bambu itu dipotong
oleh pemangku untuk mendapatkan tirta (disebut tirtha pingit) bagi setiap orang yang pedek tangkil
ngaturang bhakti kesana. Tirta tersebut juga berfungsi sebagai Tritha Pengenteg-enteg yakni tirtha
yang diapaki untuk Ngenteg Linggih baik di Pura-Pura, mrajan ataupun sanggah. Tetapi anehnya
tidak selalu didalam batang bambu tersebut diketemukan air.

 
PURA GOA LAWAH-STANA DEWA MAHESWARA,PUSAT ”NYEGARA-GUNUNG”

Dari ribuan jumlah pura di Bali, beberapa di antaranya berstatus Pura Khayangan Jagat. Salah
satunya Pura Goa Lawah. Pura ini berdiri di wilayah pertemuan antara pantai dan perbukitan
dengan sebuah goa yang dihuni beribu-ribu kelelawar. Lontar Padma Bhuwana menyebutkan Pura
Goa Lawah merupakan salah satu kayangan jagat/sad kahyangan sebagai sthana Dewa Maheswara
dan Sanghyang Basukih, dengan fungsi sebagai pusat nyegara-gunung. Bagaimana sejarah pura
yang menempati posisi di bagian tenggara itu?

Pura Goa Lawah merupakan suatu kawasan yang suci dan indah. Di situ ada perpaduan antara laut
dan gunung (lingga-yoni). Seperti namanya, di pura ini terdapat goa yang dihuni ribuan kelelawar.
Gemuruh riuh suara kelelawar tiada henti, pagi, siang apalagi malam. Sekejap puluhan, ratusan
bahkan ribuan ekor terbang. Sebentar lagi datang, bergantungan, bergelayutan, berdesak-desakkan
di dinding-dinding karang goa. Terdengar begitu riuh bagaikan nyanyian alam yang abadi
sepanjang masa. Belum lagi munculnya ular duwe, lelawah (kelelawar) putih, kuning dan brumbun,
menambah suasana makin mistik di Pura yang berada di Desa Pesinggahan, Dawan, Klungkung itu.

Sementara di mulut goa terdapat beberapa palinggih stana para Dewa. Di pelatarannya, juga berdiri
kokoh beberapa meru dan sthana lainnya.

Lokasinya sekitar 20 kilometer di sebelah timur kota Semarapura, Klungkung atau kurang lebih 59
kilometer dari kota Denpasar. Umat Hindu silih berganti menghaturkan bhakti dengan berbagai
tujuan. Terutama ketika berlangsung piodalan/pujawali yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali
(210 hari) yakni pada Anggara Kasih Medangsia. Upacara nyejer selam 3 hari dengan penanggung
jawab, pengempon pura yakni Krama Desa Pakraman Pesinggahan.
Di samping juga dilaksanakan aci penyabran yang dilakukan secara rutin pada hari-hari suci seperti
Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, Pagerwesi, Saraswati, Siwaratri dan lainnya.

Begitu juga dengan umat Hindu dari seluruh pelosok Bali, setiap harinya ada saja yang menggelar
upacara meajar-ajar atau nyegara-gunung.

Siapa yang membangun Pura Goa Lawah dan kapan dibangun?

Sulit mengungkap dan membuka secara gamblang misteri itu. Di samping karena usia bangunan
pemujaan tersebut sudah tua, juga jarang ada narasumber yang benar-benar mengetahui seluk beluk
keberadaannya.

Memang, ada beberapa lontar yang selintas menulis keberadaan Pura Goa Lawah. Tetapi, sangat
jarang yang berani membuka secara jelas dan gamblang, siapa dan kapan salah satu pura Sad
Kahyangan itu dibangun.

Jika dirunut dari kata goa lawah, secara harfiah sedikit tidaknya dapat dijelaskan bahwa goa berarti
goa (lobang) dan lawah berarti kelelawar. Jadi goa lawah bisa diartikan goa kelelawar. Dalam
beberapa lontar, sekilas ada yang menyimpulkan secara garis besarnya bahwa pura-pura besar yang
berstatus Kahyangan jagat dan Sad Kahyangan di Bali dibangun oleh pendeta terkenal, Mpu
Kuturan.

Hal itu terbukti dengan disebutnya Pura Goa Lawah dalam lontar Mpu Kuturan. Sebagaimana
dihimpun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Klungkung yang saat ini tengah
mempersiapkan penerbitan buku tentang ”Pura Goa Lawah.” Dalam rekapan buku yang rencananya
dipasupati bersamaan dengan pujawali di Pura Goa Lawah, 23 Mei mendatang, diceritakan, Mpu
Kuturan datang ke Bali abad X yakni saat pemerintahan dipimpin Anak Bungsu adik Raja
Airlangga. Airlangga sendiri memerintah di Jawa Timur (1019-1042). Ketika tiba, Mpu Kuturan
menemui banyak sekte di Bali. Melihat kenyataan itu, Mpu Kuturan kemudian mengembangkan
konsep Tri Murti dengan tujuan mempersatukan semua sekte tersebut.

Kedatangan Mpu Kuturan membawa perubahan yang sangat besar di wilayah ini, terutama
mengajarkan masyarakat Bali tentang cara membuat pemujaan terhadap Hyang Widhi yang dikenal
dengan sebutan kahyangan atau parahyangan.

Mpu Kuturan pula yang mengajarkan pembuatan Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali
serta mengukuhkan keberadaan Kahyangan Jagat yang salah satunya adalah Goa Lawah.
Sebagaimana tertulis dalam lontar Usana Dewa, Mpu Kuturan juga tercatat sebagai perancang
bangunan pelinggih di Pura-Pura seperti gedong dan meru serta arsitektur Bali. Begitu juga dengan
berbagai jenis upacara-upakara dan pedagingan pelinggih. Hal itu termuat dalam lontar Dewa
Tatwa. Mpu Kuturan telah membuat landasan prikehidupan yang sangat prinsip seperti aturan-
aturan ketertiban hidup bermasyarakat yang diwarisi sampai saat ini dalam bentuk Desa Pakraman.

