DESKRIPSI OBJEK
Pura
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) :
Pu ra kl n kota; negeri
Pu ra n istana
pura yang berkaitan dengan kematian; -- jagad pura untuk semua umat Hindu;
-- laba sawah yang hasilnya diperuntukkan bagi pemeliharaan pura; -- subak
pura untuk anggota subak
Dalam bahasa Sanskerta.
Pura berasal dari bahasa Sanskerta –pur, -puri, -pura, -puram, -pore, yang
artinya adalah kota berbenteng atau kota dengan menara atau istana.
Menurut Prof. Dr. I Gst. Ngoerah Gde Ngoerah, dkk.
Pada hakikatnya, pura adalah suatu tempat suci dan tempat untuk menyucikan
diri.
Kaja
Berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya Utara.
Segara
Jenis Pura yang berada di pinggir atau di atas laut.
Nirmala
Berasal dari bahasa Sanskerta. Terdapat dua penggalan kata yaitu “Nir” yang
artinya jauh dan “Mala” yang artinya malang, luka, penyakit.
9
yang datang menunaikan ibadahnya di Pura Kaja Segara Nirmala dapat dihindarkan
dari segala kemalangan atau hal-hal buruk.
Sama seperti Pura pada umumnya, Pura Segara berfungsi sebagai (1) sarana
peribadatan bagi umat Hindu dalam usahanya melakukan penyerahan diri dan
mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa sehingga dapat meningkatkan
kualitas umat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Di tempat suci
seperti Pura, diharapkan manusia dapat mengembangkan dirinya untuk saling mengenal
diantara sesama umat sehingga Tri Kerukunan dapat terwujud.2
Pura Segara juga digunakan oleh umat Hindu untuk (2) melakukan upacara–
upacara yang bersifat keagamaan. Perbedaan Pura Segara dengan Pura lainnya
terletak pada beberapa upacara yang hanya bisa dilakukan di Pura Segara (karena
upacara dilangsungkan atau mengambil tempat di pantai/laut), yakni seperti :
- Melasti
Upacara penyucian manusia dan kehidupannya di mana sebelum Hari Raya
Nyepi wajib dilakukan dengan bersembahyang dan mandi di tepi pantai.
Dipercaya bahwa unsur-unsur jahat / buruk manusia nantinya akan dibuang
dan dilarung ke lautan
- Ngaben
Upacara tabur abu jenazah di laut
- Banyu Pinaruh
Banyu artinya “air”, Pinaruh artinya “pengetahuan”. Merupakan upacara
yadnya yang dilakukan setelah hari raya Saraswati (hari raya ilmu
pengetahuan), yang bertujuan untuk pembersihan dan kesucian diri. Umat
membersihkan badan dan keramas pada sumber-sumber air atau di laut.
Secara keseluruhan, kegiatan upacara dapat dibagi menjadi lima macam upacara
(Panca Yadnya). Panca Yadnya merupakan lima pokok penuntun pelaksanaan upacara
Yadnya, yaitu :
Dewa Yadnya. Upacara memuji Sang Hyang Widhi di Pura, sanggah atau
pemerajan
2
Tri Kerukunan : kerukunan sesama umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan
antar umat beragama dan pemerintah.
10
Rsi Yadnya. Upacara untuk para pandita atau orang suci yang telah memimpin
upacara demi keselamatan bersama.
Pitra Yadnya. Upacara untuk roh-roh leluhur yang telah mengadakan, melahirkan,
dan memelihara manusia, guna mendoakan leluhur agar mencapai surga , alam
sunya, cepat mencapai moksa dan mencapai murea atau menyatu dengan Tuhan.
Manusa Yadnya. Upacara terhadap manusia agar menjadi suputra 3, selamat,
sejahtera, luhur budinya, sehingga melahirkan masyarakat susila.
Bhuta Yadnya. Upacara korban untuk para Bhuta, yaitu Panca Maha Bhuta terdiri
dari Akaca (Angkasa), Bayu (Angin), Teja (Api), Apah (Air), dan Pertiwi (Tanah)
sampai Bhuta-Kala yang dipercaya ikut menyelamatkan masyarakat atau roh
kekuatan di luar manusia yang kasat mata.
Disamping tempat beribadah, Pura juga berfungsi sebagai tempat untuk melakukan
pembinaan rohani, dalam rangka mempertebal keyakinan umat Hindu terhadap ajaran
agamanya. Biasanya teradapat bangunan terpisah semacam kelas di samping Pura yang
dipergunakan sebagai tempat pembinaan keagamaan.
3
Berasal dari bahasa Sanskerta. “Suputra”, Su artinya Baik, Putra artinya Anak. Suputra adalah anak
yang baik atau mulia
11
Tua, Prasasti Talangtuo, Prasasti Telaga Batu, dan Prasasti Karang Berahi pada masa
pemerintahan Sriwijaya di Palembang, Sumatra Selatan. Selanjutnya pada masa
kerajaan Mataram Jawa Tengah diketemukan Prasasti Canggal, bertahun 732 Masehi,
berhuruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Sedangkan di Jawa Timur pada masa wangsa
Isyana dengan rajanya Airlangga (963 M, Saka 1041), ditemukan prasasti yang
berbahasa Sansekerta. Pada pemerintahan Empu Sindok (929-948 Masehi) ditemukan
sekitar 20 prasasti, sebagian besar ditulis di atas batu. Selanjutnya diketahui pada masa
pemerintahan Kediri dan Singosari serta pada kerajaan Majapahit. Sedang di Bali di
Bedahulu, putra raja di Balingkang dan masa pemerintahan raja Sri Dharma Udayana
Warmadewa dengan dibangunnya konsep Tri Murti, Kahyangan Tiga dan Kahyangan
Jagad oleh Mpu Kuturan. Selanjutnya diketahui juga bukti-bukti itu pada masa kerajaan
Gelgel (Wangsa Krsna Kapakisan) dan Raja Udayana, dengan dibangunnya Pura Sad
Kahyangan yaitu Pura Purancak dan Rambut Siwi di Kabupaten Jembrana; Pura Pulaki,
Pura Melanting, Pura Ponjok Batu di Kabupaten Buleleng; Pura Tanah Lot di
Kabupaten Tabanan; Pura Peti Tenget dan Pura Ulu Watu Kabupaten Badung; Pura
Watu Klotok di Kabupaten Klungkung; dan Pura Air Jeruk di Kabupaten Gianyar.
Di samping untuk mengetahui periodisasi gambaran perkembangan Agama Hindu
secara faktual sejak awal perkembangannya sampai sekarang, juga untuk lebih
memberikan pemahaman tentang makna yang terkandung dalam proses
perkembangannya itu.
2.2.2 Filosofi
2.2.2.1 Agama Hindu
Ada tiga kerangka dasar yang membentuk ajaran agama Hindu, ketiga kerangka
tersebut sering juga disebut tiga aspek agama Hindu. Ketiga kerangka dasar itu antara
lain :
Tattwa, yaitu pengetahuan tentang filsafat agama
Susila, yaitu pengetahuan tentang sopan santun, tata krama
Upacara, yaitu pengetahuan tentang Yadyna, upacara agama
12
1. Brahman ( Percaya akan adanya Hyang Widhi )
Hyang Widhi adalah yang menakdirkan, maha kuasa, dan pencipta semua
yang ada. Kita percaya bahwa beliau ada, meresap di semua tempat dan mengatasi
semuanya “Wyapi Wyapaka Nirwikara “. Di dalam kitab Brahman Sutra
dinyatakan “ Jan Ma Dhyasya Yatah “ artinya Hyang Widhi adalah asal mula dari
semua yang ada di alam semesta ini. Dari pengertian tersebut bahwa Hyang
Widhi adalah asal dari segala yang ada. Kata ini diartikan semua ciptaan, yaitu
alam semesta beserta isinya termasuk Dewa – Dewa dan lain sebagainya, berasal
dan ada di dalam Hyang Widhi. Tidak ada sesuatu di luar diri Beliau. Penciptaan
dan peleburan adalah kekuasaan Beliau. Agama Hindu mengajarkan bahwa
Hyang Widhi Esa adanya tidak ada duanya. Hal ini dinyatakan dalam beberapa
kitab Weda antara lain :
Dalam Chandogya Upanishad dinyatakan :
“ Om tat Sat Ekam Ewa Adwityam Brahman”
“Hyang Widhi hanya satu tak ada duanya dan maha sempurna.”
