Anda di halaman 1dari 16

Sunda Wiwitan adalah agama atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah

leluhur (animisme dan dinamisme) yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda.[1] Akan tetapi
ada sementara pihak yang berpendapat bahwa Agama Sunda Wiwitan juga memiliki unsur
monoteisme purba, yaitu di atas para dewata dan hyang dalam pantheonnya terdapat dewa tunggal
tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan
Tuhan Yang Maha Esa.
Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti
di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung
Naga; Cirebon; dan Cigugur, Kuningan. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan
kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.
Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang siksakanda ng karesian, sebuah kitab
yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan
dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini disebut Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia.
Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut
Hindu atau Buddha, melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek
moyang. Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh
unsur-unsur ajaran Hindu, dan hingga batas tertentu, ajaran Islam.[2] Dalam Carita Parahyangan
kepercayaan ini disebut sebagai ajaran "Jatisunda".
Daftar isi
Mitologi dan sistem kepercayaan
Filosofi
Tradisi
Tempat suci
Lihat juga
Referensi
Mitologi dan sistem kepercayaanSunting
Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun
(Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara
Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana
Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lainlain) tunduk kepada Batara Seda Niskala.[3]
Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun
mengenai mitologi orang Kanekes:
Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas
Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah
Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah
Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas
ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama

Alam Kahyangan atau Mandala Hyang. Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat
tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.
Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh batara
itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan
lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda.
Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau
menciptakan.
FilosofiSunting
Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang
tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang
harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut.
Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan
Cara Ciri Bangsa.
Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima
unsur yang termasuk di dalamnya:
Welas asih: cinta kasih
Undak usuk: tatanan dalam kekeluargaan
Tata krama: tatanan perilaku
Budi bahasa dan budaya
Wiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum
melakukannya
Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti
tidak akan melakukannya.
Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua manusia memang
mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang
membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaanperbedaan antarmanusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:
Rupa
Adat
Bahasa
Aksara
Budaya
Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang bernama Siksa
Kanda-ng karesian. Namun secara mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani hidupnya dari
apa yang tersirat. Apa yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak
memberi jaminan bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa
yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.

Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya. Tabu utama
yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua.
Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain
Yang bisa membahayakan diri sendiri
Akan tetapi karena perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan keramat (Kabuyutan,
yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas) serta menaati serangkaian aturan
mengenai tradisi bercocok tanam dan panen, maka ajaran Sunda Wiwitan mengenal banyak
larangan dan tabu. Tabu (dalam bahasa orang Kanekes disebut "Buyut") paling banyak diamalkan
oleh mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal sebagai orang Baduy
Dalam.
TradisiSunting
Dalam ajaran Sunda Wiwitan penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian pantun dan kidung
serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari upacara syukuran panen padi dan perayaan
pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan
Seren Taun. Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah dan dihadiri
oleh ribuan orang. Perayaan Seren Taun dapat ditemukan di beberapa desa seperti di Kanekes,
Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; dan
Cigugur, Kuningan. Di Cigugur, Kuningan sendiri, satu daerah yang masih memegang teguh
budaya Sunda, mereka yang ikut merayakan Seren Taun ini datang dari berbagai penjuru negeri.
Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar
Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan
penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang Sunda belum
meninggalkan agama Sunda ini. [4]
Tempat suciSunting
Tempat suci atau tempat pemujaan yang dianggap sakral atau keramat dalam Agama Sunda
Wiwitan adalah Pamunjungan atau disebut Kabuyutan. Pamunjungan merupakan punden
berundak yang biasanya terdapat di bukit dan di Pamunjungan ini biasanya terdapat Menhir, Arca,
Batu Cengkuk, Batu Mangkok, Batu Pipih dan lain-lain.
Pamunjungan atau Kabuyutan banyak sekali di Tatar Sunda seperti Balay Pamujan Genter Bumi,
Situs Cengkuk, Gunung Padang, Kabuyutan Galunggung, Situs Kawali dll. Di Bogor sendiri
sebagi Pusat Nagara Sunda dan Pajajaran dahulu terdapat Banyak Pamunjungan beberapa
diantaranya adalah Pamunjungan Rancamaya nama dahulunya adalah Pamunjungan Sanghyang
Padungkukan yang disebut Bukit Badigul namun sayang saat ini Pamunjungan tersebut sudah
tidak ada lagi digantikan oleh Lapangan Golf.
Pada masanya Pamunjungan yang paling besar dan mewah adalah Pamunjungan Kihara Hyang

yang berlokasi di Leuweung (hutan) Songgom, atau Balay Pamunjungan Mandala Parakan Jati
yang saat ini lokasinya digunakan sebagai Kampung Budaya Sindang Barang.
Dengan banyaknya Pamunjungan atau Kabuyutan tersebut di Tatar Sunda membuktikan bahwa
agama yang dianut atau agama mayoritas orang Sunda dahulu adalah Agama Jati Sunda atau
Sunda Wiwitan, ini adalah jawaban kenapa di Sunda sangat jarang sekali diketemukan Candi.
Namun begitu, Hindu dan Budha berkembang baik di Sunda bahkan Raja Salaka Nagara juga
Tarumanagara adalah seorang Hindu yang taat. Candi Hindu yang ditemukan di Tatar Sunda
adalah Candi Cangkuang yang merupakan candi Hindu pemujaan Siwa dan Percandian Batujaya
di Karawang yang merupakan kompleks bangunan stupa Buddha.
.......

