Anda di halaman 1dari 53

BAB II

DESKRIPSI OBJEK

2.1 Pengertian dan Pemahaman Objek Perancangan


2.1.1 Pengertian Objek Rancangan
Berikut merupakan pengertian Pura Kaja Segara Nirmala secara etimologis.

 Pura
 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) :
Pu ra kl n kota; negeri


Pu ra n istana


Pu ra n tempat beribadat (bersembahyang) umat Hindu Dharma; -- dalem




pura yang berkaitan dengan kematian; -- jagad pura untuk semua umat Hindu;
-- laba sawah yang hasilnya diperuntukkan bagi pemeliharaan pura; -- subak
pura untuk anggota subak
 Dalam bahasa Sanskerta.
Pura berasal dari bahasa Sanskerta –pur, -puri, -pura, -puram, -pore, yang
artinya adalah kota berbenteng atau kota dengan menara atau istana.
 Menurut Prof. Dr. I Gst. Ngoerah Gde Ngoerah, dkk.
Pada hakikatnya, pura adalah suatu tempat suci dan tempat untuk menyucikan
diri.
 Kaja
 Berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya Utara.
 Segara
 Jenis Pura yang berada di pinggir atau di atas laut.
 Nirmala
 Berasal dari bahasa Sanskerta. Terdapat dua penggalan kata yaitu “Nir” yang
artinya jauh dan “Mala” yang artinya malang, luka, penyakit.

2.1.2 Pemahaman Objek Rancangan


Pura Segara merupakan istilah khusus untuk tempat suci agama Hindu Dharma di
Indonesia yang terletak di pinggir atau di atas laut, di mana para umat Hindu datang
beribadah dan menyucikan diri. Kata Kaja pada Pura Kaja Segara Nirmala merujuk
pada posisi laut yang ada di lokasi. Sedangkan kata Nirmala dimaksudkan agar umat

9
yang datang menunaikan ibadahnya di Pura Kaja Segara Nirmala dapat dihindarkan
dari segala kemalangan atau hal-hal buruk.
Sama seperti Pura pada umumnya, Pura Segara berfungsi sebagai (1) sarana
peribadatan bagi umat Hindu dalam usahanya melakukan penyerahan diri dan
mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa sehingga dapat meningkatkan
kualitas umat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Di tempat suci
seperti Pura, diharapkan manusia dapat mengembangkan dirinya untuk saling mengenal
diantara sesama umat sehingga Tri Kerukunan dapat terwujud.2
Pura Segara juga digunakan oleh umat Hindu untuk (2) melakukan upacara–
upacara yang bersifat keagamaan. Perbedaan Pura Segara dengan Pura lainnya
terletak pada beberapa upacara yang hanya bisa dilakukan di Pura Segara (karena
upacara dilangsungkan atau mengambil tempat di pantai/laut), yakni seperti :
- Melasti
Upacara penyucian manusia dan kehidupannya di mana sebelum Hari Raya
Nyepi wajib dilakukan dengan bersembahyang dan mandi di tepi pantai.
Dipercaya bahwa unsur-unsur jahat / buruk manusia nantinya akan dibuang
dan dilarung ke lautan
- Ngaben
Upacara tabur abu jenazah di laut
- Banyu Pinaruh
Banyu artinya “air”, Pinaruh artinya “pengetahuan”. Merupakan upacara
yadnya yang dilakukan setelah hari raya Saraswati (hari raya ilmu
pengetahuan), yang bertujuan untuk pembersihan dan kesucian diri. Umat
membersihkan badan dan keramas pada sumber-sumber air atau di laut.
Secara keseluruhan, kegiatan upacara dapat dibagi menjadi lima macam upacara
(Panca Yadnya). Panca Yadnya merupakan lima pokok penuntun pelaksanaan upacara
Yadnya, yaitu :
 Dewa Yadnya. Upacara memuji Sang Hyang Widhi di Pura, sanggah atau
pemerajan

2
Tri Kerukunan : kerukunan sesama umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan
antar umat beragama dan pemerintah.

10
 Rsi Yadnya. Upacara untuk para pandita atau orang suci yang telah memimpin
upacara demi keselamatan bersama.
 Pitra Yadnya. Upacara untuk roh-roh leluhur yang telah mengadakan, melahirkan,
dan memelihara manusia, guna mendoakan leluhur agar mencapai surga , alam
sunya, cepat mencapai moksa dan mencapai murea atau menyatu dengan Tuhan.
 Manusa Yadnya. Upacara terhadap manusia agar menjadi suputra 3, selamat,
sejahtera, luhur budinya, sehingga melahirkan masyarakat susila.
 Bhuta Yadnya. Upacara korban untuk para Bhuta, yaitu Panca Maha Bhuta terdiri
dari Akaca (Angkasa), Bayu (Angin), Teja (Api), Apah (Air), dan Pertiwi (Tanah)
sampai Bhuta-Kala yang dipercaya ikut menyelamatkan masyarakat atau roh
kekuatan di luar manusia yang kasat mata.

Disamping tempat beribadah, Pura juga berfungsi sebagai tempat untuk melakukan
pembinaan rohani, dalam rangka mempertebal keyakinan umat Hindu terhadap ajaran
agamanya. Biasanya teradapat bangunan terpisah semacam kelas di samping Pura yang
dipergunakan sebagai tempat pembinaan keagamaan.

2.2 Kedalaman Pemaknaan Objek Rancangan


2.2.1 Munculnya Agama Hindu di Indonesia
Sumber historis titik awal perkembangan agama Hindu dapat diketahui pada abad
IV Masehi di Kutai, Kalimantan Timur . Bukti perkembangannya diketahui dengan
ditemukannya 7 buah prasasti dalam bentuk yupa yang memakai huruf Pallawa
berbahasa Sansekerta dalam bentuk syair, yang dibangun pada masa Raja Mulawarman.
Sedangkan di Jawa Barat diketahui dengan ditemukannya 7 buah prasasti yaitu
Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Ciaten, Tugu, dan Lebak. Prasasti
ini menggunakan huruf Pallawa dengan bahasa Sansekerta. Ketujuh prasasti tersebut
memberi keterangan tentang keberadaan kerajaan Purnawarman di Jawa Barat.
Demikian selanjutnya di Jawa Tengah, diketahui melalui Prasasti Tuk Mas yang
ditemukan di lereng Gunung Merbabu pada masa Kerajaan Holing/Kalingga yang
diperintah oleh seorang raja putri bernama Ratu Sima (674-675 M). Sedangkan di
Palembang diketemukan 6 prasasti, yaitu prasasti Kota Kapur (pulau Bangka), Prasasti

3
Berasal dari bahasa Sanskerta. “Suputra”, Su artinya Baik, Putra artinya Anak. Suputra adalah anak
yang baik atau mulia

11
Tua, Prasasti Talangtuo, Prasasti Telaga Batu, dan Prasasti Karang Berahi pada masa
pemerintahan Sriwijaya di Palembang, Sumatra Selatan. Selanjutnya pada masa
kerajaan Mataram Jawa Tengah diketemukan Prasasti Canggal, bertahun 732 Masehi,
berhuruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Sedangkan di Jawa Timur pada masa wangsa
Isyana dengan rajanya Airlangga (963 M, Saka 1041), ditemukan prasasti yang
berbahasa Sansekerta. Pada pemerintahan Empu Sindok (929-948 Masehi) ditemukan
sekitar 20 prasasti, sebagian besar ditulis di atas batu. Selanjutnya diketahui pada masa
pemerintahan Kediri dan Singosari serta pada kerajaan Majapahit. Sedang di Bali di
Bedahulu, putra raja di Balingkang dan masa pemerintahan raja Sri Dharma Udayana
Warmadewa dengan dibangunnya konsep Tri Murti, Kahyangan Tiga dan Kahyangan
Jagad oleh Mpu Kuturan. Selanjutnya diketahui juga bukti-bukti itu pada masa kerajaan
Gelgel (Wangsa Krsna Kapakisan) dan Raja Udayana, dengan dibangunnya Pura Sad
Kahyangan yaitu Pura Purancak dan Rambut Siwi di Kabupaten Jembrana; Pura Pulaki,
Pura Melanting, Pura Ponjok Batu di Kabupaten Buleleng; Pura Tanah Lot di
Kabupaten Tabanan; Pura Peti Tenget dan Pura Ulu Watu Kabupaten Badung; Pura
Watu Klotok di Kabupaten Klungkung; dan Pura Air Jeruk di Kabupaten Gianyar.
Di samping untuk mengetahui periodisasi gambaran perkembangan Agama Hindu
secara faktual sejak awal perkembangannya sampai sekarang, juga untuk lebih
memberikan pemahaman tentang makna yang terkandung dalam proses
perkembangannya itu.

2.2.2 Filosofi
2.2.2.1 Agama Hindu
Ada tiga kerangka dasar yang membentuk ajaran agama Hindu, ketiga kerangka
tersebut sering juga disebut tiga aspek agama Hindu. Ketiga kerangka dasar itu antara
lain :
 Tattwa, yaitu pengetahuan tentang filsafat agama
 Susila, yaitu pengetahuan tentang sopan santun, tata krama
 Upacara, yaitu pengetahuan tentang Yadyna, upacara agama

Ajaran Tattwa mengajarkan tentang “ Sradha “ yang berarti “yakin” atau


“percaya”. Sradha dalam agama Hindu jumlahnya ada lima (panca) yang disebut “
Panca Sradha “ :

12
1. Brahman ( Percaya akan adanya Hyang Widhi )
Hyang Widhi adalah yang menakdirkan, maha kuasa, dan pencipta semua
yang ada. Kita percaya bahwa beliau ada, meresap di semua tempat dan mengatasi
semuanya “Wyapi Wyapaka Nirwikara “. Di dalam kitab Brahman Sutra
dinyatakan “ Jan Ma Dhyasya Yatah “ artinya Hyang Widhi adalah asal mula dari
semua yang ada di alam semesta ini. Dari pengertian tersebut bahwa Hyang
Widhi adalah asal dari segala yang ada. Kata ini diartikan semua ciptaan, yaitu
alam semesta beserta isinya termasuk Dewa – Dewa dan lain sebagainya, berasal
dan ada di dalam Hyang Widhi. Tidak ada sesuatu di luar diri Beliau. Penciptaan
dan peleburan adalah kekuasaan Beliau. Agama Hindu mengajarkan bahwa
Hyang Widhi Esa adanya tidak ada duanya. Hal ini dinyatakan dalam beberapa
kitab Weda antara lain :
 Dalam Chandogya Upanishad dinyatakan :
“ Om tat Sat Ekam Ewa Adwityam Brahman”
“Hyang Widhi hanya satu tak ada duanya dan maha sempurna.”

 Dalam mantra Tri Sandhya tersebut kata – kata :


“Eko Narayanad na Dwityo Sti Kscit“
“hanya satu Hyang Widhi dipanggil Narayana, sama sekali tidak ada duanya.”

 Dalam Kitab Suci Reg Weda disebutkan :


“Om Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti “
“Hyang Widhi itu hanya satu, tetapi para arif bijaksana menyebut dengan
berbagai nama.”

 Dalam kekawin Sutasoma dinyatakan :


“Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”
“berbeda – beda tetapi satu, tak ada Hyang Widhi yang ke dua.”

Pernyataan – pernyataan di atas sangat jelas, umat Hindu bukan menganut


Politheisme, melainkan mengakui dan percaya adanya satu Hyang Widhi. Hindu
sangat lengkap, dan fleksibel. Tuhan dalam Hindu diinsyafi dalam 3 (tiga) aspek

13
utama, yaitu Brahman (yang tidak terpikirkan), Paramaatma (Berada dimana-
mana dan meresapi segalanya), dan Bhagavan (berwujud).

