Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

AGAMA HINDU

IMPLEMENTASI KONSEP KETUHANAN PADA HARI RAYA


GALUNGAN

Oleh :

NAMA : IDA BAGUS PUTU YOGI PRAMANA PUTRA

NIM : (1915344007)

KELAS 1A

PRODI TEKNIK OTOMASI

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO

POLITEKNIK NEGERI BALI

2019
Kata Pengantar

Om Swastyastu,

Puji syukur kami panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Yang
telah memberikan rahmat-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah
tentang “Implementasi Konsep Ketuhanan Pada Hari Raya Galungan ”.

Saya mengharapkan makalah ini dapat digunakan menjadi pedoman dalam


mempelajari kaitan ritual keagamaan dengan konsep ketuhanan Tri Purusa. Saya
sebagai penulis menyadari masih banyak kekurangan yang ada pada makalah
kami ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi kesempurnaan dalam membuat makalah pada saat waktu mendatang. Untuk
itu saya sebagai penulis mengucapkan terimakasih.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

i
Daftar Isi

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................... 1


1.2.Rumusan Masalah ........................................................................ 1
1.3.Tujuan pembahasan ...................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1.Konsep KeTuhanan Agama Hindu ...................................... ........2


2.2.Implementasi Konsep Ketuhanan Hindu di Bali ......................... 4

BAB III PENUTUP

3.1.Kesimpulan .................................................................................. 7
3.2.Saran ............................................................................................. 7

Daftar Pustaka ................................................................................................ 8

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang

Kebudayaan Hindu di Bali di dasari dengan Tri Kerangka Agama Hindu yaitu
Tattwa, susila, dan upacara. Ditinjau dari penerapannya, ketiga kerangka agama
Hindu yang paling dominan dan cenderung membudaya dalam kehidupan
beragama Hindu di Bali yaitu upacara/ ritual. Hal itu dimanifestasikan ke dalam
bentuk pengorbanan yang tulus ikhlas dan suci yang disebut dengan yadnya.
Dalam pelaksanaaan ritual/upacara nya juga sangat identik dengan simbol-simbol.

Sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa tidak berwujud dan dalam bahasa
sansekerta disebut acintya, juga demikian dalam Tri Purusa yaitu Parama Siwa
yang berarti konsep keTuhanan yang Nirgunam Brahman/ impersonal god, Tuhan
yang tak terpikirkan dan tak berwujud.

Jika yang dimaksud Tuhan tidak berwujud, hal yang menjadi pertanyaan yaitu
mengapa masyarakat Hindu Bali mempercayai dalam sistem pemujaan terdapat
simbol-simbol seperti bangunan suci, sesajen, pratima,pralingga dan lain-lain.
Dan apakah ada kaitannya konsep keTuhanan Tri Purusa dengan salah satu ritual
keagamaan misalnya Galungan. Maka untuk itu kita kaji lebih lanjut di
pembahasan.

1.2.Rumusan Masalah
a. Mengapa masyarakat Hindu di Bali banyak menggunakan simbol dalam
ritual keagamaan ?
b. Apakah ada kaitannya Tri Purusa dengan ritual keagamaan Hari Raya
Galungan dan apa implementasi ?
1.3.Tujuan Masalah
a. Menjelaskan kaitan tentang konsep keTuhanan dengan ritual keagamaan.
b. Menjelaskan fungsi simbol dalam ritual keagamaan Hindu di Bali

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Konsep KeTuhanan Agama Hindu

Konsep KeTuhanan Agama Hindu dengan Tri Purusa yang di bagi menjadi 3
yaitu :