13
utama, yaitu Brahman (yang tidak terpikirkan), Paramaatma (Berada dimana-
mana dan meresapi segalanya), dan Bhagavan (berwujud).
14
Jelaslah atma itu sifatnya sempurna. Tetapi pertemuan antara atma dengan
badan yang kemudian menimbulkan ciptaan menyebabkan atma dalam keadaan
“Awidhya“. Awidhya artinya gelap, lupa kepada kesadaran . Awidhya muncul
karena pengaruh unsur panca maha butha yang mempunyai sifat duniawi.
Sehingga dalam hidup ini atma dalam diri manusia di dalam keadaan awidhya.
Dalam keadaan seperti ini kita hidup kedunia bertujuan untuk menghilangkan
awidhya untuk meraih kesadaran yang sejati dengan cara melaksanakan Subha
karma. Menyadari sifat atma yang serba sempurna dan penuh kesucian
menimbulkan usaha untuk menghilangkan pengaruh awidhya tadi. Karena
apabila manusia meninggal kelak hanya badan yang rusak, sedangkan atma-nya
tetap ada kembali akan mengalami kelahiran berulang dengan membawa “Karma
Wasana“ (bekas hasil perbuatan). Oleh karena itu, manusia lahir kedunia harus
berbuat baik atas dasar pengabdian untuk membebaskan Sang Hyang Atma dari
ikatan duniawi. Sesungguhnya jika tidak ada pengaruh duniawi Hyang Widhi dan
Atma itu adalah tunggal adanya (Brahman Atman Aikyam)
16
4. Samsara (Percaya dengan adanya reinkarnasi / kelahiran kembali)
Samsara disebut juga Punarbhawa yang artinya lahir kembali ke dunia
secara berulang – ulang. Kelahiran kembali ini terjadi karena adanya atma masih
diliputi oleh keinginan dan kemauan yang berhubungan dengan keduniawian.
Kelahiran dan hidup ini sesungguhnya adalah sengsara, sebagai hukuman yang
diakibatkan oleh perbuatan atau karma di masa kelahiran yang lampau. Jangka
pembebasan diri dari samsara, tergantung pada perbuatan baik kita yang lampau
(atita) yang akan datang (nagata) dan sekarang (wartamana).
Pembebasan dari samsara berarti mencapai penyempurnaan atma dan
mencapai moksa yang dapat dicapai di dunia ini juga. Pengalaman kehidupan
samsara ini dialami oleh Dewi Amba dalam cerita Mahabharata yang lahir
menjadi Sri Kandi. Selanjutnya keyakinan adanya Punarbhawa ini akan
menimbulkan tindakan sebagai berikut :
Pitra Yadnya, yaitu memberikan korban suci terhadap leluhur kita, karena kita
percaya leluhur itu masih hidup di dunia ini yang lebih halus.
Pelaksanaan dana Punya (amal sale), karena perbuatan ini membawa
kebahagiaan setelah meninggal.
Berusaha menghindari semua perbuatan buruk karena jika tidak, akan
membawa ke alam neraka atau menglami kehidupan yang lebih buruk lagi.
17
ada hanya kebahagiaan yang sulit dirasakan dalam kehidupan di dunia ini (Sukha
tan pawali Duhka).
Syarat utama untuk mencapai alam moksa ini ialah berbhakti pada dharma,
berbhakti dengan pikiran suci. Kesucian pikiran adalah jalan utama untuk
mendapatkan anugrah utama dari Sang Hyang Widhi Wasa. Hal ini dapat
dibandingkan dengan besi yang bersih dari karatan, maka dengan mudah dapat
ditarik oleh magnet. Tetapi besi itu kotor penuh dengan karat sehingga sangat
sukar dapat ditarik.
Moksa merupakan tujuan akhir yang harus diraih oleh setiap orang menurut
ajaran agama Hindu. Tujuan tersebut dinyatakan dengan kalimat “Mokharatam
Jagadhita ya ca iti Dharma“.
Moksa sebagai tujuan akhir dapat dicapai melalui empat jalan yang disebut
Catur Marga yang terdiri dari :
Bhakti Marga (jalan Bhakti)
Karma Marga (jalan Perbuatan)
Jnana Marga (Jalan Ilmu Pengetahuan)
Raja Marga (Jalan Yoga)
18
berasal dari keseimbangan dan harmonisasi hubungan antara manusia dan Tuhan;
dalam hal kesetiaan manusia untuk berbakti/taat pada Tuhan Yang Maha Esa,
manusia dan manusia; dalam hal dedikasi dan jasa yang saling membantu antara
sesama manusia, dan manusia dan alam; dalam hal ini menjaga kelangsungan
lingkungan. Manusia sebagai makhluk sosial dapat mencapai kebahagiaan hidup
jasmani dan rohani jika mereka bisa menciptakan harmoni dalam hubungan
dengan Tuhan, sesama manusia dan alam berdasarkan Yadnya (yakni penyucian
diri, peningkatan kualitas diri, sembahyang, dan senantiasa bersyukur dan
berterima kasih kepada Sang Pencipta).
Yadnya berasal dari Bahasa Sansekerta dari akar kata “Yaj” yang artinya
memuja. Secara etimologi pengertian Yadnya adalah korban suci secara tulus
ikhlas dalam rangka memuja Hyang Widhi.
Pada dasarnya Yadnya adalah penyangga dunia dan alam semesta, karena
alam dan manusia diciptakan oleh Hyang Widhi melalui Yadnya. Pada masa srsti
yaitu penciptaan alam, Hyang Hidhi masih dalam kondisi Nirguna Brahma (
Tuhan dalam wujud tanpa sifat ) melakukan Tapa sehingga menjadikan diri beliau
Saguna Brahma (Tuhan dalam wujud sifat Purusha dan Pradhana ). Dari proses
ini jelas bahwa awal penciptaan telah dilakukan Yadnya, yaitu pengorbanan diri
Hyang Widhi dari Nirguna Brahma menjadi Saguna Brahma. Selanjutnya semua
alam diciptakan secara evolusi melalui Yadnya. Dalam Bhagawad Gita, Bab III,
Sloka 10, disebutkan :
19
“saha-yajòàá prajàh såûþwà purowàca prajàpatih;
“Dahulu kala Prajapati ( Hyang Widhi ) menciptakan manusia dengan yajnya dan
bersabda; dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk
keinginanmu “
Dari satu sloka di atas jelas bahwa manusia saja diciptakan melalui Yadnya, maka
untuk kepentingan hidup dan berkembang serta memenuhi segala keinginannya
semestinya dengan Yadnya.
