Anda di halaman 1dari 64

1

Dharma Warnana
PURA DESA MWANG PUSEH
Taman Kaja, Ubud, Gianyar

Om Swastyastu
Om, Saraswati namãstu-bhyam, warade kama-rupini,
Siddhãrambhan kari-syami, Siddhir-bhawantu me-sada.
Om, Pranamya sarwa-dewanca, paramãtmanam ewa ca,
Rupa siddhi prayukta ya, Saraswati namamy-aham.
Om, Padma-patra wisalaksi, Padma kesari warnini,
Nityam padma-laya dewi, Sa-mam-pa-tu Saraswati.
Om, Brahma putri mahadewi, Brahmanya rahma Nandini,
Saraswati samjñayani, Pranayana Saraswati,

Sembah sujud hamba kehadapan Hyang Dewi Saraswati,


sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan yang maha
suci. Sebagai berkas sinar penunjuk jalan kegelapan
semesta menuju kebahagiaan sejati. Karena bakti yang
tulus dan tak terkira ijinkanlah hamba yang hina dina ini
mencoba merangkai kata menyusun bait-bait kalimat,
menuliskan nama Hyang Bhatara, Para Rsi Agung dan
leluhur yang sudah menyatu dengan kebesaran Ida Sang
Hyang Widhi serta menceritakan semampu hamba tentang
perjalanan beliau dahulu dalam membentuk jiwa-jiwa kuat
pembela keyakinan dan kebenaran. Tetapi karena
kepapaan, hamba mohon segala kesalahan diampuni,
dijauhkan dari segala sengsara dunia dan nirwana,
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
2

diberikan umur yang pantas, kebahagiaan tanpa tepi, juga


kepada seluruh keturunan hamba kelak dikemudian hari.
Mithologi dan masa kedatangan Para Rsi
Kisah ini diawali dari mithologi tatkala Bali dan Lombok
seperti bergoyang tidak tentu arah diumpamakan, karena
penduduk kedua pulau masih belum mengerti tentang
berbagai ajaran suci yang terkandung dalam jiwa Sang
Hyang Catur Weda. Maka oleh seorang penguasa di Jawa
yang diibaratkan sebagai Hyang Pasupati, mengirimkan
para pendeta untuk turun ke Bali dan Lombok, guna
mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan suci. Disinilah
awal kisah dari berkembangnya ajaran ke-Tuhanan di Bali,
yang diibarakan sebagai gunung yang menjulang menjadi
sangat kokoh tak tergoyahkan. Ilmu pengetahuan suci
berkembang dari puncak dan lereng gunung, karena
diyakini bahwa Ida Sang Hyang Widhi, para Dewa Dewi,
Para Rsi Langit bertapa di puncak dan lereng gunung.
Sumber ilmu itu diyakini berasal dari Gunung Lempuyang,
Andakasa, Batukaru, Mangu dan Beratan, dari puncak-
puncak gunung inilah para pertapa mengajarkan ilmu
pengetahuan kepada seluruh penduduk Bali. Pada
kesempatan berikutnya, pada masa setelahnya, kembali
turun para pendeta ke Bali yang segera membangun
parahyangan di Besakih sebagai pusat untuk menyebarkan
ilmu pengetahuan suci. Bhatara Hyang Gnijaya berasrama
di Lempuyang, Bhatara Hyang Putranjaya di Tolangkir dan
Bhatari Dewi Danu di Ulundanu Batur, beliau bertiga
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
3

kemudian dipuja, dikenal dengan sebutan Bhatara Tiga atau


Bhatara Tri Purusa. Sekian lama berlalu Bali masih juga
belum seperti yang diharapkan, turun lagi 4 orang pendeta
suci ke Bali, antara lain: Bhatara Hyang Tugu berasrama di
Andakasa, Bhatara Hyang Manik Galang di Pejeng,
Bhatara Hyang Manik Gumawang di Bratan dan Bhatara
Hyang Tumuwuh di Gunung Batukaru. Beliau para Bhatara
Hyang selanjutnya menjadi junjungan penduduk Bali,
dimuliakan dan dipuja di setiap bekas parahyangannya
dahulu.
Pada Masa pemerintahan Ratu Sri Gunapriya Dharmapatni
dan Udayana Warmadewa di Bali tahun 911 hingga tahun
943 Saka, turun kembali para Mpu dari Jawa atas undangan
Sang Raja juga bertujuan untuk mencemerlangkan Bali
melalui ilmu pengetahuan Catur Weda, 5 orang Rsi itu
antara lain: Mpu Gnijaya berasrama di Lempuyang Madya,
Mpu Semeru di Besakih, Mpu Gana di Gelgel, Mpu
Kuturan di Silayukti dan Mpu Bradah yang menetap di
Lemah Tulis Jawadwipa. Para Rsi yang berjumlah 5 orang
ini kemudian dikenal dengan nama Sang Panca Tirtha yang
selain menurunkan ilmu pengetahuan suci, juga
menurunkan putra-putra yang meneruskan tugas
leluhurnya. Disudut yang lain, kedatangan Maha Rsi Ing
Markandeya ke Bali juga mempunyai misi menyebarkan
faham Siwa Buddha. Terjadi pada masa pemerintahan Raja
Sanjaya di Jawa, kedatangan Sang Rsi pada kisaran abad ke
9 Masehi juga memberikan warna tersendiri tentang ajaran

DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
4

maha suci dari Jawa ke Bali. Memperkenalkan konsep


Lingga Yoni, Petirtan atau Beji, memuja gunung, lembah,
ngarai dan campuhan sebagai sumber kehidupan. Para
pengikut beliau yang terdiri dari orang-orang Aga
menerapkan organisasi Ulu Apad untuk pemukiman
penduduk. Diperkirakan organisasi Subak juga mulai
dikenal setelah para pengikut beliau membagi lahan
pertanian dan sumber air dalam organisasi pertanian yang
diwarisi hingga sekarang.
Mpu Kuturan turun ke Bali pada Buda Kliwon Pahang
tahun 922 berasrama di Silayukti Padang, beliau
mempunyai kemampuan yang sangat tinggi dalam bidang
ilmu pemerintahan, cikal bakal Desa Adat dan Desa
Pakraman diperkirakan berasal dari konsep beliau,
pemujaan yang beragam di Bali kemudian disederhanakan
dengan Tri Murti Paksa, memuja Ida Sang Hyang Widhi
dalam Fungsi Brahma sebagai Pencipta, Wisnu sebagai
Pemelihara dan Siwa sebagai pelebur yang dimuliakan di
Kayangan Tiga, Puseh, Desa dan Dalem. Pada setiap
parahyangan keluarga dibangun juga pelinggih Rong Tiga
sebagai tempat memuja beliau dalam tingkatan rumah
tangga Bali.
Ida Dang Hyang Dwijendra turun ke Bali bersama keluarga
pada masa pemerintahan Sri Aji Dalem Waturenggong
kembali menyebarkan faham Siwa Sidanta yang menjadi
penyempurnaa konsep Sad Agama pada jaman Rsi
Markandeya dan konsep Tri Murti Paksa yang
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
5

diperkenalkan oleh Mpu Kuturan. Ida Dang Hyang menjadi


guru loka dan purohita Dalem Waturenggong di Gelgel
menyarankan seluruh parahyangan di Bali agar
membangun Padmasana sebagai tempat memuja kebesaran
Ida Sang Hyang Widhi dalam sifat, Siwa, Sadha Siwa dan
Parama Siwa dengan mengedepankan Tattwa, Upacara dan
Susila.
Percampuran paham ini kemudian membentuk konsep
pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi yang sangat
unik di Bali berbeda dengan cara pemujaan Hindu diluar
pulau Bali. Tempat pelaksanaan segala macam jenis
upacara upakara berawal dikenal dengan nama
Parahyangan atau Kayangan pada jaman Bali Kuno, setelah
pemerintahan Bali dibawah kekuasaan Majapahit, berlanjut
kemudian setelah masa runtuhnya Majapahit pada
pertengahan abad ke 14 dikenal dengan nama Pura yang
berasal dari bahasa Sanskerta pur-puri-pura-puram -pore
yang berarti kota, kota berbenteng, atau kota dengan
menara atau istana. Dalam perkembangan pemakaiannya di
Pulau Bali, istilah Pura menjadi khusus untuk tempat
ibadah; sedangkan istilah Puri menjadi khusus untuk
tempat tinggal para raja dan bangsawan hingga sekarang.
Pengertian dan Fungsi Pura di Bali
Tantra Samuccaya memaparkan dengan sangat jelas bahwa
semua pura di Bali, besar maupun kecil selalu dibangun di
daerah yang dianggap mengandung kesucian. Sastra kuno
ini kemungkinan yang mendasari konsep pembangunan
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
6

pura-pura di Bali selalu dibangun di daerah-daerah: mata


air, di tepi sungai, tepi danau, tepi pantai, campuhan, di
muara sungai, di puncak bukit atau gunung, lereng
pegunungan, dekat pertapaan, di desa-desa dan di kota-
kota, atau tempat lain yang bisa menciptakan suasana
bahagia bagi umat. Departemen Agama Provinsi Bali
pernah mendata pada tahun 2012, jumlah keseluruhan pura
di Bali berjumlah 6.002 pelebahan, terdiri dari 4.356 Pura
Kahyangan Tiga dan 723 pelebahan Pura Kahyangan Jagat
dan tidak terhitung jumlahnya pura-pura Pemaksan,
swagina dan Paibon. Seorang ahli Purbakala yang bernama
Bernet Kempers pernah melakukan penelitian terhadap
pura-pura di Bali kemudian memberikan julukan fantastis
Bali sebagai Land of One Thousand Temples, sehingga
Bali menjadi satu-satunya tujuan wisata yang
menggabungkan unsur alam, budaya, seni, ekonomi,
sejarah menjadi satu kesatuan yang saling bertautan.
Menurut konsep Hindu, pura adalah simbolis gunung,
Tuhan, Para Dewa, dan roh suci leluhur dianggap
bersemayam di puncak gunung, sehingga gunung
dipandang sebagai tempat suci. Konsepsi masyarakat
Hindu di Bali tentang alam semesta didasarkan atas
pandangan bahwa alam ini tersusun menjadi tiga bagian
yag disebut Triloka, yaitu alam bawah atau Bhur Loka,
alam tengah atau Bwah Loka dan alam atas atau Swah
Loka. Dari banyaknya Pura yang ada di Bali, berdasarkan
karakteristik atau fungsinya dapat di kelompokkan menjadi

DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
7

4 jenis, yaitu sebagai berikut: Pura Kahyangan Jagat dan


Dhang Kahyangan, Pura Kahyangan Desa, Pura Swagina
dan Pura Kawitan.
Pura Kahyangan Jagat dan Pura Dang Kahyangan
yang tergolong pura untuk umum, sebagai tempat
pemujaan Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha
Esa dalam segala prabhawa-Nya atau manifestasi-Nya.
Yang disebut Pura Kahyangan Jagat ialah Pura-pura
Kahyangan Agung terutama yang terdapat di delapan
penjuru mata angin dan pusat pulau Bali seperti :
Pura Lempuyang :Sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-
Nya sebagai Iswara diujung Timur
pulau Bali.
Pura Andakasa :Sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-
Nya sebagai Brahma terletak di Selatan
pulau Bali.
Pura Batukaru :Sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-
Nya sebagai Maha Dewa terletak di
bagian Barat pulau Bali.
Pura Ulundanu :Sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-
Nya sebagai Wisnu terletak di Utara
pulau Bali.
Pura Goa Lawah :Sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-
Nya sebagai Maheswara terletak di
Tenggara pulau Bali.
Pura Uluwatu :Sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-
Nya sebagai Rudra terletak di Barat
Daya pulau Bali.
Pura Puncak Mangu :Sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-
Nya sebagai Sangkara terletak di Barat
Laut pulau Bali,
Pura Besakih : Sthana Hyang Widhi dalam
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
8

prabhawa-Nya sebagai Sambhu terletak


di Timur Laut pulau Bali. Disamping
merupakan Pura Kahyangan Jagat
sthana Dewa Sambhu, Besakih juga
menjadi pusat Kahyangan dan
bertempat di Kadyanikang Bhuana atau
ditengah-tengah pulau Bali sebagai
sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-
Nya Siwa.
Pura Dang Kahyangan dibangun untuk menghormati jasa-
jasa para guru suci dikelompokkan berdasarkan sejarah.
Dimana pura yang dikenal sebagai tempat pemujaan
dimasa kerajaan Bali dimasukkan ke dalam kelompok Pura
Dang Kahyangan Jagat yang keberadaanya tidak bisa
dilepaskan dari ajaran Rsi Rena dalam agama Hindu.
Pura Kahyangan Desa adalah Pura yang disungsung oleh
Desa adat atau Desa Pakraman terdiri dari Kahyangan Tiga
yakni : Pura Desa atau Bale Agung tempat memuja Hyang
widhi dalam prabhawanya sebagai Dewa Brahma dan Dewi
Bhagawati berfungsi sebagai Utpeti atau Pencipta, Pura
Puseh sebagai tempat pemujaan Wisnu sebagai Pemelihara
atau Sthiti serta Pura Dalem tempat pemuja Siwa sebagai
Pralina. Selain Pura Kahyangan Tiga, beberapa Desa
Pakraman juga nyungsung pura-pura khusus yang
mempunyai kaitan sangat erat dengan sejarah berdirinya
Desa Pakraman. Pura Swagina ini dikelompokkan
berdasarkan fungsinya sehingga sering disebut pura
fungsional karena pemuja dari pura-pura ini disatukan oleh
kesamaan didalam kekaryaan atau di dalam mata
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
9

pencaharian seperti; untuk para pedagang adalah Pura


Melanting, para petani dengan Pura Subak, Pura Ulunsuwi,
Pura Bedugul, dan Pura Uluncarik. Masih banyak lagi
seperti di hotel hotel, perkantoran pemerintah maupun
swasta.
Pura Kawitan adalah Pura yang bersifat spesifik di mana
para pemujanya ditentukan oleh asal usul keturunan atau
wit dari orang tersebut. Termasuk ke dalam kategori ini
adalah: Sanggah-Pemerajan, Pratiwi, Paibon, Panti, Dadia
atau Dalem Dadia, Penataran Dadia, Pedharman dan
sejenisnya. Fungsi pura tersebut dapat dirinci lebih jauh
berdasarkan ciri khas yang dapat diketahui atas dasar ikatan
di kelompok masyarakat dalam bidang politik, ekonomi,
genelogis di sebuah wilayah pendirian pura. Berdasarkan
atas ciri-ciri tersebut ada jenis pura yang didirikan
berkaitan dengan keperluan pemerintahan atau menjadi
sebuah pertanda bukti dari sebuah kegiatan yang khusus
berkaitan dengan teritorial di suatu wilayah yang langsung
berkaitan dengan penduduk wilayah atau penguasa.
Pura Desa dan Pura Puseh, Desa Pakraman Taman
Kaja, Ubud, Gianyar dari masa ke masa.

Pura Desa dan Pura Puseh di Desa Pakraman Taman Kaja


memempunyai nilai histori yang tinggi berkaitan dengan
Desa Taman pada masa kuno yang dahulunya masih
disebut Kuwu Taman diperkirakan sudah dihuni oleh
penduduk pada abad ke 9 Masehi, berkaitan dengan
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
10

penyebaran para pengikut Rsi Ing Markandeya yang


menghuni wilayah Munduk Taro. Saat ini dipastikan
wilayah Taman masih berupa hutan dengan beberapa
penduduk yang menghuni tepian sungai dengan sebutan
Kuwu, berderet dari hulu ke hilir. Penduduk masih
mengandalkan sumber makanan dari alam tanpa budidaya.
Beberapa data menyebutkan para pengikut Rsi Ing
Markandhya, baik kedatangan yang pertama maupun
kedatangan ke dua menghuni dan bermukim disepanjang
daerah subur yang membentang dari Besakih hingga
wilayah pantai selatan. Pemujaan kepada Tuhan pada masa
ini berpusat di Gunung dan Bukit dengan ritual yang sangat
sederhana, penduduk di daerah dataran kemudian membuat
konsep pemujaan dengan Lingga, berselang beberapa puluh
tahun kemudian muncul konsep Lingga dan Yoni, Gunung
dan Lembah yang menitikberatkan pemujaan kepada Tuhan
dengan Wujud Ardhanareswari. Pada masa Bali Kuno
perkiraan tahun 1000 Masehi hingga tahun 1343 Masehi,
wilayah Taman berada dibawah pemerintahan para raja
Bali Kuno baik dinasti Warmadewa maupun Dinasti Jaya.
Salah satu dari Sang Panca Panditha, Mpu Kuturan yang
datang ke Bali pada tahun 1001 Masehi pada masa
pemerintahan Shri Gunapriya Dharmapatni dan Udayana
Warmadewa berhasil menyatukan berbagai aliran di Bali
menjadi Tri Murti Paksa. Selanjutnya beliau sebagai salah
satu anggota Pakiran-kiran I Jro Makabehan mengarahkan
seluruh penduduk Bali agar membangun Kayangan Tiga
dimasing-masing wilayah mereka yang kemudian dikenal
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
11

dengan nama Desa mengganti nama Banua yang


sebelumnya dipakai sebagai nama sekumpulan Kuwu.
Penyebaran faham Tri Murthi di wilayah Bali Tengah
diperkirakan mulai tahun 1022 Masehi, menyempurnakan
konsep Lingga Yoni sebelumnya dengan menambahkan
Kayangan Desa atau Bale Agung pada Desa yang Sudah
memiliki Kayangan Puseh atau Puser dan Kayangan
Dalem. Pada akhir kekuasaan kedua dinasti pada masa
kekuasaan Shri Astasura Ratna Bhumi Banten di Bedulu,
Kuwu Taman termasuk dalam wilayah dua bersaudara Ki
Walung Sari dan Ki Walung Singkal di Taro. Menurut
Babad Arya Kuthawaringin, kekuasaan Bali Kuno
diruntuhkan oleh Majapahit pada tahun 1343 Masehi
pasukan Majapahit dibawah pimpinan Rakrian Gajah Mada
dan Arya Damar berhasil mengalahkan pasukan Bali. Tidak
diceritakan secara rinci masa penguasaan Majapahit
terhadap Bali. Tri Murti Paksa dianut oleh penduduk Bali
hingga tahun 1520 Masehi, pada masa pemerintahan
Dhalem Gelgel, Shri Waturenggong Jaya Kepakisan. Ida
Dang Hyang Nirarta selaku Bhagawanta Gelgel kembali
menyempurnakan konsep Tri Murti yang dianut penduduk
dengan Konsep Siwa Sidanta, dengan wujud nyata
menambahkan pelinggih Padmasana pada setiap Kayangan
sebagai niyasa memuja Ida Sang Hyang Widhi dalam
pandangan Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa. Konsep ini
hingga saat ini masih menjadi acuan spiritual masyarakat
Bali pada setiap Desa Adat atau Pakraman dan pada setiap
tatanan Sanggah atau Pemrajan penduduk Hindu Bali. Pada
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
12

sekitar tahun 1713 Masehi wilayah kekuasaan Mengwi


disebelah timur Sungai Ayung dipersembahkan oleh Raja
Mengwi kepada I Dewa Agung Klungkung sebagai bukti
Mengwi mengakui I Dewa Agung Klungkung sebagai
penguasa Bali. Oleh I Dewa Agung Klungkung wilayah
tersebut kemudian dianugerahkan kepada putra beliau yang
bernama I Dewa Agung Anom yang kemudian mendirikan
Kerajaan Sukawati dengan nama abhiseka Sri Aji Maha
Sirikan, atau Sri Aji Wijaya Tanu atau dikenal oleh
masyarakat sebagai Dhalem Sukawati. Dengan wilayah
kekuasaan yang sangat luas, Sungai Pekerisan sebagai
batas wilayah timur, Pantai Gumicik sebagai batas selatan,
Sungai Ayung sebagai batas barat, dan pegunungan Batur
sebagai batas utara, seperti yang tertuang dalam pustaka
Babad Timbul, Babad Durmanggala, Babad Dalem
Sukawati dan babad-babad yang lain. Ida Sri Dewa Agung
Dalem Dimadya yang berkuasa di keraton Smarapura
menganugrahkan pusaka Ki Baru Gagak dan pusaka Ki
Malela Dawa kepada Sri Aji Wijaya Tanu sebagai bekal
spirit dalam mengatur pemerintahan di Timbul. Dalam
memegang pemerintahan Sri Aji Wijaya Tanu didampingi
oleh permaisuri beliau yang bernama Gusti Ayu Agung
Ratu yang merupakan putri dari Ki Gusti Agung Angelurah
Made Agung, penguasa Mengwi saat itu. Perjalanan Sri Aji
Wijaya Tanu dari Smarapura menuju Timbul membawa
serta pengiring pilihan dari Klungkung dipimpin oleh Kyai
Agung Ngurah Singharsa yang sebelumnya merupakan
tangan kanan dari Raja Dewata Sri Dewa Agung Dalem
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
13

Jambe. Setelah sekian lama Dhalem Sukawati menjadi raja


di Timbul, adalah lahir putra-putra beliau, dari permaisuri
lahir I Dewa Agung Jambe, I Dewa Agung Karna dan I
Dewa Agung Mayun. Setelah Sri Aji Wijaya Tanu mangkat
ke sunia loka, digantikan oleh putra beliau yang bernama I
Dewa Agung Mayun pada tahun 1733 Masehi dengan gelar
raja Ida Sri Dewa Agung Gede Dalem Agung Pamayun.
Kedua putra beliau yang lain memilih untuk menjalankan
Dharma Kepanditan dan Nyukla Brahmacari, Dewa Agung
Jambe memutuskan berpuri di Geruwang atau Puri Guwang
sekarang, sementara Dewa Agung Karna melaksanakan
Dharma Brahma Cari di Puri Ketewel. Ida Sri Dewa Agung
Gede Pamayun menjadi raja yang sangat bijaksana di
Sukawati, beliau menurunkan putra antara lain dua putra
dari dampati Ida Sri Dewa Agung Istri Mengwi bernama:
Ida Dewa Agung Gede Putra, putra keduanya bernama Ida
Dewa Agung Made Putra. Ada juga putra-putri beliau yang
lahir dari Penawing, antara lain: Ida Tjokorda Ngurah, Ida
Tjokorda Karang, Ida Tjokorda Anom, Ida Tjokorda
Tiyingan, Ida Tjokorda Tangkeban, Ida Tjokorda Ketut
Segara, Ida Tjokorda Rai Lengeng, Ida Tjokorda Gunung
dan seorang putri yang kemudian setelah dewasa diperisteri
oleh Ida I Dewa Manggis Gredeg di Puri Gianyar.
Keadaan kerajaan Sukawati aman tentram, rakyat sangat
hormat kepada beliau, laskar dalam jumlah yang besar dan
tangguh, wilayah kekuasaa beliau membentang sangat luas,
seakan membelah Bali tengah dari utara hingga pesisir
selatan. Pembangunan berjalan dengan sangat lancar,
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
14

banyak daerah-daerah kosong berupa hutan dan lembah


yang kemudian dirambah menjadi areal pertanian atau areal
pemukiman. Setelah sekian lama kerajaan Sukawati
mengalami masa keemasan, tiba pada masa prihatin, dua
orang putera mahkota Sukawati, I Dewa Agung Gede
Putera dan I Dewa Agung Made Putera berselisih faham
tentang kekuasaan setelah ayahanda beliau mangkat pada
tahun 1770 Masehi. Perbedaan faham kedua putera
Sukawati ini membuat terjadi perpecahan diantara para
pengikut Beliau, belum lagi Pendudukan I Gusti Munang,
salah seorang ksatria Badung terhadap keraton Sukawati
menambah tak menentu situasi ibukota dan wilayah
Sukawati. Sebagian penduduk Taman memilih untuk
meninggalkan daerahnya untuk bermukim di Taman
Punggul Mengwi menghindari pertumpahan darah diantara
mereka. Pada Tahun 1765 Masehi I Dewa Agung Made
membangun Puri Tegallalang, I Dewa Agung Karang
berpuri di Padang Tegal, 10 tahun kemudian Puri
Tegallalang diserahkan kepada adik beliau yang bernama
Cokorda Ketut Segara, sementara beliau berpuri di Tapesan
(Desa Negara). Tahun 1783 Masehi laskar gabungan para
putera Sukawati ini berhasil merebut kembali keraton
Sukawati dari kekuasaan I Gusti Munang. Setelah situasi
dapat dipulihkan Dewa Agung Gede didaulat untuk
menduduki tahta Puri Agung Sukawati, sementara Dewa
Agung Made beristana di Puri Agung Peliatan. Putera-
putera Dewa Agung Made yang lain seperti: Cokorda Putu
Kandel mendirikan Puri Mas (sebelum ke Ubud), Cokorda
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
15