1. Parama Siwa adalah suatu konsep keTuhanan yang Nirgunam Brahman


atau impersonal god, dimana Tuhan tidak terwujud, tida terpikirkan,
Tuhan yang Transendant dan acintya. Dalam Gita (VIII:3) ditegaskan lagi,
“Dia adalah aksaram brahma paranam svabhāvo” (‘Yang Kekal Abadi
maha Agung adalah Brahman’). Sloka ini sesungguhnya hendak
menjelaskan bahwa Brahman tanpa atribut, Yang Tunggal Kekal, tampak
seakan-akan terbagi-bagi menjadi banyak, tetapi dalam kenyataannya
tidak. Oleh karena itu, Gita (XIII:16) kembali menegaskan, “Dia sendiri
pemelihara, pemusnah, dan pencipta semua makhluk”. Sebagai pencipta,
pemelihara dan pelebur maka konsep ini terdapat pada Sada Siwa.
2. Sada Siwa adalah suatu konsep keTuhanan yang sagunam Brahman/
personal god. Tuhan yang bisa kita pikirkan, berwujud, berpribadi dan
dalam konsep Hindu di Bali disebut Tri Murti (Dewa Brahma sebagai
pencipta, Dewa Wisnu sebagai pemelihara dam Dewa Siwa sebagai
pelebur alam beserta isi nya). Hadir dimana-mana, Maha Tahu, Maha
kuasa, pengendali alam semesta dan jiwa perseorangan, penguasa hukum
alam serta mengatur alam sehingga menjadi harmonis. Hal ini ditegaskan
dalam Gita IV.6, “Walaupun Aku tak terlahirkan, kekal, Aku adalah
Isvara dari semua makhluk, Aku menjadikan diriKu sendiri dan menjadi
ada dengan kekuatan Maya-Ku”. Jadi, Tuhan tidak lahir dan tidak binasa.
Ia pencipta semua makhluk dan alam semesta, mengendalikan Sang Maya,
bereinkarnasi sesuai dengan kehendakNya.
3. Siwa Atmika adalah suatu konsep keTuhanan yang menjelaskan bahwa
Tuhan meresapi disegala makhluk ciptaannya, dan juga alam semesta

2
beserta isinya. Untuk menunjukan eksistensiNya maka dari itu dibuktikan
dengan diperjelas melalui Gita (VII:4), “Tanah, air, api, udara, ether,
pikiran, bhudi, dan ego merupakan delapan unsur alam-Ku yang terpisah”.
Tuhan menjelaskan tentang DiriNya sendiri, seperti apa adanya. Dimana
dibagi menjadi 2 yaitu unsur luar(tanah, api, air, udara ether) dan unsur
dalam (pikiran, budi daan ego). Namun kedelapan unsur ini dapat binasa,
pengertian dari keberadaan adalah sesuatu yang selalu ada, tak pernah
berhenti ada, dan tidak mengalami perubahan. Keberadaan yang kekal
seperti itu dijelaskan dalam Gita (VII:5), “apareyam itas tv anyām
prakrtim viddhi me parām, jīva-bhūtām mahā-bāho yeyedam dhāryate
jagat”. (‘Inilah prakrtiKu yang lebih rendah, tetapi berbeda dengannya
ketahuilah prakrtiKu yang lebih tinggi. Unsur hidup, yaitu jiwa yang
mendukung alam semesta ini’). Jadi SifatNya yang lebih tinggi disebut
para-prakrti, yaitu Jiwa sebagai inti kekuatan dari penunjang hidup yang
terdapat dalam diri setiap makhluk yang menyatu dengan dunia. Tanpa
Sang Jiwa, dunia benda dan makhluk hidup tidak akan ada. Sang Jiwa
inilah sebenarnya napas dari kehidupan, yaitu inti asal-mula dari semua
makhluk di alam semesta. Jadi, arti keberadaan bukanlah pada bentuk
fisiknya, tetapi pada hidup yang mendukung keberadaan itu. Arti
keberadaan ini dalam Gita (VII:6) dijelaskan, “Ketahuilah bahwa
keduanya ini merupakan kandungan dari semua makhluk; dan Aku adalah
asal-mula dan leburnya alam semesta ini”. Jadi, semua benda hidup dan
benda mati dalam alam semesta ini berasal dari Brahman atau Tuhan Yang
Maha Esa. Brahman adalah sumber atau inti dari setiap jiwa. Alam
semesta bergerak terus-menerus dalam gerakan melingkar dan memutar,
yaitu lingkaran manifestasi dan kemusnahan kehidupan. Semua itu
terserah kepadaNya untuk mengatur sesuai dengan kehendakNya sehingga
makhluk dan benda-benda di alam semesta ini datang, tinggal, dan
kembali kepadaNya. Yang Maha Esa itu Satu untuk semuanya dan hadir
untuk semuanya. Maka demikian dengan konsep Siwa Atmika ini Tuhan
dapat diartikan bahwa Tuhan meresapi disegala makhluk ciptaannya baik

3
benda mati maupun benda hidup. atau dapat juga diistilahkan wyapi
wyapaka (Tuhan berada dimana-mana).