Oleh: Suryana Nurfatwa


(Ketua Umum Gerakan Pagar Aqidah)
Sunda wiwitan adalah agama. Maka dalam pandangan Islam dia adalah kafir karena posisi
agamanya itu diluar Islam. Disebut pula agama Cigugur karena lahir dan berpusat di Cigugur
Kuningan. Ada hal yang perlu diungkap, apakah munculnya agama Sunda wiwitan ada kaitannya
dengan seorang tokoh yang namanya Madrais atau tidak? Karena Sunda wiwitan erat kaitannya
dengan Madrais, bahkan ada juga yang menyebut agama Madrais atau agama Jawa Sunda
sebagaimana penjajah Belanda menyebutnya kepada kelompok Madrais ini.
Mari kita ungkap riwayat hidup Madrais yang nama lengkapnya Madrais Sadewa Alibassa
Kusumah Wijaya Ningrat hidup sekitar tahun 1832 sampai 1939, Madrais sebenarnya nam
pesantren yang dia dirikan di Cigugur yang sekarang menjelma menjadi Paseban, nama Madrais
adalah kependekan dari Muhammad Rois. Dari berbagai informasi, Madrais masih memiliki
hubungan darah dengan Kepangeranan (keraton) Gebang. Seorang putera kandung raja Gebang
yang bangunan keratonnya dibumihanguskan kolonial Belanda. Ayahnya pangeran Alibassa cucu
dari pangeran Sutajaya Upas menantu pangeran Kasepuhan keturunan ke-8 dari Sunan Gunung
Jati. Karena keadaan genting dikejar-kejar Belanda maka oleh ibunya, anak yang belum genap
satu tahun itu kemudian diselamatkan dan disembunyikan di Cigugur supaya luput dari kejaran
Belanda.
Madrais menjelma menjadi pribadi yang memiliki kepekaan rasa, kehalusan budi, kepedulian
sosial, memiliki cinta yang tinggi terhadap budaya dan menjunjung tinggi kedaulatan bangsa.
Madrais dewasa sangat prihatin dengan nasib bangsanya yang berada dalam cengkeraman kaum
penjajah. Ia kemudian membuat semacam komunitas atau jamaah untuk selanjutnya ia didik
dengan cara pandang yang memiliki kepedulian dan anti penjajahan. Komunitas itu ia wadahi
dalam satu lembaga bernama perguruan (paguron), ada juga yang menyebutnya dengan pesantren.
Selama hidupnya, pangeran keturunan Kepangeranan Gebang Kinatar (sekarang lokasinya di

Losari, Cirebon, Jawa Barat) itu pernah dibuang penjajah Belanda ke Tanah Merah, Maluku
(1901-1908). Belanda menuduh Madrais telah menyebarkan ajaran sesat padahal Belanda
khawatir dengan pengaruh Madrais yang semakin meluas dalam membangun perlawanan kepada
Belanda melalui ajaran Islam yang disebarkannya. Namun tokoh ini berhasil pulang ke kampung
halaman, di Cigugur, dan kembali mengajarkan Islam kepada rakyat dan mengajarkan pentingnya
hidup sebagai orang yang mandiri dan mencintai sesama.
Salah satu ajaran Madrais yang popular di kalangan penganut Sunda komunitasnya adalah makan
dan minumlah dari hasil keringat sendiri. Satu pesan yang menganjurkan untuk tidak mudah
menerima uluran belas kasihan orang lain kecuali dari kerja keras. Orang yang tidak senang
dengan Madrais, ajaran ini dipelintir sehingga berkesan tokoh ini mengharuskan para pengikutnya
untuk menghisap keringat sang guru.
Madrais didalam membentuk komunitas yang diwadahi dengan pesantren, maksudnya membina
masyarakat untuk mandiri dan memiliki keberanian untuk menentang penjajah dan mengajarkan
Islam sebagai pokok ajarannya. Hanya strategi dia supaya kaum penjajah tidak curiga maka ajaran
Islam [Quran dan hadits] disampaikan dalam tulisan Jawa Sunda yaitu tulisan ha, na, ca, ra. ka
dst. Sehingga komunitas Madrais disebut agama Jawa Sunda yang sekarang disebut Sunda
Wiwitan. Akan tetapi, pada waktu itu ajaran Madrais adalah Tauhid hanya Allah yang wajib di
sembah.
Sepeninggal Madrais tahun 1939 kominitas ini dilanjutkan dipimpin oleh putranya bernama
pangeran Tedja Buana Alibassa sampai tahun 1958. Komunitas Madrais ini berubah dan
dipandang sebagai aliran kepercayaan baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah, karena
pangeran Tedja Buana mengajarkan Islam dengan menggunakan aksara dan bahasa Jawa-Sunda,
yang dikenal sebagai agama Jawa Sunda. Hal ini merupakan kelanjutan metode Kiayi Madrais,
kemudian dilanjutkan oleh Ratu Siti Djenar Alibassa puteri Raden Tedja Buana dari istri pertama
karena pangeran Tedja pindah ke Cirebon.
Tahun 1964 oleh kelompok tertentu, komunitas Muslim yang mendapat julukan agama Jawa
Sunda ini difitnah sebagai komunitas PKI (komunis). Dan kelompok Muslim lainnya terprovokasi
dan menyerangnya. Akhirnya, komunitas keturunan Madrais ini terpecah menjadi 3. Pertama, ada
yang tetap sebagai Muslim, tetapi kajiannya mengikuti Muslim lainnya yakni mengkaji Quran
tanpa menggunakan aksara dan bahasa Jawa Sunda, karena dipandang tak usah pakai siloka lagi
dalam mempelajari Islam karena sudah merdeka.
Kedua, ada juga yang masuk agama Protestan dan yang terbesar masuk agama Katolik, termasuk
pangeran Tedja Buana dan keturunannya karena merasa takut mendekati kelompok Muslim
lainnya yang terus mengejar, dan kalau tidak beragama takut oleh negara dimasukan kelompok
komunis sebagai mana isu yang berkembang. Pada saat yang bersamaan, para misionaris Katolik
berhasil memanfaatkan konflik yang terjadi. Mulai saat itu, Cigugur berubah menjadi kampung
Katolik, lambat laun berdiri tegak gereja dan yang masuk Katolik semakin bertambah, bahkan
kawin silang antara Muslim dengan katolik sudah terbiasa, yang akhirnya anak-anaknya ada yang
Muslim ada pula yang katolik

