Anda di halaman 1dari 9

Filsafat Siwa Sidanta

oleh : PUTU MUDIANTARA

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Siwaisme yang berkembang di India, merupakan asal mula dari agama Hindu. Berawal dari
kelahiran dan perkembangan paham Siwaisme di daerah Jammu dan Kashmir, di sekitar
pegunungan Himalaya (Parwata Kailasa). Di wilayah Jammu dan Kashmir, terdapat lembah
sungai Sindhu. Di lembah inilah cikal bakal kehadiran paham Siwaisme pertama kali di India,
dan berkembang pesat ke seluruh India, dan wilayah diluar India, salah satunya adalah
Indonesia.

Arti kata Saiva Siddhanta : Kata Saiva disini bermakna paham Siva, Sedangkan kata
Siddhanta bermakna ajaran agama. Jadi Saiva Siddhanta adalah paham yang berisikan ajaran
ajaran dari Tuhan Siva. Jadi dapat dikatakan bahwa (paksha atau Sampradaya) itu adalah
paham yang berkembang pesat di daerah India selatan. Begitulah perkembangan Siwaisme
sebagai pembangkit spiritual di negara asli asal agama Hindu. Adapun inti sari dari paham
Saiva Siddhanta adalah Saiva sebagai realitas tertinggi, jiva atau roh pribadi adalah intisari
yang sama dengan Saiva, walaupun tidak identik. Juga ada Pati (Tuhan), pacea (pengikat),
serta beberapa ajaran yang tersurat dalam tattva sebagai prinsip dalam kesemestaan yang
realita. Siwaisme dalam paksha Saiva Siddhanta sangat taat dengan inti ajaran Wedanta.
Selanjutnya bagaimana paham Saiva di Indonesia, dan di Bali khususnya? Siwaisme yang
eksis di Bali adalah bersumber dari salah satu sastra Hindu bernama Buana Kosa. Buana
Kosa merupakan naskah tradisional Bali khususnya salah satu sumber pembangkit spiritual
umat Hindu di Bali khususnya dan Indonesia umumnya. Karena Buana Kosa merupakan
intisari ajaran Weda yang isinya kaya dengan Siwaisme, terutama Saiva Siddhanta yang
berkembang pesat di India selatan. Buana Kosa dikatakan sebagai sumber suci pembangkit
spiritual umat Hindu di Bali untuk umat Hindu secara umum maupun di kalangan orang suci
(pandita atau sulinggih). Menjadi salah satu sumber suci bagi pemeluk Hindu di Bali,
sekaligus cikal bakal dari sumber ajaran Hindu yang eksis sampai kini di Indonesia.

Dalam susastra Hindu di Bali banyak dijumpai ajaran Saiva siddhanta. Beberapa sumber
yang dimaksud adalah Bhuwana kosa, Wrhaspati tattwa, Tattwa Jnana, Ganapati tattwa,
bhuwana Sang Ksepa, Siwa Tattwa Purana, Sang Hyang Maha Jnana, dan sebagainya.
Masih diperlukan banyak kajian mengenai Saiva Siddhanta yang diajarkan dalam susastra
Hindu di Bali. Dari sekian banyak teks atau susastra Hindu di Bali, sesuai dengan sumbernya;
maka sangat kaya dengan nilai-nilai filsafat Hindu, terlebih lagi dengan ajaran Saiva
Siddhanta.
Dari segi isinya bahwa ajaran Saiva Siddhanta ada disuratkan dalam bahasa Sansekerta,
Bahasa Jawa Kuna, Bahasa Bali, dan ada juga yang diterjemahkan artinya dalam bahasa
Indonesia. Penerapan ajaran Saiva Siddhanta di Bali sesungguhnya telah kental diterapkan
dalam kehidupan masyarakat beragama hindu di Bali sejak dahulu. Hal ini terlihat dari segi
penerapannya di desa adat atau desa pakraman yang ada di Bali. Melalui pemujaan,
persembahan, kegiatan ritual, dan sebagainya menampakan bahwa Saiva Siddhanta sangat
dipahami dan diterapkan dengan baik oleh umat Hindu di Bali.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang diatas adapun rumusan masalah yang akan kita bahas dalam
karya tulis ini adalah :

1. Bagaimana Tuhan Siwa atau Siwa Loka dalam Lontar Tutur Gong Besi?
2. Lingga merupakan lambang Tuhan Siwa?
3. Peranan Padma Tiga di Besakih sebagai konsep Tuhan Siwa?

