Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUA
N

1.1 Latar Belakang


Bali memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang sudah dilakukan sejak
jaman dahulu. Kebudayaan dan adat sangat dipengaruhi oleh Agama Hindu yang
dianut oleh masyarakat pada jaman itu. Agama memberikan corak dan aturan
yang sangat terlihat jelas, seperti contohnya pada pembuatan tempat suci /Pura
yang dibuat sesuai aturan dan kepercayaan Agama Hindu.
Agama Hindu sendiri berkembang sangat pesat setelah Rsi Markandya
datang ke Bali dan membuat tempat suci yang sekarang menjadi Pura Besakih.
Dari ajaran beliau Agama Hindu di Bali percaya bahwa Pura di setiap wilayah
dibagi menjadi Pura Desa, Puseh dan Dalem. Masing- masing Pura tersebut
merupakan stana dari Tri Murti yaitu Pura Desa berstana Dewa Wisnu, Puseh
Dewa Brahma dan Dalem Dewa Siwa.
Pura Dalem yang pada umumnya berlokasi didekat kuburan (Setra)
memiliki arti penting akan keberadaannya bagi suatu wilayah. Pura Dalem
merupakan simbul tempat pelebur karena merupakan stana bagi Dewa Siwa
sebagai pelebur. Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis akan
menguraikan dan membahas sejarah dari Pura Dalem Balingkang.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam penulisan paper ini adalah bagaimanakah
sejarah dan struktur Pura Dalem Balingkang.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan dari paper ini adalah untuk menguraikan dan
menceritakan mengenai sejarah berdirinya Pura Dalem Balingkang dan
mendeskripsikan mengenai struktur Pura Dalem Balingkang sehingga akan dapat
memberikan informasi yang informatif kepada para pembaca.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini ialah dengan cara pengumpulan data
melalui media internet kemudian penulis uraikan kembali dengan menggunakan
kata-kata sendiri.