Tahun 1970 kekuasaan Ratu Siti Djenar direbut paksa oleh Raden Djati Kusumah Alibassa, putra
Raden Tedja Buana dari istri keduanya, tahun 1980. Djati Kusumah keluar dari Katolik dan
mendirikan aliran bernama PACKU (Perkumpulan Aliran Cara Karuhun Urang). Tetapi, tahun
1982 dibekukan oleh KEJATI Jabar dengan SK pembekuan no.42 dan dinyatakan sebagai aliran
sesat, setelah PACKU dibekukan Djati Kusumah mendirikan aliran AKUR [Aliran Karuhun
Urang], dan sekarang diganti menjadi Sunda Wiwitan yang menyatakan bukan aliran tetapi agama
Sunda Wiwitan.
Untuk mempertahankan pengaruhnya, maka Djati Kusumah selalu mengkaitkan dengan Madrais
dan seolah alirannya tersebut adalah kelanjutan dari ajaran Madrais, sehingga kalau dulu Madrais
dicitra burukan oleh Belanda sebagai pendiri dan penyebar agama Jawa Sunda, dikarenakan ajaran
Islam yang disampaikan dalam tulisan dan bahasa Jawa Sunda, kalau sekarang madrais dicitra
burukan ooleh cucunya sendiri yang menyebutkan bahwa Madrais adalah pendiri dan penyebar
agama Sunda Wiwitan, dan berkelanjutan diteruskan oleh Djati Kusumah, sehingga masyarakat
Muslim terutama sangat berpandangan negatif kepada Kiayi Madrais.
Kita mendengar bahwa Sunda Wiwitan ini adalah ageman (pegangan) kepercayaan masyarakat
Baduy Kab. Lebak Banten, apakah ada kaitannya Sunda Wiwitan Djati Kusumah dengan Sunda
Wiwitan masyarakat Baduy?
Dahulu, pada waktu Madrais hidup di Cigugur tegak pesantren dan tegak sebuah mesjid, tetapi
sekarang pesantren dan mesjid itu lenyap dan di atasnya tegak sebuah bangunan namanya
Paseban. Keberadaan Paseban Tri Panca Tunggal ini menjadi penting untuk melestarikan ajaranajaran yang telah ditanamkan para pendahulu.
Ritual-ritual penting ajaran komunitas ini berlangsung di komplek Paseban. Salah satu kegiatan
tahunan yang digelar dengan cukup meriah, dan melibatkan berbagai komunitas adalah upacara
Seren Taun. Perhelatan ini dilakukan setahun sekali, dalam rangka menyongsong datangnya Tahun
Baru Saka dalam hitungan kalender Jawa-Sunda. Motivasi pagelaran ini adalah mensyukuri
nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Tuhan kepada kita semua. Di event ini, sebagian
masyarakat Cigugur bergotong-royong membawa hasil bumi mereka untuk diarak dalam satu
episode pawai yang meriah.
Di komplek gedung Paseban TPT, juga tinggal para penganut ajaran Sunda Wiwitan yang terdiri
dari remaja, dewasa hingga orang tua. Mereka biasa disebut sebagai warga atau sawarga, yang
berarti keluarga. Ini merupakan ekspresi dari pemahaman ajaran yang mereka yakini: setiap
manusia bersaudara. Mereka yang tinggal di Paseban menjadi satu kesatuan dalam keluarga. Di
sinipun dibangun sekolah menengah pertama (SMP) Trimulya sejak tahun 1958, sebagai tempat
belajar warga Paseban TPT, yang juga dibuka umum.
Para penganut ajaran Sunda Wiwitan tersebar di beberapa kota, dan kabupaten di Jawa Barat, dan
tidak menutup kemungkinan juga di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta D.I. Yogyakarta. Namun
kegiatan ritual budaya dan keagamaan komunitas ini berpusat di Cigugur. Gedung Paseban Tri