I.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan dari karya tulis yang berupa paper ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui bagaimana Siwa Loka dan Tuhan Siwa sebagai tujuan umat Hindu di
Bali.
2. Mengetahui lambang dari Tuhan Siwa dalam bentuk Lingga.
3. Mengetahui dan memahami peranan Padma Tiga di Besakih sebagai konsep Tuhan
Siwa,dalam hujud Parama Siwa, Sada Siwa, dan Siwa itu sendiri.

I.4 Manfaat Penulisan


Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan paper Saiwa Siddhanta yaitu :

1. Mahasiswa dapat mengetahui bentuk-bentuk ajaran Saiva Siddhanta.


2. Dapat mengetahui konsep daripada ajaran Saiva Siddhanta.
3. Mengetahui lambang dan tempat pemujaan Tuhan Siwa,serta gelar beliau.

BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Tuhan Siwa atau Siwa Loka sebagai tujuan umat Hindu di Bali
Sastra agama Hindu di Bali sangat banyak diungkapkan mengenai ajaran Siwa. Dalam bahasa
yang sederhana dikatakan, Pura Dalem adalah linggih dari Ida Bhatara Dalem sebagai dewa
paling utama. Salah satu sastra agama yang menyebutkan hal demikian adalah Lontar Tutur
Gong Besi.

Arti Kata Lontar Tutur Gong Besi : Lontar adalah daun pohon lontar, Tutur adalah
petunjuk, Gong Besi adalah nama dari sebuah kitab suci Agama Hindu . Gong Besi termasuk
kelompok naskah yang memuat ajaran yang Siwaistik. Di dalam naskah ini, disebutkan
bahwa Bhatara Dalem patut dipuja dengan sepenuh hati, penuh rasa tulus iklas. Dalam setiap
pemujaannya, Ida Bhatara Dalem dapat dihadirkan (utpeti puja), distanakan (stiti puja) dan
dikembalikan (pralina puja). Persembahan bhakti yang utama kehadapan Ida Bhatara Dalem
menyebabkan orang mendapatkan kemuliaan lahir dan batin, dan pada akhirnya akan
mencapai surga loka atau siwa loka.

Arti Kata Surga Loka atau Siwa Loka : Surga Loka artinya kebahagiaan lahir batin pada
tempat yang langgeng atau abadi, Siwa Loka artinya Istana atau Stana Dewa Siwa sebagai
manifestasi dari Tuhan, Surga Loka atau Siwa Loka artinya mendapat kebahagiaan lahir batin
pada tempat yang langgeng atau abadi disisi Tuhan. Dalam hubungannya dengan sembah
bhakti (pemujaan) kehadapan beliau, sebaiknya diketahui nama atau julukan beliau. Karena
kemahakuasaan beliau sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur, beliau disebut dengan
banyak nama, sesuai dengan fungsi dan tempat beliau berstana. Ketika beliau yaitu Ida
Bhatara Dalem berstana di Pura Puseh, maka Sanghyang Triyodasa Sakti nama beliau. Ketika
berstana di Pura Desa, maka Sanghyang Tri Upasedhana sebutan beliau. Di Pura Bale Agung,
beliau dipuja sebagai Sanghyang Bhagawati. Di perempatan jalan raya beliau dipuja sebagai
Sanghyang Catur Bhuwana. Ketika beliau berstana di pertigaan jalan raya disebut dengan
Sanghyang Sapu Jagat.
Ida Bhatara Dalem ketika berstana di kuburan atau setra agung beliau dipuja dengan nama
Bethara Dhurga. Ketika kemudian beliau berstana di tunon atau pemuwunan (tempat
pembakaran mayat), maka beliau dipuja sebagai Sanghyang Bherawi. Ketika beliau dipuja di
Pura Pengulun Setra, maka beliau dinamakan Sanghyang Mrajapati. Di laut, Ida Bhatara
Dalem dipuja dengan sebutan Sangyang Mutering Bhuwana. Pergi dari laut kemudian
menuju langit, beliau dapat dipuja dengan sebutan Bhuwana Taskarapati. Taskara adalah
surya atau matahari, sedangkan pati adalah Wulan atau bulan. Kemudian ketika beliau
berstana di Gunung Agung dinamakan beliau Sanghyang Giri Putri. Giri adalah gunung, putri
adalah putra atau anak, yakni putra dari Bhatara Guru yang berstana di Sanggar Penataran,
Panti Parahyangan semuanya, dan berkuasa pada seluruh parahyangan. Pergi dari Gunung
Agung kemudian berstana beliau di Gunung Lebah, maka sebutan beliau adalah Dewi Danu.
Ketika beliau berstana di Panca Tirtha atau pancuran air, maka beliau bernama Sanghyang
Gayatri. Dari pancuran, kemudian menuju ke jurang atau aliran sungai, maka beliau
kemudian dipuja dengan sebutan Betari Gangga.

