Anda di halaman 1dari 6

TUGAS SEJARAH SENI RUPA INDONESIA

DISUSUN OLEH: Marshela 1164012

SIWA-BUDHA
PENGERTIAN Ajaran Siwa-Budha adalah campuran (sinkretisme) agama Hindu dan Budha. SEJARAH Awal mula percampuran Agama Siwa-Budha tidak lepas dari sejarah Kerajaan Mataram kuno yang terdiri dua dinasti, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra. Wangsa Syailendra diduga berasal dari daratan Indo-Cina (sekarang Thailand dan Kamboja). Wangsa ini bercorak Buddha Mahayana, didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Pada awal era Mataram Kuno, Wangsa Syailendra cukup dominan dibanding Wangsa Sanjaya. Peninggalan terbesar Wangsa Syailendra adalah Candi Borobudur yang selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812-833). Wangsa Sanjaya didirikan oleh Raja Sanjaya pada tahun 732. Wangsa ini bercorak Hindu. Peninggalan Wangsa Sanjaya adalah Candi Prambanan. Prambanan merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Asia Tenggara. Empu Sendok adalah raja Mataram terakhir, Mpu Sendok(929-947M) menghasilkan dua buku yang menguraikan ajaran Mahayana, yaitu 'Sanghyang Kamahayan Mantrayana' yang berisi ajaran yang ditujukan kepada bhikkhu yang sedang ditasbihkan, dan 'Sanghyang Kamahayanikan' yang berisi kumpulan pengajaran bagaimana orang dapat mencapai kelepasan. Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukkan bahwa bentuk yang bermacam- macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Bagi penulis Sanghyang Kamahayanikan tidaklah terlalu sulit untuk mengidentifikasikan Siwa dengan Budha dan menyebutnya "Siwa-Budha", bukan lagi Siwa atau Budha, tetapi Siwa-Budha sebagai satu Tuhan. Pada jaman pemerintahan Raja Kertanagara, raja Singasari terakhir. Penyatuan Siwa dan Budha karena toleransinya yang sangat besar dan juga alasan yang bersifat politik, yaitu untuk memperkuat diri dalam menghadapi musuh dari Cina, Kubilai Khan.Untuk mempertemukan kedua agama itu, Kertanagara membuat candi Siwa-Budha yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari di dekat kota Malang.

Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Budha Mahayana. Walaupun begitu agama Siwa-Budha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447. SIWA-BUDHA DI BALI Di bali, Siwa-Budha dan Waisnawa dilebur menjadi Hindu Dharma oleh Mpu Kuturan. Sementara sejarah keagamaan orang Bali sama dengan orang Tibet. Sebelum masuk agama Budha, orang Tibet memiliki agama Bon. Agama Budha dan Bon, akhirnya menyatu seperti Siwa Budha di Bali. Penyatuan itu terjadi pada masa pemerintahan raja suami istri Gunaprya Dharmapatni/ Udayana Warmadewa yang bertahta di Bali. Pada masa itu penduduk pulau Bali adalah mayoritas orang Bali Aga/ orang Bali asli, selanjutnya pendatang dari Jawa disebut orang Bali. Jadi ada orang Bali Aga dan orang Bali. Banyak sekali sekte-sekte yang ada pada saat itu yang dalam pelaksanaan pemujaan terdapat perbedaan-perbedaan satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya sehingga menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa di dalam tubuh masyarakat Bali Aga. Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negatif pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negatif ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/ Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur. Kemudian sepakat untuk mendatangkan Panca Dewata ini atau lima orang Brahmana suci keturunan Hyang Bhatara Guru Geni Jaya Sakti atau Hyang Geni Jaya, yaitu: Mpu Semeru, Mpu Gni Jaya, Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan Mpu Bradah.

Tentang adanya Mpu Kuturan di Bali dapat diketahui melalui 7 prasasti peninggalan purbakala, dimana disebutkan bahwa Mpu kuturan di Bali berpangkat Senopati dan prasasti itu kini berada di:

Di desa Srai, kecamatan Kintamani. Di desa Batur, kecamatan Kintamani Di desa Sambiran, kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng Di desa Bbatuan, kecamatan Sukawati Di desa Ujung, Kabupaten Karangasem Di desa Kehen Bangli, Kabupaten Bangli Di desa Buahan, Kecamatan Kintamani. Sekian banyaknya prasasti sebagai fakta sejarah yang mencantumkan nama Mpu

Kuturan sebagai senopati di Bali. Dalam isi prasasti-prasasti tersebut adalah sabda rajaraja yang berkuasa pada saat itu dan memberi tahukan kepada masyarakat luas bahwa Ida Mpu Kuturan adalah yang berjasa di bumi Bali ini dalam mempersatukan sekte-sekte yang ada di Bali. Raja-raja yang bertahta di Bali pada saat itu:

Raja Gunaprya Dharmapatni/ Udayana Warmadewa yang menerbitkan prasasti pertama dan kedua. Sri Adnyadani yang menerbitkan prasasti ketiga Sri Dharmawangsa Wardhana Marakatopangkaja Stano Tunggadewa, yang menerbitkan prasasti keempat sampai ketujuh. Selain menjadi senopati, Beliau juga diangkat sebagai Ketua Majelis dan diberi

gelar; Pakira kiran i jero makabehan. Dalam suatu rapat majelis yang diadakan di Bataanyar (sekarang dikenal dengan pura Samuan Tiga, desa Bedulu Gianyar) yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu yaitu:

Dari pihak Budha diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidang Dari pihak Siwa diwakili oleh pemuka Siwa dari Jawa Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga.

Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali yang terdiri dari berbagai aliran. Saat itu, semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kesepakatan yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut Siwa-Budha sebagai persenyawaan Siwa dan Budha. Semenjak itu penganut Siwa-Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya masing-masing yang bernama:

Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Bhatara Brahma. Pura Puseh untuk memuja kemuliaan Bhatara Wisnu. Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatara Siwa. Ketiga pura tersebut disebut pura Khayangan Tiga yang menjadi lambang

persatuan umat Siwa-Budha di Bali. Mpu Kuturan berkata salah satu nama Tuhan adalah Sang Hyang Mbang atau Mahasunyi yang dalam agama Budha ada istilah Sunyata. Tahun baru di Bali (hari raya nyepi) dirayakan dengan sunyi (sunyata). Di Bali selatan, ada pura Sakenan, sementara Sakenan berasal dari kata Sakyamuni/ Buddha. Sakyamuni nama asli Sidartha Gautama. Jadi kebanyakan konsep-konsep pemujaan di Bali diambil dari Budha.

DAFTAR PUSTAKA: http://cangkok.com http://cakepane.blogspot.com/2010/04/ajaran-siwa-buddha.html http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Siwa-Buddha http://www.wacananusantara.org/content/view/category/1/id/78 http://www.google.co.id http://www.dharmagiriutama.org/sejarah-siwa-budha-di-bali.html

Anda mungkin juga menyukai