2. Atman ( Percaya akan adanya Sang Hyang Atma )


Atma berasal dari Hyang Widhi yang memberikan hidup kepada semua
mahluk. Atma atau Sang Hyang Atma disebut pula Sang Hyang Urip. Manusia,
hewan dan tumbuhan adalah mahluk hidup yang terjadi dari dua unsur yaitu
badan dan atma. Badan adalah kebendaan yang terbentuk dari lima unsur kasar
yaitu Panca Maha Butha. Di dalam badan melekat indria yang jumlahnya
sepuluh (Dasa Indria). Atma adalah yang menghidupkan mahluk itu sendiri,
sering juga disebut badan halus . atma yang menghidupkan badan manusia
disebut “ Jiwatman “. Badan dengan atma ini bagaikan hubungan “kusir” dengan
“kereta”. Kusir adalah atma, dan kereta adalah badan. Indria yang ada pada badan
kita tidak akan ada fungsinya apabila tidak ada atma. Misalnya, mata tidak dapat
digunakan untuk pengelihatan jika tidak dijiwai oleh atma. Telinga tidak dapat
digunakan untuk pendengaran jika tidak dijiwai oleh atma. Atma yang berasal
dari Hyang Widhi mempunyai sifat “Antarjyotih“ (bersinar tidak ada yang
menyinari, tanpa awal dan tanpa akhir, dan sempurna). Dalam kitab Bhagavad
gita disebut sifat atma sebagai berikut :

 Achodyhya artinya tak terlukai oleh senjata


 Adahya artinya tak terbakar oleh api
 Akledya artinya tak terkeringkan oleh angin
 Acesyah artinya tak terbasah oleh air
 Nitya artinya abadi, kekal
 Sarwagatah artinya ada di mana – mana
 Sthanu artinya tak berpindah – pindah
 Acala artinya tak bergerak
 Sanatana artinya selalu sama
 Adyakta artinya tak terlahirkan
 Achintya artinya tak terpikirkan
 Awikara artinya tak berjenis kelamin

14
Jelaslah atma itu sifatnya sempurna. Tetapi pertemuan antara atma dengan
badan yang kemudian menimbulkan ciptaan menyebabkan atma dalam keadaan
“Awidhya“. Awidhya artinya gelap, lupa kepada kesadaran . Awidhya muncul
karena pengaruh unsur panca maha butha yang mempunyai sifat duniawi.
Sehingga dalam hidup ini atma dalam diri manusia di dalam keadaan awidhya.
Dalam keadaan seperti ini kita hidup kedunia bertujuan untuk menghilangkan
awidhya untuk meraih kesadaran yang sejati dengan cara melaksanakan Subha
karma. Menyadari sifat atma yang serba sempurna dan penuh kesucian
menimbulkan usaha untuk menghilangkan pengaruh awidhya tadi. Karena
apabila manusia meninggal kelak hanya badan yang rusak, sedangkan atma-nya
tetap ada kembali akan mengalami kelahiran berulang dengan membawa “Karma
Wasana“ (bekas hasil perbuatan). Oleh karena itu, manusia lahir kedunia harus
berbuat baik atas dasar pengabdian untuk membebaskan Sang Hyang Atma dari
ikatan duniawi. Sesungguhnya jika tidak ada pengaruh duniawi Hyang Widhi dan
Atma itu adalah tunggal adanya (Brahman Atman Aikyam)

3. Karma ( Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala )


Setiap perbuatan yang kita lakukan di dunia ini baik atau buruk akan
memberikan hasil. Tidak ada perbuatan sekecil apapun yang luput dari hasil atau
pahala, langsung maupun tidak langsung pahala itu pasti akan datang. Kita
percaya bahwa perbuatan yang baik atau Subha karma membawa hasil yang
menyenangkan atau baik. Sebaliknya perbuatan yang buruk atau Asubha karma
akan membawa hasil yang duka atau tidak baik. Perbuatan – perbuatan buruk atau
Asubha karma menyebabkan Atma jatuh ke Neraka, di mana ia mengalami segala
macam siksaan. Bila hasil perbuatan jahat itu sudah habis terderita, maka ia akan
menjelma kembali ke dunia sebagai binatang atau manusia sengsara (Neraka
Syuta). Namun, bila perbuatan – perbuatan yang dilakukan baik maka berbagai
kebahagiaan hidup akan dinikmati di sorga. Dan bila hasil dari perbuatan –
perbuatan baik itu sudah habis dinikmati, kelak menjelma kembali ke dunia
sebagai orang yang bahagia dengan mudah ia mendapatkan pengetahuan yang
utama.
Jika dilihat dari sudut waktu, Karma phala dapat dibagi menjadi tiga bagian
yaitu :
 Sancita karma phala
15
Sancita karma phala adalah hasil dari perbuatan kita dalam kehidupan
terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang
menentukan kehidupan kita sekarang. Bila karma kita pada kehidupan yang
terdahulu baik, maka kehidupan kita sekarang akan baik pula (senang,
sejahtera, bahagia). Sebaliknya bila perbuatan kita terdahulu buruk maka
kehidupan kita yang sekarang ini pun akan buruk (selalu menderita, susah, dan
sengsara)
 Prarabda karma phala
Prarabda karma phala adalah hasil dari perbuatan kita pada kehidupan
sekarang ini tanpa ada sisanya, sewaktu masih hidup telah dapat memetik
hasilnya, atas karma yang dibuat sekarang. Sekarang menanam kebijaksanaan
dan kebajikan pada orang lain dan seketika itu atau beberapa waktu kemudian
dalam hidupnya akan menerima pahala, berupa kebahagiaan. Sebaliknya
sekarang berbuat dosa, maka dalam hidup ini dirasakan dan diterima hasilnya
berupa penderitaan akibat dari dosa itu. Prarabda karma phala dapat diartikan
sebagai karma phala cepat.
 Kriyamana karma phala
Kriyamana karma phala adalah pahala dari perbuatan yang tidak dapat
dinikmati langsung pada kehidupan saat berbuat. Tetapi, akibat dari perbuatan
pada kehidupan sekarang akan dan di terima pada kehidupan yang akan
datang, setelah orangnya mengalami proses kematian serta pahalanya pada
kelahiran berikutnya. Apabila karma pada kehidupan yang sekarang baik maka
pahala pada kehidupan berikutnya adalah hidup bahagia, dan apabila karma
pada kehidupan sekarang buruk maka pahala yang kelak diterima berupa
kesengsaraan.
Tegasnya, cepat atau lambat dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala
pahala dari perbuatan itu pasti diterima karena sudah merupakan hukum. Kita
tidak dapat menghindari hasil perbuatan kita itu baik atau buruk. Maka kita
selaku manusia yang dilengkapi dengan bekal kemampuan berpikir, patutlah
sadar bahwa penderitaan dapat diatasi dengan memilih perbuatan baik.
Manusia dapat berbuat atau menolong dirinya dari keadaan sengsara dengan
jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi
manusia.

16
4. Samsara (Percaya dengan adanya reinkarnasi / kelahiran kembali)
Samsara disebut juga Punarbhawa yang artinya lahir kembali ke dunia
secara berulang – ulang. Kelahiran kembali ini terjadi karena adanya atma masih
diliputi oleh keinginan dan kemauan yang berhubungan dengan keduniawian.
Kelahiran dan hidup ini sesungguhnya adalah sengsara, sebagai hukuman yang
diakibatkan oleh perbuatan atau karma di masa kelahiran yang lampau. Jangka
pembebasan diri dari samsara, tergantung pada perbuatan baik kita yang lampau
(atita) yang akan datang (nagata) dan sekarang (wartamana).
Pembebasan dari samsara berarti mencapai penyempurnaan atma dan
mencapai moksa yang dapat dicapai di dunia ini juga. Pengalaman kehidupan
samsara ini dialami oleh Dewi Amba dalam cerita Mahabharata yang lahir
menjadi Sri Kandi. Selanjutnya keyakinan adanya Punarbhawa ini akan
menimbulkan tindakan sebagai berikut :
 Pitra Yadnya, yaitu memberikan korban suci terhadap leluhur kita, karena kita
percaya leluhur itu masih hidup di dunia ini yang lebih halus.
 Pelaksanaan dana Punya (amal sale), karena perbuatan ini membawa
kebahagiaan setelah meninggal.
 Berusaha menghindari semua perbuatan buruk karena jika tidak, akan
membawa ke alam neraka atau menglami kehidupan yang lebih buruk lagi.

5. Moksa (Percaya dengan adanya kebahagiaan rohani)


Moksa berarti kebebasan. Kamoksan berarti kebebasan yaitu bebas dari
pengaruh ikatan duniawi, bebas dari karma phala, bebas dari samsara, dan lenyap
dalam kebahagiaan yang tiada tara. Karena telah lenyap dan tidak mengalami lagi
hukum karma, samsara, maka alam kamoksam itu telah bebas dari urusan –
urusan kehidupan duniawi, tidak mengalami kelahiran lagi ditandai oleh
kebaktian yang suci dan berada pada alam Parama Siwa.
Alam moksa sesungguhnya bisa juga dicapai semasa masih kita hidup di
dunia ini, keadaan bebas di alam kehidupam ini disebut Jiwan Mukti atau moksa
semasa masih hidup. Moksa sering juga diartikan bersatunya kembali atma
dengan Parama Atma di alam Parama Siwa. Di alam ini tiada kesengsaraan, yang

17
ada hanya kebahagiaan yang sulit dirasakan dalam kehidupan di dunia ini (Sukha
tan pawali Duhka).
Syarat utama untuk mencapai alam moksa ini ialah berbhakti pada dharma,
berbhakti dengan pikiran suci. Kesucian pikiran adalah jalan utama untuk
mendapatkan anugrah utama dari Sang Hyang Widhi Wasa. Hal ini dapat
dibandingkan dengan besi yang bersih dari karatan, maka dengan mudah dapat
ditarik oleh magnet. Tetapi besi itu kotor penuh dengan karat sehingga sangat
sukar dapat ditarik.
Moksa merupakan tujuan akhir yang harus diraih oleh setiap orang menurut
ajaran agama Hindu. Tujuan tersebut dinyatakan dengan kalimat “Mokharatam
Jagadhita ya ca iti Dharma“.
Moksa sebagai tujuan akhir dapat dicapai melalui empat jalan yang disebut
Catur Marga yang terdiri dari :
 Bhakti Marga (jalan Bhakti)
 Karma Marga (jalan Perbuatan)
 Jnana Marga (Jalan Ilmu Pengetahuan)
 Raja Marga (Jalan Yoga)

2.2.2.2 Tri Hita Karana


Sepanjang hidupnya, manusia dihadapkan oleh dua dorongan/kehendak yang
bertolak belakang. Manusia harus menyelaraskan antara baik dan buruk, hidup
dan mati, positif dan negatif. Sangat berbeda dengan filosofi barat di mana
mereka harus memilih salah satu dari setiap pilihan tersebut. Setiap kehendak
yang berlawanan merupakan bagian yang setara dengan realita dan manusia harus
hidup berdampingan dengan baik dan buruk. Dengan menjaga keseimbangan,
tidak ada dari kedua hal tersebut yang berada di posisi yang lebih kuat/lebih
banyak. Bahkan kedua hal tersebut tidak akan ada jika tidak berdampingan.
Prinsip dasar mengenai dua kehendak yang berlawanan dan manusia berada di
tengah-tengahnya, dapat ditemukan dalam ajaran Hindu dan kehidupan umatnya.

Dalam filsafat Hindu, terdapat suatu ajaran keharmonisan antara Tuhan,


manusia, dan alam, yang dikenal dengan Tri Hita Karana. Berasal dari bahasa
Sankserta yakni, ”Tri” berarti Tiga, “Hita” berarti Kebahagiaan dan “Karana”
berarti Penyebab. Jadi, Tri Hita Karana artinya 3 penyebab kebahagiaan, yang

18
berasal dari keseimbangan dan harmonisasi hubungan antara manusia dan Tuhan;
dalam hal kesetiaan manusia untuk berbakti/taat pada Tuhan Yang Maha Esa,
manusia dan manusia; dalam hal dedikasi dan jasa yang saling membantu antara
sesama manusia, dan manusia dan alam; dalam hal ini menjaga kelangsungan
lingkungan. Manusia sebagai makhluk sosial dapat mencapai kebahagiaan hidup
jasmani dan rohani jika mereka bisa menciptakan harmoni dalam hubungan
dengan Tuhan, sesama manusia dan alam berdasarkan Yadnya (yakni penyucian
diri, peningkatan kualitas diri, sembahyang, dan senantiasa bersyukur dan
berterima kasih kepada Sang Pencipta).