1.5 Tinjauan pustaka


1.5.1 Pengertian Pura
Istilah Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat
Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari jaman yang tidak begitu
tua.Pada mulanya istilah Pura yang berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota
atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang
Widhi.Sebelum dipergunakannya kata Pura untuk manamai tempat suci /
tempat pemujaan dipergunakanlah kata Kahyangan atau Hyang. Pada jaman
Bali Kuna dan merupakan data tertua kita temui di Bali, ada disebutkan di
dalam prasasti Sukawana A I tahun 882M. Kata Hyang yang berarti tempat
suci atau tempat yang berbubungan dengan Ketuhanan.
1.5.2 Pengelompokan Pura
Dari berbagai jenis pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk
memuja Hyang Widhi / dewa dan bhatara, dapat dikelompokkan berdasarkan
fungsinya yaitu :
1. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi /
dewa.
2. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja bhatara yaitu roh
suci leluhur.
Selain kelompok pura yang mempunyai fungsi seperti tersebut di atas, bukan
tidak mungkin terdapat istilah pura yang berfungsi ganda yaitu selain untuk
memuja Hyang Widhi /dewa juga untuk memuja bhatara. Hal itu di
mungkinkan mengingat adanya kepercayaan bahwa setelah melalui Upacāra
penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai tingkatan siddha dewata (telah
memasuki alam dewata ) dan disebut bhatara. Fungsi pura tersebut dapat
diperinci lebih jauh berdasarkan ciri (kekhasan ) yang antara lain dapat
diketahui atas dasar adanya kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis
ikatan seperti : Ikatan sosial, politik, ekonomis, genealogis (garis kelahiran ).
Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal ( teritorial),
ikatan pengakuan atas jasa seorang guru suci (Dang Guru) Ikatan Politik
antara lain berdasarkan kepentingan Penguasa dalam usaha menyatukan
masyarakat dan wilayah kekuasaannya. Ikatan ekonomis antara lain dibedakan
atas dasar kepentingan sistem mata pencaharian hidup seperti bertani, nelayan,
berdagang , nelayan dan lain - lainnya. Ikatan Geneologis adalah atas dasar
garis kelahiran dengan perkembangan lebih lanjut.
Selain itu ada juga pembagian pura berdasarkan criteria berikut :
a. Berdasarkan atas Fungsinya :
1. Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang
Widhi Wasa dalam segala prabawanyaNya (manifestasiNya), dan dapat
digunakan oleh umat untuk melaksanakan pemujaan umum, seperti purnama
tilem, hari raya Hindu lainnya tanpa melihat asal, wangsa yang bersangkutan.
2. Pura kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja Atma Siddha
Dewata '(Roh Suci Leluhur), termasuk didalamnya: sanggah, merajan,
(paibon, kamulan), dadia, dan pedharman
b. Berdasarkan atas Karakterisasinya:
1. Pura Kahyangan Jagat, yaitu Pura tempat memuja Sang Hyang Widhi
dalam segala Prabhawa-Nya misalnya Pura Sad Kahyangan dan Pura Jagat