Bhatara Dalem ketika berstana disawah sebagai pengayom para petani dan semua yang ada
disawah, maka beliau dipuja dengan sebutan sebagai Dewi Uma. Di jineng atau lumbung
padi beliau dipuja dengan sebutan Betari Sri. Kemudian didalam bejana atau tempat beras
(pulu), Ida Bhatara Dalem dipuja dengan Sanghyang Pawitra Saraswati. Didalam periuk
tempat nasi atau makanan, maka beliau disebut Sanghyang Tri Merta. Kemudian di Sanggar
Kemimitan (Kemulan) yaitu tempat suci keluarga, Ida Bhatara Dalem dipuja sebagai
Sanghyang Aku Catur Bhoga. Aku berwujud laki, perempuan, dan banci. Menjadilah aku
manusia seorang, bernama Aku Sanghyang Tuduh atau Sanghyang Tunggal, di Sanggar
perhyangan stana beliau. Disebut pula beliau dengan Sanghyang Atma. Pada Kemulan Kanan
adalah ayah yakni Sang Pratma (Paratma). Pada Kemulan Kiri adalah Ibu, Sang Siwatma.
Pada Kemulan Tengah adalah dirinya atau raganya yakni roh suci yang menjadi ibu dan ayah,
nantinya kembali pulang ke Dalem menjadi Sanghyang Tunggal. Ida Bahtara Dalem adalah
Sanghyang Paramawisesa, karena semua rasa baik, rasa sakit, rasa sehat, rasa lapar dan
sebagainya adalah beliau sumbernya. Beliau adalah asal dari kehidupan, beliau memelihara
alam semesta ini, dan beliau adalah penguasa kematian, dalam air, cahaya, udara dan akasa,
tidak ada yang dapat melebihi beliau. Sehingga beliau disebut dengan Sanghyang Pamutering
Jagat. Ida Bhatara Dalem adalah Bhatara Guru atau Dewa Siwa itu sendiri sebagai sebutan
Ida Sanghayng Widhi dengan segala manifestasi beliau. Dengan segala kemahakuasaan yang
mencakup masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Sebagai pemuja atau
penyembah yang taat akan menyebut beliau dengan banyak nama sesuai dengan fungsi dan
juga dimana beliau dipuja. Demikian disebutkan dalam Tutur Gong Besi.

II.2 Lingga merupakan lambang Tuhan Siwa


Lingga merupakan lambang Dewa Siwa atau Tuhan Siwa, yang pada hakekatnya mempuriyai
arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya
bagi umat manusia yang beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan lingga
sampai saat ini pada umumnya di Bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci seperti
pada pura-pura kuno. Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang masih
tetap dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat.Di Indonesia khususnya Bali,
walaupun ditemukan peninggalan lingga dalam jumlah yang banyak, akan tetapi masyarakat
masih ada yang belum memahami arti lingga yang sebenarnya. Untuk memberikan
penjelasan tentang pengertian lingga secara umum maka di dalam uraian ini akan membahas
pengertian lingga, yang sudah tentu bersifat umum.
Lingga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti,
keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki terutama lingga Siwa dalam bentuk tiang
batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu (Zoetmulder, 2000
601). Sedangkan pengertian yang umum ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa lingga
diidentikkan dengan : linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini tidak jauh
menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu di Bali, dikatakan bahwa lingga sebagai
linggih Dewa Siwa. Petunjuk tertua mengenai lingga terdapat pada ajaran tentang Rudra Siwa
telah terdapat dihampir semua kitab suci agama Hindu, malah dalam berbagai penelitian umat
oleh arkeolog dunia diketahui bahwa konsep tentang Siwa telah terdapat dalam peradaban
Harappa yang merupakan peradaban pra-weda dengan ditemuinya suatu prototif tri mukha
yogiswara pasupati Urdhalingga Siwa pada peradaban Harappa. (Agastia, 2002 : 2) kemudian
pada peradaban lembah Hindus bahwa menurut paham Hindu, lingga merupakan lambang
kesuburan. Perkembangan selanjutnya pemujaan terhadap lingga sebagai simbol Dewa Siwa
terdapat di pusat candi di Chennittalai pada sebuah desa di Travancore, menurut anggapan
orang Hindu di India pada umumnya pemujaan kepada lingga dilanjutkan kepada Dewa Siwa
dan saktinya (Rao, 1916 : 69). Di India terutama di India selatan dan India Tengah pemujaan
lingga sebagai lambang dewa Siwa sangat populer dan bahkan ada suatu sekte khusus yang
memuja lingga yang menamakan dirinya sekte linggayat (Putra, 1975 : 104).