Di samping nama Mpu Kuturan, patut juga dicatat perjalanan Danghyang Dwijendra atau
Danghyang Nirartha yang dikenal juga dengan gelar Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Maha pandita ini
berada di Bali saat Bali dipimpin Raja Dalem Waturenggong (1460-1550 Masehi), seorang raja
yang sangat jaya pada masanya dan membawa kejayaan Nusa Bali. Danghyang Nirartha merupakan
seorang pendeta yang melakukan tirthayatra ke seluruh pelosok Pulau Bali, termasuk juga ke pulau
Lombok dan Sumbawa.

Kaitannya dengan Pura Goa Lawah. Lontar Dwijendra Tatwa menyebutkan perjalanan Danghyang
Nirartha diawali dari Gelgel menuju Kusamba. Tetapi, di Kusamba Danghyang Nirartha tidak
berhenti. Perjalanannya berlanjut hingga ke Goa Lawah. Saat itulah, Danghyang Nirartha bisa
melihat gunung yang indah. Perjalanan dihentikan. Sang pendeta masuk ke tengah Goa. Melihat-
lihat goa kelelawar yang jumlahnya ribuan. Di puncak gunung goa itu bunga-bunga bersinar, jatuh
berserakan tertiup angin semilir, bagaikan ikut menambah keindahan perasaan sang pendeta yang
baru tiba. Dari sana beliau memandang Pulau Nusa yang terlihat indah. Lalu membangun
padmasana yang notebena tempat bersthana para dewa.

Pura Goa Lawah awalnya dipelihara dan dijaga Gusti Batan Waringin atas petunjuk Ida Panataran
yang notebene putra dari Ida Tulus Dewa yang menjadi pemangku di Pura Besakih. Penunjukkan
itu mengingat Goa Lawah memiliki hubungan benang merah dengan Pura Besakih. Pura Goa
Lawah merupakan jalan keluar Ida Bhatara Hyang Basukih dari Gunung Agung tepatnya di Goa
Raja, terutama ketika berkehendak masucian di pantai.

Dalam babad Siddhimantra Tatwa disebutkan ada kisah pertemuan antara Sanghyang Basukih di
kawasan Besakih dengan Danghyang Siddhimantra, salah seorang keturunan Mpu Bharadah.
Sanghyang Basukih yang merupakan nagaraja, memiliki peraduan di sebuah goa yang berada di
bawah Pura Goa Raja Besakih yang konon tembus ke Goa Lawah. Dalam hubungan ini acapkali
terlihat secara samar sosok seekor naga ke luar dari Pura Goa Lawah, menyeberang jalan lalu
menuju pantai. Orang percaya itulah Sanghyang Basukih yang berdiam di goa sedang menyucikan
diri, mandi ke laut.

Goa dari Pura Goa Lawah ini, menurut krama Pesinggahan tembus di tiga tempat masing-masing di
Gunung Agung (Goa Raja Besakih), Talibeng dan Tangkid Bangbang. Ketika Gunung Agung
meletus tahun 1963, ada asap mengepul keluar dari muara goa lawah. Ini suatu bukti Goa Raja
Besakih tembus Goa Lawah.

Jika menengok ke belakang yakni pada zaman Megalitikum, di mana pada zaman itu selain
menghormati kekuatan gunung sebagai kekuatan alam yang telah menyatu dengan arwah nenek
moyang yang mempunyai kekuatan gaib, juga menghormati kekuatan laut di samping kekuatan-
kekuatan alam lainya, seperti batu besar, goa, campuhan, kelebutan dan lainnya. Dalam kehidupan
masyarakat Bali yang kental dengan pengaruh dan sentuhan agama Hindu, pemujaan terhadap
kekuatan segara-gunung memang merupakan dresta tua. Tetapi sampai saat ini masih bertahan dan
terus berlanjut. Karena pada intinya, pemujaan terhadap Dewa Gunung atau Dewa Laut,
sesungguhnya telah mencakup pemujaan kepada kekuatan alam yang notabene penghormatan yang
amat lengkap. Atas dasar itulah, Pura yang awalnya sangat sederhana itu, kini lebih dikenal sebagai
kekuatan alam yang bersatu dengan kekuatan magis arwah nenek moyang. Laut yang berada di
depan pura, sekarang telah menyatu dengan segala kekuatan yang dihormati dan dipuja masyarakat
guna mendapat ketentraman dan kesejahteraan hidup.

Dari kilasan di atas, jelas bahwa Pura Goa Lawah memiliki sejarah yang cukup panjang. Berawal
dari pemujaan alam goa kelelawar, gunung dan laut di zaman Megalitikum, lalu
dikembangkan/ditata dan kemudian dibangun pelinggih-pelinggih sthana para Dewa dan Bhatara
oleh Mpu Kuturan abad X kemudian disempurnakan lagi dengan membangun Padmasana oleh
Danghyang Dwijendra pada abad XIV-XV. Lengkaplah keberadaan Pura Goa Lawah, seperti yang
kita lihat dan warisi sampai sekarang. Namun yang perlu dicatat, Nyegara-Gunung yang digelar di
Pura Goa Lawah, mengandung makna terima kasih ke hadapan Hyang Widhi dalam manifestasi
Girinatha (pelindung gunung) dan Baruna sebagai penguasa laut, atas pemberian amerta baik
kepada sang Dewa Pitara-jiwa leluhur yang telah suci maupun kepada sang Yajamana, Sang Tapini
dan Sang Adrue Karya. Atas dasar konsep inilah Umat Hindu memuliakan gunung dan laut sebagai
sumber penghidupan. Memuliakan gunung dan laut bukan berarti umat Hindu menyembah gunung
dan laut, tetapi yang dipuja adalah Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai pelindung gunung dan
penguasa laut.
PURA LUHUR ULUWATU TEMPAT PEMUJAAN DEWA RUDRA

Pura Luhur Uluwatu merupakan salah satu dari enam buah pura yang berstatus Sad Kahyangan
Jagat. Pura ini berdiri megah di ujung barat daya Pulau Bali di atas anjungan batu karang yang terjal
dan tinggi serta menjorok ke laut.Pura ini berada di wilayah Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, Badung
— dari Denpasar ke selatan sekitar 31 km.