Skema 2.1 Tri Hita Karana


(Sumber : Peters, Wardana, Tri Hita Karana-The Spirit of Bali, 2013)

Yadnya berasal dari Bahasa Sansekerta dari akar kata “Yaj” yang artinya
memuja. Secara etimologi pengertian Yadnya adalah korban suci secara tulus
ikhlas dalam rangka memuja Hyang Widhi.

Pada dasarnya Yadnya adalah penyangga dunia dan alam semesta, karena
alam dan manusia diciptakan oleh Hyang Widhi melalui Yadnya. Pada masa srsti
yaitu penciptaan alam, Hyang Hidhi masih dalam kondisi Nirguna Brahma (
Tuhan dalam wujud tanpa sifat ) melakukan Tapa sehingga menjadikan diri beliau
Saguna Brahma (Tuhan dalam wujud sifat Purusha dan Pradhana ). Dari proses
ini jelas bahwa awal penciptaan telah dilakukan Yadnya, yaitu pengorbanan diri
Hyang Widhi dari Nirguna Brahma menjadi Saguna Brahma. Selanjutnya semua
alam diciptakan secara evolusi melalui Yadnya. Dalam Bhagawad Gita, Bab III,
Sloka 10, disebutkan :

19
“saha-yajòàá prajàh såûþwà purowàca prajàpatih;

anena prasawiûyadham eûa wo ‘stw iûþa-kàma-dhuk”

“Dahulu kala Prajapati ( Hyang Widhi ) menciptakan manusia dengan yajnya dan
bersabda; dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk
keinginanmu “

Dari satu sloka di atas jelas bahwa manusia saja diciptakan melalui Yadnya, maka
untuk kepentingan hidup dan berkembang serta memenuhi segala keinginannya
semestinya dengan Yadnya.

Dalam kitab suci Bhagawad Gita dijelaskan, Yadnya artinya suatu perbuatan
yang dilakaukan dengan penuh bhakti keikhlasan dan kesadaran untuk
melaksanakan persembahan kepada Tuhan. Yadnya berarti upacara atau identik
dengan persembahan suci yang dilaksanakan dengan korban suci yang dilandasi
oleh sikap dan mental yang suci. Sarana yang diperlukan sebagai perlengkapan
sebuah Yadnya diistilahkan dengan Upakara. Upakara dapat diartikan dengan
suatu perlambangan Yadnya serta identik dengan pelayanan, kerendahan hati dan
ketulusan hati, yang menwujudkan sikap dan perilaku, bersumber dari hati yang
hening atau suci. Berdasarkan Bhagawad Gita 3.9 :

“yajnarthat karmano ‘nyatra Loko’yam karmabandhanah


Tadartham karma kaunteyaMuktasangah samacara”

“Pekerjaan yang dilakukan sebagai korban suci kepada dewa Wisnu, harus
dilakukan. Kalau tidak pekerjaan akan menyebabkan ikatan dunia material.
Karena itu lakukanlah kewajiban-mu yang telah ditetapkan guna memuaskan
beliau, wahai Arjuna, dengan cara demikian engkauakan selalu tetap bebas dari
ikatan”.
Dari khotbah tersebut dapat ditegaskan bahwa Yadnya sebagai pedoman
agama Hindu mengandung pengertian :
 Merupakan sistem pemujaan dan kontak memuja Tuhan
 Merupakan prinsip berkorban agar umat-Nya bersedia, rela dan menyadari
bahwa berkorban itu sebagai pemelihara kelangsungan hidup menuju
pembebasan (Vaikhuntha)

20
Dalam rangka mencapai tujuan tertinggi manusia (Moksartham Jagad Hita :
kebahagiaan sekala dan niskala), manusia harus melakukan aktivitas dan
berkarma. Paling tidak empat hal yang harus dilakukan manusia yaitu, penyucian
diri, peningkatan kualitas diri, sembahyang, dan senantiasa bersyukur dan
berterima kasih kepada Sang Pencipta. Empat hal tersebut dapat dicapai melalui
Yadnya. Oleh karena itu, tujuan Yadnya adalah :
I. Penyucian
Untuk mencapai kebahagiaan maka hidup ini harus suci. Tanpa kesucian
sangat mustahil keharmonisan dan kebahagiaan itu dapat tercapai. Pribadi dan
jiwa manusia dalam aktivitasnya setiap hari berinteraksi dengan sesama
manusia dan alam lingkungan akan saling berpengaruh. Guna (sifat Satwam,
Rajas, dan tamas) orang akan saling mempengaruhi, demikian juga “guna”
alam akan mempengaruhi manusia. Untuk mencapai kebahagiaan maka
manusia harus memiliki imbangan Guna Satwam yang tinggi. Pribadi dan jiwa
manusia harus dibersihkan dari guna rajas dan guna tamas. Melalui Yadnya
kita dapat menyucikan diri dan juga menyucikan lingkungan alam sekitar. Jika
manusia dan alam memiliki tingkatan guna satwam yang lebih banyak maka
keharmonisan alam akan terjadi. Kitab Manawa Dharmasastra V.109
menyatakan :

“Adbhirgatrani suddhayanti mana satyena suddhayanti, Widyatapobhyam


bhutatma buddhir jnanena suddhayanti”

“Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa


manusia dibersihkan dengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan
dibersihkan dengan pengetahuan yang benar.”

Oleh karena itu jadikanlah aktivitas sehari-hari kita sebagai Yadnya.


Laksanakan kewajiban diri sendiri dengan penuh kesadaran dan keihlasan
sehingga masuk dalam kelompok Yadnya. Dengan demikian maka setiap
kegiatan yang kita lakukan selalu memberikan kesucian pada diri pribadi.
Demikian juga untuk kesucian alam dan lingkungan lakukan upacara / ritual
sesuai dengan sastra agama sehingga kita akan senantiasa berada pada

21
lingkungan yang suci. Lingkungan yang suci akan memberikan kehidupan
yang suci juga bagi manusia.

II. Meningkatkan kualitas diri


Setiap kelahiran manusia selalu disertai oleh karma wasana. Demikian
pula setiap kelahiran bertujuan untuk meningkatkan kualitas jiwa. Hanya
dilahirkan sebagai manusia memiliki sabda, bayu, dan ide dapat melakukan
perbuatan baik sebagai cara untuk meningkatkan kualitas jiwa, sebagaimana
dijelaskan dalam Kitab Sarasamuscaya (salah satu kitab suci Hindu Dharma,
yang merupakan sumber ajaran etika. Ditulis oleh Bhagawan Wararuci,
seorang pertapa-kawi dari Pulau Jawa, pada sekitar abad ke 9 Masehi) sloka 2
sebagai berikut :

“Ri sakwehning sarwa bhùta, iking janma wwang juga wénang


gumawayakén ikang çubhàçubhakarma, kunéng panéntasakéna ring
çubhakarma juga ikangaçubhakarma, phalaning dadi wwang.

“Diantara semua mahluk hidup , hanya yang dilahirkan sebagai manusia


saja yang dapat melaksanakan perbuatan baik atau perbuatan buruk, oleh
karena itu leburlah ke dalam perbuatan baik , segala perbuatan yang buruk
itu; demikianlah gunanya menjadi manusia.”

Dari sloka di atas jelas kewajiban hidup manusia adalah untuk selalu
meningkatkan kualitas diri melalui perbuatan baik. Perbuatan baik yang paling
utama adalah melalui Yadnya. Dengan demikian setiap Yadnya yang kita
lakukan hasilnya adalah terjadinya peningkatan kualitas jiwa.

III. Sebagai sarana menghubungkan diri dengan Tuhan


Alam semesta dengan segala isinya termasuk manusia adalah ciptaan
Hyang Widhi. Oleh karena itu hidup manusia dalam rangka mencapai
tujuannya tidak akan lepas dari tuntunan dan kekuasaan Tuhan. Untuk
menjaga agar senantiasa jalan kehidupan kita pada arah yang benar dan selalu
mendapat sinar suci serta tuntunan Hyang Widhi maka haruslah kita selalu
menjalin hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sebagaimana dalam ajaran

22
Tri Hita Karana. Cara paling sederhana menghubungkan diri dengan Tuhan
adalah sembahyang. Sembahyang artinya menyembah Hyang Widhi. Jika
dalam kehidupan kita senantiasa dapat memusatkan pikiran, memuja Hyang
widhi maka tujuan tertinggi pasti akan tercapai sebagaimana sabda Tuhan
dalam Bhagawad Gita Bab IX sloka 34 :

“Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbaktilah pada-Ku, dan tunduklah pada-


Ku, dan dengan mendisiplinkan dirimu serta menjadikan-Ku sebagai
tujuan, engkau akan sampai kepada-Ku.”

Untuk senantiasa dapat memusatkan pikiran dan memuja Hyang Widhi


tidaklah mudah. Perlu kedisiplinan dan keihlasan dalam menjalaninya. Satu-
satunya cara agar kita selalu dapat menghubungkan diri dengan Maha Pencipta
adalah dengan mempelajari, memahami dan melaksanakan Yadnya. Yadnya
dalam kegiatan karma keseharian adalah sarana untuk menghubungkan diri
dengan Tuhan. Terlebih Yadnya dalam bentuk Upacara/ritual, jelas merupakan
wujud nyata usaha menghubungkan manusia dengan Sang Penciptanya.

IV. Sebagai ungkapan rasa terima kasih.


Manusia memiliki rasa dan pikiran dan dalam tatanan kehidupan sosial
terikat pada aturan susila dan moral. Dengan olah rasa yang baik maka, rasa
syukur merupakan salah satu motivasi utama untuk selalu berbuat kebajikan.
Kita diberikan hidup sebagai manusia, dilahirkan pada keluarga yang satwam
(damai, tenang, bahagia), berada pada lingkungan sosial yang baik, dan
diciptakan bersama bumi yang penuh keindahan dan kedamaian, adalah suatu
yang luar biasa. Oleh karena itu tidak ada alasan bagi manusia bijak untuk
tidak bersyukur dan tidak berterima kasih kepada Sang Pencipta. Ungkapan
rasa syukur dan terima kasih kepada Hyang Widhi itulah dilakukan dengan
Yadnya. Bekerja dengan benar, belajar giat, menolong orang yang kesusahan,
dan kegiatan lain yang didasari pengabdian dan rasa ikhlas adalah salah satu
contoh ungkapan rasa syukur dan ucapan terima kasih atas anugerah Tuhan
untuk kesehatan, keselamatan diri, rejeki, serta kehidupan yang kita terima.
Upacara/ritual yang dilakukan Umat Hindu baik yang bersifat rutin (contohnya
ngejot, maturan sehari-hari dsb ), maupun berkala ( rahinan, odalan, serta hari

23
suci lainnya ) salah satu tujuan utamanya sebagai ungkapan rasa syukur dan
terima kasih kepada Hyang Widhi atas semua anugrah-Nya.

V. Untuk menciptakan kehidupan yang harmonis


Hyang Widhi menciptakan alam dengan segala isinya untuk memutar
kehidupan. Sekecil apapun ciptaan-Nya memiliki fungsi tersendiri dalam
kehidupan ini. Dewa, Asura, manusia, binatang, tumbuhan, bulan, bintang,
bahkan bakteri dan kumanpun semuanya memiliki tugas dan fungsi tersendiri
dalam memutar kehidupan ini. Alam dengan segala isinya memiliki
keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain. Oleh karena itu manusia
sebagai bagian alam semesta mempunyai kewajiban untuk menjalankan tugas
dan fungsinya untuk ikut menciptakan keharmonisan kehidupan. Dalam
Bhagawad Gita, III.16 dijelaskan :

“Pàrtha di dunia ini, mereka yang tidak ikut memutar roda kehidupan ini,
pada dasarnya bersifat jahat, memperturutkan nafsu semata dan
mengalami penderitaan, wahai.”