yang lain.
2. Pura Kahyangan Desa (Teritorial) yaitu Pura yang disungsung (dipuja dan
dipelihara) oleh Desa Adat.
3. Pura Swagina (Pura Fungsional) yaitu Pura yang Penyungsungnya terikat
oleh ikatan Swagina (kekaryaan) yang mempunyai profesi sama dalam mata
pencaharian seperti : Pura Subak, Melanting dan sebagainya.
4. Pura Kawitan, yaitu Pura yang penyungsungnya ditcntukan oleb ikatan
"wit"atau leluhur berdasarkan garis (vertikal geneologis) seperti: Sanggah,
Merajan, Pura lbu, Pura Panti, Pura Dadia, Pura Padharman dan yang
sejenisnya.
Pengelompokan pura di atas jelas berdasarkan Sraddha atau Tatwa Agama
Hindu yang berpokok pangkal konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan
berbagai manifestasi atau Prabhawanya dan konsepsi Atman manunggal
dengan Brahman (Atma Siddha Dewata ) menyebabkan pemujaan pada roh
suci leluhur, oleh karena itu pura di Bali ada yang disungsung oleh seluruh
lapisan masyarakat disamping ada pula yang disungsung oleh keluarga atau
Klen tertentu saja.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Pura Dalem Balingkang

Redite Umanis
Warigadian upacara piodalan di
Pura Dalem Balingkang, Desa
Pinggan, Kintamani, Bangli.
Lokasinya, dari Denpasar
mengikuti jalur Denpasar-
Singaraja lewat Kintamani, dan
di Pura Pucak Panulisan menuju
arah timur laut kira-kira 15-20
km. Tempatnya sangat unik dikelilingi Sungai Melilit, yang dianggap sebagai
benteng utama menuju ke Kerajaan Balingkang. Bagaimana sesungguhnya ihwal
Pura Dalem Balingkang ini?
Dalam Prasasti Sukawana (Goris, 1954) disebut, Desa Sukawana diserang
hujan badai dan Keraton Jaya Pangus hancur, sehingga jong les pindah ke
Balingkang. Keberadaan Pura Dalem Balingkang sebagai pura maupun sebagai
Keraton Raja Bali Kuna tercatat pula dalam "Pengeling-eling Desa Les-
Penuktukan, Tejakula, Buleleng" yang dikeluarkan oleh Raja Jaya Kasunu sekitar
abad ke-11. Ia tercatat sebagai leluhur Raja Jaya Pangus Harkajalancana.
Masyarakat Bali dewasa ini terbagi menjadi dua kelompok utama -- Bali
Mula (Aga) dan Bali Majapahit. Prof. Dr. I Gusti Bagus (alm.) dalam tulisannya
"Kebudayaan Bali" (1979) menyebut, masyarakat Bali Mula mendiami daerah
pegunungan di Bali, sedangkan Bali Majapahit mendiami daerah dataran.
Bahasanya pun berbeda, disebut "omong negari" dan "omong pojol" oleh
masyarakat Bali Mula.
Dua Permaisuri
Dalam konteks Pura Dalem Balingkang, nama balingkang berasal dari kata
"bali + ing kang". Secara tuturan dan bukti tertulis, ini dikaitkan dengan
pernikahan Raja Jaya Pangus Harkajalancana yang memerintah pada tahun saka
1103-1191 atau 1181-1269
Masehi. Raja Jaya Pangus punya
dua permaisuri, Paduka Bhatari
Sri Parameswari Indujaketana
dan Paduka Sri Mahadewi
Cacangkaja Cihna -- (Cihna-
Cina). Dalam cerita rakyat yang
berkembang disebut, istri
Cinanya bernama Kang Ci Wi,
putri Tuan Subandar pedagang
dari Cina. Maka digabunglah
Bali-Ing-Kang jadi Balingkang.