2.2. Implementasi Konsep Ketuhanan Hindu di Bali pada Ritual Hari


Raya Galungan

Galungan adalah hari dimana kebenaran (dharma) melawan


kejahatan (adharma). Atau kemenangan sifat Daiwisampad yang berarti
baik dan mulia melawan Asurisampad yang berarti sifat jahat yang terdapat
dalam diri manusia. Untuk dapat meraih kemenangan ini maka seseorang
harus dapat berjalan di jalan dharma dan dapat melawan sifat adharma.
Seperti yang disampaikan dalam sloka Manawa Dharma Sastra (VIII:15)
yang mana menyatakan : “Dharma yang dilanggar akan menghancurkan
pelanggarnya. Dharma yang dipelihara akan melindungi pemeliharanya.
Oleh karnanya dharma jangan sampai dilanggar, melanggar dharma akan
menghancurkan diri kita sendiri “

Untuk dapat berjalan di jalan Dharma, seorang harus dapat


menahan godaan atau nafsu (kama) sebagai mana di nyatakan pada
Bhagawad Gita (III: 41) yang menyatakan : “ Dari itu, pertama-tama
kendalikanlah panca indramu dan basmilah nafsu yang penuh dosa, perusak
segala pengetahuan dan kebijakan, wahai Arjuna yang baik”. Nafsu tentu
ada disetiap individu, nafsu atau kama ini merupakan hal yang alamiah
yang dapat meningkatkan gairah atau semangat seseorang, baik besar
ataupun kecil kama ini harus tetap dikendalikan secara bijaksana agar kelak
tidak masuk ke sifat buruk manusia sad ripu. Memang sulit untuk
menghadapi sifat tersebut terutama kama atau nafsu karena hanya dengan 2
cara menghadapinya yaitu dengan disiplin melakukan hal yang baik dan
berusaha agar tidak terikat pada keinginan sehingga dapat melakukan
pembebasan diri dari kama.

4
Dengan kemenangan Dharma telah diraih maka umat Hindu di Bali
menyimbolkan penjor untuk dipasang pada saat sehari sebelum galungan
yaitu penampahan galungan.berdasarkan lontar Tutur Dewi Tapini bahwa
Bahan dari penjor pun memiliki arti sebagai simbol manifestasi Brahman
yaitu :

1. Bambu sebagai simbol dari kekuatan Dewa Brahma/ Hyang


Brahma
2. Kelapa sebagai simbol dari Hyang Rudra
3. Kain kuning dan janur sebagai simbol dari Hyang Mahadewa
4. Daun-daunan(plawa) sebagai simbol dari Hyang Sangkara
5. Pala Bungkah dan pala gantung segabai simbol dari Hyang
Wisnu
6. Tebu sebagai simbol dari hyang Sambu
7. Padi sebagai simbol dari Hyang Sri
8. Kain putih sebagai simbol dari Hyang Iswara
9. Sanggah sebagai simbol dari Hyang Siwa
10. Upakara sebagai simbol dari Hyang Parama Siwa dan Hyang
Sadha Siwa

Nah ini merupakan beberapa simbol dari sekian banyaknya simbol-


simbol yang ada pada saat ritual keagamaan Hindu di Bali. Simbol-simbol
pada penjor juga mengacu ke Tri Purusa terutama di Sada Siwa yang mana
Tuhan dapat kita pikirkan namun hanya terbatas, bahwa Tuhan itu
berwujud dan personal/ berpribadi yang mana Tuhan bermanifestasi
menjadi Tri Murti atau para dewa lainnya pun juga merupakan manifestasi
Tuhan. Selain itu semua simbol-simbol yang ada di setiap ritual memiliki
fungsi sebagai tujuan agar dapat fokus terhadap suatu obyek yang bisa
manusia pikirkan. Hal ini masuk ke konsep Siwa Atmika dimana Tuhan
meresapi benda hidup maupun benda mati.