Agar perputaran roda kehidupan ini berjalan dengan harmonis, maka peranan
manusia sangat penting. Jika manusia dalam melakoni hidup penuh
keserakahan dan mengabaikan prinsip-prinsip Dharma maka kehancuran pasti
terjadi. Hanya dengan Yadnya keharmonisan alam dapat tercipta. Yadnya
menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Hyang Widhi,
manusia dengan sesamanya dan keharmonisan hubungan manusia dengan
alam. Dalam melaksanakan Yadnya ada tiga kewajiban utama yang harus
dilunasi manusia atas keberadaannya di dunia ini yang disebut Tri Rna (tiga
hutang hidup). Tri Rna ini dibayar dengan pelaksanaan Panca Yadnya. Tri
Rna terdiri dari :
 Dewa Rna, yaitu hutang hidup kepada Hyang Widhi yang telah
menciptakan alam semesta termasuk diri kita. Untuk semua ini wajib kita
bayar dengan Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya. Dewa Yadnya dalam
bentuk pemujaan kepada Hyang Widhi serta melaksanakan Dharma.
Butha Yadnya dilakukan untuk memelihara alam lingkungan sebagai
tempat kehidupan semua mahluk.
24
 Rsi Rna, yaitu hutang kepada para Rsi yang mengorbankan
kehidupannya sehingga dapat memberikan pencerahan kepada manusia
melalui ajaran-ajarannya sehingga manusia dapat menjalani hidup
dengan lebih baik. Rsi Rna dilunasi dengan melaksanakan Rsi Yadnya.

 Pitra Rna, yaitu hutang kepada orang tua dan leluhur. Leluhur dan orang
tua sangat memiliki peranan besar atas kehidupan kita saat ini. Karma
leluhur dan orang tua berpengaruh terhadap keberadaan setiap orang.
Paling tidak kelahiran kita di dunia karena adanya leluhur dan orang tua.
Oleh karena itu maka sudah menjadi kewajiban untuk membalas hutang
tersebut. Membayar hutang kepada orang tua dan leluhur dilakukan
dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.

Kitab Bhagawad Gita dalam berbagai sloka menjelaskan bahwa bentuk-


bentuk Yadnya, yaitu:
 Yadnya dalam bentuk persembahan / Upakara
 Yadnya dalam bentuk pengendalian diri / tapa
 Yadnya dalam bentuk aktivitas / karma
 Yadnya dalam bentuk harta benda / kekayaan / punia
 Yadnya dalam bentuk ilmu pengetahuan / jnana

2.2.2.3 Swastika Hindu


Agama Hindu mempunyai simbol yang paling disucikan dan merupakan
contoh nyata tentang sebuah simbol religius yang memiliki latar belakang sejarah
dan budaya yang kompleks. Swastika memiliki dasar lambang saling menyilang.
Di Bali dikenal dengan tanda Tapak Dara. Tanda tambah (+) di India disebut
Satiya. Gambar Tapak Dara di Bali biasanya digunakan untuk menolak bahaya
atau memberi ketenangan kepada seseorang. Tapak Dara sebagai dasar Swastika
dapat mewakili Tri Hita Karana, yakni :

25
Gambar 2.1 Lambang Swastika
Sumber: http://www.mantrahindu.com/swastika-hindu-memahami-simbol-dan-arti
(Diakses : 18 Maret 2017)

Keterangan :

1. Garis ke atas sebagai Parahyangan yakni hubungan harmonis kepada Sang Pencipta
2. Garis ke kanan dan ke kiri sebagai Pawongan yakni hubungan harmonis kepada sesama
manusia
3. Garis ke bawah sebagai Palemahan yakni hubungan harmonis kepada alam dan ciptaan-Nya
(Bhutakala)

2.2.2.4 Lokasi
Pembuatan suatu bangunan Pura tidaklah dilihat semata-mata dari sudut
ukuran dan keindahannya tetapi yang penting ialah kesucian tempat di mana Pura
itu dibangun. Kesucian adalah tempat tersebut bisa membuat umatnya terhubung
kepada Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa (“nes” : rasa ada Tuhan)
contohnya seperti lokasi Pura harus menghindari dareah yang terkena bencana,
tidak dialiri air kotor, terhindar dari pemandangan-pemandangan yang tidak baik,
dll. Guna terselenggaranya kontak yang baik dengan Tuhan, maka pemilihan
tempat dari suatu Pura cenderung berada jauh dari keramaian dan pada letak
ketinggian tertentu. Semuanya bertujuan agar tercipta suatu konsentrasi dalam
menghubungkan diri kepada Tuhan. Aroma / wewangian dari bunga dan dupa
juga membantu terciptanya konsentrasi yang baik. Pura dikelilingi oleh telaga
atau taman bunga, maksudnya untuk menjaga getaran kesucian di sekitar dan di
dalam Pura.

2.2.2.5 Arsitektur Tradisional Bali


Terdapat filosofi dasar atau filosofi utama yang menjadi titik acuan arsitektur
tradisional Bali, yaitu prinsip Tri Loka, Tri Angga dan Orientasi Kosmologis.

26
A. Tri Loka
Tri Loka merupakan konsep keseimbangan kosmologis yang
dicetuskan oleh Mpu Kuturan mengenai tiga tata nilai hubungan alam selaku
“wadah”. Tata nilai ini memperlihatkan gradasi tingkatan ketuhanan yang
berada pada tingkat yang paling tinggi dan paling rendah. Tri Loka berasal
dari bahasa Sanskerta, ”Tri” artinya “tiga” dan “Loka” artinya alam semesta.
Jadi, Tri Loka adalah 3 (tiga) alam semesta. Ruang dalam ajaran Hindu
terbagi dua, salah satunya adalah alam semesta (macrocosmos) yang disebut
dengan Bhuana Agung (berasal dari bahasa Sanskerta, ”Bhuana” artinya
“alam, dunia atau jagad” dan “Agung” artinya besar. Jadi, Bhuana Agung
adalah alam besar atau alam semesta). Berdasarkan Tri Loka alam semesta
terbagi atas tiga, yaitu (Parisada Hindu Dharma, 1968: 22) 4 :

- Bhur Loka (alam yang ditempati oleh iblis atau dimensi alam negatif)
- Bwah Loka (alam yang ditempati oleh manusia)
- Swah Loka (alam yang ditempati oleh dewa atau dimensi alam positif)

B. Tri Angga
Tri Angga merupakan konsep keseimbangan kosmologis yang
dicetuskan oleh Mpu Kuturan mengenai tiga tata nilai hubungan manusia
selaku “pengisi. Tri Angga Berasal dari bahasa Sanskerta, ”Tri” artinya
“tiga” dan “Angga” artinya badan fisik. Jadi, Tri Angga adalah 3 (tiga)
badan/fisik. Ruang dalam ajaran Hindu yang satunya lagi adalah Bhuana Alit
(microcosmos) yang merupakan ruang terkecil seperti bangunan, tubuh
manusia, partikel atau atom, dll. Bhuana Alit berasal dari bahasa Sanskerta,
”Bhuana” artinya “alam, dunia atau jagad” dan “Alit” artinya kecil. Secara
aplikatif, filosofi Tri Angga dapat dilihat dari gestur bangunan yang
memperlihatkan tiga tingkatan, yaitu kepala-badan-kaki5.

C. Orientasi Kosmologis

4, 5
Lihat gambar 2.5 Perbandingan Tri Loka (Bhuana Agung), Tri Mandala dan Tri Angga (Bhuana Alit).

27
Dalam orientasi kosmologis, di antaranya terdapat konsepsi sanga
mandala. Konsepsi ini lahir dari perpaduan astha dala (delapan penjuru mata
angin) dengan dewata nawa sanga (sembilan mitologi dewa-dewa penguasa
mata angin)6. Falsafahnya tetap menitikberatkan upaya menjaga
keharmonisan dan keselarasan alam. Orientasi ini ditentukan berdasarkan7 :
 Sumbu kosmologis/bumi (yaitu gunung – laut), dan
 Sumbu religi/matahari (yaitu terbit- Penjuru
No Simbolisasi
terbenamnya matahari) Mata Angin
1. Kaja Wisnu

2. Kaja Kangin Sambu

3. Kangin Iswara

4. Kelod Kangin Maeswara

5. Kelod Brahma

6. Kelod Kauh Rudra

7. Kauh Mahadewa

8. Kaja Kauh Sangkara

9. Puseh Siwa

Gambar 2.2 Astha Dala dan Dewata Nawa Sanga


Tabel 2.1 Astha Dala dan Dewata Nawa
(Sumber : Fred Eisman . Jr, Bali: Sekala & Niskala Sanga
Volume I, 1989) (Sumber : Peters, Wardana, Tri Hita
Karana-The Spirit of Bali, 2013)

KAJA – Arah ke gunung

KELOD – Arah ke laut

Gambar 2.3 Aksis gunung-laut.


Orientasi sumbu kosmologis/bumi pada
Pulau Bali
(Sumber : Arrafiani, 2012)
6
Lihat tabel 2.1 dan gambar 2.2 Astha Dala dan Dewata Nawa Sanga
7
Lihat gambar 2.3 dan gambar 2.4 Orientasi Sumbu Kosmologis dan Religi pada pulau Bali

28
Gambar 2.4 Arah terbit-
tenggelam matahari.
Orientasi sumbu religi
pada Pulau Bali
SUNSET – SUNRISE (Sumber : Arrafiani,
Simbol – Simbol 2012)
Kematian Kelahiran

Konsepsi sanga mandala dipakai sebagai acuan layout massa


bangunan pada arsitektur tradisional Bali. Konsepsi ini secara garis besar
dikelompokkan menjadi tiga bagian, yang biasa disebut dengan istilah Tri
Mandala.

D. Tri Mandala
Tri Mandala merupakan pembagian ruang secara horizontal. Berasal
dari bahasa Sanskerta, ”Tri” artinya “tiga” dan “Mandala” artinya
lingkaran/wilayah. Jadi, Tri Mandala adalah 3 (tiga) wilayah.
Konsep ruang Tri Mandala merupakan ungkapan tiga tata nilai wilayah
ruang, yang terdiri dari: ruang sakral/spiritual – komunal – ruang pelayanan.
Struktur tata ruang Tri Mandala ini berpedoman pada :
1.) orientasi gunung – laut (kaja – kelod)
2.) orientasi terbit – terbenamnya matahari (kangin – kauh).
Dengan berpedoman pada orientasi gunung – laut, maka tata ruang di bagian
utama yang digunakan untuk kegiatan spiritual disebut “Utama Mandala”.
Ruang yang bersifat komunal berada di bagian tengah, disebut “Madya
Mandala”. Sedangkan ruang yang bersifat komersial atau pelayanan/servis,
ditempatkan di bagian bawah disebut “Nista Mandala”. Dan bila konsep
ruang Tri Mandala ini berpedoman pada orientasi terbit dan terbenamnya
matahari, maka tata ruang paling timur adalah “Utama Mandala”, bagian
tengah “Madya Mandala” dan yang paling barat adalah “Nista Mandala”.
Bila konsep ruang Tri Mandala dikembangkan dari pola linier ke spatial,

29
maka akan diperoleh tata zoning dalam suatu tapak (site area) berupa
sembilan wilayah tata nilai ruang, yang disebut “Sanga Mandala” (”Sanga”
artinya “sembilan” dan “Mandala” artinya lingkaran. Jadi, Sanga Mandala
adalah 9 (sembilan) lingkaran. Dan dari Sanga Mandala ini, akan
memperoleh letak tempat yang paling baik yakni Utamaning utama dan yang
paling buruk yakni Nistaning nista.8
- Nista Mandala atau juga disebut dengan Jaba Pura, Jaba Pisan, Jaba
Sisi adalah bagian/zona yang paling luar, tempat umum. Untuk Pura,
bagian ini merupakan bagian Nista atau kotor dan tidak sakral. Setiap
orang dapat memasuki bagian ini. Pada zona ini biasanya berupa
lapangan atau taman.
- Madya Mandala adalah bagian/zona tengah. Untuk Pura, bagian ini
sudah dapat dikatakan sacral, karena orang yang masuk pada bagian ini
harus disaring dahulu (orang-orang tertentu tidak boleh masuk, seperti
wanita yang sedang datang bulan, wanita hamil dan orang-orang
keluarganya sedang berduka). Pada bagian ini umat Hindu sudah mulai
terfokus untuk menghadap Sang Hyang Widi Wasa.
- Utama Mandala atau disebut juga dengan Jeroan, merupakan bagian
yang paling suci dalam suatu bangunan dan dijadikan sebagai tempat
sembahyang, hal tersebut berlaku untuk semua bangunan tradisional Bali
seperti Pura, tempat tinggal, kantor, dll. Pada bagian Utama ini, umat
diharuskan benar-benar fokus untuk menghadap Sang Hyang Widhi.