Pura Uluwatu terletak pada ketinggian 97 meter dari permukaan laut. Di depan pura terdapat hutan
kecil yang disebut alas kekeran, berfungsi sebagai penyangga kesucian pura.

Pura Uluwatu mempunyai beberapa pura pesanakan, yaitu pura yang erat kaitannya dengan pura
induk. Pura pesanakan itu yaitu Pura Bajurit, Pura Pererepan, Pura Kulat, Pura Dalem Selonding
dan Pura Dalem Pangleburan. Masing-masing pura ini mempunyai kaitan erat dengan Pura
Uluwatu, terutama pada hari-hari piodalan-nya. Piodalan di Pura Uluwatu, Pura Bajurit, Pura
Pererepan dan Pura Kulat jatuh pada Selasa Kliwon Wuku Medangsia setiap 210 hari. Manifestasi
Tuhan yang dipuja di Pura Uluwatu adalah Dewa Rudra.

Bagaimana sejarah berdirinya pura ini? Untuk bisa sampai pada jabaan pura, kita mesti menaiki
anak tangga. Pada jabaan pura terdapat bangunan sedahan pengapit, bale kulkul, bale murda dan
bale sakenem. Dari jabaan menuju jaba tengah kita melewati candi bentar berbentuk sayap burung
yang melengkung. Untuk mencapai jeroan pura, kita melewati candi kurung yang memakai
dwarapala yang berbentuk arca Ganesha. Pada utama mandala pura terdapat prasada dan palinggih
berupa Meru Tumpang Tiga, palinggih tajuk, piasan catur pandaka. Pada bagian kiri dari jabaan
Pura Luhur Uluwatu terdapat Pura Dalem Jurit (Bejurit) terdapat antara lain prasada, tempat
moksanya Danghyang Dwijendra berdampingan dengan monumen berupa dua buah perahu yang
dipakai berlayar sewaktu datang ke Pulau Bali.
Bangunan lain di Pura Dalem Jurit adalah gedong tumpang dua, paibon, sedahan pengapit dan bale
asta rsi. Di sekitar lokasi Pura Luhur Uluwatu juga dihuni kera

Sejarah Luhur Uluwatu

Dalam beberapa sumber disebutkan, sekitar tahun 1489 Masehi datanglah ke Pulau Bali seorang
purohita, sastrawan dan rohaniwan bernama Danghyang Dwijendra. Danghyang Dwijendra adalah
seorang pendeta Hindu, kelahiran Kediri, Jawa Timur.

Danghyang Dwijendra pada waktu walaka bernama Danghyang Nirartha. Beliau menikahi seorang
putri di Daha, Jawa Timur. Di tempat itu pula beliau berguru dan di-diksa oleh mertuanya.
Danghyang Nirartha dianugerahi bhiseka kawikon dengan nama Danghyang Dwijendra.

Setelah di-diksa, Danghyang Dwijendra diberi tugas melaksanakan dharmayatra sebagai salah satu
syarat kawikon. Dharmayatra ini harus dilaksanakan di Pulau Bali, dengan tambahan tugas yang
sangat berat dari mertuanya yaitu menata kehidupan adat dan agama khususnya di Pulau Bali. Bila
dianggap perlu dharmayatra itu dapat diteruskan ke Pulau Sasak dan Sumbawa.

Danghyang Dwijendra datang ke Pulau Bali, pertama kali menginjakkan kakinya di pinggiran
pantai barat daya daerah Jembrana untuk sejenak beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan
dharmayatra. Di tempat inilah Danghyang Dwijendra meninggalkan pemutik (ada juga menyebut
pengutik) dengan tangkai (pati) kayu ancak. Pati kayu ancak itu ternyata hidup dan tumbuh subur
menjadi pohon ancak. Sampai sekarang daun kayu ancak dipergunakan sebagai kelengkapan banten
di Bali. Sebagai peringatan dan penghormatan terhadap beliau, dibangunlah sebuah pura yang diberi
nama Purancak.

Setelah mengadakan dharmayatra ke Pulau Sasak dan Sumbawa, Danghyang Dwijendra menuju
barat daya ujung selatan Pulau Bali, yaitu pada daerah gersang, penuh batu yang disebut daerah
bebukitan.

Setelah beberapa saat tinggal di sana, beliau merasa mendapat panggilan dari Hyang Pencipta untuk
segera kembali amoring acintia parama moksha. Di tempat inilah Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh
teringat (icang eling) dengan samaya (janji) dirinya untuk kembali ke asal-Nya. Itulah sebabnya
tempat kejadian ini disebut Cangeling dan lambat laun menjadi Cengiling sampai sekarang.

Oleh karena itulah, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh ngulati (mencari) tempat yang dianggap aman
dan tepat untuk melakukan parama moksha. Oleh karena dianggap tidak memenuhi syarat, beliau
berpindah lagi ke lokasi lain. Di tempat ini, kemudian dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura
Kulat. Nama itu berasal dari kata ngulati. Pura itu berlokasi di Desa Pecatu.

Sambil berjalan untuk mendapatkan lokasi baru yang dianggap memenuhi syarat untuk parama
moksha, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh sangat sedih dan menangis dalam batinnya. Mengapa?
Oleh karena beliau merasa belum rela untuk meninggalkan dunia sekala ini karena swadharmanya
belum dirasakan tuntas, yaitu menata kehidupan agama Hindu di daerah Sasak dan Sumbawa. Di
tempat beliau mengangis ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Ngis (asal dari kata
tangis). Pura Ngis ini berlokasi di Banjar Tengah Desa Adat Pecatu.

Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh belum juga menemukan tempat yang dianggap tepat untuk parama
moksha. Beliau kemudian tiba di sebuah tempat yang penuh batu-batu besar. Beliau merasa hanya
sendirian. Di tempat ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Batu Diyi. Juga di tempat
ini Danghyang Dwijendra merasa kurang aman untuk parama moksha. Dengan perjalanan yang
cukup melelahkan menahan lapar dan dahaga, akhirnya beliau tiba di daerah bebukitan yang selalu
mendapat sinar matahari terik. Untuk memayungi diri, beliau mengambil sebidang daun kumbang
dan berusaha mendapatkan sumber air minum. Setelah berkeliling tidak menemukan sumber air
minum, akhirnya Danghyang Dwijendra menancapkan tongkatnya. Maka keluarlah air amertha. Di
tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang disebut Pura Payung dengan sumber mata air yang
dipergunakan sarana tirtha sampai sekarang.

Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh kemudian beranjak lagi ke lokasi lain, untuk menghibur diri
sebelum melaksanakan detik-detik kembali ke asal. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura
bernama Pura Selonding yang berlokasi di Banjar Kangin Desa Adat Pecatu. Setelah puas
menghibur diri, Danghyang Dwijendra merasa lelah. Maka beliau mencari tempat untuk istirahat.
Saking lelahnya sampai-sampai beliau sirep (ketiduran). Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura
yang diberi nama Pura Parerepan (parerepan artinya pasirepan, tempat penginapan) yang berlokasi
di Desa Pecatu.

Mendekati detik-detik akhir untuk parama moksha, Danghyang Dwijendra menyucikan diri dan
mulat sarira terlebih dahulu. Di tempat ini sampai sekarang berdirilah sebuah pura yang disebut
Pura Pangleburan yang berlokasi di Banjar Kauh Desa Adat Pecatu. Setelah menyucikan diri, beliau
melanjutkan perjalanannya menuju lokasi ujung barat daya Pulau Bali. Tempat ini terdiri atas batu-
batu tebing. Apabila diperhatikan dari bawah permukaan laut, kelihatan saling bertindih, berbentuk
kepala bertengger di atas batu-batu tebing itu, dengan ketinggian antara 50-100 meter dari
permukaan laut. Dengan demikian disebut Uluwatu. Ulu artinya kepala dan watu berarti batu.

Sebelum Danghyang Dwijendra parama moksha, beliau memanggil juragan perahu yang pernah
membawanya dari Sumbawa ke Pulau Bali. Juragan perahu itu bernama Ki Pacek Nambangan
Perahu. Sang Pandita minta tolong agar juragan perahu membawa pakaian dan tongkatnya kepada
istri beliau yang keempat di Pasraman Griya Sakti Mas di Banjar Pule, Desa Mas, Ubud, Gianyar.
Pakaian itu berupa jubah sutra berwarna hijau muda serta tongkat kayu. Setelah Ki Pacek
Nambangan Perahu berangkat menuju Pasraman Danghyang Dwijendra di Mas, Ida Pedanda Sakti
Wawu Rauh segera menuju sebuah batu besar di sebelah timur onggokan batu-batu bekas candi
peninggalan Kerajaan Sri Wira Dalem Kesari. Di atas batu itulah, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh
beryoga mengranasika, laksana keris lepas saking urangka, hilang tanpa bekas, amoring acintia
parama moksha.

Demikianlah, sejak Danghyang Dwijendra yang disebut juga Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh
parama moksha atau disebut Ngaluhur Uluwatu, pura ini disebut Luhur Uluwatu.

\
PURA LUHUR BATUKARU-TEMPAT STANA DEWA MAHADEWA ATAU HYANG TUMUWUH

Predikat yang disandang Bali sebagai pulau seribu pura memang tidak terbantahkan lagi. Sepertinya
di setiap jengkal tanah di Bali dapat ditemukan sebuah pura yang hanya dibedakan oleh status dan
fungsinya. Salah satu pura dari ribuan pura di Bali yakni Pura Luhur Batukaru. Pura ini terletak di
kaki Gunung Batukaru, Desa Wongaya Gede, Penebel, Tabanan. Bagaimana sejarah pura yang
berhawa sejuk itu? Berikut laporan wartawan Bali Post Asmara Putra yang dirangkum dari berbagai
sumber.

Letak pura yang berjarak 3 kilometer dari Desa Wongaya Gede dan sekitar 22 kilometer dari Kota
Tabanan atau 42 kilometer di sebelah barat laut Kota Denpasar, dapat dijangkau dengan mudah oleh
seluruh umat Hindu. Apalagi, sarana transportasi berupa jalan yang menuju pura dengan ketinggian
700 meter di atas permukaan laut ini cukup baik. Pura dengan lingkungan hutan yang sejuk dengan
suhu udara berkisar antara 24-32 derajat Celcius (siang hari) dan 18-22 derajat Celsius (malam hari)
memiliki curah hujan yang cukup tinggi yakni rata-rata 1.899 mm per tahun.

Pura Luhur Batukaru merupakan salah satu pura dengan status sebagai tempat pemujaan seluruh
umat Hindu atau yang lebih dikenal dengan Kahyangan Jagat. Pura ini juga menjadi bagian dari
Pura Sad Kahyangan di Bali dengan fungsi sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa
dalam manifestasinya sebagai Dewa Mahadewa. Selain sebagai tempat pemujaan Hyang
Mahadewa, dalam beberapa lontar disebutkan pula Pura Luhur Batukaru sebagai stana Hyang
Tumuwuh.
Pada saat upacara piodalan/pujawali yang berlangsung setiap enam bulan sekali atau setiap 210
hari, tepatnya hari Kamis (Whraspati), Umanis, Dungulan — sehari setelah hari raya Galungan —
selalu dipadati umat Hindu dari berbagai pelosok Bali. Belakangan ini, sejak Galungan, umat sudah
banyak yang pedek tangkil ke pura ini. Selama piodalan Ida Bhatara nyejer hingga tiga hari.
Pengempon pura ini terdiri atas desa-desa pakraman yang berada di sekitarnya yakni Desa
Pakraman Wongaya Gede (empat banjar pakraman — Wongaya Kaja, Wongaya Kangin, Wongaya
Kelod, dan Bendul), Keloncing, Bengkel, Sandan, Amplas, Batukambing, Penganggahan dan
Tengkudak (Banjar Pakraman Tengkudak dan Den Uma). Sedangkan pangemong/penanggung
jawab pelaksanaan upacara adalah Jro Kebayan.