Raka berpuri di Bedulu, dan Cokorda Perasi berpuri di


Keliki Tegallalang. Sedangkan Dewa Agung Batuan
tinggal bersama ayahnya di Puri Agung Peliatan. Adapun
putera dari Dewa Agung Gede bernama Dewa Agung Ratu
membuat Puri di sebelah Barat Pura Penataran Agung, di
sebelah puri Kaleran. Demikianlah kerajaan Sukawati
diperintah secara kolektif oleh 2 saudara dari 2 Puri, Puri
Agung Sukawati dan Puri Agung Peliatan, Dewa Agung
Gede dan Dewa Agung Made beserta dengan para putera.
Setelah berdua sama-sama lanjut usia Dewa Agung Gede
wafat, kemudian tidak lama disusul oleh Dewa Agung
Made. Pada tahun 1820 Masehi, Cokorda Putu Kandel
meninggalkan Puri Mas menuju Desa Lebih, Selanjutnya
berpuri di Tumbak Karsa Tegallalang sampai tahun 1823
Masehi. I Dewa Agung Mayun menjadi Raja Sukawati
terakhir, Cokorda Putu Kandel berpuri di Ubud dan I Dewa
Agung Jelantik berpuri di Peliatan. Wilayah kekuasaan
antara Cokorda Putu Kandel dan I Dewa Agung Jelantik
sangat susah ditentukan batas-batasnya, hal ini disebabkan
karena hubungan sangat baik diantara kedua penguasa puri
tersebut yang masih mempunyai ikatan darah sangat dekat.
Pada tahun 1835 Masehi. Dewa Agung Jelantik di
Peliatan mangkat dalam usia muda tahun 1835
Masehi, meninggalkan 2 orang putera laki-laki yang
masih kecil, yaitu: Dewa Agung Bungbungan beribu
dari permaisuri puteri Blahbatuh, dan Cokorda Rai
beribu dari penawing. Para tetua desa di perbatasan
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
16

antara Peliatan dan Ubud lebih sering menghadap ke


Ubud, karena di Peliatan Dewa Agung Bungbungan
dan Cokorda Rai masih sangat belia, sehingga jarang
bisa memberikan petunjuk berkaitan dengan berbagai
masalah sosial di Desa Adat.
Pada Rabu Umanis wuku Kulantir tahun Saka 1737 atau
tanggal 22 November 1815 terjadi gempa bumi pada
menjelang tengah malam, karena kerasnya kekuatan gempa
membuat sangat banyak pura dan bendungan rusak parah
seperti yang diungkap oleh naskah kuno yang tersimpan di
Puri Ayodya Singaraja. Laporan politik dan budaya J.
Moser banyak menuliskan tentang berbagai kegiatan politik
setelah gempa yang terjadi disekitar wilayah perkembangan
kekuasaan Sukawati terutama sekali dengan kegiatan-
kegiatan ritual yang diadakan, wiku yang menjadi
pemimpin upacara dan undangan yang bersifat sangat
khusus menandakan hirarki kekuasaan secara tak langsung.
Pajak dan upeti seperti menjadi bagian yang tidak terlalu
penting bagi penguasa dalam kaitan ikatan ritual dan
upacara-upacara keagamaan. Penduduk Taman yang
kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani mengalami
masa-masa sulit pada awal-awal abad 18 hingga
pertengahan. Dimulai dengan Gagal panen yang terjadi
akibat serangan hama tikus pada tahun 1862, setahun
kemudian penyakit kolera dan cacar menyerang desa.
Wabah kekurangan pangan dialami oleh masyarakat akibat
gagal panen di tahun 1868 menyebabkan ratusan orang
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
17

meninggal. Wabah Kolera dan Cacar menyerang sebagian


besar penduduk hingga tahun 1885. Laporan Politik Van
Eck dan Van Vlijmen menuliskan semua tentang wabah
mengerikan seperti hantu yang menyerang desa-desa tua di
Bali Tengah, termasuk Taman. Belum lagi dengan
terjadinya gempa bumi pada tahun 1888 Masehi yang
mengguncang Bali membuat penderitaan masyarakat Bali
pada tahap yang sangat memprihatinkan. Catatan penulis
Belanda, A.M. Hocart menggambarkan situasi genting
yang terjadi di wilayah ini sudah menepatkan keberadaan
pura-pura tua dan pasraman serta petirtan menjadi sangat
penting dalam sistem sosial kesejahteraan masyarakat.
Sementara Ubud menjadi sebuah wilayah yang
berkembang dengan sangat pesat dimulai pada paruh tahun
1886, dibawah kepemimpinan Tjokorda Gde Sukawati
yang mempunyai pertalian saudara dengan Puri
Tegallalang, Gentong, Petulu dan Puri Peliatan, seperti
laporan Residen ke Batavia tanggal 23 Januari 1889. Pada
bulan Mei 1891 Ubud dibantu laskar Mengwi dan Batur
menyerang dan menaklukan Negara, yang berhasil dibumi
hanguskan rata dengan tanah, hal ini membuat desa-desa
Negara mengakui kekuasaan Ubud.
Kekuasaan Belanda semakin bertambah kuat di Bali
dengan diangkatnya Van Heutsz sebagai Residen Bali
Lombok pada tahun 1905 yang kemudian membuat
kebijakan di tahun 1909, dengan membagi wilayah
Bali Selatan menjadi Divisi Administratif dibawah
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
18

seorang Asisten Residen dan terdiri dari 6 sub


wilayah, Karangasem, Bangli, Gianyar, Klungkung,
Badung dan Tabanan, masing-masing dengan satu
Controleur. Setiap daerah dipimpin oleh seorang
Punggawa. Bali selatan berada dalam wilayah
kekuasaan Residen Bali dan Lombok yang berdomisili
tetap di Singaraja tertuang dalam laporan Residen
G.F. de Bruyn Kops tahun 1909. Pada masa ini pura-
pura di Taman Ubud masih sangat sederhana dengan
jumlah prasada yang tidak terlalu banyak, dengan
bentuk bebaturan-bebaturan seakan tidak terpengaruh
oleh gejolak politik dan perubahan kekuasaan. Pura-
pura masih difungsikan masyarakat sebagai tempat
suci untuk memuja dan memuliakan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa dalam berbagai manifestasi Beliau.
Sebuah catatan yang ditulis oleh H. U. van Stenis
menulis tentang terjadinya kembali gempa dahsyat
yang melanda Bali pada tanggal 21 Januari 1917,
walaupun berlangsung kurang dari lima puluh detik,
tetapi cukup mengakibatkan kehancuran rumah-
rumah, pura, puri tak terhitung jumlahnya, banyak
jalan, bendungan yang jebol. Gempa yang menelan
korban mencapai lebih dari 1.350 orang ini juga
merobohkan dan menghancurkan pura-pura di Ubud
dan sekitarnya, tidak terkecuali pura-pura yang berada
di wilayah Taman. Walaupun tidak sangat parah
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
19

kerusakan yang dialami, tetapi cukup memerlukan


waktu yang panjang untuk memugarnya kembali.
Ida Pedanda Ngurah Blayu juga mengisahkan
kehancuran Bali, seperti yang tertuang dalam sastra
Bhuwana Winasa yang beliau tulis pada tahun 1918
Masehi, dimana beberapa bagiannya memuat tentang
diserangnya sawah-sawah penduduk oleh hama tikus
dan peperangan dikalangan orang-orang bersaudara
dan menghancurkan Bali disebabkan karena
masyarakat Bali tidak lagi mengidahkan upacara di
Pura Besakih. Tahun-tahun selanjutnya Bali Tengah
benar-benar berada dalam situasi yang sangat sulit,
wabah penyakit silih berganti menyerang penduduk,
hama tikus menyebabkan gagal panen membuat
masyarakat harus benar-benar hidup dengan sangat
seadanya untuk menyesuaikan diri. Controleur
Gianyar H.K. Yakobs menuliskan dalam buku
laporanya bahwa masyarakat miskin dengan cepat
bertambah di desa-desa yang sebelumnya hidup
berkelimpahan, pada tahun 1930 Masehi wabah
kekurangan pangan menyebar dengan lebih cepat
sehingga banyak penduduk yang tewas akibat
kelaparan. Nilai mata uang Belanda (1 rix-dolar) pada
tahun 1931 mencapai 1.375 kepeng sampai dengan
1.785 kepeng Bali. Puncak dari krisis yang dialami
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
20