Mengenai pemujaan lingga di Indonesia, yang tertua dijumpai pada prasasti Canggal di Jawa
Tengah yang berangka tahun 732 M ditulis dengan huruf pallawa dan digubah dalam bahasa
Sansekerta yang indah sekali. Isinya terutama adalah memperingati didirikannya sebuah
lingga (lambang Siwa) di atas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya
(Soekmono, 1973 : 40). Dengan didirikannya sebuah lingga sebagai tempat pemujaan,
sedangkan lingga adalah lambang untuk dewa Siwa, maka semenjak prasasti Canggal itulah
mulai dikenal sekte Siwa (Siwaisme), di Indonesia. Hal ini terlihat pula dari isi prasasti
tersebut dimana bait-baitnya paling banyak memuat/berisi doa-doa untuk Dewa Siwa. Dalam
perkembangan berikutnya tradisi pemujaan Dewa Siwa dalam bentuk simbulnya berupa
lingga terlihat pula pada jaman pemerintahan Gajayana di Kanjuruhan, Jawa Timur. Hal
tersebut tercantum dalam prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M isi prasasti ini antara
lain menyebutkan bahwa raja Gajayana mendirikan sebuah tempat pemujaan Dewa Agastya.
Bangunan suci yang dihubungkan dengan prasasti tersebut adalah candi Badut yang terdapat
di desa Kejuron. Dalam candi itu ternyata bukan arca Agastya yang ditemukan melainkan
sebuah lingga. Maka disini mungkin sekali lingga merupakan Lambang Agastya yang
memang selalu digambarkan dalam Sinar Mahaguru. (Soekmono. 1973 : 41-42). Peninggalan
Arkeolog dari jaman Majapahit ialah di Sukuh dan Candi Ceto dari abad ke-15 yang terletak
dilereng Gunung Lawu daerah Karanganyar Jawa Tengah. Pada puncak candi ini terdapat
lingga yang naturalis tingginya 2 meter dan sekarang disimpan di museum Jakarta. Pemujaan
lingga di candi ini dihubungkan dengan upacara kesuburan (Kempers, 1959 102).

Berdasarkan kenyataannya yang ditemui di Bali banyak ditemukan peninggalan lingga, yang
sampai saat ini lingga-lingga tersebut disimpan dan dipuja pada tempat atau pelinggih pura.
Mengenai kepercayaan terhadap lingga di Bali masih hidup di masyarakat dimana lingga
tersebut dipuja dan disucikan serta diupacarai. Masyarakat percaya lingga berfungsi sebagai
tempat untuk memohon keselamatan, kesuburan dan sebagainya. Mengenai peninggalan
lingga di Bali banyak ditemui di pura-pura seperti di Pura Besakih, Pura-pura di Pejeng, di
Bedahulu dan di Goa Gajah.
Petunjuk yang lebih jelas lagi mengenai lingga terdapat pada kitab Lingga Purana dan
Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung. Di dalam lingga purana disebutkan sebagai berikut:

Pradhanam prartim tatca ya dahurlingam uttaman. Gandhawarna rasairhinam


sabdasparsadi warjitam.

Artinya:
Lingga awal yang mula-mula tanpa bau, warna, rasa, pendengaran dan sebagainya dikatakan
sebagai prakrti (alam).
Jadi dalam Lingga Purana, lingga merupkan tanda pembedaan yang erat kaitannya dengan
konsep pencipta alam semesta wujud alam semesta yang tak terhingga ini merupakan sebuah
lingga dan kemaha-kuasaan Tuhan. Lingga pada Lingga Purana adalah simbol Dewa Siwa
(Siwa lingga). Semua wujud diresapi oleh Dewa Siwa dan setiap wujud adalah lingga dan
Dewa Siwa. Kemudian di dalam Siwaratri kalpa disebutkan sebagai berikut:

Bhatara Siwalingga kurala sirarcanam I dalem ikang suralaya.