5
Walau demikian tetap saja Tuhan hanya satu tak ada duanya,
manusia pun juga dapat memikirkanNya hanya Terbatas karena salah satu
konsep keTuhanan yaitu bahwa Tuhan tak terpikirkan walaupun seolah-
olah Tuhan terbagi menjadi banyak, tapi kenyataannya tidak. Maka
manusia hanya dapat menyimbolkan manifestasiNya saja dan tentu tak
dapat memikirkan wujud dari Tuhan/Brahman.

6
BAB III

PENUTUP

3.1.Kesimpulan

Parama Siwa adalah suatu konsep keTuhanan yang Nirgunam


Brahman atau impersonal god, dimana Tuhan tidak terwujud, tida
terpikirkan, Tuhan yang Transendant dan acintya. Sada Siwa adalah suatu
konsep keTuhanan yang sagunam Brahman/ personal god. Tuhan yang bisa
kita pikirkan, berwujud, berpribadi dan dalam konsep Hindu di Bali disebut
Tri Murti. Siwa Atmika adalah suatu konsep keTuhanan yang menjelaskan
bahwa Tuhan meresapi disegala makhluk ciptaannya, dan juga alam
semesta beserta isinya.

Jadi kaitan konsep keTuhanan terhadap ritual Galungan


yakni terdapat pada simbol di ritual hari raya Galungan. Simbol-simbol
pada penjor yang mengacu ke Tri Purusa terutama di Sada Siwa yang mana
Tuhan dapat kita pikirkan namun hanya terbatas, bahwa Tuhan itu
berwujud dan personal/ berpribadi yang mana Tuhan bermanifestasi
menjadi Tri Murti atau para dewa lainnya pun juga merupakan manifestasi
Tuhan. Selain itu semua simbol-simbol yang ada di setiap ritual memiliki
fungsi sebagai tujuan agar dapat fokus terhadap suatu obyek yang bisa
manusia pikirkan. Hal ini masuk ke konsep Siwa Atmika dimana Tuhan
meresapi benda hidup maupun benda mati.

3.2.Saran

Demikianlah makalah yang saya buat, semoga dapat bermanfaat bagi


pembaca. Apabila ada saran dan kritik yang ingin disampaikan, sangat
dipersilahkan sampaikan kepada saya agar dapat dibenahi jika terdapat kekeliruan.
Apabila terdapat kesalahan mohon maaf dari saya karena manusia tak luput dari
kesalahan, terimakasih.

7
DAFTAR PUSTAKA

Refrensi :

Putra,Md.2016.MAKNA PENJOR UPACARA. (diakses kembali pada tanggal


13 Desember 2019) dari https://www.bulelengkab.go.id/detail/artikel/
makna-penjor-upacara-38.

Wiguna,Made.2014.WEDA DAN TRADISI UMAT HINDU DI BALI. (diakses


kembali pada tangal 14 Desember 2019) dari
http://arsawigunamade.blogspot.com/2014/04/weda-dan-tradisi-umat-
hindu-di-bali.html.

Sukadana,Nyoman.2019.HARI SUCI GALUNGAN. (diakses kembali pada tanggal


13 Desember 2019) dari https://www.malukuterkini.com/2019/07/24/hari-
suci-galungan/.

Prabhu,Wirabhrada.2011.KONSEP KETUHANAN MENURUT BHAGAVAD


GITA. (diakses kembali pada tanggal 15 desember 2019) dari
https://www.narayanasmrti.com/2011/11/konsep-ketuhanan-menurut-
bhagavad-gita/.

Susila,Dharma.2016.Kuningan di Bali. (diakses kembali pada tanggal 15


Desember 2019) dari http://www.phdisumsel.or.id/phdi/sejarah-rangkaian
hari-raya-galungan-dan-kuningan-di-bali.

8
Kutipan sloka :

Bhagavad Gita (VIII:3)

Bhagavad Gita (XIII:16)

Bhagavad Gita (IV:6)

Bhagavad Gita (VII:4)

Bhagavad Gita (VII:5)

Bhagavad Gita (VII:6)

Anda mungkin juga menyukai