Sejarah

Kapan berdiri dan siapa yang membangun Pura Luhur Batukaru hingga kini belum diperoleh data
secara pasti. Pasalnya, sampai saat ini sumber-sumber tertulis yang mengungkap keberadaan pura
yang terletak di kaki Gunung Batukaru ini sangat minim. Akibatnya, untuk memperkirakan kapan
didirikannya pura ini harus juga berdasarkan sumber-sumber atau bukti tak tertulis. Beberapa
sumber tak tertulis seperti peninggalan purbakala yang diperkirakan berasal dari masa tradisi
megalitik terdapat di dalam pura, dijadikan acuan untuk memperkirakan waktu pendirian pura ini.

Dalam buku ”Pura Luhur Batukaru” terbitan Dinas Kebudayaan Bali, Oktober 1994, disebutkan
A.J. Bernet Kempres pernah melaporkan adanya temuan berupa menhir di lereng Gunung Batukaru
pada ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Setelah dilakukan penelitian beberapa
waktu lalu, laporan Bernet Kempres tersebut terbukti kebenarannya.

Buktinya? Di halaman dalam (jeroan) terdapat beberapa menhir dan onggokan batu. Onggokan batu
yang dimaksudkan tersebut, oleh krama pangempon Pura Luhur Batukaru disebut Palinggih
Kampuh. Dalam buku setebal 92 halaman tersebut juga ditulis bahwa Palinggih Kampuh itu
merupakan medium pemujaan roh suci golongan Kebayan/Kubayan yang telah berjasa bagi
masyarakat setempat.

Pada zaman megalitik, segala bidang kehidupan masyarakat berpusat pada penghormatan dan
pemujaan arwah nenek moyang atau arwah pemimpin yang disegani. Kepercayaan kepada roh
leluhur umum pada saat itu. Masyarakat percaya bahwa arwah roh leluhur itu berdiam di puncak
gunung dan bukit yang memiliki kekuatan gaib yang diyakini dapat menolak bahaya dan
memberikan kesejahteraan. Agar kesejahteraan tersebut bisa terpelihara dengan baik maka
hubungan dengan dunia arwah dijaga dengan baik, salah satunya dengan mendirikan bangunan-
bangunan megalitik seperti menhir sebagaimana yang dijumpai di Pura Luhur Batukaru.

Minim

Sementara untuk bukti tertulis — prasasti dan purana — mengenai keberadaan Pura Luhur
Batukaru sangat minim. Bahkan, purana yang secara khusus mengupas keberadaan pura yang
memiliki hawa sejuk ini sama sekali tidak ditemukan. Namun, ada beberapa sumber tertulis yang
memuat secara selintas keberadaan Pura Luhur Batukaru ini, baik berupa lontar maupun sumber
kepurbakalaan lainnya.

Ketut Soebandi dalam bukunya “Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali” menyebutkan, lontar-
lontar yang memuat secara selintas keberadaan pura ini antara lain Babad Pasek, Usana Bali, Babad
Pasek Toh Jiwa, serta Babad Buleleng. Sedangkan dalam buku “Pura Luhur Batukaru”
menyebutkan beberapa lontar lainnya, seperti Raja Purana Gajah Mada, Padma Bhuwana, Kusuma
Dewa, Sang Kulputih, Babad Pasek Kayu Selem, Widisastra, Empu Kuturan, Dewa Purana
Bangsul, juga memuat sekilas tentang keberadaan pura ini. Dalam hubungannya dengan sejarah
pendirian pura ini, pada lontar-lontar disebutkan Pura Luhur Batukaru didirikan oleh Mpu Kuturan
atau Mpu Rajakretha, sebagaimana tertulis dalam lontar Usana Bali.

Sementara mengenai data kepurbakalaan, di Pura Luhur Batukaru terdapat peninggalan berupa arca,
candi, serta beberapa pusaka, seperti tombak. Sebuah arca kuno juga ditemukan di pura ini, yakni di
Beji. Arca seperti ini juga ditemukan di Pura Tegeh Koripan di Gunung Penulisan, Kintamani.

Melihat coraknya, arca semacam itu diperkirakan merupakan peninggalan periode Bali Kuno sekitar
abad X-XII. Melihat hasil-hasil temuan itu, dan dipadu dengan sumber-sumber tertulis lainnya, Pura
Luhur Batukaru ini dapat diduga berdiri pada abad XI. ”Jadi berdasarkan data epigrafis tersebut,
dapat memberikan petunjuk bahwa Pura Luhur Batukaru dibangun pada zaman pemerintahan Raja
Cri Masula-Masuli berkuasa di Bali,” tulis I Ketut Soebandi.

Pura Pusering Jagat Pusat Dunia, ”Sthana” Dewa Siwa

Apabila ada yang bertanya di manakah pusat dunia? Boleh jadi kita akan mengernyitkan dahi
sebagai reaksi ketidaktahuan. Namun, jika pertanyaan itu ditujukan kepada warga Gianyar —
khususnya mereka yang bermukim di kawasan Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring — bisa jadi
mereka akan menjawab dengan kompak seraya menyebutkan kata Pejeng. Jika pertanyaan itu
diteruskan, di Desa Pejeng bagian mana? Mereka pun menjawab dengan pasti, Pura Pusering Jagat.
Sebuah jawaban yang cukup masuk akal. Setidaknya, jika memaknai penamaan pura itu secara
harfiah. Sebab, puser itu berarti pusat. Sementara jagat berarti dunia. Keyakinan Pura Pusering
Jagat sebagai pusat dunia itulah yang tertanam dari masa ke masa, dari generasi ke generasi.