Panca Tunggal (TPT), semacam keraton yang berfungsi sebagai sentra kegiatan keagamaan,
budaya, hingga berfungsi sebagai tempat belajar dalam menjalani kehidupan. Di gedung Paseban
tinggal keluarga keturunan Madrais yang sekaligus menjadi pimpinan warga adat. Pangeran
Jatikusuma adalah ketua warga adat pimpinan agama Sunda Wiwitan saat ini.
Hati-hati kaum Muslimin atas gerakan pemurtadan yang dilakukan oleh kafir sunda wiwitan dan
mari kembalikan paseban untuk kembali menjadi pesantren dan mesjid dan tegaknya syiar
Islam di Cigugur, yang sekarang dikuasai agama Sunda Wiwitan dan Katolik. [syahid/voaislam.com]
......
Nasib Sunda Wiwitan : Dibantai Jika Tak Mau Masuk Islam !!!!
Postby Laurent Sun Aug 17, 2014 10:40 am
Melongok Komunitas Sunda Wiwitan (1)
Mereka Dipaksa Menjadi Bunglon
Oleh: Reni Susanti
Selasa, 12 Agustus 2014, 19:49 WIB
DISKRIMINASI terhadap kaum penghayat masih terjadi di Indonesia. Salah satunya terhadap
Komunitas Sunda Wiwitan. Tak jarang, mereka harus berhadapan dengan perlakuan tak adil
sejumlah pejabat negara.
Dari selembar kertas, Ira Indra Wardhana menemukan kebingungan. Bocah berusia 9 tahun itu
seolah berhadapan dengan masalah. Dia tak mampu mencerna kalimat pertanyaan yang tertulis di
atas kertas tersebut.
Pertanyaan itu berisi lima kolom agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Ira diminta
gurunya memilih salah satu. Bukannya menjawab, Ira malah bingung dan tak mampu mengisi.
Dia sadar, lima kolom tersebut bukanlah agamanya. Dia pun memutuskan untuk meminta bantuan
sang ayah mengisi kolom agama itu.
Keesokan harinya, sang ayah menemui gurunya. Saat itu, dia meminta guru untuk tidak menyuruh
menyuruh anaknya memilih agama lantaran tak akan mengerti dan masih terlalu kecil.
Bapak saya lalu bertanya, ini sekolah apa? Guru saya menjawab Katolik. Lalu ayah berkata,
didik saja anak saya dengan Katolik yang benar, tapi jangan suruh anak saya memilih. Kalau mau
ke gereja, silakan pergi ke gereja, tapi jangan dibaptis, ucap Ira mengenang masa kecilnya.
Ira terbilang berprestasi di SD Yos Sudarso Cigugur Kuningan. Dia memperoleh nilai bagus di
mata pelajaran umum maupun agama (Katolik).
Saya ke gereja. Kalau ada natal saya juara lomba puisi. Ada acara paskah, saya memerankan

Yesus yang disalib. Tapi hati saya berkata, saya bukan katolik, saya sunda wiwitan, tegasnya.
Ira mengungkapkan, pemerintah saat itu tak memberi kesempatan penghayat (sebutan penganut
Sunda Wiwitan) seperti dirinya, mempelajari keyakinannya di sekolah. Pemerintah lewat
kebijakannya secara tidak langsung memaksa penghayat mempelajari lima agama resmi untuk
bisa lulus sekolah.
Kami tak punya pilihan lain, kalau menolak, nilai agama di rapot kosong. Masa ada nilai yang
kosong? Buat kami ini tidak mudah. Untuk memeroleh hak pendidikan, kami dipaksa menjadi
bunglon. Kami bisa menjadi muslim, Kristen, Katolik, atau agama lainnya yang diakui negara,
ungkapnya.
Meski begitu, keinginan pindah agama tak pernah terlintas dalam pikirannya. Meski dia
mempelajari Katolik dan Islam semasa SD-SMA, keimanannya tetap pada Sunda Wiwitan. Seperti
saat dia berniat daftar di jurusan Antropologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, 1993
silam.
Saat itu, dia kembali harus mengisi lima kolom agama yang diakui negara. Hatinya bergejolak
ketika akan mengisi. Dia merasa pemerintah sudah berlaku tidak adil dan semena-mena pada
kaum penghayat. Padahal, Sunda Wiwitan sudah ada sebelum Indonesia ini didirikan. Namun
pemerintah dengan seenaknya mengatur, mana agama yang diakui atau tidak.
Kian keras hatinya berteriak, makin tersadar emosi tak akan menyelesaikan sesuatu. Untuk
sebuah perjuangan yang lebih besar, perlu sebuah strategi. Akhirnya, dari hasil diskusi dengan
orangtua, saya mengisi kolom Katolik di lembar pendaftaran maupun saat membuat KTP,
terangnya.
Ira memilih Katolik bukan tanpa alasan. Jika saat itu Ira memilih Islam, orang sekitar akan
memantau apakah dia salat atau tidak. Tapi dengan memilih Katolik, orang tidak akan memantau
Ira pergi ke gereja ataupun tidak.
Toh lama-lama Ira merasa tak nyaman. Di tahun 1998, dia mulai berani istiqamah mengosongkan
agama di KTP-nya. Begitu dia menerima kolom agama kosong di KTP, dengan bangga dia
menuliskan Sunda Wiwitan sebelum dilaminating.
Keputusannya ini bukan tanpa risiko. Karena banyak orang melirik sinis padanya. Ira dianggap
kafir, dan kepercayaan yang dianutnya dinilai aliran sesat.
Dari kecil, saya sudah terbiasa dengan berbagai diskriminasi. Mulai dari sebutan kafir, aliran
sesat, dan cibiran lainnya. Sebagai manusia biasa tentunya saya terkadang down, terangnya.
Seperti saat hendak bekerja di salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) di Bandung. Ira nyaris tak
memeroleh pekerjaan tersebut. Dia dihambat bahkan dipermasalahkan untuk menjadi PNS karena
dianggap berbeda.