Artinya:
Selalu memuja Hyang Siwa dalam perwujudan-Nya Siwalingga yang bersemayam di alam
Siwa.
Jadi lingga merupakan simbol Siwa yang selalu dipuja untuk memuja alam Siwa. Kitab
Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung ini semakin memperkuat kenyataan
bahwa pada mulanya pemujaan terhadap lingga pada hakekatnya merupakan pemujaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Siwa.

Bentuk Lingga
Haryati Subadio dalam bukunya yang berjudul : Jnana Siddhanta dengan mengambil istilah
Atmalingga dan Siwalingga atau sering disebut stana dan pada Dewa Siwa atau sering
disebut sebagai ymbol kekuatan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Jnana Siddhanta disebutkan:

Pranalo Brahma visnus ca Lingotpadah Siwarcayet.

Artinya:
Salurannya ialah Brahma dan Visnu dan penampakan lingga dapat dianggap sebagai sumber
siwa.
Dalam bahasa sansekerta pranala berarti saluran air, pranala dipandang sebagai kaki atau
dasar lingga yang dilengkapi sebuah saluran air. Dengan istilah lingga pranala lalu di
maksudkan seluruh konstruksi yang meliputi kaki dan lingga, jadi lingga dan yoni. Kemudian
lingga yoni, berkaitan dengan tri purusa yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa, di mana Siwa
dinamakan lingga sedangkan Brahma, dan Wisnu bersama-sama dinamakan pranala sebagai
dasar yaitu yoni. Sebuah lingga berdiri.

Sesuai dengan uraian di atas lingga mempunyai bagian-bagian yang sangat jelas. Pembagian
lingga berdasarkan bentuknya terdiri atas: dasar lingga paling bawah yang pada umumnya
berbentuk segi empat yang pada salah satu sisinya terdapat carat atau saluran air bagian ini
disebut yoni. Di atas yoni yang merupakan bagian lingga paling bawah berbentuk segi empat
disebut dengan Brahma Bhaga, bagian tengah berbentuk segi delapan disebut Wisnu Bhaga,
sedangkan bagian atas berbentuk bulatan yang disebut Siwa Bhaga. Jadi bentuk lingga
menggunakan konsep Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) ketiga bagian lingga tersebut kiranya
dapat disamakan dengan konsepsi Bhur Bwah Swah. Lingga pada umumnya diletakkan di
atas lapik yang disebut pindika atau pitha. Bentuk lapik ini biasanya segi empat sama sisi,
segi empat panjang, segi enam, segi delapan, segi dua belas, bulat, bulat telur, setengah
bulatan, persegi enam belas dan yang lainnya. Yang paling sering dijumpai adalah Lapik yang
berbentuk segi empat (Gopinatha Rao, 1916 :99). Mengenai bentuk-bentuk dan puncak
lingga ada banyak ragam antara lain : berbentuk payung (chhatrakara), berbentuk telur
(kukkutandakara), berbentuk buah mentimun (tripusha kara), berbentuk bulan setengah
lingkaran (arddhacandrakara), berbentuk balon (budbudhasadrisa) (Gopinatha Rao, 1916 :
93).

Jenis-Jenis Lingga
Berdasarkan penelitian dan TA. Gopinatha Rao, yang terangkum dalam bukunya berjudul
Elements Of Hindu Iconografi Vol. II part 1 di sini beliau mengatakan bahwa berdasarkan
jenisnya Lingga dapat dikelompokkan atas dua bagian antara lain :

Chalalingga
Achalalingga

Chalalingga adalah lingga-lingga yang dapat bergerak, artinya lingga itu dapat dipindah-
pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa mengurangi suatu arti yang terkandung. Adapun
yang termasuk dalam kelompok lingga ini adalah:

a. Mrinmaya Lingga
Merupakan suatu lingga yang dibuat dari tanah liat, baik yang sudah dibakar. Dalam kitab
Kamikagama dijelaskan bahwa pembuatan lingga ini berasal dari tanah liat putih dan tempat
yang bersih. Proses pengolahannya adalah tanah dicampur susu, tepung, gandum, serbuk
cendana, menjadi adonan setelah beberapa lama disimpan lalu dibentuk sesuai dalam kitab
agama.