Dalam kitab suci Bhagawad Gita dijelaskan, Yadnya artinya suatu perbuatan
yang dilakaukan dengan penuh bhakti keikhlasan dan kesadaran untuk
melaksanakan persembahan kepada Tuhan. Yadnya berarti upacara atau identik
dengan persembahan suci yang dilaksanakan dengan korban suci yang dilandasi
oleh sikap dan mental yang suci. Sarana yang diperlukan sebagai perlengkapan
sebuah Yadnya diistilahkan dengan Upakara. Upakara dapat diartikan dengan
suatu perlambangan Yadnya serta identik dengan pelayanan, kerendahan hati dan
ketulusan hati, yang menwujudkan sikap dan perilaku, bersumber dari hati yang
hening atau suci. Berdasarkan Bhagawad Gita 3.9 :
“Pekerjaan yang dilakukan sebagai korban suci kepada dewa Wisnu, harus
dilakukan. Kalau tidak pekerjaan akan menyebabkan ikatan dunia material.
Karena itu lakukanlah kewajiban-mu yang telah ditetapkan guna memuaskan
beliau, wahai Arjuna, dengan cara demikian engkauakan selalu tetap bebas dari
ikatan”.
Dari khotbah tersebut dapat ditegaskan bahwa Yadnya sebagai pedoman
agama Hindu mengandung pengertian :
Merupakan sistem pemujaan dan kontak memuja Tuhan
Merupakan prinsip berkorban agar umat-Nya bersedia, rela dan menyadari
bahwa berkorban itu sebagai pemelihara kelangsungan hidup menuju
pembebasan (Vaikhuntha)
20
Dalam rangka mencapai tujuan tertinggi manusia (Moksartham Jagad Hita :
kebahagiaan sekala dan niskala), manusia harus melakukan aktivitas dan
berkarma. Paling tidak empat hal yang harus dilakukan manusia yaitu, penyucian
diri, peningkatan kualitas diri, sembahyang, dan senantiasa bersyukur dan
berterima kasih kepada Sang Pencipta. Empat hal tersebut dapat dicapai melalui
Yadnya. Oleh karena itu, tujuan Yadnya adalah :
I. Penyucian
Untuk mencapai kebahagiaan maka hidup ini harus suci. Tanpa kesucian
sangat mustahil keharmonisan dan kebahagiaan itu dapat tercapai. Pribadi dan
jiwa manusia dalam aktivitasnya setiap hari berinteraksi dengan sesama
manusia dan alam lingkungan akan saling berpengaruh. Guna (sifat Satwam,
Rajas, dan tamas) orang akan saling mempengaruhi, demikian juga “guna”
alam akan mempengaruhi manusia. Untuk mencapai kebahagiaan maka
manusia harus memiliki imbangan Guna Satwam yang tinggi. Pribadi dan jiwa
manusia harus dibersihkan dari guna rajas dan guna tamas. Melalui Yadnya
kita dapat menyucikan diri dan juga menyucikan lingkungan alam sekitar. Jika
manusia dan alam memiliki tingkatan guna satwam yang lebih banyak maka
keharmonisan alam akan terjadi. Kitab Manawa Dharmasastra V.109
menyatakan :
21
lingkungan yang suci. Lingkungan yang suci akan memberikan kehidupan
yang suci juga bagi manusia.
Dari sloka di atas jelas kewajiban hidup manusia adalah untuk selalu
meningkatkan kualitas diri melalui perbuatan baik. Perbuatan baik yang paling
utama adalah melalui Yadnya. Dengan demikian setiap Yadnya yang kita
lakukan hasilnya adalah terjadinya peningkatan kualitas jiwa.
22
Tri Hita Karana. Cara paling sederhana menghubungkan diri dengan Tuhan
adalah sembahyang. Sembahyang artinya menyembah Hyang Widhi. Jika
dalam kehidupan kita senantiasa dapat memusatkan pikiran, memuja Hyang
widhi maka tujuan tertinggi pasti akan tercapai sebagaimana sabda Tuhan
dalam Bhagawad Gita Bab IX sloka 34 :
23
suci lainnya ) salah satu tujuan utamanya sebagai ungkapan rasa syukur dan
terima kasih kepada Hyang Widhi atas semua anugrah-Nya.
“Pàrtha di dunia ini, mereka yang tidak ikut memutar roda kehidupan ini,
pada dasarnya bersifat jahat, memperturutkan nafsu semata dan
mengalami penderitaan, wahai.”
Agar perputaran roda kehidupan ini berjalan dengan harmonis, maka peranan
manusia sangat penting. Jika manusia dalam melakoni hidup penuh
keserakahan dan mengabaikan prinsip-prinsip Dharma maka kehancuran pasti
terjadi. Hanya dengan Yadnya keharmonisan alam dapat tercipta. Yadnya
menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Hyang Widhi,
manusia dengan sesamanya dan keharmonisan hubungan manusia dengan
alam. Dalam melaksanakan Yadnya ada tiga kewajiban utama yang harus
dilunasi manusia atas keberadaannya di dunia ini yang disebut Tri Rna (tiga
hutang hidup). Tri Rna ini dibayar dengan pelaksanaan Panca Yadnya. Tri
Rna terdiri dari :
Dewa Rna, yaitu hutang hidup kepada Hyang Widhi yang telah
menciptakan alam semesta termasuk diri kita. Untuk semua ini wajib kita
bayar dengan Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya. Dewa Yadnya dalam
bentuk pemujaan kepada Hyang Widhi serta melaksanakan Dharma.
Butha Yadnya dilakukan untuk memelihara alam lingkungan sebagai
tempat kehidupan semua mahluk.
24
Rsi Rna, yaitu hutang kepada para Rsi yang mengorbankan
kehidupannya sehingga dapat memberikan pencerahan kepada manusia
melalui ajaran-ajarannya sehingga manusia dapat menjalani hidup
dengan lebih baik. Rsi Rna dilunasi dengan melaksanakan Rsi Yadnya.
Pitra Rna, yaitu hutang kepada orang tua dan leluhur. Leluhur dan orang
tua sangat memiliki peranan besar atas kehidupan kita saat ini. Karma
leluhur dan orang tua berpengaruh terhadap keberadaan setiap orang.
Paling tidak kelahiran kita di dunia karena adanya leluhur dan orang tua.
Oleh karena itu maka sudah menjadi kewajiban untuk membalas hutang
tersebut. Membayar hutang kepada orang tua dan leluhur dilakukan
dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.
25
Gambar 2.1 Lambang Swastika
Sumber: http://www.mantrahindu.com/swastika-hindu-memahami-simbol-dan-arti
(Diakses : 18 Maret 2017)
Keterangan :
1. Garis ke atas sebagai Parahyangan yakni hubungan harmonis kepada Sang Pencipta
2. Garis ke kanan dan ke kiri sebagai Pawongan yakni hubungan harmonis kepada sesama
manusia
3. Garis ke bawah sebagai Palemahan yakni hubungan harmonis kepada alam dan ciptaan-Nya
(Bhutakala)
2.2.2.4 Lokasi
Pembuatan suatu bangunan Pura tidaklah dilihat semata-mata dari sudut
ukuran dan keindahannya tetapi yang penting ialah kesucian tempat di mana Pura
itu dibangun. Kesucian adalah tempat tersebut bisa membuat umatnya terhubung
kepada Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa (“nes” : rasa ada Tuhan)
contohnya seperti lokasi Pura harus menghindari dareah yang terkena bencana,
tidak dialiri air kotor, terhindar dari pemandangan-pemandangan yang tidak baik,
dll. Guna terselenggaranya kontak yang baik dengan Tuhan, maka pemilihan
tempat dari suatu Pura cenderung berada jauh dari keramaian dan pada letak
ketinggian tertentu. Semuanya bertujuan agar tercipta suatu konsentrasi dalam
menghubungkan diri kepada Tuhan. Aroma / wewangian dari bunga dan dupa
juga membantu terciptanya konsentrasi yang baik. Pura dikelilingi oleh telaga
atau taman bunga, maksudnya untuk menjaga getaran kesucian di sekitar dan di
dalam Pura.