Masyarakat Bali Kuna di sekitar Danau dan Gunung Batur tercatat amat
sulit ditundukkan oleh Raja Sri Kresna Kepakisan yang ditempatkan oleh Maha
Patih Gajah Mada. Sampai dewasa ini, mereka amat sulit terpengaruh oleh budaya
Hindu Majapahit. Sampai tahun 2006 ini, Pura Pucak Panarajon belum mau
menggunakan Ida Pedanda sebagai Sang Trini-nya, tetap menggunakan Jro
Mangku dan Jro Kebayan dengan upacara podgala atau mewinten pang solas.
Masyarakat Bali Mula di sekitar Danau Batur menyebut dirinya dengan
Gebog Domas (Kelompok Delapan Ratus). Kelompok ini dibagi jadi empat
bagian Gebog Satak (Dua Ratus) Sukawana, Kintamani, Selulung dan Bantang.
Kelompok ini memiliki Tri Kahyangan yakni
(1) Pura Pucak Panarajon sebagai pusatnya terletak di Sukawana, Kintamani,
dengan tiga tingkatan pura yang disebut Gunung Kahuripan. Tingkatannya,
Pura Panarajon (Ida Bhatara Siwa Sakti), Pucak Panulisan (sejajar dengan
pusat pemerintahan -- dulu sebagai keraton Raja Jaya Pangus), dan Pucak
Wangun Hurip (simbol membangun kehidupan.
(2) (Pura Bale Agung di Sukawana dengan Ida Bhatara Ratu Sakti Kentel Gumi,
setara dengan Bhatara Brahma,
(3) Pura Pusering Jagat -- Pura Puseh Panjingan di Desa Les-Penuktukan,
Tejakula, Buleleng, berstana Ida Ratu Sakti Pusering Jagat setara dengan
Bhatara Wisnu, dan
(4) Pura Dalem Balingkang berstana Ida Dalem Kepogan (Dalem Balingkang)
setara dengan Dewa Siwa.
Kelompok Satak Sukawana terdiri atas beberapa desa di Kecamatan
Kintamani dan Tejakula, Buleleng. Sebagai ikatan yang padu, Desa Pinggan
ditugaskan oleh Sukawana sebagai kesinoman membawa surat ke kelompok
Tejakula. Di Sukawana banyak ada peninggalan tanah pelaba pura, serta di
Balingkang ada 175 ha. Rupanya secara diam-diam keduanya saling menguasai
tanah itu.
Pada 1960, Sukawana menugaskan Pinggan mengirim surat ke kelompok
Buleleng Timur. Surat itu "disembunyikan" sehingga semua warga Buleleng tak
tahu ada upacara di Panarajon. Ini berlangsung sampai 1963, sehingga pada 1964
Sukawana malu menugaskan Pinggan. Akhirnya, kelompok pemuja Pura Dalem
Balingkang pada 1964 yakni Pinggan, Siakin, Tembok, Gretek Sambirenteng,
Les-Penuktukan menyatakan keluar dari kelompok Sukawana dan membuat
kelompok baru bernama Gebog Satak Balingkang.
Lalu, sejak 1964 kelompok pemuja Pura Pucak Bukit Indra Kila, Desa
Dausa, Kintamani juga melepaskan diri dari Pura Panarajon.
Pura Dalem Balingkang yang dipuja kelompok Gebog Satak Balingkang,
juga dipuja oleh warga masyarakat di sekitar Desa Petak, Gianyar. Ini terjadi
karena ada hubungan historis dengan keluarga Puri Petak Gianyar. Secara faktual,
di utama mandala bagian sisi selatan ada kompleks bangunan pura lengkap
dengan sanggar agung, meru 11 (tingkat 11), sebagai pemujaan Ida Dalem
Klungkung (Raja Klungkung) dan meru 9 (tingkat 9) sebagai pemujaan pada Ida
Dalem Bangli (Raja Bangli).
Menurut Ida Cokorda Dalem Balingkang dalam disertasinya di Surabaya
pada 1989, menyebut tentang keberadaan leluhurnya di Pura Dalem Balingkang
serta fungsi meru 11 dan meru 9 di utama mandala. Dituturkan, semua itu ada
kaitan dengan saat sesudah penyerbuan Panji Sakti ke Bintang Danu pada 1772.
Waktu itu, Dewa Agung Mayun Sudha adalah Raja Pejeng, Gianyar. Ia diserang
oleh penguasa dari Puri Blahbatuh, Puri Peliatan, Puri Gianyar, dan Puri Ubud.
Karena lawannya banyak, pasukan Puri Pejeng terdesak. Dewa Agung
Mayun Sudha yang merasa terdesak, bersama piluhan anak buahnya lari
menyelamatkan diri ke arah pegunungan. Rombongan ini bersembunyi di sekitar
Pura Dalem Balingkang yang saat itu bangunannya telah terbakar, tinggal
dasarnya saja. Bersama rombongannya, Dewa Agung Mayun Sudha memimpin
merabas hutan seluas 175 ha. Ia mengajak warga membangun kembali Pura
Dalem Balingkang sehingga pelan-pelan menjadi lengkap.
Setelah puranya dibangun, diadakanlah upacara dengan dukungan Raja
Bangli serta Raja Klungkung. Akhirnya, hubungan Dewa Agung Mayun Sudha
dengan Raja Bangli dan Raja
Klungkung makin baik. Suatu hari,
Dewa Agung Mayun Sudha
memohon bantuan pada Raja Bangli
dan Klungkung akan merebut
kembali kerajaannya. Disarankan,
agar diserang Desa Petak dulu,
sebagai tempat berpijak. Dengan
bantuan pasukan Raja Klungkung dan Bangli, Desa Petak yang terdiri atas
sepuluh dusun dapat dikuasai, sehingga Dewa Agung Mayun Sudha berkuasa di
sana.
Untuk mengenang dan memuliakan Ida Bathara Dalem Balingkang, maka
Dewa Agung Mayun Sudha bergelar Ida Cokorda Putra Dalem Balingkang.
Sampai saat ini, keluarga Puri Petak menjadi pemuja utama di Pura Dalem
Balingkang, selain Gebok Satak Balingkang.