Bali adalah tahun 1934 nilai tukar 1 rix-dolar


mencapai angka 2.300 kepeng uang Bali. Bali mulai
menjadi wilayah administratif kolonial Belanda pada
tahun 1909, Kerajaan-kerajaan Bali Selatan yang yang
dahulunya sangat jaya, berubah nama menjadi 6 sub
wilayah, Gianyar, Badung, Tabanan, Karangasem,
Bangli dan Klungkung. Masing-masing wilayah
dipimpin oleh seorang Punggawa dengan seorang
Controleur yang bertanggung jawab kepada Asisten
Residen, mewakili kekuasaan Residen Bali dan
Lombok yang berdomisili tetap di Singaraja seperti
yang dilaporkan dalam nota politik Residen G.F. de
Bruyn Kops tahun 1909. Ketegangan politik antara
Jepang dan Sekutu di Asia Tenggara mulai terjadi
pada tahun 1941, Jepang mulai sedikit demi sedikit
menguasai pasar di Bali, toko-toko kelontong Jepang
tumbuh bagai jamur di musim hujan, sangat laris
karena barang-barangnya jauh lebih murah dari
barang-barang Eropa. Tanggal 8 Desember 1941
meletus perang Pasifik, tentara Jepang berhasil
menghancurkan pangkalan udara Pearl Harbour di
kepulauan Hawai. Belanda dan sekutunya menyatakan
perang melawan Jepang, Bali yang merupakan bagian
dari wilayah kekuasaan Hindia Belanda tentunya juga
terimbas oleh peraturan-peraturan keadaan darurat
perang. Masyarakat Bali masih seperti biasa
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
21

melaksanakan kegiatan sehari-harinya, diakibatkan


sedikit sekali media yang menerangkan tentang
peperangan yang sedang berkecamuk antara Jepang
dan Sekutu. Perang Pasifik mungkin hanya didengar
oleh golongan-golongan intelektual dan keluarga para
raja saja, sehingga tidak terlalu merisaukan
masyarakat secara luas. Bagian pasukan Kononklijk
Nederlands Indisch Leger atau KNIL yang dibentuk di
Bali dengan nama Prayoga yang terdiri dari 1000
orang direkrut dari pemuda-pemuda Bali yang cakap
disebarkan di 4 tangsi: Buleleng, Karangasem,
Badung dan Gianyar. Mereka yang ditugaskan untuk
mempertahankan Bali dari serangan Jepang oleh
Angkatan Darat Kerajaan Belanda dibantu oleh
seluruh rakyat Bali. Tanggal 18 Februari 1942 Tentara
Jepang mendarat di Sanur dengan jumlah yang sangat
besar, setelah mengebom lapangan udara di Tuban
terlebih dahulu. Tentara KNIL semua meninggalkan
posnya masing-masing dengan ketakutan, sehingga
dengan cepat Jepang berhasil menguasai Denpasar dan
mengakhiri kekuasaan Belanda di Bali. Suasana
kondusif masih terasa di wilayah swapraja Gianyar,
penduduk seakan acuh tak acuh dengan perkembangan
politik saat itu, mereka melakukan kegiatan
kehidupannya dengan normal. Tanggal 8 Maret 1942,
Stasiun pemancar radio resmi Belanda, Nirom
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
22

menyiarkan bahwa pemerintah Hindia Belanda telah


menyerah tanpa syarat kepada Jepang sekaligus
mengakhiri perang Pasifik dan masa kekuasaan
Belanda terhadap Bali. Pura-pura yang sebelumnya
mengalami kerusakan akibat gempa tidak bisa segera
dipugar sebagaimana mestinya, karena situasi politik
swapraja Gianyar yang tidak kondusif. Masih banyak
bangunan Pelinggih yang rusak hingga ditumbuhi
rumput liar dan tanaman menjalar. Penduduk masih
bingung dengan apa yang harus mereka lakukan
berkaitan dengan pura-pura yang ada di wilayahnya.
Situasi ini dipengaruhi oleh para pemimpin swapraja
yang masih konsentrasi dalam peralihan kekuasaan
antara Hindia Belanda kepada Jepang. Para Punggawa
dan Sedahan yang bisaanya secara langsung memberi
perintah untuk melakukan perbaikan pura, jalan atau
bendungan tidak berani mengambil keputusan yang
tegas, karena masih menunggu siatuasi politik menjadi
tenang. Pemerintah militer Jepang mengakui kerajaan-
kerajaan di Bali dengan membentuk badan Panitia
kerajaan terdiri dari Punggawa, Sedahan Agung dan
seorang wakil dari Raja yang digaji oleh pemerintah
Jepang. Jepang menepatkan seorang wakilnya di
masing-masing swapraja dengan nama Syutjo yang
bertugas mengamati berbagai perkembangan di
masing masing swapraja. Syutjo ini menggantikan
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
23

kedudukan para Controleur pada jaman Hindia


Belanda, menjadi pejabat setingkat Bupati. Jepang
memulai pemerintahan tangan besinya di Bali dengan
menebar Polisi Militer yang diberi nama Kempetai
yang bertindak aktif tanpa pandang bulu. Selama
pemerintahan Militer Jepang, keadaan Masyarakat
Bali yang sudah sulit, menjadi semakin sulit, banyak
tentara yang sewenang-wenang terhadap rakyat kecil,
merampas, menyiksa dan menangkap masyarakat
yang dianggap melawan Jepang. Perhatian terhadap
fasilitas umum seperti bendungan, jalan, pasar dan
pura sangat minim. Bendungan banyak yang jebol,
jalan rusak, pasar sepi tidak terurus dan pura-pura
terbengkelai. Hal ini juga berlangsung setelah
kemerdekaan dan tahun-tahun awal pemerintahan
Republik Indonesia. Setelah diresmikannya
kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hata tanggal
17 Agustus 1945, Bali yang merupakan bagian dari
Republik Indonesia masih memerlukan waktu yang
cukup lama untuk menyesuaikan diri sebagai daerah
yang merdeka. Masih banyak terjadi gerakan
pengacau keamanan yang meresahkan kehidupan
masyarakat, sehingga penduduk tidak merasa tenang
dalam melaksanakan kewajiban hidupnya, ditambah
dengan campur tangan Belanda yang masih ingin
berkuasa di Bali. Tanggal 7 sampai dengan 24
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
24

Desember 1946 dilaksanakan Konferensi Denpasar di


pendopo Bali Hotel dibuka oleh Hubertus Johannes
van Mook bertujuan membentuk Negara Indonesia
Timur dengan ibukota Makasar. Susunan
pemerintahan Bali dikembalikan seperti pada jaman
raja-raja dulu, pemerintahan dipimpin oleh Raja
dibantu Patih, Punggawa, Prebekel dan pemerintahan
paling bawah diatur oleh Kelian. Di atas pemerintahan
raja ada dibentuk juga Dewan Raja-Raja. Dalam kurun
waktu tersebut Pura-pura di Taman masih tetap
berfungsi sebagai tempat berkumpul masyarakat saat
melakukan pertemuan atau membangun upacara
upakara.
Simbol-simbol Ida Sang Hyang Widhi di Pura Desa
dan Puseh Taman Kaja memberikan kekuatan dan
ketenangan bagi masyarakat Taman, Seluruh
penduduk desa melaksanakan kewajibannya dengan
cara swadaya, dimulai dari pemugaran pura,
pemeliharaan saluran irigasi dan upacara dilaksanakan
secara rutin, walaupun tidak secara besar-besaran.
Warga desa bahu membahu membangun dan menata
pura yang sudah lama dilindas oleh jaman yang penuh
hiruk pikuk perubahan kekuasaan dan politik.
Kebersamaan yang dibangun dilandasi oleh pikiran
ikhlas dan bakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
25

Wasa, membuat segala yang dikerjakan tidak


menemui hambatan yang berarti.
Desa Pakraman Taman Kaja adalah salah satu desa
dari 8 Desa Dinas atau Kelurahan di wilayah
Kecamatan Ubud. Secara Georafis terletak diantara -
8.50.36.21 Lintang Selatan dan 115.26.43.7,6 Bujur
Timur, dengan ketinggian 340 meter diatas permukaan
laut, dengan suhu rata-rata 27 ̊ C, kelembaban 75,50 %,
curah hujan 1.925,10 mm/detik menjadikan wilayah
Taman berhawa sejuk dan sebagian besar berupa tanah
subur yang sangat cocok untuk berbagai tanaman
pangan. Batas-batas administrasi wilayah antara lain:
Desa Tegallantang disebelah utara, Desa Kutuh
disebelah timur, Desa Padangtegal disebelah selatan
dan Desa Ubud disebelah barat.

DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
26

Desa Pakraman Taman terdiri dari 2 (dua) Tempek,


yaitu: Tempek Kaja dan Tempek Kelod.

Logo Desa Pakraman Taman Kaja dibuat berdasarkan


harapan-harapan yang tertuang dalam bentuk gambar
simbol, antara lain Lingkaran bermakna alam semesta
tempat kehidupan kita, Sastra Ong-kara bermakna Ida
Sang Hyang Widhi Yang Menjiwai semua unsur
dalam dunia. Padi dan kapas melambangkan harapan
bersama mencapai kecukupan sandang dan pangan,
rantai melambangkan ikatan dan hukum yang
mengatur seluruh penduduk Desa Pakraman Taman
Kaja. Tulisan Bali berbunyi "Udyana Praja Mukti"
Pura yang tercatat dalam Awig-awig Desa Pakraman
terdiri dari, Pura Kayangan Tiga, Pura Desa atau Bale
Agung, Pura Puseh, Pura Dalem, juga Pura Prajapati,
Pura Banjar dan Pura Beji. Dalam wilayah Desa
Pakraman juga berdiri Pura Bala Uttama dan
Tengahing Segara dengan pengempon khusus. Pura
Desa dan Puseh serta Beji piodalannya jatuh pada
setiap Budha Kliwon Gumbreg, Pura Dalem dan
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
27

Prajapati jatuh pada setiap Anggara Kliwon Tambir,


Pura Bala Uttama dan Tengahing segara jatuh pada
setiap Budha Umanis Prangbakat.

Masing-masing upacara dilaksanakan dengan ritual


Nista, Madya dan Uttama, sesuai kesepakatan krama
desa atau krama pengempon pura.
Dalam sebuah data penelitian ditemukan pada kisaran
tahun 1883 penduduk yang mediami wilayah Taman
hanya 27 kelompok keluarga yang datang dari
berbagai wilayah, sebagian besar dari Sukawati,
Mengwi dan Denbukit. Dalam usaha mengepahayu
Pura Desa dan Puseh Desa Pakraman Taman Kaja
yang diempon oleh krama Desa Pakraman Taman
Kaja sejumlah 134 Kepala keluarga, dan di
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
28

pertanggungjawabkan oleh Krama Desa Pakraman


Taman Kaja secara umum. Kini Desa Pakraman
Taman Kaja Memiliki susunan Para Juru atau
pemimpin masyarakat sebagai berikut: Bendesa Desa
Pakraman Taman Kaja dijabat oleh I Made Merta
Dwipayana, dibantu oleh I Nyoman Sarta sebagai
Wakil Bendesa, I Wayan Pering Upayaksa sebagai
Bendahara dan I Made Sueta sebagai Sekretaris.
Susunan Para Juru Banjar Adat Taman Kaja antara
lain: Kelian Banjar Adat Taman Kaja dijabat oleh I
Nyoman Wirnata, dibantu oleh I Made Sudarma
sebagai Wakil Kelian, I Wayan Suparsa sebagai
Bendahara dan I Made Widana sebagai Sekretaris.
Para Yowana Desa Pakraman Taman Kaja juga
membentuk sebuah wadah organisasi dengan nama
Sekaa Teruna Wira Kencana yang berjumlah 158
orang anggota dengan susunan pengurus sebagai
berikut: Putu Karna Sila Arta didaulat oleh organisasi
sebagai ketua dibantu oleh I Made Dwi Tenaya
sebagai Wakil I, I Putu Angga Suryawan sebagai
Wakil II, Ni Wayan Mudiyanti sebagai Sekretaris I, Ni
Putu Kharismawati sebagai Sekretaris II, Putu
Widiarta Agustyawan sebagai Bendahara I, I Wayan
Aryanta sebagai Bendahara II, I Wayan Sanjaya
sebagai Kelian Sekaa Teruna Wira Kencana Tempek
Kaja, I Wayan Ardika sebagai Kelian Sekaa Teruna
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
29