26
A. Tri Loka
Tri Loka merupakan konsep keseimbangan kosmologis yang
dicetuskan oleh Mpu Kuturan mengenai tiga tata nilai hubungan alam selaku
“wadah”. Tata nilai ini memperlihatkan gradasi tingkatan ketuhanan yang
berada pada tingkat yang paling tinggi dan paling rendah. Tri Loka berasal
dari bahasa Sanskerta, ”Tri” artinya “tiga” dan “Loka” artinya alam semesta.
Jadi, Tri Loka adalah 3 (tiga) alam semesta. Ruang dalam ajaran Hindu
terbagi dua, salah satunya adalah alam semesta (macrocosmos) yang disebut
dengan Bhuana Agung (berasal dari bahasa Sanskerta, ”Bhuana” artinya
“alam, dunia atau jagad” dan “Agung” artinya besar. Jadi, Bhuana Agung
adalah alam besar atau alam semesta). Berdasarkan Tri Loka alam semesta
terbagi atas tiga, yaitu (Parisada Hindu Dharma, 1968: 22) 4 :
- Bhur Loka (alam yang ditempati oleh iblis atau dimensi alam negatif)
- Bwah Loka (alam yang ditempati oleh manusia)
- Swah Loka (alam yang ditempati oleh dewa atau dimensi alam positif)
B. Tri Angga
Tri Angga merupakan konsep keseimbangan kosmologis yang
dicetuskan oleh Mpu Kuturan mengenai tiga tata nilai hubungan manusia
selaku “pengisi. Tri Angga Berasal dari bahasa Sanskerta, ”Tri” artinya
“tiga” dan “Angga” artinya badan fisik. Jadi, Tri Angga adalah 3 (tiga)
badan/fisik. Ruang dalam ajaran Hindu yang satunya lagi adalah Bhuana Alit
(microcosmos) yang merupakan ruang terkecil seperti bangunan, tubuh
manusia, partikel atau atom, dll. Bhuana Alit berasal dari bahasa Sanskerta,
”Bhuana” artinya “alam, dunia atau jagad” dan “Alit” artinya kecil. Secara
aplikatif, filosofi Tri Angga dapat dilihat dari gestur bangunan yang
memperlihatkan tiga tingkatan, yaitu kepala-badan-kaki5.
C. Orientasi Kosmologis
4, 5
Lihat gambar 2.5 Perbandingan Tri Loka (Bhuana Agung), Tri Mandala dan Tri Angga (Bhuana Alit).
27
Dalam orientasi kosmologis, di antaranya terdapat konsepsi sanga
mandala. Konsepsi ini lahir dari perpaduan astha dala (delapan penjuru mata
angin) dengan dewata nawa sanga (sembilan mitologi dewa-dewa penguasa
mata angin)6. Falsafahnya tetap menitikberatkan upaya menjaga
keharmonisan dan keselarasan alam. Orientasi ini ditentukan berdasarkan7 :
Sumbu kosmologis/bumi (yaitu gunung – laut), dan
Sumbu religi/matahari (yaitu terbit- Penjuru
No Simbolisasi
terbenamnya matahari) Mata Angin
1. Kaja Wisnu
3. Kangin Iswara
5. Kelod Brahma
7. Kauh Mahadewa
9. Puseh Siwa
28
Gambar 2.4 Arah terbit-
tenggelam matahari.
Orientasi sumbu religi
pada Pulau Bali
SUNSET – SUNRISE (Sumber : Arrafiani,
Simbol – Simbol 2012)
Kematian Kelahiran
D. Tri Mandala
Tri Mandala merupakan pembagian ruang secara horizontal. Berasal
dari bahasa Sanskerta, ”Tri” artinya “tiga” dan “Mandala” artinya
lingkaran/wilayah. Jadi, Tri Mandala adalah 3 (tiga) wilayah.
Konsep ruang Tri Mandala merupakan ungkapan tiga tata nilai wilayah
ruang, yang terdiri dari: ruang sakral/spiritual – komunal – ruang pelayanan.
Struktur tata ruang Tri Mandala ini berpedoman pada :
1.) orientasi gunung – laut (kaja – kelod)
2.) orientasi terbit – terbenamnya matahari (kangin – kauh).
Dengan berpedoman pada orientasi gunung – laut, maka tata ruang di bagian
utama yang digunakan untuk kegiatan spiritual disebut “Utama Mandala”.
Ruang yang bersifat komunal berada di bagian tengah, disebut “Madya
Mandala”. Sedangkan ruang yang bersifat komersial atau pelayanan/servis,
ditempatkan di bagian bawah disebut “Nista Mandala”. Dan bila konsep
ruang Tri Mandala ini berpedoman pada orientasi terbit dan terbenamnya
matahari, maka tata ruang paling timur adalah “Utama Mandala”, bagian
tengah “Madya Mandala” dan yang paling barat adalah “Nista Mandala”.
Bila konsep ruang Tri Mandala dikembangkan dari pola linier ke spatial,
29
maka akan diperoleh tata zoning dalam suatu tapak (site area) berupa
sembilan wilayah tata nilai ruang, yang disebut “Sanga Mandala” (”Sanga”
artinya “sembilan” dan “Mandala” artinya lingkaran. Jadi, Sanga Mandala
adalah 9 (sembilan) lingkaran. Dan dari Sanga Mandala ini, akan
memperoleh letak tempat yang paling baik yakni Utamaning utama dan yang
paling buruk yakni Nistaning nista.8
- Nista Mandala atau juga disebut dengan Jaba Pura, Jaba Pisan, Jaba
Sisi adalah bagian/zona yang paling luar, tempat umum. Untuk Pura,
bagian ini merupakan bagian Nista atau kotor dan tidak sakral. Setiap
orang dapat memasuki bagian ini. Pada zona ini biasanya berupa
lapangan atau taman.
- Madya Mandala adalah bagian/zona tengah. Untuk Pura, bagian ini
sudah dapat dikatakan sacral, karena orang yang masuk pada bagian ini
harus disaring dahulu (orang-orang tertentu tidak boleh masuk, seperti
wanita yang sedang datang bulan, wanita hamil dan orang-orang
keluarganya sedang berduka). Pada bagian ini umat Hindu sudah mulai
terfokus untuk menghadap Sang Hyang Widi Wasa.
- Utama Mandala atau disebut juga dengan Jeroan, merupakan bagian
yang paling suci dalam suatu bangunan dan dijadikan sebagai tempat
sembahyang, hal tersebut berlaku untuk semua bangunan tradisional Bali
seperti Pura, tempat tinggal, kantor, dll. Pada bagian Utama ini, umat
diharuskan benar-benar fokus untuk menghadap Sang Hyang Widhi.
30
Gambar 2.5 Perbandingan Tri Loka (Bhuana Agung), Tri Mandala dan Tri Angga (Bhuana Alit).
(Sumber: analisa pribadi)
Barat Timur
31
mengambil suatu patokan Pura pada umumnya saja. Banyak segi yang patut disoroti
antara lain faktor kreatif seni, faktor sosiologis umatnya, faktor kondisi alam, dll,
sehingga terdapat ungkapan “desa mawa cara” yang artinya masing-masing desa
mempunyai versi atau aturan sendiri (menggunakan subjek “desa” karena berdasarkan
waktu / awal berdirinya, kebanyakan Pura dibangun di desa-desa).