8 Lihat gambar 2.6 Sanga Mandala (halaman 31)

30
Gambar 2.5 Perbandingan Tri Loka (Bhuana Agung), Tri Mandala dan Tri Angga (Bhuana Alit).
(Sumber: analisa pribadi)

Barat Timur

UTAMANING Bagian paling


UTAMANIG UTAMANING
NISTA MADYA
UTAMA Suci

MADYANING MADYANING MADYANING


NISTA MADYA UTAMA
Bagian suci pada
Pura :
Bagian paling Bagian Timur
NISTANING NISTANING NISTANING
Profan NISTA MADYA UTAMA

Gambar 2.6 Sanga Mandala


(Sumber: analisa pribadi)

2.2.3 Ruang Pura


Semua bangunan yang di dalam Pura tentu mempunyai filosofi tersendiri, namun
karena banyaknya jenis Pura dan berbeda-beda pula isinya, maka penulis hanya akan

31
mengambil suatu patokan Pura pada umumnya saja. Banyak segi yang patut disoroti
antara lain faktor kreatif seni, faktor sosiologis umatnya, faktor kondisi alam, dll,
sehingga terdapat ungkapan “desa mawa cara” yang artinya masing-masing desa
mempunyai versi atau aturan sendiri (menggunakan subjek “desa” karena berdasarkan
waktu / awal berdirinya, kebanyakan Pura dibangun di desa-desa).
 Pura dikelilingi dengan tembok atau disebut dengan penyengker sebagai batas
pekarangan yang disakralkan.
 Gerbang/pintu masuk yang pertama yaitu dari luar ke Nista Mandala, di jaga
oleh arca Dwarapala. Biasanya digambarkan sebagai makhluk yang
menyeramkan seperti raksasa atau monster. Jumlah arca Dwarapala pada
umumnya hanya sendirian, sepasang, atau berkelompok. Gerbang/pintu masuk
yang kedua yaitu dari Nista Mandala ke Madya Mandala disebut Candi Bentar.
Candi berarti gunung dan Bentar berarti retak, maka Candi Bentar adalah
gunung yang retak. Filosofinya berasal dari pecahnya gunung Kalica yang
diyakini sebagai tempat bertapa Dewa Siwa, karena itu Candi Bentar terlihat
seperti gunung yang terbelah dua. Gerbang yang ketiga yaitu dari Madya
Mandala ke Utama Mandala disebut Kori Agung. Tidak seperti Candi Bentar,
Kori Agung mempunyai pintu yang lebarnya hanya bisa dimasuki oleh satu
orang saja dan pintu ini selalu tertutup. Umat penyungsung-nya tidak
menggunakan gerbang ini untuk masuk ke dalam Utama Mandala, namun
mereka menggunakan bebetelan yakni pintu masuk kecil yang terdapat di
sebelah kiri dan kanan Kori Agung. Kori Agung dihiasi dengan arca Dwarapala
yang bermotif Panca Dewata Kori Agung, karang Kala, karang Asti, karang
Singa, karang Keketusan Wangga, karang Bentulu, karang Simbar Menjangan,
karang Garuda Ungkur, dan karang-karang lainnya. Hiasan utama pada Kori
Agung adalah karang Kala sebagai simbol penjaga stana Sang Hyang Widhi
yang terletak di Utama Mandala. Dalam lontar “Kalatattwa”, disebutkan
bahwa Kala itu adalah putra Siwa. Secara filosofis, Kala sama dengan Bhuta
sama dengan Dewa (kala-ya, bhuta-ya, dewa-ya), karena itu karang Kala, juga
disebut dengan karang Boma. Hiasan utama Kori Agung ini memang
menyeramkan, namun tujuan dari wajahnya yang seram dengan mata melotot,
taring yang panjang dan kuku yang panjang adalah untuk menakuti roh-roh jahat
yang akan menggangu ibadah dan sembahyang di dalam Utama Mandala.

32
 Pada Nista Mandala, terdapat :
o Bale kul-kul, sebagai tempat kentongan. Fungsinya sebagai penanda
bahwa saat itu akan diadakan upacara. Makna dari dibunyikannya
kentongan jika ada upacara ialah sebagai pemberitahuan kepada umat
bahwa Sang Hyang Widhi turun dari alam Dewata menuju ke stana-Nya
di pura tersebut
o Bale wantilan, berfungsi sebagai tempat untuk mengadakan tontonan
(wali) pada waktu upacara (biasanya seperti tari-tarian), sebagai tempat
berkumpul/rapat, tempat latihan tari-tarian, latihan musik, bahkan tempat
untuk bermalam.
o Bale pewaregan, berfungsi sebagai bangunan yang digunakan sebagai
dapur, tempat sesaji (banten) dibuat.

 Zona Madya Mandala biasanya terdapat :


o Bale gong atau pagongan yang berfungsi sebagai tempat pemain musik
dan penyimpanan alat musik
o Bale panjang yang berfungsi sebagai tempat mengerjakan banten dan
persiapan upacara. Intinya, zona ini berfungsi sebagai penunjang upacara.

 Pada zona Utama Mandala terdapat :


o Bale piyasan yang berfungsi sebagai tempat yang digunakan untuk
menghias dan merangkai simbol-simbol dalam sebuah tempat suci seperti
gegaluhan (pratima-pratima) sebelum distanakan di tempat upakara
o Bale pawedan berfungsi sebagai tempat untuk Pinandita / Pemangku,
dalam menghaturkan weda dan memimpin persembahyangan
o Aling-aling, adalah bangunan berbentuk persegi panjang yang berada di
depan pintu masuk Kori Agung. Aling-aling ini berfungsi sebagai
penghalang pandangan dari arah pintu masuk Kori Agung.
Yang terutama pada zona Utama Mandala ini, adalah pelinggih-pelinggihnya.

2.2.4 Pelinggih
Pelinggih adalah tempat pemujaan umat Hindu yang berbentuk objek maupun
bangunan untuk men-stana-kan Tuhan dan leluhur.

33
 Padmasana
Padmasana atau (Sanskerta:
padmāsana) adalah sebuah tempat untuk
bersembahyang dan menaruh sajian bagi
umat Hindu, terutama umat Hindu di
Indonesia. Menurut Kamus Jawa Kuna-
Indonesia yang disusun oleh Prof. Dr. P.J.
Zoetmulder (Penerbit Gramedia, 1995)
terdiri dari dua kata yaitu : “padma” artinya
bunga teratai dan “asana” artinya sikap
duduk. Hal ini juga merupakan sebuah
posisi duduk dalam yoga. Menurut Prof.
Drs.S. Wojowasito (Penerbit CV Gambar 2.7 Padmasana
Sumber: google
Pengarang, Malang, 1977), Padmasana image_padmasana_pura
(Diakses : 29 Maret 2017)
terdiri dari dua kata yaitu: “Padma” artinya
bunga teratai, atau bathin, atau pusat. “Sana” artinya sikap duduk, atau bathin,
atau pusat. “Sana” artinya sikap duduk, atau tuntunan, atau nasehat, atau
perintah. Berdasarkan dua pendapat ini, bahwa bunga teratai adalah simbol dari
tempat duduk dari dewa-dewa dan Hyang Widhi. Bunga teratai (padma)
dijadikan simbol alam semesta stana Hyang Widhi yang sebenarnya. Dalam
Lontar “Dasa Nama Bunga” disebut, bunga teratai adalah rajanya bunga (Raja
Kesuma) karena hidup di tiga alam : akarnya menancap di lumpur, batangnya
di batangnya di air, sedangkan daun dan bunganya di atas air (udara).
Karenanya, bunga ini adalah simbol Tri Loka atau Tri Bhuwana Stana Hyang
Widhi Wasa dan bunga daunnya yang berlapis-lapis sebagai perlambang dari
sembilan arah penjuru mata angin alam semesta (I Ketut Wiana, 2004). Posisi
padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke
atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran.
Puncak dari padmasana adalah berupa tempat duduk yang
mengumpamakan atau menggambarkan bahwa Hyang Widhi sedang duduk di
situ dan hadir bersama-sama dengan umatnya pada saat sedang beribadah atau
bersembahyang di Pura.
Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat menggambarkan kesucian
dan keagungan Hyang Widhi karena memenuhi unsur-unsur:
34
o Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi
Hyang Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan
Horizontal. : Timur (Purwa) sebagai Iswara, Tenggara (Agneya) sebagai
Maheswara, Selatan (Daksina) sebagai Brahma, Barat Daya (Nairiti)
sebagai Rudra, Barat (Pascima) sebagai Mahadewa, Barat Laut (Wayabya)
sebagai Sangkara, Utara (Uttara) sebagai Wisnu, Timur Laut (Airsanya)
sebagai Sambhu.
o Puncak mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan simbol
kedudukan Hyang Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai Siwa
(adasthasana/ dasar), Sadasiwa (madyasana/ tengah) dan Paramasiwa
(agrasana/ puncak)
o Bunga teratai hidup di tiga alam yaitu tanah/lumpur disebut pertiwi, air
disebut apah, dan udara disebut akasa.

Padmasana mempunyai 5 tingkat, yaitu :

Gambar 2.8 Susunan Padmasana


Sumber: Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, 2008

1. Di dasar padmasana terdapat Bhedawangnala, yaitu ukiran “mpas” (kura-


kura besar) yang dililit dua ekor naga. Kura-kura adalah simbol dasar
bhuvana dibayangkan sebagai api magma, sedangkan naga adalah simbol
Basuki yaitu kekuatan yang mengikat alam semesta. Bhedawangnala
adalah Bahasa Kawi, di mana ‘bheda” artinya: lain, kelompok, selisih;
“wang” artinya: peluang, kesempatan; “nala” artinya: api. Jadi

35
bhedawangnala artinya adalah suatu kelompok (kesatuan) yang
meluangkan adanya api. Api di sini bisa dalam arti nyata sebagai dapur
magma inti bumi, dapat juga dalam arti simbol lain yaitu energi kekuatan
hidup. Karena letaknya di bawah/ dasar bangunan maka simbol
bhedawangnala dapat bermakna sebagai kekuatan bumi ciptaan Hyang
Widhi yang perlu dijaga, dan dapat pula bermakna sebagai dasar kehidupan
manusia yaitu energi yang senantiasa perlu ditumbuh kembangkan. Pada
tingkat berikut terdapat karang gajah, karang boma, karang bun, karang
paksi, dll. yang semuanya bermakna sebagai simbol keaneka ragaman alam
semesta.
2. Tingkat ketiga terdapat Garuda yang meceritakan Dewa Wisnu yang
mengendarai Garuda diletakkan di bagian tengah belakang, adalah simbol
Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai pemelihara.
3. Tingkat keempat yaitu Angsa, diletakkan di bagian atas belakang, adalah
simbol Sang Hyang Saraswati bermakna sebagai: pengetahuan, ketelitian,
kewaspadaan, ketenangan dan kesucian.
4. Kemudian tingkat kelima atau yang paling atas yaitu Acintya adalah simbol
Hyang Widhi yang tidak dapat dilihat, dipikirkan wujudnya, di raba, namun
vibrasinya dapat dirasakan.