Wira Kencana Tempek Tengah dan dan I Wayan Agus


Suartawan sebagai Kelian Sekaa Teruna Wira
Kencana Tempek Kelod. Dalam berbagai kegiatan
ritual dan hiburan, wewalen Gong yang merupakan
salah satu inventaris Desa Pakraman Taman Kaja
dipertanggungjawabkan penggunaan dan
pemeliharaanya oleh organisasi sosial Sekaa Gong
Sekar Jaya beranggota sejumlah 50 orang dengan
pengurus: I Ketut Kuaya sebagai Ketua, dibantu oleh I
Made Arimbawa sebagai Bendahara dan I Wayan
Sudibia sebagai Sekretaris. Wawalen Angklung Desa
Pakraman Taman Kaja berbentuk organisasi dengan
nama Sekaa Angklung Sekar Jaya beranggota 40
orang, dengan susunan pengurus: I Nyoman Suana
sebagai Ketua, I Wayan Yudana sebagai Bendahara
dan I Nyoman Wirawan sebagai Sekretaris.
Kelengkapan Panca Gita Desa Pakraman Taman Kaja
juga dengan membentuk organisasi sosial Sekaa
Santhi Bhakti Yasa yang beranggota sejumlah 6 orang
dengan pengurus: I Putu Sadia sebagai Ketua, I Made
Surasta sebagai Bendahara dan Ni Putu Sarubi sebagai
Sekretaris.
Dalam bidang perekonomian, Desa Pakraman Taman
Kaja ditunjang oleh 2 organisasi ekonomi desa
berbentuk Lembanga Perkreditan Desa (LPD) dengan
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
30

pengurus: Ni Nyoman Sarni sebagai Ketua, dibantu


oleh Ni Wayan Astari sebagai Bendahara dan Ni
Made Mudani sebagai Sekretaris, dengan jumlah
pegawai LPD 7 orang, dan Koperasi Serba Usaha
(KSU) dengan pengurus: I Nyoman Mudana sebagai
Ketua, dibantu oleh I Made Dwi Atmaja sebagai
Bendahara dan Ni Made Nopariani sebagai sekretaris,
dengan jumlah pegawai 6 orang. Untuk kelancaran
proses srada bakti kepada beliau yang berstana di Pura
Desa dan Puseh Desa Pakraman Taman Kaja Ubud,
tercatat beberapa krama Desa yang mempunyai tugas
sebagai Pemangku Pura, antara lain: Di Pura Dalem
Desa Pakraman Taman Kaja krama desa yang
disucikan sebagai pemangku adalah: Jero Mangku
Made Sucipta, Jero Mangku Ketut Suteja, Jero
Mangku Istri Ketut Tapri dan Jero Mangku Istri
Wayan Koti. Sebagai Pemangku lanang istri di Pura
Desa Desa Pakraman Taman Kaja : Jro Mangku Made
Sumandra, Jero Mangku Istri Wayan Suwari dan Jero
Mangku Istri Made Kariasih. Pemangku Pura Puseh
Desa Pakraman Taman Kaja: Jero Mangku Wijaya
dan Jero Mangku Istri Made Aryani, Pemangku Pura
Bala Uttama dan Pura Tengahing Segara: Jero
Mangku Made Daging. Segala jenis upacara upakara
yang berkaitan dengan Panca Yadnya di Desa
Pakraman Taman Kaja diarahkan oleh Serati Desa
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
31

dengan pengurus: Ni Nyoman Soja sebagai ketua


dibantu oleh Ni Nyoman Suarti sebagai Bendahara
dan Ni Wayan Sirat sebagai Sekretaris.
Pengamanan swakarsa Desa Pakraman Taman Kaja
dilaksanakan oleh seluruh masyarakat dikoordinasikan
oleh Pecalang Desa Pakraman Taman Kaja yang
berjumlah 10 anggota dengan pengurus: I Gede
Sudwieka sebagai Ketua dibantu oleh I Nyoman
Suarta sebagai Wakil Ketua, I Nyoman Marjana
sebagai Bendahara dan I Wayan Tenaya sebagai
Sekretaris. Seluruh komponen masyarakat Taman
Kaja dengan struktur pengurus yang lengkap yang
membidangi bagian-bagian tertentu sesuai dengan
fungsi dan tugasnya masing-masing selalu
berkoordinasi dengan baik dalam upaya melaksanakan
tugas atau kewajiban. Tugas yang diemban oleh
seluruh masyarakat adalah semata-mata menciptakan
keharmonisan di lingkungan Desa Pakraman Taman
Kaja dengan Konsep Tri Hita Karana yang meliputi
wilayah Parahyangan, Pawongan dan Palemahan Desa
Pakraman.
Jajar Kemiri Pelinggih di Pura Desa dan Puseh
Desa Pakraman Taman Kaja

DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
32

Berkat kerja keras dan kesungguhan hati dari warga


desa dengan tuntunan dari para sesepuh tetua dan
manggala adat juga manggala dinas dilandasi
semangat gotong royong dan kebersamaan dalam
usaha memugar Pelinggih-pelinggih, kini Pura Desa
dan Puseh Desa Pakraman Taman Kaja yang terdiri
dari tiga mandala ini hampir semua bangunan
Pelinggihnya tergolong baru dengan bahan bata
merah, batu cadas dan kayu dengan ukiran-ukiran
berlapis cat emas. Pemugaran yang dilaksanakan
mulai tahun 1950 hingga tahun 2019 menjadikan Pura
Desa dan Puseh tampak megah dan indah. Bebaturan
yang terbuat dari batu padas dan batu bata merah
yang dipenuhi dengan ornamen-ornamen magis
kekinian. Di depan candi terpahat angka tahun 12- 11-
1954, pada tanggal inilah selesai dilaksanakan
pemugaran pura pada tahap pertama, dan
kemungkinan besar tanggal diatas adalah tanggal
dilaksanakannya upacara Karya Pemlaspas.

DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
33

Pelinggih Padmasana, terbuat dari batu padas penuh


dengan ornamen-ornamen magis, sebagai
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
34

linggih Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kata


padmasana berasal dari bahasa Sanskerta,
menurut Kamus Jawa Kuna-Indonesia yang
disusun oleh Prof. Dr. P.J. Zoetmulder terdiri
dari dua kata yaitu :“Padma” artinya bunga
teratai dan “Asana” artinya sikap duduk. Hal ini
juga merupakan sebuah posisi duduk dalam
yoga. Padmasana berasal dari Bahasa Kawi,
menurut Kamus Kawi-Indonesia yang disusun
oleh Prof. Drs. S. Wojowasito, terdiri dari dua
kata yaitu: “Padma” artinya bunga teratai, atau
bathin, atau pusat. “Sana” artinya sikap duduk,
atau tuntunan, atau nasehat, atau perintah.
Padmasana berarti tempat duduk dari teratai
merah sebagai stana suci Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan dua pendapat ini, bahwa bunga
teratai adalah simbol dari tempat duduk dari
dewa-dewa dan Hyang Widhi sehingga
Padmasana tidak lain dari gambaran alam
semesta (makrokosmos) yang merupakan stana
dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dalam Lontar Padma Bhuana, Mpu Kuturan
menyatakan bahwa Bali sebagai Padma
Bhuwana. Bunga teratai (padma) dijadikan
simbol alam semesta stana Hyang Widhi yang
sebenarnya. Dalam Lontar Dasa Nama Bunga
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
35

disebut, bunga teratai adalah rajanya bunga


(Raja Kesuma) karena hidup di tiga alam,
akarnya menancap di lumpur, batangnya di air,
sedangkan daun dan bunganya di atas air
(udara). Karenanya, bunga ini adalah simbol Tri
Loka atau Tri Bhuwana Stana Hyang Widhi
Wasa dan bunga daunnya yang berlapis-lapis
sebagai perlambang dari sembilan arah penjuru
mata angin alam semesta. Posisi padmasana
adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak
kaki dilipat ke atas, sehingga tampak seperti
posisi yang berbentuk lingkaran. Mungkin ini
tidak sesuai dengan apa yang terlihat di
lapangan, bahkan pada bagian puncak
Padmasana tampak berbentuk singhasana
berbentuk kursi persegi empat. Hal ini akan
terjawab kalau orang memperhatikan pesimpen
pancadatu atau pedagingan yang ditanamkan di
dasar, di madya, maupun di puncak dari
Padmasana. Simbol dari Padmasana
menggambarkan tingkatan alam yaitu Tri Loka
(bhur, bwah dan swah). Hal ini terlihat dari
Bhedawang Nala dengan dua naga
(Anantabhoga dan Basuki) melambangkan alam
bawah (bhur loka), badannya (padma termasuk
singhasana) melambangkan atmosfer bumi
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
36

(bwah loka). Sedangkan swah loka tidak


dilukiskan dalam wujud bangunan tetapi di
dalam pesimpen pedagingan yang berwujud
padma dan di dalam puja yang dilukiskan
dengan “Om Padmasana ya namah dan Om
Dewa Pratistha ya namah.” Padma dalam
Bahasa Bali artinya bunga teratai, dan Sana
artinya duduk. Dewa Siwa digambarkan sebagai
Dewa yang duduk di atas bunga teratai. Bunga
teratai yang berhelai delapan tepat pula sebagai
simbol delapan kemahakuasaan Sanghyang
Widhi yang disebut Asta-Aiswarya. Asta-
Aiswarya ini juga menguasai delapan penjuru
mata angin. Keistimewaan bunga padma adalah:
puncak atau mahkotanya bulat, daun bunganya
delapan, tangkainya lurus, dan tumbuh hidup di
tiga lapisan: lumpur, air, dan udara. Hal-hal ini
memenuhi simbol unsur-unsur filsafat
Ketuhanan atau Widhi Tattwa, yakni keyakinan,
kejujuran, kesucian, keharuman, dan ketulusan.
Dengan demikian Padmasana adalah simbol
yang menggambarkan kedudukan Hyang Widhi
sebagai bunga teratai, atau dapat juga dikatakan
bahwa Padmasana sebagai tuntunan batin atau
pusat konsentrasi. Dalam tattwanya, ada

DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
37

beberapa nama atau wujud Tuhan yang dipuja di


Pelinggih Padmasana, antara lain:
1. Stana Sanghyang Siwa Raditya. Dalam lontar
Siwagama diuraikan bahwa Bhatara Siwa
mempunyai murid-murid terdiri dari para dewa.
Diantaranya ada murid yang paling pintar dan
bisa meniru Siwa, murid ini adalah Bhatara
Surya; oleh karena itu Bhatara Surya dianugrahi
nama tambahan: Sanghyang Siwa Raditya dan
berwenang sebagai wakil-Nya di dunia.
2. Stana Bhatara Guru. Sebagai rasa hormat dan
terima kasih Bhatara Surya atas anugerah yang
diberikan, maka Siwa dipuja sebagai guru, dan
selanjutnya Siwa dikenal juga sebagai Bhatara
Guru.
3. Stana Bhatara Surya. Bhatara Siwa Acintiya.
Bila manusia ingin mengetahui kemahakuasaan
Bhatara Siwa, lihatlah matahari karena
mataharilah sebagai salah satu contoh asta
aiswarya-Nya, karena kehidupan di dunia
bersumber dari kekuatan energi matahari.
4.Stana Sanghyang Tri Purusa. Dalam
Wrhaspati Tattwa, Sangyang Widhi dinyatakan
sebagai Tri Purusa, yaitu: Parama-Siwa, Sadha-
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
38

Siwa, dan Siwa. Parama-Siwa, adalah


Sanghyang Widhi dalam keadaan niskala, tidak
beraktivitas, tidak berawal, tidak berakhir,
tenang, kekal abadi, dan memenuhi seluruh alam
semesta. Sadha-Siwa, adalah Sanghyang Widhi
yang beraktivitas sebagai pencipta, pemelihara,
dan pelebur. Siwa, adalah Sanghyang Widhi
yang utaprota sehingga nampak berwujud
sebagai mahluk hidup. Fungsi utama Padmasana
adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang
Maha Esa. Di situlah Tuhan dipuja dalam
fungsinya sebagai jiwa alam semesta
(makrokosmos) dengan segala aspek kemaha
kuasaa-Nya.
Padmasana adalah niyasa atau simbol stana
Hyang Widhi dengan berbagai sebutannya,
Sanghyang Siwa Raditya (dalam manifestasi
yang terlihat atau dirasakan manusia sebagai
matahari atau surya) dan Sanghyang Tri Purusa
(dalam tiga manifestasi yang manunggal yaitu
sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa).
Pelinggih Meru, Meru dalam lontar Kusumadewa,
disebutkan bahwa bangunan yang berupa meru
itu diciptakan oleh Mpu Kuturan, Saat Mpu
Kuturan menata Pulau bali ini menjadi Desa
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
39