Pura dikelilingi dengan tembok atau disebut dengan penyengker sebagai batas
pekarangan yang disakralkan.
Gerbang/pintu masuk yang pertama yaitu dari luar ke Nista Mandala, di jaga
oleh arca Dwarapala. Biasanya digambarkan sebagai makhluk yang
menyeramkan seperti raksasa atau monster. Jumlah arca Dwarapala pada
umumnya hanya sendirian, sepasang, atau berkelompok. Gerbang/pintu masuk
yang kedua yaitu dari Nista Mandala ke Madya Mandala disebut Candi Bentar.
Candi berarti gunung dan Bentar berarti retak, maka Candi Bentar adalah
gunung yang retak. Filosofinya berasal dari pecahnya gunung Kalica yang
diyakini sebagai tempat bertapa Dewa Siwa, karena itu Candi Bentar terlihat
seperti gunung yang terbelah dua. Gerbang yang ketiga yaitu dari Madya
Mandala ke Utama Mandala disebut Kori Agung. Tidak seperti Candi Bentar,
Kori Agung mempunyai pintu yang lebarnya hanya bisa dimasuki oleh satu
orang saja dan pintu ini selalu tertutup. Umat penyungsung-nya tidak
menggunakan gerbang ini untuk masuk ke dalam Utama Mandala, namun
mereka menggunakan bebetelan yakni pintu masuk kecil yang terdapat di
sebelah kiri dan kanan Kori Agung. Kori Agung dihiasi dengan arca Dwarapala
yang bermotif Panca Dewata Kori Agung, karang Kala, karang Asti, karang
Singa, karang Keketusan Wangga, karang Bentulu, karang Simbar Menjangan,
karang Garuda Ungkur, dan karang-karang lainnya. Hiasan utama pada Kori
Agung adalah karang Kala sebagai simbol penjaga stana Sang Hyang Widhi
yang terletak di Utama Mandala. Dalam lontar “Kalatattwa”, disebutkan
bahwa Kala itu adalah putra Siwa. Secara filosofis, Kala sama dengan Bhuta
sama dengan Dewa (kala-ya, bhuta-ya, dewa-ya), karena itu karang Kala, juga
disebut dengan karang Boma. Hiasan utama Kori Agung ini memang
menyeramkan, namun tujuan dari wajahnya yang seram dengan mata melotot,
taring yang panjang dan kuku yang panjang adalah untuk menakuti roh-roh jahat
yang akan menggangu ibadah dan sembahyang di dalam Utama Mandala.
32
Pada Nista Mandala, terdapat :
o Bale kul-kul, sebagai tempat kentongan. Fungsinya sebagai penanda
bahwa saat itu akan diadakan upacara. Makna dari dibunyikannya
kentongan jika ada upacara ialah sebagai pemberitahuan kepada umat
bahwa Sang Hyang Widhi turun dari alam Dewata menuju ke stana-Nya
di pura tersebut
o Bale wantilan, berfungsi sebagai tempat untuk mengadakan tontonan
(wali) pada waktu upacara (biasanya seperti tari-tarian), sebagai tempat
berkumpul/rapat, tempat latihan tari-tarian, latihan musik, bahkan tempat
untuk bermalam.
o Bale pewaregan, berfungsi sebagai bangunan yang digunakan sebagai
dapur, tempat sesaji (banten) dibuat.
2.2.4 Pelinggih
Pelinggih adalah tempat pemujaan umat Hindu yang berbentuk objek maupun
bangunan untuk men-stana-kan Tuhan dan leluhur.
33
Padmasana
Padmasana atau (Sanskerta:
padmāsana) adalah sebuah tempat untuk
bersembahyang dan menaruh sajian bagi
umat Hindu, terutama umat Hindu di
Indonesia. Menurut Kamus Jawa Kuna-
Indonesia yang disusun oleh Prof. Dr. P.J.
Zoetmulder (Penerbit Gramedia, 1995)
terdiri dari dua kata yaitu : “padma” artinya
bunga teratai dan “asana” artinya sikap
duduk. Hal ini juga merupakan sebuah
posisi duduk dalam yoga. Menurut Prof.
Drs.S. Wojowasito (Penerbit CV Gambar 2.7 Padmasana
Sumber: google
Pengarang, Malang, 1977), Padmasana image_padmasana_pura
(Diakses : 29 Maret 2017)
terdiri dari dua kata yaitu: “Padma” artinya
bunga teratai, atau bathin, atau pusat. “Sana” artinya sikap duduk, atau bathin,
atau pusat. “Sana” artinya sikap duduk, atau tuntunan, atau nasehat, atau
perintah. Berdasarkan dua pendapat ini, bahwa bunga teratai adalah simbol dari
tempat duduk dari dewa-dewa dan Hyang Widhi. Bunga teratai (padma)
dijadikan simbol alam semesta stana Hyang Widhi yang sebenarnya. Dalam
Lontar “Dasa Nama Bunga” disebut, bunga teratai adalah rajanya bunga (Raja
Kesuma) karena hidup di tiga alam : akarnya menancap di lumpur, batangnya
di batangnya di air, sedangkan daun dan bunganya di atas air (udara).
Karenanya, bunga ini adalah simbol Tri Loka atau Tri Bhuwana Stana Hyang
Widhi Wasa dan bunga daunnya yang berlapis-lapis sebagai perlambang dari
sembilan arah penjuru mata angin alam semesta (I Ketut Wiana, 2004). Posisi
padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke
atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran.
Puncak dari padmasana adalah berupa tempat duduk yang
mengumpamakan atau menggambarkan bahwa Hyang Widhi sedang duduk di
situ dan hadir bersama-sama dengan umatnya pada saat sedang beribadah atau
bersembahyang di Pura.
Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat menggambarkan kesucian
dan keagungan Hyang Widhi karena memenuhi unsur-unsur:
34
o Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi
Hyang Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan
Horizontal. : Timur (Purwa) sebagai Iswara, Tenggara (Agneya) sebagai
Maheswara, Selatan (Daksina) sebagai Brahma, Barat Daya (Nairiti)
sebagai Rudra, Barat (Pascima) sebagai Mahadewa, Barat Laut (Wayabya)
sebagai Sangkara, Utara (Uttara) sebagai Wisnu, Timur Laut (Airsanya)
sebagai Sambhu.
o Puncak mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan simbol
kedudukan Hyang Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai Siwa
(adasthasana/ dasar), Sadasiwa (madyasana/ tengah) dan Paramasiwa
(agrasana/ puncak)
o Bunga teratai hidup di tiga alam yaitu tanah/lumpur disebut pertiwi, air
disebut apah, dan udara disebut akasa.
35
bhedawangnala artinya adalah suatu kelompok (kesatuan) yang
meluangkan adanya api. Api di sini bisa dalam arti nyata sebagai dapur
magma inti bumi, dapat juga dalam arti simbol lain yaitu energi kekuatan
hidup. Karena letaknya di bawah/ dasar bangunan maka simbol
bhedawangnala dapat bermakna sebagai kekuatan bumi ciptaan Hyang
Widhi yang perlu dijaga, dan dapat pula bermakna sebagai dasar kehidupan
manusia yaitu energi yang senantiasa perlu ditumbuh kembangkan. Pada
tingkat berikut terdapat karang gajah, karang boma, karang bun, karang
paksi, dll. yang semuanya bermakna sebagai simbol keaneka ragaman alam
semesta.