Berdasarkan jenisnya, padmasana terbagi atas :


o Padma Anglayang
Bangunan padmasana yang memakai Bhedawang Nala, bertingkat
tujuh / berpalih tujuh dan di puncaknya terdapat tiga ruang. Digunakan
selain sebagai tempat distanakannya Sang Hyang Siwa Raditya atau
Sang Hyang Tripurusa, juga Tri Murti
o Padma Agung
Memakai dasar Bhedawang Nala, bertingkat lima/ berpalih lima dan di
puncaknya terdapat dua ruang. Dipakai sebagai tempat distanakannya
Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa, juga stana
Ardanareswari yaitu kekuatan/kesaktian Hyang Widhi sebagai
pencipta segala yang berbeda misalnya, lelaki-perempuan, siang-
malam, kiri-kanan dan seterusnya.
o Padmasana.

36
Memakai dasar Bhedawang Nala, bertingkat lima/ berpalih lima dan di
puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan selain sebagai stana Sang
Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa, juga sebagai stana
Sang Hyang Tunggal yaitu Hyang Widhi / Yang Maha Esa.
o Padmasari.
Tidak memakai dasar Bhedawang Nala, bertingkat/ berpalih tiga dan
di puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan hanya untuk stana Sang
Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tri Purusa.
o Padma Capah.
Tidak memakai dasar Bhedawang Nala bertingkat/berpalih dua dan di
puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan sebagai Baruna (Dewa
Lautan)

 Meru
Ada dua alternatif mengenai
meru. Pertama, meru berasal dari kata
“Maha meru” yang artinya
“gunung”. Di dalam wheda,
disebutkan bahwa Dewa-dewa ber-
stana di meru. Ini kemungkian besar
kelanjutand dari kepercayaan pra
histori yang menganggap Tuhan
berada di gunung dan laut. Kedua,
Gambar 2.9 Meru Tumpang 11
meru berasal dari kata “meme dan Sumber: Ngakan Ketut Acwin
Dwijendra, 2008
gugu” yang artinya “ibu dan bapak”
atau “aji-akasa” yaitu unsur purusha. Penunggalan purusha dengan praekerti
itulah merupakan kekuatan, sumber segala yang ada.
Dari kedua perngertian ini yang menyebabkan di Bali terdapat meru untuk
Dewa dan meru untuk roh suci/bhatara. Bentuknya menonjolkan keindahan atap
bertingkat-tingkat yang disebut atap tumpang. Jumlah tumpang atap selalu
ganjil, yaitu tumpang 5,7,9, dan tumpang 11 yang tertinggi. Tata letak meru di
suatu pura adalah di halaman jeroan bagian utara. Meru umunya menghadap
kearah barat di sisi timur sebagai salah satu tempat pemujaan utama.

37
 Gedong
Bentuknya serupa dengan
tugu hanya bagian kepalanya
terbuat dari konstruksi kayu,
atapnya alang-alang, ijuk atau
bahan-bahan penutup lain
mengikut bentuk dan fungsinya.
Bagian badan dan kaki, pasangan
batu halus tanpa atau sedikit
perekat siar-siar pasangan. Denah
bujur sangkar dengan ukuran sisi
dasar sekitar 1m dan tinggi sekitar
3m. Fungsi gedong beragam sesuai
dengan tempatnya di pamrajan,
pura, kahyangan atau dilain tempat
Gambar 2.10 Gedong
tertentu. Tata letak gedong, bentuk Sumber: Arsitektur Tradisional
konstruksi atap dan ketentuan lain Daerah Bali, 1981

mengikut fungsi gedong tersebut. Pemakaian bahan, penyelesaian konstruksi


dan hiasannya sesuai dengan tingkatan utama, madya dan sederhana dari suatu
pura yang ditempatinya.Terdapat juga gedong kembar dengan dua ruangan dan
gedong tiga ruangan atau rong telu untuk kemulan di sanggah atau pamerajan.
Gedong dengan atap bertumpang disebut gedong sari untuk kahyangan jagad
dari suatu pura tertentu. Dasar ukuran gedong, proporsi berbaturan dan rangka
ruangnya didasarkan pada ketentuan tradisional. Bentuk penyelesaian, bagian-
bagian dan hiasannya bervarisi mengikuti kreasi logika dan estetika
perancangnya.

2.2.5 Panggilan Beribadah dan Waktu Sembahyang


Waktu sembahyang umat Hindu tercatat dalam kitab Weda Smrti bab 1 ayat 65-72
dikatakan dan bab III ayat 101-103 :
65. 65.
Ahoratre wibhajate suryo Matahari membagi hari siang dan
malam, baik untuk manusia maupun
manusa daiwike, Dewa; malam waktu istirahat dan
siang waktu berkarya bagi semua
makhluk hidup.
38
ratrih swapnaya bhutanam

cestayai karmanamahah

66. 66.
Pitrye ratryahani masah Sebelum adanya satu hari, siang dan
malamnya rokh leluhur (pitra), yang
prawibhagastu paksayoh, pembagiannya adalah satu paksa ( 15hari),
kresna paksa (waktu bagian gelap) waktu
karmacestaswahs krsnah bejerka dan sukla paksa (waktu bulan
tanggal) wantu tidurnya.
cuklah swapnaya cawari

67 67.
. Daiwe ratryahani warsam Setahun adalah satu malam dan satu
siangnya Dewa-dewa, yang
prawibhagastayoh punah, pembagiannya adalah sebagai
berikut, yaitu hari siang ketika
ahastatrodagayanam ratrih, bulan-bulan adalah satu hari untuk
para matahari berada di lintang utara
syaddaksinayanam. dan hari malam ketika bulan-bulan
matahari berada di lintang selatan.

68. 68.
Brahmasya tu khsapahasya Selanjutnya perhatikanlah tentang
hari siang dan malanya Brahma dan
yatpramanam samsatah macam-macam Yuga (zaman)
menurut urutannya.
ekaikaco uganam tu

krama castanni bodhata.

69. 69.
Catwaryahuh sahasrani Krta yuga dinyatakan empat ribunya
Dewa, fajarnya meliputi ratusan
warsanam tat krtam yugam, tahun dan senjanya meliputi ratusan
tahun juga yang sama jumlahnya.
tasya tawacchati samdhya

sasamdhyamcesu ca trisu

widhah.
70.
70.
Itaresu ssam dhyesu Tiga yuga berkutnya masa fajar dan
senjanya, ribuan dan ratusan
sasamdhyesu ca trisu, tahunnya masing-masing berkurang
dengan satu sejara berturut-turut.
ekaipayena wartante

39
sahasrani catani ca.

71. 71.
Yadetatparisamkhyatama Empat yuga yang jumla tahunnya
dua belas ribu tahun dinyatakan satu
dawewa caturyugam, yuganya Dewa.

etad dwadaca sahasram

dewanam yugamucyate.

72. 72.
Daiwikanam yuganam tu Tetapi ketahuilah bahwa
sesungguhnya dua belas ribu
sahasram parisamkhyaya, yuganya Dewa-dewa merupakan
seharinya Brahman, dan malamnya
brahmaneka maharjneyam sama lamanya.

tawatim ratrimewa ca.

 Weda Smrti bab 3 : 101-103

101. 101.
Purwam samdhyam japam Hendaklah ia berdiri di waktu
subuh mengucapkan mantra
stisthetsawitrim arka Sawitri sampai matahari terbit,
tetapi diwaktu sore boleh dengan
darcanat, cara duduk degan jelas

paccimam tu samasinah

samyagrksa wibhrwa

wanat.

102. 102.
Purwam samdhyam japam Ia berdiri diwaktu subuh
mengucapkan mantra Sawitri
stisthanraicemeno wya- menghapus dosa yang dilakukan
selama malam sebelumnya, tetapi
pohati, ia yang duduk mengucapkannya
diwaktu senja (malam)
paccimam tu samasino malam memusnahkan dosa-dosanya yang
dilakukan disiang hari.
hanti diwakrtam.

103.
Tetapi ia yang tidak melakukan
pemujaan, berdiri diwaktu subuh
40
103.
Na tisthati tu yah purwam

nopaste yacca pacci- maupun duduk diwaktu senja,


sebagaimana orang Sudra ia
mam, dikecualikan dari semua hak dan
kewajiban Arya
sa cudra wadwahiskaryah

sarwasmaddwijakarmanah.

2.2.6 Klasifikasi Pura


Pura sebagai tempat pemujaan melaksanakan ibadah agama terdiri dari keluarga
terkecil sampai lingkungan wilayah terbesar. Sesuai dengan fungsinya sebagai tempat
pemujaan Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai manifestasinya, dibedakan menjadi
beberapa macam yaitu, Pura untuk pemujaan keluarga, Pura untuk pemujaan Desa, Pura
untuk pemujaan profesi dan Pura untuk pemujaan umat dari seluruh wilayah.

1. Pura untuk pemujaan keluarga (Pura Kawitan)


 Pamerajan dan Sanggah
Pamerajan merupakan tempat pemujaan keluarga dari kasta Brahmana
atau Ksatria. Sedangkan Sanggah merupakan tempat pemujaan keluarga dari
kasta lainnya. Intinya, Pamerajan atau Sanggah berfungsi untuk tempat
pemujaan keluarga dari suatu unit keluarga rumah tangga sampai keluarga
besar. Pamerajan dibedakan menjadi tiga yaitu :

o Untuk keluarga besar atau yang memiliki keturunan sampai 40 kepala


keluarga, disebut Pamerajan Agung atatu Sanggah Gede. Nama lainnya,
disebut Pamerajan/Sanggah Kawitan atau Dadia.
o Untuk jumlah keluarga yang lebih besar dari 40 kepala keluarga, disebut
Paibon atau Panti. Bangunannya berupa Kemulan dan Taksu namun
Pelinggih-nya terdiri dari 7-11 buah.
o Untuk keluarga kecil, disebut Pamerajan Alit. Bangunannya berupa Kemulan
dan Taksu.

2. Pura untuk pemujaan Desa (Pura Teritorial)


 Pura Kahyangan Desa atau disebut dengan Kahyangan Tiga.

41
Merupakan Pura yang dimuliakan oleh warga desa. Pura Kahyangan Desa
terbagi lagi menjadi 3 yang masing-masing merupakan tempat pemujaan Tri
Murthi (perwujudan Sang Hyang Widhi), yaitu :

o Pura Desa.
Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Brahma, yaitu perwujudan
Ida Sang Hyang Widhi sebagai pencipta alam semesta. Pura ini terletak
dalam kawasan desa atau perkotaan, berfungsi sebagai pusat kegiatan
keagamaan masyarakat Hindu dharma di Bali.
o Pura Puseh.
Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Wisnu, yaitu perwujudan Ida
Sang Hyang Widhi sebagai pemelihara alam semesta. Pura ini disebut dan
letaknya berdekatan dengan Pura Desa atau satu tempat dengan Pura Desa.
o Pura Dalem.
Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Siwa, yaitu perwujudan Ida
Sang Hyang Widhi sebagai Sang Pelebur. Biasanya untuk ritual kremasi dan
terletak di dekat kuburan desa, di tepi, atau di luar desa.