Pekraman dengan pura-pura Kahyangan Tiga di


setiap Desa Adat. Mpu kuturan menciptakan
Meru sebagai sthana Dewa dan Dewi atau yang
sekarang disebut sebagai sthana Bhatara dan
Bhatari. Meru adalah merupakan shtana sinar
(Prabhawa Hyang Widhi) dalam berbagai wujud
Ista Dewata. Sinar (Prabhawa) adalah Div atau
sinar suci dari ida sang hyang widhi. Menurut
sumber sumber dari Lontar Wariga Winasa Sari
dan Lontar Atmaprasanga mengungkap sthana
para Dewa dewata Nawasanga berdasarkan pada
tumpang kahyangnira, sebagai berikut:
1. Meru tumpang siki (Bertingkat satu) yang
disebut juga sebagai Gedong sari atau juga
dalam sastra lontar yang lain menyebutkan
sebagai Gedong tumpang yang berfungsi
sebagai penyawangan Dewa Dewi atau Bhatara
Bhatari.
2. Meru tumpang tiga (Bertingkat tiga) menurut
lontar Wariga Winasa Sari menyebutkan bahwa
Meru Tumpang Tiga merupakan sthana Dewa
Dewi Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa),
sedangkann memurut lontar Atmaprasanga Meru
Tumpang Telu (tiga) Adalah sthana Dewa

DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
40

Sangkara yang menjaga arah barat laut


(Wayabya).
3. Meru tumpang Lima (Bertingkat Lima),
merupakan tempat untuk memuja Dewata
Nawasanga, menurut lontar Wariga Winasa Sari.
sedangkan menurut lontar Atmaprasanga adalah
sthana dewa Rudra yang menguasai arah barat
daya.
4. Meru tumapang pitu (Bertingkat tujuh)
merupakan sthana Sapta Dewata tetapi dalam
lotar Atmaprasama merupakan sthana dewa
Mahesora.
5. Meru Tumpang Siya (Bertingkat sembilan)
menurut dalam lontar wiraga winasa sari
merupakan sthana dari Dewata Nawasanga
namu didalam lontar Atmaprasana disebutkan
sebagai istana Sambhu yang menjaga arah timur
laut.
6. Meru Tumpang Solas (Bertingkat Sebelas)
didalam lontar Wiraga Winasa Sari
menyebutkan Sthana yang diguanakan untuk
memuja Dewa Siwa Lingga sedangkan
berdasarkan lontar Atmaprasanga disebutkan
sebagai istana Panca dewata
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
41

Pelinggih Ratu Nyoman Sakti Pengadangan adalah


sebuah pelinggih yang difungsikan dalam
pemujaan terhadap Manifestasi beliau sebagai
Banaspati Raja yang diyakini sebagai Pepatih
Ida Bhatara yang berkayangan di Pura Desa dan
Puseh Taman, dalam lontar Kanda Pat,
dituliskan Bhawa Beliau mempunyai rencang
Sang Bhuta Grabwag, Bhuta Sundung, Bhuta
Slusuh dan Bhuta Sendra, Ratu Nyoman Sakti
Pengadangan, diyakini sebagai pemelihara dunia
dengan berbagai wujud.
Bale Penegtegan adalah pelinggih yang difungsikan
sebagai tempat, mengolah sesuatu agar menjadi
berguna seperti peruntukannya, juga diniasakan
sebagai tempat Ida Bhatara saat mengatur segala
ciptaan Beliau untuk seluruh penduduk.
Bale Pengaruman sebagai niyasa pemujaan terhadap
Sang Hyang Taya, difungsikan sebagai tempat
menghias atau merangkai simbul, seperti
daksina pelinggih, arca, sebelum distanakan
pada bangunan suci dan tempat upakara yang
akan dihaturkan.
Bale Pelik atau Bale Pelik Sari adalah pelinggih yang
difungsikan sebagai tempat penyajian sarana dan
perlengkapan upakara upacara dalam piodalan
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
42

atau karya, sering dianggap sebagai poros atau


titik tengah dalam acara Mapurwa Daksina
untuk meningkatkan kekuatan Sattwam dan
mengurangi unsur kekuatan Rajas Tamas yang
muncul dari berbagai upacara
Pelinggih Gedong Desa adalah pelinggih yang
difungsikan sebagai tempat memuja Ida Bhatara
Brahma beserta Sakti-Nya.
Pelinggih Ratu Angelurah Agung berupa sedahan
yang sebagai media pemujaan Tuhan dalam
fungsinya sebagai pencipta kesejahteraan
material dan spiritual.
Bale Paselang, Dalam berbagai tattwa, disebutkan
bahwa Bale Peselang difungsikan sebagai ajang
pertemuan Purusa Predana dalam penciptaan
alam semesta beserta dengan isinya. Hal ini
dituangkan dalam rangkaian upacara Bhatara
Lanang Istri Tedung di Peselang. Pada setiap
upacara yang menyertakan ehedan upacara
Mapeselang, dilaksanakan di Bale Pselang.
Candi Kurung sebagai simbol Gunung, bahwa
diujung candi kurung Ida Bhatara berlingga,
karena candi kurung menyimbolkan gunung.

DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
43

Candi Bentar menyimbolkan dua unsur yang berbeda


di semesta yang saling berkaitan, yang dikenal
dengan konsep Rwa Bhineda.
Bale Kulkul dibangun berbentuk menara di barat daya
areal madya mandala pura, menyatu dengan
tembok pembatas nista mandala dan madya
mandala, disebelah selatan dari bangunan Bale
Pesanekan. Merupakan linggih Hyang Widhi
dalam manifestasi sebagai Iswara, dalam ilmu
yoga yaitu Paratma yang ada di leher atau
kerongkongan, yang berfungsi utama untuk
mengeluarkan berbagai jenis suara.
Bale Wantilan difungsikan sebagai tempat
melaksanakan hiburan, juga pertemuan-
pertemuan penting antara warga masyarakat
yang membicarakan berbagai hal yang berkaitan
dengan Pura.
Karya Padudusan Agung, Ngenteg Linggih, dan
Ngusaba Nini di Pura Desa dan Pura Puseh Desa
Pakraman Taman Kaja Ubud.
Sebagai bentuk dari rasa terima kasih dan wujud bakti
masyarakat Desa Pakraman Taman Kaja kepada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa dan manifestasi beliau yang
berparahyangan di Pura Desa dan Puseh Desa
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
44

Pakraman Taman Kaja, krama Pengempon bersepakat


menghaturkan upakara upacara Karya Padudusan
Agung, Ngenteg Linggih, dan Ngusaba Nini yang
puncaknya jatuh pada Buda Kliwon Gumbreg, tanggal
19 Juni 2019, dengan ehedan karya sebagai Berikut:
1.Nyukat Genah, pada Anggara Kliwon Tambir,
Tanggal 19 September 2018, pukul 10.00 Wita
dipuput oleh Ida Pedanda Giriya Peling Padang Tegal.
2.Nyengker Setra dan Nuwasen Karya, pada
Caniscara Wage Dukut, tanggal 4 Mei 2019 dipimpin
oleh Jero Mangku Pura Dalem, sedangkan Nuwasen
Karya dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Peling
Padang Tegal.
3.Nunas Jatu Karya, pada Redite Kliwon
Watugunung, tanggal, 5 Mei 2019, dilaksanakan oleh
Para Juru dan Prawartaka Karya.
4.Negtegan, Munggah Sunari, Ngingsah,
Nyangling, pada Anggara Pahing Watugunung,
tanggal 7 Mei 2019, pukul 10.00 Wita, dipimpin oleh
Ida Pedanda Giriya Peling Padangtegal, Ida Pedanda
Budha Giriya Gunung Sari dan Ida Pedanda Istri
Tapeni.
5. Ngendagan Bagia, Nanding Pedagingan, pada
Coma Pwon Sinta, tanggal 13 Mei 2019, dipimpin
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
45

oleh Ida Pedanda Giriya Peling Padangtegal, Ida


Pedanda Budha Giriya Gunung Sari dan Ida Pedanda
Istri Tapeni.
6. Nuhur Pekuluh, pada Redite Pwon Kulantir,
tanggal 2 Juni 2019, dilaksanakan oleh karma,
Prawartaka, dipimpin oleh Para Pemangku.
7. Nanceb Penjor, pada Redite Pwon Kulantir,
tanggal 3 Juni 2019, dilaksanakan oleh krama,
Prawartaka, dipimpin oleh Para Pemangku.
8. Mlaspas Rsi Gana, pada Anggara Kliwon Kulantir,
tanggal 4 Juni 2019, dilaksanakan di 2 tempat, di Pura
Desa dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Peling
Padangtegal dan Ida Pedanda Budha Giriya Gunung
Sari, sementara di Beji upacaranya dipimpin oleh Ida
Pedanda Giriya Batubulan.
9. Mendak Pengrajeg Karya di Taman Pule Mas,
dilaksanakan pada Budha Umanis Kulantir, Tanggal 5
Juni 2019, pukul 14.00 Wita, dipimpin oleh Ida
Pedanda Giriya Peling, Padang Tegal.
10. Mendak Prelingga dan tapakan Ida Bhatara,
dilaksanakan pada Saniscara Wage Kulantir, Tanggal
8 Juni 2019, pukul 16.00 Wita. Memendak tapakan
dan prelingga di: Pura Tamansari, Kayangan Tiga
Ubud, Kayangan Tiga Bentuyung, Kayangan Tiga
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
46

Kutuh, Pura Penataran Kutuh dan Pura Dalem Alit


Kutuh.
11. Melasti, pada Redite Kliwon Tolu, tanggal 9 Juni
2019 dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Peling
Padangtegal dan Ida Pedanda Budha Giriya Gunung
Sari. Pemendak budal dari Melasti upacaranya
dipimpin oleh Budha Giriya Gunung Sari, sementara
ayaban Ida Bhatara dipuput oleh Ida Pedanda Giriya
Batubulan.
12. Katuran dilaksanakan pada Coma Umanis Tolu,
tanggal 10 Juni 2019, pukul 18.00 Wita. bertempat di
Pura Desa Taman Kaja.
13. Katuran dilaksanakan pada Anggara Pahing Tolu,
tanggal 11 Juni 2019, pukul 18.00 Wita. bertempat di
Pura Desa Taman Kaja.
14. Mendak Bagia Pula Kerthi pada Budha Pwon
Tolu, tanggal 12 Juni 2019 di Pura Desa Ubud,
dipimpin oleh Ida Pedanda Budha Giriya Tebesaya.
Ayaban Bagia Pulakerthi dilaksanakan di Pura Desa
dan Puseh Taman Kaja dipimpin oleh Ida Pedanda
Giriya Peling Padangtegal dan Ida Pedanda Istri
Tapeni.
15. Mepepada Tawur pada Wraspati Wage Tolu,
tanggal 13 Juni 2019 dipimpin oleh Ida Pedanda
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
47

Giriya Batubulan dan Ida Pedanda Budha Giriya


Batuan.
16. Memben Banten pada Sukra Kliwon Tolu,
tanggal 14 Juni 2019, pukul 16.00 Wita dipimpin oleh
Ida Pedanda Giriya Gedampal Kerambitan.
17. Tawur Agung Pedanan, pada Saniscara Umanis
Tolu tanggal 15 Juni 2019, pukul 09.00 Wita,
dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Batubulan, Ida
Pedanda Budha Giriya Gunungsari, Ida Pedanda
Giriya Peling Baleran, dan Rsi Bhujangga Angkling.
Kekundangan Tawur dibacakan oleh Ida Bagus
Pudharta, Giriya Jukutpaku.
18. Katuran dilaksanakan pada Redite Pahing
Gumbreg, tanggal 16 Juni 2019, pukul 18.00 Wita.
bertempat di Pura Desa Taman Kaja.
19. Mepepada Wewalungan, pada Coma Pwon
Gumbreg, tanggal 18 Juni 2019, dipimpin oleh Ida
Pedanda Giriya Darmasaba dan Ida Pedanda Budha
Giriya Gunungsari.
20. Memben Banten, Mlaspas Banten, pada
Anggara Wage Gumbreg, tanggal 18 Juni 2019,
dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Kedampal,
Kerambitan.

DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
48

21. Puncak Karya, pada Budha Kliwon Gumbreg,


tanggal 19 Juni 2019, upacara di Pura Beji dipimpin
oleh Ida Pedanda Giriya Darmasaba. Upacara di Pura
Desa dan Puseh dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya
Peling Padangtegal, Ida Pedanda Budha Giriya
Gunungsari, Ida Pedanda Giriya Babakan Bitra, Ida
Pedanda Giriya Batubulan dan Ida Pedanda Giriya
Buda Batuan. Majejiwan dipuput oleh Ida Pedanda
Giriya Belega Dauhan dan Ida Pedanda Giriya
Darmasaba.
22. Nganyarin pada Wraspati Umanis Gumbreg,
tanggal 20 Juni 2019 dipimpin oleh Ida Pedanda
Giriya Peling Baleran.
23. Nganyarin pada Sukra Pahing Gumbreg, tanggal
21 Juni 2019 dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Budha
Tebesaya.
24. Bangun Ayu, Kebat Daun, Ngeremekin pada
Saniscara Pwon Gumbreg, tanggal 22 Juni 2019,
dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Budha Giriya
Gunungsari dan Ida Pedanda Giriya Batubulan.
25. Pengusaban pada Redite Wage Wariga tanggal 23
Juni 2019, dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Peling
Padang Tegal dan Ida Pedanda Giriya Gunung Sari.

DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
49

26. Nyenuk, pada Coma Kliwon Wariga, tanggal 24


Juni 2019 dilaksanakan di Pura Desa Kutuh, dipimpin
oleh Ida Pedanda Giriya Peling Padang Tegal.
Pemendak Penyenukan dilaksanakan oleh Ida Bagus
Ari Putra, Giriya Mangasrami dan Ida Bagus Putra
Yadnya. Ritual menghaturkan ayaban di Pura Desa
dan Puseh Taman Kaja dipimpin oleh Ida Pedanda
Giriya Buda Gunungsari dan Ida Pedanda Giriya
Batubulan.
27. Rsi Bhojana, pada Anggara Umanis Wariga pada
tanggal 25 Juni 2019, dipimpin oleh Ida Pedanda
Giriya Peling Padangtegal, Ida Pedanda Giriya Budha
Gunungsari, Ida Pedanda Pemuput semua.
28. Mudalang Ida Bhatara Pengrajeg, pada Budha
Pahing Wariga, tanggal 26 Juni 2019 dipimpin oleh
Ida Pedanda Giriya Peling Padangtegal. Prosesi Guru
Piduka dan Ngeluhur dipimpin oleh Ida Pedanda
Giriya Peling Padangtegal dan Ida Pedanda Giriya
Budha Gunungsari. Dilanjutkan dengan prosesi
Nuwek dan Mendem Bagia Pulakerthi dipimpin oleh
Ida Pedanda Giriya Peling Padangtegal.
29. Nyineb, Ngeruwak Setra pada Wraspati Pwon
Wariga, tanggal 27 Juni 2019 dipimpin oleh Ida
Pedanda Giriya Peling Padangtegal.
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
50

30. Nyegara Gunung, pada Redite Umanis


Warigadian, tanggal 30 Juni 2019 dilaksanakan di
Pura Tirta Empul Tampaksiring, dipimpin oleh Ida
Pedanda Giriya Peling Padangtegal.
Dengan selesainya upacara Nyegara Gunung maka
berakhirlah seluruh rangkaian upakara upacara Karya
Padudusan Agung, Ngenteg Linggih, lan Ngusaba
Nini di Pura Desa dan Puseh Desa Pakraman Taman
Kaja yang dimulai dari Tanggal 19 September 2018
hingga tanggal 30 Juni 2019. Kesadaran Krama Desa
Pakraman tentang pentingnya melaksanakan Yadnya
dilandasi dengan rasa tulus ikhlas dengan ketentuan
yang diatur oleh sastra-sastra suci Hindu Bali. Kata
Yadnya berasal dari bahasa Sansekerta, kata “Yaj”,
yang artinya memuja, mempersembahkan,
pengorbanan atau menjadikan suci. Prinsip-prinsip
yang dipegang dalam Yadnya yaitu keikhlasan,
kesucian dan pengabdian tanpa pamrih. Dalam
Atharwa Weda XVII.3 dinyatakan bentuk Yadnya
yang paling tinggi adalah pengorbanan lahir batin.
Maka dari itu semangat patriotisme yang diajarkan
dalam Bhagawadgita, Mahabharata, Ramayana sangat
tepat ksatria yang ber-Yadnya di medan perang.
Maknanya sebagai pembela tanah air, menegakkan
kebenaran dan keadilan. Yadnya sebagai amalan
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
51

agama mengandung pengertian: Merupakan sistem


persembahyangan dalam kontak memuja Tuhan Yang
Maha Esa. Sebagai prinsip berkorban agar umat
bersedia, rela dan menyadari bahwa berkorban itu
sebagai pemeliharaan kelangsungan hidup menuju
hidup bahagia.
Konsep agama Hindu adalah mewujudkan
keseimbangan, dengan terwujudnya keseimbangan,
berarti terwujud pula keharmonisan hidup yang
didambakan oleh setiap orang di dunia. Untuk umat
Hindu yang diidam-idamkan adalah terwujudnya
keseimbangan antar manusia dengan Tuhannya, antara
manusia dengan manusia, dan manusia dengan
lingkungannya. Yang dikenal dengan Tri Hita
Karana. Maka dari itu, Yadnya mutlak diperlukan.
Ada dua macam Panca Yadnya, yaitu: Panca Yadnya
berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaannya dan
Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan objek yang
dituju, Yadnya ini disebut Panca Maha Yadnya. Panca
Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaan
dalam Bisma Parwa dijelaskan:
• Drewaya Yadnya, adalah Yadnya yang
mempergunakan harta milik sebagai sarana
korban.

DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
52

• Tapa Yadnya, adalah Yadnya dengan


melaksanakan tapa, yaitu tahan uji tahan derita
sebagai sarana berkorban.
• Jnana Yadnya, adalah Yadnya dengan
menyumbangkan kebijaksanaan, ilmu
pengetahuan, memberikan pandangan-
pandangan, atau buah pikiran yang berguna,
sebagai sarana korban.
• Yoga Yadnya, adalah Yadnya dengan
pengamalan yoga, yaitu menghubungkan diri
pada Sang Hyang Widhi melalui jenjangan-
jenjangan yoga. Bahkan sampai dengan tingkat
tertinggi yakni semadhi, sebagai sarana
berkorban.
• Swadyaya Yadnya, adalah Yadnya dengan
mengorbankan diri demi kepentingan Dharma.
Seperti halnya para pahlawan kemerdekaan,
mereka mengorban kan diri demi sebuah
kemerdekaan. Ini juga disebut Yadnya.
Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan obyek yang
dituju. Dalam kitab Manawa Dharmasastra III. 70.
tersurat:
“Adhyapanam Brahma Yajnah, Pitr yajnastu
tarpanam, homo daivo balirbhaurto, nryajno ‘tithi
pujanam.”
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
53

Selanjutnya dalam Manawa Dharmasastra III.72.


bahwa’
“Devatatithi bhrtyanam, pitrnamatmanasca yah,
Na nirvapati pancanam, ucchwasanna sa jwati”.
Yang diartikan
”Tetapi ia yang tidak memberikan persembahan
kepada kelima macam tadi yaitu para dewa, para
tamunya, mereka yang harus dipelihara, para leluhur
dan ia sendiri, pada hakekatnya tidak hidup walaupun
bernafas”
Bhagawadgitha III.4. menyebutkan
Na karmanam anarambhan, Naiskarmyam puruso
snute Na ca sannyasanad eva, Siddhim
samadhigacchati
Yang artinya
Bukan dengan jalan tiada bekerja orang mencapai
kebebasan dari perbuatan. Pun juga tidak hanya
dengan melepaskan diri dari pekerjaan orang akan
mencapai kesempurnaannya
Dalam hal tersebut bahwa Karya Pedudusan Agung,
Ngenteg Linggih, lan Ngusaba Nini yang dilaksanakan
oleh krama pengempon pura merupakan wujud sradha
Bakti kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa. Dimana
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
54

seluruh komponen Krama ikut andil dalam


pelaksanaannya. Karena sesungguhnyalah alam telah
memberikan kepada kita semua untuk kita pelihara
sehingga keselarasan akan terpelihara. Setiap
pelaksanaan Yadnya yang dilakukan oleh masyarakat
Bali pada umumnya, memiliki dasar yang sangat kuat
yang berdasarkan pada sastra agama. Pada Rg.veda
X.90 yang memberikan ide pertama dilaksanakannya
yadnya menyatakan bahwa: Alam ini ada berdasarkan
yadnya-Nya (Maha Purusa), dengan yadnya Dewa
memelihara manusia & dengan yadnya manusia
memelihara Dewa. Ini berarti bahwa yang menjadi
dasar adanya alam semesta beserta isinya ini adalah
adanya yadnya Tuhan dalam manifestasinya sebagai
Maha Purusa.
Bhagavadgita III.11. menyatakan bahwa :
Para dewa akan memelihara manusia dengan
memberikan kebahagiaan, karena itu manusia
yang mendapatkan kebahagiaan bila tidak
membalas pemberian itu dengan yadnya pada
hakekatnya dia adalah pencuri
Juga dijelaskan dalam Bhagavadgitha III.14. bahwa;

DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
55

Dari makanan, makhluk menjelma, dari hujan


lahirnya makanan dan dari yadnya muncullah
hujan dan yadnya lahir dari pekerjaan
Sehingga dari keseluruhan perbuatan atau pekerjaan
tersebut, lahirlah panca yadnya. Karena keterikatan
dan timbal balik yang terjadi maka adanya hutang
yang harus dibayar, sehingga manusia yang terlahir
kedunia sudah berbekal hutang yang harus dibayar
kepada orang tuanya, dan sebagainya. Maka adanya
hutang tersebut yang disebut dengan Tri Rna.
Hal ini termuat dalam kitab Manawa dharma-sastra
VI.35 yang menyebutkan bahwa :
Pikiran (manah) yang ada dalam diri kita masing-
masing baru dapat diarahkan pada kelepasan
setelah melunasi 3 hutang yang kita miliki
Jadi sebelum kita dapat melunasi hutang-hutang itu,
kita tidak akan mencapai tujuan akhir agama Hindu
yang disebut Moksartham jagadhita ya ca iti dharma.
Semua sastra di atas mengajarkan kepada umat Hindu
agar tidak jemu-jemu melaksanakan Yadnya yang
pantas dan sesuai dengan kemampuan, yang paling
penting didasari oleh rasa tulus dan ikhlas. Seperti
halnya upacara-upacara besar, tentu memerlukan
banyak piranti upacara juga jumlah krama yang
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
56

mempunyai tugas dengan keahliannya masing-masing.