2. Tingkat ketiga terdapat Garuda yang meceritakan Dewa Wisnu yang
mengendarai Garuda diletakkan di bagian tengah belakang, adalah simbol
Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai pemelihara.
3. Tingkat keempat yaitu Angsa, diletakkan di bagian atas belakang, adalah
simbol Sang Hyang Saraswati bermakna sebagai: pengetahuan, ketelitian,
kewaspadaan, ketenangan dan kesucian.
4. Kemudian tingkat kelima atau yang paling atas yaitu Acintya adalah simbol
Hyang Widhi yang tidak dapat dilihat, dipikirkan wujudnya, di raba, namun
vibrasinya dapat dirasakan.
36
Memakai dasar Bhedawang Nala, bertingkat lima/ berpalih lima dan di
puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan selain sebagai stana Sang
Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa, juga sebagai stana
Sang Hyang Tunggal yaitu Hyang Widhi / Yang Maha Esa.
o Padmasari.
Tidak memakai dasar Bhedawang Nala, bertingkat/ berpalih tiga dan
di puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan hanya untuk stana Sang
Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tri Purusa.
o Padma Capah.
Tidak memakai dasar Bhedawang Nala bertingkat/berpalih dua dan di
puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan sebagai Baruna (Dewa
Lautan)
Meru
Ada dua alternatif mengenai
meru. Pertama, meru berasal dari kata
“Maha meru” yang artinya
“gunung”. Di dalam wheda,
disebutkan bahwa Dewa-dewa ber-
stana di meru. Ini kemungkian besar
kelanjutand dari kepercayaan pra
histori yang menganggap Tuhan
berada di gunung dan laut. Kedua,
Gambar 2.9 Meru Tumpang 11
meru berasal dari kata “meme dan Sumber: Ngakan Ketut Acwin
Dwijendra, 2008
gugu” yang artinya “ibu dan bapak”
atau “aji-akasa” yaitu unsur purusha. Penunggalan purusha dengan praekerti
itulah merupakan kekuatan, sumber segala yang ada.
Dari kedua perngertian ini yang menyebabkan di Bali terdapat meru untuk
Dewa dan meru untuk roh suci/bhatara. Bentuknya menonjolkan keindahan atap
bertingkat-tingkat yang disebut atap tumpang. Jumlah tumpang atap selalu
ganjil, yaitu tumpang 5,7,9, dan tumpang 11 yang tertinggi. Tata letak meru di
suatu pura adalah di halaman jeroan bagian utara. Meru umunya menghadap
kearah barat di sisi timur sebagai salah satu tempat pemujaan utama.
37
Gedong
Bentuknya serupa dengan
tugu hanya bagian kepalanya
terbuat dari konstruksi kayu,
atapnya alang-alang, ijuk atau
bahan-bahan penutup lain
mengikut bentuk dan fungsinya.
Bagian badan dan kaki, pasangan
batu halus tanpa atau sedikit
perekat siar-siar pasangan. Denah
bujur sangkar dengan ukuran sisi
dasar sekitar 1m dan tinggi sekitar
3m. Fungsi gedong beragam sesuai
dengan tempatnya di pamrajan,
pura, kahyangan atau dilain tempat
Gambar 2.10 Gedong
tertentu. Tata letak gedong, bentuk Sumber: Arsitektur Tradisional
konstruksi atap dan ketentuan lain Daerah Bali, 1981
cestayai karmanamahah
66. 66.
Pitrye ratryahani masah Sebelum adanya satu hari, siang dan
malamnya rokh leluhur (pitra), yang
prawibhagastu paksayoh, pembagiannya adalah satu paksa ( 15hari),
kresna paksa (waktu bagian gelap) waktu
karmacestaswahs krsnah bejerka dan sukla paksa (waktu bulan
tanggal) wantu tidurnya.
cuklah swapnaya cawari
67 67.
. Daiwe ratryahani warsam Setahun adalah satu malam dan satu
siangnya Dewa-dewa, yang
prawibhagastayoh punah, pembagiannya adalah sebagai
berikut, yaitu hari siang ketika
ahastatrodagayanam ratrih, bulan-bulan adalah satu hari untuk
para matahari berada di lintang utara
syaddaksinayanam. dan hari malam ketika bulan-bulan
matahari berada di lintang selatan.
68. 68.
Brahmasya tu khsapahasya Selanjutnya perhatikanlah tentang
hari siang dan malanya Brahma dan
yatpramanam samsatah macam-macam Yuga (zaman)
menurut urutannya.
ekaikaco uganam tu
69. 69.
Catwaryahuh sahasrani Krta yuga dinyatakan empat ribunya
Dewa, fajarnya meliputi ratusan
warsanam tat krtam yugam, tahun dan senjanya meliputi ratusan
tahun juga yang sama jumlahnya.
tasya tawacchati samdhya
sasamdhyamcesu ca trisu
widhah.
70.
70.
Itaresu ssam dhyesu Tiga yuga berkutnya masa fajar dan
senjanya, ribuan dan ratusan
sasamdhyesu ca trisu, tahunnya masing-masing berkurang
dengan satu sejara berturut-turut.
ekaipayena wartante
39
sahasrani catani ca.
71. 71.
Yadetatparisamkhyatama Empat yuga yang jumla tahunnya
dua belas ribu tahun dinyatakan satu
dawewa caturyugam, yuganya Dewa.
dewanam yugamucyate.
72. 72.
Daiwikanam yuganam tu Tetapi ketahuilah bahwa
sesungguhnya dua belas ribu
sahasram parisamkhyaya, yuganya Dewa-dewa merupakan
seharinya Brahman, dan malamnya
brahmaneka maharjneyam sama lamanya.
101. 101.
Purwam samdhyam japam Hendaklah ia berdiri di waktu
subuh mengucapkan mantra
stisthetsawitrim arka Sawitri sampai matahari terbit,
tetapi diwaktu sore boleh dengan
darcanat, cara duduk degan jelas
paccimam tu samasinah
samyagrksa wibhrwa
wanat.
102. 102.
Purwam samdhyam japam Ia berdiri diwaktu subuh
mengucapkan mantra Sawitri
stisthanraicemeno wya- menghapus dosa yang dilakukan
selama malam sebelumnya, tetapi
pohati, ia yang duduk mengucapkannya
diwaktu senja (malam)
paccimam tu samasino malam memusnahkan dosa-dosanya yang
dilakukan disiang hari.
hanti diwakrtam.
103.
Tetapi ia yang tidak melakukan
pemujaan, berdiri diwaktu subuh
40
103.
Na tisthati tu yah purwam
sarwasmaddwijakarmanah.
41
Merupakan Pura yang dimuliakan oleh warga desa. Pura Kahyangan Desa
terbagi lagi menjadi 3 yang masing-masing merupakan tempat pemujaan Tri
Murthi (perwujudan Sang Hyang Widhi), yaitu :
o Pura Desa.
Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Brahma, yaitu perwujudan
Ida Sang Hyang Widhi sebagai pencipta alam semesta. Pura ini terletak
dalam kawasan desa atau perkotaan, berfungsi sebagai pusat kegiatan
keagamaan masyarakat Hindu dharma di Bali.
o Pura Puseh.
Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Wisnu, yaitu perwujudan Ida
Sang Hyang Widhi sebagai pemelihara alam semesta. Pura ini disebut dan
letaknya berdekatan dengan Pura Desa atau satu tempat dengan Pura Desa.
o Pura Dalem.
Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Siwa, yaitu perwujudan Ida
Sang Hyang Widhi sebagai Sang Pelebur. Biasanya untuk ritual kremasi dan
terletak di dekat kuburan desa, di tepi, atau di luar desa.