3. Pura untuk pemujaan profesi (Pura Fungsional)


 Pura Pengulu
Tempat pemujaan bagi kelompok-kelompok seprofesi seperti petani sawah,
petani ladang, nelayan pedagang dan unit-unit kerja lainnya, masing-masing
memiliki Pura sebagai tempat pemujaan bersama. Bangunan-bangunan Pura
untuk masing-masing profesi disebut Pura Pengulu atau Pura Ulun. Bagi
seorang yang berprofesi ganda seperti bekerja sebagai nelayan dan memiliki
usaha dagang, menjadikan dia sebagai penyiwi pada Pura Melanting.

o Pura Ulun Carik atau Pura Subak


Tempat pemujaan kelompok petani sawah dari satu sektor irigasi.

o Pura Ulun Tegal


Umumnya memakai nama-nama lingkungan pertanian yang disebut
kelasiran, untuk tempat pemujaan bersama petani-petani ladang di suatu
wilayah pertanian tertentu.

o Pura Ulun Pasar (Pura Melanting)


Tempat pemujaan profesi dagang. Biasanya terletak di pasar.

42
o Pura Ulun Segara (Pura Segara)
Tempat pemujaan bersama warga nelayan yang berada di suatu wilayah
pantai tertentu.

4. Pura untuk pemujaan umat dari seluruh wilayah (Pura Umum)


Pura ini bersifat umum, tidak terbatas pada desa, keluarga dan profesi tertentu
berfungsi untuk memuja dan mengagungkan kebesaran Tuhan Hyang Widhi Wasa
dengan berbagai manifestasinya. Pura ini disebut Pura Kahyangan dan dapat
dikelompokkan lagi menjadi tiga:

 Pura Kahyangan Jagad.


Merupakan Pura untuk memuja dan mengagungkan dan memuliakan Tuhan
Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya, seperti :
o Pura yang memuja Sang Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai
Icwara (contohnya Pura Lempuyang, Bali)
o Pura yang memuja Sang Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai
Brahma (contohnya Pura Andakasa, Bali)
o Pura yang memuja Sang Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai
Mahadewa (contohnya Pura Batukaru, Bali)
o Pura yang memuja Sang Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai Wisnu
(contohnya Pura Batur, Bali)
o Pura yang memuja Sang Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai
Mahacwara (contohnya Pura Goa Lawah, Bali)
o Pura yang memuja Sang Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai Rudra
(contohnya Pura Ulu Watu, Bali)
o Pura yang memuja Sang Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai
Sangkara (contohnya Pura Bukit Pangeleman, Bali)
o Pura yang memuja Sang Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai
Sambhu (contohnya Pura Besakih, Bali)

 Pura Sad Kahyangan


Biasanya Pura Sad Kahyangan dijadikan tempat untuk mengadakan
upacara yang diperuntukkan untuk alam (Sad Kerti Lokha), seperti hutan,
kebun, ladang, gunung, laut, danau, bumi, sawah. (Pura yang tergolong sebagai
Kahyangan Jagad, juga bisa berfungsi sebagai Pura Sad Kahyangan. Contohnya

43
Pura Besakih, Pura Lempuyang, Pura Ulu Watu, Pura Watukaru dan Pura Bukit
Pangeleman)

 Pura Siwi
Dalam hubungannya dengan Pura-Pura yang besar dan bersifat umum,
ditetapkan pula adanya Pengempon (mereka yang menyuruh, yang melakukan
upcara tetap dan pembinaan Pura), pengemon (masyarakat atau pelaksana-
pelaksana upacara dan perawatan Pura yang dikoordinir oleh pengempon), dan
penyiwi (masyarakat luar yang melakukan pemujaan di Pura yang
bersangkutan). Pura Siwi terdiri dari berbagai macam dan bentuknya, demikian
pula Pengempon pengemong dan penyiwi-nya.
Latar belakang sejarah, status, fungsi juga namanya berdeda-beda. Pura
Siwi yang bersifat umum antara lain, Pura-Pura dalam perjalanan pembinaan
agama oleh para Rsi, Dang Hyang dan tokoh-tokoh pada masa awal
penyebarannya. Umumnya, Pura Siwi memiliki tanah sawah, kebun atau tegal
untuk biaya upacara dan perawatan Pura.
Contoh Pura Siwi yakni, Pura Rambut Siwi, Pura Puncak, Pura Peti Tenget,
Pura Taman Pule dan beberapa Pura lainnya merupakan rangakaian Dharma
Yatra atau perjalanan suci keagamaan Dang Hyang Nirartha abad ke-14 di
Kepulauan Nusa Tenggara.

5. Pura lainnya
 Pura Kerajaan
Dalam hubungannya dengan Kerajaam-kerajaan yang pernah berkuasa di
Bali, maka dikenal adanya Pura Penataran, yang dapat disebutkan dengan Pura
Kerajaan, seperti Pura Penataran Sasih, Pura Dasar di Gel-Gel, Pura Kehen,
Pura Penataran Klungkung dan Pura Penataran Sukawati.

 Pura Penunggu
Di tempat-tempat yang dianggap angker atau dianggap ada penunggunya
dibuatkan pelinggih bangunan tempat pemujaan, atau tempat para penunggu di
tempat tersebut, seperti di goa, pohon besar, pertemuan sungai, sumber mata air
di puncak bukit, di tikungan jalan dan di pinggir laut yang sering terjadi

44
kecelakaan serta di tempat-tempat lain yang dianggap berpenghuni, dibuatkan
pelinggih tempat penunggu.
Di tempat-tempat yang ada penuggu dengan pelinggih-pelinggih umumnya
dikunjungi untuk memohon keselamatan perjalanan hidup dengan melakukan
upacara-upacara terntentu. Bangunan-bangunan pelinggih penunggu pada
umumnya berbentuk seperti tugu yang divariasikan sesuai dengan
pemakaiannya. Di beberapa tempat seperti di sumber mata air yang dijadikan
air minum dan permandian umum dibuatkan Pura tempat pemujaan bersama.

2.3 Prospek dan Fisibilitas


2.3.1 Prospek
Perancangan Pura ini diharapkan (1.) dapat menunjang kegiatan peribadatan umat
Hindu di Kota Manado -bahkan sekitarnya-, terutama untuk upacara-upacara yang
mengambil bagian pada area laut. (2) Dapat mewadahi seluruh umat Hindu yang ada di
Kota Manado, terutama yang tinggal di bagian selatan kota Manado yakni Kecamatan
Malalayang, Kecamatan Sario, Kecamatan Wanea dan Kecamatan Wenang, agar
kedepannya bangunan peribadatan ini bisa memberikan kenyamanan dan aksesibilitas
yang mudah bagi seluruh umat Hindu yang ada di kota Manado.

2.3.2 Fisibilitas
Kota Manado mempunyai tiga tempat peribadatan umat Hindu, yakni Pura
Jadagdhita yang terdapat di Kelurahan Taas Kecamatan Tikala, Pura yang berada di
Rumah Sakit Malalayang dan Pura yang berada di Kelurahan Karombasan Kecamatan
Wanea. Namun berdasarkan perwadahan dan kapasitasnya, Pura Jagaditha lah yang
sering digunakan umat Hindu kota Manado untuk beribadah, melakukan ritual dan
upacara tahunan. Pura Jagadhita dapat menampung sekitar 350 orang.
Terapat dua hal yang mendukung urgensi pembangunan pura di Manado:
1. Berdasarkan data dari Ketua Parisade Agama Hindu Provinsi Sulawesi Utara
Ir. Suryono, MT, mayoritas umat Hindu di kota Manado terdapat di bagian
tengah (Kecamatan Tikala dan Kecamatan Paal Dua) dan bagian selatan
(Kecamatan Malalayang, Kecamatan Sario, Kecamatan Wanea dan
Kecamatan Wenang), sedangkan bagian utara kota Manado (Kecamatan
Mapanget, Kecamatan Singkil, Kecamatan Tuminting, Kecamatan Bunaken
dan Kecamatan Kepulauan Bunaken) hanya mencapai sekitar 10% umat
Hindu. Pura Jagaditha terletak di Manado bagian tengah, aksesibilitas yang

45
dibutuhkan oleh umat Hindu yang berada di selatan kota Manado tidaklah
mudah. Jika dikalkulasikan, rata-rata dibutuhkan waktu 45-60 menit untuk
mencapai Pura Jagadhita, mengingat bagian selatan kota Manado merupakan
pusat kegiatan dan kehidupan masyarakat kota Manado.

2. Tabel Data Agama Masyarakat Kota Manado

Kong Hu Cu
Kota Islam Kristen Katholik Hindu Budha
& Lainnya
Manado 130.517 289.530 36.816 2.309 14.327 532

Tabel 2.2 Tabel Data Agama Masyarakat Kota Manado


sumber : Badan Pusat Statistik Kota Manado Tahun 2015

Berdasarkan data tersebut, total umat Hindu yang terdaftar sebagai warga kota
Manado yakni sebanyak 2.309 orang, itu pun belum terhitung dengan umat
Hindu yang datang dari daerah sekitar Manado seperti Kabupaten Bolaang
Mongondow, Kota Tomohon, Kabupaten Tondano dan dari luar Kota seperti
para pelajar, pekerja, pelancong bahkan turis lokal yang datang untuk
beribadah. Tentu ini menjadi masalah mengingat daya tampung Pura Jagaditha
hanya mencapai 350 orang.

2.4 Lokasi dan Tapak


Kriteria lokasi Pura (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya) tidaklah dilihat
semata-mata dari sudut ukuran dan keindahannya tetapi yang penting ialah kesucian
tempat di mana Pura itu dibangun sehingga orang-orang dapat merasakan keberadaan atau
getaran Tuhan di dalam Pura (“nes” : rasa ada Tuhan). Lokasi Pura harus terhindar dari
dareah yang rawan terkena bencana, tidak dialiri air kotor, terhindar dari pemandangan-
pemandangan yang tidak sedap, dll. Guna terselenggaranya kontak yang baik dengan
Tuhan, maka pemilihan tempat dari suatu Pura cenderung berada jauh dari keramaian dan
pada letak ketinggian tertentu. Semuanya bertujuan agar tercipta suatu konsentrasi yang
baik dalam menghubungkan diri kepada Tuhan.
Berikut adalah beberapa alternatif site Pura yang berada di Kecamatan Malalayang
dan Desa Kalasey Satu, Kabupaten Minahasa.

46
Gambar 2.12 Peta
Kecamatan Malalayang
(Sumber : RTRW Kota
Manado 2016)

Gambar 2.12 Peta Desa Kalasey I


Gambar 2.13 Peta Kabupaten Minahasa Sumber : Google Earth
Sumber : Google Earth (Diakases : 03 April 2017)
(Diakases : 03 April 2017)

Kecamatan Malalayang Kabupaten Minahasa Kecamatan Malalayang


Kelurahan Malalayang Dua Desa Kalasey Satu Kelurahan Malalayang Barat

Gambar 2.14 Site Alternatif 3 Gambar 2.15 Site Alternatif 2 Gambar 2.16 Site Alternatif 1
Sumber : Google Earth Sumber : Google Earth Sumber : Google Earth
(Diakases : 03 April 2017) (Diakases : 03 April 2017) (Diakases : 03 April 2017)

47
ANALISIS
KRITERIA BOBOT SITE SITE SITE
PEMILIHAN SITE (%) ALTERNATIF ALTERNATIF ALTERNATIF
1 2 3

Aksesibilitas 20 19 17 19
Nes
30 20 26 25
(kondisi lingkungan sekitar)

Jauh dari Keramaian 10 7 8 8


Letak Lokasi (pinggir
20 18 18 10
pantai)
Terhindar dari Aliran
20 10 13 13
Air Kotor
TOTAL 100 74 82 75

Dari hasil analisis ketiga alternatif site di atas, dapat disimpulkan bahwa site yang

Tabel 2.3 Tabel Analisis Pemilihan Site


Sumber : Analisis Pribadi
paling potensial untuk dijadikan tempat
Kabupaten Minahasa perancangan adalah Alternatif Site 2.
Desa Kalasey Satu

Gambar 2.17 Site Alternatif 2


Sumber : Google Earth
(Diakases : 03 April 2017)

48
2.5 Studi Komparasi Objek Perancangan
o Pura Jagadhita, Manado
Pura Jagadhita terletak di Kelurahan Taas, Kecamatan Wanea, Manado. Didirikan
pada tahun 1989 dan dipelaspas (diresmikan) pada tahun 1994, dan merupakan Pura
pertama yang ada di Manado. Pura Jagaditha termasuk Pura Kahyangan Jagad karena
letaknya yang berada di ketinggian dan diperuntukkan bagi semua umat Hindu yang
ada di dalam maupun luar Kota Manado.