Kenyakinan Pura Pusering Jagat sebagai pusat dunia juga dilontarkan Wakil Bendesa Pakraman
Pejeng Tjokorda Gde Putra Pemayun, S.H. Kendati begitu, tokoh masyarakat Pejeng yang juga
Kabag Pemerintahan Setda Kabupaten Gianyar ini tidak ingin hal itu diperdebatkan. Satu hal yang
pasti, Pura Pusering Jagat itu merupakan salah satu pura penting di Bali. Pura yang oleh masyarakat
setempat juga disebut Pura Kelod ini memiliki status sebagai pura kahyangan jagat dalam
kedudukannya sebagai sad kahyangan atau kahyangan jagat yang diklasifikasikan sebagai Pura-pura
Padma Bhuwana yang berposisi di tengah sebagai sthana Dewa Siwa.

Pusat Kerajaan
Sejak awal peradaban, kata Putra Pemayun, Pejeng sudah jadi kawasan hunian dan terpilih sebagai
pusat Kerajaan Bali Kuna. Diperkirakan, kata Pejeng berasal dari kata pajeng (payung) yang bisa
dimaknai sebagai memayungi atau mengayomi. Penamaan itu terasa pas mengingat dari berbagai
tinjauan dan kajian aspek-aspek kebenaran sejarah, teosofi dan teologi, Desa Pejeng merupakan
pusat Kerajaan Bali Kuno yang secara otomatis pusat kerajaan itu memayungi masyarakat dan
daerahnya. Namun, katanya, ada juga yang menduga kata Pejeng berasal dari kata pajang (bahasa
Jawa Kuna) yang berarti sinar. ”Jika hal itu dikaitkan dengan Pejeng sebagai pusat kekuasaan, itu
sangat pas untuk menggambarkan kedudukan Pejeng yang menyinari masyarakat dan kawasannya.
Lebih-lebih jika hal itu dikaitkan dengan keberadaan ”bulan” Pejeng (nekara perunggu) di Pura
Penataran Sasih yang juga berlokasi di Desa Pejeng,” katanya seraya mengutip sejumlah referensi
sejarah yang memuat tentang Pejeng.

Lantas, bagaimana kedudukan Pura Pusering Jagat pada masa Kerajaan Bali Kuna lampau?
Menurut Putra Pemayun, pura yang berlokasi di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut ini
bukan mustahil merupakan satu palebahan pura milik raja-raja Bali Kuno. Dengan kata lain, di pura
inilah pusat ritual kekuasaan digulirkan. ”Posisi pura ini memang sentris terhadap wilayah Bali
sebagai sebuah pulau,” katanya.
Seperti termuat dalam lontar-lontar, katanya, Pura Pusering Jagat juga dikenal sebagai Pura
Pusering Tasik atau pusatnya lautan. Penamaan itu akan mengingatkan masyarakat Hindu kepada
cerita Adi Parwa yang mengisahkan perjuangan para dewa dalam mencari tirtha amertha (air
kehidupan-red) di tengah lautan susu Ksirarnawa. Secara fisik, di kompleks Pura Pusering Jagat ini
memang ada kolam maya yang berlokasi di hadapan arca utama di jeroan (halaman dalam) pura
yang mengingatkan kita pada pengadukan Ksirarnawa oleh para dewa dan raksasa. ”Besar
kemungkinan, nama Pusering Tasik itu muncul dari sana,” ujar Putra Pemayun.

Bercirikan Siwa

Putra Pemayun menambahkan, masyarakat Bali menyakini Pura Pusering Jagat merupakan sthana-
nya Dewa Siwa. Keyakinan yang tidak mengada-ada mengingat cukup banyak bukti yang
menunjukkan bahwa pura ini merupakan tempat pemujaan Sang Hyang Siwa. Hal itu terlihat dari
peninggalan arca-arca yang tersimpan di pura ini yang bercirikan Siwa seperti arca Ganesha (putra
Siwa), Durga (sakti Siwa) maupun arca-arca bhairawa. Salah satu kekhususan yang dijumpai di
pura ini adalah adanya palinggih Ratu Purus dengan arca kelamin laki-laki dan perempuan. ”Fakta-
fakta itu sangat sesuai dengan apa yang tertera dalam lontar-lontar yang menyatakan pura ini
merupakan pura Padma Bhuana yang berkedudukan di tengah sebagai sthana Dewa Siwa,”
tegasnya.

Ditambahkannya, keberadaan Pura Pusering Jagat sebagai salah satu pura yang memiliki nilai
sejarah yang sangat penting dalam perjalanan sejarah Bali di masa lampau tidak bisa diragukan lagi.
Di kompleks pura ini ditemukan berbagai bukti-bukti kepurbakalaan yang terdiri atas sejumlah
peninggalan seni arca dan unsur-unsur kebudayaan prasejarah. Adapun unsur-unsur kebudayaan
prasejarah itu tercermin dari peninggalan susunan batu alam, batu titi ugal-agil, batu monolit,
sejumlah arca dalam sikap jongkok dan fragmen lumpang batu.

Sementara seni arca yang dijumpai di pura ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok.
Yakni, kelompok arca dewa yang merupakan perlambang dewa tertentu dengan atributnya masing-
masing dan arca pratisha (perwujudan) yang merupakan perwujudan leluhur dengan pakaian dan
perhiasan seperti arca dewa. Tetapi tidak mempunyai atribut yang dapat dihubungkan dengan arca
dewa tertentu. Adapun ciri dari arca leluhur yang biasa digunakan adalah bunga kuncup atau mekar
yang dipegang dan terkadang diganti dengan buah atau benda yang bulat lonjong.