Namun setelah berjuang bertahun-tahun dibantu guru besar Antropologi, dia berhasil lolos
menjadi PNS, meski masih ada orang yang mempermasalahkan hal itu sampai sekarang.
Padahal, kemampuan penghayat Sunda Wiwitan sama dengan penganut agama lainnya. Di antara
mereka ada yang sukses memiliki rumah makan. Ada pula yang berhasil menduduki posisi Kabag
di pemerintahan kota/kabupaten.
Namun, dari pengalaman selama ini, jabatan Kabag itu hanya akan jadi jabatan tertingginya.
Karena, meski kemampuannya mumpuni, agamanya yang dianggap berbeda membuatnya susah
untuk naik jabatan.
Ibu saya penilik kebudayaan di Kabupaten Kuningan. Secara manusiawi punya kemampuan
yang sama dengan yang lain, tapi negara tak memberikan ruang lebih jauh. Bahkan ada sejumlah
profesi yang belum bisa dimasuki penghayat, terangnya.
Jika ingin sederhana, kata Ira, gampang saja. Dia tinggal mengisi kolom agama dan tidak akan
mengalami berbagai diskriminasi, termasuk berkali-kali putus dengan pacar. Sambil tersenyum Ira
menceritakan, saat kuliah di Unpad, dia beberapa kali gagal membina hubungan karena agama
yang dianutnya.
Akhirnya, dia pun menikah dengan sesama penghayat. Sedangkan kakak maupun adiknya
menikah dengan penganut Kristen dan Hindu sehingga keduanya berpindah keyakinan. Keluarga
ataupun lingkungan sekitar tak ada yang mencegahnya.
Orangtua di Sunda Wiwitan tak pernah memaksa anaknya menikah dengan orang seagama.
Itulah mengapa di Cigugur sangat plural. Semua agama hidup rukun berdampingan. Bahkan dalam
satu rumah bisa dihuni pemeluk tiga agama bahkan lebih, sambungnya.
Kini tantangan berat tengah dihadapi Ira yakni bagaimana membekali anaknya menjalani
kehidupan. Sebagai penghayat Sunda Wiwitan, anak-anaknya harus siap dengan berbagai
diskriminasi yang akan mengadang. Karena mau tak mau harus diakui, hingga kini diskriminasi
masih melekat di penghayat Sunda Wiwitan. (gin)
http://m.inilahkoran.com/read/detail/21 ... di-bunglon
Mirror: Nasib Sunda Wiwitan : Dibantai Jika Tak Mau Masuk Islam
Follow Twitter: @ZwaraKafir
Last edited by Laurent on Sun Aug 17, 2014 10:45 am, edited 1 time in total.
Laurent
Kecanduan
Kecanduan
Posts: 6006
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Top
Re: Nasib Sunda Wiwitan : Dibantai Jika Tak Mau Masuk Islam
Postby Laurent Sun Aug 17, 2014 10:42 am
Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah
Oleh: Reni Susanti
Rabu, 13 Agustus 2014, 13:09 WIB
IRA Indra Wardhana menjadi korban tindakan diskriminatif terhadap kaum penghayat. Dia
menganut penghayat Sunda Wiwitan. Banyak pihak yang menganggapnya sesat.
Tak hanya Ira, diskriminasi menjadi makanan sehari-hari penghayat Sunda Wiwitan lainnya.
Seperti yang dialami Dewi Kanti Setianingsih (39). Sejak menikah 2002 silam hingga sekarang,
dia dan suaminya tak memiliki akta nikah. Alasannya klasik, karena Dewi Kanti penghayat Sunda
Wiwitan.
Dampak tak memiliki akta nikah ini sangat luas. Dewi Kanti tak berhak atas berbagai tunjangan
seperti tunjangan kesehatan dari kantor suaminya. Meski faktanya sudah menikah, lantaran tak
memiliki akta nikah, sang suami dianggap masih bujang sehingga perusahaan tak berkewajiban
memberikan tunjangan istri.
Begitu pun saat nanti hamil dan melahirkan, anak yang dikandungnya tak akan mendapatkan akta
kelahiran. Imbasnya, merembet pada kehidupan si anak di masa depan.
Pintu masuk diskriminasi kerap datang dari administrasi sipil. Seperti KTP, akte kelahiran, akte
perkawinan, ucap Dewi kepada INILAH, belum lama ini.
Kondisi itu, sambung Dewi, seperti rantai kehidupan yang akhirnya tersistematis. Ketika agama
tidak dicantumkan dalam KTP, penghayat akan dipersulit dalam urusan administrasi baik di
sekolah, perbankan, bahkan dalam pernikahan.
Bagi penghayat yang tidak siap dengan tekanan, mereka digiring masuk agama resmi. Misalnya
saat akan menikah, sebagian penghayat berbohong dengan mendaftar sebagai penganut agama
yang diakui agar mendapat akta kawin. Namun yang bertahan dengan keyakinan semula seperti
dirinya, akta perkawinan hanya angan-angan.
Dewi mengatakan, selama ini dalam aturan berupa SKB Menteri, UU PNPS 1965 tentang
Penodaan Agama, dan lainnya tidak secara jelas menyatakan agama yang diakui negara. Seluruh
peraturan itu menyebutkan beberapa agama yang dipeluk orang Indonesia.
Tapi oleh aparatur diterjemahkan, itulah agama yang diakui negara. Di luar itu tak bisa
dilayani, tuturnya.
Hingga kini tak semua penghayat Sunda Wiwitan mengantongi e-KTP. Bahkan ada penghayat
yang di-Konghucu-kan dalam e-KTP. Kondisi ini tak hanya terjadi di Cigugur Kuningan, tapi juga

di daerah lain. Contohnya yang dialami penghayat Tolotang di Sulawesi Selatan.