b. Lohaja Lingga
Yaitu suatu lingga yang terbuat dari jenis logam, seperti : emas, perak, tembaga, logam besi,
timah dan kuningan.

c. Ratmaja Lingga
Yaitu lingga yang terbuat dan jenis batu-batuan yang berharga seperti, permata, mutiara,
kristal, jamrud, waidurya, kwarsa

d. Daruja Lingga
Yaitu lingga yang terbuat dari bahan kayu seperti kayu sami, tinduka, karnikara, madhuka,
arjuna, pippala dan udumbara. Dalam kitab Kamikagama disebutkan juga jenis kayu yang
digunakan yaitu khadira, chandana, sala, bilva, badara, dan dewadara.

e. Kshanika Lingga
Yaitu lingga yang dibuat untuk sementara jenis-jenis lingga ini dibuat dari saikatam, beras,
nasi, tanah pekat, rumput kurcha, janggery dan tepung, bunga dan rudrasha. Sedangkan yang
dimaksud dengan Achala lingga, lingga yang tidak dapat dipindah-pindahkan seperti gunung
sebagai linggih Dewa-Dewi dan Bhatara-Bhatari. Di samping itu pula lingga ini biasanya
berbentuk batu besar dan berat yang sulit untuk dipindahkan. I Gusti Agung Gde Putra dalam
bukunya berjudul : Cudamani, kumpulan kuliah-kuliah agama jilid I, menjelaskan bagian
lingga atas bahan yang digunakan. Beliau mengatakan lingga yang dibuat dari barang-barang
mulia seperti permata tersebut spathika lingga, lingga yang dibuat dari emas disebut kanaka
lingga dan bahkan ada pula dibuat dari tahi sapi dengan susu disebut homaya lingga, lingga
yang dibuat dari bahan banten disebut Dewa-Dewi, lingga yang biasa kita jumpai di
Indonesia dari di Bali khususnya adalah linggapala yaitu lingga terbuat dari batu. Mengenai
keadaan masing-masing jenis lingga T.A. Gopinatha Rao dalam bukunya berjudul Elements
of Hindu Iconografi Vol. II part I dapat dijelaskan, sebagai berikut:

a. Svayambhuva lingga. Dalam mitologi, lingga dengan sendirinya tanpa diketahui


keadaannya di bumi, sehingga oleh masyarakat lingga yang paling suci dan lingga
yang paling utama (uttamottama).
b. Ganapatya lingga. Lingga ini berhubungan dengan Ganesa, Ganapatya lingga yaitu
lingga yang berhubungan dengan kepercayaan dibuat oleh Gana (padukan Dewa
Siwa) yang menyerupai bentuk mentimun, sitrun atau apel hutan.
c. Arsha lingga. Lingga yang dibuat dan dipergunakan oleh para Resi. Bentuknya
bundar dengan bagian puncaknya bundar seperti buah kelapa yang sudah dikupas.
d. Daivika lingga. Lingga yang memiliki kesamaan dengan Ganapatya lingga dan arsha
lingga hanya saja tidak memiliki brahma sutra (selempang tali atau benang suci,
dipakai oleh brahman).
e. Manusa lingga. Lingga yang paling umum ditemukan pada bangunan suci, karena
langsung dibuat oleh tangan manusia, sehingga mempunyai bentuk yang bervariasi.
Lingga ini umumnya mencerminkan konsep tri bhaga yang Brahma bhaga (dasar),
Wisnu bhaga (badan) dan Rudra bhaga (puncak). Mengenai ukuran panjang maupun
lebar menyamai pintu masuk tempat pemujaan utama.

II.3 Padma Tiga di Besakih sebagai konsep Tuhan Siwa

Siwa Tattwa ngaranya sukha tanpa wali duhkha. Sadasiwa Tattwa ngaranya tanpa wwit
tanpa tungtung ikang sukha. Paramasiwa Tattwa ngaranya niskala tan wenang winastwan
ikang sukha.(Dikutip Dari Wrehaspati Tattwa.50)
Maksudnya:
Hakikat memuja Tuhan Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang tidak berbalik pada
kedukaan. Memuja Tuhan sebagai Sadasiwa akan mencapai kebahagiaan yang tidak ada awal
dan tidak akhirnya. Memuja Tuhan sebagai Paramasiwa mencapai kebahagiaan niskala yang
tidak dapat dilukiskan kebahagiaan itu.

Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih sebagai sarana untuk memuja Tuhan sebagai Sang
Hyang Tri Purusa yaitu jiwa agung alam semesta. Purusa artinya jiwa atau hidup. Tuhan
sebagai jiwa dari Bhur Loka disebut Siwa, sebagai jiwa Bhuwah Loka disebut Sadha Siwa
dan sebagai jiwa dari Swah Loka disebut Parama Siwa. Pelinggih Padma Tiga sebagai media
pemujaan Sang Hyang Tri Purusa yaitu Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa. Hal ini
dinyatakan dalam Piagam Besakih dan juga dalam beberapa sumber lainnya seperti dalam
Pustaka Pura Besakih yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali tahun 1988.
Busana hitam di samping busana warna putih dan merah dari Padma Tiga bukan simbol dari
Wisnu, tetapi simbol dari Parama Siwa. Dalam Mantra Rgveda ada dinyatakan bahwa
keberadan Tuhan Yang Maha Esa yang memenuhi alam semesta ini hanya seperempat bagian
saja. Selebihnya ada di luar alam semesta. Keberadaan di luar alam semesta ini amat gelap
karena tidak dijangkau oleh sinar matahari. Tuhan juga maha-ada di luar alam semesta yang
gelap itu. Tuhan sebagai jiwa agung yang hadir di luar alam semesta itulah yang disebut
Parama Siwa dalam pustaka Wrehaspati Tattwa itu.
Busana hitam Padma Tiga yang berada di kanan atau yang mengarah ke Pura Batu Madeg itu
bukan lambang pemujaan Wisnu. Tetapi pemujaan untuk Parama Siwa yang berada di luar
alam semesta. Parama Siwa adalah Tuhan dalam keadaan Nirguna Brahman artinya tanpa
sifat atau manusia tidak mungkin melukiskan sifat-sifat Tuhan Yang Mahakuasa itu.
Sedangkan Padma Tiga yang di tengah busananya putih kuning sebagai simbol dalam Tuhan
keadaan Saguna Brahman. Artinya Tuhan sudah menunjukkan ciri-ciri niskala untuk
mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera. Putih lambang kesucian dan kuning lambang
kesejahteraan. Sedangkan busana warna merah pada Padma Tiga yang di kiri atau yang
mengarah pada Pura Kiduling Kreteg bukanlah sebagai lambang Dewa Brahma. Warna merah
dalam Pelinggih Padma Tiga yang di bagian kiri memang arahnya ke Pura Kiduling Kreteg.
Padma Tiga yang berwarna merah itu sebagai simbol yang melukiskan keberadaan Tuhan
sudah dalam keadaan krida untuk Utpati, Stithi dan Pralina. Dalam hal inilah Tuhan Siwa
bermanifestasi menjadi Tri Murti. Untuk di kompleks Pura Besakih sebagai Batara Brahma
dipuja di Pura Kiduling Kreteg. Sebagai Batara Wisnu di Pura Batu Madeg dan sebagai
Batara Iswara di Pura Gelap. Di tingkat Pura Padma Bhuwana sebagai Batara Wisnu dipuja di
Pura Batur simbol Tuhan Mahakuasa di arah utara. Dipuja sebagai Bhatara Iswara di Pura
Lempuhyang Luhur di arah timur dan sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Andakasa simbol
Tuhan Mahakuasa di arah selatan.

Sementara untuk di tingkat desa pakraman, Batara Tri Murti itu dipuja di Kahyangan Tiga.
Mengapa ajaran agama Hindu demikian serius mengajarkan umatnya untuk memuja Tuhan
Yang Maha Esa itu dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti. Salah satu ciri hidup
manusia melakukan dinamika hidup. Memuja Tuhan sebagai Tri Murti untuk menuntun umat
manusia agar dalam hidupnya ini selalu berdinamika yang mampu memberikan kontribusi
pada kemajuan hidup menuju hidup yang semakin baik, benar dan tepat. Pemujaan pada
Dewa Tri Murti itu agar dinamika hidup manusia itu berada di koridor Utpati, Stithi dan
Pralina. Maksudnya menciptakan sesuatu yang patut diciptakan disebut Utpati, memelihara
serta melindungi sesuatu yang sepatutnya dipelihara dan dilindungi disebut Stithi, serta
meniadakan sesuatu yang sudah usang yang memang sudah sepatutnya dihilangkan yang
disebut Pralina.