Sejumlah arca penting yang pantas dikedepankan, katanya, adalah arca pancuran utama yang
terbuat dari batu padas yang berlokasi di bagian timur laut kompleks pura. Arca berwujud tokoh
manusia yang berdiri di atas lapik berbentuk bulat ini juga disebut angga tirtha. Kedua tangan arca
memegang jaladwara (saluran air) yang keluar dari pusar. Barangkali, nama Pusering Jagat ini tidak
terlepas dari keberadaan arca setinggi 180 cm itu. Di kompleks pura ini juga dijumpai sangku
sudamala yang berupa bejana terbuat dari batu padas, arca Durga Mahissasuramardhini, empat arca
Ganesha yang ditempatkan di sejumlah palinggih, dua buah arca Caturkaya (memiliki empat muka
dan empat badan), dua buah arca perwujudan, empat buah arca jongkok dan masing-masing satu
arca raksasa, arca penjaga dan arca singa. Tak kalah menariknya, di pura ini juga ditemukan
sepasang arca kelamin yang ditempatkan di jajaran palinggih utama di jeroan tengah pura. Arca
phalus-vulva (kelamin laki-laki dan perempuan-red) ini dijaga oleh dua arca jongkok dengan kaki
disilangkan. ”Pembuatan arca phalus-vulva ini menyiratkan makna simbolis yang sangat dalam.
Pembuatannya dimaksudkan untuk memenuhi fungsi-fungsi sebagai media pemujaan, simbol
kesuburan dan penciptaan dunia juga simbol untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan,
kesuburan tanaman dan juga penolak bala,” papar Putra Pemayun panjang lebar.

Ditambahkan, pangempon Pura Pusering Jagat terdiri atas dua kelompok yakni pangempon dan
penanga. Pengempon terdiri atas empat banjar — Banjar Intaran, Banjar Pande, Banjar Puseh dan
Banjar Guliang. Sedangkan penanga sebanyak 137 KK yang berasal dari Desa Adat Jero Kuta dan
sekitar 100 KK berasal dari luar Jero Kuta seperti Pejeng Kangin dan Pejeng Kelod. Namun,
katanya, pada saat piodalan besar sebanyak 14 desa adat lainnya di Pejeng juga ikut ngempon pura
ini. Keempat belas desa adat meliputi Desa Adat Panglan, Belusung, Tarukan, Umahanyar,
Melayang, Sawagunung, Kelusu, Patemon, Tri Eka Cita, Umakuta, Umadawa, Cagaan, Tegalsaat
dan Tatiapi. Adapun upacara yang diselenggarakan di pura ini berupa aci panyabran, aci
piodalan/padudusan alit dan aci piodalan/padudusan agung. Dikatakan, padudusan alit
diselenggarakan setiap 210 hari bertepatan dengan Anggara Kasih Wara Medangsia dan padudusan
agung digelar setiap satu tahun sekali bertepatan dengan Purnamaning Karo yang bisanya jatuh
sekitar Agustus.

Anda sedang membaca Artikel tentang pura sad kayangan, jika Anda menyukai Artikel di blog
ini, silahkan masukkan email Anda dibawah ini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu
Anda akan mendapat kiriman artikel baru
PURA PUSERING JAGAT PUSAT DUNIA, ”STHANA” DEWA SIWA

Kenyakinan Pura Pusering Jagat sebagai pusat dunia juga dilontarkan Wakil Bendesa Pakraman
Pejeng Tjokorda Gde Putra Pemayun, S.H. Kendati begitu, tokoh masyarakat Pejeng yang juga
Kabag Pemerintahan Setda Kabupaten Gianyar ini tidak ingin hal itu diperdebatkan. Satu hal yang
pasti, Pura Pusering Jagat itu merupakan salah satu pura penting di Bali. Pura yang oleh masyarakat
setempat juga disebut Pura Kelod ini memiliki status sebagai pura kahyangan jagat dalam
kedudukannya sebagai sad kahyangan atau kahyangan jagat yang diklasifikasikan sebagai Pura-pura
Padma Bhuwana yang berposisi di tengah sebagai sthana Dewa Siwa.

Pusat Kerajaan
Sejak awal peradaban, kata Putra Pemayun, Pejeng sudah jadi kawasan hunian dan terpilih sebagai
pusat Kerajaan Bali Kuna. Diperkirakan, kata Pejeng berasal dari kata pajeng (payung) yang bisa
dimaknai sebagai memayungi atau mengayomi. Penamaan itu terasa pas mengingat dari berbagai
tinjauan dan kajian aspek-aspek kebenaran sejarah, teosofi dan teologi, Desa Pejeng merupakan
pusat Kerajaan Bali Kuno yang secara otomatis pusat kerajaan itu memayungi masyarakat dan
daerahnya. Namun, katanya, ada juga yang menduga kata Pejeng berasal dari kata pajang (bahasa
Jawa Kuna) yang berarti sinar. ”Jika hal itu dikaitkan dengan Pejeng sebagai pusat kekuasaan, itu
sangat pas untuk menggambarkan kedudukan Pejeng yang menyinari masyarakat dan kawasannya.
Lebih-lebih jika hal itu dikaitkan dengan keberadaan ”bulan” Pejeng (nekara perunggu) di Pura
Penataran Sasih yang juga berlokasi di Desa Pejeng,” katanya seraya mengutip sejumlah referensi
sejarah yang memuat tentang Pejeng.

Lantas, bagaimana kedudukan Pura Pusering Jagat pada masa Kerajaan Bali Kuna lampau?
Menurut Putra Pemayun, pura yang berlokasi di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut ini
bukan mustahil merupakan satu palebahan pura milik raja-raja Bali Kuno. Dengan kata lain, di pura
inilah pusat ritual kekuasaan digulirkan. ”Posisi pura ini memang sentris terhadap wilayah Bali
sebagai sebuah pulau,” katanya.