Namanya Djani Karjani seorang seniman. Di kolom agama terpampang Konghucu. Padahal dia
jelas-jelas Tolotang, ucap Dewi.
Tak hanya itu, tahun 2010 lalu saat masih tinggal di Jakarta, dia berniat mengganti KTP. Dalam
KTP sebelumnya, kolom agama diisi strip (-). Namun begitu KTP baru jadi, dia pun kaget. Karena
di kolom agama dituliskan Islam.
Dia pun kembali mengajukan pembuatan KTP untuk memperbaiki kolom agama. Lagi-lagi aparat
menganggap enteng dan menuliskan agama di luar keyakinan Dewi.
Akhirnya saya menulis surat ke lurah Cilandak Jakarta Barat tertanggal 15 Juni 2010 atas
kekeliruan yang dilakukan petugas di sana. Selain surat, saya sertakan bukti hidden camera
percakapan saya dengan petugas pembuatan KTP. Setelah itu, baru KTP saya benar, kolom agama
dikosongkan. Pokoknya saat itu, dalam empat hari, dicetak 3 KTP atas nama saya, terangnya.
Kejadian lain yang tak kalah menyedihkan ketika dia kehilangan dompet. Untuk mengurus KTP
dan ATM yang raib bersama dompet tersebut, Dewi mendatangi kepolisian hendak membuat surat
kehilangan.
Dia pun mulai ditanya identitas diri untuk diisi ke form surat kehilangan yang sudah komputerize.
Begitu masuk ke kolom agama, polisi kebingungan.
Saya jawab, agama saya kepercayaan. Polisi bertanya, apa tuh? Gak ada di kolomnya. Saya
meminta untuk dikosongkan, dan polisi berkata kalau dikosongkan, suratnya tak bisa dicetak dan
gak bisa dapetin surat kehilangan. Akhirnya, saya bilang, cari kolom agama yang penganutnya
sedikit saja. Polisi pun mengisi Konghucu, sambungnya.
Belum lagi ketika berbicara soal PNS. Dewi bercerita, beberapa tahun lalu adiknya hendak
mendaftar PNS secara online. Namun hal itu urung dilakukan karena dalam form itu hanya
tercantum agama yang diakui negara.
Sebenarnya, sambung Dewi, yang diperjuangkannya selama ini bukan hanya pengakuan dalam
selembar KTP. Yang dibutuhkan penghayat adalah perlindungan tanpa diskriminasi. Jika akan
dicantumkan di KTP, maka harus semua tanpa syarat. Karena identitas itu hak mendasar. Apalagi
Sunda Wiwitan sudah ada sebelum negara ini berdiri.
Bahkan leluhur kami ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, meskipun mendapat
perlakuan yang tidak mengenakkan sejak zaman Belanda, tuturnya.
Dari Masa ke Masa
Anak tetua adat Sunda Wiwitan Dewi Kanti mengatakan, diskriminasi yang diperoleh para
penghayat sudah terjadi sejak zaman Belanda. Karena bersikukuh pada spiritual leluhur, para
penghayat kerap menjadi sasaran tembak.

Belanda mengadu domba penghayat dengan kalangan muslim dan kelompok pesantren seolah
penghayat ingin mendirikan agama baru bernama Jawa Sunda. Padahal, Sunda Wiwitan menggali
spiritual lama bukan baru.
Mengapa kami seolah-olah menjadi musuh besar, sehingga perlu meminjam tangan kelompok
muslim untuk menghabisi kami? Karena gerakan budaya kami saat itu, untuk menumbuhkan
nasionalisme. Kami menyebutnya dengan strategi perlawanan kultural, terangnya.
Perlawanan lewat budaya ini sengaja dilakukan para sesepuh Sunda Wiwitan, karena mereka
punya pengalaman buruk dengan perlawanan fisik. Sang kakek yang juga sesepuh Sunda Wiwitan,
Ki Madrais pernah memimpin pemberontakan fisik di Ambon. Dari tindakannya itu, beberapa
pengawal dipancung Belanda. Dari sanalah dia mengubah strategi perlawanan.
Namun Belanda tak tinggal diam. Mereka berusaha untuk menyingkirkan Madrais dan
keluarganya. Ki Madrais pernah dibuang ke Papua. Namun di sana, dia malah sukses menanam
bawang merah. Dia pun dimasukkan ke LP Sukamiskin, di sana malah menyembuhkan orang gila.
Bahkan dia sempat dituduh kriminalistas. Tapi karena Madrais tengah sakit, sang anak, Pangeran
Jatikusuma di penjara menggantikan ayannya tanpa proses hukum.
Karena tak ada saksi memberatkan, ayah saya keluar tanpa proses hukum pula, imbuhnya.
Zaman Jepang
Tekanan terhadap penghayat tak berhenti di sini. Jelang masuknya Jepang ke Indonesia, Belanda
melegitimasi hukum perkawinan adat. Namun hasil negosiasi bertahun-tahun ini dinilai lain oleh
Jepang. Penghayat Sunda Wiwitan dinilai sebagai antek Belanda.
Untuk menarik simpati muslim, Jepang mendirikan catatan Kantor Urusan Agama (KUA). Dari
situ mulai muncul pembedaan catatan antara muslim dan nonmuslim. Meski demikian, tahun
1945-1955, para penghayat ikut menyiapkan kemerdekaan dan merancang BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Ketika Wongsonegoro menjadi menteri, mulailah ada angin segar bagi penghayat (dulu aliran
kebatinan). Namun memasuki tahun 1950-an, penghayat diintimidasi oleh Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia (DI/TII).
Saat itu, kampung dikepung, tetua adat dicari untuk dibunuh. Gesung Paseban dan kampong
dibakar. Namun untungnya Paseban selamat, yang terbakar hanya bagian dapur dan satu unit
mobil.
Sesepuh adat menyamar jadi petani dan berhasil diselematkan. Dia dan keluarga akhirnya
mengungsi ke Bandung. Tahun 1960-an kondisi sedikit aman, keluargapun kembali ke Cigugur,
terangnya.