Demikianlah keberadaan Pelinggih Padma Tiga yang berada di Mandala kedua dari Pura
Penataran Agung Besakih. Di Mandala kedua ini sebagai simbol bertemunya antara bhakti
dan sweca. Bhakti adalah upaya umat manusia atau para bhakta untuk mendekatkan diri pada
Tuhan. Sedangkan sweca dalam bahasa Bali maksudnya suatu anugerah Tuhan kepada para
bhakta-nya. Sweca itu akan diterima oleh manusia atau para bhakta sesuai dengan tingkatan
bhakti-nya pada Tuhan. Bentuk bhakti pada Tuhan di samping secara langsung juga
seyogianya dilakukan dalam wujud asih dan punia. Asih adalah bentuk bhakti pada Tuhan
dengan menjaga kelestarian alam lingkungan dengan penuh kasih sayang, karena alam
semesta ini adalah badan nyata dari Tuhan. Sedangkan punia adalah bentuk bhakti pada
Tuhan dalam wujud pengabdian pada sesama umat manusia sesuai dengan swadharma kita
masing-masing.

Tuhan telah menciptakan Rta sebagai pedoman atau norma untuk memelihara dan melindungi
alam ini dengan konsep asih. Tuhan juga menciptakan dharma sebagai pedoman untuk
melakukan pengabdian pada sesama manusia. Dengan konsep asih, punia dan bhakti itulah
umat manusia meraih sweca-nya Tuhan yang dilambangkan di Pura Besakih di Mandala
kedua ini. Di Mandala kektiga ini tepatnya di sebelah kanan Padma Tiga itu ada bangunan
suci yang disebut Bale Kembang Sirang. Di Bale Kembang Sirang inilah upacara padanaan
dilangsungkan saat ada upacara besar di Besakih seperti saat ada upacara Bhatara Turun
Kabeh, upacara Ngusaba Kapat maupun upacara Manca Walikrama, apalagi upacara Eka
Dasa Ludra.Upacara padanaan yang dipusatkan di Bale Kembang Sirang inilah sebagai
simbol bahwa antara bhakti umat dan sweca-nya Hyang Widhi bertemu. Di Pura Penataran
Agung Besakih sebagai simbol Sapta Loka tergolong Pura Luhuring Ambal-ambal. Ini
dilukiskan bagaimana umat seyogianya melakukan bhakti kepada Tuhan dan bagaimana
Tuhan menurunkan sweca kepada umat yang dapat melakukan bhakti dengan baik dan benar.
Semuanya dilukiskan dengan sangat menarik di Pura Penataran Agung Besakih dan amat
sesuai dengan konsep Weda kitab suci agama Hindu.

BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Dalam lontar Bhuwanakosa dikatakan bahwa semua yang ada ini muncul dari Bhatara Siwa
dan akan kembali kepada-Nya juga. Dengan demikian maka Bhatara Siwa adalah sumber
segala yang ada, sama halnya dengan Brahman dalam Upanisad.

(Bhuwanakosa III, 82). Yatottamam iti sarvve, jagat tatva vva liyate, yatha sambhavate
sarvvam, tatra bhavati liyate. Sakwehning jagat kabeh, mijil sangkeng Bhatara Siwa ika, lina
ring Bhatara Siwa ya.

Semua dunia ini muncul dari Bhatara Siwa, lenyap kembali pada Bhatara Siwa juga.
Segala yang muncul dari Bhatara Siwa itu sifatnya maya, bukan yang sesungguh nya dan
merupakan dunia phenomena, yaitu dunia gajala yang tampak untuk sementara saja. Ibarat
tampaknya bayang-bayang pada cermin, yang tampaknya saja ada namun sesungguhnya tidak
ada, dan yang sesungguhnya ada berada di balik bayang-bayang itu. Adapun yang sembunyi
di balik dunia ini, yang bersifat langgeng, hanyalah Bhatara Siwa sendiri.

III.2 Saran
Sebagai mahluk ciptaan yang paling utama hendaknya kita menjaga / memelihara dunia ini
dan menjaga hubungan yang harmonis antara sesama. Semua ajaran tentang ke-Tuhanan
sangat perlu kita pelajari agar kita dapat berbuat demi kemakmuran dunia. Seperti halnya
ajaran Saiwa Siddhanta yang mengajarkan kita untuk memelihara dunia tempat kita terlahir,
tumbuh, dan mati nantinya.

Anda mungkin juga menyukai