Seperti termuat dalam lontar-lontar, katanya, Pura Pusering Jagat juga dikenal sebagai Pura
Pusering Tasik atau pusatnya lautan. Penamaan itu akan mengingatkan masyarakat Hindu kepada
cerita Adi Parwa yang mengisahkan perjuangan para dewa dalam mencari tirtha amertha (air
kehidupan-red) di tengah lautan susu Ksirarnawa. Secara fisik, di kompleks Pura Pusering Jagat ini
memang ada kolam maya yang berlokasi di hadapan arca utama di jeroan (halaman dalam) pura
yang mengingatkan kita pada pengadukan Ksirarnawa oleh para dewa dan raksasa. ”Besar
kemungkinan, nama Pusering Tasik itu muncul dari sana,” ujar Putra Pemayun.

Bercirikan Siwa

Putra Pemayun menambahkan, masyarakat Bali menyakini Pura Pusering Jagat merupakan sthana-
nya Dewa Siwa. Keyakinan yang tidak mengada-ada mengingat cukup banyak bukti yang
menunjukkan bahwa pura ini merupakan tempat pemujaan Sang Hyang Siwa. Hal itu terlihat dari
peninggalan arca-arca yang tersimpan di pura ini yang bercirikan Siwa seperti arca Ganesha (putra
Siwa), Durga (sakti Siwa) maupun arca-arca bhairawa. Salah satu kekhususan yang dijumpai di
pura ini adalah adanya palinggih Ratu Purus dengan arca kelamin laki-laki dan perempuan. ”Fakta-
fakta itu sangat sesuai dengan apa yang tertera dalam lontar-lontar yang menyatakan pura ini
merupakan pura Padma Bhuana yang berkedudukan di tengah sebagai sthana Dewa Siwa,”
tegasnya.

Ditambahkannya, keberadaan Pura Pusering Jagat sebagai salah satu pura yang memiliki nilai
sejarah yang sangat penting dalam perjalanan sejarah Bali di masa lampau tidak bisa diragukan lagi.
Di kompleks pura ini ditemukan berbagai bukti-bukti kepurbakalaan yang terdiri atas sejumlah
peninggalan seni arca dan unsur-unsur kebudayaan prasejarah. Adapun unsur-unsur kebudayaan
prasejarah itu tercermin dari peninggalan susunan batu alam, batu titi ugal-agil, batu monolit,
sejumlah arca dalam sikap jongkok dan fragmen lumpang batu.

Sementara seni arca yang dijumpai di pura ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok.
Yakni, kelompok arca dewa yang merupakan perlambang dewa tertentu dengan atributnya masing-
masing dan arca pratisha (perwujudan) yang merupakan perwujudan leluhur dengan pakaian dan
perhiasan seperti arca dewa. Tetapi tidak mempunyai atribut yang dapat dihubungkan dengan arca
dewa tertentu. Adapun ciri dari arca leluhur yang biasa digunakan adalah bunga kuncup atau mekar
yang dipegang dan terkadang diganti dengan buah atau benda yang bulat lonjong.

Sejumlah arca penting yang pantas dikedepankan, katanya, adalah arca pancuran utama yang
terbuat dari batu padas yang berlokasi di bagian timur laut kompleks pura. Arca berwujud tokoh
manusia yang berdiri di atas lapik berbentuk bulat ini juga disebut angga tirtha. Kedua tangan arca
memegang jaladwara (saluran air) yang keluar dari pusar. Barangkali, nama Pusering Jagat ini tidak
terlepas dari keberadaan arca setinggi 180 cm itu. Di kompleks pura ini juga dijumpai sangku
sudamala yang berupa bejana terbuat dari batu padas, arca Durga Mahissasuramardhini, empat arca
Ganesha yang ditempatkan di sejumlah palinggih, dua buah arca Caturkaya (memiliki empat muka
dan empat badan), dua buah arca perwujudan, empat buah arca jongkok dan masing-masing satu
arca raksasa, arca penjaga dan arca singa. Tak kalah menariknya, di pura ini juga ditemukan
sepasang arca kelamin yang ditempatkan di jajaran palinggih utama di jeroan tengah pura. Arca
phalus-vulva (kelamin laki-laki dan perempuan-red) ini dijaga oleh dua arca jongkok dengan kaki
disilangkan. ”Pembuatan arca phalus-vulva ini menyiratkan makna simbolis yang sangat dalam.
Pembuatannya dimaksudkan untuk memenuhi fungsi-fungsi sebagai media pemujaan, simbol
kesuburan dan penciptaan dunia juga simbol untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan,
kesuburan tanaman dan juga penolak bala,” papar Putra Pemayun panjang lebar.

Ditambahkan, pangempon Pura Pusering Jagat terdiri atas dua kelompok yakni pangempon dan
penanga. Pengempon terdiri atas empat banjar — Banjar Intaran, Banjar Pande, Banjar Puseh dan
Banjar Guliang. Sedangkan penanga sebanyak 137 KK yang berasal dari Desa Adat Jero Kuta dan
sekitar 100 KK berasal dari luar Jero Kuta seperti Pejeng Kangin dan Pejeng Kelod. Namun,
katanya, pada saat piodalan besar sebanyak 14 desa adat lainnya di Pejeng juga ikut ngempon pura
ini. Keempat belas desa adat meliputi Desa Adat Panglan, Belusung, Tarukan, Umahanyar,
Melayang, Sawagunung, Kelusu, Patemon, Tri Eka Cita, Umakuta, Umadawa, Cagaan, Tegalsaat
dan Tatiapi. Adapun upacara yang diselenggarakan di pura ini berupa aci panyabran, aci
piodalan/padudusan alit dan aci piodalan/padudusan agung. Dikatakan, padudusan alit
diselenggarakan setiap 210 hari bertepatan dengan Anggara Kasih Wara Medangsia dan padudusan
agung digelar setiap satu tahun sekali bertepatan dengan Purnamaning Karo yang bisanya jatuh
sekitar Agustus.

Anda mungkin juga menyukai