Tahun 1964, politik kembali memanas, masuknya lewat perkawinan. Pernikahan yang tidak
dicatat dianggap perkawinan liar dan dipanggil polisi. Banyak pengantin setelah menikah bukan
bulan madu, tapi diinterogasi polisi. Semua ini dilakukan untuk memancing ketua adat. [rni]
http://m.inilahkoran.com/read/detail/21 ... akta-nikah
Mirror 1: Nasib Sunda Wiwitan : Dibantai Jika Tak Mau Masuk Islam !!!!
Twitter Logo Follow Twitter: @ZwaraKafir
Laurent
Kecanduan
Kecanduan
Posts: 6006
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am
Top
Re: Nasib Sunda Wiwitan : Dibantai Jika Tak Mau Masuk Islam
Postby Laurent Sun Aug 17, 2014 10:44 am
Melongok Komunitas Sunda Wiwitan (3-Habis)
Bertaruh Nyawa Demi Keyakinan
Oleh: Reni Susanti
Kamis, 14 Agustus 2014, 13:03 WIB
MEMPERTAHANKAN keyakinan sebagai penghayat Sunda Wiwitan tidaklah mudah. Selain
mengalami diskriminasi, nyawa harus siap dipertaruhkan.
Seperti masa DI/TII dan PKI. Saat itu, selain suhu politik yang memanas, masyarakat Indonesia
penganut agama kepercayaan ketar-ketir menyelamatkan diri. Kabar penyiksaan dan pembunuhan
sejumlah komunitas kepercayaan di sejumlah daerah selalu sampai di telinga penghayat.
Kami menyebutnya di PKI-kan. Bagaimana para penghayat itu disiksa, dibunuh, bahkan
dikubur hidup-hidup, ujar penghayat Sunda Wiwitan yang juga anak tetua adat Sunda Wiwitan
Cigugur Kuningan, Dewi Kanti kepada INILAH, belum lama ini.
Di tengah ketakutan ini, tetua adat Pangeran Jatikusuma mendapat petunjuk spiritual untuk
menyelamatkan generasi. Yakni berteduh di bawah cemara putih yang dimaknainya sebagai
Kristen.
Saat itu kondisi sedang genting. Penghayat ada yang masuk Protestan ataupun Katolik. Yang
penting gereja, terangnya.
Sebelum masuk ke gereja, Pangeran Jatikusuma bernegosiasi dengan pastur. Penghayat bersedia
mengikuti aturan gereja asal mengakomodir ritual adat dan tidak meninggalkan sistem tradisi adat.
Meski kami Katolik tapi Katolik yang nyunda, bukan Romawi, sambungnya.