42
o Pura Ulun Segara (Pura Segara)
Tempat pemujaan bersama warga nelayan yang berada di suatu wilayah
pantai tertentu.
43
Pura Besakih, Pura Lempuyang, Pura Ulu Watu, Pura Watukaru dan Pura Bukit
Pangeleman)
Pura Siwi
Dalam hubungannya dengan Pura-Pura yang besar dan bersifat umum,
ditetapkan pula adanya Pengempon (mereka yang menyuruh, yang melakukan
upcara tetap dan pembinaan Pura), pengemon (masyarakat atau pelaksana-
pelaksana upacara dan perawatan Pura yang dikoordinir oleh pengempon), dan
penyiwi (masyarakat luar yang melakukan pemujaan di Pura yang
bersangkutan). Pura Siwi terdiri dari berbagai macam dan bentuknya, demikian
pula Pengempon pengemong dan penyiwi-nya.
Latar belakang sejarah, status, fungsi juga namanya berdeda-beda. Pura
Siwi yang bersifat umum antara lain, Pura-Pura dalam perjalanan pembinaan
agama oleh para Rsi, Dang Hyang dan tokoh-tokoh pada masa awal
penyebarannya. Umumnya, Pura Siwi memiliki tanah sawah, kebun atau tegal
untuk biaya upacara dan perawatan Pura.
Contoh Pura Siwi yakni, Pura Rambut Siwi, Pura Puncak, Pura Peti Tenget,
Pura Taman Pule dan beberapa Pura lainnya merupakan rangakaian Dharma
Yatra atau perjalanan suci keagamaan Dang Hyang Nirartha abad ke-14 di
Kepulauan Nusa Tenggara.
5. Pura lainnya
Pura Kerajaan
Dalam hubungannya dengan Kerajaam-kerajaan yang pernah berkuasa di
Bali, maka dikenal adanya Pura Penataran, yang dapat disebutkan dengan Pura
Kerajaan, seperti Pura Penataran Sasih, Pura Dasar di Gel-Gel, Pura Kehen,
Pura Penataran Klungkung dan Pura Penataran Sukawati.
Pura Penunggu
Di tempat-tempat yang dianggap angker atau dianggap ada penunggunya
dibuatkan pelinggih bangunan tempat pemujaan, atau tempat para penunggu di
tempat tersebut, seperti di goa, pohon besar, pertemuan sungai, sumber mata air
di puncak bukit, di tikungan jalan dan di pinggir laut yang sering terjadi
44
kecelakaan serta di tempat-tempat lain yang dianggap berpenghuni, dibuatkan
pelinggih tempat penunggu.
Di tempat-tempat yang ada penuggu dengan pelinggih-pelinggih umumnya
dikunjungi untuk memohon keselamatan perjalanan hidup dengan melakukan
upacara-upacara terntentu. Bangunan-bangunan pelinggih penunggu pada
umumnya berbentuk seperti tugu yang divariasikan sesuai dengan
pemakaiannya. Di beberapa tempat seperti di sumber mata air yang dijadikan
air minum dan permandian umum dibuatkan Pura tempat pemujaan bersama.
2.3.2 Fisibilitas
Kota Manado mempunyai tiga tempat peribadatan umat Hindu, yakni Pura
Jadagdhita yang terdapat di Kelurahan Taas Kecamatan Tikala, Pura yang berada di
Rumah Sakit Malalayang dan Pura yang berada di Kelurahan Karombasan Kecamatan
Wanea. Namun berdasarkan perwadahan dan kapasitasnya, Pura Jagaditha lah yang
sering digunakan umat Hindu kota Manado untuk beribadah, melakukan ritual dan
upacara tahunan. Pura Jagadhita dapat menampung sekitar 350 orang.
Terapat dua hal yang mendukung urgensi pembangunan pura di Manado:
1. Berdasarkan data dari Ketua Parisade Agama Hindu Provinsi Sulawesi Utara
Ir. Suryono, MT, mayoritas umat Hindu di kota Manado terdapat di bagian
tengah (Kecamatan Tikala dan Kecamatan Paal Dua) dan bagian selatan
(Kecamatan Malalayang, Kecamatan Sario, Kecamatan Wanea dan
Kecamatan Wenang), sedangkan bagian utara kota Manado (Kecamatan
Mapanget, Kecamatan Singkil, Kecamatan Tuminting, Kecamatan Bunaken
dan Kecamatan Kepulauan Bunaken) hanya mencapai sekitar 10% umat
Hindu. Pura Jagaditha terletak di Manado bagian tengah, aksesibilitas yang
45
dibutuhkan oleh umat Hindu yang berada di selatan kota Manado tidaklah
mudah. Jika dikalkulasikan, rata-rata dibutuhkan waktu 45-60 menit untuk
mencapai Pura Jagadhita, mengingat bagian selatan kota Manado merupakan
pusat kegiatan dan kehidupan masyarakat kota Manado.
Kong Hu Cu
Kota Islam Kristen Katholik Hindu Budha
& Lainnya
Manado 130.517 289.530 36.816 2.309 14.327 532
Berdasarkan data tersebut, total umat Hindu yang terdaftar sebagai warga kota
Manado yakni sebanyak 2.309 orang, itu pun belum terhitung dengan umat
Hindu yang datang dari daerah sekitar Manado seperti Kabupaten Bolaang
Mongondow, Kota Tomohon, Kabupaten Tondano dan dari luar Kota seperti
para pelajar, pekerja, pelancong bahkan turis lokal yang datang untuk
beribadah. Tentu ini menjadi masalah mengingat daya tampung Pura Jagaditha
hanya mencapai 350 orang.
46
Gambar 2.12 Peta
Kecamatan Malalayang
(Sumber : RTRW Kota
Manado 2016)
Gambar 2.14 Site Alternatif 3 Gambar 2.15 Site Alternatif 2 Gambar 2.16 Site Alternatif 1
Sumber : Google Earth Sumber : Google Earth Sumber : Google Earth
(Diakases : 03 April 2017) (Diakases : 03 April 2017) (Diakases : 03 April 2017)
47
ANALISIS
KRITERIA BOBOT SITE SITE SITE
PEMILIHAN SITE (%) ALTERNATIF ALTERNATIF ALTERNATIF
1 2 3
Aksesibilitas 20 19 17 19
Nes
30 20 26 25
(kondisi lingkungan sekitar)
Dari hasil analisis ketiga alternatif site di atas, dapat disimpulkan bahwa site yang
48
2.5 Studi Komparasi Objek Perancangan
o Pura Jagadhita, Manado
Pura Jagadhita terletak di Kelurahan Taas, Kecamatan Wanea, Manado. Didirikan
pada tahun 1989 dan dipelaspas (diresmikan) pada tahun 1994, dan merupakan Pura
pertama yang ada di Manado. Pura Jagaditha termasuk Pura Kahyangan Jagad karena
letaknya yang berada di ketinggian dan diperuntukkan bagi semua umat Hindu yang
ada di dalam maupun luar Kota Manado.
Pintu Masuk
49
1 2 3
KETERANGAN :
1. Nista Mandala
2. Madya Mandala
3. Utama Mandala
Pada saat masuk, kita akan disambut dengan arca Dwarapala sebagai penjaga
pertama gerbang.
50
Pada zona Nista Mandala Pura Jagaditha terdapat Pewaregan. Tempat ini berfungsi
sebagai dapur dan tempat membuat banten.