Gambar 2.18 Pura Jagaditha


Sumber: Data Lapangan Ir. Suryono, MT, 2017

Berikut adalah denah dari Pura Jagaditha.

Pintu Masuk

Gambar 2.19 Site Plan Pura Jagaditha


Sumber: Analisa Pribadi

49
1 2 3

KETERANGAN :

1. Nista Mandala
2. Madya Mandala
3. Utama Mandala

Gambar 2.20 Pembagian


Mandala Pura Jagaditha
Sumber: Analisa Pribadi (2017)

Pada saat masuk, kita akan disambut dengan arca Dwarapala sebagai penjaga
pertama gerbang.

Gambar 2.21 Arca Dwarapala Pura Jagaditha


Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017

50
Pada zona Nista Mandala Pura Jagaditha terdapat Pewaregan. Tempat ini berfungsi
sebagai dapur dan tempat membuat banten.

Gambar 2.22 Pewaregan Pura Jagaditha Gambar 2.23 Pembuatan Banten di pewaregan
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017 Pura Jagaditha
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017

Setelah menaiki tangga, kita akan menjumpai Candi Bentar dan memasuki zona
Madya Mandala yang di dalamnya terdapat Bale Panjang, Bale Gong dan Bale
Pendidikan.

Gambar 2.24 Zona Madya Mandala. Bale Gong (kiri), Candi Bentar (tengah), Bale
Panjang (kanan), Bale Pendidikan (belakang Bale Panjang)
Sumber: Data Lapangan Ir. Suryono, MT, 2017

51
Untuk memasuki zona Utama Mandala, kita harus menaiki tangga, melewati gerbang
Kori Agung dan bebetelan. Dalam zona Utama Mandala terdapat Bale Piyasan, Bale
Pawedan, Padmasana, Panglurah dan Meru. Namun Meru di Pura Jagaditha belum
dibangun.

Gambar 2.25 Zona Utatma Mandala Pura Jagaditha


Sumber: Data Lapangan Ir. Suryono, MT, 2017

Gambar 2.26 Kori Agung Pura Jagaditha Gambar 2.27 Padmasana Pura Jagaditha
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017 Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017

52
Gambar 2.28 Detail Kori Agung Gambar 2.29 Panglurah Pura
Pura Jagaditha Jagaditha
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017 Sumber: Dokumentasi Pribadi,
2017

o Pura Segara Kenjeran, Surabaya

Gambar 2.30 Perspektif Pura Segara Kenjeran, Surabaya.


Sumber : https://www.google.co.id/maps/place/Pura_Segara_Kenjeran
(Diakses : 02 Agustus 2017)

Pembangunan Pura dimulai pada akhir bulan Januari tahun 1980, setelah keluarnya
izin membangun dari Pangdaeral IV, Laksda TNI Gatot Suwardi No.
B/15/04/20/9/tanggal 15 Januari 1980 diatas tanah seluas 480 m2 (80m x 60m).
Penentuan kosala kosali berdasarkan petunjuk dari Ratu Ida Pedanda Putra Telaga dari
Griya Banjarankan Klungkung – Bali. Areal Pura terdiri dari 3 (tiga) mandala yaitu
Utama Mandala terdapat Padmasana, Bale Piyasan, pengurah. Madya Mandala terdapat

53
apit surang, Kori Rong Tiga dan Bale kulkul. Bangunan dibuat dari bahan cetakan oleh
tukang yang didatangkan dari desa Kapal kab.Badung-Bali.

Pada Tanggal, 17 Juli 1981 Pura di Pelaspas dan diresmikan oleh Pangdaeral IV
yang berkedudukan di Surabaya Bapak Laksda Gatot Suwardi. Pura Segara Bukan
merupakan bagian dari Tri Kayangan tapi hanya sekedar nama saja karena pada saat itu
berdasarkan letak /lokasi yang dekat dengan Pantai. Pada awalnya pura ini
diperuntukkan bagi warga Hindu yang bertempat tinggal di Komplek TNI AL Kenjeran
dan sekitarnya (21 KK). Dalam Perkembangannya warga penyungsung Pura saat ini
berjumlah 92 Kepala Keluarga (KK), terdiri dari 5 (lima) sektor.

Gambar 2.31 Nista Mandala. Candi Bentar Pura Segara Kenjeran sebagai pintu masuk.
Sumber : https://www.google.co.id/maps/place/Pura_Segara_Kenjeran
(Diakses : 02 Agustus 2017)

54
Gambar 2.32 Madya Mandala. Kori Agung Pura Segara Kenjeran
Sumber : Ketut Eben, 2013

Gambar 2.33 Utama Mandala. Tempat sembahyang Pura Segara Kenjeran


Sumber : https://www.google.co.id/maps/place/Pura_Segara_Kenjeran
(Diakses : 02 Agustus 2017)

55
Gambar 2.34 Utama Mandala. Padmasana Pura Segara
Kenjeran
Sumber : Ketut Eben, 2013

o Pura Luhur Uluwatu, Bali

Gambar 2.35 Pura Luhur Uluwatu, Bali


Sumber : http://www.balidesa.com/
(Diakses : 03 Agustus 2017)

56
Terletak di tepi tebing di bagian selatan semenanjung Bali kira-kira sekitar 80
meter di atas permukaan laut. Pura Luhur Uluwatu diperkirakan dibangun pada jaman
Empu Kuturan mendirikan pura Agung Besakih sekitar abad 11 dan dikisahkan Dang
Hyang Nirartha mencapai Alam Moksa di Pura Uluwatu setelah melakukan perjalanan
suci (Tirta yatra) keliling Bali, Lombok dan Sumbawa. Terdapat pula hutan kering kecil
yang sering disebut
Alas Kekeran (hutan
larangan) yang
merupakan bagian
dari Pura dan dihuni
oleh banyak monyet
dan hewan lainnya.
Nama Uluwatu adalah
berasal dari kata Ulu
Gambar 2.36 Jalan Masuk Pura Luhur Uluwatu
Sumber : http://www.google.co.id/Pura_Uluwatu yang berarti kepala
(Diakses : 03 Agustus 2017)
dan Watu berarti batu.
Oleh karena itu Pura Uluwatu berarti Pura yang dibangun di ujung terumbu karang.
Yang terkenal dari Pura Uluwatu adalah arsitektur yang luar biasa di batu karang hitam.
Pura Uluwatu merupakan salah satu Pura tertua di Bali.
Struktur Bangunan Pura Uluwatu sama
seperti layaknya Pura yang ada di Bali yaitu Tri
Mandala terbagi atas 3 halaman, yaitu halaman
luar (Jaba Pisan), halaman tengah (Jaba Tengah)
dan halaman dalam (Jeroan).
Untuk mencapai pada Jaba Pisan, kita harus
menaiki anak tangga yang mengarah pada candi
Bentar. Pada Jaba Pisan terdapat bangunan
sedahan pengapit, bale kul-kul, bale murda dan
bale sakenem. Di sebelah kiri sebelum masuk
pintu Candi Bentar tersebut terdapat kompleks
Gambar 2.37 Candi Bentar Pura Uluwatu
pelinggih yang disebut Dalem Jurit. Di Pura Sumber : http://www.google.co.id/candi_bentar
_uluwatu
Dalem Jurit inilah terdapat tiga patung Tri Murti (Diakses : 03 Agustus 2017)
yang merupakan tempat pemujaan Siwa Rudra ketika Mpu Kuturan mendirikan pura
tersebut abad ke-11 Masehi.

57
Di dalam jaba tengah terdapat Candi Kurung Padu Raksa bersayap yang memakai
dwarapala berbentuk Ganesha.
Pada baigan jeroan Pura, kita menjumpai bangunan yang paling pokok yaitu Meru
Tumpang Tiga tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra. Bangunan yang lainnya adalah
bangunan pelengkap saja seperti Tajuk tempat meletakkan upacara dan Bale Pawedaan
tempat pandita memuja memimpin upacara.

Gambar 2.38 Nista Mandala. Tempat Pementasan Tari Kecak di Pura Luhur Uluwatu
Sumber : http://www.google.co.id/Kecak_Dance
(Diakses : 03 Agustus 2017)

Gambar 2.39 Madya Mandala. Candi Kurung Pura Uluwatu


Sumber : http://www.google.co.id/candi_kurung _uluwatu
(Diakses : 03 Agustus 2017)

58
Gambar 2.40 Utama Mandala. Meru tumpang tiga Pura Uluwatu
Sumber : http://www.google.co.id/Pura_Uluwatu
(Diakses : 03 Agustus 2017)

PURA PURA SEGARA PURA LUHUR


MANDALA FASILITAS JAGADITHA, KENJERAN, ULUWATU,
MANADO SURABAYA BALI
Candi Bentar   
Bale Kul-kul   
Nista
Pewaregan   
Bale Wantilan 
Candi Bentar   
Madya Bale Gong   
Bale Panjang   
Kori Agung   
Aling-Aling  
Bale Piyasan  
Bale Pawedan   
Utama (Padmasana
Padmasana   menggunakan
Meru)
Panglurah  
Meru (Belum ada)  

Tabel 2.4 Tabel Kesimpulan Studi Komparasi Objek


Sumber : Analisa Pribadi

59
2.6 Studi Pendukung
Berbicara mengenai Analogi Semiotik, berarti berbicara mengenai tanda dan
maknanya. Penafsiran semiotik tentang arsitektur menyatakan bahwa suatu bangunan
merupakan suatu tanda penyampaian informasi mengenai apakah ia sebenarnya dan apa
yang dilakukannya (makna). Berikut merupakan beberapa studi kasus analogi semiotik
pada bangunan

Gambar 2.41 Meru


Tumpang 11, Pura Ulun
Danu, Bali
Sumber :
http://www.google.co.id
/Pura_Ulun_Danu
(Diakses : 03 Agustus
2017)

Gambar di atas adalah sebuah Meru (tanda). Pikiran orang pada umumnya pasti
akan tertuju pada kata “Pura” atau “Bali” (makna). Secara eksisting, Meru adalah salah
satu puncak pada jejeran
pegunungan Himalaya, India.
Sejarahnya, Gunung (dalam hal
ini Meru) merupakan
perlambangan alam semesta
sebagai stana / tempat para Dewa
(Sang Hyang Widhi Wasa).

Gambar 2.42 Puncak Meru, Pengunungan Himalaya,


India.
Sumber : http://www.google.co.id/Meru
(Diakses : 03 Agustus 2017)

60
Hanya dengan siluet, orang-orang pun tau
bahwa gambar di samping adalah sebuah masjid
(makna), berkat kubah dan simbol yang ada di
atasnya (tanda).

Gambar 2.43 Siluet Masjid


Sumber : http://www.google.co.id/Masijd
(Diakses : 03 Agustus 2017)

Menuju pada skala yang lebih kecil, seperti lampu lalu


lintas yang berwarna merah (tanda) yang artinya kendaraan
yang ada di jalan raya harus berhenti sejenak (makna).
Dan mobil ferarri (tanda) yang menandakan bahwa
pemiliknya merupakan orang kaya (makna), dan orang kaya
menandakan dia mempunya kedudukan/jabatan tinggi dalam
Gambar 2.44 Ilustrasi
pekerjaannya (makna) Lampu Rambu Lalu Lintas
Sumber :
http://www.google.com
(Diakses : 03 Agustus
2017)

Gambar 2.45 Ilustrasi analogi semiotik


Sumber : analisa pribadi

61

Anda mungkin juga menyukai