2.2 Struktur Pura


Struktur Pura Dalem Balingkang termasuk unik, karena dulu konon
dijadikan istana raja yang menghindari serangan raja lainnya. Dalam beberapa
pustaka ada disebut, Pura Dalem Balingkang sebagai istana Raja Maya Danawa.
Raja ini dikalahkan oleh Bathara Indra dari Tampaksiring. Namun dalam naskah
lontar "Linaning Maya Danawa" dikisahkan Maya Danawa mati terbunuh oleh Ki
Kebo Parud -- utusan Raja Kerta Negara yang menyerang dari utara.
Dalam struktur Pura Dalem Balingkang, di awal adalah kompleks Pura
Tanggun Titi -- ujung jembatan dan ada sumber air. Di sumber air ini kerbau
disucikan sebelum mepepada. Di kompleks Pura Tangun Titi ada pemujaan Ratu
Ngurah Sakti Tanggun Titi, Ratu Mas Melanting, Ratu Sakti Gede Penyarikan,
dan Sang Hyang Haji Saraswati. Kompleks kedua setelah melewati tanah lapang
yang dulu difungsikan membangun tempat penginapan, ada bangunan cangapit,
yakni pintu masuk yang dilengkapi tempat duduk raja saat menyaksikan jro gede
mepada mengelilingi pura.
Di jaba tengah, tak banyak bangunan, hanya ada paruman agung, stana Ida
Bhatara Sami, serta palinggih Ratu Ayu Subandar. Palinggih ini sebagai pemujaan
pada Kang Ci Wi dan ini amat diyakini oleh masyarakat Cina membawa berkah.
Di kompleks utama atau jeroan, dibangun pemujaan Puri Agung Petak dengan
meru 11 dan meru 9. Juga dibangun pemujaan Dalem Balingkang dengan gedong
bata dan meru 7 -- ini mengingatkan pada Sapta Dewata. Ada pula bangunan balai
panjang bertiang 24, bertiang 20, dan balai mundar-mundar bertiang 16 (dibagi
empat sisi, masing-masing bertiang 4).
BAB III
PENUTU
P

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa keberadaan Pura
Dalem Balingkang sangat erat hubungannya dengan pernikahan Raja Jaya Pangus
Harkajalancana dengan Paduka Sri Mahadewi Cacangkaja Cihna ( Kang Ci Wi)
yang memadukan antara budaya Bali (Hindu) dengan budaya Cina (Budha). Hal
ini terbukti dari adanya pelinggih Ratu Ayu Subandar di areal pura yang
merupakan tempat pemujaan untuk Kang Ci Wi yang merupakan keturunan Cina
yang dihormati oleh masyarakat setempat sampai sekarang dan dibuatkan
upacara yang dipadukan dengan kebudayaan Cina.

3.2 Saran
Saran yang bisa dipetik dari isi pembahasan diatas adalah :
1. Pura Dalem Balingkang merupakan salah satu Pura yang memiliki sejarah
yang sangat penting bagi perkembangan Agama Hindu, untuk itu kita harus
terus menjaga keberadaan dan merawat Pura tersebut agar tetap lestari untuk
generasi berikutnya.
2. Pemerintah sebaiknya membuat peraturan daerah yang berisi tentang
perlindungan terhadap keberadaan Pura Dalem Balingkang.
DAFTAR PUSTAKA

 Babad Pura Dalem Balingkang


 Masyarakat Balingkang
 www.google.com
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat-Nya laporan tugas Sejarah yang berjudul “Sejarah Pura Dalem
Balingkang” dapat penulis selsesaikan tepat pada waktunya.
Dalam penyelesaian tugas ini, tidak terlepas dari bimbingan serta
dukungan dari berbagai pihak atas petunjuk dan saran-saran yang dapat dijadikan
motivator dalam penulisan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan tugas ini masih jauh dari kesempurnaan.
Hal ini karena keterbatasna pengalaman dan pengetahuan, untuk kesempurnaan
laporan ini penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Akhirnya penulis berharap semoga tugas ini dapat memberikan manfaat
bagi pembaca sekalian.

Abiansemal, Januari 2013

Penulis

i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan......................................................................... 1
1.4 Metode Penulisan........................................................................ 2
1.5 Tinjauan Pustaka ......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Pura Dalem Balingkang .................................................. 5
2.2 Struktur Pura Dalem Balingkang ................................................. 8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................. 10
3.2 Saran ........................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA

ii

Anda mungkin juga menyukai