Karena sangat banyaknya pekerjaan yang harus
diselesaikan dalam melaksanakan Karya
Padudusan Agung, Ngenteg Linggih lan Ngusaba Nini
di Pura Desa dan Puseh Desa Pakraman Taman Kaja
Ubud yang puncaknya dilaksanakan pada Budha
Kliwon Gumbreg, tanggal 19 Juni 2019 ini, maka
kemudian dibentuklah Panitia atau Prawartaka Karya,
antara lain sebagai berikut :
I.Yajamana : Ida Pedanda Giriya Peling
Padangtegal
II. Pemucuk : Ida Pedanda Giriya Peling
Padangtegal
III. Tapini : Ida Pedanda Istri Giriya Peling
Padangtegal
IV.Tukang Banten
: Ida Pedanda Istri Giriya Budha Gunung Sari
: Ida Pedanda Istri Giriya Batubulan
: Ida Pedanda Istri Giriya Peling Baleran Padangtegal
: Ida Ayu Niang Ngurah, Giriya Tamansari
: Ida Ayu Niang Ketut Giriya Peling Padantegal.
: Ida Ayu Niang Mangku, Giriya Kutri
: Ida Ayu Niang Mangku, Giriya Singakerta
: Ida Ayu Niang Kerta Giriya Bunutan
: Ida Ayu Biyang Mas, Giriya Mangasrami
: Ida Ayu Biyang Ketut Giriya Delodan Bunutan
: Ida Ayu Biyang Widyastuti, Giriya Padangtegal
: Anak Agung Biyang Oka, Giriya Padangtegal
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
57

: Ida Ayu Niang Ratmadi


V.Pengelingsir Puri : Cokorda Gde Putra Nindia, SH.MH
/ Pengajeg : Drs Tjokorda Gde Putra Sukawati
: Tjokorda Raka Kerthyasa, S.Sos. MSi
VI. Penasehat : Mantan Bendesa Desa Pakraman
Taman Kaja.
I Nyoman Wirnata (Kelian Banjar
Taman Kaja)
VII. Manggala : I Made Merta Dwipayana (Bendesa
Desa Pakraman Taman Kaja)
VIII. Artaraksa : I Wayan Pering Upayaksa
: I Wayan Suparsa
IX. Penyarikan : I Made Sueta
: I Made Widana
: I Wayan Kusuma Wijaya
: I Nyoman Wirawan
X. Baga-baga
1.Baga Sulinggih
: I Putu Sadia (Koordinator)
I Made Sarna I Nyoman Jiwa
I Ketut Badra I Made Surasta
I Nyoman Meja I Made Suta
I Ketut Kuaya I Wayan Wirana
2.1.Baga Upacara, Upakara, Olahan, Banten
: I Nyoman Rupa (Koordinator)
I Ketut Purna I Wayan Pasek
I Wayan Sanggra I Made Arsana
2.2.Baga Upacara
: Tjokorda Gde Indrayana, Tjokorda
Dharmayuda, I Nyoman Jiwa (Koordinator)
Pande Wiyasa Kadek Indrawan
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
58

I Made Sudarma I Made Sarna

2.3.Baga Olahan
: I Made Darba (Koordinator)
Seleb I Made Arsana
I Wayan Matra Arjana I Wayan Suparsa
I Ketut Jati I Made Arnawa
I Made Suta I Made Marga
I Made Sutaryanta I Wayan Suparta
I Ketut Biya I Wayan Kondra
Putu Karmika
2.4.Baga Banten
: Ni Wayan Kanten (Koordinator)
Jero Mangku Istri sami Ni Nyoman Soja
Ni Made Cengkeh Ni Wayan Masih
Ni Made Kamar Desak Nyoman Sulastri
Ni Wayan Sirat Ni Nyoman Suarti
Gusti Ayu Pramesti Ni Nyoman Ariasih
Ni Wayan Reti Ni Wayan Rati
Ni Made Murni Ni Ketut Sarni
Ni Ketut Lendri Ni Nyoman Resi
Ni Ketut Mudri Desak Purnami
Ni Wayan Sari Ni Nyoman Nadi
Ni Wayan Roti Ni Made Murji
Ni Nyoman Rangki Ni Ketut Suriani
Ni Nyoman Tampiani Ni Nyoman Sarni
3.Baga Perlengkapan
: Pande Wiasa (Koordinator)
I Made Wirata I Nyoman Suarjana
I Nyoman Sutrisna I Made Sudiarka
I Wayan Suparsa Putu Karmika
I Ketut Biya I Putu Sadia
I Wayan Dana R I Ketut Sarya
4.Baga Tetangunan
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
59

: I Made Marga (Koordinator)


Putu Karmika I Wayan Mongoh D
I Wayan Regog I Ketut Jati
I Wayan Warjana I Made Darba
I Made Arnawa I Made Suta
I Nyoman Rupa I Wayan Matra Arjana
5.Baga Ancangan
: I Nyoman Karsa (Koordinator)
I Wayan Dana D I Made Rawin
I Nyoman Santra I Wayan Arya
Weta I Wayan Murja
I Ketut Ruta I Ketut Mardika
I Wayan Suasta I Made Subadra
I Wayan Darka I Made Warsa
I Nyoman Marsa I Kadek Masa
I Made Sugiyasa I Wayan Urip
I Wayan Jara I Made Lugra
I Nyoman Punia
6.Baga Dokumentasi
: I Made Sudarma (Koordinator)
I Wayan Kusuma Wijaya I Made Pering
I Wayan Sudiarta I Nyoman Suwista
I Wayan Sunarta I Made Suparna
I Putu Parwati
7.Baga Konsumsi
: Ni Ketut Narti (Koordinator)
: I Wayan Murjana
Ni Nyoman Sarni Ni Ketut Karmina
Ni Wayan Supadmi Ni Wayan Suasti
Ni Wayan Sroni Ni Wayan Sutriani
Ni Putu Ardani Ni Ketut Wasanti
Ni Nyoman Jasan Sudama
I Wayan Sujana Juliana
I Ketut Murdika
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
60

8.Baga Kebersihan
: I Nyoman Pering Upadana (Koordinator)
I Nyoman Raka Jaya Roja
I Wayan Mongoh D I Made Wijatana
I Made Wira Narsa
I Made Mandi I Wayan Danta
I Wayan Midra I Nyoman Wiranata
9.Baga Upadana, Punia
Artaraksa Upacara Upakara : I Made Wirata
: I Wayan Sutarma
Artaraksa Tetangunan : I Nyoman Mudana
: I Made Duana
Artaraksa Punia : I Putu Karna
: I Made Suaspa
: Anggota STWK
10.Baga Belanja
: Ni Made Mudani (Koordinator)
Ni Ketut Sudiari Dayu Tilem
Ni Wayan Dani Ni Wayan Nerti
Ni Wayan Karniati Ni Nyoman Arsani
Ni Wayan Sunarti Putu Widiani
Nyoman Warini Ni Made Dwi Ernita
Wayan Drani Made Suarni
I Made Dwi Atmaja I Ketut Sarya
I Made Mandi I Nyoman Mudana
11.Baga Kesenian, Dekorasi, Pesantian
11.1.Kesenian
I Ketut Kuaya (Koordinator)
Pasek Sucipta I Wayan Sumadi
I Wayan Sudirana I Made Arimbawa
I Made Parswa I Nyoman Oka
I Nyoman Sumedi Galung Awan
11.2. Dekorasi

DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
61

I Wayan Matra Arjana (Koordinator)


I Made Arnawa I Made Parswa
I Ketut Mastika I Wayan Juliarta
Nyoman Darmayasa Nyoman Edi
Anggota STWK
11.3.Pesantian
I Putu Sadia (Koordinator)
I Made Surasta I Nyoman Matra
Ni Putu Sarubi
12.Baga Transport
: Rai Atmaja (Koordinator)
Putu Wiadnyana I Wayan Sumantra
I Wayan Rama I Ketut Sarya
I Made Ginastra I Wayan Sunarta
I Made Suparna Putu Merta DP
I Made Sugiyasa I Nyoman Oka
I Wayan Sadiarta I Wayan Sutisna
I Made Wijatana I Wayan Dana R
I Putu Julian I Ketut Warjana
I Wayan Nata I Made Hermayadi
I Wayan Masna
13.Baga Keamanan
:I Gede Sudwieka (Koordinator)
I Wayan Ramia I Nyoman Rasta
I Ketut Susanto I Nyoman Suarta
I Wayan Tenaya I Nyoman Marjana
I Ketut Mertayasa I Wayan Witana
I Wayan Sukadana
14.Baga Kesehatan
: Desak Putu Udiani (Koordinator)
dr. Made Kardi dr. Made Gunawan
dr. Putu Ayu Laksmi I Wayan Suteja
Ni Made Sutarmin Ni Nyoman Triyanti
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
62

I Made Aditya Raharja Ni Wayan Eka Sasmita


Putu Hery Jaya Saputra
15.Baga Listrik, Sound, PDAM
: I Wayan Yudana (Koordinator)
Putu Wiadnyana I Nyoman Suwista
I Wayan Sukarta I Nyoman Nombong
I Ketut Biya I Made Sudiarka
16.Baga Penerima Tamu
: I Made Sarna (Koordinator)
I Ketut Badra Pande Suteja Neka
I Nyoman Meja I Made Pering
I Wayan Matra Arjana I Wayan Suparta
I Wayan Suparsa I Made Suta
Kadek Indrawan I Wayan Lantur

17.Baga Ugrawakya
: I Nyoman Lodra (Koordinator)
I Putu Sadia I Putu Budi Astama
Ni Wayan Mudianti Ni Wayan Yuniasih

Seluruh Masyarakat Desa Pakraman Taman Kaja yang


terpilih duduk dalam panitia atau Prawartaka Karya
bertugas memobilisasi masyarakat dalam usaha
mensukseskan seluruh rangkaian upacara upakara
yang diadakan di Pura Desa dan Puseh Desa
Pakraman Taman Kaja, dilaksanakan oleh seluruh
masyarakat.

DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
63

Penutup
Pada hakikatnya, bhakti terhadap Ida Sang Hyang
Widhi Wasa bisa diwujudkan oleh Umat Hindu lewat
berbagai bentuk. Rasa syukur atas anugerah Beliau,
memuja dan mensucikan Pelinggih Arcana Widhi,
membangun dan memperbaiki Pelinggih Kahyangan,
menelusuri sejarah yang erat kaitannya dengan
kehidupan sosial religius masyarakat setempat, adalah
sebagian kecil bentuk Sradha Bakti terhadap
Keagungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Membuat
kesadaran yang maha tinggi bahwa segala sesuatu
yang ada di muka dunia ini adalah berkat ciptaanNya,
berkat pemeliharaanNya, dan terakhir hanya Beliaulah
yang mempunyai kekuasaan melebur. Konsep-konsep
tersebut sudah terpatri dalam jiwa setiap masyarakat
Hindu di Bali. Semua Yadnya yang dilaksanakan oleh
umat Hindu di Bali khususnya warga Desa Pakraman
Taman Kaja merupakan salah satu jalan untuk
menciptakan hubungan yang harmonis dengan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa, harmonis dengan manusia
sekeliling dan harmonis dengan alam lingkungannya.
Pura menjadi tempat yang paling damai untuk
mencapai keharmonisan dan kesejukan jiwa dan
badan. Di Pura semua rangkaian spirit dan ritual
bergabung menjadi satu kesatuan yang bersama-sama
DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD
64

membentuk jiwa dan badan masyarakat Bali menjadi


siap menghadapi jaman yang semakin tua.
Om Santhi Santhi Santhi Om

Giriya Gunung Payangan


10 Mei 2019
..........oo0oo........

DHARMA WARNANA PURA DESA MWANG PURA PUSEH, DESA PAKRAMAN TAMAN KAJA, UBUD

Anda mungkin juga menyukai