Namun, seiring berjalannya waktu, pastor Belanda cenderung misionaris. Saat hendak
mengadakan peringatan 1 syuro di gereja, pastor diminta mengenakan pakaian tradisi agar setara
antara umat dan imam.
Apalagi, pastor tersebut sudah tinggal di tanah Sunda, sehingga wajar jika menghargai akar
budaya sunda. Namun usul itu ditolak panitia liturgy.
Daripada memunculkan konflik internal, Pangeran Jatikusuma memutuskan untuk mundur dari
ummat.
Banyak ketidakcocokan. Misalnya saat acara serentaun yang diwariskan leluhur untuk
mengakomodasi semua golongan, ada acara doa bersama lintas agama. Tapi setelah masuk
Katolik, pastor keberatan, terangnya.
Setelah keluar dari Katolik, tekanan kembali muncul. Tahun 1980-1990-an, pemerintah melarang
acara seren taun. Di waktu yang bersamaan, jumlah penghayat Sunda Wiwitan berkurang karena
banyak yang bertahan di cemara putih.
Seperti yang dilakukan Asep dan keluarganya. Dia tetap bertahan di cemara putih karena anakanaknya diberi pekerjaan. Tapi, walaupun saya Katolik. Jiwa raga saya tetap sunda, memegang
adat budaya Sunda. Saya Katolik nu nyunda, ucap Asep.
Bagi Dewi Kanti sendiri, perbedaan agama bukan menjadi pemisah. Dia tak ingin terjebak pada
pembungkus agama itu berasal. Kalau lihat fakta sejarah, lereng Gunung Ciremai ini plural. Situssitus Pra Hindu, Hindu, Budha, Islam, semuanya berdampingan.
Ayah saya punya delapan anak, ada yang Katolik, malah ada yang jadi pendeta Kristen, tak
masalah. Di Cigugur, peran adat menjadi perekat. Kita berbaur dalam adat, imbuhnya.
Adat, sambung Dewi Kanti, berfungsi sebagai fasilitator. Bahkan dalam berbagai advokasi yang
dilakukan para penghayat. Dari perjalanan panjang tersebut, kini sekolah di Kuningan, memberi
ruang bagi penghayat untuk mempelajari keyakinannya di sekolah.
Hal itu seiring dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
pasal 12 (1) yang berbunyi, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan
agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Selain itu, saat ini Dewi dan penghayat lainnya sedang gencar mengadvokasi penolakan eksplorasi
Chevron di Gunung Ciremai. Seperti diketahui, Chevron tengah melakukan penyelidikan awal
tentang potensi geothermal di Ciremai dan akan dilanjutkan dengan pengeboran.
Rencana tersebut ditolak penduduk lereng Ciremai. Para penghayat berkonsolidasi dengan seluruh
jaringan desa. Akhirnya, warga sekitar melihat peran komunitas adat menjadi perekat dan
bermanfaat bagi warga sekitar.

Advokasi ke DPR pun terus dilakukan. Dalam sidang pleno DPR, penghayat pernah mengusulkan
dua opsi. Pertama, kolom agama diisi oleh keyakinan yang dianut. Kedua, mengosonghkan kolom
agama, karena sejumlah negara menerapkan hal yang sama.
Salah satu yang datang ke pleno DPR adalah Ira Indra Wardhana. Sebagai antropolog, dalam
sidang tersebut dia menyampaikan, agama itu religi.
Religi adalah unsur kebudayaan. Jika Indonesia memiliki 500 kebudayaan, maka ada 500 religi.
Di Indonesia, ada agama yang datang dari luar, namun ada pula yang berangka dari kebudayaan
Indonesia.
Ajaran Sunda Wiwitan
Menurut Pangeran Djatikusuma, Sunda Wiwitan berarti Sunda permulaan, akar, atau pertama.
Sesuai naskah Carita Parahiyangan, makna Sunda Wiwitan disebut Jati Sunda. Sunda Wiwitan
berpegang teguh pada adat budaya sunda. Pangkal ajarannya, mendasari hidup dengan memaknai
kehidupan sehari-hari, dari tanah dan air yang dipijak.
Pengeran Djatikusuma meyakini, setiap manusia yang dilahirkan ke dunia tidak bisa memilih
untuk menjadi manusia ataupun etnis tertentu. Semuanya atas kehendak Maha Pencipta. Setiap
manusia mempunyai kodratnya sendiri-sendiri atau cara-ciri. Karena itu, Sunda Wiwitan sangat
memegang teguh pikukuh tilu, ungkapnya.
Pertama, cara-ciri manusia (kodrat manusia) yakni unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan
manusia. Setidaknya ada lima unsur dalam konsep Sunda Wiwitan.
Yakni welas asih (cinta kasih), undak usuk (tatanan/hierarki dalam kekeluargaan, tata krama
(tatanan perilaku), budi bahasa dan budaya, Wiwaha Yudha Naradha (sifat dasar manusia yang
selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya). Kalau satu saja cara-ciri manusia yang
lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.
Kedua, cara-ciri bangsa (kodrat kebangsaan). Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan
antarmanusia didasarkan pada cara-ciribangsa yang terdiri dari Rupa, Adat, Bahasa, Aksara,
Budaya.
Pikukuh yang ketiga adalah Madep ka ratu raja (mengabdi kepada yang seharusnya).
Itulah mengapa, penghayat Sunda Wiwitan sangat toleran. Mereka sangat meyakini bahwa semua
manusia pada dasarnya adalah sama dan tak berdaya terhadap kodrat kemanusiaannya.
Kami tak pernah membeda-bedakan agama, suku, ras, dan lainnya. Karena Katolik di sini,
Katolik yang Nyunda. Islam di sini, Islam yang nyunda, ungkapnya.
Namun sayangnya, masih ada orang yang menganggap penghayat orang yang berbeda. Karena itu,
pihaknya tak akan pernah letih berjuang dan melakukan advokasi. (gin)

http://m.inilahkoran.com/read/detail/21 ... -keyakinan


Mirror 1: Nasib Sunda Wiwitan : Dibantai Jika Tak Mau Masuk Islam !!!!
Twitter Logo Follow Twitter: @ZwaraKafir
Laurent
Kecanduan
Kecanduan
Posts: 6006
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am
Top
Re: Nasib Sunda Wiwitan : Dibantai Jika Tak Mau Masuk Islam
Postby swatantre Sun Aug 17, 2014 9:31 pm
Salut deh buat kaum Sunda Wiwitan yg melakukan perjuangannya secara sistimatis dalam kerja
advokasi. Bisa jadi inspirasi buat kaum2 minoritas lain (yg kalo bersatu padu sih jd gak minoritas2
amat...!!!)

Anda mungkin juga menyukai