Gambar 2.22 Pewaregan Pura Jagaditha Gambar 2.23 Pembuatan Banten di pewaregan
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017 Pura Jagaditha
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017
Setelah menaiki tangga, kita akan menjumpai Candi Bentar dan memasuki zona
Madya Mandala yang di dalamnya terdapat Bale Panjang, Bale Gong dan Bale
Pendidikan.
Gambar 2.24 Zona Madya Mandala. Bale Gong (kiri), Candi Bentar (tengah), Bale
Panjang (kanan), Bale Pendidikan (belakang Bale Panjang)
Sumber: Data Lapangan Ir. Suryono, MT, 2017
51
Untuk memasuki zona Utama Mandala, kita harus menaiki tangga, melewati gerbang
Kori Agung dan bebetelan. Dalam zona Utama Mandala terdapat Bale Piyasan, Bale
Pawedan, Padmasana, Panglurah dan Meru. Namun Meru di Pura Jagaditha belum
dibangun.
Gambar 2.26 Kori Agung Pura Jagaditha Gambar 2.27 Padmasana Pura Jagaditha
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017 Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017
52
Gambar 2.28 Detail Kori Agung Gambar 2.29 Panglurah Pura
Pura Jagaditha Jagaditha
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017 Sumber: Dokumentasi Pribadi,
2017
Pembangunan Pura dimulai pada akhir bulan Januari tahun 1980, setelah keluarnya
izin membangun dari Pangdaeral IV, Laksda TNI Gatot Suwardi No.
B/15/04/20/9/tanggal 15 Januari 1980 diatas tanah seluas 480 m2 (80m x 60m).
Penentuan kosala kosali berdasarkan petunjuk dari Ratu Ida Pedanda Putra Telaga dari
Griya Banjarankan Klungkung – Bali. Areal Pura terdiri dari 3 (tiga) mandala yaitu
Utama Mandala terdapat Padmasana, Bale Piyasan, pengurah. Madya Mandala terdapat
53
apit surang, Kori Rong Tiga dan Bale kulkul. Bangunan dibuat dari bahan cetakan oleh
tukang yang didatangkan dari desa Kapal kab.Badung-Bali.
Pada Tanggal, 17 Juli 1981 Pura di Pelaspas dan diresmikan oleh Pangdaeral IV
yang berkedudukan di Surabaya Bapak Laksda Gatot Suwardi. Pura Segara Bukan
merupakan bagian dari Tri Kayangan tapi hanya sekedar nama saja karena pada saat itu
berdasarkan letak /lokasi yang dekat dengan Pantai. Pada awalnya pura ini
diperuntukkan bagi warga Hindu yang bertempat tinggal di Komplek TNI AL Kenjeran
dan sekitarnya (21 KK). Dalam Perkembangannya warga penyungsung Pura saat ini
berjumlah 92 Kepala Keluarga (KK), terdiri dari 5 (lima) sektor.
Gambar 2.31 Nista Mandala. Candi Bentar Pura Segara Kenjeran sebagai pintu masuk.
Sumber : https://www.google.co.id/maps/place/Pura_Segara_Kenjeran
(Diakses : 02 Agustus 2017)
54
Gambar 2.32 Madya Mandala. Kori Agung Pura Segara Kenjeran
Sumber : Ketut Eben, 2013
55
Gambar 2.34 Utama Mandala. Padmasana Pura Segara
Kenjeran
Sumber : Ketut Eben, 2013
56
Terletak di tepi tebing di bagian selatan semenanjung Bali kira-kira sekitar 80
meter di atas permukaan laut. Pura Luhur Uluwatu diperkirakan dibangun pada jaman
Empu Kuturan mendirikan pura Agung Besakih sekitar abad 11 dan dikisahkan Dang
Hyang Nirartha mencapai Alam Moksa di Pura Uluwatu setelah melakukan perjalanan
suci (Tirta yatra) keliling Bali, Lombok dan Sumbawa. Terdapat pula hutan kering kecil
yang sering disebut
Alas Kekeran (hutan
larangan) yang
merupakan bagian
dari Pura dan dihuni
oleh banyak monyet
dan hewan lainnya.
Nama Uluwatu adalah
berasal dari kata Ulu
Gambar 2.36 Jalan Masuk Pura Luhur Uluwatu
Sumber : http://www.google.co.id/Pura_Uluwatu yang berarti kepala
(Diakses : 03 Agustus 2017)
dan Watu berarti batu.
Oleh karena itu Pura Uluwatu berarti Pura yang dibangun di ujung terumbu karang.
Yang terkenal dari Pura Uluwatu adalah arsitektur yang luar biasa di batu karang hitam.
Pura Uluwatu merupakan salah satu Pura tertua di Bali.
Struktur Bangunan Pura Uluwatu sama
seperti layaknya Pura yang ada di Bali yaitu Tri
Mandala terbagi atas 3 halaman, yaitu halaman
luar (Jaba Pisan), halaman tengah (Jaba Tengah)
dan halaman dalam (Jeroan).
Untuk mencapai pada Jaba Pisan, kita harus
menaiki anak tangga yang mengarah pada candi
Bentar. Pada Jaba Pisan terdapat bangunan
sedahan pengapit, bale kul-kul, bale murda dan
bale sakenem. Di sebelah kiri sebelum masuk
pintu Candi Bentar tersebut terdapat kompleks
Gambar 2.37 Candi Bentar Pura Uluwatu
pelinggih yang disebut Dalem Jurit. Di Pura Sumber : http://www.google.co.id/candi_bentar
_uluwatu
Dalem Jurit inilah terdapat tiga patung Tri Murti (Diakses : 03 Agustus 2017)
yang merupakan tempat pemujaan Siwa Rudra ketika Mpu Kuturan mendirikan pura
tersebut abad ke-11 Masehi.
57
Di dalam jaba tengah terdapat Candi Kurung Padu Raksa bersayap yang memakai
dwarapala berbentuk Ganesha.
Pada baigan jeroan Pura, kita menjumpai bangunan yang paling pokok yaitu Meru
Tumpang Tiga tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra. Bangunan yang lainnya adalah
bangunan pelengkap saja seperti Tajuk tempat meletakkan upacara dan Bale Pawedaan
tempat pandita memuja memimpin upacara.
Gambar 2.38 Nista Mandala. Tempat Pementasan Tari Kecak di Pura Luhur Uluwatu
Sumber : http://www.google.co.id/Kecak_Dance
(Diakses : 03 Agustus 2017)
58
Gambar 2.40 Utama Mandala. Meru tumpang tiga Pura Uluwatu
Sumber : http://www.google.co.id/Pura_Uluwatu
(Diakses : 03 Agustus 2017)
59
2.6 Studi Pendukung
Berbicara mengenai Analogi Semiotik, berarti berbicara mengenai tanda dan
maknanya. Penafsiran semiotik tentang arsitektur menyatakan bahwa suatu bangunan
merupakan suatu tanda penyampaian informasi mengenai apakah ia sebenarnya dan apa
yang dilakukannya (makna). Berikut merupakan beberapa studi kasus analogi semiotik
pada bangunan
Gambar di atas adalah sebuah Meru (tanda). Pikiran orang pada umumnya pasti
akan tertuju pada kata “Pura” atau “Bali” (makna). Secara eksisting, Meru adalah salah
satu puncak pada jejeran
pegunungan Himalaya, India.
Sejarahnya, Gunung (dalam hal
ini Meru) merupakan
perlambangan alam semesta
sebagai stana / tempat para Dewa
(Sang Hyang Widhi Wasa).
60
Hanya dengan siluet, orang-orang pun tau
bahwa gambar di samping adalah sebuah masjid
(makna), berkat kubah dan simbol yang ada di
atasnya (tanda).
61